Om Sirjon, pertanyaan li om ini kelak jawabannya akan menjebak saya. hehehe...




________________________________
Dari: Sirjon Busalo <sirjon.bus...@gmail.com>
Kepada: gorontalomaju2020@yahoogroups.com
Terkirim: Kam, 8 Juli, 2010 20:00:06
Judul: Re: [GM2020] MEMAHAMI BID'AH (Topik dilanjutkan)

  
hahahaha... syukran katsiran ya ustadz mansur..

jadi koreksi buat saya juga, artinya kembali ke kaidah fiqh ya ustad.. bahwa 
hukum awal segala sesuatu itu "boleh" hingga muncul aturan yang mengaturnya. .? 
begitu?

afwan ustad


Pada 4 Juli 2010 00:36, Mansur Martam <ibnulkhairaat@ yahoo.co. id> menulis:

  
>Yang Tercinta Om Iqbal, SWT, Sirjon.
>Saya sudah membaca tulisan yang di sharing oleh Om Sirjon. Tulisannya bagus 
>dan 
>mudah dipahami. Namun tulisan itu masih belum disempurnakan. Pertanyaan 
>Diakhir 
>tulisan itu justru mematahkan argumentasi diawal tulisan. Perhatikan petikan 
>tulisan itu;
>
>"Namun,yang dipermasalahkan adalah pengkhususan waktu, tatacara dan jenisnya. 
>Perlu kita tanyakan manakah dalil yang mengkhususkan pembacaan tahlil pada 
>hari 
>ke-3,7, dan 40setelah kematian. Juga manakah dalilyang menunjukkan harus 
>dibacasecara berjama’ah  dengan satu suara. Mana pula dalil yang menunjukkan 
>bahwa yang  harus dibaca adalah bacaan laa ilaha illallah, bukan bacaan 
>tasbih, 
>tahmid atau takbir. Dalam acara yasinan juga demikian. Kenapa yang dikhususkan 
>hanya surat Yasin, bukan surat Al Kahfi, As Sajdah atau yang lainnya?  Apa 
>memang yang teristimewa dalam Al Qur’an hanyalah surat Yasin bukan surat 
>lainnya? Lalu apa dalil yang mengharuskan baca surat Yasin setelah  kematian? 
>Perlu diketahui bahwa kebanyakan dalil yang menyebutkan keutamaan (fadhilah) 
>surat Yasin adalah dalil-dalil yang lemah bahkan sebagian  palsu.  *Jadi, yang 
>jadi persoalan  adalah bukan puasa, shalat, bacaan Al Qur’anmaupun bacaan 
>dzikir 
>yang ada. Akan tetapi, yang kami permasalahkan adalahpengkhususan waktu, 
>tempat, 
>tatacara, dan lain sebagainya. Manakah dalilyang menunjukkan hal ini?"
>
>Kalau jawabannya bahwa TIDAK ADA DALIL yang menyangkut hal-hal itu. Mana pula 
>DALIL YANG MELARANG hal-hal tersebut? Kalau jawabannya TIDAK ADA DALIL, maka 
>berarti 0-0 alias seri. Hehehe...   
>
>
>
>
>
________________________________
 Dari: Iqbal <kaizen...@yahoo. com>
>Kepada: "gorontalomaju2020@ yahoogroups. com" <gorontalomaju2020@ yahoogroups. 
>com>
>Terkirim: Jum, 2 Juli, 2010 11:03:40
>Judul: Re: [GM2020] Bls: Memahami Bid'ah (diganti topiknya)
>
>  
>Terimakasih sharingnya om sirjon, saya pikir ini bisa jadi kesimpulan diskusi 
>kita. Daripada kita menciptakan ritual2 baru yang belum tentu diterima Allah 
>lebih baik kita menghidupkan kembali sunnah2 yang hampir punah spt shalat 
>qabliyah magrib, shalat dhuha, shalat gerhana, tadarus alquran dll..
>
>
>Iqbal 
>
>Sent from my iPhone
>
>On Jul 2, 2010, at 11:45 AM, Sirjon Busalo <sirjon.busalo@ gmail.com> wrote:
>
>
>  
>>dari ta'lim tetangga
>>
>>
>>bismillah..
>>
>>
>>*PENGERTIAN BID’AH*
>>*[Definisi Secara Bahasa]*
>>Bid’ah secara bahasa berarti membuat sesuatu tanpa ada contoh 
>>sebelumnya.(Lihat 
>>*Al Mu’jam Al Wasith*, 1/91, *Majma’ Al Lugoh Al ‘Arobiyah*-AsySyamilah)
>>*[Definisi Secara Istilah]*
>>Definisi bid’ah secara istilah yang paling bagus adalah definisi 
>>yangdikemukakan 
>>oleh Al Imam Asy Syatibi dalam *Al I’tishom*. Beliau mengatakanbahwa bid’ah 
>>adalah:*Suatu istilah untuk suatu jalan dalam agama yang dibuat-buat (tanpa 
>>adadalil, pen) yang menyerupai syari’at (ajaran Islam), yang dimaksudkan 
>>ketikamenempuhnya adalah untuk berlebih-lebihan dalam beribadah kepada 
>>AllahTa’ala.*
>>Definisi yang tidak kalah bagusnya adalah dari Syaikhul Islam Ibnu 
>>Taimiyah.Beliau *rahimahullah* mengatakan, “Bid’ah adalah i’tiqod (keyakinan) 
>>dan ibadah yang menyelishi Al Kitab danAs Sunnah atau ijma’ (kesepakatan) 
>>salaf.” (*Majmu’ Al Fatawa*, 18/346, AsySyamilah)
>>Ringkasnya pengertian bid’ah secara istilah adalah suatu hal yang baru 
>>dalammasalah agama setelah agama tersebut sempurna. (Hal ini 
>>sebagaimanadikatakan oleh Al Fairuz Abadiy dalam *Basho’iru Dzawit Tamyiz*, 
>>2/231, yangdinukil dari *Ilmu Ushul Bida’*, hal. 26, Dar Ar Royah)
>>* **[1] Mobil, HP dan Komputer termasuk** Bid’ah?*
>>Setelah kita mengetahui definisi bid’ah dan mengetahui bahwa setiap 
>>bid’ahadalah 
>>tercela dan amalannya tertolak, masih ada suatu kerancuan ditengah-tengah 
>>masyarakat bahwa berbagai kemajuan teknologi saat ini sepertimobil, komputer, 
>>HP 
>>dan pesawat dianggap sebagai bid’ah yang tercela. Diantara mereka mengatakan, 
>>*“Kalau  memang bid’ah itu terlarang, kitaseharusnya memakai unta saja 
>>sebagaimana di zaman Nabi shallallahu ‘alaihiwa sallam”.*
>>Menurut kami, perkataan ini muncul karena tidak memahami bid’ah 
>>denganbenar.Perlu sekali ditegaskan bahwa yang dimaksudkan dengan bid’ah yang 
>>tercelasehingga membuat amalannya tertolak adalah *bid’ah dalam agama* dan 
>>bukanlahperkara baru dalam urusan dunia yang tidak ada contoh sebelumnya 
>>sepertikomputer dan pesawat.
>>Suatu kaedah yang perlu diketahui bahwa untuk perkara non ibadah 
>>(’adat),hukum 
>>asalnya adalah tidak terlarang (mubah) sampai terdapat larangan. Halinilah 
>>yang 
>>dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (sebagaimanadalam 
>>*Iqtidho’Shirotil 
>>Mustaqim*, 2/86) dan ulama lainnya.
>>Asy Syatibi juga mengatakan, “Perkara non ibadah (’adat) yang murni tidakada 
>>unsur ibadah, maka dia bukanlah bid’ah. Namun jika  perkara non 
>>ibadahtersebut 
>>dijadikan ibadah atau diposisikan sebagai ibadah, maka dia bisa termasuk 
>>dalam 
>>bid’ah.” (*Al I’tishom*, 1/348)Para pembaca dapat memperhatikan bahwa tatkala 
>>para sahabat ingin melakukanpenyerbukan silang pada kurma –yang merupakan 
