Belon berapa lama ini satu kerabat, meninggal. Sewaktu melayat di "malam 
kembang" ketemu saudara-saudara jauh yang biasanya ketemu nya belum tentu 
setahun sekali. Disitu setelah ngobrol ngalor-ngidul lalu ngomong lah soal 
cengbeng, ajakan untuk pergi ke kuburan bareng bareng. Maka tanpa buka tongshu, 
ditentukan deh hari baik, hari minggu untuk piknik di kuburan pagi-pagi sekali. 
Direncanakan jam 8 udah beres, getoh. Lalu berangkat ke tempat tuaku untuk 
sembayang meja abu. 

Satu ponakan iseng nanya, kenapa tuaku kita yang dikenal amat sangat modern kok 
masih percaya begituan sih? 

Tuaku cuman mesem-mesem. Itu ponakan juga nanya basa basi doank, habis komentar 
lalu lewat.

Lalu Tuaku yang udah convert jadi katolik itu bisik-bisik sama gue, "Urusan 
percaya-percaya an mah urusan masing-masing orang, tapi kalau nggak bikin acara 
cengbengan begini, kapan lagi kita kumpul kerabat. Kalau sincia gitu khan 
datengnya kapan sebisanya aja, kalau cengbeng, khan mau nggak mau kumpul bareng 
semua." 
Gue pun manggut manggut dengan semangat. 

Tuaku lalu bilang lagi, "sekarang gue masih kuat, masih mau bikin beginian bisa 
kumpulin semua bareng, besok kalau gue mati, entah masih terus nggak tuh, terus 
meja abu juga nggak tahu gimana nasibnya tuh.Emang ada yang mau lanjutin"

Gue pun teringat Oma gue dulu, setiap kali cengbeng lalu berpesan sama gue, 
"Inget ye, ntar 'Ma mati, dibakar aja ya, jangan dikubur. Kamu cucu satu 'ma 
pesenin nih. Bilangin itu semua orang tua tua yah, kalau berani kubur ntar 'ma 
gentayangin atu atu" 

Gue sih ngakak aje. Gue tahu 'Ma gue orangnya nggak mau repotin orang.Tiap 
melayat orang mengantar sampai ke kubur, ribetnya mencapai kubur di gunung 
tinggi-tinggi yang hongsui nya bagus, yang menurut 'Ma nggak banyak gunanya, 
biarpun doi percaya banget sama hongsui dan alam gaib, setiap kali pulang 'ma 
selalu pesan seperti itu. Makanya sewaktu dapet kabar 'ma meninggal, yang 
pertama gue tanya adalah "sudah diputusin belum dikremasi atau dikubur?" dengan 
nada siap perang kalau ada yang berani nentang keinginan 'Ma. Sesudah ada 
keputusan yang melegakan, baru deh nangis sejadi-jadinya sambil beberes pulang 
kampung, hehehe. Pokoknya urusan beres dulu, kalau udah beres baru boleh nangis.

Bedanya sama Engkong, yang bilang, besok kalau engkong nggak ada, putusan mau 
kremasi atau kubur sih terserah yang hidup, tapi kalau di kremasi itu udah 
nggak ada bantu nya lagi sama yang hidup, kalau di kubur, itu dengan pilih hari 
dan tempat yang bagus, engkong masih bisa kasih guna sama yang hidup. Pesan 
yang samar samar banget, menunjukkan engkong prefer dikubur daripada kremasi. 
Ya gue catet aja lah, toh sekarang engkong masih segar bugar.

Di Singapur, bukannya nggak ada tuh kuburan. Ada, letaknya di pinggiran jalan. 
Jelek banget dah. Kalau menjelang cengbeng banyak juga yang ke kuburan situ. 
Cuman belakangan anak muda sekarang kayaknya lebih senang urus ortu pake cara 
kremasi aja, sebab sewa tanah kuburan katanya mahal. Kalau sewa kotak tempat 
taruh abu tuh lebih murah dikit, sekarang sih udah mahal juga. Jadi masalahnya 
cuman masalah praktis dan nggak ada lahan doank, sehingga masyarakat digiring 
untuk berpikir demikian.

