Bapak, Ibu, dan Sanak Saudara, handai taulan, besar tak bersebut nama, kecil 
tak mungkin bergelar, dimana pun berada, assalamu'alaikum warahmatullahi 
wabarakaatuhu

Tinggal menghitung hari, tak lama lagi, mungkin besok atau lusa, boleh jadi 
pekan depan, mungkin di sini atau di sana, di rantau atau di ranah, setiap kita 
tanpa kecuali akan mendengar dan melihat maraknya "Halal bi Balal" dihelat di 
berbagai tempat oleh berbagai pihak, sependek Bulan Syawal ini.  Mulai di 
lingkungan perumahan, teman sejawat, sahabat sesama alumni, rekan bisnis, 
ibu-ibu arisan, bahkan majelis pengajian, komunitas hobby atau forum socmed 
hingga "urang sasuku jo sakampuang" seakan enggan ketinggalan dalam menggelar 
"event after lebaran" ini yang berulang dari tahun ke tahun sejak dulu hingga 
entah sampai kapan melebihi panjangnya usia manusia.  Mulai dari tempat 
sederhana, warung kopi, cafe, sekolah, kantor, rumah, ruang serbaguna, hingga 
hotel bintang lima jadi pilihan lokasi penyelenggaraan.  Walaupun tidak ada 
advertensi massive di media konvensional berbayar pada program-program 
ber-ratings tinggi to enhance opportunity to see
 ketika "memasarkannya", namun tak banyak di antara kita yang dapat terbebas 
dari kepungan "produk" ini.  Jika pilpres lalu membelah suara dalam dua kubu 
secara tajam, dapat dipastikan keduanya akan satu suara dalam "Halal bi Halal". 
 Mungkin tak banyak "golput" yang nyinyir diperangi oleh semua pihak selama 
kampanye lalu, bagi helat yang satu ini, kecuali karena sakit, uzur, benturan 
acara, atau kepentingan lain pada saat yang sama.  Untuk tidak menandingi 
"nasihat"di bawah yang jauh lebih penting (seiyanya bagi saya), saya ingin 
menghentikan opini tanpa "hujjah" di atas hinggadi sini.

Menyingkap Keabsahan Halal Bi Halal
Kamis, 1 September 2011 06:17:37 WIB
Kategori : Fiqih : Hari Raya 

MENYINGKAP KEABSAHAN HALAL BI HALAL

Oleh
Ustadz Anas Burhanuddin MA


PENGERTIAN HALAL BI HALAL DAN SEJARAHNYA
Secara bahasa, halal bi halal adalah kata majemuk dalam bahasa Arab dan 
berarti halal dengan halal atau sama-sama halal. Tapi kata majemuk ini 
tidak dikenal dalam kamus-kamus bahasa Arab maupun pemakaian masyarakat 
Arab sehari-hari. Masyarakat Arab di Mekah dan Madinah justru biasa 
mendengar para jamaah haji Indonesia –dengan keterbatasan kemampuan 
bahasa Arab mereka- bertanya halal? Saat bertransaksi di pasar-pasar dan
 pusat perbelanjaan. Mereka menanyakan apakah penjual sepakat dengan 
tawaran harga yang mereka berikan, sehingga barang menjadi halal untuk 
mereka. Jika sepakat, penjual akan balik mengatakan “halal”. Atau saat 
ada makanan atau minuman yang dihidangkan di tempat umum, para jama’ah 
haji biasanya bertanya “halal?” untuk memastikan bahwa makanan/minuman 
tersebut gratis dan halal untuk mereka.

