Kelihatannya dua kutub antara pendukung dan penolak PLTN sulit sekali mencapai 
suatu sikap akhir yang sama. Ini hal yang wajar wajar saja.

  Namun adalah tidak wajar, jika opini para pendukung PLTN yang kebetulan 
sejalan dengan opini pemerintah, dilaksanakan tanpa memperhatikan aspirasi 
rakyat sendiri. Pernyataan Menristek bahwa PLTN dibangun dulu dan masyarakat 
akan menyesuaikan diri adalah pernyataan yang sangat arogan, seolah solah 
rakyat hanyalah bebek yang harus ngikut kebijakan yang diambil pemerintah.

  Sejak tahun 1996, bersama beberapa teman kami sudah mengusulkan agar 
dilakukan debat terbuka berseri soal ini dan disiarkan secara luas kepada 
publik. Setelah itu biarkan publik yang memilih dengan melakukan referendum. 
Referendum untuk masyarakat di lokasi rekator dan lokasi pembuangan limbah 
adalah mutlak.

  Sosialisasi yang dilakukan saat ini adalah indoktrinasi karena berlangsung 
satu arah. Sosialisasi yang baik adalah berupa debat berimbang antara pihak 
pihak yang menguasai soal dan kemudian masyarakat yang diberi hak untuk 
menentukan pilihannya.

  Saya menyerukan (sekaligus menantang)  tim sosialisasi dari Menristek maupun 
Batan untuk melakukan hal ini. Kita bisa gunakan Metro TV dan TVRI untuk itu. 
Salus Populi Suprema Lex et Vox Populi Vox Dei.

  Salam, Irry.



rudyanto_nebeng <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
          Rekan-Rekan FPK,

Alangkah indahnya dunia kalau kita cuma bisa bicara masalah KETAHANAN
ENERGI, lupakan yang lain. Realitanya tidak demikian, Indonesia masih
butuh DUIT untuk membiayai APBN. Kalau gas dan batubara kita simpan
saja di dalam bumi hanya untuk simpanan masa depan, bagaimana caranya
anggaran pendidikan dinaikkan 20%? Ngutang?

Meskipun gas diekspor ke luar negri, keseimbangan neraca gas domestik
dan ekspor akan diperbesar dari posisi 42:58 saat ini menjadi 50:50.
Berita lengkapnya bisa dilihat di:
http://www.fiskal.depkeu.go.id/bapekki/klip/detailklip.asp?
klipID=N601436689

Mengenai Vatenfall, coba lihat dulu kutipan berikut:

"In the interest of protecting the climate, it is desirable that
politicians return to more realism. At the same time, energy
companies -- Vattenfall first and foremost -- have to commit
themselves to the greatest possible transparency and safety in order
to dispel doubts about the technology. Otherwise, incidents like
those in Krümmel and Brunsbüttel threaten to become a much bigger
problem -- for the cause of climate protection."
Berita lengkapnya bisa dilihat di:
http://www.spiegel.de/international/germany/0,1518,493551,00.html

REALITA bung, jangan terus menerus bertanya KAPAN? KAPAN KAWIN? Sudah
hapal kan jawabannya :)

Best Regards,
Rudyanto

Kirim email ke