IjP

Terima kasih atas tulisan Bolanya dari sudut pandang yang cukup memperkaya 
bacaan saya sebagai pecandu dan penikmat bola dengan standar tinggi dan 
berkualitas seperti kompetisi liga eropa kenamaan (BPL, Serie A dan La Liga) 
dan tentunya Liga Champion yang sebentar lagi memasuki. Fase Kock out 16 besar, 
pentas para pesolek bola, para seniman bola yang glamour, penuh gengsi dan 
bertabur uang tanpa intervensi kepentingan para elit politikus dan penguasa 
Eropa, hanya satu badan yang bisa mengelola secara profesional yaitu UEFA 
dibawah komondo maestro lapangan tengah Timnas Perancis era 80 an, Michael 
Platini

Seperti banyak cerita, tulisan, kritikan di media paska AFF Cup dimana 
sepakbola kita memang sudah masuk ke ranah para politisi dengan berbagai 
kepentingan

Ya silvio berlusconi adalah pemilik klub AC Milan, raksasa eropa asal Itali 
yang mempunyai tradisi, malang melintang dan sejarah yang panjang sebagai klub 
berkelas juara baik di kompetisi lokal, eropa dan antar klub dunia

Tapi seorang PM Itali Berlusconi tidak bisa apa2 dengan kekuasaannya ketika di 
tahun 2006 terjadi skandal pengaturan skor di Serie A atau dikenal dengan 
skandal Calciopolli

Saya fans berat la veccia signora Juventus saat musim 2005 juara seri A 
terpaksa di cabut gelarnya diberikan kepada Inter Milan karena terlibat 
pengaturan skor lalu musim berikutnya I'll Bianconeri harus terlempar ke Seri 
B, kasta yang tidak pernah terbayangkan oleh sebuah klub raksasa bermain disana 
dan sepanjang sejarah seri A hanya Juventus satu-satunya klub itali yang tidak 
pernah terlempar ke Serie B sebelum skandal calcipolli tersebut

Bagaimana dengan AC Milan yang di miliki oleh politikus kawakan Itali si Raja 
Media dan melalui partainya memenangi pemilu serta mengantarkan sang Bos Silvio 
Berlusconi menjadi PM menyikapi klubnya juga terlibat kasus calcipolli

Berlusconi dengan segala kekuatannya tidak bisa mempengaruhi dan mengintervensi 
FIGC (PSSInya itali) agar lepas dari jeratan hukum

Akhirnya AC Milan di musim 2005/2006 harus memulai seria A bukan dari poin nol 
tapi dihukum poin minus (minus 9 ?) Saat itu, begitulah hebatnya sebuah aturan 
ditegakan di itali yang sedikit sepakbolanya "agak keras" penuh intrik dan 
terkadang bergaya khas "mafioso"

Sepakbola kita

Memang Nurdin dengan PSSI nya sudah keterlaluan, begitu juga dengan elit 
politiknya yang begitu mudah bahkan semudah membalikan telapak tangan mengatur 
segala sesuatu semaunnya, sekehendaknya melabrak aturan2 yang ada demi 
kepentingan segelintir elit, golangan dan kekuasaan

Begitu juga di daerah setali tiga uang, sebelas dua belas dengan PSSI Nurdin, 
para elit daerahg memanfaatkan ajang sepakbola bagi kepentingan mereka semata 
diperparah klub binaan daerah dalam pembiayaannya menyusu pada APBD yang 
berakibat para pemimpin daerah apalagi jika waktu pilkada semakin dekat 
dijadikan mereka klub ini sebagai alat atau mesin politiknya untuk mencapai 
tujuan pribadinya agar terpilih kembali jadi Gubernur, Wako dan Bupati.Rakyat 
banyak hanya mendapat tontonan dan euforia semu
belaka sorak sana sini, teriak sana sini sambil membawa spanduk2,poster elit 
politik yang menyatu dengan logo atau lambang klub dengan kata-kata lebih 
menyanjung elit tersebut dari pada klub kebanggaannya

Sepakbola nasional kita apaboleh buat memang sarat kepentingan para elite 
politik, golongan dan kekuasaan dinegeri ini, sangat paradok sekali degan 
kondisi persepakbolaan Eropa yang begitu bergairah ditonton masyarakat 
Indonesia melalui tayangan live stasiun televisi swasta kita.

Quo Vadis sepakbola Indonesia

Salam-Jepe
Sent from my AXIS Worry Free BlackBerry® smartphone

-----Original Message-----
From: Indra Jaya Piliang <pi_li...@yahoo.com>
Sender: rantaunet@googlegroups.com
Date: Tue, 18 Jan 2011 01:33:31 
To: <rantaunet@googlegroups.com>
Reply-To: rantaunet@googlegroups.com
Subject: [R@ntau-Net] IJP: Politik Bola, Bola Politik

Majalah Trust, 13 Januari 2011 
Politik Bola, Bola Politik

Oleh
Indra J Piliang
Dewan Penasehat The Indonesian Institute
 
Akhir tahun 2010 ditandai dengan fatamorgana kebangkitan sepakbola Indonesia. 
Bola memasuki ruang publik sedemikian masif. Dunia infotainment yang semula 
diisi para artis atau kalangan yang dekat istana, kini mulai dihuni para 
olahragawan sepakbola. Euforia terjadi di bidang olahraga penuh talenta. Semua 
kalangan merasa perlu dekat dengan kalangan olahragawan ini. 
 