Kata majemuk ini tampaknya memang made in Indonesia, produk asli negeri 
ini. Kata halal bi halal justru diserap Bahasa Indonesia dan diartikan 
sebagai “hal maaf-memaafkan setelah menunaikan ibadah puasa Ramadhan, 
biasanya diadakan di sebuah tempat (auditorium, aula, dsb) oleh sejumlah
 orang dan merupakan suatu kebiasaan khas Indonesia” [1]

Penulis Iwan Ridwan menyebutkan bahwa halal bi halal adalah suatu 
tradisi berkumpul sekelompok orang Islam di Indonesia dalam suatu tempat
 tertentu untuk saling bersalaman sebagai ungkapan saling memaafkan agar
 yang haram menjadi halal. Umumnya, kegiatan ini diselenggarakan setelah
 melakukan shalat Idul Fithri [2]. Kadang-kadang, acara halal bi halal 
juga dilakukan di hari-hari setelah Idul Fithri dalam bentuk pengajian, 
ramah tamah atau makan bersama.

Konon, tradisi halal bi halal mula-mula dirintis oleh KGPAA Mangkunegara
 I (lahir 8 Apri 1725), yang terkenal dengan sebutan Pangeran 
Sambernyawa. Untuk menghemat waktu, tenaga, pikiran, dan biaya, maka 
setelah shalat Idul Fithri diadakan pertemuan antara raja dengan para 
punggawa dan prajurit secara serentak di balai istana. Semua punggawa 
dan prajurit dengan tertib melakukan sungkem kepada raja dan permaisuri.
 Apa yang dilakukan oleh Pangeran Sambernyawa itu kemudian ditiru oleh 
organisasi-organisasi Islam dengan istilah halal bi halal. Kemudian 
instansi-instansi pemerintah/swasta juga mengadakan halal bi halal, yang
 pesertanya meliputi warga masyarakat dari berbagai pemeluk agama [3]

Halal bi halal dengan makna seperti di atas juga tidak ditemukan 
penyebutannya di kitab-kitab para ulama. Sebagian penulis dengan bangga 
menyebutkan bahwa halal bi halal adalah hasil kreativitas bangsa 
Indonesia dan pribumisasi ajaran Islam di tengah masyarakat Indonesia 
[4]. Namun dalam kacamata ilmu agama, hal seperti ini justru patut 
dipertanyakan, karena semakin jauh suatu amalan dari tuntunan kenabian, 
ia akan semakin diragukan keabsahannya. Islam telah sempurna dan 
penambahan padanya justru akan mencoreng kesempurnaannya. Tulisan pendek
 ini berusaha mengulas keabsahan tradisi halal bi halal menurut 
pandangan syariat.

Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud 
dengan halal bi halal bukanlah tradisi saling mengunjungi di hari raya 
Idul Fithri yang juga umum dilakukan di dunia Islam yang lain. Tradisi 
ini keluar dari pembahasan tulisan ini, meskipun juga ada acara 
bermaaf-maafan di sana.

HARI RAYA DALAM ISLAM HARUS BERLANDASKAN DALIL (TAUQIFI)
Hukum asal dalam masalah ibadah adalah bahwa semua ibadah haram 
(dilakukan) sampai ada dalilnya. Sedangkan dalam bab adat dan muamalah, 
segala perkara adalah halal sampai ada dalil yang mengharamkannya. 
Perayaan hari raya (‘id) sebenarnya lebih dekat kepada bab muamalah. 
Akan tetapi, masalah ‘id adalah pengecualian, dan dalil-dalil yang ada 
menunjukkan bahwa ‘id adalah tauqifi (harus berlandaskan dalil). Hal ini
 karena ‘id tidak hanya adat, tapi juga memiliki sisi ibadah. Imam 
asy-Syathibi rahimahullah mengatakan.

