Jadi maksudnya agarPalanta RN *tak perlu* melakukan HBH lagi seperti nan
sudah-sudah agar itu bukan Sunnah Rasul dan tidak ada dalil syar'i yang
mendukung, kanda ZulTan?

Wassalam,

ANB
46, Cibubur





Pada 30 Juli 2014 12.02, 'ZulTan' via RantauNet <rantaunet@googlegroups.com>
menulis:

>
> Bapak, Ibu, dan Sanak Saudara, handai taulan, besar tak bersebut nama,
> kecil tak mungkin bergelar, dimana pun berada, assalamu'alaikum
> warahmatullahi wabarakaatuhu
>
> Tinggal menghitung hari, tak lama lagi, mungkin besok atau lusa, boleh
> jadi pekan depan, mungkin di sini atau di sana, di rantau atau di ranah,
> setiap kita tanpa kecuali akan mendengar dan melihat maraknya "Halal bi
> Balal" dihelat di berbagai tempat oleh berbagai pihak, sependek Bulan
> Syawal ini.  Mulai di lingkungan perumahan, teman sejawat, sahabat sesama
> alumni, rekan bisnis, ibu-ibu arisan, bahkan majelis pengajian, komunitas
> hobby atau forum socmed hingga "urang sasuku jo sakampuang" seakan enggan
> ketinggalan dalam menggelar "event after lebaran" ini yang berulang dari
> tahun ke tahun sejak dulu hingga entah sampai kapan melebihi panjangnya
> usia manusia.  Mulai dari tempat sederhana, warung kopi, cafe, sekolah,
> kantor, rumah, ruang serbaguna, hingga hotel bintang lima jadi pilihan
> lokasi penyelenggaraan.  Walaupun tidak ada advertensi massive di media
> konvensional berbayar pada program-program ber-ratings tinggi to enhance
> opportunity to see ketika "memasarkannya", namun tak banyak di antara
> kita yang dapat terbebas dari kepungan "produk" ini.  Jika pilpres lalu
> membelah suara dalam dua kubu secara tajam, dapat dipastikan keduanya akan
> satu suara dalam "Halal bi Halal".  Mungkin tak banyak "golput" yang
> nyinyir diperangi oleh semua pihak selama kampanye lalu, bagi helat yang
> satu ini, kecuali karena sakit, uzur, benturan acara, atau kepentingan lain
> pada saat yang sama.  Untuk tidak menandingi "nasihat" di bawah yang jauh
> lebih penting (seiyanya bagi saya), saya ingin menghentikan opini tanpa
> "hujjah" di atas hingga di sini.
> Menyingkap Keabsahan Halal Bi Halal
> Kamis, 1 September 2011 06:17:37 WIB
> Kategori : Fiqih : Hari Raya
>  MENYINGKAP KEABSAHAN HALAL BI HALAL
>
> Oleh
> Ustadz Anas Burhanuddin MA
>
>
> PENGERTIAN HALAL BI HALAL DAN SEJARAHNYA
> Secara bahasa, halal bi halal adalah kata majemuk dalam bahasa Arab dan
> berarti halal dengan halal atau sama-sama halal. Tapi kata majemuk ini
> tidak dikenal dalam kamus-kamus bahasa Arab maupun pemakaian masyarakat
> Arab sehari-hari. Masyarakat Arab di Mekah dan Madinah justru biasa
> mendengar para jamaah haji Indonesia –dengan keterbatasan kemampuan bahasa
> Arab mereka- bertanya halal? Saat bertransaksi di pasar-pasar dan pusat
> perbelanjaan. Mereka menanyakan apakah penjual sepakat dengan tawaran harga
> yang mereka berikan, sehingga barang menjadi halal untuk mereka. Jika
> sepakat, penjual akan balik mengatakan “halal”. Atau saat ada makanan atau
> minuman yang dihidangkan di tempat umum, para jama’ah haji biasanya
> bertanya “halal?” untuk memastikan bahwa makanan/minuman tersebut gratis
> dan halal untuk mereka.
