Re: [Millis AKI- stop smoking] Antara Neoliberalisme dan hasil Privatisasi Air di Jakarta sekarang
At 10:25 AM 3/25/2010, you wrote: Saudari Dyah Anggita Sari (or whoever you are) Anda sudah memanipulasi tulisan saya, memangkas dan meng-edit-nya sedemikian rupa supaya sesuai dengan selera anda, dan melarikannya ke luar konteks - sekadar supaya anda bisa ngomong. Terkutuklah anda. Ah iya, apakah di antara kita ada yang mandi pakai air galonan? atau siram WC? atau cuci mobil? Nggak ada. Air galonan cuma buat diminum. Ini berarti mahalnya harga air berakibat kita semakin berhemat dalam mengkonsumsinya. Dan juga sebaliknya, bila air harganya murah maka kita akan cenderung memboroskannya. Kita pakai untuk mandi, mencuci pakaian, menyiram WC, mencuci mobil, menyiram kebun. Ini namanya munafik. Mau harga murah, tapi malah dibuang-buang. Iya kalo seperti Bapak Poltak yang mewakili orang orang kaya di Jakarta. Tetapi berapa persen masyarakat lapis bawah di Jakarta yang boro boro mau make air untuk mencuci mobil, naik mobil saja barangkali bisa terjadi kalo jadi joki three in one. Orang miskin di jakarta hanya bisa ternganga melihat harga air yang membumbung tinggi. Jika tidak kuat beli, maka pake air sungai yang akhirnya kena muntaber dan sakit. Kalau nggak ketolongan ya bisa mati. Ya bener juga sih cara ampuh metode neoliberalisme mengurangi orang miskin. Padahal UUD 45 jelas jelas mengamanatkan bahwa bumi air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar besarnya untuk kemakmuran rakyat. Pedoman bijak leluhur kita yang kini sudah diabaikan penerusnya yang sudah terpukau dan terpesona oleh teori teori negeri barat yang tidak cocok diterapkan di sini. Dulu PAM yang melakukannya. Tapi karena harga jual air-nya tidak pernah menutup biaya produksi jadinya tekor - akibatnya modal PAM terkuras. Dengan modal yang terkuras, PAM tidak bisa memperluas jaringan - karena tidak ada duit untuk mengusahakan air baku, menampung, membersihkan, dan mengalirkannya. Jangan kata beli pipa berpuluh atau beratus kilometer.Alhasil, yang dari satu kota - yang bisa dilayani cuman 30-40%-nya. Sisanya tidak terlayani Saya nggak banyak komentar. Namun sudah ada pembahasan lebih lengkap di link di bawah yang membuktikan bahwa kenyataan hasil privatisasi air di jakarta tidaklah seindah mimpi mimpi anda: http://bemfisipui.wordpress.com/2009/01/15/membaca-relasi-kuasa-dan-pengetahuan-dalam-privatisasi-air-di-indonesia/http://bemfisipui.wordpress.com/2009/01/15/membaca-relasi-kuasa-dan-pengetahuan-dalam-privatisasi-air-di-indonesia/
Memo admin Re: [Millis AKI- stop smoking] Antara Neoliberalisme dan hasil Privatisasi Air di Jakarta sekarang
All, Saya kira penting menjaga agar diskusi tetap kondusif. Millis ini adalah millis pembelajaran. Tidak ada halangan apapun untuk urun rembug atau bertanya, selama tujuan akhirnya saling mencerahkan. Ada yg pintar, ada yg kurang pinter. Ada yg mancing2, dan ada yg mudah kepancing. Kata2 bro Poltak dibawah, seharusnya tidak perlu disampaikan. Mungkin mbak Dyah, memang salah mengerti, mengingat masing2 orang cenderung memelihara pemahamannya sendiri. Bilamana ada complaint mengenai member lain, silahkan melalui Moderator. Regards, Oka Widana Powered by Telkomsel BlackBerry® -Original Message- From: Poltak Hotradero hotrad...@gmail.com Date: Thu, 25 Mar 2010 13:05:17 To: AhliKeuangan-Indonesia@yahoogroups.com Subject: Re: [Millis AKI- stop smoking] Antara Neoliberalisme dan hasil Privatisasi Air di Jakarta sekarang At 10:25 AM 3/25/2010, you wrote: Saudari Dyah Anggita Sari (or whoever you are) Anda sudah memanipulasi tulisan saya, memangkas dan meng-edit-nya sedemikian rupa supaya sesuai dengan selera anda, dan melarikannya ke luar konteks - sekadar supaya anda bisa ngomong. Terkutuklah anda. Ah iya, apakah di antara kita ada yang mandi pakai air galonan? atau siram WC? atau cuci mobil? Nggak ada. Air galonan cuma buat diminum. Ini berarti mahalnya harga air berakibat kita semakin berhemat dalam mengkonsumsinya. Dan juga sebaliknya, bila air harganya murah maka kita akan cenderung memboroskannya. Kita pakai untuk mandi, mencuci pakaian, menyiram WC, mencuci mobil, menyiram kebun. Ini namanya munafik. Mau harga murah, tapi malah dibuang-buang. Iya kalo seperti Bapak Poltak yang mewakili orang orang kaya di Jakarta. Tetapi berapa persen masyarakat lapis bawah di Jakarta yang boro boro mau make air untuk mencuci mobil, naik mobil saja barangkali bisa terjadi kalo jadi joki three in one. Orang miskin di jakarta hanya bisa ternganga melihat harga air yang membumbung tinggi. Jika tidak kuat beli, maka pake air sungai yang akhirnya kena muntaber dan sakit. Kalau nggak ketolongan ya bisa mati. Ya bener juga sih cara ampuh metode neoliberalisme mengurangi orang miskin. Padahal UUD 45 jelas jelas mengamanatkan bahwa bumi air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar besarnya untuk kemakmuran rakyat. Pedoman bijak leluhur kita yang kini sudah diabaikan penerusnya yang sudah terpukau dan terpesona oleh teori teori negeri barat yang tidak cocok diterapkan di sini. Dulu PAM yang melakukannya. Tapi karena harga jual air-nya tidak pernah menutup biaya produksi jadinya tekor - akibatnya modal PAM terkuras. Dengan modal yang terkuras, PAM tidak bisa memperluas jaringan - karena tidak ada duit untuk mengusahakan air baku, menampung, membersihkan, dan mengalirkannya. Jangan kata beli pipa berpuluh atau beratus kilometer.Alhasil, yang dari satu kota - yang bisa dilayani cuman 30-40%-nya. Sisanya tidak terlayani Saya nggak banyak komentar. Namun sudah ada pembahasan lebih lengkap di link di bawah yang membuktikan bahwa kenyataan hasil privatisasi air di jakarta tidaklah seindah mimpi mimpi anda: http://bemfisipui.wordpress.com/2009/01/15/membaca-relasi-kuasa-dan-pengetahuan-dalam-privatisasi-air-di-indonesia/http://bemfisipui.wordpress.com/2009/01/15/membaca-relasi-kuasa-dan-pengetahuan-dalam-privatisasi-air-di-indonesia/ [Non-text portions of this message have been removed] = Millis AKI mendukung kampanye Stop Smoking = Alamat penting terkait millis AKI Blog resmi AKI: www.ahlikeuangan-indonesia.com Facebook AKI: http://www.facebook.com/group.php?gid=6247303045 Arsip Milis AKI online: http://www.mail-archive.com/ahlikeuangan-indonesia@yahoogroups.com = Perhatian : Untuk kenyamanan bersama, agar diperhatikan hal-hal berikut: - Dalam hal me-reply posting, potong/edit ekor posting sebelumnya - Diskusi yg baik adalah bila saling menghormati pendapat yang ada. Anggota yang melanggar tata tertib millis akan dikenakan sanksi tegas - Saran, kritik dan tulisan untuk blog silahkan kirim ke ahlikeuangan-indonesia-ow...@yahoogroups.comyahoo! Groups Links * To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/AhliKeuangan-Indonesia/ * Your email settings: Individual Email | Traditional * To change settings online go to: http://groups.yahoo.com/group/AhliKeuangan-Indonesia/join (Yahoo! ID required) * To change settings via email: ahlikeuangan-indonesia-dig...@yahoogroups.com ahlikeuangan-indonesia-fullfeatu...@yahoogroups.com * To unsubscribe from this group, send an email to: ahlikeuangan-indonesia-unsubscr...@yahoogroups.com * Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/
RE: Memo admin Re: [Millis AKI- stop smoking] Antara Neoliberalisme dan hasil Privatisasi Air di Jakarta sekarang