وَإِنَّ الْعَادِيَّاتِ مِنْ حَيْثُ هِيَ عَادِيَّةٌ لاَ بِدْ عَةَ 
فِيْهَا، وَ مِنْ حَيْثُ يُتعبَّدُ بِهَا أَوْ تُوْ ضَعُ وَضْعَ 
التَّعَبَّدِ تَدْ خُلُهَا الْبِدَ عَةُ

Sesungguhnya adat-istiadat dari sisi ia sebagai adat, tidak ada bid’ah 
di dalamnya. Tapi dari sisi ia dijadikan/diposisikan sebagai ibadah, 
bisa ada bid’ah di dalamnya [5]

Sifat taufiqi dalam perayaan ‘id memiliki dua sisi :

1. Tauqifi dari sisi landasan penyelenggaraan, sebab Nabi Shallallahu 
‘alaihi wa sallam membatasi hanya ada dua hari raya dalam sau tahun, dan
 hal ini berdasarkan wahyu.

عن أَنَسِ بْنَ مَالِكِ رضي اللَّه عنه قال : قَدِمَ سَمِعَ رسول اللَّه 
صلى اللَّه عليه وسلم الْمَدِينَةَ وَلَهُم يَومَانِ يَلعَبُونَ فيهِمَا، 
فَقَالَ رسول اللَّه صلى اللَّه عليه وسلم : مَا هَذَانِ الْيَوْمَانِ؟، 
قالُوا : كُنَّا نَلْعَبُ فِيْهِمَا فِي الجَاهِلِيَّةِ، قال: إِنَّ 
اللَّهَ عَزَّوَجَلَّ قَدْ أَبْدَلَكُمْ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا : 
يَوْمَ الْفِطْرِ وَيَوْمَ النَّحْرِ

Anas bin Malik Radhiyallahu anhu berkata : (Saat) Rasulullah Shallallahu
 ‘alaihi wa sallam datang ke Madinah dan penduduknya memiliki dua hari 
di mana mereka bermain di dalamnya. Maka beliau bertanya : Apakah dua 
hari ini? Mereka menjawab : Dahulu kami biasa bermain di dua hari ini 
semasa jahiliyah. Beliau pun bersabda : Sungguh Allah telah menggantinya
 dengan dua hari yang lebih baik, yaitu ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adha. [HR
 Abu Dawud no. 1134 dihukumi shahih oleh Al-Albani][6]

Maka, sebagai bentuk pengamalan dari hadits ini, pada zaman Nabi 
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan generasi awal umat Islam tidak dikenal
 ada perayaan apapun selain dua hari raya ini [7], berbeda dengan umat 
Islam zaman ini yang memiliki banyak sekali hari libur dan perayaan yang
 tidak memiliki landasan syar’i.

2. Tauqifi dari sisi tata cara pelaksanaannya, karena dalam Islam, hari 
raya bukanlah sekedar adat, tapi juga ibadah yang sudah diatur tata cara
 pelaksanaannya. Setiap ibadah yang dilakukan di hari raya berupa 
shalat, takbir, zakat, menyembelih dan haramnya berpuasa telah diatur. 
Bahkan hal-hal yang dilakukan di hari raya berupa keleluasaan dalam 
makan-minum, berpakaian, bermain-main dan bergembira juga tetap dibatasi
 oleh aturan-aturan syariat. [8]

PENGKHUSUSAN MEMBUTUHKAN DALIL
Di satu sisi, Islam menjelaskan tata cara perayaan hari raya, tapi di 
sisi lain tidak memberi batasan tentang beberapa sunnah dalam perayaan 
‘id, seperti bagaimana menampakkan kegembiraan, bagaimana berhias dan 
berpakaian, atau permainan apa yang boleh dilakukan. Syari’at Islam 
merujuk perkara ini kepadaadat dan tradisi masing-masing.