>>perkara duniawi-, Nabi*shallallahu‘alaihi wa sallam* bersabda,  *“Apabila itu 
>>adalah **perkara dunia** kalian, kalian tentu lebihmengetahuinya. Namun, 
>>apabila 
>>itu adalah perkara agama kalian, kembalikanlahpadaku.”* (HR. Ahmad. Syaikh 
>>Syu’aib Al Arnauth mengomentari bahwa sanadhadits ini hasan)
>>Kesimpulannya: Komputer, HP, pesawat, pabrik-pabrik kimia, berbagai 
>>macamkendaraan, dan teknologi informasi yang berkembang pesat saat ini, itu 
>>semuaadalah perkara yang dibolehkan dan tidak termasuk dalam bid’ah yang 
>>tercela.Kalau mau kita katakan bid’ah, itu hanyalah bid’ah secara bahasa 
>>yaituperkara baru yang belum ada contoh sebelumnya.
>>*[2] Para Sahabat Pernah Melakukan Bid’ah dengan Mengumpulkan Al Qur’an*
>>Ada sebagian kelompok dalam membela acara-acara bid’ahnya berdalil bahwadulu 
>>para sahabat -Abu Bakar, ‘Utsman bin ‘Affan, Zaid bin Tsabit- sajamelakukan 
>>bid’ah. Mereka mengumpulkan Al Qur’an dalam satu mushaf padahalNabi 
>>*shallallahu 
>>‘alaihi wa sallam* tidak pernah melakukannya. Jika kitamengatakan bid’ah itu 
>>sesat, berarti para sahabatlah yang akan pertama kalimasuk neraka. Inilah 
>>sedikit kerancuan yang sengaja kami temukan di sebuahblog di internet.
>>Ingatlah bahwa bid’ah bukanlah hanya sesuatu yang tidak ada di masaNabi 
>>*shallallahu‘alaihi wa sallam*. Bisa saja suatu amalan itu tidak ada di masa 
>>Nabi*shallallahu‘alaihi wa sallam* dan baru dilakukan setelah Nabi 
>>*shallallahu 
>>‘alaihi wasallam* wafat, dan ini tidak termasuk bid’ah. Perhatikanlah 
>>penjelasanSyaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam *Majmu’ Fatawa*-nya berikut.
>>“Bid’ah dalam agama adalah sesuatu yang tidak disyari’atkan oleh Allah 
>>danRasul-Nya yang tidak diperintahkan dengan perintah wajib 
>>ataupun*mustahab*(dianjurk an).Adapun jika sesuatu tersebut diperintahkan 
>>dengan 
>>perintah wajib ataumustahab (dianjurkan) dan diketahui dengan dalil syar’i 
>>maka 
>>hal tersebutmerupakan perkara agama yang telah Allah syari’atkan, … baik itu 
>>dilakukandi masa Nabi *shallallahu ‘alaihi wa sallam* atau tidak. Segala 
>>sesuatu 
>>yangterjadi setelah masa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam namun 
>>berdasarkanperintah dari beliau *shallallahu ‘alaihi wa sallam* seperti 
>>membunuh 
>>orangyang murtad, membunuh orang Khowarij, Persia, Turki dan Romawi, 
>>mengeluarkanYahudi dan Nashrani dari Jazirah Arab, dan semacamnya, itu 
>>termasuk 
>>sunnahbeliau *shallallahu ‘alaihi wa sallam*.” (*Majmu’ Fatawa*, 4/107-108, 
>>Mawqi’Al Islam-Asy Syamilah)*Pengumpulan Al Qur’an dalam satu mushaf ada 
>>dalilnya dalam syari’at* karenaNabi *shallallahu ‘alaihi wa sallam* telah 
>>memerintahkan untuk menulis AlQur’an, namun penulisannya masih terpisah-pisah.
>>Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (*Iqtidho’ Shirotil Mustaqim*, 2/97)mengatakan, 
>>“Sesuatu yang menghalangi untuk dikumpulkannya Al Qur’an adalahkarena pada 
