Dinda Fitr, Seperti kata ungkapan selalu ada dua sisi dalam sebuah koin, maka selalu ada dua cara dalam menyampaikan dakwah: cara kritis (yang sebetulnya bahasa diplomatis dari menyalahkan keadaan) dan cara simpatik (yang lebih sabar dalam membetulkan kesalahan). Cara simpatik dalam berdakwah ini, salah satunya, adalah ciri khas Buya Hamka. Pernah anak beliau Irfan Hamka mengungkap satu kisah puluhan tahun silam kepada saya, satu ketika dalam pengajian rutin di Al Azhar, ada seorang ibu yang selalu hadir dengan rok pendek, dan selalu duduk di bagian depan pula. Meski ibu itu berselendang, namun bagaimana pun posisi dia duduk, lututnya selalu terlihat sehingga membuat jamaah lain tak nyaman, dan mulai protes (tanpa diketahui sang ibu) kepada Buya Hamka. Maksud mereka adalah agar Buya Hamka menegur ibu itu.
Tapi Buya tak juga menegurnya, sampai Irfan tak sabar dan satu malam bertanya, "Yah, jamaah sudah tak nyaman dengan kehadiran ibu dengan rok pendek itu di setiap pengajian ayah. Kenapa tak ditegur?" "Kenapa harus ditegur?" tanya Buya balik. "Bukankah sudah baik dia ikut pengajian? Kalau dia ditegur dan karena itu tak muncul lagi di pengajian, apa tidak malah jadi mudarat?" "Tetapi kan pakaiannya salah, Yah," bantah Irfan. "Seharusnya dia berpakaian muslimah." "Itu karena pengetahuannya belum sampai," jawab Buya. "Kalau kita sabar, dan satu saat pengetahuannya sampai, dia akan berubah atas izin Allah." Ternyata betul. Beberapa saat kemudian, ketika Irfan sedang di rumah. Ibu itu datang menghadap ke Buya Hamka (dan bundo Siti Raham), menyatakan terima kasih dan "keheranannya" karena selama ini tak pernah ditegur Buya. Menurut Irfan, ibu itu juga berkata, selama ini dia selalu berpindah-pindah pengajian karena tak betah sang ustadz selalu membahas penampilannya pada kesempatan pertama. Tetapi di pengajian Buya Hamka tidak. Buya Hamka yang terkenal malah bisa menerima penampilannya apa adanya. Buya memberikan jawaban yang intinya sama seperti jawabannya kepada Irfan. Dan keajaiban itu pun terjadi pada pengajian berikutnya: sang ibu datang sudah dengan busana muslimah yang sama seperti para jamaah perempuan lainnya! Tanpa pernah satu kata pun Buya Hamka menyuruhnya berubah. Sampai di rumah, Buya berkata kepada Irfan. "*Wa'ang *lihat sendiri kan, Fan? Tidak semua teguran harus disampaikan secara langsung. Kalau sejak awal si ibu itu ayah tegur karena penampilannya, mungkin dia sudah tidak datang ke Al Azhar lagi. Masih untung kalau dia pindah ke pengajian lain. Tapi bagaimana kalau karena teguran itu dia tidak mau mengaji lagi? Bukankah nanti ayah yang berdosa? Tapi coba lihat ibu itu tadi, akhirnya dia berubah atas keinginan sendiri." "Benar ayah," jawab Irfan pendek. Lalu Irfan mengatakan opininya tentang Buya Hamka kepada saya, "Cara dakwah Buya itulah yang membuat masyarakat suka, dan semakin banyak datang ke Al Azhar." Begitulah dinda Fitr, kesabaran para mubaligh seperti Buya Hamka dalam menghadapi keawaman pemahaman umatnya sendiri (dalam hal ini diwakili oleh si ibu dengan rok pendek), itu yang saya sebut cara simpatik. Buya Hamka tak mengambil jalan pintas dengan menghujani ibu itu dengan setumpuk dalil cara berpakaian muslimah, meski kalau Buya mau -- dan tentu saja boleh -- beliau bisa melakukannya hanya dalam beberapa menit. Cara simpatik itu yang dalam psikologi pendidikan disebut komunikasi dengan kata-kata positif yang lebih banyak mendukung, menyokong, bukan kata-kata negatif yang lebih banyak penghakiman, "ini salah", "itu tidak boleh", "kamu keliru". Dalam hal HBH yang menjadi inti topik thread ini, kalau kita susun ulang poin-poin utama yang ingin disampaikan Ust. Anas Burhanuddin, dengan tetap mempertahankan inti pendapatnya, sebetulnya cara penyampaian bisa diubah dari cara kritis (yang menyalahkan) menjadi cara simpatik (yang mengoreksi dengan elegan) sbb: 1. Misalnya judul "Menyingkap Keabsahan Halal Bi Halal" (yang tone-nya jelas menggugat) dengan semacam "Mengefektifkan Halal bi Halal". Atau sub judul bagian bawah yang ada kata-kata "Beberapa Pelanggaran Syariat dalam Halal Bi Halal" dengan "Agar Halal Bi Halal Semakin Islami". 2. Karena itu ketimbang menyodorkan setumpuk daftar kesalahan dalam HBH, akan jauh lebih efektif jika yang disajikan adalah bagaimana HBH sebagai ekstensi bentuk silaturahim massal tetap berada dalam koridor Islam, misalnya: AGAR HALAL BI HALAL SEMAKIN ISLAMI 1. Dimulai dengan pembacaan ayat suci Al-Qur'an. Boleh tema silaturahim, atau tema lain secara umum. 2. Ada tausiyah yang mengingatkan pentingnya silaturahim (atau tema lain secara umum pula, yang relevan). 3. Jaga adab antarmahram, jangan ada cipika-cipiki. 4. Hindari kegiatan makruh seperti merokok atau permainan-permainan yang berlebihan. 5. Ketika waktu shalat masuk, tegakkan shalat berjamaah segera. 