Jadi, boleh saja umat Islam berkumpul, bergembira, berwisata, saling 
berkunjung dan mengucapkan selamat. Bahkan kegembiraan ini perlu 
ditekankan agar anggota keluarga merasakan hari yang berbeda dan puas 
karenanya, sehingga mereka tidak tergoda lagi dengan hari besar-hari 
besar yang tidak ada dasarnya dalam Islam.[9]

Namun mengkhususkan hari ‘Idul Fithri dengan bermaaf-maafan membutuhkan 
dalil tersendiri. Ia tidak termasuk dalam menunjukkan kegembiraan atau 
berhias yang memang disyariatkan di hari raya. Ia adalah wazhifah 
(amalan) tersendiri yang membutuhkan dalil.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabat tidak pernah 
melakukannya, padahal faktor pendorong untuk bermaaf-maafan juga sudah 
ada pada zaman mereka. Para sahabat juga memiliki kesalahan kepada 
sesama, bahkan mereka adalah orang yang paling bersemangat untuk 
membebaskan diri dari kesalahan kepada orang lain. Akan tetapi, hal itu 
tidak lantas membuat mereka mengkhususkan hari tertentu untuk 
bermaaf-maafan.

Jadi, mengkhususkan ‘Idul Fithri untuk bermaaf-maafan adalah penambahan 
syariat baru dalam Islam tanpa landasan dalil. Syaikhul Islam Ibnu 
Taimiyah rahimahullah berkata.

فَكُلُّ أَمْرٍ يَكُوْنُ الْمُقْتَضِي لِفعْلِه عَلَىَ عَهْدِ رسول اللَّه 
صلى اللَّه عليه وسلم مَوْ جُوْداًلَوْ كَانَ مَصْلَحَةً وَلَمْ يُفْعَلْ، 
يُعْلَمُ أَنَّهُ لَيْسَ بِمَصْلَحَةٍ

Maka setiap perkara yang faktor penyebab pelaksanaanya pada masa 
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah ada jika itu 
(betul-betul) merupakan sebuah kemaslahatan (kebaikan), dan (namun) 
beliau tidak melakukannya, berarti bisa diketahui bahwa perkara tersebut
 bukanlah kebaikan. [10]

KESERUPAAN DENGAN BERSALAM-SALAMAN SETELAH SHALAT DAN MENGKHUSUSKAN ZIARAH 
KUBUR DI HARI RAYA
Karena tidak dikenal selain di Indonesia dan baru muncul pada abad-abad 
terakhir ini, tidak banyak perkataan ulama yang membahas halal bi halal 
secara khusus. Namun ada masalah lain yang memiliki kesamaan 
karakteristik dengan halal bi halal dan sudah banyak dibahas oleh para 
ulama sejak zaman dahulu, yaitu masalah berjabat tangan atau 
bersalam-salaman setelah shalat dan pengkhususan ziarah kubur di hari 
raya.

Berjabat tangan adalah sunnah saat bertemu dengan orang lain, sebagaimana 
dijelaskan dalam hadits berikut.

عنِ الْبَرَاءِِ رضي اللَّه عنه قالَ : رسول اللَّه صلى اللَّه عليه وسلم :
 مَامِنْ مُسْلِمَيْنِ يَلْتَقِيَانِ فَيَتَصَا فَحَانِ إِلاَّ غُفِرَ 
لَهُمَا قَبْلَ أَنْ يَتَفَرَّ قَاَ

Dari al-Bara (bin Azib) Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata : Rasulullah 
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : Tidaklah dua orang Muslim 
bertemu lalu berjabat tangan, melainkan keduanya sudah diampuni sebelum 
berpisah” [HR Abu Dawud no. 5212 dan at-Tirmidzi no. 2727, dihukumi 
shahih oleh al-Albani] [11]

Tapi ketika sunnah ini dikhususkan pada waktu tertentu dan diyakini 
sebagai sunnah yang dilakukan terus menerus setiap selesai shalat, 
hukumnya berubah ; karena pengkhususan ini adalah tambahan syariat baru 
dalam agama.