Ya saya setuju dengan Moderator, kata-kata TERKUTUKLAH sangat tidak nyaman di dengar apalagi di ucapkan oleh orang sepintar Sdr. Poltak... Juga tidak ada hak seseoarang untuk mengutuk orang lain... Maaf kalo dah lancang bersuara, saya orang yg tidak pintar, jd takut bersuara, cuman walau gak pintar, saya rasanya gak nyaman ada kata-kata seperti itu di forum yg katanya tempat orang-orang pintar dan professional ini... Salam ismed -Original Message- From: AhliKeuangan-Indonesia@yahoogroups.com [mailto:ahlikeuangan-indone...@yahoogroups.com] On Behalf Of Oka Widana Sent: Thursday, March 25, 2010 1:54 PM To: Millis AKI Subject: Memo admin Re: [Millis AKI- stop smoking] Antara Neoliberalisme dan hasil Privatisasi Air di Jakarta sekarang All, Saya kira penting menjaga agar diskusi tetap kondusif. Millis ini adalah millis pembelajaran. Tidak ada halangan apapun untuk urun rembug atau bertanya, selama tujuan akhirnya saling mencerahkan. Ada yg pintar, ada yg kurang pinter. Ada yg mancing2, dan ada yg mudah kepancing. Kata2 bro Poltak dibawah, seharusnya tidak perlu disampaikan. Mungkin mbak Dyah, memang salah mengerti, mengingat masing2 orang cenderung memelihara pemahamannya sendiri. Bilamana ada complaint mengenai member lain, silahkan melalui Moderator. Regards, Oka Widana Powered by Telkomsel BlackBerry(r) -Original Message- From: Poltak Hotradero hotrad...@gmail.com Date: Thu, 25 Mar 2010 13:05:17 To: AhliKeuangan-Indonesia@yahoogroups.com Subject: Re: [Millis AKI- stop smoking] Antara Neoliberalisme dan hasil Privatisasi Air di Jakarta sekarang At 10:25 AM 3/25/2010, you wrote: Saudari Dyah Anggita Sari (or whoever you are) Anda sudah memanipulasi tulisan saya, memangkas dan meng-edit-nya sedemikian rupa supaya sesuai dengan selera anda, dan melarikannya ke luar konteks - sekadar supaya anda bisa ngomong. Terkutuklah anda. Ah iya, apakah di antara kita ada yang mandi pakai air galonan? atau siram WC? atau cuci mobil? Nggak ada. Air galonan cuma buat diminum. Ini berarti mahalnya harga air berakibat kita semakin berhemat dalam mengkonsumsinya. Dan juga sebaliknya, bila air harganya murah maka kita akan cenderung memboroskannya. Kita pakai untuk mandi, mencuci pakaian, menyiram WC, mencuci mobil, menyiram kebun. Ini namanya munafik. Mau harga murah, tapi malah dibuang-buang. Iya kalo seperti Bapak Poltak yang mewakili orang orang kaya di Jakarta. Tetapi berapa persen masyarakat lapis bawah di Jakarta yang boro boro mau make air untuk mencuci mobil, naik mobil saja barangkali bisa terjadi kalo jadi joki three in one. Orang miskin di jakarta hanya bisa ternganga melihat harga air yang membumbung tinggi. Jika tidak kuat beli, maka pake air sungai yang akhirnya kena muntaber dan sakit. Kalau nggak ketolongan ya bisa mati. Ya bener juga sih cara ampuh metode neoliberalisme mengurangi orang miskin. Padahal UUD 45 jelas jelas mengamanatkan bahwa bumi air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar besarnya untuk kemakmuran rakyat. Pedoman bijak leluhur kita yang kini sudah diabaikan penerusnya yang sudah terpukau dan terpesona oleh teori teori negeri barat yang tidak cocok diterapkan di sini. Dulu PAM yang melakukannya. Tapi karena harga jual air-nya tidak pernah menutup biaya produksi jadinya tekor - akibatnya modal PAM terkuras. Dengan modal yang terkuras, PAM tidak bisa memperluas jaringan - karena tidak ada duit untuk mengusahakan air baku, menampung, membersihkan, dan mengalirkannya. Jangan kata beli pipa berpuluh atau beratus kilometer.Alhasil, yang dari satu kota - yang bisa dilayani cuman 30-40%-nya. Sisanya tidak terlayani Saya nggak banyak komentar. Namun sudah ada pembahasan lebih lengkap di link di bawah yang membuktikan bahwa kenyataan hasil privatisasi air di jakarta tidaklah seindah mimpi mimpi anda: http://bemfisipui.wordpress.com/2009/01/15/membaca-relasi-kuasa-dan-pe ngetahuan-dalam-privatisasi-air-di-indonesia/http://bemfisipui.wordpres s.com/2009/01/15/membaca-relasi-kuasa-dan-pengetahuan-dalam-privatisasi- air-di-indonesia/ [Non-text portions of this message have been removed] = Millis AKI mendukung kampanye Stop Smoking = Alamat penting terkait millis AKI Blog resmi AKI: www.ahlikeuangan-indonesia.com Facebook AKI: http://www.facebook.com/group.php?gid=6247303045 Arsip Milis AKI online: http://www.mail-archive.com/ahlikeuangan-indonesia@yahoogroups.com = Perhatian : Untuk kenyamanan bersama, agar diperhatikan hal-hal berikut: - Dalam hal me-reply posting, potong/edit ekor posting sebelumnya - Diskusi yg baik adalah bila saling menghormati pendapat yang ada. Anggota yang melanggar tata tertib millis akan dikenakan sanksi tegas - Saran, kritik dan tulisan untuk blog silahkan kirim ke
Re: Memo admin Re: [Millis AKI- stop smoking] Antara Neoliberalisme dan hasil Privatisasi Air di Jakarta sekarang
At 01:53 PM 3/25/2010, you wrote: Mas Oka, Saya rasa ini masalah etika. Coba baca bagian ini: Iya kalo seperti Bapak Poltak yang mewakili orang orang kaya di Jakarta. Tetapi berapa persen masyarakat lapis bawah di Jakarta yang boro boro mau make air untuk mencuci mobil, naik mobil saja Tidakkah pernyataan di atas itu KEJI? Apakah masih tersisa etika? Apakah masih kontekstual dengan posting yang saya sampaikan? Apa iya posting saya semata-mata mewakili sudut pandang orang kaya di Jakarta? Tidakkah itu secara tidak langsung mengatakan saya tidak punya otak, hati dan perasaan? Posting saya menyebutkan tentang apa yang terjadi dengan orang yang terpaksa beli air pikulan yang harganya berlipat-lipat kali. Saya bicara tentang REALITA trade-off antara harga dan penggunaan air. Saya bicara tentang bagaimana sebuah perusahaan perlu modal dan bagaimana modal digunakan untuk mengembangkan usaha. Saya bicara realita. Bukan masalah mahal-murahnya yang penting -- tetapi bagaimana air bersih DIPEROLEH dan DIPERLAKUKAN. Kalau memang berharga - ya dihemat. Kalau dibuang-buang - berarti dianggap tidak berharga. Kalau pemerintah nggak sanggup mengusahakan - ya dicari pemecahannya. Bukannya bermimpi bahwa pompa, pipa, dan penyaring air bisa muncul begitu saja - dan dengan tiba-tiba semua orang tercerahkan secara transcendental untuk menggunakan air secukupnya. Air memang tercipta alami dan gratis. Tetapi pipa, pompa dan penyaring air tidak demikian. Kata-kata terakhir di atas muncul di majalah National Geographics Indonesia edisi bulan ini - yang kebetulan tema-nya juga tentang air. All, Saya kira penting menjaga agar diskusi tetap kondusif. Millis ini adalah millis pembelajaran. Tidak ada halangan apapun untuk urun rembug atau bertanya, selama tujuan akhirnya saling mencerahkan. Ada yg pintar, ada yg kurang pinter. Ada yg mancing2, dan ada yg mudah kepancing. Kata2 bro Poltak dibawah, seharusnya tidak perlu disampaikan. Mungkin mbak Dyah, memang salah mengerti, mengingat masing2 orang cenderung memelihara pemahamannya sendiri. Bilamana ada complaint mengenai member lain, silahkan melalui Moderator. Regards, Oka Widana
Re: [Millis AKI- stop smoking] Antara Neoliberalisme dan hasil Privatisasi Air di Jakarta sekarang