>
> Kata majemuk ini tampaknya memang made in Indonesia, produk asli negeri
> ini. Kata halal bi halal justru diserap Bahasa Indonesia dan diartikan
> sebagai “hal maaf-memaafkan setelah menunaikan ibadah puasa Ramadhan,
> biasanya diadakan di sebuah tempat (auditorium, aula, dsb) oleh sejumlah
> orang dan merupakan suatu kebiasaan khas Indonesia” [1]
>
> Penulis Iwan Ridwan menyebutkan bahwa halal bi halal adalah suatu tradisi
> berkumpul sekelompok orang Islam di Indonesia dalam suatu tempat tertentu
> untuk saling bersalaman sebagai ungkapan saling memaafkan agar yang haram
> menjadi halal. Umumnya, kegiatan ini diselenggarakan setelah melakukan
> shalat Idul Fithri [2]. Kadang-kadang, acara halal bi halal juga dilakukan
> di hari-hari setelah Idul Fithri dalam bentuk pengajian, ramah tamah atau
> makan bersama.
>
> Konon, tradisi halal bi halal mula-mula dirintis oleh KGPAA Mangkunegara I
> (lahir 8 Apri 1725), yang terkenal dengan sebutan Pangeran Sambernyawa.
> Untuk menghemat waktu, tenaga, pikiran, dan biaya, maka setelah shalat Idul
> Fithri diadakan pertemuan antara raja dengan para punggawa dan prajurit
> secara serentak di balai istana. Semua punggawa dan prajurit dengan tertib
> melakukan sungkem kepada raja dan permaisuri. Apa yang dilakukan oleh
> Pangeran Sambernyawa itu kemudian ditiru oleh organisasi-organisasi Islam
> dengan istilah halal bi halal. Kemudian instansi-instansi pemerintah/swasta
> juga mengadakan halal bi halal, yang pesertanya meliputi warga masyarakat
> dari berbagai pemeluk agama [3]
>
> Halal bi halal dengan makna seperti di atas juga tidak ditemukan
> penyebutannya di kitab-kitab para ulama. Sebagian penulis dengan bangga
> menyebutkan bahwa halal bi halal adalah hasil kreativitas bangsa Indonesia
> dan pribumisasi ajaran Islam di tengah masyarakat Indonesia [4]. Namun
> dalam kacamata ilmu agama, hal seperti ini justru patut dipertanyakan,
> karena semakin jauh suatu amalan dari tuntunan kenabian, ia akan semakin
> diragukan keabsahannya. Islam telah sempurna dan penambahan padanya justru
> akan mencoreng kesempurnaannya. Tulisan pendek ini berusaha mengulas
> keabsahan tradisi halal bi halal menurut pandangan syariat.
>
> Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud
> dengan halal bi halal bukanlah tradisi saling mengunjungi di hari raya Idul
> Fithri yang juga umum dilakukan di dunia Islam yang lain. Tradisi ini
> keluar dari pembahasan tulisan ini, meskipun juga ada acara bermaaf-maafan
> di sana.
>
> HARI RAYA DALAM ISLAM HARUS BERLANDASKAN DALIL (TAUQIFI)
> Hukum asal dalam masalah ibadah adalah bahwa semua ibadah haram
> (dilakukan) sampai ada dalilnya. Sedangkan dalam bab adat dan muamalah,
> segala perkara adalah halal sampai ada dalil yang mengharamkannya. Perayaan
> hari raya (‘id) sebenarnya lebih dekat kepada bab muamalah. Akan tetapi,
> masalah ‘id adalah pengecualian, dan dalil-dalil yang ada menunjukkan bahwa
> ‘id adalah tauqifi (harus berlandaskan dalil). Hal ini karena ‘id tidak
> hanya adat, tapi juga memiliki sisi ibadah. Imam asy-Syathibi rahimahullah
> mengatakan.
