Mbak Aris, 

Benar. Sayang Depdiknas kemarin kayaknya sedikit ngotot. Padahal sudah
diprotes banyak pihak. 

Sesungguhnya cara ini, mendasarkan kelulusan pada hasil UNAS, sekedar
konsekuensi dari desain sistem yang sudah ada. Sebab semua lulusan
sekolah menengah di Indonesia diorientasikan masuk perguruan tinggi.
Dan dengan dihapusnya UMPTN dengan SK Bersama rektor kemarin. Jadilah
UNAS sebagai ukuran segalanya. Kelulusan sekolah dan kelulusan
perguruan tinggi. 

Padahal di negara lain, tidak semua lulusan sekolah menengah
diorientasikan masuk perguruan tinggi. Sedikit membandingkan dengan
Australia, sekolah menengah mulai dari Year 7 - Year 12 (SMP Kls 1
-Sma Kls 3). Tapi seorang siswa bisa lulus hanya sekedar sampai year
10, dan sebatas lulus ujian lokal sekolahnya. Jadi hanya sebatas kelas
1 sma. Bila yang bersangkutan tidak ingin ke perguruan tinggi.
Biasanya mereka langsung ke dunia kerja melalui program
apprenticeship, atau melanjutkan ke akademi (TAFE).

Sedang bagi yang ingin ke perguruan tinggi harus melalui HSC (HIgh
Scholl Certificate) atau UNAS itu.  Dan hasil HSC ini bukan merupakan
kriteria tunggal kelulusan dari sekolah, karena hanya sekedar komponen
dari ujian dan penilaian lain yang dilakukan sekolah, walau tentu ada
standar tertentu. 

HSC sekedar kriteria masuk Universitas, yang patokan nilainya bahkan
bisa berbeda antar satu jurusan, misalnya kedokteran dan ekonomi walau
sama-sama Monash tapi nilai dan kriterianya bisa beda. HSC juga
menjadi kriteri untuk mendapat beasiswa (hutang) pemerintah - HECS,
yang harus dibayar (cicil) ulang ketika ybs kerja. Jadi bukan kriteria
tunggal, tapi menentukan. 

Kembali ke Indonesia, sekarang saya pikir Diknas mesti terbuka. Berapa
persen siswa yang tidak lulus, dan nilai rata-rata dari mereka yang
tidak lulus itu. Jadi kalau cuma karena satu mata pelajaran gagal,
sedang yang lain bagus tentu rata2nya cukup tinggi. 

Nanti kalau ternyata sangat tinggi, misal di atas cut-off 20 persen -
ini kriteria di monash, kalau dalam satu subject fail ratenya lebih 20
persen - maka seharusnya dipakai penilaian nilai rata-rata distribusi
normal, dan perlu ada re-evaluasi kelulusan. 

Dan pemerintah jangan takut merubah kebijakan kalau memang perlu.
Sebab kalau setinggi itu, maka yang gagal bukan hanya siswa, tapi juga
para pendidik, dan sistem pendidikan kita.

