Jadi maksudnya agarPalanta RN *tak perlu* melakukan HBH lagi seperti nan sudah-sudah agar itu bukan Sunnah Rasul dan tidak ada dalil syar'i yang mendukung, kanda ZulTan?
Wassalam, ANB 46, Cibubur Pada 30 Juli 2014 12.02, 'ZulTan' via RantauNet <rantaunet@googlegroups.com> menulis: > > Bapak, Ibu, dan Sanak Saudara, handai taulan, besar tak bersebut nama, > kecil tak mungkin bergelar, dimana pun berada, assalamu'alaikum > warahmatullahi wabarakaatuhu > > Tinggal menghitung hari, tak lama lagi, mungkin besok atau lusa, boleh > jadi pekan depan, mungkin di sini atau di sana, di rantau atau di ranah, > setiap kita tanpa kecuali akan mendengar dan melihat maraknya "Halal bi > Balal" dihelat di berbagai tempat oleh berbagai pihak, sependek Bulan > Syawal ini. Mulai di lingkungan perumahan, teman sejawat, sahabat sesama > alumni, rekan bisnis, ibu-ibu arisan, bahkan majelis pengajian, komunitas > hobby atau forum socmed hingga "urang sasuku jo sakampuang" seakan enggan > ketinggalan dalam menggelar "event after lebaran" ini yang berulang dari > tahun ke tahun sejak dulu hingga entah sampai kapan melebihi panjangnya > usia manusia. Mulai dari tempat sederhana, warung kopi, cafe, sekolah, > kantor, rumah, ruang serbaguna, hingga hotel bintang lima jadi pilihan > lokasi penyelenggaraan. Walaupun tidak ada advertensi massive di media > konvensional berbayar pada program-program ber-ratings tinggi to enhance > opportunity to see ketika "memasarkannya", namun tak banyak di antara > kita yang dapat terbebas dari kepungan "produk" ini. Jika pilpres lalu > membelah suara dalam dua kubu secara tajam, dapat dipastikan keduanya akan > satu suara dalam "Halal bi Halal". Mungkin tak banyak "golput" yang > nyinyir diperangi oleh semua pihak selama kampanye lalu, bagi helat yang > satu ini, kecuali karena sakit, uzur, benturan acara, atau kepentingan lain > pada saat yang sama. Untuk tidak menandingi "nasihat" di bawah yang jauh > lebih penting (seiyanya bagi saya), saya ingin menghentikan opini tanpa > "hujjah" di atas hingga di sini. > Menyingkap Keabsahan Halal Bi Halal > Kamis, 1 September 2011 06:17:37 WIB > Kategori : Fiqih : Hari Raya > MENYINGKAP KEABSAHAN HALAL BI HALAL > > Oleh > Ustadz Anas Burhanuddin MA > > > PENGERTIAN HALAL BI HALAL DAN SEJARAHNYA > Secara bahasa, halal bi halal adalah kata majemuk dalam bahasa Arab dan > berarti halal dengan halal atau sama-sama halal. Tapi kata majemuk ini > tidak dikenal dalam kamus-kamus bahasa Arab maupun pemakaian masyarakat > Arab sehari-hari. Masyarakat Arab di Mekah dan Madinah justru biasa > mendengar para jamaah haji Indonesia –dengan keterbatasan kemampuan bahasa > Arab mereka- bertanya halal? Saat bertransaksi di pasar-pasar dan pusat > perbelanjaan. Mereka menanyakan apakah penjual sepakat dengan tawaran harga > yang mereka berikan, sehingga barang menjadi halal untuk mereka. Jika > sepakat, penjual akan balik mengatakan “halal”. Atau saat ada makanan atau > minuman yang dihidangkan di tempat umum, para jama’ah haji biasanya > bertanya “halal?” untuk memastikan bahwa makanan/minuman tersebut gratis > dan halal untuk mereka. > > Kata majemuk ini tampaknya memang made in Indonesia, produk asli negeri > ini. Kata halal bi halal justru diserap Bahasa Indonesia dan diartikan > sebagai “hal maaf-memaafkan setelah menunaikan ibadah puasa Ramadhan, > biasanya diadakan di sebuah tempat (auditorium, aula, dsb) oleh sejumlah > orang dan merupakan suatu kebiasaan khas Indonesia” [1] > > Penulis Iwan Ridwan menyebutkan bahwa halal bi halal adalah suatu tradisi > berkumpul sekelompok orang Islam di Indonesia dalam suatu tempat tertentu > untuk saling bersalaman sebagai ungkapan saling memaafkan agar yang haram > menjadi halal. Umumnya, kegiatan ini diselenggarakan setelah melakukan > shalat Idul Fithri [2]. Kadang-kadang, acara halal bi halal juga dilakukan > di hari-hari setelah Idul Fithri dalam bentuk pengajian, ramah tamah atau > makan bersama. > > Konon, tradisi halal bi halal mula-mula dirintis oleh KGPAA Mangkunegara I > (lahir 8 Apri 1725), yang terkenal dengan sebutan Pangeran Sambernyawa. > Untuk menghemat waktu, tenaga, pikiran, dan biaya, maka setelah shalat Idul > Fithri diadakan pertemuan antara raja dengan para punggawa dan prajurit > secara serentak di balai istana. Semua punggawa dan prajurit dengan tertib > melakukan sungkem kepada raja dan permaisuri. Apa yang dilakukan oleh > Pangeran Sambernyawa itu kemudian ditiru oleh organisasi-organisasi Islam > dengan istilah halal bi halal. Kemudian instansi-instansi pemerintah/swasta > juga mengadakan halal bi halal, yang pesertanya meliputi warga masyarakat > dari berbagai pemeluk agama [3] > > Halal bi halal dengan makna seperti di atas juga tidak ditemukan > penyebutannya di kitab-kitab para ulama. Sebagian penulis dengan bangga > menyebutkan bahwa halal bi halal adalah hasil kreativitas bangsa Indonesia > dan pribumisasi ajaran Islam di tengah masyarakat Indonesia [4]. Namun > dalam kacamata ilmu agama, hal seperti ini justru patut dipertanyakan, > karena semakin jauh suatu amalan dari tuntunan kenabian, ia akan semakin > diragukan keabsahannya. Islam telah sempurna dan penambahan padanya justru > akan mencoreng kesempurnaannya. Tulisan pendek ini berusaha mengulas > keabsahan tradisi halal bi halal menurut pandangan syariat. > > Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud > dengan halal bi halal bukanlah tradisi saling mengunjungi di hari raya Idul > Fithri yang juga umum dilakukan di dunia Islam yang lain. Tradisi ini > keluar dari pembahasan tulisan ini, meskipun juga ada acara bermaaf-maafan > di sana. > > HARI RAYA DALAM ISLAM HARUS BERLANDASKAN DALIL (TAUQIFI) > Hukum asal dalam masalah ibadah adalah bahwa semua ibadah haram > (dilakukan) sampai ada dalilnya. Sedangkan dalam bab adat dan muamalah, > segala perkara adalah halal sampai ada dalil yang mengharamkannya. Perayaan > hari raya (‘id) sebenarnya lebih dekat kepada bab muamalah. Akan tetapi, > masalah ‘id adalah pengecualian, dan dalil-dalil yang ada menunjukkan bahwa > ‘id adalah tauqifi (harus berlandaskan dalil). Hal ini karena ‘id tidak > hanya adat, tapi juga memiliki sisi ibadah. Imam asy-Syathibi rahimahullah > mengatakan. > > وَإِنَّ الْعَادِيَّاتِ مِنْ حَيْثُ هِيَ عَادِيَّةٌ لاَ بِدْ عَةَ فِيْهَا، > وَ مِنْ حَيْثُ يُتعبَّدُ بِهَا أَوْ تُوْ ضَعُ وَضْعَ التَّعَبَّدِ تَدْ > خُلُهَا الْبِدَ عَةُ > > Sesungguhnya