Orang-orang Muda tentang Ahmadiyah

Saya tidak mengerti pemikiran anak-anak muda Islam sekarang yang
mengatakan bahwa Ahmadiyah sesat dan tidak berhak hidup di Indonesia.
Entah apa yang tidak berhak hidup, ajarannnya atau orangnya. Sejak
dulu sekali sebelum orang-orang muda Islam ini lahir, Ahmadiyah telah
ada di Indonesia. Mungkin usia Ahmadiyah sama dengan kakek-nenek
mereka. Apakah orang-orang muda Islam benar-benar mengerti tentang
Ahmadiyah atau hanya ikut-ikutan berpendapat begitu karena khawatir
bila tidak menyatakan sesat, maka akan dianggap bukan termasuk aliran
Islam mainstream? Apa sih itu Islam mainstream?

Saya pikir orang-orang muda Islam di Indonesia hanya latah. Seharusnya
mereka berpikir lebih dalam, mencari tahu lebih banyak, baru berpendapat.

Sejak dulu Ahmadiyah hidup tenang dan tidak terusik kehidupan
beragamanya. Lalu kenapa sekarang mereka terusik? Apakah Ahmadiyah
berbeda antara dulu dan sekarang? Saya kira tidak. Kalau sama, lantas
apa yang membuat mereka menjadi begitu terancam eksistensinya oleh
orang-orang muda Islam yang teramat bersemangat? Kita patut bertanya,
Ahmadiyah yang berubah atau sikap hidup dan level kemanusiaan
orang-orang muda Islam yang mengalami degradasi? Tidak mengertikah
mereka tentang nilai-nilai humanisme universal?

Saya pikir orang-orang muda yang merusak tempat ibadah, membakar
rumah-rumah pengikut Ahmadiyah, dan main pukul itu sama sekali tidak
mencerminkan Islam mainstream! Mereka itu hanya berbeda tipis dengan
teroris. Mereka menebar teror pada saudara-saudaraku Ahmadiyah.
Bedanya, mereka tidak pakai bahan eksplosif sejenis mercon besar, C4
atau TNT.

Di beberapa maling-list (milis) orang-orang muda Islam saling berlomba
menyebar artikel tentang Ahmadiyah. Ada yang pro dan kontra tentang
FPI, pro-kontra tentang Ahmadiyah, pro-kontra tentang aliran
fundamental dan moderat. Konyol!

Mereka hanya ingin menunjukkan dirinya masuk dalam kategori atau
kelompok tertentu dengan menyebar artikel yang menurut mereka sesuai
dengan cara berpikirnya. Mereka hanya mampu menyodorkan wacana dari
tokoh tertentu, dari ulama ini, ulama itu, sedang dirinya sendiri
tidak punya dan tidak berani menuliskan sesuatu yang menunjukkan
kemandirian sikap dan pendapatnya tentang Ahmadiyah.

Kekhawatiran orang-orang muda Islam saat ini tentang Ahmadiyah yaitu
jika keyakinan dan ajaran Ahmadiyah terus berkembang dan semakin
besar. Itu bukan? Kenapa khawatir tentang Ahmadiyah yang rekam
jejaknya tidak pernah menunjukkan singgungan, perselisihan, dan
gangguan pada umat agama yang lain termasuk Islam mainstream.
Saudara-saudara kita Ahmadiyah beraktifitas, bekerja, berwirausaha,
melaksanakan sholat, berzakat, mendirikan SMU PIRI di Yogyakarta.
Masjid yang mereka dirikan juga menjadi sarana ibadah umat Islam yang
lain.

Kenapa kita begitu menaruh curiga bahwa pengakuan mereka tentang Quran
dan Muhammad adalah ungkapan di bibir saja. Toh kalau mereka tidak
mengakui Quran dan Muhammad --karena meyakini dan berpedoman pada
diktat lain dan nabi terakhir yang lain-- mereka tetap warga
Indonesia, bagian dari bangsa ini. Kalau penderita HIV/Aids yang
jelas-jelas bisa menular saja tidak kita kucilkan, mengapa kita tidak
adil pada saudara-saudara Ahmadiyah. Apakah mereka `penyakit' menular
yang `membunuh' perlahan-lahan.

Saya sempat berpikir sebaliknya. Kalau saya tinggal di suatu daerah di
mana status agama, suku, ras, atau ideologi saya adalah bagian yang
minor, sementara bagian mayoritasnya tidak memberi saya ruang untuk
hidup dengan rasa tenang dan aman, tentu saya akan memilih eksodus,
pergi ke daerah lain yang menerima kehadiran saya dengan baik.

Mungkin saya kecewa dan sakit hati karena menjadi kaum minoritas dan
karena alasan itu saya diusir dari tempat tinggal saya yang dulu.
Mayoritas memang lebih sering dan mudah menang, menjadi superior bagi
minoritas.

Saya was-was kalau saudara saya yang Ahmadiyah tidak bisa hidup tenang
dan nyaman di negeri sendiri karena kesewenang-wenangan kaum
mayoritas. Saya jadi was-was kalau mayoritas Islam merasa was-was juga
pada perkembangan dan penyebaran keyakinan Ahmadiyah. Akhirnya
semuanya jadi was-was. Kita mau menjadi bangsa yang curiga dan
was-was. Tapi kenapa baru sekarang was-was, sejak dulu Ahmadiyah hidup
tenang dan tidak ada yang was-was pada Ahmadiyah. Ahmadiyah sendiri
juga tidak was-was pada siapapun. Apakah orang-orang muda Islam
mainstream sekarang lebih pandai dan mengerti soal agama, lebih berani
menyatakan kebenaran, atau sedang ingin menunjukkan tingginya keimanan
mereka lewat klaim-klaim tertentu.

Jalan menuju iman bukanlah jalan instan, lebih-lebih melalui
klaim-klaim dangkal seperti itu. Seharusnya kita memiliki nilai-nilai
humanisme universal, yaitu menghargai keragaman kultur, perbedaan
ideologi, perbedaan pendapat, sebagai wujud kedermawanan sikap kita
pada sesama manusia juga sebagai wujud tafakur dan syukur kita atas
keberagaman yang diciptakan Tuhan sang Maha Kaya. Dan Islam tidak
menolak nilai-nilai humanisme. Muhammad mengajarkan nilai-nilai
humanisme melalui hal-hal konkret. Tapi mengapa pengikut Muhammad ini
jadi kehilangan nilai-nilai itu sambil berteriak bahwa Ahmadiyah tidak
layak eksis. Mungkin kalau Muhammad masih hidup saat ini, beliau akan
marah melihat sikap yang tidak toleran ini. Beliau juga malu karena
umat Islam Indonesia dipenuhi rasa curiga, was-was, dan melarang
kebebasan berkeyakinan. Apakah Muhammad mengajarkan cara pandang hidup
yang demikian wahai pengikut Muhammad?

salam,
refanidea

http://refanidea.wordpress.com/

Kirim email ke