>
> وَإِنَّ الْعَادِيَّاتِ مِنْ حَيْثُ هِيَ عَادِيَّةٌ لاَ بِدْ عَةَ فِيْهَا،
> وَ مِنْ حَيْثُ يُتعبَّدُ بِهَا أَوْ تُوْ ضَعُ وَضْعَ التَّعَبَّدِ تَدْ
> خُلُهَا الْبِدَ عَةُ
>
> Sesungguhnya adat-istiadat dari sisi ia sebagai adat, tidak ada bid’ah di
> dalamnya. Tapi dari sisi ia dijadikan/diposisikan sebagai ibadah, bisa ada
> bid’ah di dalamnya [5]
>
> Sifat taufiqi dalam perayaan ‘id memiliki dua sisi :
>
> 1. Tauqifi dari sisi landasan penyelenggaraan, sebab Nabi Shallallahu
> ‘alaihi wa sallam membatasi hanya ada dua hari raya dalam sau tahun, dan
> hal ini berdasarkan wahyu.
>
> عن أَنَسِ بْنَ مَالِكِ رضي اللَّه عنه قال : قَدِمَ سَمِعَ رسول اللَّه صلى
> اللَّه عليه وسلم الْمَدِينَةَ وَلَهُم يَومَانِ يَلعَبُونَ فيهِمَا، فَقَالَ
> رسول اللَّه صلى اللَّه عليه وسلم : مَا هَذَانِ الْيَوْمَانِ؟، قالُوا :
> كُنَّا نَلْعَبُ فِيْهِمَا فِي الجَاهِلِيَّةِ، قال: إِنَّ اللَّهَ
> عَزَّوَجَلَّ قَدْ أَبْدَلَكُمْ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا : يَوْمَ الْفِطْرِ
> وَيَوْمَ النَّحْرِ
>
> Anas bin Malik Radhiyallahu anhu berkata : (Saat) Rasulullah Shallallahu
> ‘alaihi wa sallam datang ke Madinah dan penduduknya memiliki dua hari di
> mana mereka bermain di dalamnya. Maka beliau bertanya : Apakah dua hari
> ini? Mereka menjawab : Dahulu kami biasa bermain di dua hari ini semasa
> jahiliyah. Beliau pun bersabda : Sungguh Allah telah menggantinya dengan
> dua hari yang lebih baik, yaitu ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adha. [HR Abu Dawud
> no. 1134 dihukumi shahih oleh Al-Albani][6]
>
> Maka, sebagai bentuk pengamalan dari hadits ini, pada zaman Nabi
> Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan generasi awal umat Islam tidak dikenal
> ada perayaan apapun selain dua hari raya ini [7], berbeda dengan umat Islam
> zaman ini yang memiliki banyak sekali hari libur dan perayaan yang tidak
> memiliki landasan syar’i.
>
> 2. Tauqifi dari sisi tata cara pelaksanaannya, karena dalam Islam, hari
> raya bukanlah sekedar adat, tapi juga ibadah yang sudah diatur tata cara
> pelaksanaannya. Setiap ibadah yang dilakukan di hari raya berupa shalat,
> takbir, zakat, menyembelih dan haramnya berpuasa telah diatur. Bahkan
> hal-hal yang dilakukan di hari raya berupa keleluasaan dalam makan-minum,
> berpakaian, bermain-main dan bergembira juga tetap dibatasi oleh
> aturan-aturan syariat. [8]
>
> PENGKHUSUSAN MEMBUTUHKAN DALIL
> Di satu sisi, Islam menjelaskan tata cara perayaan hari raya, tapi di sisi
> lain tidak memberi batasan tentang beberapa sunnah dalam perayaan ‘id,
> seperti bagaimana menampakkan kegembiraan, bagaimana berhias dan
> berpakaian, atau permainan apa yang boleh dilakukan. Syari’at Islam merujuk
> perkara ini kepadaadat dan tradisi masing-masing.
>
> Jadi, boleh saja umat Islam berkumpul, bergembira, berwisata, saling
> berkunjung dan mengucapkan selamat. Bahkan kegembiraan ini perlu ditekankan
> agar anggota keluarga merasakan hari yang berbeda dan puas karenanya,
> sehingga mereka tidak tergoda lagi dengan hari besar-hari besar yang tidak
> ada dasarnya dalam Islam.[9]
>
> Namun mengkhususkan hari ‘Idul Fithri dengan bermaaf-maafan membutuhkan
> dalil tersendiri. Ia tidak termasuk dalam menunjukkan kegembiraan atau
> berhias yang memang disyariatkan di hari raya. Ia adalah wazhifah (amalan)
> tersendiri yang membutuhkan dalil.