adat-istiadat dari sisi ia sebagai adat, tidak ada bid’ah di > dalamnya. Tapi dari sisi ia dijadikan/diposisikan sebagai ibadah, bisa ada > bid’ah di dalamnya [5] > > Sifat taufiqi dalam perayaan ‘id memiliki dua sisi : > > 1. Tauqifi dari sisi landasan penyelenggaraan, sebab Nabi Shallallahu > ‘alaihi wa sallam membatasi hanya ada dua hari raya dalam sau tahun, dan > hal ini berdasarkan wahyu. > > عن أَنَسِ بْنَ مَالِكِ رضي اللَّه عنه قال : قَدِمَ سَمِعَ رسول اللَّه صلى > اللَّه عليه وسلم الْمَدِينَةَ وَلَهُم يَومَانِ يَلعَبُونَ فيهِمَا، فَقَالَ > رسول اللَّه صلى اللَّه عليه وسلم : مَا هَذَانِ الْيَوْمَانِ؟، قالُوا : > كُنَّا نَلْعَبُ فِيْهِمَا فِي الجَاهِلِيَّةِ، قال: إِنَّ اللَّهَ > عَزَّوَجَلَّ قَدْ أَبْدَلَكُمْ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا : يَوْمَ الْفِطْرِ > وَيَوْمَ النَّحْرِ > > Anas bin Malik Radhiyallahu anhu berkata : (Saat) Rasulullah Shallallahu > ‘alaihi wa sallam datang ke Madinah dan penduduknya memiliki dua hari di > mana mereka bermain di dalamnya. Maka beliau bertanya : Apakah dua hari > ini? Mereka menjawab : Dahulu kami biasa bermain di dua hari ini semasa > jahiliyah. Beliau pun bersabda : Sungguh Allah telah menggantinya dengan > dua hari yang lebih baik, yaitu ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adha. [HR Abu Dawud > no. 1134 dihukumi shahih oleh Al-Albani][6] > > Maka, sebagai bentuk pengamalan dari hadits ini, pada zaman Nabi > Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan generasi awal umat Islam tidak dikenal > ada perayaan apapun selain dua hari raya ini [7], berbeda dengan umat Islam > zaman ini yang memiliki banyak sekali hari libur dan perayaan yang tidak > memiliki landasan syar’i. > > 2. Tauqifi dari sisi tata cara pelaksanaannya, karena dalam Islam, hari > raya bukanlah sekedar adat, tapi juga ibadah yang sudah diatur tata cara > pelaksanaannya. Setiap ibadah yang dilakukan di hari raya berupa shalat, > takbir, zakat, menyembelih dan haramnya berpuasa telah diatur. Bahkan > hal-hal yang dilakukan di hari raya berupa keleluasaan dalam makan-minum, > berpakaian, bermain-main dan bergembira juga tetap dibatasi oleh > aturan-aturan syariat. [8] > > PENGKHUSUSAN MEMBUTUHKAN DALIL > Di satu sisi, Islam menjelaskan tata cara perayaan hari raya, tapi di sisi > lain tidak memberi batasan tentang beberapa sunnah dalam perayaan ‘id, > seperti bagaimana menampakkan kegembiraan, bagaimana berhias dan > berpakaian, atau permainan apa yang boleh dilakukan. Syari’at Islam merujuk > perkara ini kepadaadat dan tradisi masing-masing. > > Jadi, boleh saja umat Islam berkumpul, bergembira, berwisata, saling > berkunjung dan mengucapkan selamat. Bahkan kegembiraan ini perlu ditekankan > agar anggota keluarga merasakan hari yang berbeda dan puas karenanya, > sehingga mereka tidak tergoda lagi dengan hari besar-hari besar yang tidak > ada dasarnya dalam Islam.