Salam, 


 --- In ppiindia@yahoogroups.com, aris solikhah <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
>
> Mas Ikhsan, 
>   Beberapa hal saya sependapat dengan Anda,bahwa ukuran lulusan
tidak ditentukan satu nilai saja. Nilai rata-rata UAN bisa sebagai
ukuran minimal ketika masuk ke perguruan tinggi. Sistem pendidikan
kita memang kurang bagus, namun demikian untuk hal-hal teknis kita
tidak tabu untuk mengambil dari Ausie.
>    
>    Lebih enaknya kalau standar kelulusan adalah nilai rata-rata,
kalau ini mau diambil, meski ini juga mengambil resiko juga. Seperti
sekarang sebuah SMA atau SMP mau mensyaratkan nilai minimal NEM atau
UAN bagi calon siswanya. saya lebih setuju pada  sistem UAN masa lalu
seperti masa saya dahulu. Terus terang saya jeblok di ujian UAN pada
nilai satu yakni fisika. Meski saya suka pelajaran itu. 
>    
>   Bolehkah saya berbagi cerita untuk Anda hari ini, tadi malam saya
berdiskusi dengan adek kelas mengenai nilai matematika UAN-nya dulu
yang jeblok. Dia masuk IPB tanpa tes, namun dulu nilai UAN
matematikanya 4.00. (kalau mengiktui sistem sekarang, beliau tidak
lulus kali). Satu-satunya nilai UAN yang jeblok. Uniknya beliau masuk
di Jurusan Matematika di IPB. Pada registrasi ulang, ada dosen yang
mencibir nilainya ini.
>    
>   Subhanallah sekali, jika sistem diterapkan pada masa kami, mungkin
beliau tidak bisa kuliah. Beliau sebenarnya ada cerdas. Adek kelas
saya tersebut kemudian lulus dari Jurusan Matematika FMIPA IPB dengan
predikat Cumlaude IPK 3,75 dan wisudawan lulus termuda 2005 kemarin.
Lulus tepat 3 tahun.  
>    
>   Dan kini beliau menjadi dosen muda Jurusan Matematika. Saya
berharap pemerintah memberikan kesempatan dan penghargaan bagi orang
yang telah berusaha keras selama tiga tahun untuk meraih prestasi
setinggi-tingginya. Menghargai proses bukan semata-mata hasil akhir.
wallahu'alambisahwab
>    
>   salam,
>   aris
>    
>   
> Mohamad Ikhsan <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
>   Mbak Aris sorry kalau copy and paste, ketimbang mengulang, berikut
> diskusi saya dengan teman-teman di milis Hanif Monash seputar UAN ini.
> Intinya, UAN Masih perlu, tapi sekedar sebagai komponen standar
> kelulusan, yang besarannya dan standar yang digunakan bisa berbeda
> antar daerah satu dengan yang lain. 
> 
> Salam, 
> 
> 
> -------
> From: Mbah Parto 
> 
> Mas Ikhsan,
> 
> Kalau diukur melalui alat ukur UAN, nilai seorang
> siswa jeblok. Kemudian mengakibatkan dia dinistakan
> untuk masuk jurusan yang dia suka, maka beberapa
> pertimbangan yang lain harus dilihat, apakah si anak
> benar2 berbakat di bidangnya:
> 
> 1. Harus dilihat prestasi siswa selama kelas 1 s.d. 3
> (minalm kelas 2 dan 3), apakah dia memang pandai di
> bidang tersebut? Sebutlah mata pelajaran matematika.
> Andaikata si anak memiliki skor rata2 9 pada mata
> pelajaran ini, apakah harus dikatakan bahwa si anak
> memang "bloon" di matematika, karena terbukti UAN aja
> jeblok.
> 
> 2. Apakah bisa dikatakan adil, andaikata nilai siswa
> di bawah 4.6 (standar lulus?) pada salah mata
> pelajaran yang diujikan (mat, bhs Indo, dan bhs
> Inggris), apakah kemudian kita harus menutup mata
> bahwa dia telah gagal. Meskipun nilai mata pelajaran
> yang lain sangat istimewa. Bagaimana mungkin sebuah
> angka jeblok bisa mematikan angka-angka istimewa yang
> lain?
> 
> 3. Agaknya ke depan harus dirumuskan model
> standarisasi yang bisa lebih manusiawi. Insya Allah
> pakar2 pendidikan di milis ini sangat berjibun.
> 
> Wass,