>
> Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabat tidak pernah
> melakukannya, padahal faktor pendorong untuk bermaaf-maafan juga sudah ada
> pada zaman mereka. Para sahabat juga memiliki kesalahan kepada sesama,
> bahkan mereka adalah orang yang paling bersemangat untuk membebaskan diri
> dari kesalahan kepada orang lain. Akan tetapi, hal itu tidak lantas membuat
> mereka mengkhususkan hari tertentu untuk bermaaf-maafan.
>
> Jadi, mengkhususkan ‘Idul Fithri untuk bermaaf-maafan adalah penambahan
> syariat baru dalam Islam tanpa landasan dalil. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
> rahimahullah berkata.
>
> فَكُلُّ أَمْرٍ يَكُوْنُ الْمُقْتَضِي لِفعْلِه عَلَىَ عَهْدِ رسول اللَّه
> صلى اللَّه عليه وسلم مَوْ جُوْداًلَوْ كَانَ مَصْلَحَةً وَلَمْ يُفْعَلْ،
> يُعْلَمُ أَنَّهُ لَيْسَ بِمَصْلَحَةٍ
>
> Maka setiap perkara yang faktor penyebab pelaksanaanya pada masa
> Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah ada jika itu (betul-betul)
> merupakan sebuah kemaslahatan (kebaikan), dan (namun) beliau tidak
> melakukannya, berarti bisa diketahui bahwa perkara tersebut bukanlah
> kebaikan. [10]
>
> KESERUPAAN DENGAN BERSALAM-SALAMAN SETELAH SHALAT DAN MENGKHUSUSKAN ZIARAH
> KUBUR DI HARI RAYA
> Karena tidak dikenal selain di Indonesia dan baru muncul pada abad-abad
> terakhir ini, tidak banyak perkataan ulama yang membahas halal bi halal
> secara khusus. Namun ada masalah lain yang memiliki kesamaan karakteristik
> dengan halal bi halal dan sudah banyak dibahas oleh para ulama sejak zaman
> dahulu, yaitu masalah berjabat tangan atau bersalam-salaman setelah shalat
> dan pengkhususan ziarah kubur di hari raya.
>
> Berjabat tangan adalah sunnah saat bertemu dengan orang lain, sebagaimana
> dijelaskan dalam hadits berikut.
>
> عنِ الْبَرَاءِِ رضي اللَّه عنه قالَ : رسول اللَّه صلى اللَّه عليه وسلم :
> مَامِنْ مُسْلِمَيْنِ يَلْتَقِيَانِ فَيَتَصَا فَحَانِ إِلاَّ غُفِرَ لَهُمَا
> قَبْلَ أَنْ يَتَفَرَّ قَاَ
>
> Dari al-Bara (bin Azib) Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata : Rasulullah
> Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : Tidaklah dua orang Muslim bertemu
> lalu berjabat tangan, melainkan keduanya sudah diampuni sebelum berpisah”
> [HR Abu Dawud no. 5212 dan at-Tirmidzi no. 2727, dihukumi shahih oleh
> al-Albani] [11]
>
> Tapi ketika sunnah ini dikhususkan pada waktu tertentu dan diyakini
> sebagai sunnah yang dilakukan terus menerus setiap selesai shalat, hukumnya
> berubah ; karena pengkhususan ini adalah tambahan syariat baru dalam agama.