Smart analysis, Pak Poltak. Regards, SJ --- In AhliKeuangan-Indonesia@yahoogroups.com, Jhon Veter jhon_ve...@... wrote: Dear pak Poltak, Pandangan inilah yang harusnya diketahui publik, terkadang di Koran atau pun majalah kebanyakan pandangan dari LSM yang gak tahu juntrungannya, pahlawan kesiangan lah. Padahal yang namanya kapitalisasi itu gak selamanya buruk . Malah win-win solution. Salam JV _ From: AhliKeuangan-Indonesia@yahoogroups.com [mailto:ahlikeuangan-indone...@yahoogroups.com] On Behalf Of Poltak Hotradero Sent: 22 Maret 2010 6:53 To: AhliKeuangan-Indonesia@yahoogroups.com Subject: Re: [Millis AKI- stop smoking] Antara Neoliberalisme dan hasil Privatisasi Air di Jakarta sekarang At 11:36 PM 3/21/2010, you wrote: Betul, masalah adalah lebih kompleks daripada yang terlihat. Coba kita analisa satu persatu: PAM = Perusahaan Air Minum. Ini berarti output perusahaan tersebut adalah Air untuk Minum. Pertanyaannya: Apakah airnya bisa langsung diminum? Ternyata tidak. Masih perlu diolah dengan cara dimasak dulu. Berapa harganya? Untuk Jakarta rata-rata sekitar Rp. 6600 per meter kubik. Ini sama setara dengan Rp. 6,6 per liter. Berapa yang kita bayar untuk beli air minum galonan? Rp. 5000 - 12000 per galonan (isi 19 liter). Ini berarti harganya Rp. 263 hingga Rp. 630 per liter. Saya jadi heran, kalau ada orang yang ribut soal air PAM yang hampir 50-100 kali lebih murah -- tapi nggak ribut soal harga air minum galonan. Ah iya, apakah di antara kita ada yang mandi pakai air galonan? atau siram WC? atau cuci mobil? Nggak ada. Air galonan cuma buat diminum. Ini berarti mahalnya harga air berakibat kita semakin berhemat dalam mengkonsumsinya. Dan juga sebaliknya, bila air harganya murah -- maka kita akan cenderung memboroskannya. Kita pakai untuk mandi, mencuci pakaian, menyiram WC, mencuci mobil, menyiram kebun. Sedemikian borosnya, sampai kalau pipa / keran bocor saja kita malas memperbaikinya. Dibiarkan saja bocor. Ini namanya munafik. Mau harga murah, tapi malah dibuang-buang. Diboroskan. Air memang gratis - ada di mana-mana, tapi air bersih tidak pernah bisa gratis. Mengapa? Karena selalu ada biaya ekonomi yang diperlukan untuk membersihkan air. Menampungnya, Mengalirkannya. Dulu PAM yang melakukannya. Tapi karena harga jual air-nya tidak pernah menutup biaya produksi jadinya tekor - akibatnya modal PAM terkuras. Dengan modal yang terkuras, PAM tidak bisa memperluas jaringan - karena tidak ada duit untuk mengusahakan air baku, menampung, membersihkan, dan mengalirkannya. Jangan kata beli pipa berpuluh atau beratus kilometer. Alhasil, yang dari satu kota - yang bisa dilayani cuman 30-40%-nya. Sisanya tidak terlayani. Dan yang tidak terlayani ini terpaksa membeli air bersih pikulan. Atau menampung air hujan. Atau menyedot air tanah (sehingga permukaan air tanah jadi turun - air asin merembes masuk dan akhirnya merusak lingkungan). Air pikulan harganya berkali-kali lebih mahal daripada air PAM. Privasisasi Air adalah untuk mencapai jalan tengah. Dengan melibatkan sektor private/swasta, maka tersedia modal bagi perusahaan air untuk mengembangkan jaringan. Buat beli pipa dan memasangnya. Buat mengusahakan air baku. Harga air jadi naik? Ya wajar saja, kan pipa harus dibeli dan dipasang. Air yang perlu dibersihkan dan dialirkan kan juga jadi lebih banyak. Namun begitu, bagi ribuan rumah tangga dan jutaan orang yang sebelumnya harus beli air pikulan -- harga itu tetap JAUH lebih murah. Dan kualitasnya jauh lebih baik daripada air hujan yang ditampung - atau air tanah yang makin tercemar (JUTAAN orang yang tinggal di daerah Jakarta Utara - tahu persis seperti apa kualitas air tanah di sana seperti apa). Harga yang lebih mahal juga akan membuat orang lebih menghargai air. Kalau punya pipa yang bocor atau keran yang rusak -- akan segera diperbaiki, karena membiarkannya akan sama dengan membuang-buang uang. Wajarkah kalau perusahaan air bersih beroleh laba? Wajar-wajar saja. Toh dengan laba tersebut - maka akan diperoleh modal yang lebih kuat. Modal yang lebih kuat akan berkonsekuensi belanja modal (capex) yang lebih besar, yang berarti lebih banyak pipa yang bisa dibeli dan lebih banyak air yang bisa dibersihkan. Dan ini berarti lebih banyak lagi orang yang bisa beroleh akses terhadap air bersih lewat pipa. Nggak perlu dipikul atau nampung air hujan. Perusahaan air beroleh laba - sementara konsumen beroleh untung. Win-win situation. Dengan air yang lebih mahal - maka orang akan cenderung mandi menggunakan shower. Mengapa? Karena mandi menggunakan bak dan gayung bisa 5-10 kali lebih boros air. Selama orang masih mandi menggunakan bak dan gayung -- berarti air bersih masih dianggap murah. Selama orang membiarkan pipa dan kerannya rusak -- berarti air bersih masih dianggap murah. Air bocor
Re: [Millis AKI- stop smoking] Antara Neoliberalisme dan hasil Privatisasi Air di Jakarta sekarang
--- In AhliKeuangan-Indonesia@yahoogroups.com, Poltak Hotradero hotrad...@... wrote: At 11:36 PM 3/21/2010, you wrote: Ah iya, apakah di antara kita ada yang mandi pakai air galonan? atau siram WC? atau cuci mobil? Nggak ada. Air galonan cuma buat diminum. Ini berarti mahalnya harga air berakibat kita semakin berhemat dalam mengkonsumsinya. Dan juga sebaliknya, bila air harganya murah maka kita akan cenderung memboroskannya. Kita pakai untuk mandi, mencuci pakaian, menyiram WC, mencuci mobil, menyiram kebun. Ini namanya munafik. Mau harga murah, tapi malah dibuang-buang. Iya kalo seperti Bapak Poltak yang mewakili orang orang kaya di Jakarta. Tetapi berapa persen masyarakat lapis bawah di Jakarta yang boro boro mau make air untuk mencuci mobil, naik mobil saja barangkali bisa terjadi kalo jadi joki three in one. Orang miskin di jakarta hanya bisa ternganga melihat harga air yang membumbung tinggi. Jika tidak kuat beli, maka pake air sungai yang akhirnya kena muntaber dan sakit. Kalau nggak ketolongan ya bisa mati. Ya bener juga sih cara ampuh metode neoliberalisme mengurangi orang miskin. Padahal UUD 45 jelas jelas mengamanatkan bahwa bumi air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar besarnya untuk kemakmuran rakyat. Pedoman bijak leluhur kita yang kini sudah diabaikan penerusnya yang sudah terpukau dan terpesona oleh teori teori negeri barat yang tidak cocok diterapkan di sini. Dulu PAM yang melakukannya. Tapi karena harga jual air-nya tidak pernah menutup biaya produksi jadinya tekor - akibatnya modal PAM terkuras. Dengan modal yang terkuras, PAM tidak bisa memperluas jaringan - karena tidak ada duit untuk mengusahakan air baku, menampung, membersihkan, dan mengalirkannya. Jangan kata beli pipa berpuluh atau beratus kilometer.Alhasil, yang dari satu kota - yang bisa dilayani cuman 30-40%-nya. Sisanya tidak terlayani Saya nggak banyak komentar. Namun sudah ada pembahasan lebih lengkap di link di bawah yang membuktikan bahwa kenyataan hasil privatisasi air di jakarta tidaklah seindah mimpi mimpi anda: http://bemfisipui.wordpress.com/2009/01/15/membaca-relasi-kuasa-dan-pengetahuan-dalam-privatisasi-air-di-indonesia/
Re: [Millis AKI- stop smoking] Antara Neoliberalisme dan hasil Privatisasi Air di Jakarta sekarang
