setuju.. paling tidak membuntut sang uswah hasanah Pada 2 Juli 2010 11:03, Iqbal <kaizen...@yahoo.com> menulis:
> > > Terimakasih sharingnya om sirjon, saya pikir ini bisa jadi kesimpulan > diskusi kita. Daripada kita menciptakan ritual2 baru yang belum tentu > diterima Allah lebih baik kita menghidupkan kembali sunnah2 yang hampir > punah spt shalat qabliyah magrib, shalat dhuha, shalat gerhana, tadarus > alquran dll.. > > Iqbal > > Sent from my iPhone > > On Jul 2, 2010, at 11:45 AM, Sirjon Busalo <sirjon.bus...@gmail.com> > wrote: > > > > dari ta'lim tetangga > > > bismillah.. > > **PENGERTIAN BID’AH** > > **[Definisi Secara Bahasa]** > > Bid’ah secara bahasa berarti membuat sesuatu tanpa ada contoh sebelumnya. > (Lihat > *Al Mu’jam Al Wasith*, 1/91, *Majma’ Al Lugoh Al ‘Arobiyah*-Asy Syamilah) > > **[Definisi Secara Istilah]** > > Definisi bid’ah secara istilah yang paling bagus adalah definisi yang > dikemukakan > oleh Al Imam Asy Syatibi dalam *Al I’tishom*. Beliau mengatakan bahwa > bid’ah adalah: *Suatu istilah untuk suatu jalan dalam agama yang > dibuat-buat (tanpa ada dalil, pen) yang menyerupai syari’at (ajaran > Islam), yang dimaksudkan ketika menempuhnya adalah untuk berlebih-lebihan > dalam beribadah kepada Allah Ta’ala.* > > Definisi yang tidak kalah bagusnya adalah dari Syaikhul Islam Ibnu > Taimiyah. Beliau *rahimahullah* mengatakan, “Bid’ah adalah i’tiqod > (keyakinan) dan ibadah yang menyelishi Al Kitab dan As Sunnah atau ijma’ > (kesepakatan) salaf.” (*Majmu’ Al Fatawa*, 18/346, Asy Syamilah) > > Ringkasnya pengertian bid’ah secara istilah adalah suatu hal yang baru > dalam masalah agama setelah agama tersebut sempurna. (Hal ini sebagaimana > dikatakan > oleh Al Fairuz Abadiy dalam *Basho’iru Dzawit Tamyiz*, 2/231, yang dinukil > dari *Ilmu Ushul Bida’*, hal. 26, Dar Ar Royah) > > ** **[1] Mobil, HP dan Komputer termasuk** Bid’ah?** > > Setelah kita mengetahui definisi bid’ah dan mengetahui bahwa setiap bid’ah > adalah > tercela dan amalannya tertolak, masih ada suatu kerancuan di tengah-tengah > masyarakat bahwa berbagai kemajuan teknologi saat ini seperti mobil, > komputer, HP dan pesawat dianggap sebagai bid’ah yang tercela. Di antara > mereka mengatakan, *“Kalau memang bid’ah itu terlarang, kita seharusnya > memakai unta saja sebagaimana di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa > sallam”.* > > Menurut kami, perkataan ini muncul karena tidak memahami bid’ah dengan > benar. Perlu sekali ditegaskan bahwa yang dimaksudkan dengan bid’ah yang > tercela sehingga membuat amalannya tertolak adalah *bid’ah dalam agama* > dan bukanlah perkara baru dalam urusan dunia yang tidak ada contoh > sebelumnya seperti komputer dan pesawat. > > Suatu kaedah yang perlu diketahui bahwa untuk perkara non ibadah (’adat), > hukum > asalnya adalah tidak terlarang (mubah) sampai terdapat larangan. Hal inilah > yang dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (sebagaimana dalam > *Iqtidho’ Shirotil Mustaqim*, 2/86) dan ulama lainnya. > > Asy Syatibi juga mengatakan, “Perkara non ibadah (’adat) yang murni tidak ada > unsur ibadah, maka dia bukanlah bid’ah. Namun jika perkara non ibadah > tersebut > dijadikan ibadah atau diposisikan sebagai ibadah, maka dia bisa termasuk > dalam bid’ah.” (*Al I’tishom*, 1/348) Para pembaca dapat memperhatikan > bahwa tatkala para sahabat ingin melakukan penyerbukan silang pada kurma > –yang merupakan perkara duniawi-, Nabi *shallallahu ‘alaihi wa sallam* > bersabda, *“Apabila itu adalah **perkara dunia** kalian, kalian tentu > lebih mengetahuinya. Namun, apabila itu adalah perkara agama kalian, > kembalikanlah padaku.”* (HR. Ahmad. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengomentari > bahwa sanad hadits ini hasan) > > *Kesimpulannya: Komputer, HP, pesawat, pabrik-pabrik kimia, berbagai macam > ** kendaraan, dan teknologi informasi yang berkembang pesat saat ini, itu > semua** adalah perkara yang dibolehkan dan tidak termasuk dalam bid’ah > yang tercela.