Disamping itu, bersalam-salaman setelah shalat juga membuat orang 
menomorduakan amalan sunnah setelah shalat yaitu berdzikir. [12]

Ibnu Taimiyah rahimahullah ditanya tentang masalah ini, maka beliau 
menjawab : Berjabat tangan setelah shalat bukanlah sunnah, tapi itu 
adalah bid’ah, wallahu a’lam. [13]

Lebih jelas lagi, para ulama mengkategorikan pengkhususan ziarah kubur 
di hari raya termasuk bid’ah, [14] padahal ziarah kubur juga merupakan 
amalan yang pada dasarnya dianjurkan dalam Islam, seperti dijelaskan 
dalam hadits berikut 

عن بُرَيْدَةَ رضي اللَّه عنه قال: رسول اللَّه صلى اللَّه عليه وسلم : 
إِنِّي كُنْتُ نَهَيْتُكُم ْعَن زِيَارَةِ الْقُبُورِ فَزُورُوهَا؟ 
فَإِنَّهَا تُذَكِّرُ اْلآخِرَة

Dari Buraidah (al-Aslami) ia berkata Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa 
sallam bersabda : Sungguh aku dulu telah melarang kalian berziarah 
kubur, maka sekarang berziarahlah ; karena ia mengingatkan akhirat. [HR 
Ashabus Sunnan, dan lafazh ini adalah lafazh Ahmad (no. 23.055) yang 
dihukumi shahih oleh Syu’aib al-Arnauth]

Demikian pula berjabat tangan dan bermaaf-maafan adalah bagian dari 
ajaran Islam. Namun ketika dikhususkan pada hari tertentu dan diyakini 
sebagai sunnah yang terus-menerus dilakukan setiap tahun, hukumnya 
berubah menjadi tercela. Wallahu a’lam.

BEBERAPA PELANGGARAN SYARIAT DALAM HALAL BI HALAL
Di samping tidak memiliki landasan dalil, dalam halal bi halal juga sering 
didapati beberapa pelanggaran syariat, di antaranya ;

1. Mengakhirkan permintaan maaf hingga datangnya Idul Fithri. Ketika 
melakukan kesalahan atau kezhaliman pada orang lain, sebagian orang 
menunggu Idul Fithri untuk meminta maaf, seperti disebutkan dalam 
ungkapan yang terkenal ‘urusan maaf memaafkan adalah urusan hari 
lebaran’. Dan jadilah “mohon maaf lahir dan batin” ucapa yang “wajib”. 
pada hari raya Idul Fithri. Padahal belum tentu kita akan hidup sampai 
Idul Fithri dan kita diperintahkan untuk segera menghalalkan kezhaliman 
yang kita lakukan, sebagaimana keterangan hadits berikut

عن أَبِي هُرَيْرَةَ رضي اللَّه عنه أَنَّ رسول اللَّه صلى اللَّه عليه 
وسلم قال : مَنْ كَانَتْ عِنْدَهُ مَظْلِمَةٌ لأَِخِيهِ فَلْيَتَحَلَّلْهُ 
مِنْهَا؟ فَإِنَّهُ لَيْسَ ثَمَّ دِيْنَارٌ وَلا درهَمٌ مِنْ قَبْلِ أَنْ 
يُؤخَذَ لأَِخِيهِ مِنْ حَسَنَاتِهِ، فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ حَسَنَاتٌ 
أُخِذَ مِنْ سَيِّئَاتِ أَخِيهِ فَطُرِ حَتْ عَلَيْهِ 

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu 
‘alaihi wa sallam bersabda : Barangsiapa melakukan kezhaliman kepada 
saudaranya, hendaklah meminta dihalalkan (dimaafkan) darinya ; karena di
 sana (akhirat) tidak ada lagi perhitungan dinar dan dirham, sebelum 
kebaikannya diberikan kepada saudaranya, dan jika ia tidak punya 
kebaikan lagi, maka keburukan saudaranya itu akan diambil dan diberikan 
kepadanya. [HR al-Bukhari no. 6169]

2. Ikhtilath (campur baur lawan jenis) yang bisa membawa ke maksiat yang
 lain, seperti pandangan haram dan zina. Karenanya, Nabi Shallallahu 
‘alaihi wa sallam melarangnya, seperti dalam hadits Abu Usaid berikut.

