> di sisi lain artikel itu juga justru menunjukkan bahwa komersialisasi > domain name bukan merupakan barang aneh sejak awalnya. bahkan internic > yg memonopoli, tujuannya juga memang komersial & resmi mendapatkan hak > eksklusif tersebut dr ICANN. maka bila IDNIC sedikit alergi terhadap > aktivitas bisnis tersebut, bisa dimaklumi sekaligus terasa agak aneh.
Pak Pataka, barangkali kondisi berbeda itu karena kondisi di Indonesia tidak sama dengan di AS, Internic mungkin sudah tersosialisasi di lingkungan gov AS dan masyarakat AS, sehingga sebagai penyedia domain pertama, internic diberi hak ekslusif oleh ICANN. Namun bagi TLD negara lain tampaknya ICANN memberi syarat yang lumayan berat dari sisi finansial seperti yang pernah dialami APJII dulu ketika berhubungan dengan APNIC begitu juga AIII-ITB pernah mengalami hal demikian (syarat finansial yang lumayan berat) ;-). Tetapi disisi komunitas dalam negeri, tampaknya kesulitan berhadapan dengan ICANN atau lembaga non profit internasional lainnya agak sulit dipahami bahkan cenderung lebih meningkat jumlah kebutuhan-kebutuhannya meski dengan "sedikit memahami kesulitan" teknis yang dihadapi penyedia jasa non profit tersebut. Barangkali memang dari dulu "serangan luar negeri" terhadap Indonesia selalu demikian, disisi lain Indonesia harus ikut perkembangan baru, teknologi baru, tapi disisi lain Indonesia juga harus "membayar" jasa mereka meski mereka tahu Indonesia juga mengutang kepada mereka :-). Padahal saya kira bila komunitas mau mengerti dan bersatu, misalnya cukup puas dengan TLD .id saja dalam kurun waktu tertentu, maka kekuatan komunitas tersebut bukan tidak mungkin malah akan menarik pihak asing untuk bekerja sama atau "membeli produk" dari Indonesia tersebut. Namun sayang tampaknya memang iklim internasional tidak menghendaki demikian, sehingga Indonesia harus tetap sebagai posisi "pembeli", meski di lingkungan akademis internasionalnya Indonesia dipuji bagus tetapi di lingkungan praktisinya Indonesia di "getak melulu" oleh kondisi internasional :-). ya ibarat anak kecil disekolah dipuji bisa loncat tinggi 2 m, tetapi di lingkungan bermainnya ketinggian loncatnya malah menjadikan kepalanya dijitak melulu oleh temen-temennya sehingga dia tetap melakukan loncat tinggi yang tidak tinggi. Begitulah nasib Indonesia yang disebabkan oleh cara pandang komunitas masyarakatnya dan itu dimanfaatkan oleh lingkungan internasional. > > menurut saya, pelarangan total komersialisasi bukanlah langkah yang > bijak, karena bagaimanapun nature bisnis melihat potensi di sana dan > itu jujur saja bisa memberi manfaat buat bangsa kita juga, minimal ya > pelaku bisnis internet. masalahnya tinggal bagaimana IDNIC mengatur & > merumuskan code of conduct, etika. Saya berharap meski ada mazhab dari beberapa region, Indonesia tidak dijadikan daerah rimba tak bertuan dalam hal ini, sebab bisa menimbulkan kekeruhan lagi seperti kasus wireless LAN yang pernah terjadi karena Indonesia memilih mazhab perlu ijin segala frekuensi radio :-). Mungkin sebaiknya code of conduct tersebut dibuat agar selain untuk kebaikan juga tidak memberikan efek seperti yang pernah terjadi pada kasus wireless LAN tsb. bila perlu parameter dari semua mazhab kita adopsi, dan parameter yang sifatnya tidak perlu longgar pada salah satu mazhab ya perlu kita ikuti juga, agar supaya masyarakat kita yang amat tergantung dengan kerjasama luar negeri itu tidak dikipasi oleh investor asing dan berseteru dengan sebangsanya sendiri (kasus wireless LAN sudah ada tendensi ke arah itu, untung kepala dingin masih dimiliki oleh pelakunya). Meskipun secara teknologi jelas perlu diimbangi compatibilitasnya satu sama lain :-). > > bila kita cermati lebih jauh artikel di atas, bahkan soal etika pun > (ketika pelanggarannya sudah dinilai merugikan pihak lain) dg elegan > diselesaikan melalui pengadilan. padahal di sini IDNIC masih tetap > menangani dispute semacam ini. maksud saya, mengapa kita / IDNIC tdk > mencontoh mekanisme hukum semacam itu saja ? manfaatnya sangat besar > bagi pendewasaan IDNIC, dunia hukum termasuk masyarakat / komunitas. > > less protections & problems here. benar, saya setuju pak, agar komunitas dewasa, proteksi perlu dikurangi agar mereka bisa memproteksi dirinya sendiri ;-). Tapi pada kasus minyak bumi, meski sudah diberi warna berbeda proteksi rakyat kecil tetap masih merupakan soal-soal yang tidak terjawab ;-). > pertanyaannya kemudian apakah tdk memungkinkan utk membentuk SLD baru > yg lebih 'komersial' ? bila ada kesulitan menuju ke arah sana, bukan > di-deny begitu saja jawabannya, tapi dicarikan way out. saya kira bila komunitas mau support atas kesulitan berurusan dengan ICANNnya maka kasus web.id tidak akan terulang ya pak ;-). > karena selera orang kini agaknya perlu tambahan domain dg rasa putihan > atau light (.soho.id, .biz.id, .radio.id, .mal.id dll) yg mungkin bisa > dikelola dg profesional, komersial, jadi prototipe konsep pt dns jaya. > yg memang light, liberal, komersial dg citarasa nano2. seperti netsol, > nantinya mereka berkewajiban mensupport domain2 klasik konvensional. memang domain demikian adalah kebutuhan para pebisnis, pebisnis membutuhkan nama unik agar pemasarannya bisa sukses sesuai dengan teori ilmu komunikasi. Tapi banyak juga pebisnis yang menumpang merk terkenal dengan membuat nama agak mirip, seperti merk radio samsonic menumpang nama sony :-). Tetapi hal demikian itu mungkin menimbulkan tuntutan infrastruktur IDNIC yang tidak sederhana, dan memang perlu kita dukung rencana IDNIC membuat satu kemudahan pelayan dengan billing on line termasuk network yang amannya dengan dunia perbankan agar billing on line bisa berjalan baik. Salam -marno- _______________________________________________ Idnic mailing list [EMAIL PROTECTED] http://www.idnic.net.id/cgi-bin/mailman/listinfo/idnic