6. Dst... Bukankah dengan cara simpatik seperti itu pada dasarnya sama dengan cara kritis yang menguliti "keabsahan" HBH? Cara ini akan jauh lebih sejuk bagi umat, ketimbang cara kritis "hitam putih", bahwa HBH -- dengan cara sehalus apa pun dijelaskan, tapi intinya adalah -- tidak syar'i, tidak nyunnah, dan karena itu tidak boleh dilakukan. Tetapi ambo tetap menghormati pilihan kanda ZulTan untuk tidak mau ikut HBH karena menganggap itu "ibadah" (sementara ambo menganggap HBH hanya bagian muamalah saja, yang kalau ada waktu dan diundang, hadir. Tapi kalau tak sempat, izin tidak hadir. Beda dengan ibadah, yang ada waktu atau tidak ada waktu, harus tetap dilakukan. Jadi definisi apa itu "ibadah" saja sudah berbeda). Semoga kanda ZulTan bisa istiqomah dalam sikap untuk tidak ber-HBH baik di lingkungan tempat tinggal, atau komunitas yang diikuti (seperti palanta RN ko, seandainya ada rencana HBH sesudah ko), atau juga undangan HBH dari kampus tempat kanda mengajar, dst. Wassalam, ANB 46, Cibubur Pada 31 Juli 2014 22.06, Fitrianto <fitr.tanju...@gmail.com> menulis: > Karena tidak ada teks yg tegas, sekarang masing2 kita tinggal mengambil > fatwa mana yg sesuai dgn pemahaman kita. > Bagi pak Zultan tentu HbH jadi tidak boleh dan tak bisa ikut...:) > > Untuk yg menganggap boleh, silahkan juga lanjut. > > > Wassalam > fitr > lk/39/albany NY > > > > 2014-07-31 3:25 GMT-04:00 'ZulTan' via RantauNet < > rantaunet@googlegroups.com>: > > >> >> Terima kasih Ridha telah serta menjawab pertanyaan Akmal. >> >> Dinda Akmal, bagi saya HbH, tidak sebatas tradisi, tetapi tak bisa lepas >> dari “ibadah”. Selalu dilakukan secara rutin usai Iedul Fitri, berkumpul, >> saling bermaaf-maafan, dengan harapan dapat menghapus dosa atas kesalahan >> terhadap sesama, entah dosa itu ada atau pun tidak. Karena ini saya >> nilai ini bagian dari ibadah namun tidak pernah diamalkan oleh para >> sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam maka saya mengikuti mereka >> dan >> dengannya berharap mendapat ridha Allah seperti yang dijanjikan-Nya. >> >> Allah berfirman, *"Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama >> (masuk Islam) dari golongan Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang >> mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha >> kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir >> sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah >> kemenangan yang besar."* [QS. At-Taubah 100] >> >> Salam dan maaf jika saya keliru, >> ZulTan >> >> >> >> >> >> Pada Kamis, 31 Juli 2014 8:52, Ahmad Ridha <ahmad.ri...@gmail.com> >> menulis: >> >> > -- > . > * Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain > wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta R@ntauNet~ > * Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email. > =========================================================== > UNTUK DIPERHATIKAN, yang melanggar akan dimoderasi: > * DILARANG: > 1. Email besar dari 200KB; > 2. Email attachment, tawarkan & kirim melalui jalur pribadi; > 3. Email One Liner. > * Anggota WAJIB mematuhi peraturan (lihat di http://goo.gl/MScz7) serta > mengirimkan biodata! > * Tulis Nama, Umur & Lokasi disetiap posting > * Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply > * Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama & > mengganti subjeknya. > =========================================================== > Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di: > http://groups.google.com/group/RantauNet/ > --- > Anda menerima pesan ini karena berlangganan grup "RantauNet" di Google > Grup. > Untuk berhenti berlangganan dan berhenti menerima email dari grup ini, > kirim email ke rantaunet+unsubscr...@googlegroups.com. > Untuk opsi lebih lanjut, kunjungi https://groups.google.com/d/optout. > -- . * Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta R@ntauNet~ * Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email. =========================================================== UNTUK DIPERHATIKAN, yang melanggar akan dimoderasi: * DILARANG: 1. Email besar dari 200KB; 2. Email attachment, tawarkan & kirim melalui jalur pribadi; 3. Email One Liner. * Anggota WAJIB mematuhi peraturan (lihat di http://goo.gl/MScz7) serta mengirimkan biodata! * Tulis Nama, Umur & Lokasi disetiap posting * Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply * Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama & mengganti subjeknya. =========================================================== Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di: http://groups.google.com/group/RantauNet/ --- Anda menerima pesan ini karena Anda berlangganan grup "RantauNet" dari Google Grup. Untuk berhenti berlangganan dan berhenti menerima email dari grup ini, kirim email ke rantaunet+unsubscr...@googlegroups.com. Untuk opsi lainnya, kunjungi https://groups.google.com/d/optout.