>>saat 
>>itu wahyu masih terus turun. Allah masih bisa mengubah danmenetapkan sesuatu 
>>yang Dia kehendaki. Apabila tatkala itu Al Qur’an itudikumpulkan dalam satu 
>>mushaf, maka tentu saja akan menyulitkan karenaadanya perubahan setiap saat. 
>>Tatkala Al Qur’an dan syari’at telah patensetelah wafatnya beliau 
>>*shallallahu 
>>‘alaihi wa sallam*; begitu pula AlQur’an tidak terdapat lagi penambahan atau 
>>pengurangan; dan tidak ada lagipenambahan kewajiban dan larangan, akhirnya 
>>kaum 
>>muslimin melaksanakansunnah beliau *shallallahu ‘alaihi wa sallam* 
>>berdasarkan 
>>tuntutan(anjuran)-nya. Oleh karena itu, amalan mengumpulkan Al Qur’an 
>>termasuksunnahnya. Jika ingin disebut bid’ah, maka yang dimaksudkan adalah 
>>bid’ahsecara bahasa (yaitu tidak ada contoh sebelumnya, pen).”  Perlu 
>>diketahui 
>>pula bahwa mengumpulkan Al Qur’an dalam satu mushafmerupakan bagian dari 
>>maslahal mursalah. Apa itu maslahal mursalah?  Maslahal mursalah adalah 
>>sesuatu 
>>yang didiamkan oleh syari’at, tidakditentang dan tidak pula dinihilkan, tidak 
>>pula memiliki nash (dalil tegas)yang semisal sehingga bisa diqiyaskan. 
>>(*Taysir 
>>Ilmu Ushul Fiqh*, hal. 184,186, Abdullah bin Yusuf Al Judai’, Mu’assasah Ar 
>>Royyan). Contohnya adalahmaslahat ketika mengumpulkan Al Qur’an dalam rangka 
>>menjaga agama. Contohlainnya adalah penulisan dan pembukuan hadits. Semua ini 
>>tidak ada dalildalil khusus dari Nabi, namun hal ini terdapat suatu maslahat 
>>yang sangatbesar untuk menjaga agama.
>>Ada suatu catatan penting yang harus diperhatikan berkaitan dengan 
>>maslahahmursalah. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (*Iqtidho’ Shirotil 
>>Mustaqim*,2/101-103) mengatakan, “Setiap perkara yang faktor pendorong 
>>untukmelakukannya di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam itu ada 
>>danmengandung suatu maslahat, namun beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam 
>>tidakmelakukannya, maka ketahuilah bahwa perkara tersebut bukanlah 
>>maslahat.Namun, apabila faktor tersebut baru muncul setelah beliau 
>>*shallallahu‘alaihi wa sallam* wafat dan hal itu bukanlah maksiat, maka 
>>perkara 
>>tersebutadalah maslahat.”
>>Contoh penerapan kaedah Syaikhul Islam di atas adalah adzan ketika 
>>shalat‘ied. 
>>Apakah faktor pendorong untuk melakukan adzan pada zaman 
>>beliau*shallallahu‘alaihi wa sallam* ada? Jawabannya: Ada (yaitu beribadah 
>>kepada Allah).Namun, hal ini tidak dilakukan oleh Nabi *shallallahu ‘alaihi 
>>wasallam*padahal ada faktor pendorong dan tidak ada penghalang. Padazaman 
>>beliauketika melakukan shalat ‘ied tidak ada adzan maupun iqomah. Oleh karena 
>>itu,adzan ketika itu adalah bid’ah dan meninggalkannya adalah sunnah.Begitu 
>>pula 
>>hal ini kita terapkan pada kasus mengumpulkan Al Qur’an. Adakahfaktor 
>>penghalang 
>>tatkala itu? Jawabannya: Ada. Karena pada saat itu wahyumasih terus turun dan 