Yang tak kalah penting adalah gejala – yang dikatakan sebagian orang -- politik 
memasuki area sepakbola. Kata sebagian orang. Padahal, dari sisi siapa yang 
menangani sepakbola, itu bukan fenomena baru. Perdana Menteri Italia Silvio 
Berlusconi juga memiliki klub sepakbola: AC Milan. Mantan Perdana Menteri 
Thailand Thaksin Shinawatra malahan sempat membeli klub Manchester City, 
Inggris. 
 
Silvio dan Thaksin pernah menghadapi situasi politik yang buruk. Kalah atau 
tersingkir. Atau hidup di pengasingan. Seniman dan sekaligus mantan Presiden 
Cekoslovakia Vaclav Havel pernah menyebut: politik itu kotor, puisi yang 
membersihkannya. Kini, dengan euforia bola, kita bisa juga mengatakan: politik 
itu kotor, bola yang menghiburnya. 
 
Apakah betul politisi Indonesia yang terjun ke dunia sepakbola – antara lain 
menjadi pengurus PSSI – benar-benar sedang mencari hiburan dengan bola? Ataukah 
ada yang lain? Kepentingan politik, misalnya? Di sini, politik diartikan 
sebagai upaya untuk membuat agar kehadiran seorang politisi di dunia bola, atau 
dukungan yang ia berikan kepada kegiatan sepakbola, akan berimbas kepada 
dukungan suporter kepada kepentingan politik sang politisi. Bahwa bola akan 
melahirkan para penguasa.
 
Bagi saya, itu adalah guyonan. Tak ada korelasinya. Baik dalam praktek selama 
ini, ataupun dalam bentuk yang lebih ilmiah, katakanlah lewat mekanisme survei. 
Dalam pemilu legislatif 2009 lalu, misalnya, politisi mengeluarkan begitu 
banyak uang untuk membiayai beragam aktivitas olahraga. Apa lacur? Banyak 
politisi menjadi bangkrut, baik secara finansial, maupun secara politik. 
Politisi menghabiskan biaya banyak, tanpa balasan dukungan suara. 
 
Isu bola, sebagaimana dengan pemberantasan korupsi, termasuk tak populer bagi 
mayoritas pemilih. Pemilih lebih memperhatikan masalah-masalah mendasar seperti 
ekonomi, pendidikan, kesehatan dan lapangan kerja. Bahkan, isu-isu agamapun 
terabaikan. Bola lebih terkait dengan keintiman pribadi, ketimbang kepentingan 
kolektif atas nama politik. 
 
Jadi, upaya “men-sekuler-kan” hubungan antara bola dengan politik adalah usaha 
yang sia-sia. Toh, paling tidak di Indonesia, keduanya tak pernah benar-benar 
bersatu. Sejak lama bola dan politik tidak saling berhubungan. Rp. 500 Juta 
uang yang digunakan seorang kawan dalam liga sepakbola di dapilnya, hanya 
berbuah 4.000-an suara pemilih. Yang 4.000-an pemilih itupun bukan penonton 
sepakbola, tapi lebih banyak sanak-keluarga dekatnya. Nah, bandingkan kalau 
bantuan itu diberikan ke suatu pesantren atau komunitas tertentu, bisa jadi 
sebagai bentuk kesantunan sikap akan berbuah suara besar. 
 
Kegiatan menonton bola dan menyukai klub-klub tertentu adalah area yang lepas 
dari nuansa turun-naik tensi politik. Saya sejak lama menyukai Chelsea di 
Inggris, Inter Milan di Italia dan Barcelona di Spanyol. Saya menyukai Zola, 
Christian Vieri dan Rivaldo. Tapi tidak mesti kesukaan itu lantas memasuki 
dunia politik. Saya tidak pernah mau tahu pandangan-pandangan politik Zola, 
Vieri dan Rivaldo. 
 
Bola hanya mengajarkan tentang humanisme dalam bentuk yang lain. Tanpa perlu 
filsuf-filsuf moderen, bola memperlihatkan bagaimana kelas-kelas sosial 
pelan-pelan digerus dan menerima kebhinnekaan-budaya. Beberapa klub sempat 
menjadi rasis dengan tak menerima pemain-pemain berwarna, terutama dari Afrika. 
Dan itu masih di awal abad 21. Tetapi, perlahan, FIFA memperketat peraturan. 
Bola menjadi lebih ramah dengan kemajemukan. Bola menjadi medan perjuangan.
 
http://www.indrapiliang.com/2011/01/18/politik-bola-bola-politik/


      

-- 
.
* Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain 
wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta R@ntauNet 
http://groups.google.com/group/RantauNet/~
* Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email.
===========================================================
UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi:
- DILARANG:
  1. E-mail besar dari 200KB;
  2. E-mail attachment, tawarkan di sini & kirim melalui jalur pribadi; 
  3. One Liner.
- Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet
- Tulis Nama, Umur & Lokasi disetiap posting
- Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply
- Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama & mengganti 
subjeknya.
===========================================================
Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/

-- 
.
* Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain 
wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta R@ntauNet 
http://groups.google.com/group/RantauNet/~
* Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email.
===========================================================
UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi:
- DILARANG:
  1. E-mail besar dari 200KB;
  2. E-mail attachment, tawarkan di sini & kirim melalui jalur pribadi; 
  3. One Liner.
- Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet
- Tulis Nama, Umur & Lokasi disetiap posting
- Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply
- Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama & mengganti 
subjeknya.
===========================================================
Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/

Kirim email ke