>
> Disamping itu, bersalam-salaman setelah shalat juga membuat orang
> menomorduakan amalan sunnah setelah shalat yaitu berdzikir. [12]
>
> Ibnu Taimiyah rahimahullah ditanya tentang masalah ini, maka beliau
> menjawab : Berjabat tangan setelah shalat bukanlah sunnah, tapi itu adalah
> bid’ah, wallahu a’lam. [13]
>
> Lebih jelas lagi, para ulama mengkategorikan pengkhususan ziarah kubur di
> hari raya termasuk bid’ah, [14] padahal ziarah kubur juga merupakan amalan
> yang pada dasarnya dianjurkan dalam Islam, seperti dijelaskan dalam hadits
> berikut
>
> عن بُرَيْدَةَ رضي اللَّه عنه قال: رسول اللَّه صلى اللَّه عليه وسلم :
> إِنِّي كُنْتُ نَهَيْتُكُم ْعَن زِيَارَةِ الْقُبُورِ فَزُورُوهَا؟ فَإِنَّهَا
> تُذَكِّرُ اْلآخِرَة
>
> Dari Buraidah (al-Aslami) ia berkata Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
> sallam bersabda : Sungguh aku dulu telah melarang kalian berziarah kubur,
> maka sekarang berziarahlah ; karena ia mengingatkan akhirat. [HR Ashabus
> Sunnan, dan lafazh ini adalah lafazh Ahmad (no. 23.055) yang dihukumi
> shahih oleh Syu’aib al-Arnauth]
>
> Demikian pula berjabat tangan dan bermaaf-maafan adalah bagian dari ajaran
> Islam. Namun ketika dikhususkan pada hari tertentu dan diyakini sebagai
> sunnah yang terus-menerus dilakukan setiap tahun, hukumnya berubah menjadi
> tercela. Wallahu a’lam.
>
> BEBERAPA PELANGGARAN SYARIAT DALAM HALAL BI HALAL
> Di samping tidak memiliki landasan dalil, dalam halal bi halal juga sering
> didapati beberapa pelanggaran syariat, di antaranya ;
>
> 1. Mengakhirkan permintaan maaf hingga datangnya Idul Fithri. Ketika
> melakukan kesalahan atau kezhaliman pada orang lain, sebagian orang
> menunggu Idul Fithri untuk meminta maaf, seperti disebutkan dalam ungkapan
> yang terkenal ‘urusan maaf memaafkan adalah urusan hari lebaran’. Dan
> jadilah “mohon maaf lahir dan batin” ucapa yang “wajib”. pada hari raya
> Idul Fithri. Padahal belum tentu kita akan hidup sampai Idul Fithri dan
> kita diperintahkan untuk segera menghalalkan kezhaliman yang kita lakukan,
> sebagaimana keterangan hadits berikut
>
> عن أَبِي هُرَيْرَةَ رضي اللَّه عنه أَنَّ رسول اللَّه صلى اللَّه عليه وسلم
> قال : مَنْ كَانَتْ عِنْدَهُ مَظْلِمَةٌ لأَِخِيهِ فَلْيَتَحَلَّلْهُ مِنْهَا؟
> فَإِنَّهُ لَيْسَ ثَمَّ دِيْنَارٌ وَلا درهَمٌ مِنْ قَبْلِ أَنْ يُؤخَذَ
> لأَِخِيهِ مِنْ حَسَنَاتِهِ، فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ حَسَنَاتٌ أُخِذَ مِنْ
> سَيِّئَاتِ أَخِيهِ فَطُرِ حَتْ عَلَيْهِ
>
> Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu
> ‘alaihi wa sallam bersabda : Barangsiapa melakukan kezhaliman kepada
> saudaranya, hendaklah meminta dihalalkan (dimaafkan) darinya ; karena di
> sana (akhirat) tidak ada lagi perhitungan dinar dan dirham, sebelum
> kebaikannya diberikan kepada saudaranya, dan jika ia tidak punya kebaikan
> lagi, maka keburukan saudaranya itu akan diambil dan diberikan kepadanya.
> [HR al-Bukhari no. 6169]
>
> 2. Ikhtilath (campur baur lawan jenis) yang bisa membawa ke maksiat yang
> lain, seperti pandangan haram dan zina. Karenanya, Nabi Shallallahu ‘alaihi
> wa sallam melarangnya, seperti dalam hadits Abu Usaid berikut.