[9] > > Namun mengkhususkan hari ‘Idul Fithri dengan bermaaf-maafan membutuhkan > dalil tersendiri. Ia tidak termasuk dalam menunjukkan kegembiraan atau > berhias yang memang disyariatkan di hari raya. Ia adalah wazhifah (amalan) > tersendiri yang membutuhkan dalil. > > Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabat tidak pernah > melakukannya, padahal faktor pendorong untuk bermaaf-maafan juga sudah ada > pada zaman mereka. Para sahabat juga memiliki kesalahan kepada sesama, > bahkan mereka adalah orang yang paling bersemangat untuk membebaskan diri > dari kesalahan kepada orang lain. Akan tetapi, hal itu tidak lantas membuat > mereka mengkhususkan hari tertentu untuk bermaaf-maafan. > > Jadi, mengkhususkan ‘Idul Fithri untuk bermaaf-maafan adalah penambahan > syariat baru dalam Islam tanpa landasan dalil. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah > rahimahullah berkata. > > فَكُلُّ أَمْرٍ يَكُوْنُ الْمُقْتَضِي لِفعْلِه عَلَىَ عَهْدِ رسول اللَّه > صلى اللَّه عليه وسلم مَوْ جُوْداًلَوْ كَانَ مَصْلَحَةً وَلَمْ يُفْعَلْ، > يُعْلَمُ أَنَّهُ لَيْسَ بِمَصْلَحَةٍ > > Maka setiap perkara yang faktor penyebab pelaksanaanya pada masa > Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah ada jika itu (betul-betul) > merupakan sebuah kemaslahatan (kebaikan), dan (namun) beliau tidak > melakukannya, berarti bisa diketahui bahwa perkara tersebut bukanlah > kebaikan. [10] > > KESERUPAAN DENGAN BERSALAM-SALAMAN SETELAH SHALAT DAN MENGKHUSUSKAN ZIARAH > KUBUR DI HARI RAYA > Karena tidak dikenal selain di Indonesia dan baru muncul pada abad-abad > terakhir ini, tidak banyak perkataan ulama yang membahas halal bi halal > secara khusus. Namun ada masalah lain yang memiliki kesamaan karakteristik > dengan halal bi halal dan sudah banyak dibahas oleh para ulama sejak zaman > dahulu, yaitu masalah berjabat tangan atau bersalam-salaman setelah shalat > dan pengkhususan ziarah kubur di hari raya. > > Berjabat tangan adalah sunnah saat bertemu dengan orang lain, sebagaimana > dijelaskan dalam hadits berikut. > > عنِ الْبَرَاءِِ رضي اللَّه عنه قالَ : رسول اللَّه صلى اللَّه عليه وسلم : > مَامِنْ مُسْلِمَيْنِ يَلْتَقِيَانِ فَيَتَصَا فَحَانِ إِلاَّ غُفِرَ لَهُمَا > قَبْلَ أَنْ يَتَفَرَّ قَاَ > > Dari al-Bara (bin Azib) Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata : Rasulullah > Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : Tidaklah dua orang Muslim bertemu > lalu berjabat tangan, melainkan keduanya sudah diampuni sebelum berpisah” > [HR Abu Dawud no. 5212 dan at-Tirmidzi no. 2727, dihukumi shahih oleh > al-Albani] [11] > > Tapi ketika sunnah ini dikhususkan pada waktu tertentu dan diyakini > sebagai sunnah yang dilakukan terus menerus setiap selesai shalat, hukumnya > berubah ; karena pengkhususan ini adalah tambahan syariat baru dalam agama. > > Disamping itu, bersalam-salaman setelah shalat juga membuat orang > menomorduakan amalan sunnah setelah shalat yaitu berdzikir. [12] > > Ibnu Taimiyah rahimahullah ditanya tentang masalah ini, maka beliau > menjawab : Berjabat tangan setelah shalat bukanlah sunnah, tapi itu adalah > bid’ah, wallahu a’lam. [13] > > Lebih jelas lagi, para ulama mengkategorikan pengkhususan ziarah kubur di > hari raya termasuk bid’ah, [14] padahal ziarah kubur juga merupakan amalan > yang pada dasarnya dianjurkan dalam Islam, seperti dijelaskan dalam hadits > berikut > > عن بُرَيْدَةَ رضي اللَّه عنه قال: رسول اللَّه صلى اللَّه عليه وسلم : > إِنِّي كُنْتُ نَهَيْتُكُم ْعَن زِيَارَةِ الْقُبُورِ فَزُورُوهَا؟ فَإِنَّهَا > تُذَكِّرُ اْلآخِرَة > > Dari Buraidah (al-Aslami) ia berkata Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa > sallam bersabda : Sungguh aku dulu telah melarang kalian berziarah kubur, > maka sekarang berziarahlah ; karena ia mengingatkan akhirat. [HR Ashabus > Sunnan, dan lafazh ini adalah lafazh Ahmad (no. 23.055) yang dihukumi > shahih oleh Syu’aib al-Arnauth] > > Demikian pula berjabat tangan dan bermaaf-maafan adalah bagian dari ajaran > Islam. Namun ketika dikhususkan pada hari tertentu dan diyakini sebagai > sunnah yang terus-menerus dilakukan setiap tahun, hukumnya berubah menjadi > tercela. Wallahu a’lam. > > BEBERAPA PELANGGARAN SYARIAT DALAM HALAL BI HALAL > Di samping tidak memiliki landasan dalil, dalam halal bi halal juga sering > didapati beberapa pelanggaran syariat, di antaranya ; > > 1. Mengakhirkan permintaan maaf hingga datangnya Idul Fithri. Ketika > melakukan kesalahan atau kezhaliman pada orang lain, sebagian orang > menunggu Idul Fithri untuk meminta maaf, seperti disebutkan dalam ungkapan > yang terkenal ‘urusan maaf memaafkan adalah urusan hari lebaran’. Dan > jadilah “mohon maaf lahir dan batin” ucapa yang “wajib”. pada hari raya > Idul Fithri. Padahal belum tentu kita akan hidup sampai Idul Fithri dan > kita diperintahkan untuk segera menghalalkan kezhaliman yang kita lakukan, > sebagaimana keterangan hadits berikut > > عن أَبِي هُرَيْرَةَ رضي اللَّه عنه أَنَّ رسول اللَّه صلى اللَّه عليه وسلم > قال : مَنْ كَانَتْ عِنْدَهُ مَظْلِمَةٌ لأَِخِيهِ فَلْيَتَحَلَّلْهُ مِنْهَا؟ > فَإِنَّهُ لَيْسَ ثَمَّ دِيْنَارٌ وَلا درهَمٌ مِنْ قَبْلِ أَنْ يُؤخَذَ > لأَِخِيهِ مِنْ حَسَنَاتِهِ، فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ حَسَنَاتٌ أُخِذَ مِنْ > سَيِّئَاتِ أَخِيهِ فَطُرِ حَتْ عَلَيْهِ > > Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu > ‘alaihi wa sallam bersabda : Barangsiapa melakukan kezhaliman kepada > saudaranya, hendaklah meminta dihalalkan (dimaafkan) darinya ; karena di > sana (akhirat) tidak ada lagi perhitungan dinar dan dirham, sebelum > kebaikannya diberikan kepada saudaranya, dan jika ia tidak punya kebaikan > lagi, maka keburukan saudaranya itu akan diambil dan diberikan kepadanya. > [HR al-Bukhari no. 6169] > > 2. Ikhtilath (campur baur lawan jenis) yang bisa membawa ke maksiat yang > lain, seperti pandangan haram dan zina. Karenanya, Nabi Shallallahu ‘alaihi > wa sallam melarangnya, seperti dalam hadits Abu Usaid berikut. > > عن أَبِى أُسَيْدٍ اْلأَنْصَارِىِّ رضي اللَّه عنه أَنَّهُ سَمِعَ رسول > اللَّه صلى اللَّه عليه وسلم يَقُولُ وَهُوَخَارِخٌ مِنَ الْمَسْجِدِ فَا > خْتَلَطَ الرِّجَالُ مَعَ النِّسَاءِ فِى الطَّرِيقِ فَقَالَ رسول اللَّه صلى > اللَّه عليه وسلم لِانِّسَاءِ اسْتَأخِرْنَ فَإِنَّهُ لَيْسَ لَكُنَّ أَنْ > تَحْقُقْنَ الطَّرِيْقَ عَلَيْكُنَّ بِحَافَاتِ الطَّرِيْقِ، فَكَانَتِ > الْمَرْاَةُ تَلتَصِقُ بِالجِدَارِ حَتَى إِنَّ ثَوْبَهَا لَيَتَعَلَّقُ > بِالْجِدَارِ مِنْ لُصُوقِهَابِهِ > > Dari Abu Usaid al-ِAnshari Radhiyallahu ‘anhu ia mendengar Rasulullah > Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata saat keluar dari masjid dan kaum pria > bercampur-baur dengan kaum wanita di jalan. Maka beliau mengatakan kepada > para wanita : “Mundurlah kalian, kalian tidak berhak berjalan di