>>masih terjadi perubahan hukum. Jadi, sangat sulit AlQur’an dikumpulkan ketika 
>>itu karena adanya faktor penghalang ini. Namun,faktor penghalang ini hilang 
>>setelah wafatnya Nabi *shallallahu ‘alaihi wasallam* karena wahyu dan hukum 
>>sudah sempurna dan paten. Jadi, mengumpulkanAl Qur’an pada saat itu adalah 
>>suatu 
>>maslahat.
>>Kaedah beliau ini dapat pula diterapkan untuk kasus-kasus lainnya 
>>semacamperayaan Maulid Nabi, yasinan, dan ritual lain yang telah membudaya 
>>ditengah umat Islam. –Semoga Allah memberikan kita taufik agar memahami 
>>bid’ahdengan benar.
>>*[3] Yang Penting Kan Niatnya!*
>>Ada pula sebagian orang yang beralasan ketika diberikan sanggahan 
>>terhadapbid’ah 
>>yang dia lakukan, *“Menurut saya, segala sesuatu itu kembali padaniatnya 
>>masing-masing.” *
>>Kami katakan bahwa amalan itu bisa diterima tidak hanya dengan niat 
>>yangikhlas, 
>>namun juga harus sesuai dengan tuntunan Nabi *shallallahu ‘alaihi wasallam*. 
>>Hal 
>>ini telah kami jelaskan pada pembahasan awal di atas. Jadi, syaratditerimanya 
>>amal itu ada dua yaitu [1] niatnya harus ikhlas dan [2] harussesuai dengan 
>>tuntunan Nabi *shallallahu ‘alaihi wa sallam*.
>>Oleh karena itu, amal seseorang tidak akan diterima tatkala dia 
>>melaksanakanshalat shubuh empat raka’at walaupun niatnya betul-betul ikhlas 
>>dan 
>>inginmengharapkan ganjaran melimpah dari Allah dengan banyaknya rukuk dan 
>>sujud.Di samping ikhlas, dia harus melakukan shalat sesuai dengan 
>>tuntunanNabi 
>>*shallallahu‘alaihi wa sallam*.
>>Al Fudhail bin ‘Iyadh tatkala berkata mengenai firman Allah,  *“Supaya Dia 
>>menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baikamalnya.”*(QS. Al Mulk [67] 
>>: 
>>2), beliau mengatakan, “yaitu amalanyang paling ikhlasdan showab (sesuai 
>>tuntunan Nabi *shallallahu ‘alaihi wa sallam*).”
>>Lalu Al Fudhail berkata,  “Apabila amal dilakukan dengan ikhlas namun 
>>tidaksesuai ajaran Nabi *shallallahu ‘alaihi wa sallam*, amalan tersebut 
>>tidakakan diterima. Begitu pula, apabila suatu amalan dilakukan mengikuti 
>>ajaranbeliau *shallallahu ‘alaihi wa sallam* namun tidak ikhlas, amalan 
>>tersebutjuga tidak akan diterima.” (*Jami’ul Ulum wal Hikam*, hal. 19)
>>Sekelompok orang yang melakukan dzikir yang tidak ada tuntunannya dari 
>>Nabi*shallallahu ‘alaihi wa sallam*, mereka beralasan di hadapan Ibnu Mas’ud, 
>> 
>>*“Demi Allah, wahai Abu ‘Abdurrahman (Ibnu Mas’ud), kami tidaklahmenginginkan 
>>selain kebaikan.”*
>>Lihatlah orang-orang ini berniat baik, namun cara mereka beribadah 
>>tidaksesuai 
>>sunnah Nabi *shallallahu ‘alaihi wa sallam*.
>>Ibnu Mas’ud menyanggah perkataan mereka sembari berkata,*“Betapa banyak orang 
>>yang menginginkan kebaikan, namun tidakmendapatkannya.” * (HR. Ad Darimi. 
>>Dikatakan oleh Husain Salim Asad bahwasanad hadits ini jayid)

>


-- 
Salam,

Sirjon Busalo

 

Kirim email ke