Saya rasa banyak yang bukan neolib. Maksud anda neolib atau anti neolib ini apa? Banyak nuansa dalam lib nolib, neolib, monopoli, dll... jadi kalo ngomong jangan terlalu ngambang dengan konsep-konsep yang namanya sering di salah artikan masyarakat... Kalau cuma monopoli dan bukan monopoli sih ilmu ekonomi umum biasa juga bahas begitu. Sudah sejak SMP dan jamak jadi tidak termasuk bahasan neolib dan sosialis atau komunis segala... Ada satu konsep yang perlu dipelajari dan dipahami bila berkaitan dengan 'public goods' yakni eksternalitas. 2010/3/23 Jhon Veter jhon_ve...@yahoo.com.sg Kira-kira demikian pandangan saya untuk orang-orang yang anti neolib padahal mereka kayanya dari neolib juga. Salam JV -Original Message- From: AhliKeuangan-Indonesia@yahoogroups.com [mailto:ahlikeuangan-indone...@yahoogroups.com] On Behalf Of Wong Cilik Sent: 22 Maret 2010 14:44 To: AhliKeuangan-Indonesia@yahoogroups.com Subject: Re: [Millis AKI- stop smoking] Antara Neoliberalisme dan hasil Privatisasi Air di Jakarta sekarang Setuju sih... Walaupun kadang yang diajak jadi mitra swastanya kadang-kadang bisa kelewatan juga. Di negara lain (entah kongo atau mana di afrika gitu kale...) saya pernah lihat penduduknya malah kena kutuk... Gara-garanya kenapa? Waktu ngajak mitra asing bangun saluran air/kebersihan, ternyata pemerintahnya malah kasi monopoli. Saking jahatnya mau nampung air ujan aja gak bole sama itu swasta. Sama lah dengan India jamannya Mahatma Gandhi. Seluruh hak pembuatan garam dimiliki swasta (inggris), sampai-sampai penduduk pantai mau jemur air laut buat garam sendiri juga gak boleh. Yah yang macam di atas ini sih gara-gara pemerintahnya bodo dan tangan besi. Kasus modern barangkali seperti studi kasusnya pak Palamu99... soal stapled securities itu. Kasusnya kan masalah perusahaan infrastruktur/jalan tol kalau gak salah. Di australia karena banyak jalan alternatif, banyak yang lebih pilih jalan gratis walaupun akibatnya jalan alternatif tersebut jadi macet. Sudah di bangun tapi jalan tolnya sepi pengunjung gara-gara mahal. Yah yang macam begini kan jadi dilema juga... ngundang investor bikin jalan tapi malah investornya merugi. 2010/3/22 Jhon Veter jhon_ve...@yahoo.com.sg Dear pak Poltak, Pandangan inilah yang harusnya diketahui publik, terkadang di Koran atau pun majalah kebanyakan pandangan dari LSM yang gak tahu juntrungannya, pahlawan kesiangan lah. Padahal yang namanya kapitalisasi itu gak selamanya buruk .. Malah win-win solution. Salam JV _ From: AhliKeuangan-Indonesia@yahoogroups.com [mailto:ahlikeuangan-indone...@yahoogroups.com] On Behalf Of Poltak Hotradero Sent: 22 Maret 2010 6:53 To: AhliKeuangan-Indonesia@yahoogroups.com Subject: Re: [Millis AKI- stop smoking] Antara Neoliberalisme dan hasil Privatisasi Air di Jakarta sekarang At 11:36 PM 3/21/2010, you wrote: Betul, masalah adalah lebih kompleks daripada yang terlihat. Coba kita analisa satu persatu: PAM = Perusahaan Air Minum. Ini berarti output perusahaan tersebut adalah Air untuk Minum. Pertanyaannya: Apakah airnya bisa langsung diminum? Ternyata tidak. Masih perlu diolah dengan cara dimasak dulu. Berapa harganya? Untuk Jakarta rata-rata sekitar Rp. 6600 per meter kubik. Ini sama setara dengan Rp. 6,6 per liter. Berapa yang kita bayar untuk beli air minum galonan? Rp. 5000 - 12000 per galonan (isi 19 liter). Ini berarti harganya Rp. 263 hingga Rp. 630 per liter. Saya jadi heran, kalau ada orang yang ribut soal air PAM yang hampir 50-100 kali lebih murah -- tapi nggak ribut soal harga air minum galonan. Ah iya, apakah di antara kita ada yang mandi pakai air galonan? atau siram WC? atau cuci mobil? Nggak ada. Air galonan cuma buat diminum. Ini berarti mahalnya harga air berakibat kita semakin berhemat dalam mengkonsumsinya. Dan juga sebaliknya, bila air harganya murah -- maka kita akan cenderung memboroskannya. Kita pakai untuk mandi, mencuci pakaian, menyiram WC, mencuci mobil, menyiram kebun. Sedemikian borosnya, sampai kalau pipa / keran bocor saja kita malas memperbaikinya. Dibiarkan saja bocor. Ini namanya munafik. Mau harga murah, tapi malah dibuang-buang. Diboroskan. Air memang gratis - ada di mana-mana, tapi air bersih tidak pernah bisa gratis. Mengapa? Karena selalu ada biaya ekonomi yang diperlukan untuk membersihkan air. Menampungnya, Mengalirkannya. Dulu PAM yang melakukannya. Tapi karena harga jual air-nya tidak pernah menutup biaya produksi jadinya tekor - akibatnya modal PAM terkuras. Dengan modal yang terkuras, PAM tidak bisa memperluas jaringan - karena tidak ada duit untuk mengusahakan air baku, menampung, membersihkan, dan mengalirkannya. Jangan kata beli pipa berpuluh atau beratus
Re: [Millis AKI- stop smoking] Antara Neoliberalisme dan hasil Privatisasi Air di Jakarta sekarang
Kembali ke persoalan awal, jadi bagaimana baiknya untuk Indonesia dalam layanan dasar publik ini (air bersih, sampah rumah tangga, limbah rumah tangga, listrik). Apakah harus BUMN/D, atau swasta (asing / nasional) atau gabungan? Lalu bagaimana penetapan tarifnya, supaya layanan ini masih tetap terjangkau, tapi coveragenya juga minimal 70-80% populasi suatu wilayah. On 23/03/2010 12:55, Wong Cilik wrote: 2010/3/23heriseti...@ahlikeuangan-indonesia.com
Re: [Millis AKI- stop smoking] Antara Neoliberalisme dan hasil Privatisasi Air di Jakarta sekarang
Ya betul... Pertanyaan awalnya sebenarnya Apakah 2 penyedia swasta ini sudah memberikan hasil? Mari tanyakan saja sama mereka... kira-kira menurut mereka apa yang telah mereka lakukan? Bisa saja mereka telah membuat terobosan ini itu, tapi masih belum bisa dirasakan di masyarakat umum? Kalau press indonesia tipenya seperti ini, cuma satu arah kan kesannya jelek sekali. Yang dituduhkan adalah pihak swastanya, tapi kalau mereka tidak diberi kesempatan untuk menjawab atau membela diri... ini namanya apa coba? Pengadilan sepihak oleh wartawan atau bagaimana? Ini kebebasan press yang katanya perlu dilindungi sampai mati? 2010/3/23 Hardi Darjoto hardi...@gmail.com Kembali ke persoalan awal, jadi bagaimana baiknya untuk Indonesia dalam layanan dasar publik ini (air bersih, sampah rumah tangga, limbah rumah tangga, listrik). Apakah harus BUMN/D, atau swasta (asing / nasional) atau gabungan? Lalu bagaimana penetapan tarifnya, supaya layanan ini masih tetap terjangkau, tapi coveragenya juga minimal 70-80% populasi suatu wilayah. [Non-text portions of this message have been removed]
RE: [Millis AKI- stop smoking] Antara Neoliberalisme dan hasil Privatisasi Air di Jakarta sekarang
Sore pak Wong Cilik, No heart feeling pak Pendapat dan permisalan saya tadi hanya menanggapi tulisan dari Tempo yang merupakan awal dari perbincangan kita. Terima kasih. Salam JV _ From: AhliKeuangan-Indonesia@yahoogroups.com [mailto:ahlikeuangan-indone...@yahoogroups.com] On Behalf Of Wong Cilik Sent: 23 Maret 2010 13:00 To: AhliKeuangan-Indonesia@yahoogroups.com Subject: Re: [Millis AKI- stop smoking] Antara Neoliberalisme dan hasil Privatisasi Air di Jakarta sekarang Saya rasa banyak yang bukan neolib. Maksud anda neolib atau anti neolib ini apa? Banyak nuansa dalam lib nolib, neolib, monopoli, dll... jadi kalo ngomong jangan terlalu ngambang dengan konsep-konsep yang namanya sering di salah artikan masyarakat... Kalau cuma monopoli dan bukan monopoli sih ilmu ekonomi umum biasa juga bahas begitu. Sudah sejak SMP dan jamak jadi tidak termasuk bahasan neolib dan sosialis atau komunis segala... Ada satu konsep yang perlu dipelajari dan dipahami bila berkaitan dengan 'public goods' yakni eksternalitas. 2010/3/23 Jhon Veter jhon_ve...@yahoo. mailto:jhon_veter%40yahoo.com.sg com.sg Kira-kira demikian pandangan saya untuk orang-orang yang anti neolib padahal mereka kayanya dari neolib juga. Salam JV -Original Message- From: AhliKeuangan- mailto:AhliKeuangan-Indonesia%40yahoogroups.com indone...@yahoogroups.com [mailto:AhliKeuangan- mailto:AhliKeuangan-Indonesia%40yahoogroups.com indone...@yahoogroups.com] On Behalf Of Wong Cilik Sent: 22 Maret 2010 14:44 To: AhliKeuangan- mailto:AhliKeuangan-Indonesia%40yahoogroups.com indone...