>
> عن أَبِى أُسَيْدٍ اْلأَنْصَارِىِّ رضي اللَّه عنه أَنَّهُ سَمِعَ رسول
> اللَّه صلى اللَّه عليه وسلم يَقُولُ وَهُوَخَارِخٌ مِنَ الْمَسْجِدِ فَا
> خْتَلَطَ الرِّجَالُ مَعَ النِّسَاءِ فِى الطَّرِيقِ فَقَالَ رسول اللَّه صلى
> اللَّه عليه وسلم لِانِّسَاءِ اسْتَأخِرْنَ فَإِنَّهُ لَيْسَ لَكُنَّ أَنْ
> تَحْقُقْنَ الطَّرِيْقَ عَلَيْكُنَّ بِحَافَاتِ الطَّرِيْقِ، فَكَانَتِ
> الْمَرْاَةُ تَلتَصِقُ بِالجِدَارِ حَتَى إِنَّ ثَوْبَهَا لَيَتَعَلَّقُ
> بِالْجِدَارِ مِنْ لُصُوقِهَابِهِ
>
> Dari Abu Usaid al-ِAnshari Radhiyallahu ‘anhu ia mendengar Rasulullah
> Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata saat keluar dari masjid dan kaum pria
> bercampur-baur dengan kaum wanita di jalan. Maka beliau mengatakan kepada
> para wanita : “Mundurlah kalian, kalian tidak berhak berjalan di tengah
> jalan, berjalanlah di pinggirnya”. Maka para wanita melekat ke dinding,
> sehingga baju mereka menempel di dinding, lantaran begitu mepetnya baju
> mereka dengan dinding” [HR Abu Dawud no. 5272, dihukumi hasan oleh
> al-Albani] [15]
>
> 3. Berjabat tangan dengan lawan jenis yang bukan mahram. Maksiat ini
> banyak diremehkan oleh banyak orang dalam cara halal bihalal atau kehidupan
> sehari-hari, padahal keharamannya telah dijelaskan dalam hadist berikut.
>
> عن مَعْقِل بن يَسَارِ رضي اللَّه عنه يَقُولُ : قال رسول اللَّه صلى اللَّه
> عليه وسلم : لأَنْ يُطْعَنَ فِي رأْسِ أَحَدِ كُْم بِمِخْيَطِ مِنْ حَد ِيدٍ
> خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَمَسَّ امْرَ أَةً تَحِلُّ لَهُ
>
> Dari Ma’qil bin Yasar Radhiyallahu ‘anhu ia berkata : Rasulullah
> Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sungguh jika seorang di antara
> kalian ditusuk kepalanya dengan jarum dan besi, itu lebih baik baginya
> daripada menyentuh wanita yang tidak halal baginya”. [HR ath-Thabrani,
> dihukumi shahih oleh al-Albani] [16]
>
> Syaikh al-Albani rahimahullah berkata : “Ancaman keras bagi orang yang
> menyentuh wanita yang tidak halal baginya yang terkandung dalam hadits ini
> menunjukkan haramnya menjabat tangan wanita (yang bukan mahram, ed) karena
> tidak diragukan lagi bahwa berjabat tangan termasuk menyentuh. Banyak umat
> Islam yang jatuh dalam kesalahan ini, bahkan sebagian ulama” [17]
>
> PENUTUP
> Dari paparan diatas, bisa kita simpulkan bahwa yang dipermasalahkan dalam
> halal bi halal adalah pengkhususan bermaaf-maafan di hari raya.
> Pengkhususan acara ini sudah menjadi penambahan syariat baru yang jelas
> tidak memilki landasan dalil syar’i. Jadi seandainya
> perkumpulan-perkumpulan yang banyak diadakan untuk menyambut Idul Fithri
> kosong dari agenda bermaaf-maafan, maka pertemuan itu adalah pertemuan yang
> diperbolehkan ; karena merupakan ekspresi kegembiraan yang disyariatan
> Islam di hari raya dan batasannya merujuk ke adat dan tradisi masyarakat
> setempat. Tentunya, jika terlepas dari pelanggaran-pelanggaran syariat,
> antara lain yang sudah kita sebutkan diatas. Selain di Indonesia, pertemuan
> yang umum disebut mu’ayadah (saling mengucapkan selamat ‘id) ini juga ada
> di belahan dunia Islam lain tanpa pengingkaran dari Ulama.
>
> Bagi yang mengatakan “ah, cuma begini saja kok tidak boleh!”, ingatlah
> bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut setiap perkara baru dalam
> agama sebagai syarrul umur (seburuk-buruk perkara). Maka bagaimana kita
> bisa meremehkannya? Setiap Muslim haris berhati-hati dengan perkara-perkara
> baru yang muncul belakangan. Mari, amalkan sunnah dan Islam yang murni,
> karena itulah wasiat Nabi tercinta Shallallahu ‘alaihi wa sallam
>
> Wallahu a’lam
>
> REFERENSI
> 1. Al-A’yad wa Atsaruha ‘alal Muslimin, Dr. Sulaiman as-Suhaimi,
> Universitas Islam Madinah.