> mp
> 
> ------------------
> 
> From: M Ikhsan Modjo Mailed-By: gmail.com
> 
> Mas Parto,
> 
> Kalau itu sudahlain ceritanya. Saya juga kurang sreg yah kalau masalah
> kelulusan dikaitkan dengan nilai satu dua pelajaran. Tentu harus ada
> solusi lain. Misalnya bukan kelulusan sekolah, tapi sekedar kelulusan
> masuk perguruan tinggi. Seperti model anglo-saxon di Aussie ini dengan
> model hscnya.
> 
> Tapi kalau kemudian obyektifitas hasil UNAS per bidang dipersoalkan,
> ini yang saya kurang setuju. Terus dengan cara apa dikur kemampuan dan
> kompetensi siswa dalam bidang tertentu kalau bukan dengan ujian. Kalau
> ternyata sudah 3.5 matematika yah that's it. Itulah ukuran, yang
> menurut saya cukup obyektif kemampuan siswa itu di bidang matematika.
> No excuses. Masalah yang lainnya dapat tinggi, itu juga ukuran
> obyektif kemampuan siswa itu di bidang yang lain itu.
> 
> Salam 
> 
> ------------
> 
> From: Mbah Parto 
> 
> > Tapi kalau kemudian obyektifitas hasil UNAS per
> > bidang dipersoalkan, ini yang saya kurang setuju.
> Terus dengan cara apa dikur kemampuan dan
> > kompetensi siswa dalam bidang tertentu kalau bukan
> > dengan ujian. Kalau ternyata sudah 3.5 matematika
> yah that's it. Itulah ukuran, yang menurut
> > saya cukup obyektif kemampuan siswa itu di bidang
> > matematika. No excuses. Masalah yang lainnya dapat
> tinggi, itu juga ukuran obyektif kemampuan siswa
> > itu di bidang yang lain itu.
> 
> mp:
> 
> Mudah saja, yakni nilai UAN murni hendaknya
> ditiadakan. Pada awal 1980an kelulusan seorang siswa
> tidak hanya dibebankan kepada EBTANAS atau UAN. Nilai
> prestasi bisa dihitung dengan cara demikian:
> 
> 1. Nilai rata-rata raport dijadikan komponen dalam
> menghitung nilai prestasi siswa. Artinya nilai EBTANAS
> tidak bisa berdiri sendiri. Karena di sana ada
> pertimbangan antara ijasah sekolah dan sertifikat
> nilai kelulusan hasil EBTANAS. Sehingga alat ukur
> prestasi siswa tidak hanya nilai murni UAN semata.
> 
> 2. Ujian masuk sekolah menengah (mereka yang dr SD
> atau SMP) diadakan di tiap2 sekolah dengan model
> rayonisasi. Sehingga soal-soal ujian dirumuskan
> melalui MGBS (Musyawarah Guru Bidang Studi) per rayon.
> Hal ini meniscayakan adanya keragaman soal, namun
> masih mengacu pada standar komponen yang diujikan
> secara nasional. Begitupun bagi mereka yang berminat
> ke PT dan PTN akan menghadapi test masuk di masing2
> perguruan tinggi tersebut.
> 
> 3. UAN diadakan hanya untuk mengukur prestasi nasional
> saja. Bukan untuk menjustifikasi "jeblok"nya daerah
> tertentu. Karena secara demografis, teknis dan
> fasilitas, masing2 daerah tidak seragam. Belum lagi
> disparitas gaji guru antara Jakarta (yang minimal gaji
> guru 3,5 juta) dan daerah yang tentunya berpengaruh
> dalam "menggenjot" target perolehan skor UAN. Atau
> antara sekolah favorit dan sekolah kandang ayam.
> 
> Wass,
> mp
> 
> 
> ---------------
> 
> From: M Ikhsan Modjo 
> 
> Saya pikir usulan semangatnya mungkin bagus. Otonomi pendidikan. Tapi
> ada banyak implikasi menarik dan repot. Salah satunya kalau benar
> model otonomi yang diterapkan sama saja dengan mendesain kurikulum dan
> administrasi per daerah/ per sekolah.
> 
> Dan dari pelajaran otonomi selama ini, daerah nampaknya memang belum
> siap berotonomi.
> 
> Solusinya sebaiknya,
> 
> 1. Nilai UAN tetap jadi patokan kelulusan masuk perguruan tinggi,
> SMAN, atau SMPN. Serta menjadi salah satu komponen, bukan semuanya, 
> penilaian kelulusan. Jadi tidak perlu lagi ada UMPTN dsb. Kecuali
