hahahaha... syukran katsiran ya ustadz mansur..

jadi koreksi buat saya juga, artinya kembali ke kaidah fiqh ya ustad.. bahwa
hukum awal segala sesuatu itu "boleh" hingga muncul aturan yang
mengaturnya..? begitu?

afwan ustad

Pada 4 Juli 2010 00:36, Mansur Martam <ibnulkhair...@yahoo.co.id> menulis:

>
>
> Yang Tercinta Om Iqbal, SWT, Sirjon.
> Saya sudah membaca tulisan yang di sharing oleh Om Sirjon. Tulisannya bagus
> dan mudah dipahami. Namun tulisan itu masih belum disempurnakan. Pertanyaan
> Diakhir tulisan itu justru mematahkan argumentasi diawal tulisan. Perhatikan
> petikan tulisan itu;
>
> "*Namun,* yang dipermasalahkan adalah pengkhususan *waktu, tatacara dan
> jenisnya*. Perlu kita *tanyakan manakah dalil yang mengkhususkan pembacaan
> tahlil pada hari ke-3,** 7, dan 40* setelah kematian. Juga *manakah 
> dalil*yang menunjukkan
> *harus dibaca** secara berjama’ah dengan satu suara*. Mana pula dalil yang
> menunjukkan bahwa yang harus dibaca adalah bacaan laa ilaha illallah, bukan
> bacaan tasbih, tahmid atau takbir. Dalam acara yasinan juga demikian. Kenapa
> yang dikhususkan hanya surat Yasin, bukan surat Al Kahfi, As Sajdah atau
> yang lainnya? Apa memang yang teristimewa dalam Al Qur’an hanyalah surat
> Yasin bukan surat lainnya? Lalu apa dalil yang mengharuskan baca surat Yasin
> setelah kematian? Perlu diketahui bahwa kebanyakan dalil yang menyebutkan
> keutamaan (fadhilah) surat Yasin adalah dalil-dalil yang lemah bahkan
> sebagian palsu. *Jadi, *yang **jadi persoalan  adalah bukan puasa, shalat,
> bacaan Al Qur’an** maupun bacaan dzikir yang ada. Akan tetapi, yang kami
> permasalahkan adalah** pengkhususan waktu, tempat, tatacara, dan lain
> sebagainya. Manakah dalil** yang menunjukkan hal ini*?"
>
> Kalau jawabannya bahwa TIDAK ADA DALIL yang menyangkut hal-hal itu. Mana
> pula DALIL YANG MELARANG hal-hal tersebut? Kalau jawabannya TIDAK ADA DALIL,
> maka berarti 0-0 alias seri. Hehehe...
>
> ------------------------------
> *Dari:* Iqbal <kaizen...@yahoo.com>
> *Kepada:* "gorontalomaju2020@yahoogroups.com" <
> gorontalomaju2020@yahoogroups.com>
> *Terkirim:* Jum, 2 Juli, 2010 11:03:40
> *Judul:* Re: [GM2020] Bls: Memahami Bid'ah (diganti topiknya)
>
>
>
> Terimakasih sharingnya om sirjon, saya pikir ini bisa jadi kesimpulan
> diskusi kita. Daripada kita menciptakan ritual2 baru yang belum tentu
> diterima Allah lebih baik kita menghidupkan kembali sunnah2 yang hampir
> punah spt shalat qabliyah magrib, shalat dhuha, shalat gerhana, tadarus
> alquran dll..
>
> Iqbal
>
> Sent from my iPhone
>
> On Jul 2, 2010, at 11:45 AM, Sirjon Busalo <sirjon.busalo@ 
> gmail.com<sirjon.bus...@gmail.com>>
> wrote:
>
>
>
> dari ta'lim tetangga
>
>
> bismillah..
>
> **PENGERTIAN BID’AH**
>
> **[Definisi Secara Bahasa]**
>
> Bid’ah secara bahasa berarti membuat sesuatu tanpa ada contoh sebelumnya. 
> (Lihat
> *Al Mu’jam Al Wasith*, 1/91, *Majma’ Al Lugoh Al ‘Arobiyah*-Asy Syamilah)
>
> **[Definisi Secara Istilah]**
>
> Definisi bid’ah secara istilah yang paling bagus adalah definisi yang 
> dikemukakan
> oleh Al Imam Asy Syatibi dalam *Al I’tishom*. Beliau mengatakan bahwa
> bid’ah adalah: *Suatu istilah untuk suatu jalan dalam agama yang
> dibuat-buat (tanpa ada dalil, pen) yang menyerupai syari’at (ajaran
> Islam), yang dimaksudkan ketika menempuhnya adalah untuk berlebih-lebihan
> dalam beribadah kepada Allah Ta’ala.*
>
> Definisi yang tidak kalah bagusnya adalah dari Syaikhul Islam Ibnu
> Taimiyah. Beliau *rahimahullah* mengatakan, “Bid’ah adalah i’tiqod
> (keyakinan) dan ibadah yang menyelishi Al Kitab dan As Sunnah atau ijma’