tengah > jalan, berjalanlah di pinggirnya”. Maka para wanita melekat ke dinding, > sehingga baju mereka menempel di dinding, lantaran begitu mepetnya baju > mereka dengan dinding” [HR Abu Dawud no. 5272, dihukumi hasan oleh > al-Albani] [15] > > 3. Berjabat tangan dengan lawan jenis yang bukan mahram. Maksiat ini > banyak diremehkan oleh banyak orang dalam cara halal bihalal atau kehidupan > sehari-hari, padahal keharamannya telah dijelaskan dalam hadist berikut. > > عن مَعْقِل بن يَسَارِ رضي اللَّه عنه يَقُولُ : قال رسول اللَّه صلى اللَّه > عليه وسلم : لأَنْ يُطْعَنَ فِي رأْسِ أَحَدِ كُْم بِمِخْيَطِ مِنْ حَد ِيدٍ > خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَمَسَّ امْرَ أَةً تَحِلُّ لَهُ > > Dari Ma’qil bin Yasar Radhiyallahu ‘anhu ia berkata : Rasulullah > Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sungguh jika seorang di antara > kalian ditusuk kepalanya dengan jarum dan besi, itu lebih baik baginya > daripada menyentuh wanita yang tidak halal baginya”. [HR ath-Thabrani, > dihukumi shahih oleh al-Albani] [16] > > Syaikh al-Albani rahimahullah berkata : “Ancaman keras bagi orang yang > menyentuh wanita yang tidak halal baginya yang terkandung dalam hadits ini > menunjukkan haramnya menjabat tangan wanita (yang bukan mahram, ed) karena > tidak diragukan lagi bahwa berjabat tangan termasuk menyentuh. Banyak umat > Islam yang jatuh dalam kesalahan ini, bahkan sebagian ulama” [17] > > PENUTUP > Dari paparan diatas, bisa kita simpulkan bahwa yang dipermasalahkan dalam > halal bi halal adalah pengkhususan bermaaf-maafan di hari raya. > Pengkhususan acara ini sudah menjadi penambahan syariat baru yang jelas > tidak memilki landasan dalil syar’i. Jadi seandainya > perkumpulan-perkumpulan yang banyak diadakan untuk menyambut Idul Fithri > kosong dari agenda bermaaf-maafan, maka pertemuan itu adalah pertemuan yang > diperbolehkan ; karena merupakan ekspresi kegembiraan yang disyariatan > Islam di hari raya dan batasannya merujuk ke adat dan tradisi masyarakat > setempat. Tentunya, jika terlepas dari pelanggaran-pelanggaran syariat, > antara lain yang sudah kita sebutkan diatas. Selain di Indonesia, pertemuan > yang umum disebut mu’ayadah (saling mengucapkan selamat ‘id) ini juga ada > di belahan dunia Islam lain tanpa pengingkaran dari Ulama. > > Bagi yang mengatakan “ah, cuma begini saja kok tidak boleh!”, ingatlah > bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut setiap perkara baru dalam > agama sebagai syarrul umur (seburuk-buruk perkara). Maka bagaimana kita > bisa meremehkannya? Setiap Muslim haris berhati-hati dengan perkara-perkara > baru yang muncul belakangan. Mari, amalkan sunnah dan Islam yang murni, > karena itulah wasiat Nabi tercinta Shallallahu ‘alaihi wa sallam > > Wallahu a’lam > > REFERENSI > 1. Al-A’yad wa Atsaruha ‘alal Muslimin, Dr. Sulaiman as-Suhaimi, > Universitas Islam Madinah. > 2. Iqtidha’ ash-Shirath al-Mustaqim, Ibnu Taimiyah, Darul Ashimah. > 3. Mi’yarul Bid’ah, Dr. Muhammad Husain al-Jizani, Dar Ibnil Jauzi. > 4. Risalatun fil Ikhtilath, Syaikh Muhammad bin Ibrahim > 5. http://bahasakita.com/2009/08/23/halal-bihalal2/ > > [Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04-05/Tahun