عن أَبِى أُسَيْدٍ اْلأَنْصَارِىِّ رضي اللَّه عنه أَنَّهُ سَمِعَ رسول 
اللَّه صلى اللَّه عليه وسلم يَقُولُ وَهُوَخَارِخٌ مِنَ الْمَسْجِدِ فَا 
خْتَلَطَ الرِّجَالُ مَعَ النِّسَاءِ فِى الطَّرِيقِ فَقَالَ رسول اللَّه 
صلى اللَّه عليه وسلم لِانِّسَاءِ اسْتَأخِرْنَ فَإِنَّهُ لَيْسَ لَكُنَّ 
أَنْ تَحْقُقْنَ الطَّرِيْقَ عَلَيْكُنَّ بِحَافَاتِ الطَّرِيْقِ، 
فَكَانَتِ الْمَرْاَةُ تَلتَصِقُ بِالجِدَارِ حَتَى إِنَّ ثَوْبَهَا 
لَيَتَعَلَّقُ بِالْجِدَارِ مِنْ لُصُوقِهَابِهِ

Dari Abu Usaid al-ِAnshari Radhiyallahu ‘anhu ia mendengar Rasulullah 
Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata saat keluar dari masjid dan kaum 
pria bercampur-baur dengan kaum wanita di jalan. Maka beliau mengatakan 
kepada para wanita : “Mundurlah kalian, kalian tidak berhak berjalan di 
tengah jalan, berjalanlah di pinggirnya”. Maka para wanita melekat ke 
dinding, sehingga baju mereka menempel di dinding, lantaran begitu 
mepetnya baju mereka dengan dinding” [HR Abu Dawud no. 5272, dihukumi 
hasan oleh al-Albani] [15]

3. Berjabat tangan dengan lawan jenis yang bukan mahram. Maksiat ini 
banyak diremehkan oleh banyak orang dalam cara halal bihalal atau 
kehidupan sehari-hari, padahal keharamannya telah dijelaskan dalam 
hadist berikut.

عن مَعْقِل بن يَسَارِ رضي اللَّه عنه يَقُولُ : قال رسول اللَّه صلى 
اللَّه عليه وسلم : لأَنْ يُطْعَنَ فِي رأْسِ أَحَدِ كُْم بِمِخْيَطِ مِنْ 
حَد ِيدٍ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَمَسَّ امْرَ أَةً تَحِلُّ لَهُ

Dari Ma’qil bin Yasar Radhiyallahu ‘anhu ia berkata : Rasulullah 
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sungguh jika seorang di antara
 kalian ditusuk kepalanya dengan jarum dan besi, itu lebih baik baginya 
daripada menyentuh wanita yang tidak halal baginya”. [HR ath-Thabrani, 
dihukumi shahih oleh al-Albani] [16]

Syaikh al-Albani rahimahullah berkata : “Ancaman keras bagi orang yang 
menyentuh wanita yang tidak halal baginya yang terkandung dalam hadits 
ini menunjukkan haramnya menjabat tangan wanita (yang bukan mahram, ed) 
karena tidak diragukan lagi bahwa berjabat tangan termasuk menyentuh. 
Banyak umat Islam yang jatuh dalam kesalahan ini, bahkan sebagian ulama”
 [17]

PENUTUP
Dari paparan diatas, bisa kita simpulkan bahwa yang dipermasalahkan 
dalam halal bi halal adalah pengkhususan bermaaf-maafan di hari raya. 
Pengkhususan acara ini sudah menjadi penambahan syariat baru yang jelas 
tidak memilki landasan dalil syar’i. Jadi seandainya 
perkumpulan-perkumpulan yang banyak diadakan untuk menyambut Idul Fithri
 kosong dari agenda bermaaf-maafan, maka pertemuan itu adalah pertemuan 
yang diperbolehkan ; karena merupakan ekspresi kegembiraan yang 
disyariatan Islam di hari raya dan batasannya merujuk ke adat dan 
tradisi masyarakat setempat. Tentunya, jika terlepas dari 
pelanggaran-pelanggaran syariat, antara lain yang sudah kita sebutkan 
diatas. Selain di Indonesia, pertemuan yang umum disebut mu’ayadah 
(saling mengucapkan selamat ‘id) ini juga ada di belahan dunia Islam 
lain tanpa pengingkaran dari Ulama.