> (kesepakatan) salaf.” (*Majmu’ Al Fatawa*, 18/346, Asy Syamilah)
>
> Ringkasnya pengertian bid’ah secara istilah adalah suatu hal yang baru
> dalam masalah agama setelah agama tersebut sempurna. (Hal ini sebagaimana 
> dikatakan
> oleh Al Fairuz Abadiy dalam *Basho’iru Dzawit Tamyiz*, 2/231, yang dinukil
> dari *Ilmu Ushul Bida’*, hal. 26, Dar Ar Royah)
>
> ** **[1] Mobil, HP dan Komputer termasuk** Bid’ah?**
>
> Setelah kita mengetahui definisi bid’ah dan mengetahui bahwa setiap bid’ah 
> adalah
> tercela dan amalannya tertolak, masih ada suatu kerancuan di tengah-tengah
> masyarakat bahwa berbagai kemajuan teknologi saat ini seperti mobil,
> komputer, HP dan pesawat dianggap sebagai bid’ah yang tercela. Di antara
> mereka mengatakan, *“Kalau  memang bid’ah itu terlarang, kita seharusnya
> memakai unta saja sebagaimana di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa
> sallam”.*
>
> Menurut kami, perkataan ini muncul karena tidak memahami bid’ah dengan
> benar. Perlu sekali ditegaskan bahwa yang dimaksudkan dengan bid’ah yang
> tercela sehingga membuat amalannya tertolak adalah *bid’ah dalam agama*
> dan bukanlah perkara baru dalam urusan dunia yang tidak ada contoh
> sebelumnya seperti komputer dan pesawat.
>
> Suatu kaedah yang perlu diketahui bahwa untuk perkara non ibadah (’adat), 
> hukum
> asalnya adalah tidak terlarang (mubah) sampai terdapat larangan. Hal inilah
> yang dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (sebagaimana dalam
> *Iqtidho’ Shirotil Mustaqim*, 2/86) dan ulama lainnya.
>
> Asy Syatibi juga mengatakan, “Perkara non ibadah (’adat) yang murni tidak ada
> unsur ibadah, maka dia bukanlah bid’ah. Namun jika  perkara non ibadah 
> tersebut
> dijadikan ibadah atau diposisikan sebagai ibadah, maka dia bisa termasuk
> dalam bid’ah.” (*Al I’tishom*, 1/348) Para pembaca dapat memperhatikan
> bahwa tatkala para sahabat ingin melakukan penyerbukan silang pada kurma
> –yang merupakan perkara duniawi-, Nabi *shallallahu ‘alaihi wa sallam*
> bersabda,  *“Apabila itu adalah **perkara dunia** kalian, kalian tentu
> lebih mengetahuinya. Namun, apabila itu adalah perkara agama kalian,
> kembalikanlah padaku.”* (HR. Ahmad. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengomentari
> bahwa sanad hadits ini hasan)
>
> *Kesimpulannya: Komputer, HP, pesawat, pabrik-pabrik kimia, berbagai macam
> ** kendaraan, dan teknologi informasi yang berkembang pesat saat ini, itu
> semua** adalah perkara yang dibolehkan dan tidak termasuk dalam bid’ah
> yang tercela.** Kalau mau kita katakan bid’ah, itu hanyalah bid’ah secara
> bahasa yaitu** perkara baru yang belum ada contoh sebelumnya.*
>
> **[2] Para Sahabat Pernah Melakukan Bid’ah dengan Mengumpulkan Al Qur’an**
>
> Ada sebagian kelompok dalam membela acara-acara bid’ahnya berdalil bahwa dulu
> para sahabat -Abu Bakar, ‘Utsman bin ‘Affan, Zaid bin Tsabit- saja melakukan
> bid’ah. Mereka mengumpulkan Al Qur’an dalam satu mushaf padahal Nabi
> *shallallahu ‘alaihi wa sallam* tidak pernah melakukannya. Jika kita 
> mengatakan
> bid’ah itu sesat, berarti para sahabatlah yang akan pertama kali masuk
> neraka. Inilah sedikit kerancuan yang sengaja kami temukan di sebuah blog
> di internet.
>
> Ingatlah bahwa bid’ah bukanlah hanya sesuatu yang tidak ada di masa Nabi
> *shallallahu ‘alaihi wa sallam*. Bisa saja suatu amalan itu tidak ada di
> masa Nabi *shallallahu ‘alaihi wa sallam* dan baru dilakukan setelah Nabi
> *shallallahu ‘alaihi wa sallam* wafat, dan ini tidak termasuk bid’ah.