> tentu saja kalau ada kebijakan lain universitas.
> 
> 2. Standar kelulusan UAN atau presentase komponen silahkan ditentukan
> per daerah. Bisa memakai nilai keseluruhan atau nilai perkomponen.
> Misalnya, matematika didaerah A mungkin 4.7, tapi didaerah B sekedar
> 1,5 juga ngak apa-apa. 
> 
> 3. Standard ini tergantung kondisi dan situasi di daerah. Bisa diambil
> dari patokan sekarang 4.7 atau nilai rata-rata distribusi normal pada
> daerah/raton itu. Jadi kalau ternyata rata-ratanya jeblok, standar
> kelulusan juga harus diturunkan. Dengan cara ini bukan hanya siswa
> tapi para pendidik juga dinilai kemampuannya (layak naik gaji atau
> tidak...).
> 
> Salam,
> 
> --------------------
> Mbah Parto 
> to hanif-net
> 
> -I:
> > 1. Nilai UAN tetap jadi patokan kelulusan masuk
> > perguruan tinggi, SMAN, atau SMPN. Serta menjadi
> salah satu komponen, bukan semuanya, penilaian
> > kelulusan. Jadi tidak perlu lagi ada UMPTN dsb.
> > Kecuali tentu saja kalau ada kebijakan lain
> universitas.
> 
> mp:
> 
> Nah, kita punya titik temu sekarang. Skor UAN sebagai
> satu2nya patokan prestasi memang harus dihapus. Yang
> ada ia hanyalah salah satu komponen saja diantara
> komponen2 pendukung lainnya. UMPTN pun sebenarnya
> sudah dihapus oleh forum rektor melalui SPMB.
> 
> 
> :
> > 2. Standar kelulusan UAN atau presentase komponen
> > silahkan ditentukan per daerah. Bisa memakai nilai
> keseluruhan atau nilai perkomponen. Misalnya,
> > matematika didaerah A mungkin 4.7, tapi didaerah B
> > sekedar 1,5 juga ngak apa-apa.
> 
> mp:
> Jika demikian maka akan mempersulit kondisi. Karena
> bisa-bisa banyak daerah yang ingin status standar-nya
> diturunkan. Bukankah anak-anak pengungsi Aceh dan
> korban Gempa tidak dibedakan dalam standarisasi nilai
> ini? Hal ini disebabkan karena kakunya standar yang
> menafikan disparitas geografis, demografis,
> sosiologis, dan antropologis. Standarisasi secara
> nasional hanya sebatas validitas komponen evaluasi
> saja; bukan penskoran yang dipatok oleh pusat. Dalam
> hal validitas soal test, sudah ada alat ukurnya. Kalau
> toh masih harus dipatok, maka pemerintah hendaknya
> membuat median standar kelulusan dengan pertimbangan
> heterogenitas wilayah Indonesia.
> 
> 
> I
> > 3. Standard ini tergantung kondisi dan situasi di
> > daerah. Bisa diambil dari patokan sekarang 4.7 atau
> nilai rata-rata distribusi normal pada
> > daerah/raton itu. Jadi kalau ternyata rata-ratanya
> > jeblok, standar kelulusan juga harus diturunkan.
> Dengan cara ini bukan hanya siswa tapi para pendidik
> > juga dinilai kemampuannya (layak naik gaji atau
> > tidak...).
> 
> mp:
> 
> Bisa saja dengan cara demikian. Artinya masing2 daerah
> memiliki patokan kelulusannya sesuai dengan kondisi
> dan fakta distribusi normal. Namun yang lebih penting
> dari itu semua adalah konsep standar pendidikan
> nasional yang dipatok oleh BSPN; seyogyanya pemerintah
> juga harus concern dulu dengan prasyarat lapangan yang
> masih carut marut ini. Kondisi yang masih amburadul
> tentunya sulit untuk distandarkan secara nasional.
> Gelontorkan dulu dana 20% APBN tersebut, dan lihat
> hasilnya. Baru bicara standarisasi. Yang terjadi
> selama ini, para pembuat kebijakan di Diknas selalu
> saja membandingkan prestasi nasional anak-anak kita
> dengan prestasi negara maju dan negara tetangga yang
> lebih concern dengan dunia pendidikan, semisal
> Malaysia, Singapura, dan Vietnam. Atau lebih jauh lagi
> membandingkan indeks HRD kita dengan negara2 lain yang