** Kalau mau kita katakan bid’ah, itu hanyalah bid’ah secara > bahasa yaitu** perkara baru yang belum ada contoh sebelumnya.* > > **[2] Para Sahabat Pernah Melakukan Bid’ah dengan Mengumpulkan Al Qur’an** > > Ada sebagian kelompok dalam membela acara-acara bid’ahnya berdalil bahwa dulu > para sahabat -Abu Bakar, ‘Utsman bin ‘Affan, Zaid bin Tsabit- saja melakukan > bid’ah. Mereka mengumpulkan Al Qur’an dalam satu mushaf padahal Nabi > *shallallahu ‘alaihi wa sallam* tidak pernah melakukannya. Jika kita > mengatakan > bid’ah itu sesat, berarti para sahabatlah yang akan pertama kali masuk > neraka. Inilah sedikit kerancuan yang sengaja kami temukan di sebuah blog > di internet. > > Ingatlah bahwa bid’ah bukanlah hanya sesuatu yang tidak ada di masa Nabi > *shallallahu ‘alaihi wa sallam*. Bisa saja suatu amalan itu tidak ada di > masa Nabi *shallallahu ‘alaihi wa sallam* dan baru dilakukan setelah Nabi > *shallallahu ‘alaihi wa sallam* wafat, dan ini tidak termasuk bid’ah. > Perhatikanlah penjelasan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam *Majmu’ > Fatawa*-nya berikut. > > “Bid’ah dalam agama adalah sesuatu yang tidak disyari’atkan oleh Allah dan > Rasul-Nya > yang tidak diperintahkan dengan perintah wajib ataupun > *mustahab*(dianjurkan). Adapun jika sesuatu tersebut diperintahkan dengan > perintah wajib atau mustahab (dianjurkan) dan diketahui dengan dalil > syar’i maka hal tersebut merupakan perkara agama yang telah Allah > syari’atkan, … baik itu dilakukan di masa Nabi *shallallahu ‘alaihi wa > sallam* atau tidak. Segala sesuatu yang terjadi setelah masa beliau > shallallahu ‘alaihi wa sallam namun berdasarkan perintah dari beliau > *shallallahu ‘alaihi wa sallam* seperti membunuh orang yang murtad, > membunuh orang Khowarij, Persia, Turki dan Romawi, mengeluarkan Yahudi dan > Nashrani dari Jazirah Arab, dan semacamnya, itu termasuk sunnah beliau > *shallallahu ‘alaihi wa sallam*.” (*Majmu’ Fatawa*, 4/107-108, Mawqi’ Al > Islam-Asy Syamilah) *Pengumpulan Al Qur’an dalam satu mushaf ada dalilnya > dalam syari’at* karena Nabi *shallallahu ‘alaihi wa sallam* telah > memerintahkan untuk menulis Al Qur’an, namun penulisannya masih > terpisah-pisah. > > Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (*Iqtidho’ Shirotil Mustaqim*, 2/97) mengatakan, > “Sesuatu yang menghalangi untuk dikumpulkannya Al Qur’an adalah karena > pada saat itu wahyu masih terus turun. Allah masih bisa mengubah dan > menetapkan > sesuatu yang Dia kehendaki. Apabila tatkala itu Al Qur’an itu dikumpulkan > dalam satu mushaf, maka tentu saja akan menyulitkan karena adanya > perubahan setiap saat. Tatkala Al Qur’an dan syari’at telah paten setelah > wafatnya beliau *shallallahu ‘alaihi wa sallam*; begitu pula Al Qur’an > tidak terdapat lagi penambahan atau pengurangan; dan tidak ada lagi penambahan > kewajiban dan larangan, akhirnya kaum muslimin melaksanakan sunnah beliau > *shallallahu ‘alaihi wa sallam* berdasarkan tuntutan (anjuran)-nya. Oleh > karena itu, amalan mengumpulkan Al Qur’an termasuk sunnahnya. Jika ingin > disebut bid’ah, maka yang dimaksudkan adalah bid’ah secara bahasa (yaitu > tidak ada contoh sebelumnya, pen).” Perlu diketahui pula bahwa > mengumpulkan Al Qur’an dalam satu mushaf merupakan bagian dari maslahal > mursalah. Apa itu maslahal mursalah? Maslahal mursalah adalah sesuatu > yang didiamkan oleh syari’at, tidak ditentang dan tidak pula dinihilkan, > tidak pula memiliki nash (dalil tegas) yang semisal sehingga bisa > diqiyaskan. (*Taysir Ilmu Ushul Fiqh*, hal. 184, 186, Abdullah bin Yusuf > Al Judai’, Mu’assasah Ar Royyan). Contohnya adalah maslahat ketika > mengumpulkan Al Qur’an dalam rangka menjaga agama. Contoh lainnya adalah > penulisan dan pembukuan hadits. Semua ini tidak ada dalil dalil khusus > dari Nabi, namun hal ini terdapat suatu maslahat yang sangat besar untuk > menjaga agama. > > Ada suatu catatan penting yang harus diperhatikan berkaitan dengan maslahah > mursalah. > Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (*Iqtidho’ Shirotil Mustaqim*, 2/101-103) > mengatakan, “Setiap