> 2. Iqtidha’ ash-Shirath al-Mustaqim, Ibnu Taimiyah, Darul Ashimah.
> 3. Mi’yarul Bid’ah, Dr. Muhammad Husain al-Jizani, Dar Ibnil Jauzi.
> 4. Risalatun fil Ikhtilath, Syaikh Muhammad bin Ibrahim
> 5. http://bahasakita.com/2009/08/23/halal-bihalal2/
>
> [Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04-05/Tahun XV/1432/2011M. Penerbit
> Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton
> Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
> _______
> Footnote
> [1]. http://bahasakita.com/2009/08/23/halal-bihalal2/
> [2]. Ibid
> [3]. Ibid
> [4]. Ibid
> [5]. Al-I’tisham 2/98
> [6]. Shahih Sunan Abi Dawud 4/297
> [7]. Iqtidha ash-Shirath al-Mustaqim 1/499
> [8]. Lihat Mi’yarul Bid’ah hlm.262
> [9]. Lihat Iqtidha ash-Shirath al-Mustaqim 2/6
> [10]. Ibid. 2/101
> [11]. As-Silsilah ash-Shahihah 2/24 no. 525
> [12]. Fatawa Syaikh Abdullah bin Aqil 1/141
> [13]. Majmu Fatawa Ibnu Taimiyyah 23/339
> [14]. Al-A’yad wa Atsaruha ‘alal Muslimin hlm.247
> [15]. As-Silsilah ash-Shahihah 2/355 no. 856
> [16]. Lihat Ghayatul Maram 1/137
> [17]. Majmu Fatawa al-Albani 1/220 (asy-Syamilah)
>
> https://id-mg5.mail.yahoo.com/neo/launch?.rand=1eudfnk7h0vap#7489273928
>
>
> Maaf jika ada yang tidak pada tempatnya.
>
> Salam
> ZulTan, L, 53
>
> --
> .
> * Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain
> wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta R@ntauNet~
> * Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email.
> ===========================================================
> UNTUK DIPERHATIKAN, yang melanggar akan dimoderasi:
> * DILARANG:
> 1. Email besar dari 200KB;
> 2. Email attachment, tawarkan & kirim melalui jalur pribadi;
> 3. Email One Liner.
> * Anggota WAJIB mematuhi peraturan (lihat di http://goo.gl/MScz7) serta
> mengirimkan biodata!
> * Tulis Nama, Umur & Lokasi disetiap posting
> * Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply
> * Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama &
> mengganti subjeknya.
> ===========================================================
> Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di:
> http://groups.google.com/group/RantauNet/
> ---
> Anda menerima pesan ini karena berlangganan grup "RantauNet" di Google
> Grup.
> Untuk berhenti berlangganan dan berhenti menerima email dari grup ini,
> kirim email ke rantaunet+unsubscr...@googlegroups.com.
> Untuk opsi lebih lanjut, kunjungi https://groups.google.com/d/optout.
>

-- 
.
* Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain 
wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta R@ntauNet~ 
* Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email.
===========================================================
UNTUK DIPERHATIKAN, yang melanggar akan dimoderasi:
* DILARANG:
  1. Email besar dari 200KB;
  2. Email attachment, tawarkan & kirim melalui jalur pribadi; 
  3. Email One Liner.
* Anggota WAJIB mematuhi peraturan (lihat di http://goo.gl/MScz7) serta 
mengirimkan biodata!
* Tulis Nama, Umur & Lokasi disetiap posting
* Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply
* Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama & mengganti 
subjeknya.
===========================================================
Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/
--- 
Anda menerima pesan ini karena Anda berlangganan grup "RantauNet" dari Google 
Grup.
Untuk berhenti berlangganan dan berhenti menerima email dari grup ini, kirim 
email ke rantaunet+unsubscr...@googlegroups.com.
Untuk opsi lainnya, kunjungi https://groups.google.com/d/optout.

Kirim email ke