@yahoogroups.com Subject: Re: [Millis AKI- stop smoking] Antara Neoliberalisme dan hasil Privatisasi Air di Jakarta sekarang Setuju sih... Walaupun kadang yang diajak jadi mitra swastanya kadang-kadang bisa kelewatan juga. Di negara lain (entah kongo atau mana di afrika gitu kale...) saya pernah lihat penduduknya malah kena kutuk... Gara-garanya kenapa? Waktu ngajak mitra asing bangun saluran air/kebersihan, ternyata pemerintahnya malah kasi monopoli. Saking jahatnya mau nampung air ujan aja gak bole sama itu swasta. Sama lah dengan India jamannya Mahatma Gandhi. Seluruh hak pembuatan garam dimiliki swasta (inggris), sampai-sampai penduduk pantai mau jemur air laut buat garam sendiri juga gak boleh. Yah yang macam di atas ini sih gara-gara pemerintahnya bodo dan tangan besi. Kasus modern barangkali seperti studi kasusnya pak Palamu99... soal stapled securities itu. Kasusnya kan masalah perusahaan infrastruktur/jalan tol kalau gak salah. Di australia karena banyak jalan alternatif, banyak yang lebih pilih jalan gratis walaupun akibatnya jalan alternatif tersebut jadi macet. Sudah di bangun tapi jalan tolnya sepi pengunjung gara-gara mahal. Yah yang macam begini kan jadi dilema juga... ngundang investor bikin jalan tapi malah investornya merugi. 2010/3/22 Jhon Veter jhon_ve...@yahoo. mailto:jhon_veter%40yahoo.com.sg com.sg Dear pak Poltak, Pandangan inilah yang harusnya diketahui publik, terkadang di Koran atau pun majalah kebanyakan pandangan dari LSM yang gak tahu juntrungannya, pahlawan kesiangan lah. Padahal yang namanya kapitalisasi itu gak selamanya buruk .. Malah win-win solution. Salam JV _ From: AhliKeuangan- mailto:AhliKeuangan-Indonesia%40yahoogroups.com indone...@yahoogroups.com [mailto:AhliKeuangan- mailto:AhliKeuangan-Indonesia%40yahoogroups.com indone...@yahoogroups.com] On Behalf Of Poltak Hotradero Sent: 22 Maret 2010 6:53 To: AhliKeuangan- mailto:AhliKeuangan-Indonesia%40yahoogroups.com indone...@yahoogroups.com Subject: Re: [Millis AKI- stop smoking] Antara Neoliberalisme dan hasil Privatisasi Air di Jakarta sekarang At 11:36 PM 3/21/2010, you wrote: Betul, masalah adalah lebih kompleks daripada yang terlihat. Coba kita analisa satu persatu: PAM = Perusahaan Air Minum. Ini berarti output perusahaan tersebut adalah Air untuk Minum. Pertanyaannya: Apakah airnya bisa langsung diminum? Ternyata tidak. Masih perlu diolah dengan cara dimasak dulu. Berapa harganya? Untuk Jakarta rata-rata sekitar Rp. 6600 per meter kubik. Ini sama setara dengan Rp. 6,6 per liter. Berapa yang kita bayar untuk beli air minum galonan? Rp. 5000 - 12000 per galonan (isi 19 liter). Ini berarti harganya Rp. 263 hingga Rp. 630 per liter. Saya jadi heran, kalau ada orang yang ribut soal air PAM yang hampir 50-100 kali lebih murah -- tapi nggak ribut soal harga air minum galonan. Ah iya, apakah di antara kita ada yang mandi pakai air galonan? atau siram WC? atau cuci mobil? Nggak ada. Air galonan cuma buat diminum. Ini berarti mahalnya harga air berakibat kita semakin berhemat dalam mengkonsumsinya. Dan juga sebaliknya, bila air harganya murah -- maka kita akan cenderung
Re: [Millis AKI- stop smoking] Antara Neoliberalisme dan hasil Privatisasi Air di Jakarta sekarang
Setuju sih... Walaupun kadang yang diajak jadi mitra swastanya kadang-kadang bisa kelewatan juga. Di negara lain (entah kongo atau mana di afrika gitu kale...) saya pernah lihat penduduknya malah kena kutuk... Gara-garanya kenapa? Waktu ngajak mitra asing bangun saluran air/kebersihan, ternyata pemerintahnya malah kasi monopoli. Saking jahatnya mau nampung air ujan aja gak bole sama itu swasta. Sama lah dengan India jamannya Mahatma Gandhi. Seluruh hak pembuatan garam dimiliki swasta (inggris), sampai-sampai penduduk pantai mau jemur air laut buat garam sendiri juga gak boleh. Yah yang macam di atas ini sih gara-gara pemerintahnya bodo dan tangan besi. Kasus modern barangkali seperti studi kasusnya pak Palamu99... soal stapled securities itu. Kasusnya kan masalah perusahaan infrastruktur/jalan tol kalau gak salah. Di australia karena banyak jalan alternatif, banyak yang lebih pilih jalan gratis walaupun akibatnya jalan alternatif tersebut jadi macet. Sudah di bangun tapi jalan tolnya sepi pengunjung gara-gara mahal. Yah yang macam begini kan jadi dilema juga... ngundang investor bikin jalan tapi malah investornya merugi. 2010/3/22 Jhon Veter jhon_ve...@yahoo.com.sg Dear pak Poltak, Pandangan inilah yang harusnya diketahui publik, terkadang di Koran atau pun majalah kebanyakan pandangan dari LSM yang gak tahu juntrungannya, pahlawan kesiangan lah. Padahal yang namanya kapitalisasi itu gak selamanya buruk . Malah win-win solution. Salam JV _ From: AhliKeuangan-Indonesia@yahoogroups.com [mailto:ahlikeuangan-indone...@yahoogroups.com] On Behalf Of Poltak Hotradero Sent: 22 Maret 2010 6:53 To: AhliKeuangan-Indonesia@yahoogroups.com Subject: Re: [Millis AKI- stop smoking] Antara Neoliberalisme dan hasil Privatisasi Air di Jakarta sekarang At 11:36 PM 3/21/2010, you wrote: Betul, masalah adalah lebih kompleks daripada yang terlihat. Coba kita analisa satu persatu: PAM = Perusahaan Air Minum. Ini berarti output perusahaan tersebut adalah Air untuk Minum. Pertanyaannya: Apakah airnya bisa langsung diminum? Ternyata tidak. Masih perlu diolah dengan cara dimasak dulu. Berapa harganya? Untuk Jakarta rata-rata sekitar Rp. 6600 per meter kubik. Ini sama setara dengan Rp. 6,6 per liter. Berapa yang kita bayar untuk beli air minum galonan? Rp. 5000 - 12000 per galonan (isi 19 liter). Ini berarti harganya Rp. 263 hingga Rp. 630 per liter. Saya jadi heran, kalau ada orang yang ribut soal air PAM yang hampir 50-100 kali lebih murah -- tapi nggak ribut soal harga air minum galonan. Ah iya, apakah di antara kita ada yang mandi pakai air galonan? atau siram WC? atau cuci mobil? Nggak ada. Air galonan cuma buat diminum. Ini berarti mahalnya harga air berakibat kita semakin berhemat dalam mengkonsumsinya. Dan juga sebaliknya, bila air harganya murah -- maka kita akan cenderung memboroskannya. Kita pakai untuk mandi, mencuci pakaian, menyiram WC, mencuci mobil, menyiram kebun. Sedemikian borosnya, sampai kalau pipa / keran bocor saja kita malas memperbaikinya. Dibiarkan saja bocor. Ini namanya munafik. Mau harga murah, tapi malah dibuang-buang. Diboroskan. Air memang gratis - ada di mana-mana, tapi air bersih tidak pernah bisa gratis. Mengapa? Karena selalu ada biaya ekonomi yang diperlukan untuk membersihkan air. Menampungnya, Mengalirkannya. Dulu PAM yang melakukannya. Tapi karena harga jual air-nya tidak pernah menutup biaya produksi jadinya tekor - akibatnya modal PAM terkuras. Dengan modal yang terkuras, PAM tidak bisa memperluas jaringan - karena tidak ada duit untuk mengusahakan air baku, menampung, membersihkan, dan mengalirkannya. Jangan kata beli pipa berpuluh atau beratus kilometer. Alhasil, yang dari satu kota - yang bisa dilayani cuman 30-40%-nya. Sisanya tidak terlayani. Dan yang tidak terlayani ini terpaksa membeli air bersih pikulan. Atau menampung air hujan. Atau menyedot air tanah (sehingga permukaan air tanah jadi turun - air asin merembes masuk dan akhirnya merusak lingkungan). Air pikulan harganya berkali-kali lebih mahal daripada air PAM. Privasisasi Air adalah untuk mencapai jalan tengah. Dengan melibatkan sektor private/swasta, maka tersedia modal bagi perusahaan air untuk mengembangkan jaringan. Buat beli pipa dan memasangnya. Buat mengusahakan air baku. Harga air jadi naik? Ya wajar saja, kan pipa harus dibeli dan dipasang. Air yang perlu dibersihkan dan dialirkan kan juga jadi lebih banyak. Namun begitu, bagi ribuan rumah tangga dan jutaan orang yang sebelumnya harus beli air pikulan -- harga itu tetap JAUH lebih murah. Dan kualitasnya jauh lebih baik daripada air hujan yang ditampung - atau air tanah yang makin tercemar (JUTAAN orang yang tinggal di daerah Jakarta Utara - tahu persis seperti apa kualitas air tanah di sana seperti apa). Harga yang lebih mahal juga akan membuat orang lebih menghargai air. Kalau punya pipa yang bocor atau keran yang rusak -- akan segera diperbaiki
