Rekan Didi yth,

Memang soal kata “owe” ini jarang dibahas atau bahkan kurang 
diketahui asal-usulnya. Bahkan, sejauh yang saya ketahui, Nio Joe 
Lan yang banyak membahas budaya peranakan pun tidak, hingga timbul 
pandangan kata “owe” berasal dari dialek Kheh (?). Atau, ada juga 
orang (Jakarta) yang mengaitkan kata “owe” dengan orang Tionghoa 
Tangerang (Cina Benteng) semata-mata karena orang Cina Benteng mati-
matian mempertahankan penggunaan kata ini sebagai tanda hormat, 
padahal kata ini dikenal luas tidak hanya di Tangerang, bukan?

Dan fenomena kata “owe” ini khas peranakan Indonesia, setidaknya 
Jawa, dari Barat sampai ke Timur. Kaum peranakan Singapura-Malaysia 
tidak mengenalnya; dalam bahasa Melayu Baba (Baba Malay) mereka 
menggunakan kata “gua” yang, dalam bahasa Melayu Betawi maupun 
Melayu Tionghoa, dianggap kasar.

Saya patut bersyukur karena saya termasuk kaum peranakan 
yang “beruntung” karena masih dididik “in the true Baba 
way”―kata orang “sana”―sebab saya amati banyak kaum peranakan 
yang tidak lagi memahami akar budayanya: mengapa kami berbahasa 
Melayu dan/atau bahasa daerah Indonesia, bukan bahasa Tionghoa, 
mengapa kami suka gambang kromong-wayang cokek, mengapa perempuan 
kami di masa lalu bersarung-kebaya Nyonya, mengunyah sirih dsb, 
memiliki tradisi unik khas peranakan (misalnya, chniou-thau), 
mengapa kami memiliki furniture, barang-barang perak, sulaman-manik-
manik dll. Di Singapura baru-baru lama ini dibuka Museum Peranakan 
yang baru, yang sebagian koleksinya―terus-terang―berasal dari 
Indonesia juga, yang mereka beli dari para pedagang kita dan dengan 
bangganya mereka pamerkan di sana. Kita sendiri tidak 
menghargainya...

Salam,
DK

Rekan2 David, JT dll yth,

Menarik sekali soal kata “owe” ini, yang mungkin unik khas 
peranakan. Terima kasih buat pencerahan rekan2 semua.

Nio Joe Lan sudah membahas soal kata 'owe' dalam Indonesia: Madjalah 
kebudajaan No 1 (VI), Januari 1955, h. 20-22.

Kembali soal kata 'owe' utk mengiyakan seperti yang ditulis rekan 
JT, ada anekdot menarik dari alm. Oey Hay Djoen yg baru saja wafat, 
yg ditulis dalam obituari tulisan Hilmar Farid:

"Setahun kemudian keluarga Oey pindah ke Jakarta, karena Oey ditarik 
ke sekretariat pusat LEKRA. Rumahnya di Jl Cidurian 19 di kawasan 
Cikini, Jakarta Pusat, ditawarkannya menjadi sekretariat. Pasalnya, 
kantor sebelumnya di Jl Dr Wahidin tidak memadai lagi. Tawaran itu 
langsung disambut oleh organisasi dan seiring dengan kemajuan 
organisasi pengunjung tetap dan tidak tetap semakin bertambah. DN 
Aidit, Oloan Hutapea, Njoto, Djokosudjono kerap mampir di tempatnya, 
untuk berdiskusi atau sekadar ngobrol dan minum bir....
Tabrakan budaya pun tidak jarang terjadi. Oey yang berasal dari 
keluarga Tionghoa yang sangat menghargai orang lebih tua, kalau 
mendengarkan orang bicara sering manggut-manggut sambil mengiyakan 
dengan dialek Khek, "owe, owe" (saya, saya). Suatu hari Aidit 
mendampratnya, "apa kamu owe, owe. Seperti feodal saja!"

Tapi disini Hilmar kayaknya kurang tepat, karena dikatakan "owe" 
adalah dialek Khek, mestinya Hokkian.

Salam hangat,
didi


--- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, "David Kwa" 
<[EMAIL PROTECTED]:

Ko JT jang bae,

Kamsia atas Enko poenja tanggepan, jang mana soeda menambaken 
arti „owe” jang sasoenggoenja.

Betoel sakali „owe” dan „saja” boekan tjoemah satoe perkatahan 
jang dipake boewat seboet diri sendiri, tetapi djoega goena 
mengijaken. Salaennja terhadep orang toewa atawa orang jang perna 
toewa, ade lelaki terhadep iapoenja enko, oepamanja, „owe” djoega 
dipake antara orang-orang sapantaran jang baroe kenal atawa soeda 
kenal lama tapi saling menghormatin. Marika saling seboet „owe” 
boewat diri sendiri, di laen pihak djoega saling seboet „Enko” 
satoe pada laennja.

Ada satoe lagi pamakean „owe” dan „saja” jang belon diseboetken, 
jaitoe koetika kitaorang poenja orang toea atawa orang laen jang 
perna toewa panggil kita, maka kita moesti 
menjaoet „Owe, ‘Ba/‘Ne!” (boewat orang lelaki) 
atawa „Saja, ‘Ba/‘Ne!” (boewat orang prampoewan), oepamanja. Kita 
tentoe tida bole menjaoet: „Apa, ‘Ba/‘Ne!” atawa „Hah?,” sebab 
bisa dianggep koerang hormat sama orang jang toewahan.

Di laen pihak, kaloe orang lagi mara, itoe perkatahan „owe” jang 
sopan mendadak-sontak bisa beroba djadi ... „goewa”! „Goewa” jang 
di dalem bahasa aslinja dialect Hokkian selatan sama sakali tida 
mengandoeng arti kasar, di dalem bahasa Melajoe dianggep kasar! Ini 
perobahan dari „owe” ka „goewa” teroetama berlakoe terhadep orang 
laen jang sapantaran, atawa antara enko-ade, jang perbedahan 
oesianja tida terlaloe djaoe, tentoe sadja tida berlakoe terhadep 
orang jang perna toewa, apalagi terhadep orang toewa sendiri! Bisa 
koewalat orang toewa di „goewa-goewa” in!!!

Kiongtjhioe,
DK

Engko David Kwa en engko Ophoeng yang baek.

Owe maoe adjar kenal en maoe kasi tanggepan sama engko berdoea. Owe 
ada setoedjoe sama engko2 poenja pendapet, iaitoe seboetan owe 
tjoema dipake boeat orang lelaki tetapi tra dipake sama orang 
perempoean. Orang perempoean ada seboet dirinja sendiri sebagi saja. 
Owe djoega ada heiran sama itoe hoedjin jang seboet dirinja sendiri 
dengen owe, jang njata ada boektiken kaloe itoe hoedjin ada satoe 
lelaki toelen.

Kita orang waktoe ketjil ada diadjarken sama kita orang poenja orang 
toea, kaloe kita orang lelaki berhadepan sama orang jang lebih toea 
musti seboet diri kita dengan owe dan jang perempoean musti seboet 
dirinja dengen saja. Tapi kaloe kita lelaki berhadepan sama kita 
orang punja hopeng, kita ada boleh seboet diri kita dengan goea, 
tapi itoe orang perempoean tidak lazim kaloe seboet dirinja dengan 
goea melainken tetep seboet dirinja dengan saja.

Itoe perkataan owe djoega ada bole dipake boeat laen keperloean 
hormat sama orang jang lebi toea, tra tjoema boeat seboet diri 
sendiri sadja. Itoe owe bisa diartiken sebagi betoel, baek, atawa 
ija, satoe perkataan boeat mengijaken. Tjontonja, kaloe ada orang 
jang lebih toea tanya: „Apa ini loe poenya?,” kita orang moesti 
djawab: „Owe tjek, itoe owe poenja,” en orang perempoean ada moesti 
djawab: „Saja tjek, itoe saja poenja,” jang artinja: „Betoel tjek, 
itoe owe / saja poenja” dalem perkataan jang sopan.

Tjonto laen bisa kita orang seboetken koetika orang jang lebi toea 
bilang: „Apa begini soeda betoel?” kita orang moesti djawab: „Owe 
tjek, soeda betoel,” en orang perempoean ada moesti djawab: „Saja 
tjek, soeda betoel”. En sebaliknja kaloe kita seboet: „Ija tjek, 
soeda betoel” itoe ada artinja tidak sopan en bisa kita dipoekoel 
sama kita orang poenja orang toea sebab itoe ada bikin maloe orang 
toea jang tra bisa adjar adat sama anak.

Sekean doeloe tanggepan dari owe.

Kiongtjioe en hormat,
JT

----------------

--- In budaya_tionghuayahoogroups.com, „David Kwa”
<david_kwa2003...wrote:

Toewan-toewan, Njonja-njonja dan Nona-nona sakalian,

Memang betoel itoe perkatahan „owe” ada satoe seboetan merendah 
jang tjoemah digoenaken boewat orang lelaki; orang prampoewan slaloe 
pake „saja”. Sedari masi ketjil owe soeda dibiasaken oleh owe 
poenja kadoewa orang toewa boewat pake ini perkatahan tatkala 
bitjara pada marika dan sampe sekarang poen djoega owe masi biasa 
goenaken itoe perkatahan jang tjoema terpake di kalangan 
Pranakan―Totok tida―waktoe bitjara terhadep orang (Pranakan)
Jang lebi toewaän atawa jang owe ada endahken, tiada perdoeli itoe 
orang jang owe adjak bitjara masi tersangkoet familie of boekan. 
Orang prampoewan selaloe pake seboetan „saja” boewat seboet diri 
sendiri, tida perna „owe”. Djadi soenggoe tida masoek akal kaloe 
satoe Hoedjin atawa Njonja seboet diri sendiri dengen „owe”. Owe 
djadi teringet pada tajangan sketsa di televisie di mana kaoem Totok 
dan orang prampoewan „ikoet-ikoetan latah” pake „owe” dengen logat 
bitjara jang dipelo-peloken, hal mana tentoe sadja soenggoe ada 
kliroe sakali!!!

Sabenernja itoe seboetan „owe” ada terambil dari perkatahan 
Hokkian „owe å"¯â€ jang di dalem satoe kamoes Hokkian dikasi 
arti „the answer to a call; yes, sir!,” dari sitoe di lida kaoem 
Pranakan di Java lama-kelamahan soeda berobah djadi perkatahan 
boewat seboet diri sendiri. Denger-denger kaoem Pranakan di Soematra 
djoega pake ini seboetan, tjoema owe sendiri blon dapet koetika jang 
baek boewat tjari taoe betoel tidanja itoe pendengeran, djadi owe 
blon bisa pastiken.

Troes, itoengan tjara Hokkian satoe, doewa, tiga enz. ada it, djie, 
sha, sie, gouw, lak, tjhit, peh, kauw, tjap, tjap it, tjap djie 
enz., saperti jang kita bisa liat pada nama-nama boelan Imlek di 
kalender, boekan it, Nji, sa enz. Nji ada bahasa Kheh.

Kiongtjhioe,
DK


Kirim email ke