XV/1432/2011M. Penerbit > Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton > Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196] > _______ > Footnote > [1]. http://bahasakita.com/2009/08/23/halal-bihalal2/ > [2]. Ibid > [3]. Ibid > [4]. Ibid > [5]. Al-I’tisham 2/98 > [6]. Shahih Sunan Abi Dawud 4/297 > [7]. Iqtidha ash-Shirath al-Mustaqim 1/499 > [8]. Lihat Mi’yarul Bid’ah hlm.262 > [9]. Lihat Iqtidha ash-Shirath al-Mustaqim 2/6 > [10]. Ibid. 2/101 > [11]. As-Silsilah ash-Shahihah 2/24 no. 525 > [12]. Fatawa Syaikh Abdullah bin Aqil 1/141 > [13]. Majmu Fatawa Ibnu Taimiyyah 23/339 > [14]. Al-A’yad wa Atsaruha ‘alal Muslimin hlm.247 > [15]. As-Silsilah ash-Shahihah 2/355 no. 856 > [16]. Lihat Ghayatul Maram 1/137 > [17]. Majmu Fatawa al-Albani 1/220 (asy-Syamilah) > > https://id-mg5.mail.yahoo.com/neo/launch?.rand=1eudfnk7h0vap#7489273928 > > > Maaf jika ada yang tidak pada tempatnya. > > Salam > ZulTan, L, 53 > > -- > . > * Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain > wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta R@ntauNet~ > * Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email. > =========================================================== > UNTUK DIPERHATIKAN, yang melanggar akan dimoderasi: > * DILARANG: > 1. Email besar dari 200KB; > 2. Email attachment, tawarkan & kirim melalui jalur pribadi; > 3. Email One Liner. > * Anggota WAJIB mematuhi peraturan (lihat di http://goo.gl/MScz7) serta > mengirimkan biodata! > * Tulis Nama, Umur & Lokasi disetiap posting > * Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply > * Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama & > mengganti subjeknya. > =========================================================== > Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di: > http://groups.google.com/group/RantauNet/ > --- > Anda menerima pesan ini karena berlangganan grup "RantauNet" di Google > Grup. > Untuk berhenti berlangganan dan berhenti menerima email dari grup ini, > kirim email ke rantaunet+unsubscr...@googlegroups.com. > Untuk opsi lebih lanjut, kunjungi https://groups.google.com/d/optout. > -- . * Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta R@ntauNet~ * Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email. =========================================================== UNTUK DIPERHATIKAN, yang melanggar akan dimoderasi: * DILARANG: 1. Email besar dari 200KB; 2. Email attachment, tawarkan & kirim melalui jalur pribadi; 3. Email One Liner. * Anggota WAJIB mematuhi peraturan (lihat di http://goo.gl/MScz7) serta mengirimkan biodata! * Tulis Nama, Umur & Lokasi disetiap posting * Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply * Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama & mengganti subjeknya. =========================================================== Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di: http://groups.google.com/group/RantauNet/ --- Anda menerima pesan ini karena Anda berlangganan grup "RantauNet" dari Google Grup. Untuk berhenti berlangganan dan berhenti menerima email dari grup ini, kirim email ke rantaunet+unsubscr...@googlegroups.com. Untuk opsi lainnya, kunjungi https://groups.google.com/d/optout.