Emang iya, kuburan dengan hongsui baik, ujung ujungnya mah jadi tempat 
perumahan, biasanya dibangun HDB atau apartment, jelaaaassss lebih berharga itu 
tanah di bikin perumahan ketimbang dijadiin kuburan. Sahibul hikayat, daerah 
Bishan tempat gue tinggal dulu, disitu juga tanahnya bekas kuburan. Maka kalau 
bulan tujuh tuh, nggak pernah kelewat pasti adain wayang orang khusus untuk 
para arwah biar ada hiburan dan nggak gangguin yang hidup.

Gue pribadi ngerasa memang cengbeng ini suatu tradisi yang baik diteruskan. 
Paling tidak ajang ketemuan sama sepupu-sepupu, sambil piknik di kuburan, 
bertukar kabar berita. Soalnya kalau enggak cengbengan, susah set waktu untuk 
ketemuan bareng, masing masing punya sibuk sendiri. Begitu cengbeng aje, baru 
deh pada rela luangin waktu kumpul kumpul. 

Hal nya kuburan gede-gede yang harganya lebih mahal dari rumah gue, 
Gue bilang sih, kalau sanggup bayar, kenapa tidak?? hehehehe. 
Jadi gue pro kuburan mewah. Hayo, siapa yang kontra, ngomong lagi donk. 
Hehehehe.....


--- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, "ChanCT" <sa...@...> wrote:
>
> Betul, kang Sur. Hendaknya Tenglang dimanapun dia berada bisa perhatikan, 
> untuk hormati dan tunjukkan kasih-sayang pada orang-tua terutama ketika masih 
> hidup, bukan bikin kuburan semegah-mewahnya. Udah itu tidak pernah 
> dipikirkan, untuk merawat dengan biaya segitu besarnya, bisa bertahan sampai 
> berapa turunan, . Untuk apa harus begitu. Belon lagi mempertimbangkan, masih 
> jutaan rakyat sekeliling yang belum punya rumah memadai unjtuk hidup layak 
> sebagai manusia, kenapa harus bikin kuburan untuk orang udah mati sampai 
> nelan entah berapa M, apa nggak gila????
> 
> Betul juga, saya perhatikan kuburan di HK yang konglomerat, seperti istri Lee 
> Ka-sing juga tidak besar sekitar 3 m2 dan untuk lihat kemewahannya mungkin 
> dari kwalitas batu marmernya saja, ya. Saya tidak mengerti. Tapi yang pasti, 
> sudah tidak ada itu model kuburan sebesar rumah istana. Bahakn sebaliknya, 
> karena sudah umum orang meninggal di-bakar, saya lihat penempatan abu yang 
> hanya kotak-kotak 4 persegi, seperti tegel-tembok di rumah per-abuan, atau 
> apa sebutannya dalam bhs. Indodnesia-nya itu? Jadi sudah lebih praktis, 
> keluarga hanya membeli kotak itu atau menyewa untuk sekian tahun, yang 
> dibawah malah lebih mahal dari yang diatas susun lebih 20 kotak itu. Jadi 
> sudah tidak ada penggunaan tanah untuk kuburan lagi, itu lah arus 
> perkembangan yang saya perhatikan di HK. Bahkan sudah dianjurkan abu tidak 
> lagi disimpan, tapi ditebar ke pegunungan atau di laut lepas, ... pemikiran 
> ini lebih bagus lagi dan satu penghematan luar biasa. Dan yang pasti, tidak 
> bikin repot anak-cucu untuk ngurusin kuburan lagi.
> 
> Tapi yah, bagaimanapun juga kita tidak bisa melawan tradisi yang udah 
> berlangsung ribuan tahun. Di TIongkok daratan, Pemerintah juga tidak hendak 
> gunakan kekerasan paksaan untuk menghilangkan kuburan. Dorongan agar orang 
> meninggal di bakar, sebagai proses yang lebih murah dan sehat, semula kurang 
> mau diikuti. Bagaimanapun rakyat lebih suka jenasah dikubur dalam tanah. 
> Lalu, diambil cara jalan tengah, setelah dibakar, kotak-abu dikuburkan dalam 
> tanah. Jadi kuburannya juga cukup lebih kecil saja, barangkali nggak ada 1/2 
> m2. 
> 
> Salam,
> ChanCT
> 
>   ----- Original Message ----- 
>   From: gsuryana 
>   To: budaya_tionghua@yahoogroups.com 
>   Sent: Wednesday, March 25, 2009 6:42 PM
>   Subject: Re: [budaya_tionghua] Re: Chengbeng hari ziarah
> 
> 
>   Aku tidak melarang Tenglang memiliki kuburan, yang aku tentang jangan 
> mentang mentang punya duit segudang bikin kuburan segede gede nya, emang 
> tanah di Jawa mau dijadikan kebun bangke ?
>   Aku sudah tulis diawal, bahwa Gunung Gadung asalnya 15 Ha, dalam kurun 6 
> tahun jadi 100 Ha, sekarang sudah sumpek, sedang kota Bogor sendiri terus 
> berkembang dengan banyak pendatang, akibatnya ntu kuburan lama lama ada 
> didalam kota, akibatnya mau tidak mau kena gusur seperti Kebun Nanas di 
> Jakarta.
>   Adat istiadat maupun budaya ritualnya tidak mengharuskan memakai kuburan 
> gede gede, di Hongkong, Jepang, Singapore tidak ada kuburan gede gede.
>   Peraturan Pemerintah untuk lahan pemakaman sudah ada luasnya tidak lebih 
> dari 3 M?, dan tersusun rapi sehingga ketika ziarah pun tidak tumpang tindih, 
> lha kuburan Tenglang dengan alasan hongsui bisa mencang mencong gak puguh 
> tergantung kontur tanah dan keinginan keluarga.
>   Yang jelas image kaya miskin semakin terlihat jelas, disisi lain tenglang 
> paling suka ber teriak diskriminasi en so on, disisi lain tanpa ada rasa 
> empati memakai tanah untuk dijadikan kebun bangke siapa yang beradab ?
> 
>   Mohon jangan bandingkan dengan kuburan keluarga, kuburan keluarga tanahnya 
> bersertifikat hak milik, sedang pemakaman umum status tanahnya HGU, hal ini 
> harus dijadikan bahan pertimbangan.
>   Jangan nanti kejadian terkena penggusuran morang maring melanggar ini dan 
> itu, padahal sejak awal sudah salah kaprah.
>   Silahkan baca dengan teliti surat surat tanah bagi yang memiliki kuburan, 
> apakah status tanahnya sertifikat hak milik, apa bukan.
> 
>   Di RRT sendiri umumnya kuburan keluarga, sedang begitu masuk kekota besar 
> maka bukan lagi kuburan keluarga melainkan Tempat Pemakaman Umum, yang 
> artinya tanah tersebut 'setiap saat' bisa berubah peruntukannya, jadi mengapa 
> harus gede gede dan petantang petenteng banyak doku, emang bangga dimana 
> memamerkan kekayaan ke sekeliling kampung yang dilewati ?, dan bagian ada 
> 'rusuh' morang maring gak puguh.
> 
>   sur.
>     ----- Original Message ----- 
>     From: agoeng_...@... 
> 
> 
>     Sorry om, anda selalu sebut kuburan ribuan hektar mlulu, di kampung g ada 
> konglo yg beli 1 gunung buat kuburan, itu buat dia dan keluarga yg bisa sampe 
> belasan n puluhan kuburan. Dan klo kuburan keluarga sampe ribuan hektar jg 
> ceng li aja kayaknya, apalagi klo anggota keluarganya banyak dan apalagi klo 
> mereka masih ikut adat lama, ga mungkin bikin 1 lubang buat disusun timpa 10 
> mayat. So masalahnya dimana yah? Urusan kematian dan kuburan itu adalah hal 
> yg susah buat diajak kompromi dlm adat tenglang, suruh tenglang ga boleh 
> bangun kuburan buat ortu or leluhurnya pa lagi yg berduit itu mah sama aja 
> kayak suruh org muslim kremasi mayat. Sesuatu yg agak susah dilaksanakan. Jgn 
> kan ortu or leluhur yg sama2 diindo, yayasan rumah abu keluarga g aja 
> beberapa taon yg lalu sengaja pulang ke kampung leluhur buat perbaiki dan 
> bangun kuburan leluhur disono, apalagi cuma disini. 
> 
> 
> ----------------------------------------------------------------------------
> 
> 
> 
> 
>   
> 
> 
> ------------------------------------------------------------------------------
> 
> 
> 
>   Internal Virus Database is out of date.
>   Checked by AVG - http://www.avg.com 
>   Version: 8.0.176 / Virus Database: 270.11.23/2016 - Release Date: 2009/3/21 
> ¤U¤È 05:58
>


Kirim email ke