> Perhatikanlah penjelasan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam *Majmu’
> Fatawa*-nya berikut.
>
> “Bid’ah dalam agama adalah sesuatu yang tidak disyari’atkan oleh Allah dan 
> Rasul-Nya
> yang tidak diperintahkan dengan perintah wajib ataupun *mustahab*(dianjurk
> an). Adapun jika sesuatu tersebut diperintahkan dengan perintah wajib atau 
> mustahab
> (dianjurkan) dan diketahui dengan dalil syar’i maka hal tersebut merupakan
> perkara agama yang telah Allah syari’atkan, … baik itu dilakukan di masa
> Nabi *shallallahu ‘alaihi wa sallam* atau tidak. Segala sesuatu yang terjadi
> setelah masa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam namun berdasarkan perintah
> dari beliau *shallallahu ‘alaihi wa sallam* seperti membunuh orang yang
> murtad, membunuh orang Khowarij, Persia, Turki dan Romawi, mengeluarkan Yahudi
> dan Nashrani dari Jazirah Arab, dan semacamnya, itu termasuk sunnah beliau
> *shallallahu ‘alaihi wa sallam*.” (*Majmu’ Fatawa*, 4/107-108, Mawqi’ Al
> Islam-Asy Syamilah) *Pengumpulan Al Qur’an dalam satu mushaf ada dalilnya
> dalam syari’at* karena Nabi *shallallahu ‘alaihi wa sallam* telah
> memerintahkan untuk menulis Al Qur’an, namun penulisannya masih
> terpisah-pisah.
>
> Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (*Iqtidho’ Shirotil Mustaqim*, 2/97) mengatakan,
> “Sesuatu yang menghalangi untuk dikumpulkannya Al Qur’an adalah karena
> pada saat itu wahyu masih terus turun. Allah masih bisa mengubah dan 
> menetapkan
> sesuatu yang Dia kehendaki. Apabila tatkala itu Al Qur’an itu dikumpulkan
> dalam satu mushaf, maka tentu saja akan menyulitkan karena adanya
> perubahan setiap saat. Tatkala Al Qur’an dan syari’at telah paten setelah
> wafatnya beliau *shallallahu ‘alaihi wa sallam*; begitu pula Al Qur’an
> tidak terdapat lagi penambahan atau pengurangan; dan tidak ada lagi penambahan
> kewajiban dan larangan, akhirnya kaum muslimin melaksanakan sunnah beliau
> *shallallahu ‘alaihi wa sallam* berdasarkan tuntutan (anjuran)-nya. Oleh
> karena itu, amalan mengumpulkan Al Qur’an termasuk sunnahnya. Jika ingin
> disebut bid’ah, maka yang dimaksudkan adalah bid’ah secara bahasa (yaitu
> tidak ada contoh sebelumnya, pen).”  Perlu diketahui pula bahwa
> mengumpulkan Al Qur’an dalam satu mushaf merupakan bagian dari maslahal
> mursalah. Apa itu maslahal mursalah?  Maslahal mursalah adalah sesuatu
> yang didiamkan oleh syari’at, tidak ditentang dan tidak pula dinihilkan,
> tidak pula memiliki nash (dalil tegas) yang semisal sehingga bisa
> diqiyaskan. (*Taysir Ilmu Ushul Fiqh*, hal. 184, 186, Abdullah bin Yusuf
> Al Judai’, Mu’assasah Ar Royyan). Contohnya adalah maslahat ketika
> mengumpulkan Al Qur’an dalam rangka menjaga agama. Contoh lainnya adalah
> penulisan dan pembukuan hadits. Semua ini tidak ada dalil dalil khusus
> dari Nabi, namun hal ini terdapat suatu maslahat yang sangat besar untuk
> menjaga agama.
>
> Ada suatu catatan penting yang harus diperhatikan berkaitan dengan maslahah 
> mursalah.
> Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (*Iqtidho’ Shirotil Mustaqim*, 2/101-103)
> mengatakan, “Setiap perkara yang faktor pendorong untuk melakukannya di
> zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam itu ada dan mengandung suatu
> maslahat, namun beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melakukannya,
> maka ketahuilah bahwa perkara tersebut bukanlah maslahat. Namun, apabila
> faktor tersebut baru muncul setelah beliau *shallallahu ‘alaihi wa sallam*
> wafat dan hal itu bukanlah maksiat, maka perkara tersebut adalah
> maslahat.”
>