perkara yang faktor pendorong untuk melakukannya di > zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam itu ada dan mengandung suatu > maslahat, namun beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melakukannya, > maka ketahuilah bahwa perkara tersebut bukanlah maslahat. Namun, apabila > faktor tersebut baru muncul setelah beliau *shallallahu ‘alaihi wa sallam* > wafat dan hal itu bukanlah maksiat, maka perkara tersebut adalah > maslahat.” > > Contoh penerapan kaedah Syaikhul Islam di atas adalah adzan ketika shalat > ‘ied. > Apakah faktor pendorong untuk melakukan adzan pada zaman beliau > *shallallahu ‘alaihi wa sallam* ada? Jawabannya: Ada (yaitu beribadah > kepada Allah). Namun, hal ini tidak dilakukan oleh Nabi *shallallahu > ‘alaihi wa sallam*padahal ada faktor pendorong dan tidak ada penghalang. > Pada zaman beliau ketika melakukan shalat ‘ied tidak ada adzan maupun > iqomah. Oleh karena itu, adzan ketika itu adalah bid’ah dan > meninggalkannya adalah sunnah. Begitu pula hal ini kita terapkan pada > kasus mengumpulkan Al Qur’an. Adakah faktor penghalang tatkala itu? > Jawabannya: Ada. Karena pada saat itu wahyu masih terus turun dan masih > terjadi perubahan hukum. Jadi, sangat sulit Al Qur’an dikumpulkan ketika > itu karena adanya faktor penghalang ini. Namun, faktor penghalang ini > hilang setelah wafatnya Nabi *shallallahu ‘alaihi wa sallam* karena wahyu > dan hukum sudah sempurna dan paten. Jadi, mengumpulkan Al Qur’an pada saat > itu adalah suatu maslahat. > > Kaedah beliau ini dapat pula diterapkan untuk kasus-kasus lainnya semacam > perayaan > Maulid Nabi, yasinan, dan ritual lain yang telah membudaya di tengah umat > Islam. –Semoga Allah memberikan kita taufik agar memahami bid’ah dengan > benar. > > **[3] Yang Penting Kan Niatnya!** > > Ada pula sebagian orang yang beralasan ketika diberikan sanggahan terhadap > bid’ah > yang dia lakukan, *“Menurut saya, segala sesuatu itu kembali pada niatnya > masing-masing.”* > > Kami katakan bahwa amalan itu bisa diterima tidak hanya dengan niat yang > ikhlas, > namun juga harus sesuai dengan tuntunan Nabi *shallallahu ‘alaihi wa sallam*. > Hal ini telah kami jelaskan pada pembahasan awal di atas. Jadi, syarat > diterimanya > amal itu ada dua yaitu [1] niatnya harus ikhlas dan [2] harus sesuai > dengan tuntunan Nabi *shallallahu ‘alaihi wa sallam*. > > Oleh karena itu, amal seseorang tidak akan diterima tatkala dia > melaksanakan shalat shubuh empat raka’at walaupun niatnya betul-betul > ikhlas dan ingin mengharapkan ganjaran melimpah dari Allah dengan > banyaknya rukuk dan sujud. Di samping ikhlas, dia harus melakukan shalat > sesuai dengan tuntunan Nabi *shallallahu ‘alaihi wa sallam*. > > Al Fudhail bin ‘Iyadh tatkala berkata mengenai firman Allah, *“Supaya Dia > menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya.”*(QS. Al Mulk > [67] : 2), beliau mengatakan, “yaitu amalan yang paling ikhlas dan showab > (sesuai tuntunan Nabi *shallallahu ‘alaihi wa sallam*).” > > Lalu Al Fudhail berkata, “Apabila amal dilakukan dengan ikhlas namun > tidak sesuai ajaran Nabi *shallallahu ‘alaihi wa sallam*, amalan tersebut > tidak akan diterima. Begitu pula, apabila suatu amalan dilakukan mengikuti > ajaran beliau *shallallahu ‘alaihi wa sallam* namun tidak ikhlas, amalan > tersebut juga tidak akan diterima.” (*Jami’ul Ulum wal Hikam*, hal. 19) > > Sekelompok orang yang melakukan dzikir yang tidak ada tuntunannya dari Nabi > *shallallahu > ‘alaihi wa sallam*, mereka beralasan di hadapan Ibnu Mas’ud, *“Demi > Allah, wahai Abu ‘Abdurrahman (Ibnu Mas’ud), kami tidaklah menginginkan > selain kebaikan.”* > > Lihatlah orang-orang ini berniat baik, namun cara mereka beribadah tidak > sesuai > sunnah Nabi *shallallahu ‘alaihi wa sallam*. > > Ibnu Mas’ud menyanggah perkataan mereka sembari berkata, *“Betapa banyak > orang yang menginginkan kebaikan, namun tidak mendapatkannya.”* (HR. Ad > Darimi. Dikatakan oleh Husain Salim Asad bahwa sanad hadits ini jayid) > > > > -- Salam, Sirjon Busalo