Da Nof,

Maaf, tidak ada maksud untuk menyinggung da Nof atau dunsanak tertentu. Yang
ambo tulis hanyalah yang ambo liek sehari2. Bukan sakali duo ambo mandanga
nan model tu. Kalau manuruik ambo nan paralu jalan kalua nyo. Nan diusulkan
Beni jo mak Boes tu rancak, pemda buek peraturan tentang wajib
memberitahukan tarif, dan nan ka mambali tu batanyo dulu lah.

Tentang masalah kesadaran kita thd pendatang alias tamu, ya mungkin itu yang
harus disadarkan. Bagaimana caranya? ya buat mereka yakin atas  itung2 an
bahwa mereka akan beruntung dengan kedatangan tamu itu.

Kalau soal kenapa industri tertentu memilih Malaysia dibanding Indonesia,
dengan pertimbangan kepastian terhadap lingkukan ya bisa saja. Memang kalau
dilihat, Country Risk Premium nya Indonesai itu 4.5%, dibandingkan dengan
Malaysia yang cuma 1.28%. Tapi kalau manuruik ambo tiok urang panggaleh tu
kan ndak samo caronyo baretong do, rasonyo kalau nan mambuek barang nan
tangible, mereka akan berpikir lain.

Riri



2008/5/19 Yulnofrins Napilus <[EMAIL PROTECTED]>:

>  Riri,
>
> Sekedar klarifikasi sajo, setidaknya untuk diri ambo surang.
>
> *Tulisan Riri: Kemudian beliau2 merasa "dipakuak". Mereka teriak. Dan
> teriakan mereka pun diperkeras oleh awak2 ko.*
>
> Rasanya kita disini tidak pernah berpikiran utk memperkeras teriakan kanai
> pakuak tsb. Atau isu-isu lain ttg yg mungkin masih kurang positif terjadi di
> Ranah ataupun di Rantau. Kita kemukakan utk mencarikan jalan keluarnya,
> kalau ada dan kalau bisa... Prinsipnya kan nobody is a hero, bersama akan
> jauh lebih baik. Sayang waktunya lah kalau hanya sekedar sorak-sorak begitu
> saja... Kita hargai jugalah dunsanak yg sangat sibuk dg asap dapurnya masih
> menyempatkan juga menulis satu dua kalimat disini.
>
> Kesimpulan yang hampir sama ini, datang juga dari sumber2 di daerah ring 1
> atau ring 2 "disana" thd isu-isu yg didiskusikan di milis RN yg ternyata
> sangat terkenal sampai "kesana". Kok nan didiskusikan di milis itu nan
> buruak-buruak sajo...? Kan lai nan rancak2 nan kami buek pulo..? Onde
> mandee...kok dipuji-puji taruih, beko tagarubuih pulo... Salah juo kami. Baa
> mangko indak diingatkan dari dulu...? Alamaaak, iyo kamari bedo lo yieh...
> But it's ok. Itu kan namanya demokrasi, katanya... Kalau seirama pulo
> sadonyo, pindah aliran kito beko... Ok, back to the topic. Melihat komen2
> yang masuk, ternyata pakuak tidak terjadi hanya di Sumbar saja. Juga
> dibanyak daerah. Yg perlu kita sigi lagi lebih jauh, apakah intensitasnya
> sama di semua daerah. Lalu bgmn dg tetangga kita di negeri jiran? Apakah ada
> faktor ini yg menyebabkan juga, salah satunya, sehingga tingkat kunjungan
> wisman ke Malaysia per tahun bisa mencapai 16 juta orang, sedangkan ke
> Indonesia baru 5,5 juta orang..?
> Rasanya persoalannya tidak hanya patokan harga makanan di resto saja. Ambo
> melihat lebih luas dari itu. Masalah kesadaran kita thd pendatang alias
> tamu. Apakah kita sadar bahwa mereka dengan berkunjung ke tempat kita itu
> mereka bawa uang..? Apakah masyarakat kita sudah bisa menyadari bahwa kalau
> mereka nyaman mereka akan bercerita ke banyak orang lagi sehingga itu bisa
> merupakan salah satu faktor utk meningkatkan PAD...? Ini yg mendorong ambo
> mengajukan "pancingan" usulan program "4 Rancak 5 Lamak Bana".
>
> Bbrp hari lalu saya sempat ngobrol2 dg bbrp kawan2 wartawan dari Pdg. Mrk
> bilang, ekspresi sambutan yang kurang hangat dari urang awak thd pendatang
> itu yang banyak terjadi katanya. Menurut ambo, mereka tidak salah krn
> mungkin mereka memang belum pernah diberi kesadaran apa artinya orang datang
> ke negeri awak... Termasuk juga yang di Yogya, di Jakarta dan tempat2 lain
> tsb. Apa artinya kalau orang datang ke Indonesia...
>
> Di milis iko kan banyak dunsanak dari negeri jiran nih. Cubo kito tanyo,
> bgmn kesadaran masyarakat Malaysia thd pendatang alias wisman ini? Bukan TKI
> lho ya...;) Tolong Kanda Jamaluddin atau Idris Talu mungkin bisa sharing
> sedikit...
>
> Bgmn caranya dulu di Malaysia memberi kesadaran kepada masyarakatnya
> sehingga sebagian besar masyarakat sangat mendukung dan cukup helpfull thd
> wisman...? Sehingga orang-orang asing pun lebih memilih tinggal di Malaysia
> dibanding tempat lain. Waktu ambo mamacik Asia Pacific utk Proyek ERP pershn
> Bld, semua orang asingnya minta agar Data Center ditempatkan di Kuala
> Lumpur. Padahal sudah jelas, produksi paling besar dan users paling banyak
> yang akan akses sistim tsb, ada di Indonesia... *Kenyamanan dan kepastian
> thd lingkungan*, lebih utama buat mereka dibanding sewa infrastruktur yang
> akhirnya jadi lebih mahal...:)
>
> Mohon maaf sebelumnya. Semoga berkenan. Terima kasih...
>
> Wassalam,
> Nofrins
>
> ----- Original Message ----
> From: Riri Chaidir <[EMAIL PROTECTED]>
> To: RantauNet@googlegroups.com
> Sent: Monday, May 19, 2008 8:16:04 AM
> Subject: [EMAIL PROTECTED] Re: Kanai Pakuak
>
> Betul sanak Bot
>
> Perbedaan harga bisa terjadi di mana saja dan tentang apa saja. Saya tidak
> melihat adanya standar yang betul2 berlaku umum untuk suatu produk. McDonald
> atau IBM aja yang katanya ada di seluruh dunia pun harganya tidak standar.
>
> Untuk mengurangi kemungkinan dispute, harga itu dinyatakan secara tertulis.
> Tetapi seringkali itupun pakai embel2, misalnya yang satu excl pajak, yg
> satu pakai tanda asterik dengan penjelasan yang sangat kecil di footnote
> *condition applied" (dan ini di mana2 di dunia lho).
>
> Kalau mau tidak kecewa, ya calon konsumen harus nanya.
>
> Cuma yang bikin saya heran, seringkali para turis bule terhormat itu kalau
> di kampungnya bisa abis2an cari informasi ke sana kemari tentang tempat yang
> akan dikunjungi, dia datang ke travel agent, telpon, lewat internet, lewat
> brosur, leat majalah dst. Tetapi begitu sampai di kampuang awak, dia "lupa"
> segala macam ilmu itu.
>
> Kemudian beliau2 merasa "dipakuak". Mereka teriak. Dan teriakan mereka pun
> diperkeras oleh awak2 ko.
>
>
>
> RIri
> L 46
>
> 2008/5/18 Bot S Piliang <[EMAIL PROTECTED]>:
>
>> Mmm...sekedar sumbang saran
>> Memang harga tinggi sih sah-sah saja. DI Bali jug abegitu kok, harga untuk
>> internasional dan domestik juga berbeda.
>> HAnya saja di Sumbar, harga tersebut tidak standar. Sehingga turis pun bis
>> amengira-ngira apa dan kelas apa mereka akan makan. Ya, kalau nasi kapau di
>> PAsa Ateh dipatok mahal, ya kalau gitu turis yang berkocek tebal yang bisa
>> makan disana. Secara, tidak semua turis, baik nusantara atau bahkan asing
>> yang berkocek tebal. Yang ada mereka kapok dan berpikir "ternyata di makan
>> si Sumbar mahal ya...mending cari yang di Jakarta aja, rasanya juga ga jauh
>> beda..." Nah kalau sudah begitu gimana???
>>
>> regards...
>>
>>
>>
>>
>>
>
>
> >
>

--~--~---------~--~----~------------~-------~--~----~
=============================================================== 
UNTUK DIPERHATIKAN:
- Wajib mematuhi Peraturan Palanta RantauNet, mohon dibaca & dipahami! Lihat di 
http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet
- Tulis Nama, Umur & Lokasi anda pada setiap posting
- Dilarang mengirim email attachment! Tawarkan kepada yg berminat & kirim 
melalui jalur pribadi
- Dilarang posting email besar dari >200KB. Jika melanggar akan dimoderasi atau 
dibanned
- Hapus footer & bagian tdk perlu dalam melakukan reply
- Hindari penggunaan reply utk topik/subjek baru
=============================================================== 
Berhenti, kirim email kosong ke: [EMAIL PROTECTED] 

Daftarkan email anda yg terdaftar pada Google Account di: 
https://www.google.com/accounts/NewAccount?hl=id
Untuk dpt melakukan konfigurasi keanggotaan di:
http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe
===============================================================
-~----------~----~----~----~------~----~------~--~---

Kirim email ke