> Contoh penerapan kaedah Syaikhul Islam di atas adalah adzan ketika shalat 
> ‘ied.
> Apakah faktor pendorong untuk melakukan adzan pada zaman beliau
> *shallallahu ‘alaihi wa sallam* ada? Jawabannya: Ada (yaitu beribadah
> kepada Allah). Namun, hal ini tidak dilakukan oleh Nabi *shallallahu
> ‘alaihi wa sallam*padahal ada faktor pendorong dan tidak ada penghalang.
> Pada zaman beliau ketika melakukan shalat ‘ied tidak ada adzan maupun
> iqomah. Oleh karena itu, adzan ketika itu adalah bid’ah dan
> meninggalkannya adalah sunnah. Begitu pula hal ini kita terapkan pada
> kasus mengumpulkan Al Qur’an. Adakah faktor penghalang tatkala itu?
> Jawabannya: Ada. Karena pada saat itu wahyu masih terus turun dan masih
> terjadi perubahan hukum. Jadi, sangat sulit Al Qur’an dikumpulkan ketika
> itu karena adanya faktor penghalang ini. Namun, faktor penghalang ini
> hilang setelah wafatnya Nabi *shallallahu ‘alaihi wa sallam* karena wahyu
> dan hukum sudah sempurna dan paten. Jadi, mengumpulkan Al Qur’an pada saat
> itu adalah suatu maslahat.
>
> Kaedah beliau ini dapat pula diterapkan untuk kasus-kasus lainnya semacam 
> perayaan
> Maulid Nabi, yasinan, dan ritual lain yang telah membudaya di tengah umat
> Islam. –Semoga Allah memberikan kita taufik agar memahami bid’ah dengan
> benar.
>
> **[3] Yang Penting Kan Niatnya!**
>
> Ada pula sebagian orang yang beralasan ketika diberikan sanggahan terhadap 
> bid’ah
> yang dia lakukan, *“Menurut saya, segala sesuatu itu kembali pada niatnya
> masing-masing.” *
>
> Kami katakan bahwa amalan itu bisa diterima tidak hanya dengan niat yang 
> ikhlas,
> namun juga harus sesuai dengan tuntunan Nabi *shallallahu ‘alaihi wa sallam*.
> Hal ini telah kami jelaskan pada pembahasan awal di atas. Jadi, syarat 
> diterimanya
> amal itu ada dua yaitu [1] niatnya harus ikhlas dan [2] harus sesuai
> dengan tuntunan Nabi *shallallahu ‘alaihi wa sallam*.
>
> Oleh karena itu, amal seseorang tidak akan diterima tatkala dia
> melaksanakan shalat shubuh empat raka’at walaupun niatnya betul-betul
> ikhlas dan ingin mengharapkan ganjaran melimpah dari Allah dengan
> banyaknya rukuk dan sujud. Di samping ikhlas, dia harus melakukan shalat
> sesuai dengan tuntunan Nabi *shallallahu ‘alaihi wa sallam*.
>
> Al Fudhail bin ‘Iyadh tatkala berkata mengenai firman Allah,  *“Supaya Dia
> menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya.”*(QS. Al Mulk
> [67] : 2), beliau mengatakan, “yaitu amalan yang paling ikhlas dan showab
> (sesuai tuntunan Nabi *shallallahu ‘alaihi wa sallam*).”
>
> Lalu Al Fudhail berkata,  “Apabila amal dilakukan dengan ikhlas namun
> tidak sesuai ajaran Nabi *shallallahu ‘alaihi wa sallam*, amalan tersebut
> tidak akan diterima. Begitu pula, apabila suatu amalan dilakukan mengikuti
> ajaran beliau *shallallahu ‘alaihi wa sallam* namun tidak ikhlas, amalan
> tersebut juga tidak akan diterima.” (*Jami’ul Ulum wal Hikam*, hal. 19)
>
> Sekelompok orang yang melakukan dzikir yang tidak ada tuntunannya dari Nabi 
> *shallallahu
> ‘alaihi wa sallam*, mereka beralasan di hadapan Ibnu Mas’ud,  *“Demi
> Allah, wahai Abu ‘Abdurrahman (Ibnu Mas’ud), kami tidaklah menginginkan
> selain kebaikan.”*
>
> Lihatlah orang-orang ini berniat baik, namun cara mereka beribadah tidak 
> sesuai
> sunnah Nabi *shallallahu ‘alaihi wa sallam*.
>
> Ibnu Mas’ud menyanggah perkataan mereka sembari berkata, *“Betapa banyak
> orang yang menginginkan kebaikan, namun tidak mendapatkannya.” * (HR. Ad
> Darimi. Dikatakan oleh Husain Salim Asad bahwa sanad hadits ini jayid)
>
>
>
>  
>



-- 
Salam,

Sirjon Busalo

Kirim email ke