RE: [Millis AKI- stop smoking] Antara Neoliberalisme dan hasil Privatisasi Air di Jakarta sekarang
Kapitalisasi itu saya rasa berbeda dengan monopoli. Kalo monopoli kan tidak ada persaingan, sementara kapitalisasi berbicara tentang memberikan kesempatan kepada semua pihak. Sebagai contoh untuk kapitalisasi kita bisa lihat pada kasus toko sembako. Misal di sebuah tempat hanya ada satu toko sembako maka jelas ia dapat mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya karena memang setiap orang butuh barang yang toko ini jual. Selanjutnya kemudian karena melihat keuntungan yang besar maka muncullah toko sembako lain yang ingin ikut merasakan keuntungan besar tersebut. Setelah toko-toko sembako lain muncul maka mau tidak mau akan ada persaingan harga sampai di sebuah titik dimana para toko sembako seakan-akan sepakat tidak akan menurunkan harga di bawah itu lagi. Harga kesepakatan inilah yang membuat harga menjadi efisien. Apabila kemudian muncul pemain baru toko sembako di daerah tersebut dan kemudian menurunkan harga secara gila maka itu biasanya hanya terjadi sesaat saja ... pada akhirnya kebutuhan akan profit margin akan berbicara dan harga kembali ke tingkat efisien tersebut. Sebaliknya jika pemain lama atau pemain baru tidak dapat mengikuti harga efisien tersebut maka sudah pasti toko tersebut akan gulung tikar karena ditinggal pembelinya. Nah yang jad masalah itu kalo di daerah tersebut ada LSM ... dengan nama Kongsi Sembako Murah (KosemMur). Di mata LSM harga di toko sembako mashhh mahal. Menurutnya pemerintah harus menurunkan harga karena rakyat tidak bisa membeli sembako, bahkan sedengnya kadang mereka bilang neoliberalisme hanya menguntungkan para pedagang toko sembako saja ... wakakak. Apakah dia tidak tahu satu toko sembako minimum memperkerjakan 3 orang karyawan dan setidaknya ada 10 orang yang hidupnya bergantung dari profit toko tersebut? Kira-kira demikian pandangan saya untuk orang-orang yang anti neolib padahal mereka kayanya dari neolib juga. Salam JV -Original Message- From: AhliKeuangan-Indonesia@yahoogroups.com [mailto:ahlikeuangan-indone...@yahoogroups.com] On Behalf Of Wong Cilik Sent: 22 Maret 2010 14:44 To: AhliKeuangan-Indonesia@yahoogroups.com Subject: Re: [Millis AKI- stop smoking] Antara Neoliberalisme dan hasil Privatisasi Air di Jakarta sekarang Setuju sih... Walaupun kadang yang diajak jadi mitra swastanya kadang-kadang bisa kelewatan juga. Di negara lain (entah kongo atau mana di afrika gitu kale...) saya pernah lihat penduduknya malah kena kutuk... Gara-garanya kenapa? Waktu ngajak mitra asing bangun saluran air/kebersihan, ternyata pemerintahnya malah kasi monopoli. Saking jahatnya mau nampung air ujan aja gak bole sama itu swasta. Sama lah dengan India jamannya Mahatma Gandhi. Seluruh hak pembuatan garam dimiliki swasta (inggris), sampai-sampai penduduk pantai mau jemur air laut buat garam sendiri juga gak boleh. Yah yang macam di atas ini sih gara-gara pemerintahnya bodo dan tangan besi. Kasus modern barangkali seperti studi kasusnya pak Palamu99... soal stapled securities itu. Kasusnya kan masalah perusahaan infrastruktur/jalan tol kalau gak salah. Di australia karena banyak jalan alternatif, banyak yang lebih pilih jalan gratis walaupun akibatnya jalan alternatif tersebut jadi macet. Sudah di bangun tapi jalan tolnya sepi pengunjung gara-gara mahal. Yah yang macam begini kan jadi dilema juga... ngundang investor bikin jalan tapi malah investornya merugi. 2010/3/22 Jhon Veter jhon_ve...@yahoo.com.sg Dear pak Poltak, Pandangan inilah yang harusnya diketahui publik, terkadang di Koran atau pun majalah kebanyakan pandangan dari LSM yang gak tahu juntrungannya, pahlawan kesiangan lah. Padahal yang namanya kapitalisasi itu gak selamanya buruk .. Malah win-win solution. Salam JV _ From: AhliKeuangan-Indonesia@yahoogroups.com [mailto:ahlikeuangan-indone...@yahoogroups.com] On Behalf Of Poltak Hotradero Sent: 22 Maret 2010 6:53 To: AhliKeuangan-Indonesia@yahoogroups.com Subject: Re: [Millis AKI- stop smoking] Antara Neoliberalisme dan hasil Privatisasi Air di Jakarta sekarang At 11:36 PM 3/21/2010, you wrote: Betul, masalah adalah lebih kompleks daripada yang terlihat. Coba kita analisa satu persatu: PAM = Perusahaan Air Minum. Ini berarti output perusahaan tersebut adalah Air untuk Minum. Pertanyaannya: Apakah airnya bisa langsung diminum? Ternyata tidak. Masih perlu diolah dengan cara dimasak dulu. Berapa harganya? Untuk Jakarta rata-rata sekitar Rp. 6600 per meter kubik. Ini sama setara dengan Rp. 6,6 per liter. Berapa yang kita bayar untuk beli air minum galonan? Rp. 5000 - 12000 per galonan (isi 19 liter). Ini berarti harganya Rp. 263 hingga Rp. 630 per liter. Saya jadi heran, kalau ada orang yang ribut soal air PAM yang hampir 50-100 kali lebih murah -- tapi nggak ribut soal harga air minum galonan. Ah iya, apakah di antara kita ada yang mandi
Re: [Millis AKI- stop smoking] Antara Neoliberalisme dan hasil Privatisasi Air di Jakarta sekarang
Memang benar. Dalam iklim kapitalisasi dibuka persaingan yang sehat sehingga iklim usaha akan makin efisien. Bisnis akan makin berkembang yang diikuti dengan peningkatan perolehan pajak. Pendapatan dari pajak ini pada akhirnya digunakan untuk meningkatkan kemakmuran masyarakat. Sent from my BlackBerry® powered by Sinyal Kuat INDOSAT -Original Message- From: Jhon Veter jhon_ve...@yahoo.com.sg Date: Tue, 23 Mar 2010 08:40:16 To: AhliKeuangan-Indonesia@yahoogroups.com Subject: RE: [Millis AKI- stop smoking] Antara Neoliberalisme dan hasil Privatisasi Air di Jakarta sekarang Kapitalisasi itu saya rasa berbeda dengan monopoli. Kalo monopoli kan tidak ada persaingan, sementara kapitalisasi berbicara tentang memberikan kesempatan kepada semua pihak. Sebagai contoh untuk kapitalisasi kita bisa lihat pada kasus toko sembako. Misal di sebuah tempat hanya ada satu toko sembako maka jelas ia dapat mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya karena memang setiap orang butuh barang yang toko ini jual. Selanjutnya kemudian karena melihat keuntungan yang besar maka muncullah toko sembako lain yang ingin ikut merasakan keuntungan besar tersebut. Setelah toko-toko sembako lain muncul maka mau tidak mau akan ada persaingan harga sampai di sebuah titik dimana para toko sembako seakan-akan sepakat tidak akan menurunkan harga di bawah itu lagi. Harga kesepakatan inilah yang membuat harga menjadi efisien. Apabila kemudian muncul pemain baru toko sembako di daerah tersebut dan kemudian menurunkan harga secara gila maka itu biasanya hanya terjadi sesaat saja ... pada akhirnya kebutuhan akan profit margin akan berbicara dan harga kembali ke tingkat efisien tersebut. Sebaliknya jika pemain lama atau pemain baru tidak dapat mengikuti harga efisien tersebut maka sudah pasti toko tersebut akan gulung tikar karena ditinggal pembelinya. Nah yang jad masalah itu kalo di daerah tersebut ada LSM ... dengan nama Kongsi Sembako Murah (KosemMur). Di mata LSM harga di toko sembako mashhh mahal. Menurutnya pemerintah harus menurunkan harga karena rakyat tidak bisa membeli sembako, bahkan sedengnya kadang mereka bilang neoliberalisme hanya menguntungkan para pedagang toko sembako saja ... wakakak. Apakah dia tidak tahu satu toko sembako minimum memperkerjakan 3 orang karyawan dan setidaknya ada 10 orang yang hidupnya bergantung dari profit toko tersebut? Kira-kira demikian pandangan saya untuk orang-orang yang anti neolib padahal mereka kayanya dari neolib juga. Salam JV -Original Message- From: AhliKeuangan-Indonesia@yahoogroups.com [mailto:ahlikeuangan-indone...