> sudah duluan komit atas pemberdayaan masyarakatnya.
> Dus, invest saja di dunia pendidikan adalah yang
> termulia menuju Indonesia maju.
> 
> Wass,
> mp
> Bravo dunia pendidikan nasional!!!
> 
> ---------------------
> --- In ppiindia@yahoogroups.com, aris solikhah wrote:
> >
> > Mas Ikhsan, (nama Anda sama dengan nama adek saya) ^_^,
> > Menurut saya, Pertama, kalau World cup kalah, masih ada harapan
> di lomba lain, sedang ini adakah kesempatan kedua, ketiga, mengikuti
> kejar Paket C? Terakreditasikah? Diakuikah secara formal? Perlu uang
> lagi? World Cup ada pemain cadangan. Bagaimana kalau dia dalam kondisi
> kurang fit dalam mengerjakan soal? 
> > 
> > Ketika anak tidak lulus sekolah, secara psikologis dia kehilangan
> harga diri, kepercayaan diri, masa depan sekolah lebih tinggi dll.
> Belum lagi dia stress memikirkan masa depannya ditambah biaya mahal
> sekolah dan hidup. Padahal mungkin dia punya kelebihan lain, yang
> orang lain tidak memilikinya dan tak terukur dalam nilai-nilai
> akademis. Dia bisa putus asa dan bunuh diri. Akumulasi depresi sosial,
> seperti guliran bola salju menggelinding menuju hari tuanya..
> > http://www.kompas.co.id/utama/news/0606/21/122602.htm
> > 
> > 
> > 
> > Kedua, BIsa jadi dia anak pintar. Selama 3 tahun ini nilai dan
> prestasinya bagus, hanya waktu ujian UAN saja yang jelek karena
> mungkin motif soal dan cara mengerjakannya kurang familiar gimana? Itu
> yang pernah terjadi pada diri saya, meski hasilnya nggak buruk-buruk
> amat, tapi shock juga. Melihat soal ujian yang berubah motif dan
> bentuknya tiap tahun. Bahasa yang digunakan bahasa yang sulit dipahami
> mereka.
> > 
> > Ketiga, perubahan sistem pendidikan, membuat percetakan laku, adek
> kelas setiap tahun harus beli buku paket baru. Punya kakak kelas tidak
> berlaku lagi. Plus belajar di sekolah tak cukup, sekarang maraklah
> les privat dan bimbel. Dahulu hal demikian tidak ada bukan?. Sungguh
> memberatkan orangtua.
> > 
> > Keempat, tidak semua bidang studi diminati anak-anak, sedang
> mereka dipaksa mengikuti semua bidang studi tersebut. Saya kira
> pendidikan berbasis kompetensi dan minat anak lebih bagus. Alangkah
> baiknya bila pemerintah memetakan visi pembangunan dan negara,
> kemudian menginventarisasi kebutuhan SDM dalam bidang tertentu dan
> kemudian sekolah serta perguruan tinggi mengakomodir kebutuhan
> tersebut. Biar tidak ada yang sia-sia sekolah.
> > 
> > Kelima, masa depan anak bukan hanya ditentukan nilai akademis dan
> kelulusan sekolah yang bagus di sekolah atau tingkat jenjang
> pendidikan, terpenting adalah skill dan kompetensi di bidangnya.
> Biarlah anak mencintai pendidikan sesuai minat dan kompetensinya. 
> > 
> > Lulus sekolah semata-mata bukan untuk cari kerja atau materi dan
> mendapatkan nilai bagus, tapi memperoleh ilmu, pengalaman hidup, dan
> pematangan mental spiritual sebagai bekal di masa depan yang lebih
baik. 
> > 
> > Pendapat mas Muhamad Ikhsan sendiri mengenai sistem pendidikan di
> Indonesia , bolehkah saya tahu?
> > 
> > salam duka
> > 
> > 
> > wrote:
> > Mbak Aris kira-kira adil ngak orang tahunan latihan main bola (4 tahun
> > untuk world cup). Tapi kemudian 'tidak lulus' ke world cup dalam 2x45
> > menit?
> > 
> > Salam,
> > 
> > --- In ppiindia@yahoogroups.com, aris solikhah wrote:
> > >
> > > Satu kata, untuk sistem pendidikan Indonesia. Kejam. Manusia
> > dihargai karena hasil bukan proses. Kelulusan tiga tahun sekolah
> > ditentukan oleh beberapa jam ujian saja. Tidak adil. Apa sebenarnya