Bagi yang mengatakan “ah, cuma begini saja kok tidak boleh!”, ingatlah 
bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut setiap perkara baru 
dalam agama sebagai syarrul umur (seburuk-buruk perkara). Maka bagaimana
 kita bisa meremehkannya? Setiap Muslim haris berhati-hati dengan 
perkara-perkara baru yang muncul belakangan. Mari, amalkan sunnah dan 
Islam yang murni, karena itulah wasiat Nabi tercinta Shallallahu ‘alaihi
 wa sallam

Wallahu a’lam

REFERENSI
1. Al-A’yad wa Atsaruha ‘alal Muslimin, Dr. Sulaiman as-Suhaimi, Universitas 
Islam Madinah.
2. Iqtidha’ ash-Shirath al-Mustaqim, Ibnu Taimiyah, Darul Ashimah.
3. Mi’yarul Bid’ah, Dr. Muhammad Husain al-Jizani, Dar Ibnil Jauzi.
4. Risalatun fil Ikhtilath, Syaikh Muhammad bin Ibrahim
5. http://bahasakita.com/2009/08/23/halal-bihalal2/

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04-05/Tahun XV/1432/2011M. 
Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 
Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196] 
_______
Footnote
[1]. http://bahasakita.com/2009/08/23/halal-bihalal2/
[2]. Ibid
[3]. Ibid
[4]. Ibid
[5]. Al-I’tisham 2/98
[6]. Shahih Sunan Abi Dawud 4/297
[7]. Iqtidha ash-Shirath al-Mustaqim 1/499
[8]. Lihat Mi’yarul Bid’ah hlm.262
[9]. Lihat Iqtidha ash-Shirath al-Mustaqim 2/6
[10]. Ibid. 2/101
[11]. As-Silsilah ash-Shahihah 2/24 no. 525
[12]. Fatawa Syaikh Abdullah bin Aqil 1/141
[13]. Majmu Fatawa Ibnu Taimiyyah 23/339
[14]. Al-A’yad wa Atsaruha ‘alal Muslimin hlm.247
[15]. As-Silsilah ash-Shahihah 2/355 no. 856
[16]. Lihat Ghayatul Maram 1/137
[17]. Majmu Fatawa al-Albani 1/220 (asy-Syamilah)


https://id-mg5.mail.yahoo.com/neo/launch?.rand=1eudfnk7h0vap#7489273928


Maaf jika ada yang tidak pada tempatnya.

 
Salam
ZulTan, L, 53

-- 
.
* Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain 
wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta R@ntauNet~ 
* Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email.
===========================================================
UNTUK DIPERHATIKAN, yang melanggar akan dimoderasi:
* DILARANG:
  1. Email besar dari 200KB;
  2. Email attachment, tawarkan & kirim melalui jalur pribadi; 
  3. Email One Liner.
* Anggota WAJIB mematuhi peraturan (lihat di http://goo.gl/MScz7) serta 
mengirimkan biodata!
* Tulis Nama, Umur & Lokasi disetiap posting
* Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply
* Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama & mengganti 
subjeknya.
===========================================================
Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/
--- 
Anda menerima pesan ini karena Anda berlangganan grup "RantauNet" dari Google 
Grup.
Untuk berhenti berlangganan dan berhenti menerima email dari grup ini, kirim 
email ke rantaunet+unsubscr...@googlegroups.com.
Untuk opsi lainnya, kunjungi https://groups.google.com/d/optout.

Kirim email ke