@yahoogroups.com] On Behalf Of Wong Cilik Sent: 22 Maret 2010 14:44 To: AhliKeuangan-Indonesia@yahoogroups.com Subject: Re: [Millis AKI- stop smoking] Antara Neoliberalisme dan hasil Privatisasi Air di Jakarta sekarang Setuju sih... Walaupun kadang yang diajak jadi mitra swastanya kadang-kadang bisa kelewatan juga. Di negara lain (entah kongo atau mana di afrika gitu kale...) saya pernah lihat penduduknya malah kena kutuk... Gara-garanya kenapa? Waktu ngajak mitra asing bangun saluran air/kebersihan, ternyata pemerintahnya malah kasi monopoli. Saking jahatnya mau nampung air ujan aja gak bole sama itu swasta. Sama lah dengan India jamannya Mahatma Gandhi. Seluruh hak pembuatan garam dimiliki swasta (inggris), sampai-sampai penduduk pantai mau jemur air laut buat garam sendiri juga gak boleh. Yah yang macam di atas ini sih gara-gara pemerintahnya bodo dan tangan besi. Kasus modern barangkali seperti studi kasusnya pak Palamu99... soal stapled securities itu. Kasusnya kan masalah perusahaan infrastruktur/jalan tol kalau gak salah. Di australia karena banyak jalan alternatif, banyak yang lebih pilih jalan gratis walaupun akibatnya jalan alternatif tersebut jadi macet. Sudah di bangun tapi jalan tolnya sepi pengunjung gara-gara mahal. Yah yang macam begini kan jadi dilema juga... ngundang investor bikin jalan tapi malah investornya merugi. 2010/3/22 Jhon Veter jhon_ve...@yahoo.com.sg Dear pak Poltak, Pandangan inilah yang harusnya diketahui publik, terkadang di Koran atau pun majalah kebanyakan pandangan dari LSM yang gak tahu juntrungannya, pahlawan kesiangan lah. Padahal yang namanya kapitalisasi itu gak selamanya buruk .. Malah win-win solution. Salam JV _ From: AhliKeuangan-Indonesia@yahoogroups.com [mailto:ahlikeuangan-indone...@yahoogroups.com] On Behalf Of Poltak Hotradero Sent: 22 Maret 2010 6:53 To: AhliKeuangan-Indonesia@yahoogroups.com Subject: Re: [Millis AKI- stop smoking] Antara Neoliberalisme dan hasil Privatisasi Air di Jakarta sekarang At 11:36 PM 3/21/2010, you wrote: Betul, masalah adalah lebih kompleks daripada yang terlihat. Coba kita analisa satu persatu: PAM = Perusahaan Air Minum. Ini berarti output perusahaan tersebut adalah Air untuk Minum
Re: [Millis AKI- stop smoking] Antara Neoliberalisme dan hasil Privatisasi Air di Jakarta sekarang
Kalo soal air bersih perkotaan, saya kira baik model privat maupun bumd sama-sama kurang berhasil. Contoh yang bumd: Lima belas tahun tinggal di Bekasi, baru minggu lalu ada pengumuman BAKAL dipasang jaringan air bersih. Dulu, 1980-an, ortu saya juga talak-3 dengan PAM Bandung karena airnya sering ga ngocor. Mungkin persoalannya bukan privat-vs-bumd. Soal tata-kota. Dengan pertumbuhan kota-kota di Indonesia yang seenaknya sendiri tanpa arah, bagaimana penyedia layanan publik (air bersih) bisa optimal? Dan tidak hanya air bersih, semua urusan layanan publik bermasalah: jaringan air kotor, transportasi masal, jalan raya, telekom kabel. Kalo telekom radio / seluler sih enak, karena menggunakan medium udara sebgaia infrastruktur. Tapi kan air ga bisa dikirim lewat radio / udara? Salam Hardi On 21/03/2010 22:49, dyahanggitasari wrote: Koran Tempo hari ini di halaman pertama atas dalam kutipan beritanya di halaman A5- A9 menyatakan: Setelah lebih dari 10 tahun, semua target yang tertuang di kontrak kerja sama nyaris tak ada yang bisa dipenuhi pihak swasta Lebih jauh lagi dari artikel di Tempo Interaktif pada Januari 2009 tertulis :Koordinator Koalisi Rakyat Untuk Hak Atas Air (Kruha), Hamong Santono menilai rencana kenaikan tarif layanan air Jakarta sebesar 22,7 persen tidak wajar. Privatisasi air dinilai gagal. Pasalnya sejak privatisasi pada 1998, tidak ada perbaikan kualitas layanan air bersih dari dua operator swasta, Jadi apa untungnya ekonomi model neo liberal diterapkan di negeri ini? e http://docs.yahoo.com/info/terms/ . [Non-text portions of this message have been removed]
Re: [Millis AKI- stop smoking] Antara Neoliberalisme dan hasil Privatisasi Air di Jakarta sekarang
At 11:36 PM 3/21/2010, you wrote: Betul, masalah adalah lebih kompleks daripada yang terlihat. Coba kita analisa satu persatu: PAM = Perusahaan Air Minum. Ini berarti output perusahaan tersebut adalah Air untuk Minum. Pertanyaannya: Apakah airnya bisa langsung diminum? Ternyata tidak. Masih perlu diolah dengan cara dimasak dulu. Berapa harganya? Untuk Jakarta rata-rata sekitar Rp. 6600 per meter kubik. Ini sama setara dengan Rp. 6,6 per liter. Berapa yang kita bayar untuk beli air minum galonan? Rp. 5000 - 12000 per galonan (isi 19 liter). Ini berarti harganya Rp. 263 hingga Rp. 630 per liter. Saya jadi heran, kalau ada orang yang ribut soal air PAM yang hampir 50-100 kali lebih murah -- tapi nggak ribut soal harga air minum galonan. Ah iya, apakah di antara kita ada yang mandi pakai air galonan? atau siram WC? atau cuci mobil? Nggak ada. Air galonan cuma buat diminum. Ini berarti mahalnya harga air berakibat kita semakin berhemat dalam mengkonsumsinya. Dan juga sebaliknya, bila air harganya murah -- maka kita akan cenderung memboroskannya. Kita pakai untuk mandi, mencuci pakaian, menyiram WC, mencuci mobil, menyiram kebun. Sedemikian borosnya, sampai kalau pipa / keran bocor saja kita malas memperbaikinya. Dibiarkan saja bocor. Ini namanya munafik. Mau harga murah, tapi malah dibuang-buang. Diboroskan. Air memang gratis - ada di mana-mana, tapi air bersih tidak pernah bisa gratis. Mengapa? Karena selalu ada biaya ekonomi yang diperlukan untuk membersihkan air. Menampungnya, Mengalirkannya. Dulu PAM yang melakukannya. Tapi karena harga jual air-nya tidak pernah menutup biaya produksi jadinya tekor - akibatnya modal PAM terkuras. Dengan modal yang terkuras, PAM tidak bisa memperluas jaringan - karena tidak ada duit untuk mengusahakan air baku, menampung, membersihkan, dan mengalirkannya. Jangan kata beli pipa berpuluh atau beratus kilometer. Alhasil, yang dari satu kota - yang bisa dilayani cuman 30-40%-nya. Sisanya tidak terlayani. Dan yang tidak terlayani ini terpaksa membeli air bersih pikulan. Atau menampung air hujan. Atau menyedot air tanah (sehingga permukaan air tanah jadi turun - air asin merembes masuk dan akhirnya merusak lingkungan). Air pikulan harganya berkali-kali lebih mahal daripada air PAM. Privasisasi Air adalah untuk mencapai jalan tengah. Dengan melibatkan sektor private/swasta, maka tersedia modal bagi perusahaan air untuk mengembangkan jaringan. Buat beli pipa dan memasangnya. Buat mengusahakan air baku. Harga air jadi naik? Ya wajar saja, kan pipa harus dibeli dan dipasang. Air yang perlu dibersihkan dan dialirkan kan juga jadi lebih banyak. Namun begitu, bagi ribuan rumah tangga dan jutaan orang yang sebelumnya harus beli air pikulan -- harga itu tetap JAUH lebih murah. Dan kualitasnya jauh lebih baik daripada air hujan yang ditampung - atau air tanah yang makin tercemar (JUTAAN orang yang tinggal di daerah Jakarta Utara - tahu persis seperti apa kualitas air tanah di sana seperti apa). Harga yang lebih mahal juga akan membuat orang lebih menghargai air. Kalau punya pipa yang bocor atau keran yang rusak -- akan segera diperbaiki, karena membiarkannya akan sama dengan membuang-buang uang. Wajarkah kalau perusahaan air bersih beroleh laba? Wajar-wajar saja. Toh dengan laba tersebut - maka akan diperoleh modal yang lebih kuat. Modal yang lebih kuat akan berkonsekuensi belanja modal (capex) yang lebih besar, yang berarti lebih banyak pipa yang bisa dibeli dan lebih banyak air yang bisa dibersihkan. Dan ini berarti lebih banyak lagi orang yang bisa beroleh akses terhadap air bersih lewat pipa. Nggak perlu dipikul atau nampung air hujan. Perusahaan air beroleh laba - sementara konsumen beroleh untung. Win-win situation. Dengan air yang lebih mahal - maka orang akan cenderung mandi menggunakan shower. Mengapa? Karena mandi menggunakan bak dan gayung bisa 5-10 kali lebih boros air. Selama orang masih mandi menggunakan bak dan gayung -- berarti air bersih masih dianggap murah. Selama orang membiarkan pipa dan kerannya rusak -- berarti air bersih masih dianggap murah. Air bocor yang menetes tiap 2 detik -- volumenya akan setara dengan 16,35 liter per hari - hampir sebanyak air galonan. Sebesar itulah air yang terbuang. Per hari. Hanya dari satu titik kebocoran. Dan selama masih ada air yang terbuang percuma... jangan ribut soal harga. Kalau nggak mau dibilang munafik. Kalo soal air bersih perkotaan, saya kira baik model privat maupun bumd sama-sama kurang berhasil. Contoh yang bumd: Lima belas tahun tinggal di Bekasi, baru minggu lalu ada pengumuman BAKAL dipasang jaringan air bersih. Dulu, 1980-an, ortu saya juga talak-3 dengan PAM Bandung karena airnya sering ga ngocor. Mungkin persoalannya bukan privat-vs-bumd. Soal tata-kota. Dengan pertumbuhan kota-kota di Indonesia yang seenaknya sendiri tanpa arah, bagaimana penyedia layanan publik (air bersih) bisa optimal? Dan
RE: [Millis AKI- stop smoking] Antara Neoliberalisme dan hasil Privatisasi Air di Jakarta sekarang
Dear pak Poltak, Pandangan inilah yang harusnya diketahui publik, terkadang di Koran atau pun majalah kebanyakan pandangan dari LSM yang gak tahu juntrungannya, pahlawan kesiangan lah. Padahal yang namanya kapitalisasi itu gak selamanya buruk . Malah win-win solution. Salam JV _ From: AhliKeuangan-Indonesia@yahoogroups.com [mailto:ahlikeuangan-indone...@yahoogroups.com] On Behalf Of Poltak Hotradero Sent: 22 Maret 2010 6:53 To: AhliKeuangan-Indonesia@yahoogroups.com Subject: Re: [Millis AKI- stop smoking] Antara Neoliberalisme dan hasil Privatisasi Air di Jakarta sekarang At 11:36 PM 3/21/2010, you wrote: Betul, masalah adalah lebih kompleks daripada yang terlihat. Coba kita analisa satu persatu: PAM = Perusahaan Air Minum. Ini berarti output perusahaan tersebut adalah Air untuk Minum. Pertanyaannya: Apakah airnya bisa langsung diminum? Ternyata tidak. Masih perlu diolah dengan cara dimasak dulu. Berapa harganya? Untuk Jakarta rata-rata sekitar Rp. 6600 per meter kubik. Ini sama setara dengan Rp. 6,6 per liter. Berapa yang kita bayar untuk beli air minum galonan? Rp. 5000 - 12000 per galonan (isi 19 liter). Ini berarti harganya Rp. 263 hingga Rp. 630 per liter. Saya jadi heran, kalau ada orang yang ribut soal air PAM yang hampir 50-100 kali lebih murah -- tapi nggak ribut soal harga air minum galonan. Ah iya, apakah di antara kita ada yang mandi pakai air galonan? atau siram WC? atau cuci mobil? Nggak ada. Air galonan cuma buat diminum. Ini berarti mahalnya harga air berakibat kita semakin berhemat dalam mengkonsumsinya. Dan juga sebaliknya, bila air harganya murah -- maka kita akan cenderung memboroskannya. Kita pakai untuk mandi, mencuci pakaian, menyiram WC, mencuci mobil, menyiram kebun. Sedemikian borosnya, sampai kalau pipa / keran bocor saja kita malas memperbaikinya. Dibiarkan saja bocor. Ini namanya munafik. Mau harga murah, tapi malah dibuang-buang. Diboroskan. Air memang gratis - ada di mana-mana, tapi air bersih tidak pernah bisa gratis. Mengapa? Karena selalu ada biaya ekonomi yang diperlukan untuk membersihkan air. Menampungnya, Mengalirkannya. Dulu PAM yang melakukannya. Tapi karena harga jual air-nya tidak pernah menutup biaya produksi jadinya tekor - akibatnya modal PAM terkuras. Dengan modal yang terkuras, PAM tidak bisa memperluas jaringan - karena tidak ada duit untuk mengusahakan air baku, menampung, membersihkan, dan mengalirkannya. Jangan kata beli pipa berpuluh atau beratus kilometer. Alhasil, yang dari satu kota - yang bisa dilayani cuman 30-40%-nya. Sisanya tidak terlayani. Dan yang tidak terlayani ini terpaksa membeli air bersih pikulan. Atau menampung air hujan. Atau menyedot air tanah (sehingga permukaan air tanah jadi turun - air asin merembes masuk dan akhirnya merusak lingkungan). Air pikulan harganya berkali-kali lebih mahal daripada air PAM. Privasisasi Air adalah untuk mencapai jalan tengah. Dengan melibatkan sektor private/swasta, maka tersedia modal bagi perusahaan air untuk mengembangkan jaringan. Buat beli pipa dan memasangnya. Buat mengusahakan air baku. Harga air jadi naik? Ya wajar saja, kan pipa harus dibeli dan dipasang. Air yang perlu dibersihkan dan dialirkan kan juga jadi lebih banyak. Namun begitu, bagi ribuan rumah tangga dan jutaan orang yang sebelumnya harus beli air pikulan -- harga itu tetap JAUH lebih murah. Dan kualitasnya jauh lebih baik daripada air hujan yang ditampung - atau air tanah yang makin tercemar (JUTAAN orang yang tinggal di daerah Jakarta Utara - tahu persis seperti apa kualitas air tanah di sana seperti apa). Harga yang lebih mahal juga akan membuat orang lebih menghargai air. Kalau punya pipa yang bocor atau keran yang rusak -- akan segera diperbaiki, karena membiarkannya akan sama dengan membuang-buang uang. Wajarkah kalau perusahaan air bersih beroleh laba? Wajar-wajar saja. Toh dengan laba tersebut - maka akan diperoleh modal yang lebih kuat. Modal yang lebih kuat akan berkonsekuensi belanja modal (capex) yang lebih besar, yang berarti lebih banyak pipa yang bisa dibeli dan lebih banyak air yang bisa dibersihkan. Dan ini berarti lebih banyak lagi orang yang bisa beroleh akses terhadap air bersih lewat pipa. Nggak perlu dipikul atau nampung air hujan. Perusahaan air beroleh laba - sementara konsumen beroleh untung. Win-win situation. Dengan air yang lebih mahal - maka orang akan cenderung mandi menggunakan shower. Mengapa? Karena mandi menggunakan bak dan gayung bisa 5-10 kali lebih boros air. Selama orang masih mandi menggunakan bak dan gayung -- berarti air bersih masih dianggap murah. Selama orang membiarkan pipa dan kerannya rusak -- berarti air bersih masih dianggap murah. Air bocor yang menetes tiap 2 detik -- volumenya akan setara dengan 16,35 liter per hari - hampir sebanyak air galonan. Sebesar itulah air yang terbuang. Per hari. Hanya dari satu titik kebocoran. Dan selama masih ada air yang terbuang percuma... jangan