> > yang diinginkan pemerintah? Tiap tahun atau pergantian kabinet sistem
> > pendidikan diganti. Buku pelajaran mahal, biaya masuk sekolah mahal,
> > SPP mahal, biaya hidup mahal, lulus pun sulit. Mau dibawa kemana
> > generasi muda kita. Sebuah akumulasi depresi sosial. Pancasila kemana
> > kesaktianmu, saat ini kau dibutuhkan...revitalisasi Pancasila!? 
> > > 
> > > http://www.kompas.co.id/metro/news/0606/21/082032.htm
> > > 
> > > salam duka pendidikan Indonesia,
> > > 
> > > 
> > > 
> > > 
> > > The great job makes a great man
> > > pustaka tani 
> > > nuraulia
> > > 
> > > 
> > > ---------------------------------
> > > Ring'em or ping'em. Make PC-to-phone calls as low as 1ยข/min with
> > Yahoo! Messenger with Voice.
> > > 
> > > [Non-text portions of this message have been removed]
> > >
> > 
> > 
> > 
> > 
> > 
> > 
> > 
> > 
> >
>
***************************************************************************
> > Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju
> Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny.
> http://groups.yahoo.com/group/ppiindia
> >
>
***************************************************************************
> >
>
__________________________________________________________________________
> > Mohon Perhatian:
> > 
> > 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg
> otokritik)
> > 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
> > 3. Reading only, http://dear.to/ppi 
> > 4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
> > 5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
> > 6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
> > 
> > Yahoo! Groups Links
> > 
> > 
> > 
> > 
> > 
> > 
> > 
> > 
> > 
> > The great job makes a great man
> > pustaka tani 
> > nuraulia
> > 
> > __________________________________________________
> > Do You Yahoo!?
> > Tired of spam? Yahoo! Mail has the best spam protection around 
> > http://mail.yahoo.com 
> > 
> > [Non-text portions of this message have been removed]
> >
> 
> 
> 
> 
> 
> 
> 
> 
>
***************************************************************************
> Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju
Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny.
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia
>
***************************************************************************
>
__________________________________________________________________________
> Mohon Perhatian:
> 
> 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg
otokritik)
> 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
> 3. Reading only, http://dear.to/ppi 
> 4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
> 5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
> 6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
> 
> Yahoo! Groups Links
> 
> 
> 
> 
> 
> 
> 
> 
> 
> The great job makes a great man
>   pustaka tani 
>   nuraulia
> 
>               
> ---------------------------------
> Do you Yahoo!?
>  Get on board. You're invited to try the new Yahoo! Mail Beta.
> 
> [Non-text portions of this message have been removed]
>







------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Yahoo! Groups gets a make over. See the new email design.
http://us.click.yahoo.com/XISQkA/lOaOAA/yQLSAA/BRUplB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. 
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Reading only, http://dear.to/ppi 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke