[budaya_tionghua] Re: Flame of Shame - Api yang memalukan !
Menghalangi estafet obor Olympiade, memutar balikkan fakta dalam pemberitaan (The Western media were more sympathetic to killers than victims, ... Although Tibetans started the violence, media emphasized the Chinese attempts to stop the violence as being oppressive ... Spreading hate under the disguise of supporting human rightBy Dan Lieberman),serta seruan memboikot Olympiade 2008 di Beijing dengan tujuan untuk mempermalukan Tiongkok, merupakan salah satu bentuk usaha dari negara-negara Barat dan Amerika untuk memutar kembali roda sejarah pada abad 21 yang berilusi ingin tetap mempertahankan hegemoni dan supremasinya dengan segala cara (the end justify the means), walaupun diketahui bahwa Olympiade bukanlah milik Tiongkok saja, melainkan milik semua bangsa di dunia. Negara Barat memboikot pesta Olympiade yang diselenggarakan di Moskow (Soviet Union ketika itu namanya) pada tahun 1980 dahulu dengan alasan bahwa Uni Soviet menginvasi Afghanistan ketika itu. Tetapi sekarang negara-negara Barat sendiri dibawah pimpinan Amerika yang menggantikan Uni Soviet melakukan invasi militer ke Afghanistan dengan melakukan pengeboman-pengeboman yang menimbulkan kehancuran kota, desa dan kematian penduduk Afghanistan dengan mengatas namakan perang melawan terorisme (war on terorrism). Tetapi hingga kini tidak ada seruan dari media dan pemimpin- pemimpin negara Barat yang selalu membanggakan dirinya sebagai pejuang pembela demokrasi dan hak asazi manusia yang memprotes dan memboikot atas invasi militer ke Afghanistan itu. Krisis ekonomi Amerika dan negara sekutu Barat lainnya pada saat sekarang yang disebabkan oleh krisis subprime motgage di AS (dan juga perang di Iraq dan Afghanistan) adalah yang terburuk sejak krisis ekonomi tahun 1930-an (depresi), dan diperkirakan tidak mudah mengembalikan dominasi ekonominya seperti seperti dahulu kala lagi, karena dunia sudah berubah, terutama kebangkitan negara- negara Asia. Abad supremasi Amerika dan Barat lambat tapi pasti akan surut dan berlalu, digantikan oleh abad Asia sebagai arus utama (mainstreams) sejarah. Dan Olympiade 2008 di Beijing ini dianggap sebagai salah satu "milestone"-nya, maka itu negara-negara Barat menjadi paranoid terhadap suksesnya moment Olympiade di Beijing ini. Golden Horde http://www.atimes.com/atimes/China/JC26Ad02.html http://www.globalresearch.ca/index.php? context=viewArticle&code=CHI20080411&articleId=8656 http://mwcnews.net/index.php? option=com_content&task=view&id=21632&Itemid=26 http://www.workers.org/2008/world/anti-china_olympics_0403/ http://kommentare.zeit.de/user/nonthinker/beitrag/2008/04/12/arrogance -and-prejudice > In budaya_tionghua@yahoogroups.com, "mangucup88" <[EMAIL PROTECTED]> > wrote: >... > Walaupun demikian cobalah direnungkan oleh Anda sendiri. Dalam aksi > demonstrasi dan gegap gempita pemberitaan media massa, tidak hanya > tertumpah kekecewaan mengenai kondisi hak asasi manusia di Cina, > melainkan juga ketakutan akan globalisasi, yang di Barat terutama > dicitrakan oleh sosok Cina. > > Barat memandang Cina sebagai saingan berat dalam memperebutkan > sumber daya alam, lapangan kerja dan kesejahteraan. Mengritik > situasi hak asasi manusia, merupakan usaha yang secara moral tidak > berisiko. Dengan itu hendak diingatkan, agar Cina jangan mengganggu > gugat hegemoni Barat yang sudah mengakar berabad-abad. Jadi, nyaris > tidak ada kaitannya dengan semangat Olimpiade. > > Maka dari itu tidaklah salah apabila pawai Obor Api Olimpiade ini > diberikan julukan sebagai Flame of Shame, karena negara-negara > Barat akan merasa senang dan puas apabila berhasil "Mempermalukan > Cina" atau negara yang sebelumnya telah mempermalukan mereka > sebagai negara-negara industri atas keberhasilannya. > ..
[budaya_tionghua] Re: dari perbedaan mencari titik temu Budaya
Mungkin saya disini dapat ikut bicara secara terbatas mengenai fenomena perompak-perompak atau bajak laut Jepang itu yang memterror pantai pesisir Tiongkok terutama pada propinsi Jiangsu dan Zhejiang selain Guangdong, Fujian dan Shandong pada abad ke 16 (1540-1565), ketika Tiongkok dibawah kekuasaan dinasti Ming. Perompak Jepang itu yang dikenal atau disebut sebagai Wokou (Wako) itu sebenarnya bukan bangsa Ainu yang disebut sebagai suku asli kepulauan Jepang yang menghuni pulau Hokkaido di Jepang utara itu. Perompak Jepang itu awalnya memang dimulai dan dilakukan aksinya oleh orang Jepang sendiri (terdiri dari ronin, tentara, pedagang dan penyelundup) yang dilakukan sejak abad ke 14 berawal di semenanjung Korea, tetapi pada abad-abad selanjutnya terutama pada pertengahan abad ke 16, perompak-perompak Wokou itu banyak terdiri dari banyak perompak Tionghoa sendiri yang berkolusi dan berkerja sama dengan Wokou. Salah satu pemimpin Wokou yang terkenal adalah Wang Zhi, ia adalah seorang pedagang besar maritim sekaligus seorang perompak (pirate enterpreneur) yang melakukan perdagangan maritim hingga sampai ke Malaka, Indonesia (Maluku), Vietnam, Luzon dan Jepang, ia berasal dari propinsi Anhui yang akhirnya dapat dieksekusi pada tahun 1557 di Hangzhou. Beberapa Wokou lainnya berasal dari perompak Tionghoa yang lahir di Jepang atau campuran Jepang Tionghoa. Mereka mempunyai basis yang permanen di Hirado, Jepang, dan ada juga cabangnya di Taiwan dan Pescadores. Zheng Chenggong (Cheng Ch'eng-kung, Kuo-hsing-yeh atau Koxinga) seorang loyalis Ming yang mengusir Belanda dari Taiwan tahun 1662 itu, seperti diketahui berayahkan seorang pedagang dan perompak Tionghoa dan beribukan seorang wanita Jepang yang lahir di Hirado, Kyushu-Jepang. Wokou itu dapat menteror daratan pesisir Tiongkok, karena salah satu sebabnya adalah kekuatan Maritim dinasti Ming merosot sejak dihentikannya pelayaran ke mancanegara yang telah dirintis oleh Cheng Ho pada abad ke 15 serta adanya larangan pembuatan kapal besar dan melakukan perdagangan dengan luar negeri. Dinasti Ming ketika itu mendapat ancaman-ancaman dari bangsa luar seperti dari Mongol dibawah pimpinan Altan Khan, selain itu Tiongkok dibawah kepemimpinan kaisar Jiajing dianggap sebagai salah satu kaisar terlemah dalam periode dinasti Ming. Karena kelemahan-kelemahan dari pemerintahan kaisar Jiajing itu, perompak Wokou itu dapat melakukan aksinya hampir tanpa perlawanan berarti menyisir sungai sampai ke daerah pedalaman. Kebijaksanaan Ming yang membatasi dan mengontrol perdagangan internasional dengan negara lain (kecuali yang diberikan lisensi dengan sistim tributari) telah memicu lebih lanjut aksi perompakan ini. Secara formal hanya pelabuhan Ningbo di propinsi Jejiang yang diijinkan melakukan aktivitas perdagangan dengan Jepang (Fuzhou untuk perdagangan dengan Filipina dan Guangzhou untuk Indonesia dan negara Asia Tenggara lainnya). Tetapi perdagangan maritim antara Tiongkok dengan Jepang adalah yang paling ramai dibandingkan yang lainnya, walaupun hubungan dengan Jepang dibatasi oleh penguasa Ming sejak jaman kaisar Yongle. Upaya penguasa Ming untuk mengontrol perdagangan maritim dengan negara lain juga sia-sia, karena sulit untuk mengontrol semua garis pantainya yang panjang itu. Karena pembatasan perdagangan maritim terhadap warganya, maka banyak pedagang-pedagang maritim Tionghoa sendiri merasa sumber penghasilannya berkurang, akhirnya penyelundupan dan perdagangan illegal bersemarak, kemudian berkolusi dan bergabung dengan Wokou, karena dianggap penghasilannya lebih menarik sebagai perompak, apalagi ketika itu situasi perekonomian sedang memburuk. Akhirnya setelah kaisar Jiajing meninggal (1567) peraturan yang melarang perdagangan maritim dengan negara lain akhirnya dicabut dan setelah menghabiskan biaya dan energi yang besar aksi perompak Wokou tersebut akhirnya dapat ditumpas oleh Jenderal Qi Jiguang dan Yu Dayou (seorang ahli silat pedang/golok juga ) pada 1560- 1570. Golden --- > In budaya_tionghua@yahoogroups.com, indarto tan <[EMAIL PROTECTED] > wrote: > > Berbeda ditimur yang terbentang lautan luas, yang sering menggangu > adalah perompak-perompak bangsa Ai-nu (sekarang Jepang). Semenjak > dinasti Ming, pesisir Fu-jian kerap disatroni orang Ai-nu ini. > Jenderal Qi Ji-guang adalah seorang militer yang berjasa dalam > menumpas para perompak ini. Semenjak dinasti Ming, orang Jepang > tidak memberi kesan baik terhadap bangsa Tionghua. > Terutama setelah keberhasilan retorasi Meiji, agresi Jepang ke > Tiongkok semakin menjadi-jadi. >..
[budaya_tionghua] Re: minta info tentang the Song's Sisters
Maaf salah ketik MCP adalah singkatan dari Malayan Communist Party bukan Malayan Chinese Party. Golden. -- > In budaya_tionghua@yahoogroups.com, "Golden Horde" <[EMAIL PROTECTED]> > wrote: > > "One loved money ( Soong Ai-ling), one loved power (Soong May- > Ling), and one loved the nation (Soong Ching-ling)" > > Salah satu stasiun kehidupan dari ayah ketiga wanita terkenal ini > adalah Charlie Soong (Han Yaoru atau Soong Yaoru, 1866 ?-1918) > seorang Hakka dari Hainan (Wenchang), adalah di P. Jawa pada abad > 19 > Nama marga keluarganya asalnya adalah Han sebelum dinamakan Soong > di kemudian harinya. > > Charlie Soong ketika berumur 9 tahun bersama kaka laki-lakinya > datang ke P. Jawa menyusul salah satu kerabat keluarganya yang > tinggal di Indonesia pada abad ke 19. > > Di Jawa, Charlie diangkat sebagai anak dari saudara Tante (Bibi) > tuan rumah tempat Charlie menumpang, saudara laki dari tuan rumah > ini tinggal di Boston (USA) dan tidak memiliki keturunan serta > memiliki sebuah toko kain sutera dan teh disana. > > Pada tahun 1878, Charlie Soong berlayar ke Boston untuk menyusul > orang tua angkatnya dan bantu berkerja di tokonya disana.(Israel > Epstein). > > Pada abad 19 itu, akibat kekacauan, pemberontakkan Taiping dan > perang Candu banyak penduduk dari Hainan yang berimigrasi ke > negara-negara Asia Tenggara, salah satunya adalah saudara sepupu > (anak pamannya) dari Charlie Soong ini Han Yu Feng berimigrasi > ke Malaysia dan berkerja di perkebunan karet. > > Di kemudian harinya salah satu anak laki Han Yu Feng ini > rgabung dengan gerilyawan MCP (Malayan Chinese Party) dibawah > pimmpinan Chin Peng melawan tentara pendudukan Jepang pada tahun > 1941 dan kemudian melawan Inggris sesudahnya, hingga akhirnya > meninggal terbunuh. Han Yu Feng yang juga membatu gerilyawan di > bidang logistik akhirnya dideportasi kembali ke Tiongkok > (Hainan) bersama keluargany(Epstein). > > Untuk selanjutnya mengenai keluarga Soong ini ; > > "Woman in World History, Life and Times of Soong Ching Ling (Mme. > Sun Yatsen)" by Israel Epstein, Second Edition 1995, New World > Press, Beijing, second edition 1995, 697 pages. > > "The Soong Dynasty", by Sterling Seagrave, 1985 Great Britain, 532 > pages. > > Golden
[budaya_tionghua] Re: minta info tentang the Song's Sisters
"One loved money ( Soong Ai-ling), one loved power (Soong May-ling), and one loved the nation (Soong Ching-ling)" Salah satu stasiun kehidupan dari ayah ketiga wanita terkenal ini adalah Charlie Soong (Han Yaoru atau Soong Yaoru, 1866 ?-1918) seorang Hakka dari Hainan (Wenchang), adalah di P. Jawa pada abad 19. Nama marga keluarganya asalnya adalah Han sebelum dinamakan Soong di kemudian harinya. Charlie Soong ketika berumur 9 tahun bersama kaka laki-lakinya datang ke P. Jawa menyusul salah satu kerabat keluarganya yang tinggal di Indonesia pada abad ke 19. Di Jawa, Charlie diangkat sebagai anak dari saudara Tante (Bibi) tuan rumah tempat Charlie menumpang, saudara laki dari tuan rumah ini tinggal di Boston (USA) dan tidak memiliki keturunan serta memiliki sebuah toko kain sutera dan teh disana. Pada tahun 1878, Charlie Soong berlayar ke Boston untuk menyusul orang tua angkatnya dan bantu berkerja di tokonya disana.(Israel Epstein). Pada abad 19 itu, akibat kekacauan, pemberontakkan Taiping dan perang Candu banyak penduduk dari Hainan yang berimigrasi ke negara-negara Asia Tenggara, salah satunya adalah saudara sepupu (anak pamannya) dari Charlie Soong ini Han Yu Feng berimigrasi ke Malaysia dan berkerja di perkebunan karet. Di kemudian harinya salah satu anak laki Han Yu Feng ini bergabung dengan gerilyawan MCP (Malayan Chinese Party) dibawah pimpinan Chin Peng melawan tentara pendudukan Jepang pada tahun 1941 dan kemudian melawan Inggris sesudahnya, hingga akhirnya meninggal terbunuh. Han Yu Feng yang juga membatu gerilyawan di bidang logistik akhirnya dideportasi kembali ke Tiongkok (Hainan) bersama keluargany(Epstein). Untuk selanjutnya mengenai keluarga Soong ini ; "Woman in World History, Life and Times of Soong Ching Ling (Mme. Sun Yatsen)" by Israel Epstein, Second Edition 1995, New World Press, Beijing, second edition 1995, 697 pages. "The Soong Dynasty", by Sterling Seagrave, 1985 Great Britain, 532 pages. Golden - > In budaya_tionghua@yahoogroups.com, "gsuryana" <[EMAIL PROTECTED]> wrote: > > Aku lupa entah di film entah di buku, emang ke tiga ce ini pada > keblinger, dan emang sih hebat hebat, karena bisa nyantol ke orang > orang terkenal. > > sur.
[budaya_tionghua] Re: Stop Kampanye RRT Dan Taiwan!
Kalau anda hendak menjadi pengacara orang lain, maka anda juga harus dapat menjelaskan definisi, batasan dan kriteria dari STOP KAMPANYE yang anda tulis dengan huruf besar itu. Anda juga harus dapat menjelaskan dimana letak perbedaan antara perdebatan biasa/umum dengan kampanye, dan sampai dimana perdebatan atau diskusi itu dikategorikan sebagai suatu kampanye yang bukan lagi menyangkut perdebatan umum, dan tunjukkanlah contoh yang kongkrit. GH. - > In budaya_tionghua@yahoogroups.com, "Ulysee" <[EMAIL PROTECTED]> > wrote: > > Kalu bebas berpendapat, ya orang juga bebas-bebas aja bilang STOP > KAMPANYE donk, > nggak usah pake ngusir-ngusir segala, > katanya menghargai yang "sepakat untuk tidak sepakat" ??? > > Terus melabeli orang macem-macem. kopkamtib lah, preman pasar > lah, sindrom ORBA lah > > haduuh bener bener cara ORBA banget nih, > hobi melabel-labeli mereka yang tidak sepakat... > > hihihi... jadi yang mana sebetulnya yang PRODUK ORBA SEJATI neh??? > wakakakakakakaka. > > udeh, sesama produk ORBA jangan saling label melabeli deh, > udah jaman repotnasi neh, jurus yang dipake diganti donk, > disesuaikan jaman getoh lhooo
[budaya_tionghua] Re: Stop Kampanye RRT Dan Taiwan!
Ini abad 21, abad informasi, dan globalisasi, bukan abad jaman batu atau jaman Orba lagi Bung ! Setiap orang bebas mengungkapkan atau mengekspresikan pendapatnya disini tanpa dapat dihalangi, termasuk dari anda sendiri yang tidak mempunyai wewenang untuk menghentikannya, kecuali oleh moderator dari milis ini yang memiliki peraturan khusus dan wewenang ! atau rupanya sdr. Akhmad telah mengangkat dirinya menjadi moderator di milis ini sekarang Gaya Kopkamtib seperti di jaman Orba atau pamer gaya preman pasar bukan jaman dan waktunya lagi Bung ! kalau memang anda tidak merasa nyaman di milis ini, anda bebas untuk memilih milis lain yang mungkin lebih cocok dengan dunia dan naluri anda, tak ada yang mengharuskan untuk membaca postingan yang tidak sesuai dengan pendapat anda, seperti juga saya yang hampir tidak membuka atau membaca postingan dari anda yang saya anggap lebih banyak polemiknya daripada isi pembahasan yang bermutu. Salah satu prinsip demokrasi adalah "sepakat untuk tidak sepakat" (agree to disagree), dan kalau sekiranya anda tidak dapat menerima prinsip ini, maka anda berada dalam Habitat yang salah dalam forum diskusi milis ini! Di forum demokrasi ini anda tidak mempunyai hak dan wewenang untuk mendiktekan setiap anggauta milis BT ini, topik apa saja yang diperbolehkan dan apa yang tidak boleh ! kecuali dari pihak moderator, atau anda mengidap syndrom orde baru ? Milis ini bernaung dibawah Yahoo seperti yang lainnya! sebuah perusahan dunia maya internasional dimana ratusan atau ribuan forum- forum lainnya bernaung di bawah Yahoo ini dan bukan milik sebuah negara atau Kopkamtib. Milis BT sekaligus juga sebuah milis internasional yang membahas budaya Tionghoa dalam bahasa Indonesia yang dapat diakses dari luar negeri, anggauta-anggautanya ada yang datang dari berbagai negara seperti Hongkong, Taiwan, Tiongkok, Australia, Amerika, Singapura, Belanda dll, walaupun mayoritas mungkin dari Indonesia ! apakah anda berilusi untuk membungkamkannya ? Di era globalisasi ini, dimana batas batas negara menjadi kabur dan terjadi saling ketergantungan dan keterkaitan satu dengan lainnya, anda tidak dapat dan akan sia-sia untuk menghalangi arus pertukaran informasi dan ide ini. Setiap kejadian di negara atau benua lain akan berdampak atau berpengaruh terhadap negara atau benua lainnya (krisis moneter, harga minyak yang melambung, pemanasan global dll), Janganlah hidup seperti katak dalam tempurung nak! Budaya Tionghoa tidaklah bersifat eksklusif namun universal, mencakup budaya Tionghoa yang ada di Tiongkok (sebagai sumbernya), Taiwan, Singapura dan lain-lain tempat, terutama yang ada orang Tionghoanya atau bagi mereka yang tertarik dengan budaya Tionghoa, walaupun di milis ini lebih diutamakan budaya Tionghoa yang di Indonesia. Seperti forum-forum diskusi lainnya, otak lebih diutamakan daripada otot didalam era informasi ini. Setiap orang bebas untuk mengemukakan pendapatnya dan setiap orang juga bebas berargumentasi sejauh menghormati norma-norma kesopanan dan prinsip demokratis. Sekiranya ada yang tidak sesuai dengan pendapat sesorang, atau tidak dapat atau mampu beragumentasi lagi sesuai dengan level intelektualnya, maka tidak ada gunanya mencari kompensasi lain dengan mendiktekan larangan atau membungkamkan orang lain yang tidak sesuai dengan seleranya. Karena anda alergi terhadap orang lain berbicara mengenai politik, agama, Tiongkok dan Taiwan di milis ini yang dianggap bukan topik pembahasan budaya Tionghoa dan ditabukan, mungkin saya akan tertarik dengan postingan anda, sekiranya anda dapat menjelaskan definisi, batasan dan hubungannya dalam budaya Tionghoa menurut versi anda, tetapi ini bukanlah sebuah keharusan kalau sekiranya anda tidak bersedia atau alergi. Mungkin anda lebih mengetahui daripada anggauta milis Tionghoa lainnya dalam penjelasannya nanti. G.H. --- > In budaya_tionghua@yahoogroups.com, "Akhmad Bukhari Saleh" <[EMAIL PROTECTED]> wrote: > > Dua minggu ini milis budaya tionghoa isinya hanya kampanye RRT dan > Taiwan saja!! > > Padahal semua posting samasekali tidak ada hubungannya dengan milis > ini. Mau RRT jadi bikin Olympiade atau diboikot, mau Taiwan > presidennya Kuomintang atau asli Taiwan, tidak ada sangkutannya > dengan keikutsertaan kita semua dalam milis ini. > > Saya juga tertarik mengikuti soal itu, tetapi banyak sekali media > umum yang memuat kasus ini. > Semua posting forwardan yang pernah di-posting di sini lebih enak > dibaca di media aslinya, jadi pemuatannya di sini benar-benar > tidak ada manfaatnya. > > Saya juga punya pandangan tentang soal itu, dan siap saja > berdiskusi atau berdebat mengenainya. > Tetapi tempatnya bukan di milis budaya tionghoa ini. > > Jadi stop berhentilah mengkampanyekan pemerintah RRT dan dan > pemerintah Taiwan di milis
[budaya_tionghua] Fwd: China Makin Susah Didikte
Edisi Kompas hari Minggu ini menerbitkan sebuah artikel mengenai Tibet yang ditulis oleh Simon Saragih. Mungkin tidak semua isinya dapat disetujui oleh setiap orang , namun ada beberapa sudut pandangan yang cukup menarik dan informatif.. Seperti diberitakan soal keterlibatan orang-orang dari gerakan separatisme Tibet yang dilatih oleh CIA Amerika dengan motivasi untuk membuat Tiongkok tidak stabil dan terpecah. Selain itu Kompas juga menulis bahwa Indonesia harus dapat meniru Tiongkok secara ekonomi dan militer agar tidak mudah dipermainkan dan dianggap enteng oleh kepentingan pihak asing: "Inilah yang juga perlu ditiru Indonesia, yakni harus kuat secara ekonomi dan militer agar disegani dan tidak bisa "diputar" oleh pihak asing. Golden Horde Kompas Minggu, 23 Maret 2008 | 00:46 WIB Simon Saragih Apa yang paling ditakutkan China soal Tibet! Tidak ada yang luar biasa dari Tibet kecuali komunitas internasional yang berpihak kepada Tibet, dengan Dalai Lama menjadi ikon. Akan tetapi, China tidak akan peduli dengan kecaman komunitas internasional. Keinginan China hanya satu, Ibu Pertiwi harus tetap utuh. Mereka yang kerap berbicara dengan para pejabat China, atau membaca sedikit soal sejarah China, pasti paham bahwa sejarah China sarat dengan penaklukan. Ini membuat China trauma dengan intervensi asing hingga sekarang China juga pernah menjadi salah satu emporium penakluk, namun trauma ditaklukkan lebih melekat ketimbang menaklukkan. Karena itu China akan lebih waspada setiap upaya asing atau pada upaya domestik untuk melakukan perpecahan. Sikap ini tidak tergambar dari pernyataan eksplisit para pejabat China, termasuk Presiden Hu Jintao. Namun, sikap itu tergambar dari media yang dikendalikan pemerintah. "Tak peduli apakah itu kemerdekaan Tibet, Xinjiang, atau Taiwan, tujuan mereka satu, yakni menciptakan kekacauan dan perpecahan Ibu Pertiwi," demikian terungkap di harian resmi Xinjiang (http://www.tianshannet.com), edisi Sabtu (22/3). Pesan senada bermunculan di media China lainnya. "Kita harus waspada atas intervensi 'setan', kita harus kukuh memelihara stabilitas dan meredam konspirasi atas kemerdekaan Tibet," demikian pernyataan People's Daily milik Partai Komunis China, Sabtu. Ya, sikap persatuan merupakan kartu mati bagi Partai Komunis China. Jika China lembek, kekuatan perlawanan, separatisme, bisa merebak di China. Sebagaimana bisa dilihat pada grafik, di China banyak wilayah yang rawan pemisahan diri. Dosa-dosa Namun China juga tak akan selamanya bisa meredam elemen-elemen perlawanan. Partai Komunis yang punya sejarah soal sadisme dan tragedi kemanusiaan membuat China tak akan pernah meraih kestabilan yang sejati. Akan tetapi, China juga menyadari betul hal ini. Karena itu Presiden Hu Jintao telah berulang kali menekankan agar para pejabat Partai Komunis menjaga perangai, tidak korup, tidak mengorbankan rakyat. Tidak sedikit pejabat Partai Komunis yang kehilangan nyawa setelah dieksekusi aparat sesuai dengan perintah pengadilan. China, sebagaimana juga sering diutarakan Perdana Menteri Wen Jiabao, sering mengatakan bahwa China memiliki cara dan interpretasi tersendiri soal demokrasi. China ingin menempuh jalan sendiri soal demokrasi, yang tentunya juga tidak bisa dilakukan secara cepat. Meski masih terkesan sangar, China juga memperlihatkan sisi manusiawi dan mulai agak mendengar komunitas internasional. Nyatanya, China kini menjadi kekasih para investor global. Kontradiksi Atas semua itu, maka susah menekan China. Makin susah lagi karena China kini telah menjadi salah satu kekuatan utama ekonomi global. Dengan kekuatan ekonomi ini, diperkuat kekuatan militer, China makin sulit digoyang. Inilah yang juga perlu ditiru Indonesia, yakni harus kuat secara ekonomi dan militer agar disegani dan tidak bisa "diputar" oleh pihak asing. Lagi, siapa negara di dunia ini yang punya hak moral menekan China? Amerika Serikat bukan lagi kekuatan unilateral yang disegani komunitas internasional, sebagaimana diutarakan Gubernur New Mexico Bill Richardson. Oleh karena itu, sala satu cara Tibet dan elemen-elemen perlawanan lain di dalam negeri China adalah dengan bersabar. Inilah yang diutarakan mantan gerilyawan Tibet, yang dilatih oleh CIA (intelijen AS), bernama Norbu Dorje (73). Dorje pernah 14 tahun berperan sebagai pemberontak dari wilayah Nepal. Dorje yang berasal dari daerah Kham, Tibet timur, mengatakan simpati pada aksi-aksi warga Tibet di Lhasa. Namun, ia sekaligus waswas tentang nasib yang menimpa pemrotes itu. China, kata Dorje, juga tak akan membiarkan wartawan menyelusup ke Tibet sehingga leluasa bertindak apa saja kepada warga Tibet tanpa bisa diketahui dunia. "China terlalu besar dan begitu kuat dan tindakannya ilegal. Kita membutuhkan dukungan yang lebih kuat dari komunitas
[budaya_tionghua] Tibet dan Media Barat
adan intelijennya seharusnya tidak kekurangan pengalaman dan dukungan medianya untuk mencari pemimpin alternatif yang lebih pro kepentingan Barat dalam usahanya menjadikan RRT seperti Rusia atau Serbia. Golden Horde http://www.spiked-online.com/index.php?/site/article/4880/ http://www.channelnewsasia.com/stories/afp_asiapacific/view/335758/1/. html
[budaya_tionghua] Fwd: Portraits of inspiring women, transcending ethnic barriers
Aimee Dawis,Contributor The Jakarta Post Thursday, March 6, 2008 The social position of the Chinese-Indonesian woman has always been in relation to her father, oldest brother, husband and son. In The Making of the Chinese-Indonesian Women, Myra Sydharta writes that the ideal Chinese-Indonesian girl in the early twentieth century was "obedient, timid, reticent and adaptable. Three rules of obedience shape her life: as an unmarried girl, she should obey her father and eldest brother, when married, she should obey her husband, and when widowed, her son". Education opportunities were limited to the young girls growing up in that era. Later, when girls did get the opportunity to go to school, their brothers still had priority. Thankfully, the Chinese-Indonesia women of today are able to pursue educational and professional opportunities. Some have even become internationally recognized leaders in their chosen professions. Three exemplary Chinese-Indonesia women in the country include; Mari Elka Pangestu, the country's Trade Minister; Melani Budianta, professor and head of the University of Indonesia's literary department in the School of Humanities; and Kuei Pin Yeo, founder of the Jakarta Music School and the International Music Conservatory of Indonesia. The three come from diverse social and professional backgrounds -- but throughout their lives and careers, all have demonstrated their own motivation and efforts which have propelled them to succeed in their respective professions. Mari Elka Pangestu Mari is known as a sharp economist and staunch proponent of international trade relations based on multilateral and bilateral agreements. Throughout her term, she has pushed to attract foreign investment and improve existing infrastructure to expand the country's export market. She believes Indonesia is "very uniquely different", since it is a country which allows the co-existence of many different cultures and traditions. Citing the Hindu temple of Prambanan and the Buddhist monument of Borobudur, she affirms Indonesia is a pluralistic country that does not destroy vestiges of its cultural heritage, even though Islam has become the country's dominant religion. While Mari recognizes that Chinese culture and language have experience a renaissance following a long period of restriction, she stresses we should look historically at "how the first influx of Chinese culture became integrated with the indigenous cultures". She cites little-known examples of how the pioneers of handmade Batik Tulis in Surakarta, Central Java, were actually ethnic Chinese and how the celebration of Cap Go Meh (the fifteenth day of Chinese New Year) has become localized in places such as Semarang. Aside from the historical analysis of the evolution of Chinese culture in Indonesia, Mari also points to historical developments of the position of women in Indonesia. As the first Indonesian woman of Chinese descent to assume the prestigious position as the country's trade minister, she said women now had more options to prove themselves in the public sphere, unlike in the past when women had limited choices. In today's Indonesia, women and people from any ethnicity can enter politics, arts, culture, fashion and sports; what is important, she says, is their own capabilities and tenacity. Mari found that her own drive and aptitude were two significant factors that helped her during her tertiary education and career. Until high school, Mari had always wanted to become a medical doctor. It was not until her second year in university did she decided to switch to economics, which eventually led to her decision to pursue a doctorate in economics at the University of California. Having spent so many years abroad, returning home was not an easy task for her. Like many others who earned their academic degrees abroad, she experienced reverse culture shock when she returned. But despite this, Mari insists that "your own country will give you the best opportunities" and never doubted her decision to return to Indonesia. "Indonesians are very capable," she said. "It is our duty to boost our country's name internationally with our own capabilities." Melani Budianta For Melani Budianta, or Bu Mel as she is fondly referred to by her colleagues and students, the first Chinese-Indonesian woman to become professor of the School of Humanities at the University of Indonesia, issues of gender and ethnicity are irrelevant to her achievements. The holder of a Master's degree in American Studies from the University of Southern California, and a doctorate in English Languages and Literatures from Cornell University, firmly believes in equality. Like Mari Pangestu, she finds women are capable of realizing their aspirations based on their own abilities. However, she is careful to point out that for women in academia, their responsibilities as wives and mothers,
[budaya_tionghua] Dilema Pilkada
darah antar etnis hingga kini, para elit politiknya mengeksploitasi emosi dan sentimen antar etnis di kalangan rakyatnya sendiri. Pilkada di Ternate (Malut) dan Sulawesi Selatan atau tempat lainnya juga telah memicu konflik antar kepentingan, walaupun masih dalam satu kelompok etnis, yang kalau tidak dikendalikan dapat merambat ke tempat lain. Bagi calon dari etnis Tionghoa yang mencalonkan dirinya dalam Pilkada mendatang, berkemungkinan akan menghadapi konsekwensi seperti yang disebutkan diatas dengan situasi yang dilematis, ingin berdedikasi dan peduli terhadap daerahnya tetapi juga membawa resiko, walaupun hal ini tidak terjadi di semua tempat seperti Pilkada di Belitung Timur dan di Singkawang, tetapi potensi ini tetap membayang-bayangi. Skenario yang terburuk atau yang tidak diinginkan dapat terjadi, sekiranya kandidat lainnya atau pejabat incumbent yang frustrasi atau merasa diunggulkan suaranya, berhasil memancing provokasi atau konflik yang berlatar belakang sara terhadap komunitas Tionghoa setempat. Seperti yang telah disebutkan diatas bahwa demokrasi bagaikan bunga mawar yang berduri, tetapi yang kita inginkan adalah mawarnya dan bukan durinya. Golden Horde
[budaya_tionghua] Fwd: Perempuan Tionghoa
Kompas, Senin, 25 Februari 2008 Mediator "Diam" Pembentukan Budaya Bagi kebanyakan masyarakat Indonesia, budaya orang Indonesia Tionghoa dikenal memiliki kekhasan yang berbeda dari budaya etnik lain. Dapat dikatakan budaya masyarakat Indonesia Tionghoa sebetulnya hibrida dari budaya China yang dibawa orang-orang China yang datang ke Indonesia dan budaya lokal di mana orang-orang China tersebut menetap. Berbicara tentang budaya hibrida orang Tionghoa, yang sering terlupakan adalah peran penting perempuan Tionghoa sebagai pelangsung dan pembentuk budaya hibrida ini karena kehidupan mereka yang "diam" atau "terdiamkan". Seperti sudah banyak ditulis dalam buku-buku Leo Suryadinata, Charles Coppel, dan Myra Sidharta, kedatangan orang China ke Indonesia pada mulanya tidak disertai istri mereka yang ditinggal di negaranya. Kehidupan yang cukup lama di Indonesia memaksa mereka mengambil perempuan lokal sebagai istri. Keturunan dari perkawinan antara orang China dan penduduk setempat itu menurun kelompok yang dikenal sebagai Tionghoa peranakan. Biasanya lelaki China yang kembali ke China hanya membawa anak laki- laki, sedangkan anak perempuan ditinggal dan dipelihara ibu mereka yang orang setempat. Dari ibu-ibu anak-anak peranakan inilah mereka belajar budaya lokal dan mencampurnya dengan kebiasaan orangtua mereka yang China sehingga muncul budaya hibrida di kalangan mereka dan keturunannya. Hal paling menonjol yang bisa kita saksikan dalam budaya hibrida apalagi kalau bukan urusan domestik yang sering kali diidentikkan dengan urusan perempuan. Di sekitar pekerjaan domestik inilah biasanya keseharian hidup perempuan. Yang tampak jelas adalah dalam hal busana, makanan, dan bahasa sehari-hari. Busana Anak-anak perempuan peranakan Tionghoa belajar mengenakan kebaya dan sarung yang biasa dikenakan perempuan setempat di Jawa. Untuk membedakan mereka dari perempuan setempat biasanya motif sarung dan kebaya dibuat berbeda. Batik pekalongan dan lasem dikenal sebagai batik yang bercorak khusus yang dipakai perempuan Tionghoa. Kebayanya juga dikenal sebagai "kebaya encim" yang biasanya ada bordiran di tepi baju. Kalaupun busana seperti itu sudah jarang kita temui dikenakan oleh masyarakat Tionghoa perempuan sebagai busana sehari-hari, busana ini sudah dimodifikasi sehingga menjadi busana anggun yang banyak dikenakan perempuan Indonesia modern untuk acara hajatan dan acara resmi. Pada umumnya perempuan Tionghoa sejak kecil sudah diajarkan memasak oleh ibunya karena mereka diharapkan kelak dapat mengurus rumah tangga bila sudah menikah. Para istri orang setempat yang menikah dengan orang China pasti akan berusaha belajar memasak masakan yang biasa dimakan suami Chinanya dengan cara masak dan bumbu-bumbu yang didapat di tempatnya. Dari sinilah muncul masakan yang dinamai dengan nama China, tetapi berselera lokal. Seperti kalau kita makan cap cai atau mi. Masakan China yang dimasak di Indonesia tidak lagi memiliki rasa yang sama dengan masakan yang dimasak di China. Masakan hibrid ini ternyata juga digemari orang-orang Tionghoa hingga sekarang maupun oleh orang Indonesia umumnya. Bahasa Bahasa yang digunakan orang Tionghoa bisa juga kita sebut sebagai bahasa hibrida. Jarang sekali kita jumpai di kelompok lain di mana kata sapaan mencampurkan dua kata dari budaya berbeda. Contohnya, pada beberapa kelompok masyarakat Tionghoa tertentu, sapaan kohdé, cikngah, dan kulik merupakan gabungan dari dua kata engkoh gedé, tacik tengah, dan engku cilik. Kata pertama berasal dari dialek China, sedangkan kata kedua dari bahasa Jawa. Cara ini mirip dengan cara orang Jawa menyapa, misalnya, paklik, pakdé, atau bulik dan budé. Dari lebih 1.000 kata yang dipakai dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa China atau dialek China (ditulis dalam buku Kong Yuanzhi Silang Budaya Tiongkok-Indonesia). Yang menarik, dari sekian banyak kata tersebut, yang paling banyak adalah kata-kata yang berhubungan dengan kekeluargaan, makanan dan minuman, serta alat-alat dapur dan rumah tangga. Tentu peranan perempuan Tionghoa di sini amat penting karena pada dasarnya perempuanlah yang sering kali menjadi penerus budaya. Perempuan mengajarkan kepada anak-anaknya tentang kebiasaan sehari- hari dan bagaimana mereka harus hidup, sedangkan suami pada umumnya merasa lebih bertanggung jawab mencari uang untuk keluarga. Meski demikian, dari sekian banyak buku tentang kehidupan orang Tionghoa, sedikit sekali kita jumpai tentang kehidupan perempuan Tionghoa dan kiprahnya dalam kehidupan masyarakat di Indonesia. Myra Sidharta dan Mely G Tan sudah sering mengangkat nama perempuan Tionghoa yang sudah banyak berjasa bagi bangsa Indonesia. Mereka sudah berkiprah di hampir semua bidang kehidupan, seperti politik, ekonomi, susastra, dan pendidikan. Meski demikian, secara umum peranan perempuan Tionghoa masih terasa "terdiamkan", mungkin karena pada umumnya mereka lebih biasa "diam". Es
[budaya_tionghua] Re: Fwd: Singkawang
Margaret Chan kalau tidak salah telah menulis sebuah buku mengenai Tatung yang berjudul "Ritual Is Theatre, Theatre Is Ritual, Tang-Ki: Chinese Spirit Medium Worship", Apakah buku ini bisa didapatkan di Indonesia ? Salam, Golden Horde - > In budaya_tionghua@yahoogroups.com, "Hendri Irawan" <[EMAIL PROTECTED]> > wrote: > > In [EMAIL PROTECTED], "Margaret CHAN" > wrote: > > Dear friends, > > Victor's and Ronni's photos tell, more than any of my words can, of > the energies of Capgome in Singkawang, West Kalimantan. But I will > nevertheless share first impressions. Before I do that, there is > first the important task I have to openly thank Ardian and his > friends and our Victor Yue, without whom this trip would not have > been what it was. > > Ardian and his Budaya Tionghoa network are passionate about > promoting Chinese culture as a legitimite pillar of the diversity > that makes up the Indonesian population. Their aspirations went far > beyond idealistic thinking to the real. > .. > .
[budaya_tionghua] Re: RENCANA PERBURUAN CAPGO ME TAHUN DEPAN
Selain 3B (Bibir, Bubur, Bunaken), Manado juga terkenal dengan perayaan Cap Go Meh-nya atau disebut juga perayaan Goan Siao. Perayaan Cap Go Meh di Manado hampir semeriah perayaan Cap Go Meh di Singkawang ditinjau dari segi atraksi dan jumlah pengunjunganya, hanya Manado tidak mempunyai pawai Lampion seperti di Singkawang, yang diadakan dua hari sebelum perayaan Cap Go Meh sebagai puncak atraksinya. Kedua perayaan Cap Go Meh di kedua kota tersebut mempunyai keunikan masing-masing. Sebagai ibukota propinsi Sulawesi Utara, Manado lebih mudah pencapaiannya dibandingkan dengan Singkawang, karena Manado mempunyai lapangan terbang sendiri (Sam Ratulangi) yang telah dimodernisasi, sehingga para wisatawan dari berbagai daerah dan mancanegara dapat langsung tiba ditempat (banyak perusahan penerbangan dengan tujuan Manado), sedangkan Singkawang masih belum memilikinya, sehingga para wisatawan yang menggunakan pesawat terbang harus mendarat di Pontianak dahulu sebelum menempuh jalan darat selama 2,5-3 jam menuju Singkawang. Selain itu juga tersedia hotel-hotel yang relatif cukup banyak dan berbintang, seperti Hotel Ritzy (dahulu Novotel namanya) yang letaknya di Manado Boulevard dan dapat melihat teluk Manado serta P.Bunaken, Hotel Gran Puri, Hotel Sahid Manado, Kima Bajo Resort & Spa Hotel, Hotel Santika dan Hotel Sedona (keduanya relatif cukup jauh letaknya dari pusat kota, walaupun berbintang dan menarik) dll. Perayaan Cap Go Meh atau perayaan Goan Siau di Manado juga menampilkan Tatung seperti di Singkawang yang sebutannya Tang Sin, tetapi jumlah Tang Sin (atau Tatung) tidaklah sebanyak seperti yang dijumpai di Singkawang yang jumlahnya sangat besar, biasanya di Manado jumlahnya sekitar 10 orang, mungkin juga karena tidak sebanyak kelenteng seperti di Singkawang (ada enam tempat ibadah umat Tridharma atau kelenteng di Manado) Prosesi perayaan biasanya dimulai dari Kelenteng Ban Hian Kiong, sebagai kelenteng yang dituakan di Manado, yang terletak jalan Panjaitan, di pusat perdagangan atau pecinan kota Manado. Pemain- pemain Barongsai dan Liongnya juga ada yang didatangkan dari luar daerah, seperti Makassar, Surabaya, Malang dll. Perayaan Cap Go Meh di Manado juga merupakan suatu pesta rakyat (orang Manado memang gemar berpesta), peserta dan pengunjungnya berdatangan dari berbagai kota dan daerah seperti Tomohon, Bitung, Tondano, Kotamobagu, Tahuna, Siau hingga Gorontalo, Ternate, Palu, Makassar dll. serta wisatawan dari berbagai mancanegara seperti dari Filipina, Malaysia dan Singapura. Perayaan Cap Go Meh ini juga dimeriahkan dengan tarian perang khas Minahasa yang disebut Tarian Kabasaran (Cakalele) dan musik bambu, musik tiup bambu seng serta klarinet yang memainkan musik dan lagu- lagu populer rakyat Minahasa (Folk Songs) seperti Mars Minahasa, Si Patokaan dll. Dalam prosesi Cap Go Meh atau Goan Siao ini juga melibatkan barisan ritual umat Tridharma dan selain itu juga ada atraksi pawai yang disebut pikulan, yaitu pawai yang menampilkan tokoh-tokoh populer atau pahlawan dari cerita legenda Tiongkok, dewa-dewa umat Tridharma dan biasanya diperankan oleh anak kecil. Golden Horde - > In budaya_tionghua@yahoogroups.com, "ardian_c" <[EMAIL PROTECTED]> wrote: > > teman2 semilist, > > kalu Henyonk pake istilah penelitian, so saya lebih suka pake kata > perburuan. Habis yg namanya peneliti itu ternyata lebih buas > daripada pemburu binatang lho hehehehehehehehehehe so kita semua > ganti nama neh gak pake kata research or study but HUNTING TATUNG > and TEMPLING. > nah rencana berburu taon depan itu kita semua mau ke MENADO. > So ada teman2 yg bisa kasih input gimana capgome di menado ? or > sapa aja yg bisa dikontak selaen bp.Eddy Loho di Jkt ? > BTW thx buat Jenny alias Jee yg kasih saya pilem capgome di Menado. > > Ardian
[budaya_tionghua] Fwd: Presiden: Beri Pelayanan Publik yang Sama
Kompas, Senin, 18 Februari 2008 Jakarta, Kompas - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menginstruksikan kepada aparatur pemerintah untuk senantiasa memberikan pelayanan publik yang sama kepada seluruh lapisan masyarakat, termasuk masyarakat Tionghoa. Hal ini dikemukakan Presiden dalam sambutannya pada Perayaan Tahun Baru Imlek 2559/2008 di Balai Sidang Senayan, Jakarta, Minggu (17/2). Acara diselenggarakan Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia. "Berikan semua kemudahan kepada semua dalam pelayanan, misalnya administrasi kependudukan, perkawinan, keimigrasian, perizinan, dan pelayanan-pelayanan yang lain," katanya. "Dua tahun lalu kita telah menerbitkan UU No 12/2006 tentang Kewarganegaraan Indonesia. UU tersebut di antaranya menempatkan etnis Tionghoa dalam persamaan dan kesetaraan dengan warga negara yang lain dalam kehidupan berbangsa dan bernegara," katanya. Presiden menegaskan, UU itu menjadi jaminan etnis Tionghoa untuk memperoleh perlakuan sama dan kemudahan dalam memperoleh status WNI. Presiden mengharapkan seluruh rakyat Indonesia belajar dari sejarah sehingga tak akan terjadi lagi konflik horizontal. "Bangsa kita memang beragam sehingga kemungkinan konflik dan perselisihan selalu ada. Marilah kita kelola dan kita carikan solusi damai tanpa kekerasan," katanya. Para pemuka agama dan tokoh masyarakat, lanjut Presiden, hendaknya membimbing komunitasnya dan memberi contoh untuk tidak melakukan kekerasan dan main hakim sendiri ketika kita harus menyelesaikan konflik atau pertentangan yang ada. "Reformasi, demokratisasi, dan kebebasan tidak identik dengan kekerasan, tidak identik dengan main hakim sendiri, dan tidak identik dengan perilaku yang menebarkan ketakutan pada pihak lain," ujar Presiden. Berkat reformasi Sebelumnya, Ketua Panitia Pelaksana Peter Lesmana melaporkan, perayaan Imlek secara nasional itu merupakan yang kesembilan kalinya berturut-turut sejak tahun 2000. "Ini semua bisa terwujud sebagai berkah dari reformasi yang terjadi di negeri ini," ujar Peter Lesmana. Hadir antara lain Ketua DPR Agung Laksono dan para menteri kabinet. Acara ini juga ditandai penampilan artis penyanyi yang membawakan lagu-lagu berbahasa Mandarin serta pertunjukan wushu dan tarian. (OSD/ANTara)
[budaya_tionghua] Re: Fw: Barongsai dilarang di Pontianak ?
Yang dilarang untuk diselenggarakan ditempat umum termasuk rencana arak-arakan Naga raksasa yang dibuat khusus dengan bahan dasar kain sepanjang 1000 m dan rotan sebanyak 500 batang. Pada awalnya akan diselenggarakan di kota Pontianak 21 Februari mendatang ini, tetapi akhirnya arak-arakan Naga raksasa tersebut akan dipindahkan ke kota Singkawang . Salah satu alasan yang disebutkan oleh beberapa media seperti dapat menimbulkan polemik, situasi tidak kondusif atau pertimbangan khusus di lapangan , mungkin ada keterkaitannya dengan aksi kekerasan anti Tionghoa pada bulan Desember 2007 lalu, yaitu terjadi setelah penyelenggaraan Pilkada pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur baru untuk Kalbar berakhir, dimana etnis non-Melayu yang terpilih yaitu Drs. Cornelis, MH (etnis Dayak) sebagai Gubernur dan Drs. Christiandy Sanjaya (etnis Tionghoa) sebagai Wakilnya Selain itu juga diketahui bahwa masa jabatan Walikota Singkawang Buchary A. Rahman akan berakhir pada tahun 2008 ini yang menjabat sejak tahun 1999, jadi tidak lama lagi akan diselenggarakan pemilihan Walikota Pontianak (Pilwakot) baru untuk menggantikannya. Ironisnya pelarangan penyelengaraan Cap Go Meh dan arak-arakan Naga ditempat umum di kota Pontianak yang diharapkan dapat menarik kunjungan wisata ini, terjadi pada "Tahun Kunjungan Wisata Indonesia 2008" (Visit Indonesia Year 2008). Golden Horde >In budaya_tionghua@yahoogroups.com, "HKSIS" <[EMAIL PROTECTED]> wrote: > - Original Message - >From: Ivan Wibowo >To: [EMAIL PROTECTED] ; [EMAIL PROTECTED] ; tionghoa- >[EMAIL PROTECTED] >Sent: Sunday, February 17, 2008 10:27 AM >Subject: [snb-milis] BArongsai dilarang di Pontianak ? > >Minggu, 10 Februari 2008 >Pemkot Tetap Larang Arakan Naga dan Petasan >Buchary: Ada SK Walikota 127/2008 > >Pontianak,- Pemerintah Kota Pontianak tetap melarang pelaksanaan >arakan naga, barongsai, jual beli dan pemasangan petasan. Aturan >pelarangan itu sesuai dengan Surat Keputusan Walikota Pontianak No >127 tahun 2008 tentang Jual Beli, Pemasangan Petasan dan Pelaksanaan >Arakan Naga, Barongsai Dalam Wilayah Kota Pontianak. > >Walikota Pontianak mengeluarkan SK 127/2008 tertanggal 5 Februari >2008 dengan lima poin keputusan. Pertama, jual beli memasang >petasan, arakan naga, barongsai dalam wilayah Kota Pontianak. > >Poin kedua, dalam melaksanakan imlek dan cap go meh dilarang >melakuakn jual beli dan memasang petasan serta melaksanakan arakan >naga, barongsai di jalan umum dan fasilitas umum yang bersifat >terbuka. Sedangkan poin ketiga, pelaksanaan permainan naga, >barongsai dilaksanakan di Stadion Sultan Syarif Abdurrahman >Pontianak. > >Sementara poin keempat, untuk sarana mobilisasi ke tempat yang >ditetapkan harus menggunakan kendaraan truk dan sejenisnya dan poin >kelima keputusan ini berlaku sejak ditetapkan. > >Walikota Pontianak, dr H Buchary A Rahman menegaskan tidak ada yang >boleh memasang petasan maupun melakukan arak-arakan naga maupun >barongsai. Menurut dia, bila ada yang melanggar berarti telah >mengingkari keputusan bersama. > >"Karena keputusan ini dibuat berdasarkan hasil rapat Muspida Kota >Pontianak, 30 Januari 2008 dan pertemuan dengan tokoh-tokoh tionghoa >Kota Pontianak. SK ini juga disampaikan ke gubernur Kalbar," kata >dia. > >Buchary belum lama ini mengungkapkan Festival Naga tetap >dilaksanakan di Stadion Sultan Syarif Abdurrahman (SSA) Pontianak. >Namun, tidak ada arak-arakan naga seperti tahun sebelumnya, >dikarenakan situasi Kota Pontianak tidak kondusif pada tahun ini. > >"Berkaitan dengan perayaan Imlek, pemerintah Kota Pontianak >memberikan kesempatan seluas-luasnya untuk merayakan Imlek 2559. >Hanya saja, untuk Cap Go Meh, tidak ada arak-arakan naga. Naga >raksasa juga dipindahkan ke Singkawang. Saya sudah telepon langsung >ke Walikota Singkawang," ungkap Buchary. > >Disamping itu, Buchary menegaskan selama perayaan Imlek, tetap >dilarang membunyikan petasan. Larangan ini tidak menggunakan SK >Walikota, melainkan langsung diatur dalam Undang-Undang >Darurat. "Petasan tetap dilarang. Namun masalah petasan ini langsung >ditangani Poltabes Pontianak karena menyangkut undang-undang," ujar >Buchary. (riq)
[budaya_tionghua] Buku Laksamana Cheng Ho Dan Asia Tenggara
Buku yang belum lama diterbitkan tentang Cheng Ho, (juga dikenal sebagai Zheng He, Sam Po, Sam Bao, Sam Po Kong, San Bao Gong, Sam Po Toa Lang, Sam Po Taijin, San Bao Daren, Sam Po Tai Kam) dan Asia Tenggara ini diambil dari panel yang diselenggarakan oleh Huayinet (Singapura) dan Ohio University Materials on the Chinese Overseas pada Agustus 2005. Panel tersebut merupakan bagian dari konferensi internasional dengan tema "Chinese Overseas and Maritime Asia 1405-2005". Seperti diketahui bahwa tahun 2005 adalah tahun peringatan ke-600 pelayaran armada Cheng Ho dan pelbagai seminar, konferensi, bahkan perayaan, digelar di berbagai tempat dan negeri. Cetakan pertama buku ini diterbitkan oleh Pustaka LP3ES Indonesia pada Desember 2005 (162 halaman) dengan DR. Leo Suryadinata sebagai editornya. Adapun sub-tema isi buku tersebut sbb: 1.Pelayaran Keliling Dunia Armada Zheng He, Komentar Atas Buku Gavin Menzies. Penulis: RZ Lireissa 2.Apakah Zheng He Memang Bermaksud Menjajah Asia Tenggara ? Penulis: Tan Ta Sen 3.Tujuh Pelayaran Cheng Ho sebagai Diplomasi Kebudayaan, 1405-1433. Penulis: A Dahana 4.Hubungan Kerajaan Malaka dengan Dinasti Ming, Sebuah Tinjauan Ulang Openulis: Tan Ta Sen 5. Admiral Cheng Ho dan Kota-kota Pesisir di Asia Tenggara Penulis: Johannes Widodo 6. Laksamana Cheng Ho dan Peranannya dalam Penyebaran Islam di Nusantara. Penulis: Hasan Muarif Ambary 7. Zheng He, Semarang dan Pengislaman Jawa, Antara Sejarah dan Legenda Penulis: Leo Suryadinata 8. Sino-Javanese Muslim Culture, Menelusuri Jejak Cheng Ho di Indonesia Penulis Sumanto Al Qurtuby. Buku ini juga melampirkan cuplikan dokumen "Tuanku Rao" (Penulis: M.O. Parlindungan, 1964) yang berjudul "Peranan Orang-orang Tionghwa/Islam/Hanafi di dalam Perkembangan Agama Islam di Pulau Jawa, 1411-1564", dan lampiran buku Parlindungan ini (Lampiran XXXI) juga pada gilirannya bersumber dari singkatan dokumen Kelenteng Sam Po Kong, Semarang yang disita oleh Resident Poortman pada tahun 1928 dan lalu dirahasiakan oleh Pemerintah Hindia Belanda atas hasil penemuan itu. Golden Horde
[budaya_tionghua] Fwd: China, Indonesia start joint military productions
Kerjasama dibidang industri pertahanan antara Indonesia dan Tiongkok diberitakan akan segera direalisasi seperti pembuatan kendaraan militer, tank dan peluru kendali yang akan diproduksi bersama di PT Pindad dan PT PAL bersama BPPT. Kerjasama ini merupakan kelanjutan dari kesepakatan kerjasama antara kedua negara dibidang industri pertahan yang telah ditanda tangani tahun lalu serta kunjungan menhan Tiongkok Cao Gangchuan bulan lalu ke Indonesia. Perlengkapan militer Indonesia diketahui sudah banyak yang sudah tidak memenuhi persyaratan lagi dan banyak yang sudah berusia tua pada saat kini, seperti halnya dengan kecelakaan di Situbondo yang memakan beberapa korban prajurit Marinir ketika sedang mengadakan latihan pendaratan. Jadi Alutsista atau perlengkapan pertahanan Indonesia sudah sangat mendesak saat kini untuk diperbaharui dan dimodernisasi, yang konon sudah jauh tertinggal dengan negara tetangga seperti Singapura, Malaysia dll. Dengan produksi bersama didalam negeri ini, diharapkan nantinya Indonesia relatif dapat memenuhi kebutuhan militernya sendiri serta tidak terlalu banyak tergantung lagi dari pasokan negara Barat yang relatif mahal harganya serta tak jarang dengan persyaratan tertentu. Selain itu ada kemungkinan produksi bersama ini akan diekspor ke negara lain, seperti negara-negara ASEAN lainnya yang membutuhkannya dengan harga yang kompetitif. Kerja sama dibidang pertahanan ini akan merupakan salah satu bagian daripada kemitraan strategis antara Indonesia dan Tiongkok yang telah disepakati bersama sebelumnya. GH. -- China, Indonesia start joint military productions Abdul Khalik, The Jakarta Post, Jakarta February 12, 2008 Indonesia and China have embarked on a joint production of various war machines in a bid to help the Southeast Asian country replace its aging warfare equipment and ease dependency on imports. Indonesian Ambassador to China Maj. Gen. (ret) Sudrajat said Monday the long-term cooperation would cover production of military vehicles, tanks and missiles. "What we have now is a project to produce missiles," Sudrajat told reporters. "In this project, the Chinese defense industry will cooperate with BPPT to produce missile launchers and they will work together with PT Pindad to produce the missile's ammunition," Sudrajat was speaking after reporting to President Susilo Bambang Yudhoyono on the progress of Indonesia-China relations at the presidential office. BPPT is the Agency for the Assessment and Application of Technology and Pindad is the Army's arms maker. The joint production followed last year's signing of a defense cooperation agreement between the two countries on military training and arms production. Indonesian Defense Minister Juwono Sudarsono held talks with Chinese Defense Minister Cao Gangchuan last month in Jakarta to discuss details of the agreement. Sudradjat said under the joint production agreement, military equipment ordered from China would be produced at plants belonging to Pindad in Bandung or state shipbuilder PT PAL in Surabaya. "In their procurement process, the Indonesian Army, Navy and Air Force have struck a deal with Chinese authorities to make some parts of the equipment in Indonesia and by Indonesian companies," Sudrajat said. The president ordered the Indonesian Military to ground its aging equipment following a series of fatal accidents involving its war machines in the last few months. Budget constraints have been blamed for the slow modernization of defense equipment in the country. The 2008 state budget raised defense spending to Rp 36.4 trillion ($3.8 billion), but most of the money will be spent on military personnel's welfare. The government said it was also reluctant to embark on credit export facilities offered by some Western countries for fear of criticism around further accumulation of fresh foreign debts. Chairman of the House of Representatives' Commission I on security, defense and foreign affairs Theo Sambuaga hailed the start of joint Indonesia-China production of military equipment. He said the move was a solution to Indonesia's budgetary limitation to replace aging warfare equipment. "Gradually, we should replace our aging defense equipment," Theo said. "As we have budget constraints, we should be able to buy them from local companies and only embark on foreign purchases if we really can't produce them. "That's why joint production is the best option to empower our defense industry," he said. http://www.thejakartapost.com/detailheadlines.asp? fileid=20080212.A05&irec=4
[budaya_tionghua] Fwd: Maya Soetoro, Senjata Rahasia Barack Obama
Proses pemilu di Amerika Serikat yang sedang berlangsung saat kini telah menarik perhatian dunia, termasuk Indonesia dan terutama dengan nama kandidat Barack Obama ( dipanggil juga Bari Soetoro selama tinggal di Indonesia) yang pernah tinggal semasa kecilnya di Jakarta bersama ayah tirinya dari Indonesia yaitu Lolo Soetoro. Pers dunia banyak meliput dan mengikuti proses pemilu di Amerika ini, karena diperkirakan akan terjadi beberapa perubahan pada kebijaksanaan baru AS, sekiranya presiden baru yang terpilih menggantikan Bush yang sekarang telah merosot popularitasnya. Barack Obama adalah seorang keturunan Afro-Amerika, atau dapat disebut juga peranakan Afrika, tepatnya Kenya. Obama mempunyai latar belakang budaya dan etnis yang berbeda dan multikultural, ibunya seorang wanita kulit putih Amerika, ayah kandungnya seorang kulit hitam dari Kenya, Afrika, ayah tirinya seorang Indonesia, iparnya seorang Tionghoa Kanada dan istrinya seorang kulit hitam Amerika, dengan beragam kepercayaan atau agama yang dianutnya pada keluarga besar Obama ini. Sekiranya Obama dapat terpilih menjadi presiden Amerika mendatang, maka ia akan menjadi seorang presiden kulit hitam pertama yang terpilih dalam sejarah AS. Tetapi pada beberapa negara, fenomena ini sebenarnya bukanlah hal baru lagi, seperti di Filipina, mantan presiden Corazon Aquino (etnis Tionghoa), di Thailand, mantan Perdana Menteri Thaksin Shinawatra (etnis Tionghoa), di PNG, mantan Perdana Menteri Julius Chan (etnis Tionghoa), di Peru, mantan presiden Alberto Fujimori (etnis Jepang). G.H. - Maya Soetoro, Senjata Rahasia Barack Obama Oleh A Jafar M. Sidik Jakarta (ANTARA News) - Sepanjang sejarah pemilihan Presiden Amerika Serikat (AS), baru sekarang nama Indonesia sangat kerap disebut oleh media massa setempat. Selasa (5/2), nama Indonesia disebut lagi secara luas setelah Barack Obama menang dalam pemungutan suara pemilih Partai Demokrat di Indonesia, kaukus suara di luar negeri yang sekarang menjadi salah satu yang amat menarik untuk diberitakan. Barack Obama-lah, calon Presiden AS dari Partai Demokrat, yang membuat Indonesia tiba-tiba begitu dekat dengan AS. Keterikatan Obama dan Indonesia bahkan lebih pekat dari yang diperkirakan setelah pemberitaan mengenai peran dan identitas adik perempuannya yang berdarah Jawa, Indonesia, Maya Soetoro Ng, semakin luas. Sebelumnya, orang Indonesia lebih mengenal Obama hanya sebagai seorang AS yang menghabiskan sebagian masa kecilnya di Indonesia. Kini, pengetahuan itu bertambah dengan kepopuleran Maya Soetoro. Ayah kandung Obama yang bernama Barack Hussein Obama adalah seorang Afrika berkewargnegaraan Kenya, sedangkan ayah kandung Maya adalah Lolo Soetoro, pria Jawa Timur tulen. Baik ayah kandung maupun ayah tiri Obama menganut keyakinan Islam. Obama dan Maya beribu sama, seorang perempuan kulit putih bernama Stanley Ann Dunham. Selama ini orang AS mengenal Michelle Obama, istri Obama, sebagai orang kuat di balik kampanye kecalonpresidenan dan karir politik Obama. Tapi, setelah kampanye itu memasuki babak terpanasnya, orang AS mulai ingin mengenal lebih dekat sosok Obama, terutama keluarganya. "...(selain Michelle) ada dua lagi senjata rahasia Barack Obama, yakni kakak perempuannya Auma Obama dan adik perempuannya Maya Soetoro Ng," tulis Amy Argetsinger dan Roxanne Roberts dari Washington Post (22/1). Kedua wartawati The Post itu menyebutkan, aset politik terbesar Obama adalah tradisi multikultur yang ada dalam keluarganya. Tradisi itu dikembangkan oleh para perempuan di sekitar Obama, mulai ibunya sampai Maya Soetoro. Begitu besarnya peran perempuan terhadap Obama tercermin dari perangai dan sikapnya yang lembut. Hampir semua orang terdekatnya adalah perempuan. Lima perempuan menjadi kekuatan inti pribadi Barack Obama, yaitu Michelle, ibundanya yang almarhum, sang nenek, Maya, dan Auma. Keluarga Obama yang unik, karena berkomposisi ras warna-warni, sungguh menarik perhatian banyak orang di AS. Auma adalah asli keturunan Kenya. Ibunda Auma adalah istri pertama dari Barack Obama Sr. Sedangkan, Maya, membawa darah campuran Asia (Jawa, Indonesia). Saudara-saudara Obama yang lain hidup tenteram di Iowa, New Hampshire, dan jauh dari publikasi media, sehingga menyembunyikan keunikan keluarga Obama yang sesungguhnya merangsang apresiasi publik AS itu. Meski berbeda ayah, mereka selalu berdekatan dan berkomunikasi sangat rekat, khususnya hubungan antara Maya dengan Obama. Sampai sekarang Maya yang tumbuh besar bersama Obama di Indonesia dan Hawaii tetap mengenang masa kecil yang indah bersama sang abang. Berjam-jam ngobrol di telepon, menjadi tempat berkeluhkesah tatkala dibelit frustasi dan dirundung bingung, atau sebagai pelindung yang kadang terkesan protektif. "Dia membantuku menentukan pilihan," kata Maya kepada Chicago Sun Times edisi 9 September 2007.
[budaya_tionghua] Buku-Buku Baru Mengenai Budaya Tionghoa
Buku-Buku Baru Mengenai Budaya Tionghoa Awal tahun Tikus atau Februari 2008 ini ada beberapa buku baru mengenai Budaya Tionghoa yang dirilis oleh Gramedia: "Mitos & Legenda China, Kumpulan Kisah Fantastis dan Rahasia di Baliknya". Penulis : E.T.C. Werner Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama, 419 hal, 2008 Buku ini sebenarnya ditulis dan diterbitkan oleh pengarangnya pada tahun 1922, dan dikatakan oleh penerjemahnya (Johan Japardi) bahwa isi dan tujuan buku ini difokuskan pada pemaparan mitos-mitos dan legenda-legenda China. Walaupun Tiongkok sudah mengalami perubahan pada saat kini dibandingkan tahun 1922, tetapi ada juga hal yang tidak berubah selama lebih dari empat ribu tahun seperti mitos dan legenda tertentu yang masih relevan dan masih dipercayai oleh sebagian besar orang Tionghoa. Namun penerjemah mengganti sistim ejaan Wade-Gildes yang digunakan dalam buku aslinya dengan ejaan Pinyin serta menambahkan beberapa catatan kaki serta beberapa lampiran (Lampiran sistim Pinyin, Dinasti China dan gugusan bintang China). "The Best of Chinese Wisdom" (Kebijaksanaan China Klassik) Penulis : leman Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama, 173 hal, 2008 Judul bukunya dalam bahasa Inggris tetapi isinya dalam bahasa Indonesia. Disebutkan oleh penulisnya bahwa salah satu warisan kebudayaan China yang sudah ribuan tahun lalu, tetapi masih relevan dan bisa diterapkan dalam kehidupan modern saat kini adalah kebijaksanaan China Klassik (Chinese Wisdom). Kebijaksanaan China Klassik yang mengandung nilai-nilai kebijaksanaan, semangat, motivasi, strategi, dan kepemimpinan itu difokuskan pada masa dinasti Qin, Han, dan Periode Tiga Negara. "Riwayat Kelenteng, Vihara, Lithang di Jakarta & Banten". Penulis : Yoest Penerbit: PT Bhuana Ilmu Populer (Kelompok Gramedia), 325 hal, 2008 Disebutkan oleh penulisnya bahwa buku ini khusus membahas tentang sejarah, keunikan bentuk bangunan dan ornamen serta sinbeng yang dipuja di Kelenteng, Vihara dan Lithang yang tersebar di Jakarta dan Banten, lengkap dengan alamatnya. Buku ini telah memberi tambahan lagi pada perbendaharaan buku-buku yang membahas tentang kelenteng yang pernah diterbitkan sebelumnya seperti salah satunya: "Klenteng-Klenteng Dan Masyarakat Tionghoa di Jakarta" (CL. Lombard & D. Lombard), diterbitkan oleh Yayasan Cipta Loka Caraka tahun 2003, 120 hal.(masih dijumpai pada beberapa toko buku di Jakarta). G.H.
[budaya_tionghua] Fwd: I Wibowo tentang Liberalisasi Masyarakat Tionghoa
Kompas Minggu, 10 Februari 2008 Ilham Khoiri Masyarakat keturunan China yang berdatangan ke Nusantara sejak berabad-abad silam adalah bagian penting dari sejarah bangsa Indonesia. Namun, sejak zaman kolonial, kelompok etnis ini kerap menjadi sasaran prasangka, diskriminasi, bahkan kekerasan. Baru lima tahun terakhir bertiup angin segar kebebasan. Menurut Dr I Wibowo Wibisono (56), Kepala Centre for Chinese Studies, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Depok, proses pembebasan terjadi akibat desakan Reformasi, dan terutama dipicu Tragedi Mei 1998. Proses itu, secara kebetulan, bersamaan dengan kebangkitan Republik Rakyat China (RRC) sebagai kekuatan ekonomi di kawasan Asia dan dunia. Ditemui di rumahnya di kawasan Kramat, Jakarta Pusat, Selasa (29/1) siang, Romo Wibowo begitu ia disapaterlihat santai. Ia menyebut kondisi kelompok masyarakat keturunan Tionghoa di Indonesia yang membaik ini sebagai proses "liberalisasi". Kondisi sekarang relatif lebih bebas setelah sejumlah peraturan yang mengekang mereka tidak diberlakukan lagi, seperti Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 14 Tahun 1967, yang melarang pertunjukan seni budaya China di depan umum. Istilah pribumi dan nonpribumi sudah dihilangkan. Tahun Baru Imlek ditetapkan sebagai salah satu hari raya dan hari libur nasional dan dapat dirayakan secara terbuka dengan pentas seni-budaya China yang meriah, seperti 7 Februari lalu. Lima tahun terakhir tumbuh berbagai organisasi orang Tionghoa. Ada yang berbasis klan, asosiasi atas dasar provinsi asal, serta muncul banyak yayasan sosial. Bahasa Mandarin terbuka dipelajari siapa pun, sejajar dengan bahasa asing lain, seperti bahasa Inggris. Reformasi dan Tragedi Mei Reformasi menyusul Tragedi Mei 1998 adalah sejarah besar yang mengubah konstelasi politik di negeri ini. Setelah Soeharto lengser, media massa langsung menyoroti Tragedi Mei yang sebagian korbannya adalah masyarakat keturunan Tionghoa. Masyarakat langsung turut bersimpati. "Itu seperti blessing in disguise," ujar Wibowo. Peristiwa pemerkosaan terhadap perempuan etnis Tionghoa memicu kesadaran tentang kekerasan terhadap perempuan dan kemudian menguakkan berbagai fakta mengenai peristiwa serupa di Tanah Air, khususnya di berbagai wilayah yang ditetapkan sebagai daerah operasi militer. Peristiwa pemerkosaan yang terjadi bersamaan dengan kerusuhan Mei itu sangat mudah dikaitkan isu rasisme meski banyak pihak menolaknya. Namun, apa pun latar belakangnya, peristiwa itu bergema ke seluruh dunia, di New York, Los Angeles, London, dan Hongkong, dan menyebabkan Pelapor Khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Masalah Kekerasan terhadap Perempuan, Radikha Coomaraswamy, berangkat ke Indonesia untuk melakukan investigasi dan melaporkan peristiwa itu dalam sidang PBB. "Seandainya Tragedi Mei tidak terjadi, mungkin proses liberalisasi itu akan lambat sekali," Wibowo menambahkan, "Persoalan China akan dapat prioritas belakangan. Yang diprioritaskan tentu perkara politik, konflik agama, dan Timor Timur." Setelah itu? Presiden Habibie dipaksa mengakui dan meminta maaf atas Tragedi Mei 1998. Presiden Gus Dur melakukan inisiatif luar biasa. Begitu terpilih, dia pergi ke China, lalu mencabut Inpres tahun 1967 yang mengekang ekspresi masyarakat China. Presiden Megawati menetapkan Imlek sebagai hari raya nasional. Bagaimana masyarakat Tionghoa menyikapi Tragedi Mei? Kalau menggunakan teori ahli politik ekonomi AS, Albert Hirschman, ada tiga respons yang paling dimungkinkan, yaitu exit, voice, loyalty. Kelompok pertama, exit, pergi keluar, ke Singapura, Hongkong, atau Thailand. Kelompok kedua adalah kumpulan voice. Mereka melakukan protes, antara lain dengan menulis di koran, internet, atau bicara di radio dan televisi. Sebagian mendirikan organisasi dan lewat institusi itu menuntut keadilan. Ada yang mendirikan Partai Tionghoa Reformasi, organisasi nonpemerintah, dan organisasi massa seperti Perhimpunan Indonesia-Tionghoa (Inti). Kelompok besar lain, yaitu loyalty, diam, menunggu, apakah ada perubahan atau tidak. Kalau lebih buruk, mungkin akan lari juga. Kalau tidak, ya ditahan-tahan. Mereka ini mencakup kelompok pengusaha, pedagang, dan orang biasa. Jumlah orang Tionghoa di Indonesia lebih kurang tiga juta. Kelompok yang exit sekitar 10.000 orang, voice sekitar satu juta. Dua juta lainnya termasuk loyalty. Selama ini yang menonjol kelompok voicesaja, seperti Edi Lembong atau Ester Yusuf. "The rise of China" Liberalisasi masyarakat Tionghoa di Indonesia, menurut Wibowo, sedikit banyak juga dipengaruhi faktor internasional, yaitu kebangkitan ekonomi-politik RRC pada akhir tahun 1990-an, the rise of China. China punya peran dan pengaruh politik yang semakin besar di Asia dan dunia. Olimpiade akan diselenggarakan di Beijing tahun ini. China menawarkan Free Trade Agreement (FTA) dengan ASEAN tahun 2006. Jika ingin bergaul di dunia internasional, terutama di bidang perdagangan, I
[budaya_tionghua] Re: Lasem, Titik Penting Hubungan Tionghoa - Jawa
Sdr. David yb, Terimakasih atas koreksi dan informasinya. Saya sendiri belum berkesempatan melihat pameran Batik tersebut di Mal Ciputra, tetapi saya berharap dapat mengunjunginya sebelum pamerannya berakhir. Salam G.H. - >In budaya_tionghua@yahoogroups.com, "david_kwa2003" <[EMAIL PROTECTED]> wrote: > >Sdr Golden Horde, > >Maaf, saya beri masukan sedikit. Film Ca Bau Kan bukan disutradarai >Remy Silado, tapi Nia Dinata. Remy Silado hanya mengarang bukunya. >Salah satu produk batik Lasem yalah toh-ui, yakni kain penghias >Meja Abu leluhur orang Tionghoa. Bila aslinya toh-ui dibuat di >Tiongkok, Hong Kong, maka para produsen batik Peranakan di Lasem >membuatnya dengan cara dibatik, dengan ragam hias khas Tionghoa >yang dipadukan dengan Jawa. Jadilah toh-ui yang khas Peranakan dan >dengan begitu menjadi khas Indonesia. Batik Lasem yang khas >dipamerkan di Mal Ciputra sampai 17 Februari. > > Kiongchiu, > KH
[budaya_tionghua] Re: Lasem, Titik Penting Hubungan Tionghoa - Jawa
Nuansa arsitektur bangunan dan tata letak pemukiman kota Lasem memang unik dan kental pengaruh arsitektur Tionghoa-nya yang kadang- kadang disebutkan juga sebagai kota tembok, karena bangunan-bangunan arsitektur Tionghoanya dikelilingi oleh tembok (sutradara Remy Silado pernah membuat film disini,Ca Bao Kan,1999), dan salah satu produk budaya kota Lasem yang terkenal lainnya adalah batik Lasem. Batik Lasem yang merupakan perpaduan budaya Tionghoa dan Indonesia ini adalah salah satu batik pesisir yang unik dan indah serta telah mendapatkan penghargaan tinggi dari masyarakat Internasional di luar negeri. Batik Lasem ini sering di pamerkan pada beberapa musium di luar negeri seperti salah satunya pada musium tekstil di Fukuoka, Jepang dan juga sering dibahas dan menghias halaman buku-buku penerbitan Internasional mengenai batik serta menjadi koleksi item para penggemar tekstil khususnya baik nasional maupun internasional. Selain itu batik Lasem ini juga sering diletakkan pada meja sembahyang atau abu orang Tionghoa Indonesia. Warisan budaya ini memang patut dipertahankan, diwariskan dan bahkan dikembangkan lagi dengan interpretasi baru atau kontemporer. Tetapi apakah warisan budaya ini dapat dipertahankan terus, masih merupakan tanda tanya kedepannya, karena banyak generasi mudanya telah meninggalkan kota Lasem dan kota ini hampir kehilangan vitalitasnya saat kini. G.H. --- >In budaya_tionghua@yahoogroups.com, "RM Danardono HADINOTO" <[EMAIL PROTECTED]> wrote: > >Lasem, Titik Penting Hubungan Tionghoa - Jawa >. >Namun dalam beberapa tahun belakangan sejumlah pihak sudah mulai >tergerak untuk menghidupkan kembali Lasem sebagai pusat bersatunya >hubungan Tionghoa dan Jawa. Salah satunya adalah upaya pengusaha >batik lasem untuk membangkitkan kembali bisnis yang telah mati suri. > >Menghidupkan kembali batik lasem adalah sebuah pekerjaan idealis >yang sangat berat. Namun, mengingat hubungan masa lalu yang telah >terjalin baik, pekerjaan ini akan terasa ringan. Yang paling penting >dilakukan saat ini adalah memanggil generasi muda Tionghoa Lasem >yang ada di luar untuk kembali dan turut terjun melanjutkan usaha >yang sudah mati suri,'' tegas Widji. (Mulyanto Ari Wibowo-62)
[budaya_tionghua] Fwd: Arief Budiman: Defying the Chinese stereotype
Dewi Anggraeni, Contributor, Melbourne, Australia Jakarta Post, February 07, 2008 A pertinent stereotypical image of the ethnic Chinese throughout Southeast Asia is that they are bent on making money and interested in little else. In reality, there have been many whose interests lie in anything but making money, apart from that necessary for living, naturally. One example is Arief Budiman; the intellectual, academic, social and political analyst and once political activist, who in 1997 was appointed Chair Professor of the Indonesian Program at the University of Melbourne, Australia. Though currently living in Melbourne with his wife Leila, the Harvard graduate is still very Indonesian at heart. Whenever he is in Indonesia, he feels well and truly "fleshed out". "I enjoy life here. I follow Australian politics and find it interesting, in a cerebral sense. Political crises in Australia for instance, somehow do not touch me too deeply. On the other hand, I live Indonesian politics. I'm there in a primordial sense. The ups and downs of Indonesian politics affect me emotionally," he said. Arief, whose Chinese name is Soe Hok Djin, began to pave a remarkable path for himself from his days as a secondary school student in the 1950s at the prestigious Kanisius Catholic school in Jakarta. He was always top of his class. His immediate circle of friends included Jakarta's young elite, from both indigenous and Chinese families. In those days, he said, there was mutual acceptance on everybody's part. They did rubbish each other on their ethnicity from time to time, but he did not feel specifically singled out, because nobody was excluded: be they Javanese, Sundanese, Batak, Menadonese, or Chinese. Even after he had moved on from school life, Arief did not feel particularly ethnic Chinese, except when he had contact with the state bureaucracy. When applying for a passport, for example, he was asked to pay more, merely for being ethnic Chinese. On the other hand, when he became increasingly known as an activist, those who knew him would not hesitate to give him preferential treatment. He said he was once at the airport on his way to a conference out of town and joined the queue to check in. Suddenly, a uniformed man approached him and asked: "Are you Arief Budiman?" When he said yes, thinking he was probably going to be taken away for interrogation, the official said: "Come with me. You don't have to wait in the queue. You are a celebrity". "I have always felt Indonesian. Indonesia is my country. It's other people, mostly people who don't know me, who keep reminding me that I am not quite Indonesian, that I'm Chinese," he said. For that reason, he has sometimes felt he has been thrown in limbo; not fully Indonesian yet not fully Chinese either. Arief is well regarded by those who know of his activities and his achievements. The ethnic Chinese communities he has been in contact with in Indonesia think highly of him. "They tell me that they're proud of me because I am proof that given the opportunity an ethnic Chinese can succeed in any field of his choosing, pointing to the fact that I've made my name not through success in business and commerce, as is usually expected (of Chinese)." In 1970, he decided to change his name and asked his Minang wife Leila to pick one suitable for him. However, not everyone was happy with this decision. Benedict Anderson, a well-known American author-academic and a close friend of Arief and Leila's, told them names were sacred and that changing them would be tantamount to disrespect. Arief went ahead because he wanted to give other ethnic Chinese the message that it was all right to do so. He has always believed in assimilation of the ethnic Chinese into the indigenous population, adding it should be done naturally and voluntarily, without force or pressure. Although he was attracted to young women of ethnic Chinese descent, it never occurred to Arief to marry any of them. He wanted to "marry out". He said when he met Leila, the mutual attraction was very strong and he knew he wanted to marry her. There was no opposition from his family. Leila's however, gave one condition: he had to become Muslim. "They didn't want her to marry a non-Muslim, because they believed only by marrying a Muslim man would a Muslim woman be secure in her faith." With his family's blessings, Arief agreed to become Muslim. He explained to Leila, however, that he believed in God, but not God as fashioned by any institutionalized religion. And he hasn't moved from that stance. Arief has recently retired, though he still retains an office at the university. He is free to travel to Indonesia whenever he pleases; something he very much looks forward to, as it gives him the opportunity to be involved in public lectures while continuing to observe political events in Indonesia. At 66, Arief feels he still has a
[budaya_tionghua] Fwd: Prosesi Pernikahan China Peranakan
Imlek, Prosesi Pernikahan China Peranakan Hanya Bertahan di Tiga Kota Kompas, Selasa, 5 Februari 2008 JAKARTA, SELASA - Prosesi Pernikahan ala China Peranakan, saat ini hanya bertahan di tiga kota, yaitu Tangerang, Padang dan Makassar. Hal ini disebabkan semakin kuatnya pengaruh budaya modern, sehingga warga China Peranakan meninggalkan budaya tradisionalnya. Demikian dikatakan pengamat dan peneliti Budaya Tionghoa, David Kwa, seusai memandu prosesi pernikahan China Peranakan di Mal Ciputra, Jakarta Barat, Selasa (5/2). "Karena banyaknya pengaruh dari luar, banyak generasi muda yang sepertinya sudah tidak mau tahu dengan dengan budaya tradisional. Tapi yang masih banyak dilakukan terutama di Tangerang, yang masih sangat kuat budaya China-nya," papar David. Perbedaan prosesi di Tangerang, Padang, dan Makassar, menurut David, lebih banyak dipengaruhi budaya lokal. Tradisi di Tangerang misalnya, lebih banyak dipengaruhi budaya Sunda dan Melayu. Sedangkan di Padang, selain perbedaan makanan juga penutup kepala. "Kalau di Jabotabek itukan pakai mahkota penutup kepala kembang goyang, kalau di Padang pakai penutup kepala sendiri. Di Makassar, saya belum pernah lihat langsung ya, jadi tidak begitu tahu letak perbedaannya," lanjut David. Ditambahkan David, mengenai makanan yang dihidangkan saat prosesi ada 12 macam. Angka 12 ini menandai 12 bulan dalam setahun. Maknanya, pasangan pengantin diharapkan dapat menjalani bahtera rumah tangganya dengan segala suka dan duka dalam setahun penuh. Makanan itu diantaranya, sambal ubi goreng, abon, ayam goreng, opor ayam, pencok dan serundeng. Prosesi pernikahan China Peranakan di Indonesia, dilaksanakan selama 3 hari penuh, sementara di Malaysia lebih lama lagi, 12 hari. Prosesi ini merupakan tradisi Dinasti Qing tahun 1644-1911. Kata David, karena orang China yang masuk ke Indonesia berada pada periode tersebut.
[budaya_tionghua] Fwd: Imlek dan Keselamatan Manusia
Kompas,Rabu, 6 Februari 2008 P Agung Wijayanto Sejak dinyatakan sebagai hari libur nasional, Imlek di Indonesia kian menjadi peristiwa yang dekat dengan kehidupan bangsa. Imlek tidak hanya dirayakan China saja, tetapi di banyak tempat dirayakan siapa saja, baik aktif maupun pasif. Ada yang sudah puas merayakan Imlek dengan menonton barongsai. Ada yang ikut berpakaian ala China. Ada yang ikut bermain barongsai, dan sebagainya. Dapat dipahami bila mereka memiliki alasan-alasan tertentu yang mendorong mereka ikut perayaan tersebut kendati tidak mereka ungkapkan secara eksplisit. Dengan memerhatikan fenomena yang terjadi di masyarakat hingga kini, pantaslah direnungkan nilai-nilai di sekitar perayaan Imlek yang berhasil mengundang atau mempersatukan masyarakat Indonesia dalam perayaan itu. Maka, amat menarik memerhatikan beberapa hal yang terkait dengan gagasan mengenai keselamatan atau kesejahteraan manusia yang terkandung, menjadi motivasi, atau yang dirayakan dalam perayaan Imlek. Keselamatan manusia dalam Imlek Mengingat Imlek bukan perayaan keagamaan atau dari suatu kelompok tertentu, tetapi lebih merupakan perayaan kerakyatan bersama (perayaan kaum petani), maka gagasan keselamatan atau kesejahteraan manusia tidak dapat diambil dari atau ditolak begitu berdasar tradisi "kitab suci" kelompok tertentu. Maka, nilai religiusitas yang ada harus dipahami berdasar konteks kesadaran bersama dari masyarakat yang merayakannya. Ada beberapa pemahaman keselamatan atau kesejahteraan manusia yang dihayati dalam perayaan Imlek. Pertama, keselamatan diakui bukan sebagai peristiwa tunggal atau hasil usaha perseorangan. Bagi masyarakat China, keselamatan atau kesejahteraan tidak ditemukan sebagai peristiwa mandiri, terpisah dari unsur kehidupan lain. Keselamatan atau kesejahteraan merupakan buah kesalingtergantungan secara harmonis dari semua hal yang ada "di bawah langit dan di atas bumi" (Tian Xia, Di Shang). Bagi masyarakat China, keharmonisan hidup menyangkut relasi manusia dengan alam, masyarakat, dan makhluk "ilahi". Keselamatan atau kesejahteraan hidup manusia, terutama kehidupan petani, amat dipengaruhi oleh apa yang terjadi di alam, di bawah langit: cuaca, curah hujan, dan sebagainya. Begitu juga apa yang terjadi di atas bumi amat menentukan kehidupan mereka: banjir, kekeringan, wabah penyakit, hama, dan sebagainya. Perjalanan panjang sejarah telah mengantar bangsa China kepada pengakuan bahwa keselamatan atau kesejahteraan bergantung pada keharmonisan kehidupan bermasyarakat. Dalam perayaan Imlek, pembaruan dan peneguhan tali keharmonisan persaudaraan dilakukan melalui acara kunjungan ke tetangga, kenalan, dan sanak saudara. Pada saat kunjungan itu, kepada mereka yang lebih yunior dibagikan macam-macam makanan dan uang yang dibungkus dalam amplop merah atau yang biasa disebut sebagai hong/ang bao. Lebih dari itu, masyarakat China juga mengakui, kehidupan manusia bergantung pula pada relasi mereka dengan yang "ilahi", para dewata, dan leluhur. Untuk itu, pada awal perayaan Imlek, mereka mengadakan upacara atau kegiatan yang bertujuan membarui dan menjaga keharmonisan hubungan-hubungan itu. Misalnya, patung atau gambar Dewa Dapur dibersihkan, bila perlu diganti dengan yang baru. Sajian berupa makanan yang bercita rasa manis dipersembahkan. Makam para leluhur dibersihkan, dan sebagainya. Kedua, keselamatan atau kesejahteraan merupakan anugerah yang pantas disyukuri. Menjelang malam Imlek, orang China pergi ke klenteng atau tempat ibadah yang lain untuk berdoa mengucap syukur atas keselamatan dan kesejahteraan yang telah mereka terima selama tahun yang segera berlalu. Rasa syukur ini diungkapkan lagi dalam upacara makan bersama keluarga. Selama perayaan Imlek, mereka diharapkan berbicara mengenai hal-hal yang baik dan indah. Kata-kata yang tidak pantas harus dijauhi. Kepada anak-anak dikisahkan perjuangan dan usaha mengusir atau mengalahkan kekuatan jahat yang dibawa oleh tahun yang lama. Kekuatan kejahatan ini sering dipersonifikasikan sebagai monster. Ungkapan usaha pengusiran makhluk itu diwujudkan dalam bentuk penyalaan kembang api atau mercon. Ketiga, keselamatan atau kesejahteraan sebagai sesuatu yang layak untuk diminta dan diusahakan. Kendati keselamatan pada satu sisi dipahami sebagai anugerah, tidak berarti keselamatan itu harus diterima secara pasif atau sebagai suatu peristiwa kebetulan. Keselamatan atau kesejahteraan manusia sudah selayaknya diminta dan diusahakan supaya terjadi. Pemasangan hio, pemberian persembahan, dan pemanjatan doa bagi orang China juga merupakan saat untuk memohon dengan serius keselamatan atau kesejahteraan bagi diri sendiri, keluarga, dan masyarakat. Keseriusan itu dilambangkan atau terungkap dalam jenis makanan dan minuman yang disajikan, gambar atau tulisan yang terpasang sebagai hiasan, kata-kata atau tindakan yang dilakukan selama perayaan Imlek. Dengan makan ikan (yu) selama perayaan Imlek, ora
[budaya_tionghua] Fwd: Gunungan Kue Keranjang dan Bandeng
Gunungan Kue Keranjang dan Bandeng Rabu, 6 Februari 2008 Kompas, Sri Rejeki dan Iwan Santosa Selain hari raya Idul Fitri dan Natal, ada satu lagi hari besar di Indonesia yang menjadi pesta rakyat jelata: perayaan Imlek. Imlek "asli" Indonesia menampilkan rebutan gunungan kue keranjang di Surakarta. Selain itu, pagelaran wayang di Semarang, Jawa Tengah, hingga pentas gambang kromong dan pesta pindang bandeng masyarakat Betawi di Jakarta. Semua itu menghidupkan kembali tradisi kebersamaan antarwarga di akar rumput, sekaligus menghapus sekat prasangka. Minggu (3/2) siang, Saliyem (50) mendekap kue-kue yang berwarna coklat, putih, dan merah muda di dada dengan tangan kirinya. Tangan kanannya menyorongkan potongan bakpao (mian paoMandarin) ke mulutnya. Di dahinya tampak titik-titik peluh. Meski tidak berhasil merebut kue ranjang (keranjang) dari gunungan setinggi 1,5 meter, Saliyem akhirnya dapat dua kue ranjang dari hasil pembagian panitia di Kelenteng Avalokitesvara, di sebelah selatan kompleks Pasar Gedhe, Surakarta. Mbok Saliyem, perempuan Jawa warga Kampung Limolasan, Kelurahan Sudiroprajan, Jebres, Solo, di tengah rintik hujan menyempatkan diri bersama seorang tetangga pergi ke Pasar Gedhe di pusat kota. Baru kali ini ia mau bersusah payah pergi melihat sebuah tontonan karena penasaran. Saliyem rela berdesak-desakan dengan ratusan warga lainnya memperebutkan kue ranjang itu. Ia bercampur baur dengan warga lainnya, termasuk warga peranakan Tionghoa. Dalam rangka Imlek 2559, digagaslah pembuatan gunungan yang disusun dari kue ranjang, kue yang khas dengan warga peranakan Tionghoa. Acara pun disebut "Garebek Sudiro dalam Cahaya Lampion Pasar Gedhe". Acara itu mengacu pada Kelurahan Sudiroprajan yang menjadi kantong permukiman warga keturunan Tionghoa di Solo. Di Kota Semarang yang kental dengan budaya peranakan Tionghoa, untuk kelima kalinya, perayaan Imlek kembali digelar. Pagelaran wayang potehi (wayang Tionghoa) yang dipimpin dalang Jawa hingga wayang purwa khas Jawa turut hadir bersama sepanjang acara yang berlangsung hingga pesta Cap Go Meh (hari kelima belas setelah tahun baru). Harianto Halim, Ketua Perkumpulan Kopi Semawis, yang menghidupkan kembali tradisi peranakan Tionghoa di Pecinan, Semarang, mengatakan, kebersamaan adalah semangat dari perayaan Imlek. Gambang kromong Tak ketinggalan di Bogor, Jawa Barat, pun kebersamaan diusung dalam perayaan Imlek. "Kami menggelar festival Cap Go Meh. Budaya peranakan Tionghoa, Betawi, dan Sunda muncul bersama. Ada gambang kromong dan pameran kebaya nyonya," ujar David Kwa, pemerhati budaya peranakan Tionghoa yang kini bermukim di Bogor. Di Jakarta, warga Betawi ikut juga dalam keriaan perayaan Imlek. Pekan Imlek ini menjadi pesta pindang bandeng bagi warga Betawi di Rawa Belong hingga Srengseng, Jakarta Barat. Abdul Khaer (50), warga Jalan Sulaeman, mengatakan, membeli bandeng di Rawa Belong dan Palmerah seiring perayaan Imlek sudah menjadi tradisi warga Betawi. "Sudah turun-temurun kita punya tradisi seperti itu," kata Abdul Khaer. Selain pindang bandeng, dia juga menanti kiriman kue keranjang dari tetangga Tionghoa. Warga Tionghoa asli Rawa Belong, menurut Abdul Khaer, hidup bersama warga Betawi seiring sejalan sejak dahulu. Yanto, pedagang bandeng Rawa Belong, mengaku sibuk melayani pesanan sejak tiga hari terakhir. Siang itu dia menyiapkan tiga bandeng ukuran 2 kg untuk Anyan, seorang Tionghoa peranakan asli Rawa Belong. Menjelang Imlek, Yanto dapat menjual sekurangnya 2 kuintal ikan bandeng tiap hari. Setiap kilogram bandeng dijual dengan harga sekitar Rp 30.000. Bahkan, dia pernah menjual bandeng ukuran 7 kg dengan harga lebih dari Rp 400.000. Imlek "Indonesia" Semangat kebersamaan, keindonesiaanlah yang mendasari inisiatif masyarakat tersebut. Dewi Tunjung, salah satu aktivis Kopi Semawis, mengatakan, seluruh elemen dari masyarakat Jawa, Arab, dan peranakan Tionghoa muncul dalam Pasar Imlek. Pemahaman serupa muncul dari sosok pria Jawa yang menggagas gunungan kue keranjang, yakni Sujarwadi. "Pasar Gedhe, kelenteng, dan komunitas Balong dan Sudiroprajan adalah satu-kesatuan yang tidak bisa dipisahkan karena latar belakang sejarahnya. Kami mengundang pihak kelenteng dan warga Sudiroprajan, bagaimana kalau membuat acara bersama ulang tahun Pasar Gedhe, sekaligus menyambut Imlek. Gagasan itu disambut positif," kata Kepala Pasar Gedhe Sujarwadi.
[budaya_tionghua] Fwd: Chun Ciek yang Transformatif
Kompas, Rabu, 6 Februari 2008 William Chang Sebagai pesta rakyat sejak zaman Huang Ti (2698 SM), ritus Chun Ciek (pesta musim semi) mengandung nilai kekerabatan dengan keluarga, alam, dan negara. Bagaimana proses transformasi nilai Chun Ciek dalam konteks perbaikan sosial dewasa ini? Kesempatan berkumpul dan bersosialisasi dengan sanak keluarga amat jarang terjadi di kalangan masyarakat tani, kecuali kalau ada perkawinan dan kematian. Umumnya mereka menghabiskan waktu di ladang, kebun, atau tempat kerja di luar daerah. Chun Ciek menjadi salah satu medium tradisional untuk mengakrabkan sanak keluarga dan anggota masyarakat. Jiwa persaudaraan dalam keluarga, antara lain, tampak dari ritus perjamuan malam bersama sehari sebelum Chun Ciek. Sanak famili dari berbagai daerah berkumpul untuk merayakan pesta ini. Tersedia kesempatan untuk berbagi pengalaman hidup dan saling meneguhkan dalam perjuangan hidup di tengah dunia yang penuh tantangan. Dalam kekerabatan ini dilestarikan etiket individual dan sosial. Keharusan melaksanakan tata krama leluhur ini begitu ketat sehingga sikap saling menghargai dan menghormati amat terasa. Tak heran, Tiongkok tempo doeloe dijuluki "negeri etiket". Pembatinan nilai- nilai etiket yang normatif terwujud melalui wadah kekeluargaan (Li Xiaoxiang, Origins of Chinese People and Customs, 2006). Menyatu dengan semesta Sebagai perayaan yang bertengger pada cakrawala ekologis, Chun Ciek merupakan salah satu modal dasar pelestarian lingkungan hidup. Kaum tani di Tiongkok menyadari ketergantungan mereka pada keadaan alam dan pergantian musim. Muatan batiniah ini membuat mereka memperlakukan alam dengan arif dan bertanggung jawab. Selain menghargai nilai intrinsik dan keindahan kosmik, mereka menyadari kehadiran yang ilahi dalam alam. Di antara mereka selalu terjadi persaingan bahkan pembunuhan di kalangan tetumbuhan, hewan, dan manusia. Hewan saling berkelahi dan membunuh untuk mempertahankan hidup. Tetumbuhan, termasuk pepohonan, biasanya menjadi korban ulah manusia. Gejala transformasi alamiah ini terdiri atas kesatuan antara hidup dan kematian. Maut adalah bagian dari lingkaran kehidupan, sedangkan hidup adalah prinsip ilahi yang permanen. Telah berkembang kearifan lokal kaum agraris sejak era Kong Fu-tze untuk menggali makna rohani dalam makhluk ciptaan. Air yang mengalir tiada henti, misalnya, menjadi simbol keutamaan, seperti kebenaran, prinsip yang teguh, dan keberanian. Chou Tun-I dan Ceng-Hao, misalnya, tidak memotong rumput dekat jendelanya agar dapat merenungkan roh kehidupan; sementara itu ikan-ikan dalam akuarium mengingatkan manusia akan dinamika kehidupan. Sikap tenggang rasa dengan makhluk ciptaan lain amat ditekankan dalam filsafat Kong Fu- tze (bdk. John Fiske tentang Darwinism). Makna transformatif peralihan musim Sumbangan signifikan Chun Ciek bagi bangsa kita terutama terletak pada pemupukan dan perbaikan jalinan sosial dengan sistem kekerabatan sebagai bangsa yang begitu majemuk dan acapkali dicengkam perbenturan, konflik, dan kekacauan sosial. Proses perbaikan hidup sosial kita seharusnya bermula dari sistem keluarga sebagai sel terkecil dari seluruh jaringan sosial. Dimensi kesetiakawanan dan kekeluargaan bangsa mulai kendur saat ideologi-ideologi asing bernapas sektarian dan fundamentalis menyusup ke Tanah Air. Kekerabatan anak bangsa tidak disalahgunakan untuk mendukung korupsi, kolusi, dan nepotisme dalam mekanisme birokratis. Kekerabatan ini bertujuan memerangi ideologi peretak persaudaraan. Dinamika transformatif Chun Ciek mengingatkan kita sebagai keluarga besar yang perlu saling membahu dalam mewujudkan kesejahteraan sosial. Jaringan kekerabatan kosmik ini merangkul segenap kandungan jagat raya sehingga kecenderungan manusia untuk mengobrak-abrik lingkungan hidup dapat diminimalisasi melalui semangat persaudaraan universal. Dalam persaudaraan ini manusia tidak lagi didewa-dewakan di tengah jagat raya sebab setiap makhluk ciptaan memiliki hak dasar untuk hidup dan berkembang. Pelebaran jaringan kekerabatan ini diharapkan akan menyelamatkan bumi dari pemanasan global yang mengancam. Proses transformasi sosial sesuai kristalisasi nilai ke-asia-an akan menolong pembentukan sebuah komunitas yang lebih damai, saling mengerti, dan saling menolong. Adat pembersihan rumah sebelum ritus Chun Ciek mengilhami proses pembersihan seluruh jaringan koruptif negara. Budaya bersih diri dan bersih lingkungan terus disosialisasikan. Bagaimanakah untaian nilai transformatif Chun Ciek tentang kemanusiaan, kebersihan, dan kekerabatan dengan lingkungan hidup diterjemahkan dalam praksis hidup sosial yang rumit? Ta cia chun ciek khuai lek! William Chang Ketua Program Pascasarjana STT Pastor Bonus
[budaya_tionghua] Fwd: Imlek dan Harmoni dengan Alam
Kompas, Selasa, 5 Februari 2008 Andika Hadinata Tanggal 7 Februari 2008, kalender China memasuki angka 2559. Namun, menjelang Imlek, Tanah Air diterjang banjir, menewaskan beberapa orang dan mengakibatkan kerugian material. Diperkirakan, banjir masih akan mengancam berbagai kawasan di Tanah Air pada Februari dan Maret 2008. Banjir sudah menjadi bagian hidup kita dan diabadikan dalam aneka peradaban. Dalam sejarah Tiongkok kuno, misalnya, dikisahkan Yao bersama tujuh orang, atau Fa Li bersama istri dan anak-anaknya yang selamat dari banjir dan gempa bumi. Menghargai alam Apa kaitan banjir atau bencana dengan Imlek? Imlek adalah perayaan kaum petani di Tiongkok kuno saat menyambut pergantian musim, dari musim dingin menuju musim semi. Kata Imlek dari dialek bahasa Hokkian, artinya penanggalan bulan atau yinli (Mandarin). Di Tiongkok, Tahun Baru Imlek lebih dikenal dengan Chunjie, perayaan musim semi. Kegiatan perayaannya disebut Guo Nian (memasuki tahun baru). Di Indonesia hal ini dikenal dengan Konyan. Maka, Imlek sebenarnya menyimpan semangat penghargaan pada alam. Seperti bangsa-bangsa kuno lainnya, saat itu para petani Tiongkok mempunyai kosmologi atau pandangan tentang alam semesta yang harus selalu dijaga kesakralannya sehingga setiap pergantian musim, saat menanam benih atau memanen, selalu disertai ritual khusus bagi Sang Pencipta. Jadi, sebagai suku bangsa primitif, prinsip sakralisasi alam dipegang teguh. Hadirnya agama-agama Tao, Konghucu, atau Buddha memberi nuansa keagamaan pada Imlek. Agama-agama ini memperkaya kepercayaan para petani untuk menghargai alam semesta. Bahkan, saking menghargai alam semesta, umat Buddha, misalnya, dilarang membunuh nyamuk atau menebang pohon. Intinya sesama makhluk hidup harus dijaga dan dihormati. Agama Tao dengan prinsip Yin dan Yang meyakini, alam semesta selalu mengandung dua prinsip ini. Prinsip ini di antaranya juga mengajarkan agar manusia selalu menjaga harmoni dan keselarasan. Etika Konghucu mengajarkan agar kita tidak melakukan sesuatu yang menyakitkan atau merusak alam yang di dalamnya terangkum sesama manusia. Sedikit saja keselarasan diusik, manusia harus menanggung bencana dan malapetaka. Merusak alam Rasanya, ajaran-ajaran ini relevan dengan kita, khususnya jika dikaitkan dengan banjir atau bencana alam. Jika dicari, akar masalah banjir di Jakarta, Jawa Timur, dan berbagai tempat semua bermuara pada sikap kita yang tidak menghargai alam. Penggundulan hutan 3,8 juta hektar per tahun membuat kondisi lingkungan dan hutan di Jawa tinggal 4 persen dari luas Pulau Jawa, jauh di bawah tingkat 30 persen yang dikatakan titik keamanan minimum. Ini contoh betapa manusia semena-mena pada alam. Reklamsi pantai Jakarta menjadi tak berarti saat di sana dibangun perumahan. Hal ini diyakini menjadi penyebab banjir Jakarta. Prof John Rennie Short dalam buku Urban Theory, A Critical Assessment (2006) mengingatkan, kekurangpekaan pengelola kota negara atas masalah lingkungan bisa memunculkan wounded cities, kota-kota terluka. Warga Jakarta sudah merasakan luka akibat banjir. Sebenarnya reklamasi pantai, pembangunan tol, atau pembabatan hutan bisa dikategorikan contra naturam, melawan hukum alam. Manusia menunjukkan arogansinya bisa mengalahkan alam. Maka, semangat Imlek yang dihayati para petani di Tiongkok kuno untuk selalu menjaga keselarasan dengan alam menemukan relevansinya. Berbagai pandangan itu senada dengan ecotheology yang muncul awal 1970-an karena maraknya krisis lingkungan hidup. Ekoteologi seperti dicetuskan Jack Rogers, Annie Dillard, atau John Cobb Jr dan lainnya hendak menekankan interelasi antara Allah dan alam, di dalamnya termasuk manusia. Artinya, jika kita merusak hutan, sama dengan melawan Allah. Singkatnya, ekoteologi hendak menggarisbawahi pentingnya dikembangkan praksis pembebasan manusia dan alam dari segala bentuk tirani dan eksploitasi, dan itu menjadi ekspresi penghargaan kepada Sang Pencipta. Maka, Imlek tahun ini selayaknya dijadikan momentum menjaga harmoni dengan Tuhan, sesama warga, dan alam sekitar. Gong xi fa cai dan Xin Nian Kuaile 2559.
[budaya_tionghua] Fwd: Mengingat Tradisi Tionghoa Lewat Gin Swa
Kompas, Selasa, 5 Februari 2008 TIMBUKTU HARTHANA Banyak cara yang dilakukan orang Tionghoa untuk berbakti dan membayar "utang" selama hidupnya kepada orangtua. Salah satunya dengan membakar gin swa atau rumah-rumahan roh. Lay Tiet Cin yang tinggal di Cirebon adalah salah seorang dari sedikit perajin gin swa yang tersisa. Tak berbeda dengan umumnya kondisi di kota-kota lain di Tanah Air, di Kota Cirebon, Jawa Barat, pun tradisi membakar gin swa mulai ditinggalkan sebagian masyarakat Tionghoa. Padahal, upacara itu menyimpan makna filosofi, yang menurut Lay Tiet Cin amat dalam, yakni wujud penghormatan terakhir seorang anak kepada orangtua yang telah meninggal. Gin swa yang dibakar umumnya berbentuk rumah-rumahan lengkap dengan pernak-pernik perabot rumah tangganya. Makna dari gin swa adalah si anak menyediakan tempat tinggal yang layak untuk ditempati arwah orangtuanya di surga. "Membakar gin swa merupakan bagian dari kepercayaan dan tradisi orang Tionghoa, tetapi sudah banyak orang yang meninggalkannya," ujar Lay Tiet Cin. Umumnya, pembakaran gin swa dilakukan paling cepat seminggu atau paling lambat 49 hari setelah orangtuanya meninggal. Namun, ada pula sebagian masyarakat yang membakar gin swa satu atau tiga tahun setelah orangtua meninggal. Menurut tradisi, rumah-rumahan roh ini harus dibakar sehari sebelum jenazah orangtua dikremasikan atau dikuburkan. "Biasanya gin swa hanya dibakar sekali saja. Tetapi, pada zaman dulu ada keluarga yang setiap 25 tahun sekali membakar gin swa untuk para leluhurnya," kata lelaki yang juga memiliki nama Akiat Priyono Pranoto ini. Akiat yang lahir di Cirebon pada Desember 1943 itu mengaku prihatin dengan semakin banyaknya orang Tionghoa yang meninggalkan tradisi ini. Mereka yang umumnya tetap mempertahankan tradisi membakar gin swa hanyalah generasi tua (berusia lebih dari 50 tahun). Sedangkan generasi mudanya sudah sangat jarang melakukannya. Kondisi ini, seingat Akiat, tak seperti 15-30 tahun lalu saat masih banyak orang Tionghoa yang tetap menjalankan tradisi nenek moyangnya, terutama warga Tionghoa yang lahir di China dan merantau ke Indonesia. Banyak faktor yang membuat orang Tionghoa tak lagi membakar gin swa. Agar tradisi ini tak hilang, Akiat harus rajin mengunjungi wihara- wihara yang ada di Cirebon, Tegal, dan Pekalongan. Di sini ia memberi informasi mengenai tradisi Tionghoa itu kepada kaum muda. "Selain karena generasi tua yang semakin berkurang, pada masa Orde Baru orang Tionghoa yang mau membakar gin swa harus memperoleh izin hajatan dari pihak berwajib, seperti lurah. Akibatnya, sebagian orang (Tionghoa) merasa repot untuk melakukan tradisi ini," tuturnya. Setelah Orde Baru berlalu, keengganan orang muda membakar gin swa berlanjut. Ini bukan karena mereka tak punya uang, tetapi lebih karena tak mau repot melaksanakan tradisi itu. "Orang-orang muda itu terlalu sibuk. Membakar gin swa memang sebaiknya sesuai hitungan hari baik. Ini sering tak sesuai dengan kesibukan mereka," ujarnya. Diturunkan Keterlibatan Lay Tiet Cin sebagai perajin gin swa berawal dari keluarga. Ayahnya adalah perajin gin swa di Kota Cirebon sejak tahun 1940-an. Bahkan, cerita Akiat, sejak sang ayah belum merantau ke Indonesia dan masih berada di China, dia telah menjadi perajin perlengkapan sembahyang. Pertama kali belajar membuat gin swa, Akiat hanya mendapat tugas melapisi rangka rumah-rumahan atau kapal-kapalan yang telah dibuat ayahnya dengan kertas warna-warni. Baru pada tahun 1969 secara mandiri Akiat mulai serius menekuni bisnis keluarganya itu. Seiring berjalannya waktu, dia semakin lancar merangkai kayu-kayu bambu untuk dijadikan rangka rumah-rumahan roh yang tingginya bisa mencapai 2 meter. Tak terasa, 40 tahun lebih Akiat telah memenuhi permintaan gin swa yang dipesan warga Tionghoa di Cirebon, Jakarta, Bandung, Tegal, Pekalongan, hingga kota-kota kecil lain di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Keahlian Akiat membuat gin swa dipelajarinya dari sang ayah yang datang ke Cirebon dari China sekitar 70 tahun lalu. Untuk membuat gin swa tak ada pendidikan khusus atau sekolah yang mengajarkannya. Kepiawaian seseorang membuat Gin swa umumnya diturunkan lewat keluarga dan pengalaman. "Setahu saya tak ada orang yang belajar khusus membuat gin swa. Kebisaan ini berlangsung turun-menurun, sambung-menyambung, kepada anak-cucu. Ayah menurunkannya kepada saya, dan tugas saya menurunkan lagi kepada anak saya," kata Akiat yang mewariskan kemahirannya itu kepada anak bungsunya, Sukaewan Pranoto yang biasa dipanggil A Cin. Meski harus melewati masa sulit, Akiat teguh meneruskan tradisi ini. Alasannya, membuat gin swa bagi dia adalah "kewajiban" demi regenerasi dan pelestarian "secuil" tradisi etnis Tionghoa. Jika tak ada yang mempelajari atau meneruskan tradisi membakar gin swa, kebiasaan ini akan punah. Sekarang saja jumlah pembuat gin swa di Pulau Jawa bisa dihitung dengan jari. Menjadi perajin gin swa pun tak bisa
[budaya_tionghua] Fwd: Indonesia joins business-driven Chinese language boom
The Edge Daily Feb 03, 2008 JAKARTA: For Indonesian businessman Soerachim, learning to speak Mandarin is more than a hobby, it is a business necessity. "My business is in supporting oil and gas activities in Indonesia and recently American oil companies are phasing out and the Chinese oil companies like Petrochina and some others are coming here," said Soerachim, who has only one name. For years, Indonesia banned the use of Chinese language and repressed any signs of Chinese culture. The clampdown came after former president Suharto, who died on Jan 27, crushed what was officially described as a Beijing-backed communist coup in 1965. But since Suharto's ouster in 1998, Indonesia has embraced democracy and greater freedom of expression. Ethnic Chinese Indonesians can now celebrate festivals such as the Lunar New Year, and once-banned Mandarin language books have gone from contraband to big sellers. With exports to China climbing from US$2.9 billion (RM9.48 billion) in 2002 to US$8.3 billion in 2006, and imports from China almost tripling to US$6.6 billion over the same period, more Indonesians are motivated to catch up with the global trend and start learning Mandarin. Soerachim, one of a growing number of "pribumi" or indigenous Indonesians embracing the newly valuable language, conducts his formal dealings with Chinese businessmen in English or Bahasa Indonesia. But to really impress a potential partner and clinch a deal ahead of the competition, Soerachim said he finds it's helpful to drop in a few words of Mandarin. "I do believe that Mandarin will be the future language of Southeast Asia. My grandchild is learning Mandarin too, so now I can study together with her," he said. Speaking more than one language is not unusual in Indonesia, the world's largest archipelago. The country's 300 ethnic groups on 17,000 islands speak more than 500 languages between them, as well as the official Bahasa Indonesia. In the capital Jakarta, the Goethe Institute has long fostered an appreciation of German culture, Erasmus Huis has promoted Dutch films and speakers and students of French could visit Alliance Francaise. But Indonesia's first Chinese cultural centre, the Kongzi Institute, opened only late last year, making the country a relative latecomer to the global boom which Beijing says will see around 100 million foreigners learning Chinese by 2010. The institute, tucked inside the Jakarta Chinese Language Teaching Centre, is awaiting a shipload of books and movies from the Chinese government but will soon host dance performances, traditional paper- cutting demonstrations, and calligraphy. The Kongzi Institute's director, Philip Liwan Pangkey, said the growing number of non-Chinese Indonesians showing an interest in China reflected the Communist nation's emergence as a global superpower. http://www.theedgedaily.com/cms/content.jsp? id=com.tms.cms.article.Article_d46dc7e0-cb73c03a-19214b10-e9656b90
[budaya_tionghua] Fwd: China Kirim Guru Bantu
Kompas. Rabu, 30 januari 2008 Jakarta, Kompas - Puluhan guru bahasa Mandarin dikirim untuk membantu mengajar bahasa tersebut di sekolah menengah atas dan kejuruan di Indonesia. Tahun 2008 terdapat 76 guru asal China yang dikirim ke Indonesia. Kerja sama di bidang pengajaran bahasa tersebut terus diperkuat. Hal ini terlihat antara lain dalam pertemuan antara perwakilan Departemen Pendidikan Nasional dan Director General of Office Chinese Language Council International (Hanban), Selasa (29/1). Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional Fasli Jalal mengatakan, kerja sama untuk pengembangan pengajaran bahasa Mandarin dengan Hanban sudah berlangsung sejak tahun 2004. Sebanyak 136 pengajar bahasa Mandarin dikirim untuk membantu mengajar di sekolah menengah dan kejuruan selama satu tahun. Selain itu, terdapat pula kerja sama pengembangan kursus bahasa Mandarin. "Rencananya kerja sama itu akan diperkuat hingga ke level pendidikan tinggi dengan saling berkirim tenaga dosen, juga membuka Pusat Studi Bahasa dan Kebudayaan China di Indonesia," ujarnya. Sebaliknya, para tenaga pendidik yang dikirim ke China nantinya diharapkan dapat mengajarkan bahasa Indonesia sambil menempuh pendidikan di level master atau doktor di bidang sastra China. Menurut Jalal, kerja sama ini sangat penting karena China menjadi kekuatan baru dunia dan banyak hubungan bisnis dengan China. Director General of Office Chinese Language Council International Xu Lin mengatakan, minat warga Indonesia belajar bahasa Mandarin cukup tinggi. "Sebagai negara sumber, kami ingin membantu Indonesia dalam pengajaran bahasa Mandarin," ujarnya. (INE)
[budaya_tionghua] Fwd: Ratusan Warga Tionghoa Sulit Membuat KTP
Kompas. Rabu, 30 januari 2008 Jakarta, Kompas - Ratusan warga Tionghoa miskin di Jakarta Barat masih kesulitan mengurus dokumen kependudukan kartu tanda penduduk dan akta kelahiran. Sejumlah warga yang ditemui di Kelurahan Tegal Alur, Kecamatan Kalideres, Jakarta Barat, Selasa (29/1), mengaku terpaksa membuat KTP "tembak". Theng Pong San alias Sani (36), warga RT 09 RW 09 Kelurahan Tegal Alur, terpaksa membuat KTP tembak seharga Rp 150.000 agar dirinya memiliki identitas. "Sekurangnya dari zaman kongco (kakek buyut) kami sudah lahir dan turun-temurun tinggal di sini, tetapi tidak bisa membuat akta kelahiran dan KTP. Anak-anak juga sulit untuk sekolah dan mencari kerja karena tidak punya dokumen resmi," kata Sani. Menurut Sani, nasib serupa juga dialami warga asli Betawi di Tegal Alur. Mereka sama-sama miskin dan terpinggirkan. Saat ini, lanjut dia, sekurangnya terdapat 150 keluarga yang mengalami kesulitan mengurus pelbagai dokumen, seperti akta kelahiran hingga KTP. Nasib serupa dialami Le Tjong Mei (57) yang tujuh anaknya tidak bisa mengurus KTP secara resmi disebabkan tidak punya akta kelahiran. "Mereka akhirnya membuat KTP tembak. Banyak yang tidak punya biaya akhirnya tidak membuat dokumen kependudukan sama sekali. Kalau mengurus KTP selalu diminta akta kelahiran. Sebaliknya, kalau mengurus akta kelahiran selalu diminta KTP. Sudah sering kami dipingpong seperti ini," kata Tjong Mei yang sebagian anaknya menjadi buruh lepas di pabrik. Lina, warga Kampung Belakang, Kelurahan Kamal, Kecamatan Kalideres, juga mengalami kesulitan serupa. "Warga Tionghoa di Kampung Belakang juga sulit mengurus dokumen. Surat nikah juga tidak bisa diurus," kata Lina. Akhirnya, banyak anak-anak Tionghoa miskin yang mendapat status anak di luar nikah karena orangtua mereka tidak memiliki surat nikah. Untuk mengurus akta kelahiran, ujar Sani Nio, banyak warga Tionghoa yang dimintai biaya sekitar Rp 1,5 juta hingga Rp 2 juta. Kepala Subdinas Pengawasan dan Pengendalian Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil DKI Jakarta Edison Sianturi mengatakan, pemerintah kini sudah aktif mendata. "Saat ini ada sekitar 739 warga di sana yang diusulkan untuk mendapatkan kewarganegaraan ke Departemen Hukum dan HAM. Selanjutnya baru bisa diproses dokumen kependudukan dan catatan sipil. Kita mohon masyarakat bersabar dan kelurahan lebih aktif mendata," kata Sianturi. Warga mengakui ada perbaikan perlakuan yang diterima seusai kampanye Fauzi Bowo saat menjadi calon gubernur. Ketika itu, banyak warga Tionghoa yang dipermudah saat mengurus KTP. Yang aneh, meski tidak memiliki dokumen kependudukan lengkap, mereka dapat ikut memilih dalam pemilu. "Kami tetap bisa memilih dalam pilkada dan pemilu selama ini. Padahal, banyak yang tidak punya KTP," kata Lina. (ong)
[budaya_tionghua] Fwd: Kedubes Tiongkok di Indonesia dan CSIS Indonesia Adakan Seminar
Kedubes Tiongkok di Indonesia dan CSIS Indonesia Adakan Seminar China Radio International Saturday, Jan 26th 2008 Kedutaan Besar Tiongkok untuk Indonesia serta Pusat Studi Masalah Internasional dan Strategis (CSIS) Indonesia kemarin bertempat di pusat tersebut bersama-sama mengadakan seminar yang bertajuk Perkembangan dan Masa Depan Tiongkok. Wakil Kepala Kantor Grup Pimpinan Keuangan dan Ekonomi Pusat Tiongkok Chen Xiwen dan Duta Besar Tiongkok untuk Indonesia Lan Lijun sebagai pembicara utama masing-masing menyampaikan pidato tentang situasi perkembangan Tiongkok dewasa ini, masalah yang dihadapi dan arah perkembangannya, serta strategi diplomatik Tiongkok. Dalam seminar itu, mereka telah menjawab pula pertanyaan wartawan. Hadir dalam seminar itu Menteri Pertahanan Indonesia Yuwono Sudarsono, Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu serta hampir 300 ilmuwan, pejabat pemerintah dan tokoh kalangan pengusaha dari Tiongkok dan Indonesia, wartawan dari belasan media Indonesia, serta wartawan Kantor Berita Xinhua dan harian Renminribao Tiongkok untuk Indonesia. Chen Xiwen dalam pidatonya menunjukkan bahwa reformasi yang terus diperdalam dan keterbukaan yang terus diperluas merupakan sebab pokok Tiongkok dapat mencapai perkembangan pesat dalam waktu 30 tahun yang lalu. Secara titik berat ia menjabarkan problem-problem dan tantangan yang dihadapi Tiongkok dewasa ini dan di masa depan, tujuan dan tugas pembangunan untuk masa depan dan bagaimana merealisasi tujuan-tujuan tersebut. Dalam pidatonya ia menguraikan pula secara rinci konsep-konsep penting seperti pembangunan ilmiah, masyarakat harmonis dan perkembangan secara damai. Selain itu, ia telah menjawab pertanyaan peserta seminar tentang dampak krisis kredit perumahan Amerika terhadap Tiongkok, masalah- masalah pertanian, pedesaan dan petani di Tiongkok, pemanfaatan sumber daya air serta pembangunan tata hukum demokratis di Tiongkok. Duta Besar Lan Lijun dalam seminar itu telah memperkenalkan pandangan umum pemerintah Tiongkok terhadap situasi dunia dengan menitikberatkan pembahasan mengenai strategi diplomatik mendasar dan jangka panjang Tiongkok, khususnya konsep tentang pembangunan dunia harmonis. Ia menunjukkan bahwa Tiongkok akan senantiasa dengan teguh menempuh jalan perkembangan secara damai, menjalankan strategi terbuka yang saling menguntungkan dan untuk kemenangan bersama, mengembangkan persahabatan dan kerjasama dengan semua negara di atas dasar lima prinsip hidup berdampingan secara damai. Duta Besar Lan Lijun telah menjawab pula pertanyaan tentang kemiteraan strategis antara Tiongkok dan Indonesia serta strategi kelautan Tiongkok Para peserta seminar menyatakan, Chen Xiwen dan Duta Besar Lan Lijun telah memberikan informasi yang padat dan menyeluruh sehingga memudahkan mereka mengenal situasi perkembangan Tiongkok sekarang ini dan masa depannya. Seminar terpaksa diperpanjang lebih setengah jam berhubung banyaknya pertanyaan yang diajukan peserta. Usai seminar, Chen Xiwen sempat diwawancarai oleh pemimpin redaksi harian Jakarta Post, dan Dubes Lan Lijun juga diwawancarai wartawan. http://indonesian.cri.cn/1/2008/01/26/[EMAIL PROTECTED]
[budaya_tionghua] Fwd: Eksotisme dan Sejarah Tionghoa di Glodok
Eksotisme dan Sejarah Tionghoa di Glodok KOMPAS Sabtu, 26 januari 2008 Iwan Santosa Petugas penjaga toko menghias pohon Imlek yang dijual di salah satu kios di Jalan Pancoran, kawasan Glodok, Jakarta Barat, Jumat (25/1). Mendekati Tahun Baru Imlek, di kawasan tersebut bermunculan kios-kios yang menjual berbagai macam pernak-pernik Imlek. Sabtu, 26 januari 2008 Pesona dunia timur daratan Tiongkok masih dapat dinikmati di pecinan Glodok-Pancoran yang merupakan museum hidup salah satu komunitas tertua di Jakarta. Glodok-Pancoran dan kawasan sekitar adalah Tang Ren Jie atau pecinan yang menjadi urat nadi perekonomian Jakarta, bahkan di Indonesia hingga dekade 1990-an. Pelbagai grosir besar hingga pedagang eceran dapat ditemui di kawasan yang membentang hingga wilayah Pinangsia (dahulu Financieren, pusat keuanganRed) di timur, Perniagaan, Pasar Pagi, Asemka, dan Bandengan (dahulu BacheragrachtRed) di utara. Secara fisik, tidak banyak bangunan berlanggam Tionghoa tersisa di jalan utama Glodok- Pancoran. Akan tetapi, masyarakat yang menghuni adalah keturunan pemukim Tionghoa yang tinggal selepas Perang China (1740-1743) di Jawa. Pemerintah Verenigde Oost Indie Compagnie (VOC) sengaja membangun hunian baru di Glodok-Pancoran yang berada di luar benteng Belanda tetapi masih di dalam jangkauan tembakan meriam mereka. Strategi itu diterapkan demi alasan keamanan para kolonis Belanda dan warga penghuni benteng pasca- Perang China yang diawali dengan pembantaian 10.000 orang Tionghoa di dalam Benteng Batavia, Oktober 1740. Selanjutnya, daerah hunian baru itu menjadi pusat bisnis dan ekonomi di Nusantara hingga kini. Memasuki kawasan tersebut di Jalan Pancoran, puluhan toko obat tradisional Tionghoa berjajar di rumah toko di kedua sisi jalan. Iskandar, pemilik toko Bintang Semesta atau Beng Seng (Mandarin: Ming Xing), mengatakan, toko obat yang ada di tempat itu dimiliki secara turun-temurun lebih dari empat generasi. Obat-obatan yang diramu dari tumbuhan, hewan, serangga, cacing, dan rendaman arak dapat dibeli di sini. Para sinse atau tai fu (dokter Tionghoa) juga menyediakan jasa memeriksa para pasien yang datang. Pengunjung yang datang juga tidak melulu orang Tionghoa, tetapi juga suku bangsa lain banyak yang berobat atau sekadar membeli ramuan untuk perawatan kesehatan di Pancoran. Bahkan, pada masa lalu, ada pertunjukan silat oleh para penjual koyo di jalanan Pancoran. Tian Li Tang, seorang sesepuh warga yang juga keluarga pemilik Toko Tian Liong, mengenang, para pedagang koyo selalu dikerumuni penonton saat mempertunjukkan kebolehan ilmu kungfu. "Sehabis pertunjukan mereka menjual koyo kepada para penonton. Sayang sekarang tradisi seperti itu sudah tidak ada lagi. Padahal, di negara lain itu menjadi atraksi wisata," katanya. Artis Hongkong dan Kapten Westerling Makanan Tionghoa yang eksotis, seperti belut, ular kobra, bulus, dan ramuan ayam arak ataupun sup ayam dengan campuran seperti ginseng juga dapat dinikmati di sekitar Gang Gloria dan Pertokoan Chandra. Restoran tempo doeloe, seperti Siaw A Tjiap dan Wong Fu Kie, juga masih berjualan, seperti pada masa prakemerdekaan Indonesia. Di sudut Gang Gloria, di sebuah pusat jajan, terdapat kedai Tay Loo Tien yang kesohor dengan nasi goreng ham yang khas sejak zaman Kolonial Belanda. Adapun pusat jajan di Pertokoan Chandra memiliki penataan ruang seperti food court di Singapura dan Malaysia. Tian Li Tang mengatakan, sejumlah artis Hongkong pada tahun 1980-an menjadi pelanggan pelbagai restoran di Glodok-Pancoran. "Kapten Westerling pada zaman revolusi juga suka jajan di daerah ini," kata Li Tang, merujuk pada sosok "The Turk" Raymond Westerling, komandan pasukan khusus Komando Speciale Troepen (KST) yang dulu membuat teror di Sulawesi Selatan semasa perjuangan 1945-1949. Minuman sehat, seperti susu kacang dan cincau hijau ataupun cincau hitam serta sari tebu, dengan mudah dapat dibeli di restoran ataupun di pinggir jalan. Satu gelas minuman segar harganya Rp 2.000 hingga Rp 5.000. Di kawasan sama terdapat puluhan pedagang kudapan khas Tiongkok. Manisan plum, buah semboi (kiambweeRed), jeruk mandarin, aneka gula-gula, dan pelbagai jajanan eksotis dapat diperoleh di ujung Jalan Pancoran, dekat sudut Jalan Toko Tiga Seberang. Manisan dijual dengan ukuran berat satu ons. Selepas jembatan ke arah barat laut di Jalan Pintu Kecil, terdapat belasan pedagang buku Tionghoa. Banyak buku Tionghoa kunoyang diburu kolektor yang datang dari mancanegaradijual di kios pinggir jalan tersebut. Pernak-pernik barang khas Tiongkok dapat dicari di Gang Kali Mati di sebelah Toko Tian Liong. Belasan ahli feng shui (geomancy) juga menyediakan jasa di gang tersebut. Bahkan, mereka lengkap dengan menyediakan dagangan perlengkapan untuk sembahyang. Minyak wangi impor dengan harga murah dapat dibeli di pertokoan di Jalan Petak Sembilan. Para importir minyak wangi di Jakarta memulai bisnisnya di kawasan ini. Harga jual minyak wangi bisa lebih murah Rp 100.000 hingg
[budaya_tionghua] Fwd: Kambing Hitam Pascakonfrontasi
Kompas hari ini 25 Januari 2008 di kolom Sorotan menghadirkan tulisan mengenai sejarah latar belakang komunitas Tionghoa di Kalbar selama pascakonfrontasi (1967) yang dijadikan kambing hitam oleh pemerintah Orba ketika itu. Ketika itu terjadi pembunuhan-pembunuhan terhadap etnis Tionghoa Kalbar oleh etnis Dayak yang dikenal dengan peristiwa "mangkok merah" Peristiwa politik ini terjadi ketika Indonesia baru saja mengakhiri konfrontasinya dengan Malaysia dan tumbangnya pemerintahan Soekarno dibawah Soeharto. Mulai saat itu Indonesia dibawah pemerintahan Orba menjadi sekutu negara Barat dalam konstelasi perang dingin dan etnis Tionghoa Kalbar menjadi salah satu korban politiknya. G.H -- Kambing Hitam Pascakonfrontasi Jumat, 25 januari 2008 Iwan Santosa Habis manis sepah dibuang. Itulah nasib tragis ratusan gerilyawan Pasukan Rakyat Kalimantan Utara atau Paraku-Pasukan Gerakan Rakyat Sarawak atau PGRS dukungan intelijen militer Indonesia semasa Presiden Soekarno mencanangkan konfrontasi menentang pembentukan Malaysia tahun 1963. Ketika Soekarno menyatakan "Ganyang Malaysia" tanggal 27 Juli 1963, relawan Indonesia dan gerilyawan Paraku-PGRS menjadi pahlawan di Indonesia. Paraku-PGRS menjadi momok menghantui pasukan Malaysia, Brunei, Inggris, dan Australia saat bergerilya di perbatasan Kalimantan Barat- Sarawak. Ketika Soeharto tampil sebagai penguasa yang berdamai dengan Malaysia, Paraku-PGRS pun digempur habis dan disertai kerusuhan anti- Tionghoa di Kalimantan Barat tahun 1967 sebagai harga rekonsiliasi Jakarta-Kuala Lumpur. Paraku-PGRS terlupakan dalam lembaran sejarah seiring kukuhnya Orde Baru dan baru muncul kembali dalam pembicaraan Indonesia-Malaysia dalam Joint Border Comitee (JBC) di Kuala Lumpur awal Desember 2007. Peneliti kekerasan terhadap Tionghoa, Benny Subianto, menjelaskan, ada benang merah dalam pemberantasan Paraku-PGRS dan kekerasan terhadap penduduk Tionghoa di Kalimantan Barat yang dikenal sebagai peristiwa "Mangkok Merah". "Demi menghabisi Paraku-PGRS akhirnya dikondisikan kerusuhan anti- Tionghoa. Sebelumnya, Dayak, Melayu, dan Tionghoa hidup bersama secara damai di Kalimantan Barat," kata Benny. Keberadaan Paraku-PGRS diakui sebagai buah karya kebijakan militer Indonesia. Buku Sejarah TNI Jilid IV (1966-1983) halaman 116-125 mencatat embrio Paraku-PGRS adalah 850 pemuda China Serawak yang menyeberang ke daerah RI saat terjadi konfrontasi dengan Malaysia. Buku Sejarah TNI menyebut mereka adalah orang-orang China yang prokomunis. Pemerintah RI melatih dan mempersenjatai mereka secara militer dalam rangka Konfrontasi Indonesia-Malaysia. Lebih lanjut dijelaskan, mereka dibagi menjadi dua kesatuan, yakni Pasukan Gerilya Rakyat Serawak (PGRS) dan Pasukan Rakyat Kalimantan Utara (Paraku). Kedua pasukan dikoordinasi oleh Brigadir Jenderal TNI Supardjo, pejabat Panglima Komando Tempur IV Mandau, berpusat di Bengkayan, Kalbar. Bersama "relawan" dari Indonesia, Paraku-PGRS yang juga menghimpun suku Melayu dan Dayak berulang kali menyusup wilayah Sarawak dan bahkan Brunei. Salah satu tokoh Revolusi Brunei tahun 1962, Doktor Azhari, yang juga pimpinan Partai Rakyat Brunei, dan pengikutnya diketahui dekat dengan kubu gerilyawan ini. Benny Subianto dalam laporan ilmiah itu menjelaskan, banyak pemuda Tionghoa di Sabah, Sarawak, dan Brunei menolak pendirian Malaysia karena takut dominasi Melayu dan warga Semenanjung Malaya terhadap wilayah Sabah-Sarawak dan Brunei. Gerilyawan Paraku-PGRS dalam laporan Herbert Feith di Far Eastern Economic Review (FEER) edisi 59 tanggal 21-27 Januari 1968 dilukiskan hidup bagai ikan di tengah air terutama di antara masyarakat Tionghoa Kalbar yang waktu itu hidup tersebar di pedalaman. Benny Subianto menambahkan betapa gerilyawan Paraku-PGRS dan relawan Indonesia menghantui wilayah perbatasan. Bahkan, mereka nyaris menghancurkan garnisun 1/2 British Gurkha Rifles (1/2 GR) dalam serangan terhadap distrik Long Jawi (sekitar 120 kilometer sebelah barat Long Nawang, Kalimantan Timur). Selama berbulan-bulan mereka juga menghantui jalan darat Tebedu-Serian-Kuching (dekat Pos Perbatasan Darat Entikong) selama berbulan-bulan pada paruh pertama tahun 1964. JP Cross dalam buku A Face Like A Chicken Backside-An Unconventional Soldier in Malaya and Borneo 1948-1971 halaman 150-151 mencatat betapa serangan relawan Indonesia di Long Jawi tanggal 28 September 1963 menewaskan operator radio, beberapa prajurit Gurkha dan Pandu Perbatasan (Border Scout). Long Jawi sempat dikuasai lawan sebelum akhirnya Pasukan Gurkha menyerang balik setelah mendapat bala bantuan. Di balik perjuangan Paraku-PGRS dan relawan Indonesia, sebagian besar operasi militer selama konfrontasi tidak mencapai hasil memuaskan. Mantan Panglima Komando Daerah Militer (Kodam) Tanjung Pura Soeharyo alias Haryo Kecik dalam memoirnya mencatat, gerakan pasukan dan geri
[budaya_tionghua] Kunjungan Menhan Cao Gangchuan ke Indonesia
Setelah mengakhiri kunjungannya di Brunei, menteri pertahanan RRT Cao Gangchuan kemarin tiba di Jakarta untuk memulai kunjungannya selama 5 hari di Indonesia, beliau diterima oleh Menhan Juwono Sudarsono dan Wapres Jusuf Kala, selain itu Cao kemarin juga diundang mengunjungi markas Kopassus di Cijantung. Kunjungan Cao ini untuk menindak lanjuti memorandum kesepakatan kerja sama bilateral di bidang pertahanan sebagai bagian dari kemitraan strategis yang telah ditanda tangani oleh Menhan Juwono bulan November 2007 lalu di Beijing. Kemitraan strategis (strategic partnership) antara RRT dan Indonesia mulai dirintis dan ditanda tangani oleh Presiden Judhoyono dan Presiden Hu Jintao di Beijing, ketika Judhoyono berkunjung kesana pada tahun 2005. Indonesia adalah negara pertama di Asia Tenggara yang membuat kesepakatan kemitraan strategis dengan Tiongkok. Kedua negara telah sepakat untuk melakukan kerja sama di berbagai bidang pertahanan seperti latihan militer bersama, memproduksi kendaraan militer, pesawat dan kapal bersama, dimana PT Dirgantara Indonesia dan PT PAL ikut berperan dalam produksinya. Seperti diketahui, bahwa dalam bidang pertahanan, Indonesia tidak mau tergantung hanya kepada satu negara saja sebagai pemasok kebutuhan perlengkapan militernya atau disebut alutsista (alat utama sistim pertahanan), Indonesia juga ingin memasok kebutuhan perlengkapan pertahanannya dari produksi domestik sendiri, kecuali yang belum di produksi dalam negeri yang masih harus di impor dari negara lain. Di masa depan, diharapkan juga adanya pertukaran kunjungan antara personil dan perwira tinggi militer kedua negara tersebut untuk membagi pengalaman di lapangan serta memperdalam kerja sama di bidang pertahanan lebih lanjut. Pada hari Minggu ini, Menhan Cao Gangchuan yang juga anggauta dari Political Bureau of the CPC Central Committee, akan meninggalkan Indonesia untuk melanjutkan kunjungannya ke Saudi Arabia. G.H. http://www.thejakartapost.com/detaillbus.asp? fileid=20080116183135&irec=5 http://www.thejakartapost.com/detailgeneral.asp? fileid=20080116203855&irec=1 http://news.xinhuanet.com/english/2008-01/16/content_7433344_1.htm
[budaya_tionghua] Penilaian terhadap Soeharto & Mao Zedong
Tajuk Rencana Kompas yang bergengsi hari ini (16 Januari 2008) menulis tentang Soeharto yang saat kini sedang hangat-hangatnya diperdebatkan oleh berbagai media massa dan lapisan masyarakat sehubungan dengan penilaiannya terhadapnya. Rupanya opini publik terpecah dua mengenai penilaian terhadap beliau yang kontroversial itu, seperti ada pihak yang ingin tetap melanjutkan proses hukumnya, karena pelanggaran HAM dan kasus korupsinya dll. dan ada pula pihak yang ingin memaafkannya karena mengingat jasa-jasanya dalam pembangunan ekonomi. Dan Lee Kuan Yew- pun tidak ketinggalan untuk membesuk dan memberikan penilaian tentang beliau. Tetapi ada hal yang menarik perhatian dari tajuk rencana Kompas hari ini, disitu ditarik sebuah analogi atau kasus yang dapat dianggap paralel antara Soeharto dengan Mao Zedong, yaitu momen- momen saat dimana masyarakat terdorong memberikan penilaian atas jasa atau kesalahan kedua mantan pemimpin negara itu sebagai kesimpulan sejarah bangsa, terutama pada saat-saat terakhir hidupnya atau sudah meninggal. Kalimat akhir tajuk rencana Kompas ini melemparkan sebuah pertanyaan retorik, apakah bangsa dan pemimpin Indonesia dapat melakukan hal yang sama seperti rakyat Tiongkok memandang dan menilai Mao Zedong ketika itu. Tetapi disini mungkin akan timbul sebuah pertanyaan retorik juga, sejauh mana Soeharto dapat dianalogikan dengan Mao Zedong ? G.H. -- Memaafkan Pak Harto Kompas, Rabu, 16 Januari 2008 Mantan Ketua MPR Amien Rais meminta proses hukum mantan Presiden Soeharto dihentikan. Pemerintah secara resmi memaafkan Pak Harto. Dengan pemerintah secara resmi melakukan itu, menurut Amien Rais, masyarakat dapat pula memaafkan Pak Harto. Kepastian itu sangat penting untuk membuat bangsa ini tidak terombang-ambing oleh masalah Pak Harto, yang sedang terbaring sakit dan kritis. Penjelasan yang disampaikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengenai Pak Harto akhir pekan lalu multi-arti. Presiden mengatakan, bukan saatnya untuk membicarakan kasus hukum Pak Harto karena mantan presiden itu sedang terbaring sakit. Namun, di sisi lain kita lihat, kasus perdata Pak Harto tetap berjalan. Jaksa Agung bahkan sempat membicarakan kemungkinan penyelesaian di luar pengadilan pada saat Pak Harto sedang berjuang antara hidup dan mati. Kita memahami bahwa pilihan yang dihadapi tidaklah mudah. Namun, dalam politik, pilihan yang kita hadapi sering kali bukan antara baik dan buruk, tetapi antara yang buruk dan kurang buruk. Pada satu titik putusan itu harus diambil dan dalam kasus Pak Harto putusan itu harus diambil sekarang ini ketika Pak Harto masih ada. Sungguh sayang, pada saat pemimpin bangsa-bangsa lain memberikan penghormatan tinggi kepada Pak Harto, kita belum juga bisa satu kata untuk memutuskan sikap kita terhadap Pak Harto. Meski sudah berlangsung hampir 10 tahun, kita masih terus berkutat pada kontroversi yang tidak berujung. Mantan PM Singapura Lee Kuan Yew sesudah menjenguk Pak Harto di Rumah Sakit Pusat Pertamina menyampaikan keprihatinan atas perlakuan bangsa Indonesia kepada Pak Harto. Menurut dia, seakan hanya praktik KKN saja yang ditinggalkan Pak Harto. Padahal, jika dilihat bagaimana kondisi ekonomi Indonesia 40 tahun yang lalu dan dibandingkan dengan sekarang ini, akan terasa betapa besarnya karya Pak Harto. Kontribusi besar Pak Harto tidak hanya terbatas untuk Indonesia, tetapi juga bagi kemajuan ASEAN. Memang tidak mudah bagi sebuah bangsa untuk menghormati pemimpinnya, apalagi pada saat-saat akhir kekuasaannya bukan catatan besar yang ditinggalkan. Pengalaman seperti itu pernah dihadapi bangsa China ketika mereka diminta untuk menentukan sikap kepada pemimpin besar mereka Mao Zedong. Menyusul keterpurukan ekonomi China, banyak yang berpikiran untuk tidak menghormati Mao. Di tengah pro-kontra yang tajam, pemimpin baru China, Deng Xiaoping, lalu berpidato di Lapangan Tiananmen. Deng mengatakan, selama hidupnya Mao memang telah membuat tiga dosa besar, tetapi selama hidupnya Mao juga telah membuat tujuh jasa besar bagi China. Deng lalu mengajak bangsa China untuk mengubur sedalam-dalamnya tiga dosa besar Mao dan mengenang selama-lamanya tujuh jasa besarnya. Mampukah kita melakukan hal yang sama? Inilah tantangan yang kita hadapi sebagai bangsa dan kita membutuhkan pemimpin yang berani untuk membawa bangsa ini mengakhiri kontroversi. http://www.kompas.com/kompas-cetak/0801/16/opini/4168134.htm
[budaya_tionghua] Re: Opposition wins easily in Taiwan
Hasil Pemilu di Taiwan ini rupanya mencerminkan aspirasi mayoritas rakyat Taiwan yang menolak ide atau rencana Chen Shui-bian untuk memisahkan Taiwan dari Tiongkok seperti wacana kemerdekaan bagi Taiwan dengan nama Taiwan. Chen Shui-bian, istri dan menantunya juga menghadapi tuduhan korupsi dan kecurangan di bidang perdagangan, termasuk Wakil Presiden Annette Lu yang dituduh pada bulan September lalu menggelapkan uang negara dan selain itu perekonomian Taiwan juga dinilai mengalami pertumbuhan yang rendah dibawah kepemimpinan Chen selama ini. Masyarakat Taiwan juga menyadari, bahwa kepentingannya, terutama kepentingan komersialnya tergantung akan hubungan yang baik yang terjalin antara Taiwan dengan RRT, karena saat kini banyak usaha bisnisnya terkait dan terintegrasi dengan RRT seperti usaha bisnis dan pabrik-pabriknya yang dibangun di RRT serta banyak tenaga profesionalnya yang juga berkerja di RRT. Dengan kemenangan lebih dari mayoritas dua pertiga dalam pemilihan umum pada hari Sabtu, selain menandai perubahan yang dramatis di dalam politik Taiwan dan hubungan-hubungan lintas-selat China, ketegangan atau potensi konflik bersenjata juga diharapkan akan berkurang. Sebab jikalau sekiranya pemerintah Taiwan yang berkuasa tetap ingin mendeklasrasikan dirinya terpisah dari RRT dan berdiri sebagai entitas sendiri, maka akan timbul skenario terburuk yaitu pecah perang yang sulit dielakkan yang pada akhirnya akan pecah perang bukan saja antara RRT dan Taiwan tetapi juga antara RRT dengan Amerika di selat Taiwan. Pendekatan yang lebih diplomatis dan pragmatis juga aktif dilakukan oleh RRT sendiri (diplomacy over fighting), seperti berusaha menjalin hubungan dan dialog (engagement) dengan partai-partai yang ada di Taiwan seperti KMT (Guomindang) dan PFP (People First Party), dimana pada bulan April/May 2007 yang lalu pemimpin KMT Lin Chan dan pemimpin PFP James Soong (keduanya tergabung dalam koalisi Pan- Biru ) diundang oleh Hu Jintao berkunjung ke RRT. Dengan kemenangan partai oposisi ini, maka tidak tertutup kemungkinan bahwa proses reunifikasi dapat direalisasikan lebih cepat seperti yang dikatakan oleh Chen Shui-bian sendiri (If the Kuomintang won, then reunification with China could be realized anytime soon) (http://www.forbes.com/afxnewslimited/feeds/afx/2008/01/07/afx4499864. htm) G.H. -- >In budaya_tionghua@yahoogroups.com, "Sunny" <[EMAIL PROTECTED]> wrote: >Opposition wins easily in Taiwan >The Associated Press >Saturday, January 12, 2008 >TAIPEI: Taiwan's opposition Nationalist Party won a landslide >victory in legislative elections Saturday, dealing a humiliating >blow to the government's hardline China policies two months before >the presidential election. > >President Chen Shui-bian resigned as chairman of the Democratic >Progressive Party immediately after his party's defeat. "I should >shoulder all responsibilities," Chen said. "I feel really apologetic >and shamed." > >Chen has been criticized for aggravating relations with Beijing by >promoting policies to formalize Taiwan's de facto independence from >China. Critics say that has allowed Taiwan's once vibrant economy to >lose competitiveness and ratcheted up tension in the perennially >edgy Taiwan Strait. >... >..
[budaya_tionghua] Fwd: Politik Silang Budaya
Politik Silang Budaya Uang memang bisa membuat orang lebih semringah. Seperti pemandu rombongan kami di Guangzhou, yang sambil berkelakar menamsilkan kemajuan China. "Sepuluh tahun lalu, orang seperti saya memerlukan waktu sepuluh tahun untuk bisa membeli televisi. Kini, setiap bulan, saya mampu membeli lima televisi." Kemajuan pesat dengan perencanaan dan penataan rapi di China bisa diendus di ibu kota Provinsi Guangdong. Di wilayah pelopor reformasi dan keterbukaan China ini, bandara tampak luas dan sibuk; penataan kota terasa lapang, asri dengan dukungan infrastruktur yang adekuat; jalanan luas dengan moda transportasi umum beragam; semua diikonisasi lanskap tepi kali Mutiara sebagai garda depan estetika kota, yang dalam gemerlap lampu malam hari membersitkan bayangan Jakarta sebagai kota metropolitan paling primitif. Perkembangan ini adalah berkah visi kepemimpinan negara dengan komitmen kuat pada pemberdayaan rakyat. Hal ini bermula dari kebijakan reformer, Deng Xiaoping, untuk mengurangi intensitas politisasi rakyat, warisan kebijakan Great Leap Forward-nya, Mao Zedong, sejak 1958. Kadar politisasi ekonomi dikurangi lewat rasionalisasi dan dekolektivisasi. Reformasi agraria Tonggak perubahan ini adalah reformasi agraria sejak 1978. Tanah yang semula dikuasai secara kolektif dibagikan secara merata pada setiap keluarga. Petani menerima upah pada akhir tahun bukan berdasar keterlibatannya dalam kegiatan kolektif, melainkan menurut tingkat produktivitasnya. Mereka bebas menentukan jenis tanaman yang dibudidayakan, bahkan bisa menguasai tanaman tambahan setelah memenuhi kuota bibit yang ditetapkan. Lebih lanjut, para petani membayar pajak ketimbang menyerahkan kuota tertentu kepada kolektivitas. Akhirnya, Deng menghapus monopoli negara atas pembelian dan penjualan produk-produk pertanian serta melepas batas harga kebanyakan produk pertanian kepada petani. Dengan reformasi agraria ini, petani memiliki akses perseorangan, memiliki lebih banyak pilihan dan kebebasan. Hal ini mendorong gairah bekerja, iklim kompetisi, dan memacu produktivitas. Dengan prinsip "menyeberang sungai sambil meraba batu", Deng mendorong petani agar berani menyeberang dari pertanian ke bisnis. China yang lama memandang kapitalisme sebagai iblis mulai belajar bercengkerama dengan arus modal dan berguru pada keberhasilan ke Indonesia, Singapura; negara yang relatif otoritarian secara politik, tetapi menjadi tempat yang ramah bagi pemupukan modal dan industri. Deng bereksperimen dalam reformasi industri dengan mengembangkan sejumlah kawasan ekonomi khusus di sepanjang pantai timur, mulai dari Provinsi Fujian (dekat Taiwan) hingga Provinsi Guangdong (dekat Hongkong). Dengan integritas kepemimpinan yang kuat, komitmen pada kemajuan, dan disiplin kerja kolektif, warisan tradisi Xiaogang, industri, dan arus investasi berkembang pesat. Produktivitas meroket dengan neraca perdagangan melambung. Kini ekspor China tiap hari setara ekspor China selama setahun saat reformasi mulai digulirkan 1978. Rakyat menemukan aktualisasi diri dalam kegiatan ekonomi. Bagi mereka yang tinggal jauh dari Beijing, berkembang pandangan, "Istana itu jauh, langit pun jauh. Yang dekat dijangkau adalah uang. Maka, rebutlah uang hari ini!" Maka, China pun berlimpah uang. Saatnya memberdayakan keturunan Kisah sukses China menggugah kesadaran Indonesia, yang hingga dekade 1970-an dipandang ibarat the new Jerussalem (tanah harapan). Kenyataan, kedua negeri memiliki akar kekerabatan dan hubungan panjang membersitkan pertanyaan, apa implikasi perkembangan China bagi masa depan Indonesia? Kehendak untuk saling mengerti dan berbagi ini mendapat momentum saat akhir Desember 2007, kami diundang Asosiasi Pertukaran Internasional Guangdong menghadiri peluncuran buku Cakrawala Indonesia dalam versi Mandarin, karangan Max Mulyadi Supangkat. Pak Max adalah orang Indonesia peranakan Tionghoa. Dalam buku ini diungkap, apa yang disebut "pribumi" Indonesia pun sebagian besar punya pertalian leluhur dengan orang-orang Tiongkok Selatan (Yunnan). Ditambah kenyataan, ada jutaan peranakan Tionghoa yang telah menetap lama dan memandang Indonesia sebagai tanah airnya. Dengan demikian, etnis Tionghoa pun adalah pribumi dan memiliki derajat yang sama dengan etnis lain. Pandangan demikian punya resonansi kuat dengan sikap pemimpin di Beijing. Tiongkok dan Indonesia merupakan dua negara terbesar di Asia Timur. Hubungan baik antarkeduanya bisa menghadirkan persemakmuran bersama sejalan pesan Konfusius, "Jika diri sendiri ingin tumbuh, tumbuhkan pula orang lain; jika diri sendiri ingin makmur, makmurkan pula orang lain." Hubungan Beijing-Jakarta bisa terganggu ketegangan rasial (anti- China). Untuk itu, para pemimpin Beijing berharap orang-orang peranakan hendaknya menjadi warga negara yang baik di tempat tinggalnya, tanpa melupakan leluhurnya. Orang-orang Indonesia keturunan Tionghoa bisa menjadi jembatan a
[budaya_tionghua] Re: Undangan Menyambut Obor HAM
>In budaya_tionghua@yahoogroups.com, "liemshan" <[EMAIL PROTECTED]> wrote: >Koalisi ini juga hanya dibentuk untuk acara Obor HAM Estafet Global >ini saja, karena mereka sudah terbiasa untuk menyuarkaan kondisi >HAM termasuk yg internasional (terkahir adalah mereka ikut >menyuarakan kondisi HAM di Burma. .. >Dan yang diangkat di sini adalah tentang penindasan HAM di China >secara umum, tidak hanya Falun Gong, seperti yang dialami pengacara >HAM (Gao Zhisheng, Hu Jia, dkk), aktivis HAM dan lingkungan, >kelompok pro-demokrasi, kaum Tibetan, kaum muslim Uighur, pemimpin >agama (Katolik), jurnalis independen, dll. -- comment: Tuntutan CIPFG (CIPFG's demands) dalam rangka penyelenggaraan Obor Ham Global (Global Human Rights Torch Relay) adalah: First, stop the persecution of Falun Gong immediately and release all practitioners incarcerated for their faith. Second, stop the persecution of friends, supporters and defence lawyers of Falun Gong practitioners, including Gao Zhisheng and Li Hong. Third, hold discussions with CIPFG to arrange details of the opening up of labour camps, prisons, hospitals and related secretive facilities for inspection by CIPFG independent investigators. Ini kutipan asli bahasa Inggris dari 3 tuntutan CIPFG kepada pemerintah Tiongkok dalam kaitannya penyelenggaraan Obor Ham Global (Global Human Rights Torch Relay) yang bersumber dari situs Epoch Times dan CIPFG sendiri, dan disini yang pertama-tama yang dituntut adalah stop penganiayaan terhadap praktisi Falun Gong, tetapi tidak disebutkan atau terdapat kalimat specifik yang mengangkat tentang penindasan HAM terhadap kaum Tibetan, kaum Muslim Uighur, pemimpin agama Katolik dan jurnalis independen seperti yang anda telah sebutkan. http://en.epochtimes.com/news/7-8-10/58600.html http://cipfg.org/en/news/588.html -- Liemshan wrote: >Tentang CIPFG (Coalition to Investigate the Persecution of Falun >Gong Practitioners) Nah, ini dia banyak rekans yang salah faham, >karena ada nama "Falun Gong"nya dibelakangnya jadi udah negative >thinking dulu . Faktanya, anggota CIPFG sama sekali satupun tidak >ada yang merupakan praktisi Falun Gong >CIPFG sendiri . tidak ada kaitan sama sekali ataupun >didanai oleh Amerika atau Taiwan. >.. >Sekali lagi, anggota CIPFG bukan praktisi Falun Gong. -- comment: Anda dengan panjang lebar menjelaskan tentang kegiatan CIPFG yang keanggautannya anda sebutkan (atau anggap) tidak ada satupun yang merupakan praktisi Falun Gong, tetapi disini anda tidak menjelaskan siapa yang mendirikan CIPFG ini. Berdasarkan laporan CRS Report for Congress, Order Code RL33437. CIPFG (Coalition to Investigate the Persecution of the Falun Gong) ini didirikan oleh Falun Dafa Association pada bulan April 2006 yang berbasiskan di Amerika. (CIPFG, a U.S.-based, non-profitorganization founded by the Falun Dafa Association in April 2006) http://www.usembassy.it/pdf/other/RL33437.pdf --- Liemshan wrote: >Saya dulu kena kerusuhan Mei 98, tinggal di daerah Jakarta selatan, >seisi rumah habis dikuras, satu keluarga termasuk anak perempuan dan >satu anjing kesayangan lari mencari perlindungan ke rumah tetangga >hanya membawa baju yang melekat di badan, demi agar keluarga >tidak dilukai dan anak perempuan tak diperkosa, tetangga orang >China tidak membantu, malah tetangga orang Indonesia yang membuka >pintu perlindungan! - comment: Bukan keluarga anda saja yang mengalami musibah seperti itu pada waktu kerusuhan Mei 1998, karena hampir semua orang Tionghoa di Jakarta juga merasa ikut keselamatan dan harta bendanya terancam dan beberapa keluarga orang Tionghoa juga juga mengalami nasib buruk seperti yang dialami oleh keluarga anda. Mungkin karena dirinya atau keluarganya juga merasa sama seperti anda yaitu terancam keselamatannya, maka mereka juga tidak dapat memberikan perlindungan kepada keluarga anda, pertama-tama secara naluri mereka (orang Tionghoa) mencari perlindungan bagi keluarganya sendiri dahulu, sebelum dapat memberikan perlindungan kepada orang lain, apalagi ikut memberikan perlindungan kepada anjing kesayangan anda. --- Liemshan wrote: Yang saya ingin bela adalah rakyat China !. - comment: Heroik sekali ! G.H.
[budaya_tionghua] Re: Undangan Menyambut Obor HAM
>In budaya_tionghua@yahoogroups.com, "Skalaras" <[EMAIL PROTECTED]> wrote: > >Bagaimana mau mengkritik Amerika? wong yang memsponsori Amerika kok! >pesan sponsor: aksi protes ini harus fokus ke RRT, jangan sampai >nyimpang ke negara lain, itu bukan tujuan kami! > > ZFy Atau dengan kalimat lain "Do As We Say, Not As We Do!" G.H.
[budaya_tionghua] Re: Undangan Menyambut Obor HAM
Mengapa hanya Tiongkok saja yang akan dijadikan sasaran protes dan demo atas pelanggaran HAM ? mengapa Amerika Serikat tidak dijadikan sasaran atas pelanggaran HAM juga ? dan pasti nanti akan lebih meriah dan banyak pesertanya, sekira AS juga diprotes ! Mengapa dalam undangan dan seruan dalam menyambut obor HAM itu tidak menyebutkan AS sebagai negara pelanggar HAM yang serius ? Apakah AS tidak tergolong sebagai sebuah negara pelanggar HAM ? sehingga dalam peristiwa yang disebut sebagai estafet Obor HAM Global itu nama AS (sengaja atau tidak sengaja) tidak disebut ? Apakah korban rakyat Iraq sebagai akibat invasi militer AS itu, yang menurut laporan PBB pada tahun 2006 saja, lebih dari 34.000 orang (nytimes, January 17, 2007) yang mati terbunuh itu bukan bentuk dari sebuah pelanggaran HAM ? Apakah tidak ada yang teraniaya dan terancam jiwanya di Iraq seperti saudara-saudara kita di China?, seperti pihak penyelenggara menyebutkannya ? Seperti diberitakan bahwa tentara AS telah melakukan penyiksaan terhadap para tahanannya, seperti di penjara Abu Ghraib di Baghdad (torture and abuses by member United States Army Reserve during post- invasion peroid!) dan juga di penjara Guantanamo, bahkan "Amnesty International" dan "Human Rights Watch" menuduh bahwa AS telah melakukan pelanggaran atas Geneva Convention dalam perlakuan terhadap tawanan perang! seperti penyiksaan terhadapa para tahanan. (Wikipedia, Guantanamo detention camp). Selain itu CIA juga mempunyai penjara-penjara rahasia di beberapa negara di Eropah seperti di Rumania dan Polandia, dimana seorang yang dituduh sebagai teroris, diculik, diinterogasi dan disiksa, seperti yang dilaporkan oleh organisasi kemanusiaan "Human Rights Watch" (http://www.hrw.org/english/docs/2007/01/08/usint16108.htm) Bulan lalu bahkan diberitakan bahwa CIA telah menghancurkan rekaman video tentang agen yang menginterogasi tersangka al Qaeda yang rupanya ingin menutupi bukti kemungkinan terjadinya penyiksaan terhadap para tahanan ini. (http://www.bbc.co.uk/indonesian/news/story/2007/12/071208_videoprobe. shtml) Apakah semuanya ini bukan bentuk dari pelanggaran HAM yang dilakukan oleh AS ? atau ada motif lainnya. Diketahui bahwa aksi Obor Ham itu diprakasai oleh CIPFG (Coalition to Investigate the Persecution of Falun Gong), dan dengan tidak memasukkan atau menyebutkan Amerika Serikat sebagai salah satu pelanggar HAM dalam acara "Obor Ham Estafet Global" itu , maka pihak penyelenggara telah bersikap "hypocrisy" (munafik) dan "double standard" dalam seruannya itu !! dan mungkin juga karena pemimpin FLG itu, Li Hongzhi tinggal dan hidup serta mendapatkan perlindungan di AS. G.H. -- --- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, "ananta_darma" <[EMAIL PROTECTED]> wrote: > >Solidaritas Indonesia Untuk Rakyat China-- sebuah koalisi >masyarakat sipil Indonesia termasuk atlet nasional, mengundang para >aktivis dan pejuang HAM untuk menghadiri acara penyambutan Obor HAM >Estafet Global. Kegiatan ini dimaksudkan untuk mendorong perbaikan >kondisi HAM di China yang terus memburuk menjelang Olimpiade >Beijing 2008, serta membuka mata akan masih banyaknya pelanggaran >HAM diseluruh dunia. Upacara penyambutan Obor HAM ini rencananya >akan dilangsungkan pada: > > Hari/ Tanggal : Jumat, 4 Januari 2008 > Waktu : Pukul 14.00-17.00 WIB > Tempat: Depan Pintu Gerbang Parkir Barat > Stadion Senayan, Jl. Asia Afrika Jakarta > Acara : Sambutan, orasi, teatrikal dan hiburan > >... > > Mari kita bergabung dalam momen sejarah yang agung ini, menyuaran > kebenaran dan membela rakyat China yang tertindas dan teraniaya. > Pelanggaran HAM yang terjadi di suatu negara, adalah masalah kita > bersama. Dengan tidak menutup mata terhadap pelanggaran HAM yang > terjadi di Tanah Air, kita juga mesti memberikan solidaritasnya > terhadap saudara-saudara kita di China yang disiksa dan terancam > jiwanya. > > Salam > Ananta
[budaya_tionghua] Re: China falls for Christmas, at least in its stores
Media Barat memperkirakan jumlah pengikut Kristen di Tiongkok sekarang bervariasi antara 40-100 juta, dan mungkin tidak lama lagi polarisasi antara Gereja resmi (yang diakui oleh pemerintah) dan Gereja bawah tanah, terutama pada Gereja Katolik akan terhapus perlahan-lahan, seiiring dengan perbaikan hubungan antara Vatikan dengan Tiongkok akhir-akhir ini atau sekiranya hubungan diplomatik antara kedua negara tersebut dapat pulih kembali. Perbaikan hubungan antara Vatikan dan Tiongkok ditandai dengan nominasi 3 orang Uskup (Bishop) di propinsi Ningxia dan Guangzhou pada bulan ini oleh pemerintah Beijing yang telah disetujui oleh Vatikan terlebih dahulu. Untuk memperbaiki hubungan antara Vatikan dan Tiongkok lebih lanjut dan sebagai langkah persiapan pembukaan hubungan diplomatik kembali dimasa depannya, Paus Benediktus juga menghindari pertemuan dengan Dalai Lama pada kunjungannya ke Italy bulan ini. Tiongkok yang dianggap sebagai sebuah negara Atheist, ironisnya adalah juga salah satu negara yang memproduksi kitab Injil (Bible) yang terbesar didunia, bahkan akan menjadi produsen kitab Injil yang terbesar didunia pada tahun depan, sekiranya pabrik percetakan barunya selesai dibangun pada kawasan industri di Nanjing diatas lahan seluas 8,5 ha di tahun 2008. Percetakan ini (Amity Printing) ini akan menerbitkan 1 juta kitab Injil (dalam 90 bahasa, termasuk Braille) setiap bulannya, atau seperempat kebutuhan kitab Injil sedunia pada tahun 2009 nanti. Saat kini saja sejumlah 600,000 kitab Injil yang diekspor ke Inggris dan sekitar 2 kalinya yang diekspor ke Amerika Serikat. (http://www.dnaindia.com/report.asp?newsid=1139036). Hingga kini belum terdengar complain atau protes dari kedua negara tersebut atau negara lainnya sehubungan dengan kwalitas kitab Injil yang diekspor tersebut seperti halnya mainan anak-anak yang mengandung timbal(lead) yang dapat membahayakan kesehatan. G.H. - >In budaya_tionghua@yahoogroups.com, "Sunny" <[EMAIL PROTECTED]> wrote: > >China falls for Christmas, at least in its stores >Sunday, December 23, 2007 12:56:25 PM Oman Time >. >About 40 million Chinese -- or 3 to 4 percent of the 1.3 billion >population -- are Christian, according to the U.S. Central >Intelligence Agency. > >But precise estimates are hard to come by, as devotees are divided >between "above ground" churches approved by the ruling Communist >Party and "underground" churches, wary of government ties, that have >grown in popularity. >...
[budaya_tionghua] Re: Menikmati "Guilin" versus "Jangtze" river cruise ==> BH Jo
Beberapa hari yang lalu ada sebuah reportase dari National Geographic yang disiarkan di televisi tentang perjalanan sebuah kapal pesiar yang menyusuri sungai Yangtse dan kehidupan penduduknya. Salah satu yang menarik dari siaran itu adalah sebuah lagu indah yang bernada sentimental dan romantis melatar belakangi perjalanan kapal tersebut, agaknya lagu tersebut hendak melukiskan keindahan alam sungai Yangtse. Lagu yang dinyanyikan tersebut tidaklah asing bagi telinga orang Indonesia yaitu "Sing Sing So" !!, sebuah lagu daerah berasal dari Tapanuli, tetapi liriknya dalam bahasa Mandarn. Entah bagaimana lagu itu dapat menjadi populer di Tiongkok, apakah diperkenalkan oleh misi kesenian dan kebudayaan Indonesia yang berkunjung ke Tiongkok ketika pada jaman Soekarno? Atau diperkenalkan oleh Hoakiau Indonesia pada tahun 60-an yang kembali kesana. Selain Sing Sing So, lagu-lagu daerah lainnya seperti Bengawan Solo, Butet, Ayo Mama, Halo-Halo Bandung, Rayuan Pulau Kelapa dll. juga dberitakan cukup populer di Tiongkok, terutama di bagian Selatan. G.H. - --- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, "ChanCT" <[EMAIL PROTECTED]> wrote: > > Bung Jo yb, > >Hahah, ... rupanya sudah mau bikin rencana melancong lagi ke >Tiongkok daratan, ya? Saya sependapat dengan pendapat Skalaras, jika >anda hanya diminta satu pilihan tempat untuk berkunjung di Tiongkok, >pilihlah untuk melihat Sungai Yang-Zhi dengan 3 ngarainya itu.
[budaya_tionghua] Re: Aksi pengrusakan di Pontianak
Saya kira sdr. Prometheaus terlalu melebar menginterpretasi kalimat "fakta" yang saya sebutkan serta keluar dari substansi yang saya maksudkan. Saya tidaklah begitu naif atau idiot untuk berpendapat atau mengartikan sebuah opini atau kecurigaan menjadi atau menganggap sebagai sebuah fakta. Mungkin sepertinya kalimat ditulisan saya kurang lengkap bagi sdr. untuk menjelaskan lebih lanjut maksud kalimat fakta yang saya sebutkan yaitu sebagai fakta adanya insiden aksi kekerasan terhadap sebagian etnis Tionghoa di Pontianak ketika itu, seperti contohnya perusakan sebuah Vihara dll. seperti yang diberitakan oleh Tempointeraktif itu, dan yang juga seperti sdr. Prometheus juga akui adanya kejadian tersebut. G.H. --- --- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, "Prometheus" <[EMAIL PROTECTED]> wrote: > >Insiden pengrusakan yang sempat terjadi di Jalan Tanjungpura >Pontianak memang fakta. Ada rumah dan toko milik tionghoa yang >dilempari juga fakta. Tapi mengaitkan peristiwa tsb (baik secara >sengaja atau tidak) dengan hal seperti tertulis ini : > >"Baru saja warga Tionghoa Kalbar dapat bergembira menyambut >terpilihnya dua dari warganya dalam Pilkada yang lalu, masing- >masing menjadi Wagub >Kalbar Christiandy Sanjaya) dan Walikota >Singkawang (Hasan Karman) yangbaru..." >adalah sebuah opini/kecurigaan, bukan fakta. >Apakah opini/kecurigaan tsb membantu untuk memulihkan keadaan / >menyelesaikan masalah ? > > Prometheus >
[budaya_tionghua] Re: Aksi pengrusakan di Pontianak
--- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, "Ulysee" <[EMAIL PROTECTED]> wrote: > >Hihihihi, kalau media massa tidak menyebutkan eksplisit kelompok >yang jadi target pengrusakan,kenapa di akhir opini, Anda kok bisa >jump on conclusion bawa-bawa tionghoa? >.. > Udah deh, jangan dibiasakan makan kecurigaan sendiri, ntar jadi > paranoid. > . --- Kecurigaan dan Paranoid? Apakah sungguh anda tidak dapat mengambil kesimpulan sendiri ? ataukah hanya bersandiwara saja ? apakah kelenteng atau Vihara yang menjadi sasaran perusakan itu adalah tempat ibadah milik warga etnis Dayak atau Melayu ? dan bukan dari warga etnis Tionghoa ? Tidak semua media menyebutkannya dengan eksplisit, karena tidak ingin memperkeruh suasana yang sensitf (isu sara), kecuali mungkin Tempo yang lebih jelas pemberitaannya dan fakta adalah fakta (baik pahit maupun manis) yang harus dihadapi dan tidak perlu disangkal atau disembunyikan, serta harus dicarikan penyelesaiannya. Selain itu apakah pemberitaan Tempointeraktif dibawah ini atau yang lainnya juga anda anggap sebagai kecurigaan dan paranoid ? G.H. --- Suasana Pontianak Berangsur Normal Jum'at, 07 Desember 2007 | 12:58 WIB http://www.tempointeraktif.com/hg/nusa/kalimantan/2007/12/07/brk,20071 207-113104,id.html TEMPO Interaktif, Pontianak: Suasana Pontianak, Kalimantan Barat berangsur normal pada Jumat (7/12) ini setelah semalam sangat mencekam. Ribuan warga berkumpul di Jalan Tanjungpura sambil melempari rumah dan toko milik warga keturunan Tionghoa. Warga juga menyerang kelenteng. Kerusuhan ini bermula dari pertikaian dua warga Tionghoa pada Kamis (6/12) malam di Gang 17, Jalan Tanjungpura yang dipicu oleh serempetan mobil. Mustafa, warga berusia 57 tahun yang datang melerai mereka malah menjadi korban. Hidungnya berdarah dan mukanya memar akibat pukulan benda keras. "Padahal dia datang untuk melerai," kata Usmardan, adik ipar Mustafa di Pontianak. Setelah dirawat di Rumah Sakit Antonius Pontianak, mustafa dibawa pulang. Keluarga melaporkan kekerasan ini kepada polisi setempat. Kejadian ini menyebar ke seluruh penjuru Pontianak. Menjelang dini hari, ribuan warga mendatangi rumah warga Tionghoa yang diduga memukul Mustafa. Dalam sekejap rumah ini hancur. Amuk masa ini mulai mereda setelah Wakil Kepala Polda Kalimantan Barat Komisaris Besar Winarso, Wakil Kepala Poltabes Pontianak Ajun Komisaris Besar Andi Musa, dan Kepala Bagian Operasi Poltabes Pontianak Komisaris Ndang menemui warga. Menurut Winarso, kejadian ini merupakan tindak kriminal murni yang dilakukan oleh orang per orang. "Kami himbau warga menyerahkan kasus ini kepada polisi," katanya. harry daya From: Saya anak Pontianak <[EMAIL PROTECTED]> Subject: PONTIANAK SEMPAT MEMANAS Date: Fri, 7 Dec 2007 11:38:18 +0700 (ICT) http://groups.yahoo.com/group/pluralitas-icrp/message/5744? source=1&var=1&l=1 PONTIANAK SEMPAT MEMANAS Pontianaksempat memanas, Kamis malam, 6 Desember 2007. Ditengah keramaian kota, terjadi bakuhantam yang hanya dipicu masalah sepela serempetan mobil, namun hampir saja meluas menjadi amuk massa. Meski situasi ini dapat diredam, tak urung beberapa rumah warga, kendaraan dan satu tempat ibadah (Kelenteng) menjadi sasaran kemarahan. Apakah ini ada muatan politisnya pasca Pemilu Gubernur Kalbar kemarin? Belum dapat ditarik kesimpulan ke arah sana, tapi bisa jadi, mengingat yang menjadi sasaran adalah kalangan Tionghoa yang pada Pemilu Gubernur kemarin berhasil menempatkan satu putra terbaiknya sebagai Wakil Gubernur Kalbar, dan juga di Kota Singkawang yang mana Kalangan Tionghoa berhasil mengantarkan putra terbaiknya menjadi Walikota terpilih. Kalbar memang rentan, kalau dulu hanya vis a vis antar Dayak dan Madura, Melayu dan Madura, tapi sekarang bahaya laten konflik itu bisa melebar mengingat polarisasi politik yang berbau SARA atau politik etnisitas dan terkadang membawa-bawa agama menjadi marak. Malah pada Pilgub kemarin dengan kentara polarisasi itu tampak. Kalangan Dayak bermain dengan isu sudah 40-an tahun kita tidak pernah memimpin (sejak era Oevang Oeray), untuk itu Dayak harus memilih Dayak, begitupun dengan Melayu yang akhirnya memainkan isu Melayu-Muslim yang harus jadi pemimpin. Tak ada beda dengan kalangan Tionghoa, yang dahulu cukup puas menjadi penonton pada pertarungan politik. Karena Kalbar pada polarisasi politik seperti terbiasa dengan isu bahwa pemimpin di daerah-daerah yang ada di Kalbar harus berpegang pada konsep DIC (Dayak Indegeneous Christian) dan MIM (Malay Indegeneous Moslem). Namun, ketika Cornelis dari PDIP memilih menggandeng Cristiandy Sanjaya (sekarang pasangan terpilih), maka ini meretas pola lama, yakni jika No.1 Dayak, maka No.2 harus Melayu atau sebaliknya
[budaya_tionghua] Aksi pengrusakan di Pontianak
Baru saja warga Tionghoa Kalbar dapat bergembira menyambut terpilihnya dua dari warganya dalam Pilkada yang lalu, masing- masing menjadi Wagub Kalbar (Christiandy Sanjaya) dan Walikota Singkawang (Hasan Karman) yang baru, aksi pengrusakan terhadap harta benda dan tempat ibadahnya (kelenteng) milik warga Tionghoa pada lokasi tertentu di Pontianak kembali terjadi pada tanggal 6 Desember kemarin seperti yang diberitakan oleh beberapa media massa. Pemberitaan media massa itu tidak menyebutkan secara eksplisit kelompok sasaran yang mana yang menjadi target pengrusakan. Diberitakan oleh beberapa suratkabar dan TV tertentu, peristiwa ini dicetuskan oleh hal yang sebenarnya sepele, yaitu gara-gara keserempet mobil katanya. Buntut dari insiden ini adalah pengrusakkan sebuah rumah di jalan Tanjung Pura dan puluhan rumah lainnya di Gang Ketapang dan Gang Kedah termasuk juga mobil-mobil yang diparkir dihalamannya. Selain itu juga sebuah Vihara yang terletak di di jalan Gajah Mada (Vihara Panca Dharma) menjadi sasaran pengrusakan. Karena peristiwa ini, maka Poltabes Pontianak menetapkan status keamanan kota Pontianak menjadi siaga satu, dan seperti biasanya disebutkan oleh aparat keamanan bahwa situasi kota Pontianak sudah kondusif atau istilah lainnya aman terkendali. Apakah aksi pengrusakan ini sebagai akibat tindakan kriminal murni, seperti yang dikatakan oleh Wakapolda Kalbar Kombes Pol Winarso, ataukah sebuah aksi yang mempunyai motivasi politik tertentu, akan menjadi bahan spekulasi orang, karena aksi-aksi kekerasan terhadap warga Tionghoa di era reformasi ini hampir jarang terjadi lagi. G.H. http://www.pontianakpost.com/berita/index.asp?Berita=Utama&id=147278 http://www.metrotvnews.com/berita.asp?id=50206 http://www.metrotvnews.com/berita.asp?id=50180
[budaya_tionghua] Hasan Karman, Walikota Baru Singkawang
Hasan Karman, seorang warga kelahiran Singkawang yang berasal dari golongan etnis Tionghoa Kalbar, akhirnya terpilih menjadi walikota Singkawang yang baru untuk periode 2007-2012. Tugas dan jabatan baru ini merupakan tantangan besar bagi Hasan Karman untuk dapat membuktikan dirinya membangun kota Singkawang menjadikan sebuah kota modern dan juga harapan menjadikan Singkawang sebagai salah satu pusat pertumbuhan (growth centre) ekonomi baru di Kalimantan Barat yang dapat lebih berperan dalam perekonomian nasional nantinya. G.H. --- Hasan-Yacoub Pemenang Pilkada Singkawang PONTIANAK, JUMAT - Pasangan Hasan Karman - Edy R Yacoub dinyatakan sebagai pemenang dalam Pilkada Kota Singkawang periode 2007-2012. Pengumumuan itu disampaikan Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Kota Singkawang dalam rapat pleno di Singkawang, Jumat (23/11). Pasangan yang dijagokan Partai Indonesia Baru dan Partai Persatuan Pembangunan itu, mendapat 36.103 suara atau 41,8 persen dari total 86.294 suara sah. Angka tersebut lebih banyak dibanding incumbent Awang Ischak - Raymundus Sailan dengan 30.706 suara yang diusung Partai Golkar, PAN, PSI, PBR, PPDI dan PNBK. Pemilu Walikota-Wakil Walikota Singkawang diikuti lima pasangan calon. Tiga pasangan lain yakni Darmawan-Ignatius Apui mendapat 13.716 suara, Suyadi Wijaya - Bong Wui Khong 3.006 suara, dan Syafei Djamil - Felix Periyadi 2.763 suara. Anggota KPUD Kota Singkawang, Solling saat dihubungi mengatakan, pengajuan nama pasangan pemenang ke DPRD Kota Singkawang akan dilakukan pada Senin (26/11). KPUD juga menunggu dalam tenggat waktu tujuh hari kemungkinan adanya gugatan dari pihak-pihak yang merasa dirugikan dengan keputusan tersebut. "Kalau tidak ada masalah, DPRD Kota Singkawang akan menyampaikan nama terpilih ke Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur Kalbar," katanya. Pelantikan Walikota-Wakil Walikota Singkawang dijadwalkan pada 17 Desember 2007. Solling mengakui, menjelang masa penetapan cukup banyak tekanan dari massa terutama pendukung pasangan incumbent yang tidak puas dengan hasil tersebut. Namun, lanjutnya, KPUD Kota Singkawang tetap berpegang kepada aturan perundang-undangan dalam melaksanakan setiap tahapan Pemilu. "Termasuk tentang ketidakpuasan pasangan atau pihak lain terhadap hasil Pemilu," kata Solling. Situasi Kota Singkawang yang berjarak 145 kilometer sebelah utara Kota Pontianak itu dilaporkan cukup kondusif, meski sempat diramaikan dengan aksi massa menuntut pilkada ulang. Alasannya, diduga banyak terjadi kecurangan serta rendahnya partisipasi masyarakat dalam memilih karena tidak terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT). (ANT/ABI) http://www.kompas.com/ver1/Nusantara/0711/23/145814.htm
[budaya_tionghua] Re: Fwd: In search of Indonesia's Chinese national heroes
--- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, "Akhmad Bukhari Saleh" <[EMAIL PROTECTED]> wrote >... >Karena itu saya juga tidak setuju dengan kata-kata Asvi Warman Adam >bahwa tidak perduli siapa orangnya, Nie Hoe Kong keq, John Lie keq, >asalkan ada deh, satu orang saja, sebagai wakil etnis Tionghoa >dalam >daftar Pahlawan Nasional! >Kalau alm. John Lie dijadikan Pahlawan Nasional atas dasar >keterwakilan etnis, itu suatu penghinaan besar atas jasa-jasa >luarbiasa alm. bagi nusa dan bangsanya! >. > Wasalam. -- Luar biasa !, suatu pernyataan yang dramatis kalau seseorang dijadikan Pahlawan Nasional atas dasar keterwakilan etnisnya dianggap sebagai suatu penghinaan besar atas jasa-jasa luarbiasa bagi nusa dan bangsanya! Terlepas apakah itu John Lie atau bukan, John Lie diusulkan oleh Aswi (saya bukan pendukung Aswi) berdasarkan kriteria-kriteria tertentu dan dipilih oleh pemerintah, seperti pernah berjasa kepada negara, dan bukan sekadar hanya untuk memenuhi kuota pahlawan nasional dari etnis tertentu, dan tidak perlu kalimatnya diputar balik. John Lie yang kebetulan dari etnis Tionghoa dicalonkan sebagai pahlawan nasional karena dianggap telah berjasa bagi negara , dan sekaligus juga dapat mewakili komunitasnya dan ini juga baru bentuk usulan dan harap tidak perlu difensif dahulu. Pernyataan Bung ABH ini sebenarnya dapat merupakan suatu bentuk penghinaan bagi intelektual Bung sendiri, karena pemerintah sesuai dengan prosedurnya hampir setiap tahun melakukan seleksi berdasarkan permintaan dan usulan masyarakat dari daerah masing- masing untuk mengangkat para tokohnya menjadi pahlawan nasional, walaupun prosedurnya masih belum sempurna. Maka tidak heran kalau setiap daerah selalu berlomba-lomba mempromosikan putra daerahnya menjadi Pahlawan Nasional, dan ini dilaksanakan sejak tahun 1959. Sumatra Barat mengusulkan seorang pejuang dari etnis Minang yaitu Bagindo Azis Chan, Jawa Barat mengusulkan seorang dari etnis Sunda yaitu Mohammad Toha, Riau mengusulkan 4 orang dari etnis Melayu dan salah satunya Raja Ali Haji, Jawa Timur mengusulkan Bung Tomo dari etnis Jawa, demikian juga tokoh-tokoh dari etnis Bugis/Makassar dicalonkan dari Sulawesi Selatan, dll. Adalah hal yang wajar dan sah-sah saja kalau setiap daerah mengusulkan dari kelompok etnisnya sendiri sebagai calon pahlawan nasional, dan ini adalah sebuah realitas politik yang berlaku, serta belum pernah ada pernyataan sebelumnya yang menyatakan bahwa ini adalah suatu bentuk penghinaan yang besar atas jasa-jasanya dalam mencalonkan dari etnisnya sendiri. Pemerintah melakukan ini dalam rangka memasukkan semua komponen bangsa dalam perjuangan nasional, sehingga tidak ada komunitas atau golongan yang merasa disingkirkan atau dipinggirkan, dan memang disini ada unsur politisnya, tetapi unsur politis yang positif, yaitu salah satunya untuk meningkatkan solidaritas nasional atau menguatkan sense of nation dan sense of belonging. Apakah karena John Lie (asal Minahasa) yang berasal dari etnis Tionghoa dan dianggap tidak punya daerah asal , maka tidak boleh disebutkan mewakili kelompok etnisnya sendiri ? Salam G.H.
[budaya_tionghua] Fwd: In search of Indonesia's Chinese national heroes
The Jakarta Post.com Friday, November 09, 2007 Asvi Warman Adam, Jakarta Indonesia's first official appointment of national heroes was made in 1959 and to date 137 individuals have been nominated for the title. For more than 30 years during the New Order regime, ethnic Chinese were not mentioned in Indonesian history books. Any Chinese-related festivities or cultural performances were prohibited. It was only after political reforms that conditions changed. Chinese New Year is now a public holiday. Significant improvements have been made to the laws regulating citizenship and civil administration, however, less progress has been made on the country's official history. Students have never been told of the centuries of major contributions to science and technology made by ethnic Chinese in Indonesia. According to Indonesia's collective memory, no single ethnic Chinese ever fought in the revolution, but this is incorrect. One of the figures who served this republic was Chinese -- Major John Lie. Major Lie was first stationed in Cilacap as a captain in the Allied Forces. Over several months he was responsible for clearing the port of mines planted by the Japanese. He was then sent to safeguard ships carrying Indonesian commodities abroad. These goods were sold to replenish the state treasury, which lacked funds at the time. In 1947 he guarded a shipment of 800 tons of rubber being delivered to an Indonesian representative in Singapore, Utoyo Ramelan. He then took part in at least 15 missions, penetrating the Dutch blockade. Rubber and other crops were shipped to Singapore to be traded for weapons. These weapons were then delivered to state officials in Sumatra, including the regent of Riau, in the war against the Dutch military. The major and his men faced tough challenges as they not only had to avoid Dutch patrols, but also the Indian Ocean waves, which were relatively large for a ship of that size. In early 1950, while in Bangkok, Major Lie was summoned to Surabaya by the Navy chief of staff, Subiyakto, to serve as commander of the warship Rajawali. During his next term of service he joined military operations to wipe out the South Maluku Rebel group (in Maluku) and The Revolutionary Government of Indonesia/Permesta. John Lie continued serving Indonesia until he retired as rear admiral. He deserves the title of "national hero". Why is it necessary to have a Chinese hero? A list of national heroes is an album of a nation's struggles. Ethnic groups and regions are represented in this album. It is regrettable however that to date no ethnic Chinese are represented in it. Some individuals received orders of merit, for example the Bintang Mahaputra (civilian order of merit). Seven-time All-England badminton champion, Rudy Hartono, is an example, however, the title ranks lower than that of a national hero. An ethnic Chinese addition to the national hero list would show that Chinese, alongside peoples of other ethnic groups, fought for Indonesian independence and defended it. Biographies of national heroes are taught at schools all over Indonesia. With the nomination of ethnic Chinese national heroes, their stories and life would enter the collective memory, particularly among the younger generation. In other words the Chinese will be positively represented. Why is there no Chinese hero? During the New Order, everything that showed any trace of being Chinese was forbidden. It would have been nearly impossible to nominate a Chinese hero at that time. Now after the reforms, Chinese people themselves may not yet realize the significance of having someone from their own community as a national hero. Apart from this, people have no idea how to propose a national hero candidate. Nomination of an individual starts at the lowest level, i.e. at a municipal/regional level, up to the provincial level before his or her name is forwarded to the Social Services Ministry to be finally taken to the president. There are different opinions as to who should be nominated. A Chinese community figure, Eddy Sadeli, proposed Ni Hoe Kong, a Chinese captain living in Batavia in 1740. I have no objection to any nominees as long as we acknowledge at least one Chinese national hero. The government has gradually eased up on the New Order's anti-China attitude, but has not wanted to take the initiative very far. Soeharto once named a few people national heroes under extraordinary procedures, when in 1993 at the 30th anniversary of the return of West Irian, a number of Irian figures were named national heroes. When Tien Soeharto died in 1996, a minister suggested that the first lady be named a national hero, and in response to this, President Soeharto immediately issued a presidential decree. If there was an impression national heroes were those whose lives were spent in the political arena or involved in armed struggles, the government managed to
[budaya_tionghua] Re: 70 Tahun Tragedi Nanking
--- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, "Sunny" <[EMAIL PROTECTED]> wrote: > > http://www.suarapembaruan.com/News/2007/11/07/index.html > > SUARA PEMBARUAN DAILY > 70 Tahun Tragedi Nanking > Josef Purnama Widyatmadja > >Tahun 2007 adalah peringatan tujuh puluh tahun jatuhnya Kota Nanking >(Nanjing) ke tangan tentara Jepang. Peringatan kali ini istimewa >karena di beberapa kota besar di dunia akan diluncurkan sebuah film >berjudul "Nanking: Even in the Darkness of Times, There is Light" >produksi A Ted Leonsis dan disutradarai Bill Guttentag dan Dan >Sturman. Film tersebut dibuat berdasarkan buku karya Irish Chang >berjudul The Rape of Nanking: The Forgotten Holocaust of World War >II (1997). > .. >Pada 9 November 2007 tiga tahun kematian Irish Chang. Ia ditemukan >mati di mobilnya di Santa Clara dalam keadaan kepala tertembak. >Dalam usia 36 tahun (lahir 1968) ia meninggalkan seorang suami dan >seorang anak lelaki berusia dua tahun. Belum jelas apakah dia mati >karena bunuh diri atau korban konspirasi pembunuhan sehubungan >dengan penelitian dan penerbitan bukunya. > >Buku Chang menjadi best seller dan membuka mata pembacanya adanya >holocaust di Asia selama Perang Dunia II. Sebelumnya, orang hanya >mengenal satu holocaust di Auswitch, kisah pembantaian orang Yahudi >oleh Nazi Jerman. > >Banyaknya korban selama invasi Jepang ke Nanking dilukiskan oleh >Chang sebagai pembantaian manusia yang tidak ada duanya dalam >sejarah dunia. Bukan hanya dalam angka, tapi juga dalam hal derajat >cara yang dipakai untuk pembunuhan. >. >Chang memperkirakan korban sekitar 350.000 orang, hampir mendekati >jumlah yang diklaim oleh pemerintah Tiongkok dan Koumintang. >Sedangkan pihak Jepang sampai saat ini tidak saja memperkecil jumlah >korban (sekitar 40.000), bahkan cenderung menyangkal bahwa >pembantaian itu terjadi. >. >Chang tidak saja mengkritik Kaisar Hirohito yang puas dan menyambut >jatuhnya Nanking oleh tentara Jepang tanpa mempedulikan korban. >Tapi, Chang juga mengecam baik pemerintah Tiongkok yang tidak pernah >serius meminta pemerintah Jepang untuk meminta maaf dan memberikan >ganti rugi kepada korban. Lebih lanjut Chang menganggap penyangkalan >fakta pembantaian oleh pihak Jepang sebagai "pembantaian korban >kedua." >. Berbeda dengan pemerintah Jerman, pemerintah Jepang tidak pernah secara formal menyatakan permintaan maaf dan mengakui atas kekejaman yang dilakukan di Nanjing pada tahun 1937. Buku pelajaran sejarahnya (textbook) juga berusaha untuk menutupi kekejaman atau memperkecil arti kejahatan perang tentaranya yang dilakukan pada perang dunia ke 2 pada umumnya dan pembantaian Nanjing khususnya. Orang yang bertanggung jawab atas pembantaian Nanjing itu adalah Jenderal Iwane Matsui dan terutama Pangeran Asaka Yasuhiko, paman dari kaisar Jepang Hirohito sebagai komandan dan wakil komandan pasukan Jepang ketika merebut Nanjing pada bulan Desember 1937. Pangeran Asaka adalah orang yang bertangung jawab mengeluarkan perintah langsung untuk membunuh semua tawanan di Nanjing. Sesudah Jepang dikalahkan, Jenderal Matsui dihukum gantung atas kejahatan perangnya, tetapi Pangeran Asaka diberikan amnesti oleh Jenderal Mac Arthur, pimpinan tentara Sekutu di Jepang, dan hal ini dilakukan mungkin karena Amerika ingin mengambil hati Jepang yang dibutuhkan sebagai sekutu barunya dalam era perang dingin yang baru dimulai, atau kalau sekiranya yang menjadi korban adalah warga Amerika sendiri, mungkin Pangeran Asaka yang meninggal pada tahun 1981 akan diperlakukan seperti Jenderal Matsui juga (digantung). Tetapi orang yang paling bertanggung jawab atas pembantaian tersebut adalah Hirohito sendiri, dialah yang mengeluarkan perintah untuk tidak mengakui status tawanan orang Tiongkok sebagai status tawanan perang yang dilindungi oleh hukum internasional, sehingga dapat diperlakukan sesukanya. (On 5 August 1937, Hirohito personally ratified his army's proposition to remove the constraints of international law on the treatment of Chinese prisoners. This directive also advised staff officers to stop using the term "prisoner of war". Wikipedia). Dan Hirohito juga dilindungi oleh Amerika, sehingga bebas dari semua tuduhan sebagai penjahat perang. Pembunuhan massal terhadap warga sipil oleh tentara Jepang pada waktu perang dunia ke 2 bukan hanya terjadi Tiongkok saja, tetapi dilakukan juga di Indonesia seperti salah satunya di Mandor, Kalimantan Barat, hanya dalam skala yang lebih kecil dibandingkan dengan yang terjadi di Nanjing pada tahun 1937. Salam G.H. http://www.leechvideo.com/key/na
[budaya_tionghua] Re: Budaya tersinggung, OOT
--- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, PK Lim <[EMAIL PROTECTED]> wrote: > >Salah satu faktor kekalahan Indonesia dalam bersaing dibidang >industri dengan negara2 berkembang lainnya ialah peraturan >perburuhan yang dibuat oleh Yacob Nua Wea dizaman pemerintahan >Megawati. >Peraturan itu ibarat membunuh angsa bertelur emas. >Sampai saat ini, para "wakil pekerja" tidak sadar, atau dikarenakan >kepentingan tertentu, bersikekeh mempertahankan peraturan yang tidak >bersahabat dengan investor. >Akibatnya sudah terasa dengan ditutupnya beberapa pabrik. > > salam, > PK Lim Demo memprotes kedutaan Jepang karena penutupan pabriknya di Indonesia sudah tentu tidak berhasil dan sepertinya salah alamat ("bark up the wrong trees"), karena permasalahan yang lebih substansial belum terpecahkan, seperti yang sering dikeluhkan para penanam modal asing maupun lokal yaitu masalah peraturan ketenaga kerjaan yang dianggap tidak pro bisnis, high cost economy, peraturan yang tidak konsisten dan pembangunan infrastruktur yang lambat dll. Peraturan ketenaga kerjaan yang dibuat oleh Jacob Nuwa Wea dibawah pemerintahan Megawati membuat para penanam modal (asing dan lokal) untuk mempertimbangkan dan memikirkan kembali masak-masak sebelum berani mendirikan pabriknya di Indonesia, karena peraturan ketenaga kerjaan yang berlaku sekarang bukanlah sebuah insentif yang menarik bagi para investor untuk mendirikan sebuah pabrik dengan memiliki banyak pekerja atau buruh. Peraturan ketenaga kerjaan yang melindungi hak kaum pekerja adalah kebijaksanaan yang benar dan absolut, tenaga kerja Indonesia berhak untuk mendapatkan jaminan kesejahteraan, keamanan tempat berkerja, upah minimum, perlindungan kesehatan dll, tetapi peraturan ketenaga kerjaan yang dibuat pada periode pemerintah Megawati ini dianggap bukanlah sebuah pendekatan "win-win solution" yang memperhatikan kepentingan kedua belah pihak antara pekerja dan pengusaha. Para investor dan pengusaha mengeluhkan bahwa peraturan ketenaga kerjaan ini kurang memperhatikan kepentingannya, dan dianggap berat sebelah, terutama bagi mereka yang memiliki banyak pekerja dan karyawannya yang akan menghadapi banyak masalah nantinya. Kebijaksanaan ketenaga kerjaan yang populis ini memang popular dikalangan kaum pekerja dan buruh, dan dapat dianggap berhasil mengangkat citra pemerintahan Megawati yang pro "wong cilik" seperti yang diharapkan sebagai salah satu kepentingannya, tetapi kebijaksanaan ini sekaligus juga dianggap kontra produktif dan "deterrent" atau bahkan "self destructive" bagi kebijaksanaan yang ingin mengundang investor (asing dan lokal) untuk menanamkan modalnya di sektor riil (seperti pabrik), yang diharapkan dapat menciptakan lapangan kerja baru bagi angkatan kerja yang bertambah jumlahnya setiap tahun. Sebagai salah satu alasannya yang dipakai, maka tak jarang beberapa perusahaan nakal dan tidak bertanggung jawab yang menutup pabriknya, tidak membayar upah pesangon kepada buruhnya yang menjadi kewajibannya, seperti halnya beberapa perusahan milik Korea yang kabur tanpa memberikan upah ke pekerjanya, seperti yang pernah dilaporkan oleh media massa sebelumnya. (http://www.majalahtrust.com/ekonomi/sektor_riil/1033.php) Untuk merevisi peraturan ketenaga kerjaan yang telah dikeluarkan oleh Jacob N.W. rasanya tidak mudah lagi tanpa timbulnya perlawanan dan protes dari golongan pekerja dan buruh atau kepentingan tertentu. Jadi harapan untuk memperbaiki iklim investasi melalui peraturan ketenaga kerjaan di sektor riil, sementara masih terbatas dalam bentuk wacana dahulu. Selain itu semoga juga tidak ada lagi perusahaan yang akan menutup pabriknya lagi yang akan menambah deretan angka pengangguran lebih lanjut. Salam G.H.
[budaya_tionghua] Re: dear all member
--- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, "Purnama Sucipto Gunawan" <[EMAIL PROTECTED]> wrote: > >Saya membutuhkan informasi mengenai biografi Bpk Haji Karim oei >sejarah yayasannya. >sejarah Mesjid jami yang ada di jalam hayam wuruk. >menurut kabar mesjid ini adalah yang tertua di Jakarta ini didirikan >oleh suku tionghoa sendiri. >. > Terima kasih atas bantuanya > Purnama --- Mengenai H. Abdul Karim (Oey Tjeng Hien), telah ditulis dalam sebuah buku auto biografinya (255 hal) berjudul "Mengabdi Agama, Nusa Dan Bangsa" yang diterbitkan pada tahun 1982 (cetakan pertama) oleh PT Inti Idayu Press, Gunung Agung. Mungkin buku ini sudah tidak dicetak kembali, tetapi dapat ditanyakan pada toko buku Wali Songo, Kwitang-Jakarta pusat. Mengenai sejarah Mesjid Jami di Kebon Jeruk yang didirikan pada tahun 1786 oleh seorang Muslim Tionghoa bernama Tschoa yang juga disebut disebut Kapitan Tamien Dossol, kepala dari Muslim Tionghoa antara tahun 1780-1797, dapat dilihat dalam sebuah buku yang berjudul "Mesjid-mesjid tua di Jakarta", karangan A. Heuken SJ. Buku ini merupakan salah satu dari seri 3 buku yang berjudul Gedung- gedung ibadat yang tua di Jakarta (Mesjid, Kelenteng dan Gereja)yang diterbitkan pada tahun 2003 oleh Yayasan Cipta Loka Caraka, Jakarta dan masih dapat dijumpai pada beberapa toko buku Gramedia. Semoga informasi ini dapat membantu. Salam G.H.
[budaya_tionghua] Re: Budaya tersinggung, OOT
--- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, liang u <[EMAIL PROTECTED]> wrote: > > Rekan-rekan, >... >Belum lama Lee Kuan Yew mengkritik kelambanan DPR menangani SEZ (Special Economic Zones) di Batam dan Bintan. >Para anggota DPR tersinggung mereka mengkritik Singapura habis- >habisan, what next? >SEZ yang dimulai di RRT, sekarang mau dicontoh di berbagai negera >termasuk India, Russia dan Indonesia, telah berhasil berubah >Shenzhen kampung yang sepi, gersang dan miskin, menjadi salah satu >kota modern di dunia. Mengapa Indonesia takut mencontohnya? >... >Jangan hanya berpolitik, agar terpilih lagi dalam pemilu yad. >.. >Salam >Liang U --- Disebabkan beberapa alasan tertentu maka rencana pembangunan SEZ (Special Economic Zones) di Batam dan Bintan bersama Singapura memanglah tidak berjalan seperti yang diharapkan semula dan mengalami keterlambatan. Di Tiongkok, pemerintah Singapura lebih berhasil berkerjasama dengan pemerintah setempat membangun sebuah kawasan industri seperti salah satunya Suzhou Industrial Park yang telah berjalan selama 12 tahun dan memperkerjakan sekitar 400,000 buruh serta membawa pemasukkan pajak sekitar 45 milliar yuan ke pemerintah setempat. (http://www.chinadaily.com.cn/bizchina/2007- 10/30/content_6215940.htm). Suzhou Industrial Park ini pada awalnya juga ada masalah antara kedua belah pihak, tetapi hal ini dapat diatasi dan berkembang lebih lanjut hingga sekarang, bahkan dijadikan salah satu model kerja sama antara pemerintah Singapura dan Tiongkok. Keterlambatan membangun SEZ di Batam dan Bintan berarti juga keterlambatan menciptakan lapangan kerja baru di sektor industri. Kondisi ini diperburuk lagi dengan berita adanya beberapa pabrik yang menutup usahanya di Indonesia pada minggu lalu, seperti penutupan dua pabrik milik Panasonic ( PT. Panasonic Electronic Device Indonesia dan PT. Matsushita Toshiba Picture Display) dan sebuah pabrik gelas (PT. Nippon Glass). Ribuan karyawan ketiga pabrik tersebut terpaksa dirumahkan atau kehilangan lapangan pekerjaan. Karyawan ketiga pabrik itu mengadakan unjuk rasa didepan kedutaan Jepang memprotes penutupan pabrik, dan sepertinya tuntutan karyawan dan penutupan pabrik tersebut tidaklah mendapat respons yang cukup memadai dari pihak pemerintah maupun dari DPR, karena pemerintah dan DPR juga mengetahui tidak dapat berbuat banyak atau dapat menghalangi penutupan ketiga pabrik itu. Diduga bahwa Panasonic memindahkan kegiatan bisnisnya ke Vietnam, karena mereka telah membangun pusat penelitan dan pengembangannya (R & D Research Centre) di Hanoi serta meluaskan usahanya disana. Mengambil model dari Tiongkok, Vietnam sekarang memiliki sejumlah 150 kawasan industri (Industrial and export-processing zones ) yang tersebar di 49 kota, dimana 90 diantaranya sudah beroperasi, sedangkan lainnya masih dalam taraf konstruksi. Industrial and export-processing zones ini telah menarik sekitar 2,500 perusahan asing dengan total investasi 24 milliar dollar, selain 2700 perusahan lokal yang menanamkan modalnya sekitar 135 trilliun Dong di kawasan-kawasan industri ini. (http://www.vneconomy.com.vn/eng/? param=article&catid=17&id=901420c3d0fcbd). Pertumbuhan perekonomian Vietnam bersama India adalah yang tertinggi sesudah Tiongkok di kawasan Asia. Menurut survey yang dilakukan oleh United Nations Conference on Trade and Development, Vietnam sekarang menduduki peringkat ke 6 dunia sebagai tujuan penanaman modal asing (foreign direct investment) sesudah Tiongkok, India, Amerika, Russia dan Brasilia.. http://www.vneconomy.com.vn/eng/? param=article&catid=07&id=c94382e71db464 Dan kedepan Vietnam memproyeksikan dirinya akan menjadi suatu negara indusri baru pada tahun 2020. Daya tarik Vietnam sebagai target investor asing adalah upah buruhnya yang relatif masih murah (malah lebih rendah dari Tiongkok), disiplin dan produktivitasnya tinggi. Bagi Taiwan (investor yang terbesar), Jepang dan Korea kedekatan budaya dan agama mereka dengan Vietnam disebutkan sebagai salah satu potensinya juga.( http://english.vietnamnet.vn/biz/2007/10/752046/). Investor dari Indonesia juga sudah mulai berinvestasi ke Vietnam seperti salah satunya ialah Ciputra Group yang membangun suatu kawasan kota baru di Hanoi yaitu "Ciputra Hanoi International City" Salah satu keberhasilan dan motor pertumbuhan perekonomian yang tinggi di Tiongkok yangdiikuti oleh Vietnam, bukan saja terletak pada upah buruhnya yang murah dan banyak jumlahnya (karena negara lain juga banyak yang murah dengan jumlah yang besar) tetapi sistim pemerintahannya yang lebih terpusat dan tidak terseret dalam arus perdebatan politik berkepanjangan antara kepentingan kelompok elit, seperti yang ditulis oleh Melissa Chan dalam "Aljazeera" (The driv
[budaya_tionghua] Fwd: Israel gets 'Chinese' admiral
The Israel Navy's new commander is of Chinese descent, a first for the military top brass in the Jewish state. Admiral Eli Marom -- nicknamed "Chiney" -- took over as navy chief this month after his predecessor, David Ben-Bassat, quit amid criticism of his conduct during the Lebanon war. Marom's mother was a member of the Chinese Jewish community, born to a local man and a Russian emigre woman. She married Marom's father after he fled his native Germany for China during World War Two. In 1955, the couple moved to Israel, where Marom was born. Marom's asiatic appearance may have helped him advance in the Israel Navy. "The fact that Chiney looked different forced him constantly to show that he was better. He became one of the very best very quickly," one former comrade told the weekend Yediot Acharonot, which ran a profile of the new admiral. Marom, 52, trained as an engineer and ascended through the ranks, overseeing major naval operations such as the 2002 capture of an Iranian-supplied weapons ship en route to Gaza. http://www.jta.org/cgi-bin/iowa/breaking/104918.html http://www.israelated.com/node/26732 http://dover.idf.il/NR/rdonlyres/B5CEA6AE-47FD-47D9-9162- 49C4C4FAD8E0/0/dotzsmall_cropped_big.jpg --- Eli Marom yang keturunan dari keluarga Jahudi yang pernah tinggal di Tiongkok sebelum diangkat sebagai Panglima Angkatan Laut Israel ini adalah seorang atase militer Israel di Singapura. Orang tua dan kakek PM Israel Ehud Olmert diketahui juga berasal dari keluarga imigran Jahudi yang pernah tinggal dan hidup di Harbin, Heilongjiang. G.H.
[budaya_tionghua] Re: KEMAJUAN CHINA, bagaimana dengan Indonesia ?
--- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, PK Lim <[EMAIL PROTECTED]> wrote: > > >sebetulnya Indonesia sudah membangun ekonominya jauh sebelum negara2 >lain. Pada masa RRT masih di sibukkan dengan revolusi kebudayaan di >tahun 70an, Indonesia sudah membangun pabrik asembling mobil. >.. >Coba dibandingkan laju investasi di Vietnam, India dsb, tidak usah >dibandingkan dengan BRIC, Indonesia sudah lama dinilai tidak lagi >menarik sebagai tujuan investasi. >Jadi perbandingannya saya rasa cukup nyata dan mencemaskan. > salam, > PK Lim -- Vietnam memang akhir-akhir ini mengalami kemajuan yang pesat, pertumbuhan ekonominya sekitar 8% per tahun. Di Ho Chi Minh City (dahulu dinamakan Saigon) orang dapat merasakan denyut pembangunannya seperti pembangunan infrastruktur, kawasan industri dan perumahan baru yang sedang dalam konstruksi. Pada saat kini memang sepeda motor mendominasi jalan-jalan di kota Ho Chi Minh ini, bahkan mungkin labih banyak daripada di Jakarta, hanya kendaraan mobilnya memang kalah banyak jumlahnya dibandingkan dengan Jakarta. Tetapi diprediksikan keadaan ini akan berubah di masa depannya, maka itu Kota Ho Chi Minh sekarang sedang menyiapkan diri untuk meng- antisipasi kedepannya seperti sistim transportasi umum Monorail dan Metro yang direncanakan serta pengembangan kawasan kota baru. Airport Internasional Tan Son Nhat yang saat kini sudah diluaskan dan sangat modern arsitekturnya, bahkan direncanakan akan diganti dengan airport yang lebih baru dan besar lagi. Dapat disebutkan bahwa konsep pembangunan di Vietnam hampir mengikuti konsep dan strategi pembangunan di Tiongkok, mereka mempelajari pengalaman pembangunan di Tiongkok selama ini, mengambil segi positifnya, dan menyesuaikan dengan kondisi konkrit negaranya. Pada tahun 1986, pemerintah Vietnam (Socialist Republic of Vietnam) mereformasi perekonomiannya yang dikenal dengan nama "Doi Moi" (era baru), yaitu dengan menerapkan sistim perekonomian pasar bebas (free market economy) sehingga sektor swasta dapat berkembang. Sejak itu banyak investor luar negeri menanamkan modalnya disana seperti Jepang, Korea, Tiongkok, Taiwan, Amerika, Singapura dan Malaysia (seperti Berjaya Group) dll. Selain itu jaga banyak orang Vietnam perantauan (overseas Vietnamese dan Tionghoa Vietnam) yang disebut Vietkhieu membawa uang dan menanamkannya ke Vietnam kembali. Kemiripan dengan situasinya di Tiongkok selain menganut pasar bebas adalah pengaruh dominasi Partai tunggal yaitu partai komunisnya di kedua negara tersebut. Walaupun sistim pemerintahannya dianggap tidak demokratis atau kebebasan terbatas untuk ukuran negara Barat atau negara lainnya, tetapi suka atau tidak suka model ini ternyata efektif dalam proses pembangunan pada saat sekarang. Pemerintahnya dan sebagian besar dari mereka menganggap bahwa sistim demokrasi dalam pengertian demokrasi liberal barat yang dianggap sebagai salah satu syarat pembangunan perekonomian suatu negara, masih terlalu mewah atau luksus untuk kondisi seperti sekarang, sekurang kurangnya bagi mayoritas rakyat dan negaranya yang masih tertinggal dan baru reunifikasi di tahun 1975. Ironisnya, dengan pemusatan kekuasan seperti ini, maka pemerintahnya dapat mengambil keputusan relatif lebih singkat tanpa menunggu persetujuan atau khawatir dihadang parlemen. Hal yang hampir serupa dengan yang terjadi di Singapura (karena hampir tidak ada partai oposisi yang berarti) atau bahkan pemerintah Orba. Mungkin dapat dibandingkan perkembangan antara negara Singapura yang dianggap kurang demokratis dengan Filipina yang telah lama mengecap iklim demokrasi barat. Pada saat kini yang diutamakan oleh Vietnam adalah kebutuhan pokok rakyatnya dahulu terpenuhi dan bebas dari keterbelakangan dan kemiskinan, sekarang bahkan Vietnam telah dapat mengekspor beras. Selain bendera nasional Vietnam yang berdampingan dengan bendera palu arit dari Partai Komunis Vietnam yang berkibar pada gedung-gedung tertentu, orang tidak merasakan berbeda hidupnya dibandingkan dengan kota-kota kapitalis lainnya seperti di Jakarta, Singapura atau Bangkok dll dan tentu tidak sama dengan di Burma yang represif pemerintahnya. Korupsi juga ada di Vietnam, tetapi skalanya masih terbatas dan kalau ketahuan akan mendapatkan hukuman lumayan yang tidak ringan. Mereka sadar bahwa kalau korupsi tidak dapat dikontrol atau diberantas, maka legitimasi partainya akan terkikis. Sekarang tugas generasi muda yang lebih berpendidikan dan profesional yang akan membangun perekonomian negaranya menggantikan tugas generasi tuanya yang telah berjasa membebaskan dan menyatukan Vietnam, tetapi tidak cukup pendidikannya untuk mengelola perekonomian suatu negara modern. Dengan konsep pembangunan seperti sekarang serta rakyatnya yang mau berkeja keras dan
Re: Fwd: [budaya_tionghua] KRT Secodiningrat alias Tan Jin Sing
--- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, PK Lim <[EMAIL PROTECTED]> wrote: > >Pak Thomas, > >Saya kirim ulang email saya yang terdahulu. Ada buku terbitan >Gramedia mengenai riwayat hidup beliau. >Salam, >PK Lim >... >Kabarnya di Yogya ada jalan yang dinamakan Secodiningrat. Meninggal >pada tahun 1831. Keturunannya membentuk Paguyuban Keturunan >Secodiningrat dan beranggota lebih dari 200. >. >Mungkin ada yang dapat menambahkan serita ini? >Salam, >P.K. Lim Buku mengenai Tan Jin Sing pernah diterbitkan oleh Penerbit PT Pustaka Utama Grafiti pada tahun 1990 (cetakan pertama) dengan judul "Tan Jin Sing Dari Kapiten Cina sampai Bupati Yogyakarta". Ditulis oleh T.S. Werdoyo yang disebutkan sebagai salah satu keturunannya. Tan yang telah berkenalan dengan Raffles ketika itu, juga ikut berperan bersamanya dalam menemukan dan merestorasi kembali candi Borobudur yang telah lama terbengkalai dan dilupakan orang serta ditutupi oleh semak belukar. Tan membuat peta lokasi dan laporan tentang keadaan candi Borobudur yang akan digunakan oleh Raffles dan tim ahli purbakala lainnya dalam kunjungannya pada tahun 1814. Dalam rangka kunjungan Raffles dan tim ahli purbakalanya ke Borobudur itu, Tan membangun jalan selebar 5 meter dari desa Bumisegoro menuju candi Borobudur. Karena Tan juga dapat berbahasa Inggris dan Jawa-Sanskrit, maka Raffles juga pernah memintanya untuk menjadi penerjemah naskah-naskah yang dikumpulkannya dalam penyusunan buku sejarah Jawa "History of Java", sekiranya dibutuhkan Dan mengenai sebuah nama jalan di Yogya memang dahulu pernah dinamakan Secodiningrat, tetapi kini sudah diganti dengan nama jalan P. Senopati. Salam G.H.
[budaya_tionghua] Turut belasungkawa
Turut belasungkawa atas meninggalnya Ibu mertua Bp. King Hian, sebagai salah satu moderator yang telah banyak memberikan waktunya demi kemajuan milis Budaya Tionghoa ini. Salam G.H.
[budaya_tionghua] Kongres PKT ke-17 dan Pemberantasan Korupsi
Seperti halnya dengan presiden SBY yang berjanji akan memberantas korupsi dengan tegas, demikian juga dengan Presiden Hu JinTao akan melakukan hal yang sama seperti yang dinyatakannya dalam Kongres Nasional Ke-17 PKT (Partai Komunis Tiongkok) sekarang. Kongres Nasional Ke-17 PKT yang diselenggarakan setiap 5 tahun sekali dan sedang berlangsung di Beijing sekarang, menyatakan bahwa masalah korupsi di Tiongkok sekarang sudah dalam tahap cukup serius yang dapat berpotensi membahayakan stabilitas sosial, politik, ekonomi dan dasar legitimasi partai. Tahun 2006 lalu sekitar 97,000 pejabat negara dikenakan tindakan disiplin karena dugaan kasus korupsi dan bulan Juni tahun 2007 ini saja ada sekitar 1800 pejabat yang mengaku terlibat. (http://news.bbc.co.uk/2/hi/asia-pacific/7039383.stm). Menurut laporan Carnagie Endowmnet for International Peace, negara dirugikan sekitar 86 milliard dollar karena kasus korupsi (http://news.bbc.co.uk/2/hi/business/7046606.stm) dan diantara pejabat tinggi yang terlibat dalam kasus korupsi ini antara lain adalah Direktur Badan Pengawas Obat dan Pangan Zheng Xiaoyu, sekretaris parta kota Shanghai Chen Liangyu, dan mantan Direktur Utama Sinopec (Pertamina-nya Tiongkok) Chen Tonghai yang juga ditangkap karena dugaan korupsi (http://news.bbc.co.uk/2/hi/business/7046606.stm) dll. Masalah lainnya yang dianggap dapat mengancam stabilitas sosial, politik dan ekonomi Tiongkok adalah besarnya jurang perbedaan antara yang kaya dengan yang miskin dan antara penduduk kota dengan desa seperti yang terjadi pada saat kini. Hu berjanji akan berusaha mengurangi jurang sosial ini yang sekiranya tak dapat diatasi akan berpotensi menimbulkan gejolak sosial dimasa depannya. Masalah lingkungan hidup juga mendapat perhatian yang besar dalam Kongres tersebut. Pemerintah berjanji akan menambah anggarannya dan akan mengambil langkah, peraturan dan kebijaksanaan yang tegas untuk mencegah degradasi lingkungan lebih lanjut. Hu mengakui dalam laporannya bahwa sejak dimulainya proses modernisasi pada akhir tahun 1970-an, Tiongkok telah mengalami pertumbuhan ekonomi yang pesat, tetapi pertumbuhan ini juga membawa dampak negatif lainnya seperti degradasi lingkungan hidup dan kesenjangan sosial. Kedepannya Hu menyusun sebuah strategi pembangunan yang dalam "Road Map"-nya disebut dengan istilah "Pembangunan Ilmiah" (scientific development), istilah yang hampir identik dengan istilah "Sustainable Development" (pembangunan berkelanjutan). Jadi tidak lagi mengikuti model pembangunan "all out", tanpa memperhatikan dampak terhadap lingkungan dan sosial dalam mengejar pertumbuhan ekonomi semata-mata. Pembangunan infrastruktur sosial seperti kesehatan masyarakat dan pendidikan juga akan menjadi salah satu bagian dari "pembangunan ilmiah" yang akan diprioritaskan. Salah satu agenda yang penting dalam Kongres Nasional Ke-17 PKT ini adalah membahas srtategi pembangunan ekonomi kedepannya. Pada tahun 2020, GDP Tiongkok diproyeksikan akan berjumlah empat kali lipat dibandingkan dengan GDP tahun 2000. Di bidang politik Hu juga menjanjikan akan mereformasi sistim politiknya secara gradual, seperti demokrasi dalam tubuh internal partai seiring dengan perkembangan ekonomi dan sosial di Tiongkok, dan sudah tentu bukan demokrasi liberal dalam pengertian sistim politik Barat dan di bidang politik luar negeri Tiongkok akan tetap berpedoman menempuh jalan perkembangan damai seperti yang dilakukan selama ini. Karena pengaruh dan peran Tiongkok dalam percaturan politik dan perekonomian dunia pada saat kini dan dimasa depannya, maka kongres ini menjadi salah satu pusat perhatian negara-negara didunia lainnya yang mengikutinya dengan saksama. Salah satu yang menjadi perhatian adalah calon-calon atau kandidat pemimpin Tiongkok generasi ke-5 yang akan menggantikan Hu Jin Tao yang akan habis masa jabatannya pada tahun 2012 mendatang atau lima tahun ke depan. Pada kongres ini ada dua nama yang dimunculkan sebagai kandidat yang berpotensi yaitu Xi Jinping (54 tahun), sekretaris partai kota Shanghai dan Li Keqiang (52 tahun), sekretaris partai dari propinsi Liaoning. Keduanya dianggap sebagai orangnya Hu Jin Tao yang diharapkan akan melanjutkan estafet kepemimpinannya nanti, dan biasanya mereka akan diangkat menjadi anggauta komite tetap politbiro (the politburo standing committee) terlebih dahu sebelum memegang tanggung jawab kenegaraan yang lebih tinggi. G.H.
[budaya_tionghua] Fwd: Papa renews call to hire China maids
Keinginan Presiden Persatuan Agensi Pembantu Rumah Asing Malaysia (Papa), Datuk Raja Zulkepley Dahalan untuk mendatangkan TKW dari Tiongkok belum lama berselang ini telah menimbulkan kehebohan dikalangan ibu rumah tangga dari golongan etnis Tionghoa di Malaysia, seperti yang disuarakan oleh Wanita MCA, sebuah organisasi wanita dari partai MCA (Malaysian Chinese Association). Wanita MCA memprotesnya dengan usulan ini, karena TKW asal Tiongkok yang disebut sebagai "Little Dragon" (Naga Kecil) mempunyai reputasi atau dituduh sering merebut suami orang atau suaminya! Saran untuk mendatangkan TKW dari Tiongkok ini, selain dari India, Nepal, Laos dan Vietnam muncul kembali ketika hubungan antara Malaysia dengan Indonesia makin memburuk akhir-akhir ini. Sebagai konsekwensi dan reaksi dari ketegangan hubungan antara kedua negara ini, maka pemerintah Malaysia meninjau kembali untuk mendatangkan tenaga kerja baru dari Indonesia lebih lanjut. http://www.economist.com/world/asia/displaystory.cfm?story_id=9961243 Malaysia merencanakan untuk mendatangkan tenaga kerja seperti TKW dari beberapa negara, salah satunya dari Tiongkok yang ditentang oleh para ibu rumah tangga golongan Tionghoa di Malaysia. Seperti diberitakan bahwa saat sekarang ada sekitar 320,000 TKW yang berkerja di Malaysia, 95% darinya berasal dari Indonesia, selebihnya berasal dari Filipina, Thailand, Cambodia, dll. http://www.iht.com/articles/ap/2007/10/10/asia/AS-GEN-Malaysia-Maid- Shortage.php Dan 80% daripada TKW itu berkerja sebagai pembantu rumah tangga itu pada keluarga-keluarga golongan Tionghoa Malaysia. Diperkirakan bahwa Malaysia bukan saja akan mengurangi jumlah tenaga kerja wanita yang berasal dari Indonesia , tetapi kemungkinan juga tenaga kerja lainnya seperti buruh bangunan, infrastruktur dll. Kedekatan budaya dan bahasa antara Indonesia dan Malaysia yang sering disebut juga sebagai "serumpun" (rumpun Melayu), tidaklah selalu menjamin adanya keharmonisan hubungan antara keduanya. Sebenarnya kedua-duanya saling membutuhkan dan dapat mengisi kekurangan-kekurangannya. Malaysia kekurang tenaga kerja, sedangkan Indonesia kekurangan lapangan kerja. Tetapi seperti Shakespeare pernah mengatakan "The near in blood, the nearer bloody". http://www.economist.com/world/asia/displaystory.cfm?story_id=9961243 G.H. - Papa renews call to hire China maids PETALING JAYA: While the Malaysian Association of Foreign Housemaids (Papa) has renewed its call to allow the hiring of maids from China, Wanita MCA has once again said no. Lauding the Government for excluding China as a source for maids, Wanita MCA chief Datuk Dr Ng Yen Yen said it was a wise move that would be good for families here. However, Papa president Datuk Raja Zulkepley Dahalan is insistent that the idea of hiring maids from China has merit considering the constant difficulty in sourcing for maids from Indonesia coupled with the fact that 80% of households hiring maids are Chinese. He said the hiring of maids from China could be done in a controlled manner. "There is an indication that Indonesia may stop sending maids to us. If that happens, what will happen to the Chinese community who rely heavily on maids?" he asked. "It could be done on a trial basis if need be, where just a few good and reputable companies will be allowed to bring in good maids and employers will also be vetted." Dr Ng said the Government's intention to open up the industry to other source countries showed the administration realises families needed help to manage the households. Dr Ng and Raja Zulkepley were commenting on the decision of the Cabinet Committee on Foreign Workers to allow the hiring of maids from India, Nepal, Laos and Vietnam, once memorandums of understanding (MoU) are signed with these countries. When contacted, Home Affairs Minister Datuk Seri Radzi Sheikh Ahmad said there was no timeframe set for when the MoUs had to be signed and that talks had to be initiated with the countries before anything else. While Dr Ng thanked the Government for responding to Wanita MCA's request to exclude China, Raja Zulkepley also thanked the Government for responding to Papa's request to open up more source countries. "We officially protested against any move to bring in maids from China," Dr Ng said. The protest occurred in July after the Government decided that it would look to China for maids, with Wanita MCA saying it had been besieged with complaints from women whose husbands had been "stolen" by little dragon ladies from China. After the uproar, the Government decided to reconsider the idea. http://www.thestar.com.my/news/story.asp? file=/2007/10/12/nation/19140123&sec=nation
[budaya_tionghua] May 13: Declassified Documents on the Malaysian Riots of 1969
Pada bulan Mei 2007 yang lalu sebuah buku yang berjudul "May 13: Declassified Documents on the Malaysian Riots of 1969" tulisan Dr. Kua Kia Soong telah diterbitkan di Malaysia menjelang peringatan 38 tahun peristiwa kerusuhan rasial di Malaysia pada tahun 1969 itu. Buku ini telah menimbulkan kehebohan yang memancing perhatian publik yang cukup besar baik di Malaysia maupun di Singapura, karena didalam buku tersebut Dr. Kua mengungkapkan latar belakang politik dan pelaku utamanya dalam peristiwa rasialis yang memakan korban banyak jiwa tersebut, terutama dari golongan Tionghoa. Bahan-bahan yang menjadi sumber penulisan buku itu bersumber dari dokumen, laporan dan surat-surat yang sudah dikategorikan sebagai bukan rahasia lagi (declassified documents), yang disimpan di Public Records Office di London. Dengan demikian maka umum dapat mengaksesnya. Buku May 13 ini telah membuat partai yang berkuasa UMNO menjadi berang, karena fakta-fakta yang diungkapkan itu menggoyahkan dasar legitimasi kekuasaan UMNO dan versi mengenai peristiwa kerusuhan rasial 1969 yang diungkapkan dalam buku itu juga bertentangan dengan versi resmi pemerintahan. Oleh karenanya maka buku-buku itu disita oleh pemerintah Malaysia (Internal Security Ministry) yang baru saja diluncurkan dan dijual pada beberapa toko buku, tetapi PM. Malaysia Badawi berjanji bahwa buku tersebut tidak akan dilarang. Buku ini menyebutkan bahwa latar belakang peristiwa kerusuhan rasial 13 Mei 1996 itu adalah sebuah bentuk plot atau rekayasa yang digerakkan oleh golongan kapitalis negara yang didukung oleh militer dan polisi, sebagai dalih untuk menggusur PM. Tunku Abdul Rahman yang dianggap mewakili golongan bangsawan dan sekaligus untuk menegakkan dominasi golongan Melayu Dr. Kua menulis bahwa kudeta yang didukung oleh militer dan polisi terhadap Tunku Abdul Rahman adalah tanda kemunculan kelas kapitalis negara baru di tubuh Aliansi yang didominasi oleh UMNO dan bersimpati dengan ekonomi Barat ("in fact, coup d'tat backed by the army and police to place the "ascendant capitalist class" in power or those elements in the Malaysian Alliance who were more favorable to the western economicsto size control of the reign of power from the old aristocrats to implement the new Malay agenda"). Selama ini versi resmi pemerintah tentang kerusuhan rasial ini adalah dipicu oleh "provokasi" yang dilakukan oleh golongan oposisi (DAP dan Gerakan) yang didominasi oleh golongan Tionghoa dalam pawai kemenangan pemilu di Kuala Lumpur dan beberapa tempat lainnya mengunggulkan Partai Aliansi yang berkuasa ketika itu. Versi resmi pemerintah ini dibantah oleh Dr. Kua Kia Soong didalam bukunya, disebutkan bahwa kerusuhan 13 Mei itu bukanlah sebuah peristiwa yang spontan terjadi, melainkan sebuah rekayasa yang dilakukan oleh Tun Abdul Razak dan pengikutnya di UMNO untuk menggusur Tunku Abdul Rahman. Kesimpulannya adalah bahwa peristiwa 13 Mei 1969 di Malaysia ketika itu lebih merupakan sebuah bentuk "state terorrism" atau "shock treatment" terhadap salah satu kelompok warganya untuk tujuan politik tertentu daripada kerusuhan yang berdasarkan konflik antar etnis. Setelah peristiwa 13 Mei tersebut terjadi, tak lama kemudian Tun Abdul Razak naik ke panggung kekuasaan menggantikan Abdul Rahman. Tun segera mengimplementasikan program NEP (New Economic Policy) atau disebut juga sebagai Kebijakan Ekonomi Baru (KEB,) pada tahun 1971 sebagai bentuk"affirmative action" untuk mengukuhkan dominasi golongan Melayu di bidang perekonomian, pendidikan, pekerjaan dll. Didalam buku itu juga diungkapkan insiden-insiden secara kronologis yang mengindikasikan adanya sebuah rekayasa seperti: Sebelumnya sudah tersebar rumor-rumor akan terjadinya kerusuhan rasial. Para provokator dan pelaku utamanya adalah preman-preman (samseng) Melayu yang didatangkan dari luar kota ke Kuala Lumpur dan kota lainnya dengan kendaraan truk yang terorganisir ("and the riots were works of "Malay thugs" orchestrated by politician behind the coup."). Selain preman, UMNO yang mendominasi Partai Aliansi, juga mengorganisir dan mempersiapkan elemen-elemen pemuda Melayu di tempat kediaman Menteri Besar Selangor Harun Idris untuk melakukan aksi kerusuhan rasial, seperti berita yang dilaporkan oleh koresponden asing. Pihak keamanan seperti polisi dan tentara membiarkan para perusuh dan preman tersebut serta warga Melayu lainnya yang terpancing, untuk melakukan aksi kekerasan terhadap warga Tionghoa, bahkan beberapa kesatuan keamanan berpihak pada perusuh dengan menembaki pertokoan warga Tionghoa di Kuala Lumpur seperti yang disaksikan oleh wartawan asing yang melaporkan dimana "Royal Malay Regiment" menembaki pertokoan-pertokoan orang Tionghoa tanpa alasan. Tentara dan Polisi Malaysia yang dianggap selama ini dianggap ampuh dalam menumpas gerilyawan Komunis, sepertinya tid
[budaya_tionghua] Re: China entrepreneurs back ties with Japan
--- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, "Sunny" <[EMAIL PROTECTED]> wrote: > > Sunday, Sept. 16, 2007 > >China entrepreneurs back ties with Japan >KOBE (Kyodo) Chinese entrepreneurs from around the world began a >three-day meeting in Kobe on Saturday, with China's fourth-ranked >leader Jia Qinglin pledging to promote ties with Japan to continue >the warming of ties that began during outgoing Prime Minister Shinzo >Abe's tenure. >. >In an interesting move, former Chief Cabinet Secretary Yasuo Fukuda, >the leading candidate to succeed Abe, made a surprise video >appearance at the Ninth World Chinese Entrepreneurs Convention, also >promising to promote regional development in Asia. >.. >Some 3,600 participants, including 2,600 ethnic Chinese, from 33 >countries gathered for the biennial convention, which Japan hosted >for the first time.It is the first time the host country's leader >has skipped the convention since it was initially proposed in 1991 >by then Singaporean Prime Minister Lee Kuan Yew. >... >Other prominent figures, such as Toyota Motor Corp. Chairman Fujio >Cho, Matsushita Electric Industrial Co. Corporate Counselor Yoichi >Morishita, and former Philippine President Fidel Ramos also attended >the opening event. > ... >The second day will be followed by a series of workshops on broad >topics including economics, urban development, media, and medicine >at the International Convention Center in Kobe. >- World Chinese Entrepreneur Convention (Konvensi Pengusaha Tionghoa Sedunia) yang diadakan di Kobe ini adalah untuk yang ke-9 kalinya. Pertama kalinya diadakan di Singapura pada tahun 1991 atas gagasan Singapore Chinese Chamber of Commerce & Industry untuk menjalin kerjasama ekonomi diantara pengusaha-pengusaha Tionghoa sedunia dan sekaligus memperkenalkan pengusaha Tionghoa itu dengan negara tuan rumahnya (host country) dengan tujuan untuk membangun kerja sama ekonomi dan negosiasi bisnis antara pengusaha Tionghoa sedunia dengan negara tuan rumahnya itu. Negara-negara yang pernah menjadi tuan rumahnya sampai kini adalah Singapura (1991), Hongkong (1993), Bangkok (1995), Vancouver (1997), Melbourne (1999), Nanjing (2001), Kuala Lumpur (2003), Seoul (2005) dan Kobe (2007). Negara-negara yang menjadi tuan rumah ini jeli melihat kesempatan dan potensi pengusaha-pengusaha "Chinese Overseas" ituyang diperkirakan memiliki floating asset lebih dari 3 trilliun dollar (Their worldwide floating assets exceed $3 trillion) http://english.chosun.com/w21data/html/news/200610/200610310019.html Menjelang penutupan "The World Chinese Entrepreneur Convention" di Seoul pada tahun 2005 yang diselenggarakan hanya dua hari itu (10- 12 oktober 2005) , Korea berhasil menggaet investasi sebesar 850 juta dollar dan letters of export intent senilai 580 juta dollar (http://english.peopledaily.com.cn/200510/13/eng20051013_214196.html) Beberapa negara telah menunjukkan minatnya dengan menawarkan negaranya untuk menjadi tuan rumah penyelenggara konvensi ini dan hampir setiap konvesi selalu dihadiri atau dibuka oleh pemimpin negara tuan rumah, kecuali yang di Jepang , karena PM Jepang Abe sedang dirawat dirumah sakit ketika itu. Apakah suatu waktu konvensi ini juga akan diselenggarakan di Jakarta? entahlah, ketika pertama kalinya diselenggarakan pada tahun 1991 di Singapura (masih jaman Orba), beberapa pers nasional ketika itu masih menanggapinya dengan sinis dan kecurigaan Salam G.H..
[budaya_tionghua] Re: Chinese babies for sale
--- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, "Ray Indra" <[EMAIL PROTECTED]> wrote: > >Saat ke Guangzhou kemarin, sempat mampir ke Shamian Island untuk >melihat2 peninggalan kolonialisme Barat di sana. >Yang unik, adalah maraknya adopsi bayi di sana, setiap tahun >sekitar 10.000 pasang ortu mengadopsi bayi Chinese (konon antara >lain artis Meg Ryan). Memang sebagian besar (95%) adalah bayi >perempuan yang tidak diinginkan keluarganya. > >"harga" ("fee") resminya adalah sekitar USD 12 ribu, tapi pada >kenyataannya bergerak antara USD 16 - 22 ribu, mungkin kalau >minta 'cepat beres'. > >Hati saya tercekat melihat puluhan bayi2 lucu itu digendong orang >tua baratnya di bandara. Hanya bisa berkata dalam hati "semoga masa >depanmu cerah ya nak, don't ever forget who you are..." >-- Banyaknya bayi wanita yang diadopsi oleh orang asing ini merupakan salah satu symptom dari masalah atau dilema yang dihadapi oleh Tiongkok sekarang yaitu sebagai salah satu dampak sampingan dari kebijaksanaan politik satu anak ("one child policy") yang tujuan utamanya adalah untuk mengontrol pertumbuhan penduduk yang besar di Tiongkok terutama terhadap penduduk kota besar. Golongan etnis minoritas dikecualikan dalam kebijaksanaan ini dan diberikan toleransi lebih longgar untuk mendapatkan anak lebih dari satu, dan di beberapa daerah pedesaan juga masih ditoleransi mempunyai anak yang kedua dalam jarak kelahiran tertentu. Selain itu ada juga yang disebut dengan kebijaksanaan "satu setengah anak" (one-and-a-half-child policy") sebagai salah satu bentuk modifikasi kebijaksanaan keluarga berencana, dimana mereka yang mempunyai bayi perempuan diijinkan untuk mempunyai anak lagi yang kedua, tetapi bagi yang telah memiliki bayi laki-laki harus stop untuk melahirkan kembali (http://news.bbc.co.uk/2/hi/asia- pacific/3601281.stm) Kebijaksanaan politik satu anak ini (seperti di Indonesia "keluarga berencana") memang dapat dikatakan berhasil dijalankan oleh pemerintah Tiongkok selama ini, sehingga pertumbuhan penduduknya dapat terkontrol dan kesempatan untuk mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi dan berkwalitas bagi anak-anak-nya juga lebih besar. Tetapi politik kebijaksanaan ini juga menimbulkan dampak samping lainnya yang negatif terhadap keseimbangan atau rasio penduduk laki- laki dengan perempuan (sex ratio), dimana bayi laki-laki lebih diutamakan daripada bayi perempuan, apalagi tradisi dan persepsi masyarakat Tiongkok yang lebih mengutamakan (preferensi) mempunyai keturunan laki-laki daripada perempuan dengan berbagai macam alasan dan latarbelakang yang sudah diketahui. Akibat kebijaksanaan politik satu anak ini, berbagai masalah sosial muncul dalam pelaksanaannya, seperti aborsi, bayi yang ditelantarkan, penjualan bayi, adopsi atau bahkan female infanticide (pembunuhan bayi perempuan) atau kadang-kadang disebut juga "gendercide". Sejak diperkenalkannya perangkat "Ultrasonograph" pada beberapa rumah sakit dan klinik di Tiongkok, maka praktek-praktek pengguguran bayi atau aborsi lebih meluas, karena jenis kelamin bayi yang masih dalam janin kandungan dapat diditeksi dan diseleksi jenis kelaminnya (sex selections) secara dini dengan alat ultrasonograph modern ini. Pada tahun 2005, rasio jenis kelamin (sex ratio) kelahiran antara bayi laki dengan perempuan di Tiongkok adalah 123 : 100, berarti 123 bayi laki-laki yang dilahirkan untuk setiap kelahiran 100 bayi perempuan (tahun 2000 rasio kelahiran bayi laki-laki dan perempuan 110:100). Sedangkan rasio kelahiran laki-laki dan perempuan didunia rata-rata- nya adalah 100:104-107, yang berarti lebih banyak bayi perempuan yang dilahirkan daripada laki-laki pada rata-rata di negara dunia lainnya.(http://www.china.org.cn/english/features/cw/192838.htm) Sekiranya trend penduduk Tiongkok berlanjut seperti sekarang tanpa perubahan, maka komposisi demografi penduduk Tiongkok pada tahun 2020 nantinya akan terjadi defisit wanita sekitar 40 juta (http://news.bbc.co.uk/2/hi/asia-pacific/3601281.stm), ini berarti Tiongkok akan mengalami kelebihan atau surplus 40 juta laki- laki (dua kali penduduk Australia)pada tahun 2020. Sex ratio yang tidak seimbang ini atau disebut juga "gender imbalance" atau "gender disparity" ini berpotensi akan menimbulkan berbagai masalah (salah satunya meluasnya prostitusi) dan stabilitas sosial-politik dimasa depannya. Salam G.H.
[budaya_tionghua] Re: Tee Boen Liong, Warga Tionghoa yang Kondang sebagai Dalang Wayang Kulit
--- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, "RM Danardono HADINOTO" <[EMAIL PROTECTED]> wrote: > > Kamis, 13 Sept 2007, > Tee Boen Liong, Warga Tionghoa yang Kondang sebagai Dalang Wayang > Kulit -- Patut dihargai bahwa masih ada generasi muda Tionghoa (Tee Boen Liong) yang dapat mengapresiasi dan mewarisi seni wayang kulit ini, sebelumnya juga pernah diketahui pada sebelum tahun 1967 seorang Tionghoa bernama Gan Thwan Sing (1885-1966) mendalami seni wayang kulit di Yogya yang disebut sebagai wayang "Cina Jawa" . Gan dikenal sebagai orang yang mempelopori dan menciptakan seni wayang kulit "Cina Jawa". Wayang kulit "Cina Jawa" ini muncul untuk pertama kalinya di Yogyakarta pada tahun 1925. Wayang kulit ciptaan Gan Thwan Sing ini merupakan bentuk baru jenis wayang kulit bercorak Tionghoa. Lakon atau cerita yang dimainkan adalah mitos dan legenda negeri Tiongkok, namun penyajiannya mengikuti pola pertunjukan wayang kulit Jawa. Bahasa pengantar adalah bahasa Jawa. Musik karawitannya gamelan Jawa. Seperti umumnya dalang wayang kulit purwa, seorang dalang wayang "Cina-Jawa" pun harus memiliki kemampuan seperti halnya dalang wayang kulit purwa. Hal ini disebabkan karena teknik pertunjukan wayang yang diciptakan oleh Gan Thwan Sing mengikuti pola pertunjukan wayang kulit purwa. Misalnya, para dalang harus mengucapkan mantra sebelum memulai pertunjukan wayang kulit. Selain itu, sang dalang juga harus menguasai gendhing (lagu) atau tembang-tembang Jawa, menguasai cerita, menguasai bahasa Jawa (di lingkungan keraton, masyarakat biasa, dewa, pendeta, raksasa). Berbeda dengan wayang kulit purwa, yang memiliki adegan banyolan (punakawan : Semar, Gareng, Petruk, Bagong), pada mulanya dalam pertunjukan wayang "Cina-Jawa" ini tidak dikenal adegan tersebut, pada perkembangan selanjutnya, Gan Thwan Sing menciptakan tokoh-tokoh mirip punakawan, yang diberi busana dan tata rambut bercorak Tionghoa klasik, kecuali Semar. Tokoh Semar sengaja tidak diciptakan karena Gan Thwan Sing memahami makna tokoh Semar bagi orang Jawa. Tokoh Semar adalah lambang kemuliaan bagi orang Jawa. Nama-nama para tokoh lakon, negara, kerajaan, kadipaten, kahyangan, dan lain-lainnya ditulis menurut nama-nama aslinya (Hokkian). Akan tetapi istilah-istilah kepangkatan, jabatan, gelar, dan lain-lain, sebagian besar mempergunakan istilah-istilah Jawa. Seperti : narendra, pangeran, patih, adipati, bupati, tumenggung, senapati, pandhita, brahmana, radhyan, dyah, abdi, prajurit. Pola pertunjukan wayang kulit ciptaan Gan Thwan Sing bukan bertumpu pada pola pertunjukan wayang di negeri Tiongkok, melainkan bertolak pada pola pertunjukan wayang kulit di Jawa. Bentuk wayang bercorak Tionghoa, tetapi mempunyai pengaruh Jawa misalnya pada ragam hias, gerakan tangan dll. Gan Thwan Sing juga membuat gunungan atau kayon yang dalam pertunjukan wayang di negeri Tiongkok tidak ada Jadi merupakan suatu wujud pembauran kultural atau akulturasi budaya (selain wayang Potehi) dalam bentuk seni pewayangan sehingga lebih tepat apabila disebut wayang "Cina Jawa". Gan menulis sendiri lakon cerita wayangnya sekaligus memainkannya. Buku-buku lakon tersebut ditulis dalam bahasa dan aksara Jawa yang bersumber dari folklor Tiongkok kuna. Sebagian besar naskah wayang "Cina Jawa" ini disimpan di Perpustakaan Berlin-Jerman (39 naskah) dan hanya satu naskah yang disimpan di Museum Sonobudoyo (1 naskah) dan Naskah-naskah tersebut ditulis oleh Gan Thwan Sing dalam bahasa dan aksara Jawa. Wayang kulit Gan ini atau disebut juga wayang thithi (Kata thithi berasal dari suara alat musik yang terbuat dari kayu berlubang yang jika dipukul akan mengeluarkan suara thek...thek...thek. Di telinga orang Jawa, suara gemerincing kepyak terdengar seperti suara thi...thi...thi) pernah dikenal Di Yogyakarta, pada tahun 1925 sampai dengan sekitar 1967, dan sejak wafatnya, seni pertunjukan wayang kulit "Cina-Jawa" tidak lagi dikenal orang. Hilangnya atau tidak dikenalnya lagi seni wayang "Cina Jawa" ini lagi disebabkan oleh "jasa" rejim Orba yang melarang sertiap bentuk ekspresi budaya Tionghoa selama 32 tahun. Tahun 1967, pemerintah Orba mengeluarkan berbagai larangan yang menyatakan bahwa segala hal yang berbau "Cina" dilarang untuk dikaji, diekspos, disiarkan atau pun dimanfaatkan (Instruksi Presiden no. 14/1967). Berbagai peraturan pemerintah di jaman Soeharto telah mematikan apresiasi budaya Tionghoa dalam kehidupan sehari-hari, yang juga merupakan bagian dari kekayaan budaya bangsa Indonesia (Dwi Woro R. Mastuti). Selama pemerintahan Orba, jenis wayang "Cina Jawa" dan juga wayang Potehi tidak diakui sebagai bagian dari warisan dan tradisi jenis wayang yang dikenal dan dimainkan di Indonesia. Seorang penulis tentang wayang pada tahun 1988 Pandam Guritno dalam bukunya menguraikan 28 jenis wayang dan klasifikasinya, dari sekian banyak jenis
[budaya_tionghua] Re: Wayang Orang Bukan Ciptaan Kraton Solo
--- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, "ChanCT" <[EMAIL PROTECTED]> wrote: > >Sudah seharusnya kenyataan sejarah yang terjadi diajukan sebagaimana >adanya, tidak diplintir, digelapkan bahkan terbalik sebagaimana >kehendak hati-penguasa. Utarakanlah apa adanya sesusai kenyataan >yang terjadi. > >ChanCT > >Wayang Orang Bukan Ciptaan Kraton Solo >Sabtu, 08 September 2007 | 13:47 WIB > >TEMPO Interaktif, Solo:Orang-orang Thionghoa memiliki banyak >kontribusi terhadap kebudayaan Jawa meski sejak zaman kolonial >Belanda hubungan orang Tionghoa dengan orang Jawa dibatasi. >Contohnya Wayang Orang Panggung. >.. >"Go Tik San berperan dalan membuat Batik Indonesia yang merupakan >perkawinan batik gaya kraton dengan pesisir," ujar Rustopo. >. >Menurut Rustopo, tanpa ada seorang warga keturunan Tiongkok yang >bernama Kho Djin Tiong, mungkin dunia entertaimen tidak akan >mengenal lawakan Srimulat. Kho Djin Tiong yang dikenal bernana Teguh >Srimulat lah yang mempelopori dunia lawak seperti saat ini. Sebenarnya judul artikel di Tempo Interaktif yang menyebutkan "Wayang Orang Bukan Ciptaan Kraton Solo" agak kurang tepat, dan kemungkinan ada kesalahan dalam penulisan wartawan Tempo interaktif yang kurang lengkap, sebenarnya harus disebutkan "Wayang Orang Panggung" dan bukan "Wayang Orang" saja. Diketahui bahwa wayang orang lahir di keraton Mangkunagara dan Yogya, sedangkan wayang orang panggung (WOP) sebagai wayang orang (wong) komersil memang diciptakan diluar keraton. Rustopo didalam bukunya "Menjadi Jawa" yang membahas sejarah perkembangan Wayang Orang Panggung (WOP), menyebutkan bahwa wayang orang di Surakarta ini berasal dari tradisi pertunjukkan seni Kraton Mangkunegara yang dikembangkan pada awalnya oleh Pangeran Adipati Mangkunegara I (1757-1796). Rustopo mengutip Soedarsono (R.M. Soedarsono, "Wayang Wong Drama Tari Ritual Kenegaraan di Keraton Yogyakarta") yang menyebutkan bahwa keraton Yogyakarta dan Mangkunegaran adalah tempat kelahiran wayang orang (wong) ketika kesusasteraan Jawa mengalami masa "renaissance" pada abad ke-18-19, yang ditandai dengan penulisan kembali "kakawin" (Jawa kuna) dalam bahasa susastra Jawa baru. Sesungguhnya kerajaan- kerajaan di Jawa Timur abad ke-10 hingga ke-16, seni wayang wong yang menceritakan Ramayana dan Mahabarata ini juga sudah dilestarikan. Kehidupan wayang orang (wong) di keraton Mangkunagara tampak menonjol terutama pada masa pemerintahan Mangkunagara V (1881-1896) yang dikenal sebagai penggemar dan patron seni di keraton. Wayang orang di Surakarta mula-mula merupakan bagian dari tradisi pertunjukkan di keraton Mangkunegara yang bersifat eksklusif dan sakaral serta hanya dimainkan di keraton. Untuk melestarikan seni wayang orang di keraton ini membutuhkan biaya yang tidak sedikit, tetapi ketika terjadi krisis ekonomi yang disebabkan oleh gagalnya panen kopi karena serangan hama dan bangkrutnya pabrik gula karena beredar luasnya gula bit di Eropah, akhirnya mengakibatkan kemerosotan kegiatan seni di keraton Mangkunagara. Selain karena krisis keuangan, juga kegiatan seni wayang orang ini digolongkan sebagai kegiatan yang memboroskan. Akibatnya sebagian besar abdi dalem kesenian, termasuk abdi dalem wayang orang diberhentikan dan menganggur. Merosotnya seni wayang orang di Mangkunagara sebagai akibat dari krisis ekonomi di keraton ini menarik minat seorang pengusaha batik Tionghoa Surakarta yang bernama Gan Kam. Leluhur dan keluarga Gan Kam yang bernenek seorang wanita Jawa diketahui sejak lama mempunyai hubungan dekat dengan keraton Mangkunegara. Anggauta keturunan keluarga Gan yang Muslim, apabila meninggal dunia jenazahnya dimakamkan di makam keluarga Gan di Desa Pajang-Solo pemberian Mangkunagara III sebagai penghargaan atas jasa leluhur Gan kepada Mangkunagara ketika terjadi Perang Jawa (1825-1830). Gan Kam berhasil merayu Mangkunagara V untuk memboyong wayang orang Mangkunagara keluar tembok istana untuk dipasarkan atau agar dapat dinikmati oleh orang kebanyakan dan penduduk kota Sekiranya Gan Kan tidak melanjutkan seni tradisi wayang orang tersebut diluar keraton, kemungkinan besar warisan seni wayang orang ini akan hilang untuk selamanya. Dan atas peranannya, seni wayang orang dari keraton itu bergeser menjadi bagian seni tradisi pertunjukkan masyarakat yang tidak sakral lagi (desakralisasi) atau menjadi pertunjukkan hiburan yang bersifat komersil dan populis dalam bentuk wayang panggung (komersil). Pada tahun 1895, Gan Kam yang dikenal sebagai perintis yang mempopulerkan wayang orang Mangkunagara membentuk rombongan wayang orang komersil pertama yang sebagian besar pemainnya direkrut dari mantan abdi dalem penari wayang wong Mangkunagara yang diberhentikan. Ada perbedaan antara wayang orang Mang
[budaya_tionghua] Buku baru : "Menjadi Jawa" & "Pembesar Batavia"
Baru-baru ini telah diterbitkan beberapa buku baru lagi yang membahas komunitas Tionghoa di Indonesia, seperti buku yang berjudul `Menjadi Jawa: Orang-orang Tionghoa dan Kebudayaan Jawa di Surakarta, 1895-1998" yang ditulis oleh Rustopo. Buku ini berasal dari disertasi penulis sendiri pada tahun 2006 di Universitas Gajah Mada yang diterbitkan oleh Penerbit Ombak yang berkerja sama dengan Yayasan Nabil, Jakarta (420 hal.). Guru Besar Ilmu Sejarah UGM, Prof. Dr. Bambang Purwanto dalam memberikan kata sambutan dalam buku Rustopo tersebut menulis: "Berbeda dengan tulisan-tulisan yang ada sebelumnya yang lebih melihat hubungan antara komunitas Tionghoa dengan aspek ekonomi atau politik sehingga orang Tionghoa di Jawa seolah-olah hanya melekat modal, negara dan terpisah dari masyarakatnya, buku ini secara cerdik menempatkan Tionghoa baik sebagai komunitas maupun individu menjadi satu ke dalam masyarakat dan kebudayaan Jawa". "Kehadiran tokoh-tokoh Tionghoa yang disebut Rustopo , tidak sekedar menunjukkan adanya keinginan komunitas Tionghoa untuk "menjadi" Jawa agar dapat diterima oleh masyarakat Jawa, melainkan mereka sebenarnya orang Jawa itu sendiri, terlepas dari ada atau tidaknya warisan biologis Jawa pada diri mereka sebagai individu". "Proses menjadi Jawa yang dipaparkan dalam buku ini lebih menyerupai usaha layaknya orang Jawa mencari jati diri dan membangun identitas kejawaannya dan bahkan keindonesiaan, melalui proses internalisasi budaya .menjadi Jawa bagi semua tokoh yang ada didalamnya bukan sebuah pilihan untuk menyenangkan orang lain melainkan takdir atas kejawaan mereka". Purwanto melanjutkan: " Buku ini sangat layak untuk dibaca oleh siapa saja, terutama bagi mereka yang tidak percaya bahwa masa lalu komunitas Tionghoa merupakan suatu yang integral dalam sejarah masyarakat dan kebudayaan Jawa atau bahkan Indonesia" "Pengasingan Tionghoa dari Jawa yang terus berlanjut merupakan sebuah rekayasa politik dan bukan realitas sejarah. Bagi komunitas Tionghoa di Surakarta yang ada dalam buku ini, Tionghoa dan Jawa adalah dua hal yang tidak bisa dibedakan dan dipisahkan sebagai sebuah identitas." Kalau buku "Menjadi Jawa" yang ditulis oleh Rustopo membahas tentang kontribusi, kehidupan budaya dan bermasyarakat orang-orang Tionghoa di Surakarta (Solo), maka sebuah buku baru yang ditulis oleh Mona Lohanda yang berjudul "Sejarah para Pembesar Mengatur Batavia" (304 hal.) telah diterbitkan oleh penerbit Masup Jakarta pada bulan Juni 2007 ini. Mona Lohanda yang sebelumnya juga telah menulis buku yang membahas tentang komunitas Tionghoa seperti "The Kapitan Cina of Batavia 1837- 1942" dan "Growing Pains" memberikan gambaran sejarah politik khususnya sejarah pembesar yang di Jakarta "tempo doeloe" atau masyur disebut sebagai "orang pangkat-pangkat". Dalam buku barunya Mona Lohanda tidak khusus membahas tentang orang Tionghoa di Batavia saja, tetapi juga tentang kehidupan politik dan intrik para Gubernur Jenderal, Kapitan Cina, Kapitan Arab, Komandan Pribumi beserta aparatusnya serta kehidupan sehari-hari orang "pangkat-pangkat" dengan istri serta nyai-nyainya. Mona Lohanda sebagai peneliti dari Arsip Nasional memudahkan ia untuk mendapatkan akses ke sumber bahan dan data-data sejarah yang terkait dengan sejarah kota Batavia sejak abad ke-17. Buku ini juga disebutkan pada awalnya sebagai kertas kerja pesanan Dinas Kebudayaan DKI Jakarta untuk menyokong pengenalan budaya sejarah Betawi-Jakarta, dimana komunitas Tionghoa tidak sedikit yang berperan didalamnya. G.H.
[budaya_tionghua] Malaysia at 50 : "One Legacy. One Destiny"
Pada tanggal 31 Agustus ini Malaysia akan merayakan 50 tahun kemerdekaannya dari Inggris yang disebutkan sebagai "Golden annivesary". Sebenarnya yang merdeka ketika tahun 1957 itu baru semenanjung Malaya saja. Singapura, Sabah dan Serawak baru bergabung pada tahun 1963. Menjelang peringatan perayaan 50 tahun kemerdekaan Malaysia ini, hubungan antara Malaysia dan Indonesia agak terganggu lagi dikarenakan insiden pemukulan terhadap wasit olahraga karate Indonesia oleh polisi Malaysia, selain masalah TKI dan sengketa Sipadan serta Ligitan yang sempat terjadi sebelumnya. Malaysia memang kini dapat berbangga dengan hasil pembangunannya, karena keberhasilannya dibidang ekonomi yang menjadikan Malaysia menjadi salah satu negara modern dan makmur yang dinamis di Asia dan bahkan di dunia dengan pertumbuhan sekitar 6 % setahun. Dibidang olahragapun Malaysia telah dapat mengungguli Indonesia dalam perolehan medali emas baik di Asian Games maupun SEA Games yang lalu. Tetapi keberhasilan Malaysia ini tidak diiringi dengan keharmonisan hubungan antara mayoritas etnis Melayu (bumiputra) yang merupakan 60 % dari penduduk Malaysia dengan etnis lainnya yaitu Tionghoa (25%) dan India (9%). Hubungan antara etnis Melayu dengan Tionghoa dan India ini terpisah dan terpecah berdasarkan garis agama, ras dan golongan. Golongan Tionghoa dan India di Malaysia merasa diperlakukan sebagai warga negara kelas dua, karena mereka merasa didiskriminasikan dibidang ekonomi, pendidikan, pekerjaan dan kepercayaannya. Dibawah slogan "Malaysia Truly Asia" dan `One Legacy. One Destiny" yang mengiklankan model keharmonisan hubungan antara etnis dan ras yang multi rasial di Malaysia, tersembunyi ketegangan antar etnis dibawah permukaannya. Polarisasi dan segregasi didalam tubuh masyarakat Malaysia sekarang ini dapat menimbulkan resiko negatif dan ancaman terhadap hubungan antara ras, pembangunan ekonomi dan persatuan bangsa Malaysia (nation building) di masa depannya. Latar belakang dari perpecahan ini dikarenakan oleh politik kebijaksanaan pemerintah Malaysia yang menjalankan "Kebijakan Ekonomi Baru" atau NEP (New Economic Policy) sejak tahun 1971 sebagai bagian dari program"affirmative action" yang memprioritaskan dan berpihak kepada satu golongan etnis saja yaitu etnis Melayu atau Bumiputera. Selain itu juga sikap yang tidak toleran terhadap terhadap golongan yang non-Muslim dan bertambahnya kegiatan Islam konservativ serta meluasnya ruang lingkup pengadilan syariah, menyebabkan terjadinya ketegangan etnis serta ancaman atas kebebasan beragama lebih lanjut di dalam masyarakat yang multi rasial seperti di Malaysia (http://www.iht.com/articles/ap/2007/08/29/asia/AS-FEA-GEN-Malaysia- Golden-Year.php) Pemimpin UMNO (partai yang berkuasa) mengatakan bahwa Malaysia adalah sebuah negara Islam dan Wakil Perdana Menteri Najib Razak dalam suatu konferensi pers juga mengatakan bahwa "Islam adalah agama resmi dan kita adalah sebuah negara Islam ("Islam is the official religion and we are an Islamic state"). (http://www.atimes.com/atimes/Southeast_Asia/IG28Ae01.html) Dan ironisnya Najib Razak ini diduga kuat terlibat dengan pembunuhan seorang wanita cantik Mongolia (mayatnya dihancurkan dengan bom C4) yang menjadi kekasih gelap atau terkait skandal sex dengannya, tetapi karena Najib orang kuat, maka dia rupanya tidak terjamah oleh hukum. Pernyatan Najib bahwa Malaysia sebagai sebuah negara Islam telah menimbulkan protes dan perdebatan dari berbagai lapisan masyarakat, baik dari yang non-Muslim maupun dari Muslim sendiri , karena dalam konstitusinya Malaysia dianggap sebuah negara sekuler, yang dasar hukumnya bukan berdasarkan hukum syariah. (http://www.bangkokpost.com/breaking_news/breakingnews.php?id=121124) Program Kebijaksanaan Ekonomi Baru yang dijalankan selama 30 tahun itu memang memajukan etnis Melayu di dalam hal kepemilikan, pendidikan dan ekonomi, terutama dari kelompok Bumiputera tertentu yang dekat dengan pusat kekuasaan, tetapi merugikan kelompok minoritas non-Bumiputera yang lain. Walaupun kebijaksanaan NEP ini telah mengangkat kelas menengah golongan Bumiputera, banyak kritikan yang dilontarkan ke arah kebijaksanaan yang diskriminatif ini, karena NEP ini telah menumbuhkan praktek korupsi, kronisme dan diskriminasi. Yang diuntungkan dengan NEP ini adalah golongan Melayu yang kaya dan dekat dengan pusat kekuasaan seperti UMNO (United Malays National Organization). UMNO sebagai partai yang berkuasa berkepentingan untuk tetap mempertahankan program NEP ini, karena takut kehilangan dukungan suara dari golongan etnis Melayu yang telah menikmatinya selama 30 tahun. Bahkan UMNO memainkan isu rasial dan mempolitikkan agama untuk tetap mempertahankan kekuasan dan kepentingannya (That racial divide has and continues to play into UMNO hands). http://www.atimes.com/atimes/Southeast_Asia/IG28Ae01.html
[budaya_tionghua] Re: Fw: Badan POM Larang Seluruh Obat, Kosmetik, dan Makanan China
--- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, "gsuryana" <[EMAIL PROTECTED]> wrote: > > Media Indonesia > Sabtu, 28 Juli 2007 > BERITA UTAMA > >JAKARTA (Media): Badan Pengawas Obat dan Makanan (POM) melarang >seluruh produk makanan, kosmetik, obat, termasuk obat-obatan >tradisional, dan suplemen asal China masuk ke Indonesia karena >dianggap berbahaya bagi kesehatan masyarakat. > >Ia mengungkapkan produk obat tradisional China kebanyakan dicampur >bahan kimia obat, produk kosmetiknya banyak yang dicampur zat >rhodamin dan merkuri, sedangkan produk pangannya banyak dicampur >formalin, bahan yang biasa dipakai untuk mengawetkan mayat. >.. -- Beberapa produk-produk makanan yang dibuat didalam negeri diketahui juga masih menggunakan bahan pengawet formalin sampai kini (pernah dilarang sebelumnya) terutama bahan makanan yang cepat cepat kadaluwarsa (perishable) seperti tahu, bakso, mie basah, ayam potong, ikan, cumi dll. (ikan atau produk lainnya yang menggunakan bahan pengawet formalin dapat diketahui relatif tidak dikerubuti oleh banyak lalat). Dengan menggunakan bahan pengawet formalin ini maka produk-produk tersebut diharapkan dapat bertahan lebih tahan lama. Tahu atau bakso yang menggunakan formalin (dan boraks) bentuknya sangat bagus, kenyal, tidak mudah hancur, awet beberapa hari serta tidak mudah basi. Ayam yang sudah dipotong berwarna putih bersih, awet dan tidak mudah busuk, demikian juga dengan ikan segar, ikan asin dan cumi. Formalin ini juga sudah dibuat oleh 23 perusahan dalam negeri dengan harga yang relatif murah atau sekitar Rp.3000-Rp.8000 per liter, maka jika dahulu hanya bakso dan mi yang disinyalir mengandung formalin, kini hampir semua bahan makanan yang biasa kita konsumsi dinyatakan mengandung bahan kimia yang biasa digunakan untuk mengawetkan mayat itu (http://www.suaramerdeka.com/harian/0601/02/nas09.htm) Formalin diketahui telah digunakan secara luas sejak lama sebagai bahan pengawet dan sterilisasi. Bahan ini juga digunakan sebagai desinfektan yang efektif melawan bakteri, jamur, beberapa virus dan hampir semua jenis produk perawatan seperti anti septik, obat, cairan pencuci piring, pelembut cucian, perawatan sepatu, pembersih karpet, dan bahan adhesif. Sedangkan fungsi formalin pada pasta gigi adalah untuk membantu membersihkan karang gigi. Jangan heran bila formalin merupakan bahan yang biasa dipakai antara lain dalam sampho bayi, deodoran, parfum dan kosmetika, cat rambut, cairan penyegar mulut, dan pasta gigi serta sebagai fungisida tanaman dan buah-buahan. ( http://www.tribun- timur.com/viewrss.php?id=47300 ) Produk-produk ini juga sudah banyak diproduksi didalam negeri dan mungkin produk-produk ini dianggap tidak membahayakan kesehatan karena tidak dikonsumsi langsung seperti halnya makanan (food grade). Selain itu bahan kimia zat pewarna yang berbahaya bagi kesehatan seperti Rhodamin B yang digunakan sebagai pewarna merah pada industri tekstil dan plastik serta Metanil Yellow (zat pewarna kuning) sering dipakai mewarnai kerupuk, makanan ringan, terasi, kembang gula, sirup, biskuit, sosis, makaroni goreng, minuman ringan, cendol, manisan, ikan asap dan saos cabai/tomat. Makanan yang diberi zat pewarna ini biasanya berwarna lebih terang dan memiliki rasa agak pahit. Manisan mangga yang ada di pinggir jalan dan tahu kuning sebagian juga memakai Metanil Yellow (http://www.kompas.com/kesehatan/news/0601/15/113636.htm) Sedangkan beberapa produk mie-instant yang populer dan murah juga ada yang dicurigai mengandung bahan pengawet yang berbahaya bagi kesehatan (http://www.kaskus.us/showthread.php?t=161312) Akankah BPOM (Badan Pengawasan Obat dan Makanan) akan bertindak konsekwen juga untuk memeriksa dan melarang beberapa produk-produk konsumsi (food grade) dalam negeri ini yang masih menggunakan bahan pengawet dan berbahaya bagi kesehatan masyarakat?. G.H.
[budaya_tionghua] FWD: INDONESIA RAYA DI BELANDA KEMUNGKINAN CIPTAAN YO KIM TJAN
Metrotvnews.com, Jakarta: Pelaku sejarah Des Alwi menilai lagu Indonesia Raya yang ditemukan di Museum Leiden, Belanda, adalah lagu yang dibuat Yo Kim Tjan, pemilik Toko Populer. Lagu itu dibuat atas pesanan Wage Rudolf Supratman. Salah satu kopi lagu tersebut kemungkinan dibawa ke Belanda setelah direkam di Jerman. Lagu Indonesia Raya di Museum Leiden itu ditemukan beberapa ahli teknologi yang tergabung dalam Tim Air Putih pimpinan Roy Suryo. Menurut Roy, awalnya Tim Air Putih hanya ingin mencari dokumentasi gambar tentang Indonesia. Namun, dalam pencarian tersebut, Tim berhasil menemukan rekaman video berisi lagu Indonesia Raya. Menurut Des Alwi, sejak 1954 hak kepemilikan atas lagu tersebut telah diambil alih oleh pemerintah melalui Kementerian Penerangan. Setelah dimiliki pemerintah, rekaman tersebut kemungkinan hilang pada `50-an. Dalam sebuah surat dari Kementerian Penerangan tertanggal 11 November 1953 yang ditunjukkan Des Alwi disebutkan bahwa pemerintah meminta kepada Yop Kim Tjan agar lagu tersebut dimiliki oleh negara dan melarang reproduksinya. Dalam surat tersebut juga diterangkan perubahan syair lagu, di antaranya kata-kata "mulya-mulya" diganti menjadi "merdeka-merdeka". (DEN) http://www.metrotvnews.com/berita.asp?id=43355
[budaya_tionghua] Re: Sejak jaman Mataram Solo..............................
>In budaya_tionghua@yahoogroups.com, "harry alim" <[EMAIL PROTECTED]> >wrote: >. >Pada jaman Mataram sekitar tahun 1740'an tidak aneh menemukan >seorang Tionghoa menjadi bupati dan menjadi jawa dan kemudian >menggunakan gelar semacam Tondonegoro dsb. Di buku itu disebutkan >bahkan bupati pesisir seperti di tegal, pemalang dan pekalongan >adalah orang Tionghoa yang menjadi jawa dan merubah nama sesuai >dengan gelaran yang berlaku di pusat mataram. >.. >dalam pusaran politik adalah benar, maka sekitar tahun 1826 terjadi >pembantaian orang orang Tionghoa di kota Ngawi (jawa timur sekarang) >oleh pasukan yang memihak pangeran diponegoro, ini terjadi dalam >kemelut perang diponegoro Dikatakan mulai timbul sentimen kepada >orang Tionghoa karena ada orang orang Tionghoa yang mendapat >pekerjaan dari pemerintah kolonial belanda atau VOC sebelumnya >seperti memungut cukai, pajak dsb. > - Mungkin ada yang tertarik ingin mengetahui beberapa nama bupati dari keturunan Tionghoa yang dapat diidentifikasi sampai kini di pesisir Jawa pada abad itu .Bupati-bupati di pesisir ini yang dikenal dalam sejarah Jawa mulai awal abad ke 18 ini umumnya terutama dari keluarga Jayadinigrat dan Puspanagara. Mereka adalah keluarga Tionghoa peranakan yang telah memeluk Islam. Adipati Jayadinigrat I:Diangkat oleh Amangkurat III pada tahun 1703 menjadi bupati di Pekalongan dengan gelar Tumenggung. Adipati Jayadinigrat II :Pekalongan, pengganti Ayahnya, Jayaningrat I Tumenggung Puspanagara I:Batang, adik dari Jayaningrat I (Pekalongan), kemudian digantikan oleh anaknya, Tirtanagara dari Lembahrawa. Tumenggung Puspanagara II :Batang, anak Puspanegara I, Demang Tirtanata :Tegal, anak dari Jayaningrat I (Pekalongan), menjabat sebagai Bupati Tegal pada tahun 1725-1726. Tumenggung Suradiningrat :Nama lain dari Demang Tirtanata yang diberi gelar Tumenggung ketika kemudian diangkat menjadi bupati ditempat lain di Lembahrawa (menggantikan Jayanagara) dan Tuban. Jayanegara :Menggantikan Suradiningrat sebagai bupati di Lembahrawa, anak dari Jayaningrat I dan saudara dari Tirtanata (Tegal) Ngabehi Tirtanagara: Lembahrawa, anak dari Puspanagara (Batang), kemudian menjadi bupati di Batang menggantikan Ayahnya di Batang. Jayakusuma :Lembahrawa, kakak dari Tirtanagara.yang menggantikan adiknya. Tumenggung Tirtawijaya: Sidayu, saudara sepupu dari Jayaningrat II (Pekalongan) dan iparnya Ngabehi Jayajengrana menjadi bupati di Pasuruan. Selain itu ada seorang bupati Semarang dari seorang peranakan Tionghoa yang bergelar Mas Tumenggung Astrawijaya berjuang bersama dengan pihak pemberontak Tionghoa ketika Belanda di Semarang dikepung oleh pihak pemberontak tersebut pada perang pemberontakkan Tionghoa 1740-1743. Selain itu Sultan Agung di abad ke-17 juga mengangkat seorang pedagang Tionghoa dari Lasem, Cik Go Ing menjadi bupati disana sebagai penghargaan atas jasanya memberikan bantuan kepada Mataram ketika melawan Surabaya (1620-1625), kepadanya diberikan gelar Tumenggung Mertaguna. Salah satu nama yang lebih dikenal oleh masyarakat mungkin Tan Jing Sing dengan gelar Raden Tumenggung Secadiningrat yang menjadi Bupati di Jogyakarta pada tahun 1812-1814, sebelumnya pernah menjadi Kapitan Tionghoa di Kedu dan Jogya. Tan Jin Sing (orang Hokkian) adalah teman dan penterjemah serta diangkat Bupati oleh Sultan Hamengkubuwana III (Ayah dari Diponegoro). Bupati-bupati berikutnya serta daerah-daerah Utara seperti Tuban, Kudus, Blora dan Bojonagara dipilih dari keturunannya. Selain jabatan bupati, orang Tionghoa juga berperan dalam memberikan sumbangan dalam bidang ketrampilan dan teknologi kemiliteran seperti saat penaklukkan Raja-Pendeta Giri (Sunan Giri) oleh Pangeran Pekik dari Surabaya pada tahun 1636 di Gresik. Giri ketika itu mendapatkan bantuan sekitar 250 orang Tionghoa penembak senapan yang dipimpin oleh anak angkat laki-lakinya seorang Tionghoa Muslim yang bernama Endrasena (seorang pedagang Tionghoa yang masuk Islam) dan salah satu komandan pasukan Trunajaya yang ikut mendukungnya ketika Kediri dikepung oleh Belanda adalah orang Tionghoa berikut pasukannya pada tahun 1678. Selain itu pada tahun 1810, Raden Rangga Prawiradirja, , bupati wedana propinsi-propinsi bagian Timur dan ayah dari Sentot Ali Basa Prawiradirja (Panglima pasukan Diponegoro) mendapat dukungan dan keikutsertaan orang Tionghoa hingga saat terakhir ketika mengadakan pemberontakkan terhadap Daendels. Dan menurut Tan Jin Sing (Bupati Jogyakarta) para pengawal pribadi Diponegoro sebelum meletusnya perang Jawa itu juga orang Tionghoa. Istri/ selir (garwo ampeyan) kesayangan Sultan Jogyakarta yang kedua (Hamengkubuwana II) adalah seorang dari keturunan peranakan Tion
[budaya_tionghua] Pertunjukkan Perdana Film Nanking Di Tiongkok
Tahun 2007 ini genap 70 tahun peringatan pembantaian Nanking atau dikenal dengan "Rape of Nanking" yang dilakukan oleh Jepang pada tahun 1937 yang lalu dan bersamaan dengan ini juga diperingatkan 70 tahun insiden "Jembatan Marco Polo" (Lugouqiao), yaitu insiden yang mengawali agresi Jepang ke Tiongkok atau disebut sebagai perang Jepang-Tiongkok ke II. Dalam rangka peringatan tersebut telah diselenggarakan pameran film, dokumen dan foto-foto pada beberapa kota di Tiongkok, dan salah satunya yang dipertunjukkan adalah sebuah film yang menceritakan tentang "Pembantaian Nanking" di tahun 1937 yang dilakukan oleh Jepang. Film "Nanking" yang berdurasi 90 menit ini memulai pertunjukkan perdananya pada tanggal 3 Juli, 2007 di Beijing yang lalu. Direktur Film produksi film Amerika ini, Bill Guttentag, co-direktur Dan Sturman dan produsernya Ted Leonis juga hadir dalam acara peresmian pemutaran film ini di Beijing. Film "Nanking" ini bersifat film dokumenter yang merekam peristiwa di Nanking tahun 1937 yangmengfokuskan kepada peranan penduduk warga Barat, seperti para missionaris dan pengusaha yang memiliki motivasi kemanusiaan, melindungi pengungsi penduduk Tionghoa dari kejaran tentara Jepang yang brutal. Warga penduduk Barat ini mendirikan zona keamanan (safety zone) yang Jepang tidak boleh memasuki dan melanggarnya. Di zona keamanan ini banyak warga pengungsi Nanking mendapatkan perlindungan dari kejaran Jepang, walaupun tempatnya terbatas. Salah satu orang yang berjasa dan menjadi pahlawan menyelamatkan banyak nyawa orang Tionghoa itu adalah "John Rabe", seorang pengusaha Nazi Jerman. Kisahnya telah dibukukan dalam "The Good German Of Nanking". Selain itu ada seorang missionaris wanita (United Christian Missionary Association ), kelahiran Illinois, Amerika "Wihelmina Vautrin" yang dijuluki "The Living Goddes of Nankng" banyak menyelamatkan nyawa wanita dan anak-anak Tionghoa dengan mempertaruhkan keselamatannya sendiri serta beberapa nama warga Barat lainnya seperti, Dr. Robert Wilson (The Only Surgeon in Nanking, Methodist missionaries), Miner Searle Bates (Prof. Sejarah Universitas Nanking) dll. (The Rape of Nanking, Iris Chang). Bahan-bahan pembuatan film ini banyak yang disarikan dari buku "The Rape of Nanking" yang ditulis dan didokumenterkan oleh seorang wanita Tionghoa Amerika, Iris Chang yang pada tahun 1997 pernah menjadi "bestseller´di Amerika, selain itu didapatkan juga dari narasi beberapa orang yang masih hidup sampai kini serta dari arsip- arsip perang Jepang-Tiongkok. Film ini juga dipertunjukkan pada Film Festifal 2007 di Shanghai dan Sundance FilmFestifal di Park City, Utah, Amerika. Dan walaupun sudah ada beberapa film tentang pembantaian Nanking sebelumnya, film "Nanking" ini mengungkapkan beberapa kisah baru yang belum diketahui. Pada peristiwa pembantaian Nanking atau disebut juga sebagai "Asian Holocaust" diperkirakan sektar 300,000 orang laki-laki, perempuan, anak kecil, bayi dibunuh dengan brutal dan sadis (atrocities) oleh Jepang. Sekitar 80,000 diantaranya, wanita, tua, muda dan remaja diperkosa oleh Jepang dan lalu dibunuh dengan membayonet, memenggal tubuh atau kepalanya dengan pedang atau ditusuk alat kemaluannya dengan senjata tajam, seperti yang terlihat pada lampiran foto-foto dokumenter dalam buku "The Rape Of Naking", Iris Chang itu. Kemungkinan film ini tidak dapat atau ditolak beredar di Jepang, karena diprotes oleh pemerintah dan pejabat Jepang sendiri yang tidak mau mengakui kebrutalan bangsanya sendiri di masa perang dunia keII, kecuali kalau film tersebut menceritakan penderitaan rakyatnya yang dibom atom oleh Amerika di Hiroshima dan Nagasaki. Peristiwa "Pembantaian Nanking" ini mengingatkan orang dengan kejadian yang hampir serupa bentuknya yaitu "pembantaian massal" yang terjadi di Mandor, Kalimantan Barat pada tahun 1943-1944 yang lalu. Diperkirakan lebih dari 21,000 rakyat Kalimantan Barat dibunuh dan disiksa dengan kejam oleh Jepang ketika itu. Korban-korban kekejaman Jepang itu terdiri dari beberapa kelompok etnis seperti Melayu, Tionghoa dan Dayak dll yang terdiri dari segenap lapisan masyarakat seperti rakyat biasa, pemuda, golongan intelektual, hingga keluarga bangsawan Kesultanan Pontianak dll. Jenazah korban pembantaian Jepang tersebut dibiarkan terserak diatas tanah oleh Jepang di Mandor, Kabupaten Pontianak, dan baru kemudian ketika Jepang menyerah dan tentara Australia datang ke Kalbar, mereka menemukannya ladang pembantaian itu yang dirahasiakan. Jenazah- jenazah korban itu kemudian dikumpulkan dan dikubur secara massal dalam 10 lubang raksasa. Pembunuhan itu tidak saja terjadi di Mandor saja, tetapi juga ditempat lainnya seperti di Sungai Durian, Kebon Sayur dan Penjara Sungai Jawi. Target pembunuhan adalah 50,000 jiwa. Tapi sebelum terlaksana, Jepang keburu menyerah. Sampai kini orang masih dapat melihat kubu
[budaya_tionghua] Re: Dr. Han Hwie-Song: Renaissance dan Enlightenment di RRT (penuyup)
--- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, "Han Hwie Song" <[EMAIL PROTECTED]> wrote: > > >Para pembaca yang kenal saya tahu bahwa saya pernah tinggal di >Shanghai, RRT selama enam tahun, disini saya tinggal diantara rakyat >Tiongkok. Saya kerja dengan mereka, makan minum, naik bus dan >mengalami Revolusi Besar Kebudayaan dengan mereka. Kemudian saya >tinggal satu tahun di Hongkong dan lalu beremigrasi ke negeri Belanda. >.. Bp. Han yb, Saya ingin memberikan tanggapan sedikit atas essay terakhir dari P. Han ini. Seperti halnya dengan P. Han, diperkirakan sekitar 100,000 orang Tionghoa Indonesia lainnya juga pernah tinggal di Tiongkok karena terkena peraturan PP10/1959 pada tahun 60-an. Dari mereka ada cukup banyak jumlahnya yang akhirnya meninggalkan Tiongkok, dan beremigrasi kembali ke Hongkong atau negara ketiga lainnya, karena bermacam motivasi dan latar belakang, seperti kehidupan yang susah, tidak dapat beradaptasi, tidak diterima/diakui dengan baik oleh warga setempat atau berbeda dengan realitas seperti yang dibayangkan sebelumnya. Tetapi ada juga cukup banyak orang Tionghoa Indonesia yang tetap bertahan disana dan berhasil mengadapsi dengan situasi dan kondisi di Tiongkok dari masa lalu hingga sekarang. Mungkin sedikit berbeda dengan pengalaman P. Han, yaitu mereka yang telah meninggalkan Tiongkok dan berimigrasi kembali kenegara lain tidak semuanya dapat menilai dengan sudut pandang yang objektif dan positif atas pengalaman pribadi dan keluarganya selama hidup di Tiongkok sebelum periode Deng Xiaoping, yaitu ketika Tiongkok masih miskin dan belum mereformasi ekonominya. Mungkin disini saya ingin mengajukan sebuah pertanyaan kepada P.Han yaitu faktor atau dorongan apa yang menyebabkan P. Han berimigrasi ke Hongkong dan lalu ke Belanda meninggalkan Tiongkok yang menurut pengalaman pribadi P.Han pada masa lalu itu relatif cukup positf ? Bukankah tenaga seorang profesional seperti P. Han itu juga masih dibutuhkan dan diharapkan kontribusinya oleh Tiongkok ketika itu ? Salam GH.
[budaya_tionghua] Re: Pope's letter to Catholic Chinese to be released on Saturday
--- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, "Sunny" <[EMAIL PROTECTED]> wrote: > >A letter by Pope Benedict XVI to Roman Catholics in China will be >released on Saturday. The pontiff tries to reach out to Beijing and >bring all of China's faithful into the Vatican's fold. >. >Benedict has been reaching out to Beijing in an effort to restore >diplomatic ties and unite China's estimated 12 million faithful. >.. Surat yang panjang dari Paus Benediktus XVI ini merupakan suatu langkah lebih maju dalam proses pemulihan hubungan diplomatk antara kedua negara. Vatikan sekarang memandang lebih realistis dalam menghadapi fakta baru. Paus Benediktus XVI menyebutkan Gereja di Tiongkok dengan sebutan "Gereja Tiongkok" (Church in China) atau hanya satu Gereja, tidak lagi dengan sebutan yang membedakan antara "Gereja resmi" (yang diakui pemerintah) dan "Gereja bawah tanah "(underground Church). Paus berbicara tentang cita-citanya persatuan Gereja Katolik di Tiongkok dibawah otoritas Paus, yaitu antara Gereja resmi yang diakui oleh pemerintah (Chinese Patriotic Catholic Association) dengan "underground Church" (Gereja bawah tanah) yang mengakui kepemimpinan hirarki Paus. Surat Paus juga membatalkan keputusan sebelumnya yang dikeluarkan pada tahun 1988, yaitu yang melarang hubungan antara Gereja pemerintah dengan Gereja bawah tanah sertasanksi ekskomunikasi terhadap para Uskup yang diangkat oleh pemerintah. Paus juga cukup realistis, sekiranya ia tetap ingin menyingkirkan Gereja yang disponsori oleh pemerintah, maka akan sia-sia semua perundingannya sampai kini. Vatikan menilai bahwa masa depan Gereja di Milenium ke 3 ini terletak di benua Afrika dan Asia Timur, dan Tiongkok dianggap memiliki potensi dan harapan yang besar sebagai gembala barunya yang pada saat kini diperkirakan pemeluknya berjumlah sekitar 12 juta umat yang setiap tahunnya bertambah sekitar 150,000 orang dewasa melalui pembaptisan. Seiring dengan reformasi ekonomi dan keterbukaannya terhadap dunia luar, Tiongkok sekarang dibawah kepemimpinan Hu Jintao relatif lebih liberal, terbuka dan toleransi terhadap berbagai aliran kepercayaan seperti Buddhisme, Taoisme, Islam dan Kristen. Banyak tulisan yang menyebutkan tentang kebangkitan baru (renaissance) kehidupan spiritual di Tiongkok yang sebelumnya dianggap vakum. Pandangan pragmatis dari Vatikan ini juga didorong oleh situasi Gereja Katolik sendiri, yang beberapa relatif mulai atau sudah ditinggalkan oleh umatnya seperti di Eropah dan Amerika Latin (terutama di Amerika Tengah dan Karibia) dengan berbagai alasan dan motivasi. Kunjungan Paus Benediktus XVI ke Brasilia belum lama berselang juga tidak semeriah seperti dahulu lagi seperti penyambutan yang diberikan kepadan Paus pendahulunya yaitu Yohanes Paulus II. Pendekatan-pendekatan antara Vatikan dan Tiongkok juga ditandai dengan penghindaran penggunaan retorika-retrika perang dingin seperti yang lalu-lalu serta sudah melunak kata-katanya. Vatikan tidak lagi menyebutkan Tiongkok sebagai negara rezim Komunis yang Atheis, yang sesungguhnya juga tidak tepat 100% disebut sebagai negara komunis lagi karena Tiongkok menganut konsep negara "satu negara dengan dua sistim", ada sosialis dan ada kapitalis (Hongkong dan Macau), sistim sosialisnya sendiri juga sudah mengalami metamorfosis. Vatikan juga mengatakan bahwa ia menghormati sistim negara Tiongkok yang dianutnya dan tidak mengharapkan adanya perubahan sistim negaranya. (the Catholic Church which is in China does not have a mission to change the structure or administration of the State) Sebaliknya Tiongkok juga sejak lama tidak menyebutnya lagi Vatikan sebagai agen kaki tangan Imperialis. Tiongkok sendiri juga bersikap pragmatis dan berpandangan kedepan, dengan dibukanya hubungan diplomatik dengan Vatikan maka bukan saja hubungan diplomatik antara Vatikan dengan Taiwan diputuskan, tetapi juga beberapa negara kecil lainnya yang beragama Katolik (seperti Nicaragua, dll) dan yang masih menjalin hubungan diplomatik dengan Taiwan, maka ada kemungkinan juga akan mengikuti langkah Vatikan kedepannya. Sekiranya hubungan diplomatik antara Vatikan dan Tiongkok dapat dipulihkan sebelum pesta Olympiade 2008 nanti, maka hal ini secara simbolis dapat menambah citra Tiongkok lebih lanjut lagi sebagai negara yang terbuka terhadap dunia luar yang menjamin kebebasan beragama bagi setiap orang. Persyaratan pokok yang dituntut oleh Tiongkok dalam pemulihan hubungan kedua negara tersebut adalah bahwa Vatikan harus memutuskan hubungan diplomatiknya dengan Taiwan, dan Vatikan tidak boleh mencampuri urusan dalam negeri Tiongkok dengan alasan kepentingan agama yang berarti salah satunya adalah bahwa pengangkatan Usku
[budaya_tionghua] Re: OOT: Fw: [Singkawang] [PP] Uray Rukiyat Gandeng Chin Siu Sun
--- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, "KIDYOTI" <[EMAIL PROTECTED]> wrote: > > > Senin, 25 Juni 2007 > Uray Rukiyat Gandeng Chin Siu Sun > Balon Wako dan Wawako Singkawang >. -- Mungkin dapat ditambahkan disini bahwa selain itu Hasan Karman SH, seorang etnis Tionghoa kelahiran Singkawang mencalonkan diri juga dalam Pilkada 2007 bulan November mendatang sebagai calon walikota Singkawang. Hasan Karman SH adalah pengurus DPN Partai PIB (Perhimpunan Indonesia Baru) yaitu partai yang didirikan oleh DR.Syahrir. Mengenainya dapat dilihat dibawah ini, http://www.singkawang.us/modules.php?name=Content&pa=showpage&pid=34 http://www.singkawang.us/modules.php?name=Content&pa=showpage&pid=37 Salam GH.
[budaya_tionghua] Re: Sex voucher for Japanese soldiers found in China
--- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, "Yang Guo&Xiao Longnu" <[EMAIL PROTECTED]> wrote: > >Sex voucher for Japanese soldiers found in China > >By Ng Ting Ting >July 9, 2005 >. >A tiny little piece of paper, found in a village in North China's >Hebei Province, appears to be hard evidence rebutting Japanese >government's claim of the absence of sex slaves during World War II. >.. >During the Japanese invasion of China, about 200,000 Chinese women >were kidnapped by the Japanese Army and forced to be their sex >slaves. It is believed that Japanese military set up more than >10,000 sex slaves centers in more than 20 provinces in China. >. >Tian Susu, an expert with of Hebei academy of social sciences >researching the Anti-Japanese War, said the Japanese army set up >entertainment centers and abducted women from China, Korea and other >Asian countries and regions to be their sex slaves, or comfort women. >... -- Bukti sebenarnya sudah cukup banyak yang mengungkapkan tentang kejahatan perang Jepang itu, tetapi pemerintah Jepang sampai kini tetap menyangkal perbuatannya atau sudah tidak bersikap "Bushido" lagi untuk mengakui dosanya.. Seperti para pendahulunya, PM Jepang Shinzo Abe juga menyangkal tentang adanya perbudakan sex yang dikatakan pada bulan Maret lalu. Para ahli sejarah memperkirakan sekitar 200.000 wanita dijadikan budak sex oleh tentara Jepang pada perang dunia ke II, mereka para korban berasal dari berbagai bangsa seperti Tiongkok, Korea, Indonesia dan Filipina dll. Kantor berita Jepang Kyodo sendiri melaporkan adanya sebuah dokumen yang mengungkapkan tentang adanya kamp-kamp penampungan di Indonesia yang digunakan sebagai tempat untuk mengerjakan dan memaksa wanita Indonesia dan Belanda melayani nafsu sex tentara Jepang pada perang dunia ke II. Dokumen ini berasal dari arsip pemerintahan Belanda yang dibuat berdasarkan sebuah testimoni dari seorang wanita Belanda di tahun 1946 . Wanita yang berumur 27 tahun ini menceritakan tentang kamp wanita pekerja sex paksa di Magelang, Jawa Tengah ketika itu. Wanita- wanita di kamp itu dinamakan dengan sinis oleh Jepang dengan sebutan euphemisme "Jugun Ianfu" atau "comfort woman". Dokumen ini disebutkan juga pernah diajukan sebagai bukti dalam sidang pengadilan penjahat perang Jepang di Tokyo atau disebut "Tokyo War Crimes Tribune" (http://news.bbc.co.uk/2/hi/asia- pacific/6646297.stm). Tetapi seperti halnya dengan pengadilan tribunal Nuremberg yang mengadili penjahat perang Nazi pada perang dunia ke II, tidak semua penjahat perang tersebut dikenakan hukuman yang setimpal atas kejahatannya. Beberapa diantara yang bertanggung jawab diketahui belakangan hari dibebaskan secara diam-diam untuk dimanfaatkan demi kepentingan sekutu atau Amerika dalam menghadapi perang dingin yang mendatang. Kaisar Hirohito sendiri sebagai pimpinan tertinggi Jepang dan yang bertanggung jawab atas kejahatan perang itu dibebaskan dari tuduhan dan malah dirangkul oleh Jenderal Mac Arthur. Jepang sekarang tidak hanya dihujati kritikan oeh negara-negara Asia yang menjadi korban kejahatannya saja, tetapi juga harus menghadapi kritikan dari Kongres Amerika sendiri. Disponsori oleh beberapa anggautanya, Kongres Amerika mengeluarkan sebuah resolusi yang menuntut permintaan maaf dari pemerintah Jepang kepada negara-negara dimana kaum wanitanya menjadi korban kejahatan sex tentara Jepang yang dilakukannya di perang dunia ke-II. Tetapi seperti biasanya Jepang tidak menggubris resolusi tersebut dan Menlu Jepang Taro Aso menyangkalnya dengan mengatakan bahwa perbudakan sex itu tidak ada buktinya. Sama seperti halnya dengan penyangkalannya terhadap kejahatan perang yang dilakukannya pada pemerkosaan Nanking (The Rape of Naking) di tahun 1937, dimana didalam buku sejarahnya hanya tertulis sebagai insiden Nanking saja. Berbeda dengan bangsa Jerman yang berani mengakui tanggung jawabnya atas kekejaman yang dilakukan oleh rezim Nazi di perang dunia yang lalu, dan mengambil jarak dengannya. Kini Jerman dapat berintegrasi dengan baik dalam Uni Eropah tanpa masalah, sebaliknya Jepang hingga kini belum mau secara resmi mengakui kekejaman yang dilakukan oleh tentaranya dan lembaran- lembaran hitam sejarah masa lalunya ini dihapus dalam buku pelajaran sejarahnya. Disamping itu Jepang juga menolak atas tuntutan ganti rugi kepada wanita-wanita yang menjadi korbannya. Hal inilah salah satunya yang menyebabkan beberapa negara Asia yang menjadi korban kekejamannya menolak keinginan Jepang untuk duduk dalam Dewan Keamanan PBB, karena Jepang tidak mau mengakui tanggung jawabnya sebagai warga dunia yang beradab atas tinda
[budaya_tionghua] Re: Malaysia's homesick revolutionary
--- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, "Sunny" <[EMAIL PROTECTED]> wrote: > >http://www.atimes.com/atimes/Southeast_Asia/IF22Ae01.html >Jun 22, 2007 >Malaysia's homesick revolutionary >By Andrew Symon >.. >And did the MCP's fight push the British to grant independence >earlier than otherwise to a conservative United Malays National >Organization-led (UMNO) coalition, which has dominated Malaysian >politics ever since? >... -- Kalau benar demikian, maka Malaysia harus berterima kasih kepada Chin Peng yang menyebabkan Inggris memberikan hadiah kemerdekaan (grant independence) lebih awal kepada Malaysia . Salam GH.
[budaya_tionghua] Indonesia Memenangkan Lomba Perahu Naga Di Tiongkok
Perahu Naga Indonesia Disambut Gubernur Gamawan Fauzi Kompas Cybermedia Selasa,26 Juni 2007 http://www.kompas.co.id/ver1/Olahraga/0706/26/220823.htm JAKARTA, KOMPAS--Tim perahu naga Indonesia yang pulang dengan prestasi membanggakan, juara umum pada Festival Perahu Naga Internasional di China, Selasa (26/6) tiba di Tanah Air. Karena tim yang mewakili Indonesia itu berasal dari Kota Padang, Sumatera Barat, mereka mendarat di Bandara Internasional Minangkabau dan disambut dengan kalungan bunga oleh Gubernur Sumatera Barat Gamawan Fauzi dan Wali Kota Padang, Fauzi Bahar. "Keberhasilan tim perahu naga Kota Padang yang mengharumkan Indonesia di ajang internasional itu, merupakan hasil kerja keras dan prestasi tersebut sangat membanggakan. Karena itu, Pemerintah Provinsi Sumbar akan memikirkan semacam apresiasi untuk mendorong olah raga ini dapat mempertahankan prestasinya di masa datang," katanya. Wali Kota Padang Fauzi Bahar, sebagaimana dilaporkan Hasrul, Kabag Humas Pemkot Padang, dalam penyambutan itu mengatakan, bahwa menjadi juara di tempat lain selain di China, itu tidaklah hal yang istimewa. Tetapi, berhasil menundukkan tim kuat China di negeri China --tempat leluhur olahraga perahu naga ini dilahirkan, inilah yang luar biasa. "Tim Indonesia menang di kandang Naga itu sendiri, ini sangat luar biasa," tandasnya. Menurut Fauzi Bahar, kemenangan bagi tim perahu naga Kota Padang ini tidak hanya untuk dunia olah raga semata. Tetapi dalam jangka panjang adalah untuk kemenangan sektor ekonomi masyarakat. Kalau Padang sudah terkenal ke mana-mana, orang-orang tentu menjadi tertarik untuk datang dan berinvestasi ke Padang. Tim perahu naga Kota Padang ini, tahun 2006 di Penang, Malaysia,juga mewakili Indonesia, dan berhasil meraih juara umum. Usai disambut resmi di Bandara Internasional Minangkabau (BIM), tim perahu naga Kota Padang, Indonesia, itu diarak keliling kota. (NAL) - Selamat bagi Tim perahu naga kota Padang yang sukses memenangkan perlombaan "Dragon Boat International Four City Festival 2007" di Tiongkok sebagai juara umum !! Sebelumnya Tim perahu kota Padang ini juga telah menjuarai perlombaan internasional perahu naga di Penang, Malaysia tahun lalu. Selain itu kota Padang juga dikenal pernah menjuarai perlombaan Barongsai sedunia (World Lion Dance) di Ginting, Malaysia. Lomba perahu naga ini (Dragon Boat) atau Mandarinnya disebut Duan Wu Jie Festival ini berasal dari salah satu perayaan budaya tradisionil Tiongkok yang sudah berumur lebih dari 2000 tahun. Perlombaan ini dirayakan biasanya pada tanggal 5, bulan 5 pada penanggalan kalendar Lunar setiap tahunnya atau jatuh pada bulan Juni pada penanggalan internasional (Gregorian). Perlombaan "dragon boat" ini sekarang telah menjadi sebuah olahraga air yang populer dan tercepat pertumbuhannya didunia sekarang. Popularitasnya bukan saja di negara-negara Asia Timur, tetapi juga telah menyebar ke negara lainnya seperti di Amerika Serikat, Australia, Eropah, Afrika, Karibia dan terutama di Kanada (Vancouver, Toronto dan Ottawa) dimana setiap tahunnya diselenggarakan perlombaan Dragon Boat yang menarik ribuan pengunjung untuk menyaksikannya. Di Indonesia perlombaan perahu naga ini telah lama diperlombakan pada beberapa tempat pada beberapa kota atau daerah yang banyak dialiri sungai-sungai yang cukup besar seperti sungai Batanghari (Jambi), Siak (Pekanbaru), Musi (Palembang), Mahakam (Samarinda dan Tenggarong pada festival Erau), Kapuas (Pontianak), Barito (Banjarmasin), Cisadane (Tanggerang) atau di kepulauan yang mempunyai banyak selat seperti di Bau-Bau (Buton), Makasar, Kendari, Tanjung Pinang dan Batam (Riau) dan bahkan sampai ke Maluku (Bandaneira), Cilacap dan kepulauan Mentawai dll. Di Maluku dikenal juga sejenis perahu tradisionil seperti perahu naga dengan sebutan Kora-Kora. Perahu ini bukan saja berfungsi sebagai alat transportasi laut saja, tetapi juga digunakan sebagai perahu perang seperti yang digunakan oleh Kesultanan Ternate dan Tidore dahulu dalam meluaskan wilayahnya serta digunakan dalam peperangan dengan Portugis, Spanyol dan Belanda. Bagi penduduk Jakarta, perayaan lomba perahu naga yang dirayakan pada pesta Peh Cun itu lebih dikenal melalui pesta perayaan Peh Cun di Tangerang yang diperlombakan pada sungai Cisadane yang cukup luas, dan sekarang menjadi bagian dari festival budaya Cisadane. Lomba perahu naga ini sekarang telah menjadi bagian dari olahraga dan budaya Indonesia. Universitas Indonesia mempunyai tim perahu naga sendiri yang diperlombakan didanau dekat kampusnya di Depok. TNI-AL seperti Komando Lintas Laut Militer (Kolinlamil) dan Marinir juga mempunyai tim yang cukup tangguh dan pernah memenangkan beberapa perlombaan perahu naga nasional, demikian juga dengan Polri. Menurut legendanya seorang mantan menteri dan penasihat kaisar yang
[budaya_tionghua] Dr. Han Hwie-Song:Re: Dr. Han Hwie-Song: Renaissance dan enlightenment di Tiongkok (XII)
--- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, "Han Hwie Song" <[EMAIL PROTECTED]> wrote: > > >Standard kehidupannya kebanyakan rakyat Tiongkok masih "rendah", >terutama di desa-desa di daerah pedalaman, dimana perawatan yang >memuaskan masih diluar kemampuan mereka. Ini karena mahalnya >pengobatan apalagi kalau masuk rumah sakit dan mempunyai penyakit >chronis yang memerlukan setiap hari harus makan obat, seperti >penyakit diabetes, jantung dan vascular etc >.. >pada jaman Mao Ze-dong, healthcare dibayar oleh pemerintah sekarang >hospital harus berdiri sendiri, dengan lain perkataan"berdikari >finansiil" bebas dari pengaruh dan bantuan pemerintah. Sebetulnya >ini adalah sistim kapitalisme seperti yang kami lihat di USA. > >Bagi kaum tani membayar ongkos kedokteran 5 Rmb sudah terlalu mahal, >bahkan ada orang-orang Barat yang mengatakan satu Yuan saja sudah >terlalu mahal bagi kaun tani miskin. > >Reformasi ekonomi RRT merobah negara yang miskin menjadi negara yang >secara kontinu meningkat kemamkuran rakyatnya. Tetapi dengan >kolapsnya perawatan yang sosialis dimana perawatan kesehatan yang >gratis dihapuskan, >. - Salah satu jasa Mao Tse Tung kepada kelas petani dan pekerja Tiongkok adalah membangun sistim pelayanan kesehatan masyarakat dengan "dokter telanjang kaki" (barefoot doctors) yang terjangkau dan murah oleh masyarakat luas dan berpenghasilan rendah, sesuai dengan cita-cita sosialisnya. Mungkin karenanya Mao sampai kini masih banyak orang yang menghormatidan tetap diingat oleh rakyatnya terutama dari kelas petani di pedesaan dan kelas pekerjanya, walaupun Mao telah melakukan kesalahan-kesalahan yang serius, seperti mencetuskan Revolusi Kebudayaan yang kontroversial. Antara tahun 1965-1981, Tiongkok memperkenalkan sistim pelayanan kesehatan masyarakat yang menjangkau golongan miskin dan tertinggal yang hidup di pedesaan dan yang merupakan mayoritas dari penduduk Tiongkok, dengan nama "dokter telanjang kaki" (barefoot doctors). Sistim pelayanan kesehatan masyarakat miskin ini merupakan gagasan Mao Tse Tung dan ironisnya juga merupakan bagian dari Revolusi Kebudayaan. Tiongkok ketika itu tidak mempunyai tenaga dokter yang berpendidikan kedokteran barat yang cukup untuk melayani masyarakatnya yang berjumlah lebih dari 1 milliar, maka dengan sistim pelayanan masyarakat "dokter telanjang kaki" ini sebagai tulang punggung pelayanan kesehatan masyarakat pedesaan, masyarakat mendapat pelayan kesehatan dengan biaya murah dan terjangkau, walaupun aspek preventif lebih berperan daripada kuratif. Para pekerja kesehatan atau paramedik ini mendapatkan pendidikan singkat dibidang kesehatan selama 3-6 bulan dan dituntut untuk berdedikasi tinggi mengabdi kepada kelas petani dan pekerja dengan berteladan kepada Dr. Norman Bethune Dr. Bethune (1890-1939) adalah putera seorang Missionaris dari Kanada dan seorang Internasionalis yang membantu pihak republik dalam perang saudara di Spanyol melawan fasisme Franco (1936-1937) dan mendukung Tiongkok dalam peperangan melawan Jepang. Dr. Bethune memberikan pelayanan kesehatan dan mengobati korban peperangan sebagai seorang dokter. Ia meninggal di Tiongkok pada tahun 1939 ketika masih bertugas. Tetapi pada tahun 1981 ketika sistim pertanian kolektif "kommune rakyat" dibubarkan dan Tiongkok memasuki era reformasi ekonomi baru (perekonomian pasar), maka sistim pelayanan kesehatan "dokter telanjang kaki" yang disponsori oleh negara akhirnya juga harus bubar, dan sistim pelayanan kesehatan masyarakat di privatisasi sebagai konsekwensinya. Pada laporan WHO ditahun 2000 diberitakan bahwa sistim pelayanan masyarakat di Tiongkok sebelum tahun 1980 lebih baik dibandingkan negara-negara lainnya yang mempunyai taraf perkembangan ekonomi yang setingkat, tetapi sejak tahun 1980 dilaporkan keadaannya berbalik. Pada konferensi WHO di Alma Ata, Kyrgystan tahun 1978, sistim pelayanan kesehatan masyarakat Tiongkok "barefoot doctors" ini bahkan mendapatkan penghargaan tinggi yang dituangkan dalam deklarasi Alma- Ata. Sistim "dokter telanjang kaki" pada hakikatnya merupakan bagian dari sistim pelayanan kesehatan "universal health care" atau sistim pelayanan kesehatan umum yang disponsori oleh negara kepada semua warganya. Dr. Bethune adalah salah satu orang penganjur "universal health care" ini dan berbeda dengan praktek sistim pelayanan kesehatan masyarakat yang menjadikan pelayanan kesehatan masyarakat sebagai komoditas ekonomi saja. Sisitim "dokter telanjang kaki" memang sudah tidak lagi sesuai dengan perkembangan jaman dan perekonomian sekarang, tetapi sekiranya pemerintah Tiongkok benar memprivatisasi s
[budaya_tionghua] Re: " TUANKU RAO" Terror Agama Islam Mazhab Hambali di Tanah Batak
--- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, "jaringan buku indonesia JBI" <[EMAIL PROTECTED]> wrote: > >INFO Buku Baru LKIS yang beredar di Toko Gramadia Taunku Rao dan >Slamet Mulyono >Buku Tuanku Rao: Terror Agama Islam Mazhab Hambali di Tanah Batak >terbitpertamakali tahun 1964 oleh Penerbit Tandjung Pengharapan. >Segera setelah erbit buku ini ditarik kembali dari peredaran oleh >karena memicu kontroversi yang berkepanjangan. Prof. Hamka bahkan >setelah 10 tahun buku ini terbit, menulis sebuah buku berjudul: >Antara Fakta dan khayal Tuanku Rao(1974). Di luar kontroversi itu, >buku ini layak untuk dilihat dan dibaca. > -- Mungkin dapat ditambahkan lagi sedikit sinopsis dari buku Tuanku Rao karangan Ir. Mangaraja Onggan Parlindungan ini. Buku ini tidak hanya membahas Tuanku Rao, seorang juru dakwah yang mengembangkan Islam di Sumatera Tengah pada pertengahan abad ke-19 serta cerita legenda peperangan para pahlawan di Sumatera Tengah masa lampau dan patriotisme Batak Muslim, tetapi juga ada bab yang penting bagi sejarah orang Tionghoa di Jawa khususnya. Pada halaman 650-672 didalam buku ini ada lampiran XXXI yang berjudul: "Peranan orang-orang Tionghoa/Islam/Hanafi didalam perkembangan Islam dipulau Jawa 1411-1564". Lampiran ini merupakan singkatan dari hasil penyelidikan residen Poortman mengenai naskah Kelenteng Sam Po Kong yang disitanya. Parlindungan mendapatkan akses untuk membaca arsip Poortman ini (arsip kelenteng Sam Po Kong) ketika ia sedang belajar di negeri Belanda. Di jaman kolonial, arsip dari kelenteng Semarang itu dikategorikan sebagai arsip sangat rahasia (Zeer Geheim), yang mungkin dianggap dapat membahayakan politik pemerintah Belanda "devide et impera" ketika itu. Residen Poortman di tahun 1928 ditugasi pemerintah kolonial untuk menyelidiki apakah Raden Patah itu orang Tionghoa atau bukan, dan pada penumpasan pemberontakkan Komunis tahun 1926-1927 Poortman menggunakan kesempatan itu untuk menggeledah kelenteng Sam Po Kong di Semarang pada tahun 1928 dan kemudian menyita banyak naskah berbahasa Tionghoa yang sebagian sudah berumur 400 tahun umurnya serta dimuati kedalam 3 gerobak. (naskah aslinya yang disimpan di Belanda sampai sekarang masih tidak diketahui keberadaannya). Arsip kelenteng Sam Po Kong ini memuat catatan tentang Raden Patah , Wali Songo dan tokoh Tionghoa Islam lainnya di abad 15-16. Arsip Poortman ini menjadi bahan perdebatan yang kontroversial antara ahli sejarah mengenai otentitas dan keaslian sumbernya serta kerancuan antara mitos dan realitas. Buku Tuanku Rao ini, yang beberapa halamannya melampirkan arsip kelenteng Sam Po Kong dari Poortman itu menjadi acuan Prof. Slamet Muljana (selain Serat Kanda dan Babad Tanah Jawi) dalam penulisan bukunya yang berjudul "Runtuhnya Kerajaan Hindu-Djawa Dan Timbulnya Negara-Negara Islam Di Nusantara" pada tahun 1968. Buku Prof. Slamet ini kemudian dilarang oleh Kejaksaan Agung tahun 1971, karena mengungkapkan hal-hal yang kontroversial waktu itu dengan menyebutkan bahwa sebagian Wali Songo berasal dari etnis Tionghoa. Selain itu juga memunculkan sebuah pandangan baru yang sensitif tentang teori penyebaran Islam di Indonesia. Pandangan pertama mengatakan bahwa Islam yang berkembang di Indonesia berasal dari Hadramaut, Yemen. Pandangan kedua mengatakan bahwa peyebarannya berasal dari Gujarat, India. Mengenai pandangan baru atau ketiga ini telah terbit sebuah buku yang membahasnya juga dengan judul "ARUS CINA-ISLAM JAWA" (2003) dikarang oleh Sumanto Al Qurtuby. Arsip Kelenteng Sam Po Kong dari buku Tuanku Rao ini juga dibahas, diberikan komentar dan diinterpretasi kembali oleh ahli sejarah berkebangsaan Belanda, H.J. De Graaf & TH. Pigeaud didalam bukunya yang berjudul "CHINESE MUSLIMS IN JAVA in the 15th and 16th centuries" (1984). Buku ini juga telah diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia dengan judul "CINA MUSLIM di Jawa Abad XV dan XVI (1998, 2004). Sebelumnya arsip Poortman ini belum diperhatikan atau dianggap serius oleh mereka berdua dalam bukunya yang berjudul "KERAJAAN ISLAM PERTAMA DI JAWA' (De Eerste Moslimse Vorstendommen op Java, Studien Over de Staatkundige Geschiedenis van de 15 de en 16 de Eeuw, 1974). Baru pada buku terakhir yang ditulisnya (Chinese Muslim in Java) mereka dengan serius berusaha menginterpretasikannya kembali. Menurut De Graff dan Pigeaud, dokumen Sam Po Kong yang ditulis dalam buku Tuanku Rao itu tidak dapat dikesampingkan begitu saja sebagai catatan sejarah, walaupun keaslian sumbernya masih diperdebatkan. Kesimpulan ini mereka dapati setelah melakukan analisa perbandingan dengan buku-buku sejarah lainnya masa lalu. Sebenarnya dengan menulis buku Chinese Muslim in Java ini, De Graaf dan Pigeaud secara implisit telah mengakui otentisitas sejarah naskah
[budaya_tionghua] Re: Han Hwie-Song: Jawaban saya:
>In budaya_tionghua@yahoogroups.com, "Han Hwie Song" <[EMAIL PROTECTED]> wrote: >Lao Zi mengatakan kalau kita bangun kita harus bongkar >... >Jelas perlu adanya daerah yang harus dirusak untuk membangun yang >baru... >RRT perlu membangun untuk kepentingan perumahan rakyat dan >kebutuhan diplomatik dan perdagangan. >... - >In budaya_tionghua@yahoogroups.com, [EMAIL PROTECTED] wrote: >Tidak semua bangunan atau kawasan lama memiliki nilai sejarah tinggi >untuk dipertahankan. kalo disebuah kawasan sdh ada yang mewakili >apakah dari sudut kesejarahan, teknologi, seni atau langgam tertentu >sisanya boleh2 saja dibongkar. >tetapi apakah semua perlu dilestarikan? >.. -- Benar bahwa tidak semua Hutong dapat dipertahankan lagi, apalagi yang sudah kumuh dan tidak memenuhi standard kesehatan dan pemukiman yang layak lagi. Saya juga sudah sebutkan sebelumnya bahwa kalau tidak hati-hati dan selektif maka akan hilang selamanya warisan budaya arsitektur yang menjadi identitas kota Beijing yang tua dan bersejarah itu. Memang bahwa pemerintahan Tiongkok mempunyai program untuk mengkonservasi bangunan-bangunan arsitektur yang mempunyai nilai sejarah, tetapi tidak semua berjalan seperti yang digariskan atau diharapkan. Dan ini diungkapkan belum lama berselang oleh wakil menteri pembangunan Tiongkok sendiri Qiu Baoxing . Qiu Baoxing mengatakan bahwa banyak bangunan-bangunan yang mempunyai nilai arsitektur bersejarah sebagai warisan budaya rusak akibat proses urbanisasi yang pesat. Ironisnya bahwa banyak pejabat lokal yang bertanggung jawab atas kerusakan tersebut dengan mengatas namakan renovasi, seperti yang dikatakan lebih lanjut oleh Qiu Baoxing. Selain itu Tiongkok baru pada tahun 1982 mempunyai undang-undang perlindungan cagar budaya . Salam GH. -- China Daily 06/11/2007 Historical sites 'devastated' in renovations By LI FANGCHAO Updated: 2007-06-11 06:44 A large number of historical architecture and cultural heritage sites have been destroyed during the country's rapid urbanization, a top official lamented yesterday. Qiu Baoxing, vice-minister of construction, hit out at some local officials for their "senseless actions" that have "devastated" historical sites and cultural relics in the name of renovation. The country's historical and cultural heritage is facing a third round of havoc since New China was founded in 1949, he noted. The first two occurred during the "Great Leap Forward" movement in the late 1950s, and the "cultural revolution" (1966-76), when huge numbers of relics and sites of historical value were demolished, he added. "Some local officials seem to be altering the appearance of cities with the determination of 'moving the mountain and altering the water course'," he told a news briefing on the sidelines of an international conference on urban culture and city planning. "They are totally unaware of the value of cultural heritage." Qiu also slammed the "blind pursuit of large, new and exotic" buildings by some local governments. "This is leading to a poor sight - many cities have a similar construction style. It is like a thousand cities having the same appearance," he said. Tong Mingkang, deputy director of the State Administration of Cultural Heritage, agreed. He lashed out at some local governments for their "reckless decision" to dismantle valuable historical sites which were in poor repair and erecting fake cultural relics at the site. "It is like tearing up an invaluable painting and replacing it with a cheap print." He also blamed long-time neglect by local governments for the fast deterioration of historical sites. "If well protected, their value would grow as days go by," he said. Qiu said that the country is revising the Town and Country Planning Act, which will prevent local officials from arbitrarily altering city planning. Tong said that a 1-billion-yuan ($130 million), five-year nationwide survey on cultural relics has been launched to get a clearer picture of their status. http://www.chinadaily.com.cn/cndy/2007-06/11/content_890987.htm
[budaya_tionghua] Re: "WNI Bangsa Tionghoa"
--- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, "Sunny" <[EMAIL PROTECTED]> wrote: > >http://www.suarapembaruan.com/News/2007/06/15/index.html > >SUARA PEMBARUAN DAILY >"WNI Bangsa Tionghoa" >Oleh Iskandar Jusuf > > >Istilah "WNI bangsa Tionghoa" terasa sangat janggal. Sebab, tidak >ada warga negara Indonesia (WNI) berkebangsaan Tionghoa. Semua WNI >tentu bangsa Indonesia. Tetapi ada segelintir orang Tionghoa yang >menggunakan istilah "kebangsaan Tionghoa Indonesia" untuk menamakan >organisasi masyarakat yang mereka dirikan. > Organisasi masyarakat Tionghoa mana yang dimaksudkan penulis menggunakan istilah "WNI bangsa Tionghoa" atau pernah menyebutkan dirinya dengan istilah ini ? Istilah ini hampir atau tidak pernah terdengar sebelumnya. Penulis (Iskandar Jusuf) di Suara Pembaharuan ini tidak menyebutkannya nama organisasinya. Apakah mungkin istilah atau sebutan yang dilontarkan ini sebuah umpan pancingan terselubung yang diharapkan ada yang menyambutnya? Ataukah hanya sebuah pernyataan hipotetis yang mengandung unsur spekulasi dan perkiraan saja? seperti kutipan tulisannya dibawah ini : "apabila organisasi masyarakat Tionghoa yang menggunakan nama kebangsaan Tionghoa Indonesia ingin mengartikan kata bangsa dalam arti suku, sebaiknya gunakan saja kata suku. Maka namanya menjadi suku Tionghoa Indonesia, bukan kebangsaan Tionghoa Indonesia, atau pakai istilah suku bangsa Tionghoa Indonesia". (Iskandar Jusuf, Suara Pembaruan 15 Juni 2007) Kalau menarik sebuah kesimpulan hanya berdasarkan kata hipotetis "apabila" saja yang dituangkan dalam sebuah suratkabar yang serius seperti Suara Pembaruan tanpa menyebutkan nama organisasinya yang kongkrit sebagai pembuktian, maka ini hampir sama juga dengan mengatakan: "Apabila Tante saya mempunyai "kumis", maka Oom saya "komunis" Salam GH.
[budaya_tionghua] Re: Dr. Han Hwie-Song: Renaissance dan entlightenment di Tiongkok (IX)
--- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, "Han Hwie Song" <[EMAIL PROTECTED]> wrote: > >Renaissance dan entlightenment di Tiongkok > >Restorasi untuk mengembalikan charme kota-kota bersejarah >RRT mengadakan restorasi projek dimana-mana untuk menghidupkan >kembali glamour sejarah kota-kota kuna diantaranya kota Suzhou. >... >Suzhou, Hangzhou dan kota Zhouzhuang. >. --- Pemerintah Tiongkok memang harus lebih banyak lagi mengkonservasi dan melestarikan kota-kota bersejarah lainnya sebagai warisan budaya Tiongkok yang bernilai tinggi. Tidak jarang beberapa kawasan pemukiman yang mempunyai nilai sejarah dan artistik tingi menjadi korban pembangunan, perluasan dan modernisasi kota saat kini. Di Beijing sendiri tidak sedikit "Hutong-Hutong"(kawasan tradisionil pemukiman) yang sudah berusia ratusan tahun diratakan dengan tanah bangunannya untuk digantikan dengankawasan pemukiman (apartemen) dan komersil (perkantoran dan pusat perbelanjaan) modern atau boulevard, apalagi menjelang Olympiade 2008 ini. Banyak ahli perencanaan kota (urban planner) dan arsitek, dari diluar negeri maupun Tiongkok sendiri telah menyampaikan kritikannya terhadap strategi dan langkah pembangunan yang sekiranya tak terkendali, selektif dan hati-hati, maka Beijing atau kota-kota bersejarah lainnya akan kehilangan warisan dan identitas arsitektur budayanya. Kawasan kota lama adalah merupakan salah satu atraksi yang menarik bagi wisatawan asing maupun domestik dan Tiongkok sekarang sedang menghadapi dilemma pembangunan, dimana kepentingan dan percepatan pembangunan kota yang modern dan sehat berikut infrastrukturnya berhadapan dengan kepentingan untuk mempertahankan warisan (heritage) budaya arsitektur yang tua dan bersejarah. Beberapa situs-situs bersejarah juga tidak sedikit harus dikorbankan seperti dalam pembangunan "Bendungan Tiga Ngarai" (Changjiang Sanxia Da Ba) di sungai Yangtse, dimana permukaan air bendungan ditingkatkan pada ketinggian tertentu, sehingga ada beberapa situs arkeologi bersejarah yang tak dapat diselamatkan lagi dan tenggelam dibawah air selamanya. Sama halnya ini dengan pembangunan bendungan Aswan di Mesir (selesai 1970) sebelumnya, dimana lokasi situs arkeologi bersejarah Abu Simbel yang dibangun oleh Ramses lebih dari 3000 tahun yang lalu tenggelam dibawah air dan terpaksa harus direlokasi ke tempat yang baru. Tiongkok selama ini banyak kehilangan bangunan-bangunan bersejarah yang disebabkan oleh bencana alam, peperangan, seperti perang saudara dan intervensi bangsa asing seperti Jin atau Jurchen (ibukota dinasti Sung, Kaifeng dihancurkan olehnya di abad 12), Mongol, Jepang dan Barat (seperti istana musim panas Yuan Ming Yuan yang dibangun oleh kaisar Kangxi di Beijing dihancurkan oleh tentara Inggris dan Perancis tahun 1860) Dan selama Revolusi Kebudayaan juga tidak sedikit bangunan bersejarah yang dihancurkan oleh "pengawal merah" saat itu. Karena dilanda bencana alam, kekacauan dan peperangan yang tak henti- hentinya, maka bangunan-bangunan bersejarah yang bergaya arsitektur dinasti Tang dalam bentuk aslinya lebih sering dijumpai dan terpelihara (konservasi) di Jepang daripada di Tiongkok sendiri, seperti bangunan kuil Buddha abad ke 8 Todai-ji dan Toshodai-ji di Nara serta bangunan-bangunan lainnya di Nara juga yang perencanaan kotanya mengikuti model ibukota dinasti Tang, Changan (Xian) pada abad ke 8. Bangunan-bangunan bersejarah yang luput dari kehancuran bencana alam, peperangan dan kekacauan politik dahulu, sekarang terancam pula oleh modernisasi dan derap pembangunan jaman. Pernah diberitakan juga bahwa "Tembok Besar Tiongkok" (Wanli Changcheng) yang dinyatakan oleh UNESCO sebagai bangunan warisan sejarah dunia (World Heritage) dan kebanggaan sertaicon dari kebudayaan Tiongkok dicuri batu-batunya oleh penduduk setempat untuk membangun rumahnya ! Selain itu Tiongkok menghadapi ancaman besar bencana ekologi, karena lingkungan hidup pada beberapa kota-kota besar seperti sungai dan udaranya tercemar akibat polusi dari industri yang tumbuh dengan pesat. Inilah tantangan-tantangan pemerintah Tiongkok sekarang yang harus dihadapinya menuju ke sebuah negara industri modern di abad ke-21 yang pada gilirannya akan diwarisi kepada generasi selanjutnya. Salam GH.
[budaya_tionghua] Re: Nama toeroenan dan Familliesysteem dari orang Tionghoa.
--- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, "Han Hwie Song" <[EMAIL PROTECTED]> wrote: > >Sdr. Golden Horde yang budiman, >Tulisan anda sangat intersan dan saya membacanya dengan entusias. >Bolehkah saya memberi sedikit keterangan, bahwa setahu saya Liang >Qichao kemudianberobah pikirannya dari "guru" beliau Kang Youwei. >Achirnya beliau menjadi revolusioner, pengikut paham Dr. Sun Yat Sen. >Maaf kalau koreksi saya ini tidak benar, karena dulu saya pernah >membaca sejarah Tiongkok dan ingatan saya demikian. >Salam bahagia, >Han Hwie-Song Bp. Han yb. Benar pendapat Bapak bahwa Liang Qichao akhirnya berbeda jalan dengan Kang Youwei walaupun sama-sama dari kubu monarkis dan reformis. Liang juga akhirnya memang mendukung revolusi yang menjatuhkan Qing ketika itu, karena tidak dapat melawan arus sejarah lagi tetapi Liang tidak pernah bergabung dengan partainya Dr. Sun Yat-Sen yaitu Kuomintang, dan masing-masing memiliki visinya sendiri. Mungkin dibawah ini saya mencoba sedikit menulis tentang hubungan dan peranan mereka berdua ketika pada pembentukkan republik. Sebenarnya antara Sun Yat-Sen dan Liang Qichao terdapat persaingan (rivalitas) diantaranya untuk mencari dukungan dalam perjuangannya, tidak saja dari golongan terpelajar, pemuda dan intelektual Tiongkok sendiri,namun juga untuk mendapatkan dukungan dari masyarakat Tionghoa yang tinggal di luar negeri (overseas Chinese). Mereka berdua pada hakikatnya mempunyai cita-cita yang sama yaitu ingin membangun Tiongkok baru, tetapi metodenya berbeda. Dr. Sun memilih metode revolusi untuk merebut kekuasan dari Qing dengan menghapuskan monarki yang ada serta mendirikan sebuah negara Republik, sedangkan Liang Qichao memilih metode reformasi dan membangun pemerintahan baru dengan sistim monarki kontitusionil seperti model negara Jepang pasca reformasi meiji. Latar belakang pendidikan Dr. Sun Yat-Sen dan Liang Qichao juga berbeda walaupun berasal dari propinsi yang sama yaitu Guangdong.. Dr. Sun yang lebih banyak menghabiskan waktunya dan dibesarkan di luar negeri (Honolulu & Hongkong) serta mendapatkan pendidikan Barat seperti sekolah missionaris (Dr. Sun adalah pemeluk Kristen). Dr. Sun juga hampir atau tanpa memiliki latar belakang pendidikan klassik Konfusius, seperti halnya Liang Qichao yang mendapatkannya melalui pendidikan dan tradisi klassik Konfusius (Confucian Scholar). Walaupun demikian Liang tidak menjadikan dirinya seorang Konfusius yang ortodoks seperti Kang Yuwei dan bahkan bersikap kritis terhadap ajaran-ajaran Konfusius yang tidak sesuai dengan tantangan jaman lagi, bahkan ia aktif menyebarkan dan menterjemahkan ide-ide pemikiran Barat yang modern. Liang memang pernah berkerjasama secara singkat dengan Dr. Sun waktu di Jepang, tetapi pada tahun 1903 dan sekembalinya dari perjalanannya ke Amerika Serikat yang dalam kesempatan tersebut juga bertemu dengan Dr. Sun Yat-Sen dan Presiden Theodore Roosevelt disana, dia berubah pandangannya dan menganggap metode revolusi Dr. Sun itu radikal dan kemudian kembali berkerjasama dengan Reformis atau Royalis Kang Youwei yang bercita-cita mendirikan Tiongkok baru dengan sistim monarki konstitusionil. Di Jepang kubu Sun Yat-Sen (Tung Meng Hui) terlibat dalam polemik dan perdebatan yang sengit dengan kubu Liang Qichao, yaitu antara kubu republik atau revolusioner dengan kubu monarkis atau reformis yang diwakili oleh Liang. Sekembalinya dari Amerika itu, Liang berkeyakinan bahwa rakyat Tiongkok saat itu belum siap atau cukup terdidik secara efektif untuk menjalankan sebuah institusi demokrasi. Sesudah tahun 1905, pengaruh Liang dikalangan kaum terpelajar, pemuda dan intelektual mulai berkurang, karena golongan ini sudah tidak sabar lagi dengan penguasa Qing yang reaksioner, sedangkan gerakan revolusi dari Dr. Sun bertambah populer. Liang dalam polemiknya dengan golongan republik ini memperingatkan mereka bahwa gerakan revolusi mereka yang dianggap radikal dapat memprovokasi negara asing untuk mengintervensi dan memecah belah Tiongkok. Tetapi pada tahun 1910-1911, Liang yang akhirnya frustrasi melihat perkembangan politik pemerintah Qing yang reaksioner dan menolak setiap bentuk perubahan atau reformasi, dan juga sejak kaisar Guangxu yang pernah mendukung idenya itu meninggal, akhirnya mendukung revolusi dan menyerukan digulingkannya pemerintahan Qing yang berawal pada peristiwa pemberontakan Wuchang (propinsi Hubei) di tahun 1911. Perlu ditambahkan juga bahwa peristiwa pemberontakkan Wuchang yang bersejarah di tahun 1911 melawan otoritas Qing saat itu terjadi diluar kontrol dan pengetahuan kedua orang tersebut (Liang dan Dr. Sun) atau diluar kontrol Tung-meng-hui. Kedua orang tersebut ketika peristiwa terjadi sedang berada di luar negeri, Dr. Sun Yat-
[budaya_tionghua] Re: Siapa K. Sindhunata
--- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, "Ulysee" <[EMAIL PROTECTED]> wrote: > > Halaman 172 dari buku berjudul apa?? > > -Original Message- > From: budaya_tionghua@yahoogroups.com > [mailto:[EMAIL PROTECTED] On Behalf Of Golden Horde > Sent: Thursday, June 07, 2007 1:50 AM > To: budaya_tionghua@yahoogroups.com > Subject: [budaya_tionghua] Re: Siapa K. Sindhunata > Sindhunata pada seminar Angkatan Darat II tahun 1966 di Bandung, > menyarankan dalam makalahnya untuk menghentikan penyiaran, > penerbitan dan pendidikan yang berbahasa Tionghoa (Charles A. > Coppel, Tionghoa Dalam Krisis ) --- Dari buku yang sama yaitu "Tionghoa Dalam Krisis", Charles A. Coppel Salam GH
[budaya_tionghua] Re: Siapa K. Sindhunata
--- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, "Tantono Subagyo" <[EMAIL PROTECTED]> wrote: > >Semua merasa menjadi pembela Tionghua, saya melihat bahwa Sindhunata >(secara salah) merasa bahwa keterikatan dengan budaya tradisional >Tionghua merupakan penghambat asimilasi, tanpa mengingat bahwa >budaya ataupun faham tidak dapat diberangus dan akan tetap hidup. >Mungkin karena latar belakang militernya. >Salam, Tantono - Kristoforus Sindhunata dan Harry Tjan Silalahi, keduanya adalah mantan aktivis PMKRI (Perhimpunan Mahasiswa Katolik Indonesia) yang kemudian menjadi pengurus di LPKB (Lembaga Pembinaan Kesatuan Bangsa). Sindhunata pada seminar Angkatan Darat II tahun 1966 di Bandung, menyarankan dalam makalahnya untuk menghentikan penyiaran, penerbitan dan pendidikan yang berbahasa Tionghoa (Charles A. Coppel, Tionghoa Dalam Krisis ) "Ia sendiri sebagai seorang Katolik, berpendapat bahwa Konfusianisme dengan pemujaannya kepada leluhur , bertanggung jawab terhadap orientasi banyak orang Tionghoa kepada leluhur mereka, tanpa memandang status nasional masing-masing" (hal 172 ). Salam GH
[budaya_tionghua] Re: Apakah Yang Gui Fei Adalah Perempuan Tercantik Dalam Sejarah Tiongkok?
--- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, "Hendri Irawan" <[EMAIL PROTECTED]> wrote: > >Bung Darwin, >Pertama, definisi "cantik" itu beragam. Jadi sangat sulit untuk >menentukan secara akurat apakah Yang Yuhuan itu wanita tercantik >dalamsejarah Zhongguo. >Kedua, definisi "cantik" juga berubah-rubah seiring dengan waktu dan >perkembangan kebudayaan. Wanita yang dianggap cantik oleh kalangan >kekaisaran di jaman Tang itu kira-kira adalah secara fisik, >pundaknya berisi dan sedikit bongsor. Hal ini berkaitan dengan asal >muasalkekaisaran Tang yang berhubungan dengan suku nomaden dari utara >(Xianbei). Secara sifat dan keterampilan, wanita yang aktif dan >pintar bermain polo (keahlian berkuda) juga sangat dihargai. Yang Guifei adalah salah satu penyebab awal runtuhnya dinasti Tang yang terkenal itu dalam sejarah Tiongkok. Dan Yang Guifei sebenarnya juga adalah gundik dari anaknya kaisar Xuanzong sendiri yang direbutnya dan lalu diakui sebagai gundiknya. Yang Guifei dipersalahkan sebagai penyebab timbulnya pemberontakkan An Lushan (keturunan Turki) di tahun 755 yang berhasil merebut kota Chang'an, sehingga kaisar Xuanzong (Tan Ming Huang) melarikan dan menyelamatkan diri bersama Guifei meninggalkan ibukotanya itu, yang berakhir dengan kematian bunuh diri dari Yang Guifei yang dituntut oleh tentaranya dimana kaisar Xuanzong sendiri terpaksa memenuhi untuk tuntutan tentaranya yang sudah marah dengan Guifei. Walaupun An Lushan, yang diangkat sebagai anak, disenangi dan dipromosikan sebagai komandan tinggi militer oleh Yang, akhirnya dapat dikalahkan (dibunuh oleh anaknya sendiri). Tetapi sejak itu dinasti Tang merosot melemah terus dan berakhir di tahun 907. Kecantikkan Yang Guifei adalah tipikal standard kecantikkan seorang wanita dari dinasti Tang ketika itu yaitu berwajah bulat atau tembem (plump), ini dapat dilihat dari lukisan-lukisan klasik dan patung wanita terracota atau keramik gaya Tang. Kota Chang'an (Xian sekarang) yang kosmopolitan ketika itu juga sebagai pusat fashion, kostum-kostum wanita Tang mempunyai bahan dan disain yang unik serta indah dan populer, banyak memberikan inspirasi atas disain-disain kostum wanita di berbagai negara seperti Korea, Jepang dll ketika itu. Di jaman sekarangpun kostum wanita Tang ini cukup mendapatkan perhatian kembali dari kalangan perancang busana dengan menginterpretasikannya kembali keindahannya. Cerita dan hubungan cinta (love story) dari Yang Guifei dengan kaisar Xuanzong ini telah menjadi tema dalam berbagai objek seni seperti seni pangung atau opera, novel, syair, lukisan , drama, opera, dan film. Seorang penyair Tang terkenal, Bai Juyi (Pai Chu-I ) telah menulis sebuah syair mengenainya dengan judul "Nyanyian Kesedihan Abadi " (Song of Everlasting Sorrow ). Syair ini telah memberikan inspirasi dan referensi atas penulisan sebuah novel (salah satu novel tertua di dunia) di Jepang yaitu "Cerita Genji" (The Tale of Genji) pada pertengahan periode Heian (794-1185). Yang Guifei yang disebut dengan nama "Yokihi" di Jepang juga telah menjadi tema dalam seni satra, lukisan dan bahkan film di Jepang, seperti Film "Princess Yang Kwei Fei"yang dibuat pada tahun 1955 oleh Kenji Mizoguchi. Juga sebuah buku mengenai pengaruh Yang Guifei dalam sastra Jepang telah diterbitkan pada tahun 1988 oleh Masako Nakagawa, "The Yang Kuei-Fei Legend in Japanese Literature" (Edwin Mellen Press, 1998). Mungkin nasib dan sejarah Yang Guifei dapat dibandingkan dengan Marie Antoinette yang dihukum mati dengan guillotine pada revolusi Prancis di tahun 1793 . Salam GH.
[budaya_tionghua] Re: Nama toeroenan dan Familliesysteem dari orang Tionghoa.
--- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, "Skalaras" <[EMAIL PROTECTED]> wrote: > >Yang dimaksud mestinya Liang Qichao, seorang tokoh gerakan reformasi >di akhir dinasti Qing, ketika gerakannya gagal, dia sempat lari ke >Jepang. Selain seorang pemikir yang banyak menelorkan tulisan2 >penggugah semangat pembaruan, dia juga seorang sastrawan yang >membuat banyak essay dan puisi. puisinya bisa dibaca di buku saya, >halaman 52 dan 212. -- Karena Liang Qichao (1873-1929) adalah salah satu tokoh sejarah dan intelektual penting di Tiongkok pada peralihan abad 19 ke abad 20 yang tidak sedikit mempengaruhi pemikiran generasi muda Tiongkok ketika itu, mungkin disini ada sedikit lagi tambahan informasi mengenainya. Bersama Kang Youwei (1858-1927, dan sudah pernah datang ke Indonesia tahun 1903 mengunjungi sekolah Tiong Hoa Hwee Koan atau Pa Hoa di Patekoan /Jl. Perniagaan, Jakarta), sebagai mentor atau seniornya, mereka berdua (keduanya berasal dari propinsi Guangdong seperti Dr. Sun Yatsen) dikenal sebagai tokoh reformasi 100 hari ketika pada periode Kaisar Guangxu di tahun 1898. Tetapi gerakan reformasi yang diawali oleh ide mereka berdua dan kemudian disambut serta dijalankan oleh Kaisar Guangxu tersebut hanya mampu bertahan hidup 100 hari, karena dihentikan oleh intervensi ibusuri Cixi (Tzu Hsi) yang merasa pengaruh dan kekuasaannya terancam oleh gerakan reformasi tersebut. Cixi mengeluarkan perintah hukuman mati kepada kedua orang ini yang akhirnya berhasil melarikan diri ke Jepang, sedangkan Kaisar Guangxu (1871-1908) dikebiri kekuasaannya serta diisolasi dalam istana. Berbeda dengan ide Dr. Sun Yatsen yang bercita-cita ingin mengakhiri sistim monarki dinasti Qing yang otoriter, terbelakang dan bangkrut dengan negara Republik dengan metode revolusi. Liang dan Kang ingin menggantikan sistim monarki absolut dinasti Qing itu dengan sistim monarki konstitusionil seperti model Jepang sesudah reformasi Meiji, jadi masih tetap mempertahankan sistim monarki tanpa perlunya ada revolusi. Liang Qichao menetap cukup lama di Jepang (14 tahun) yang juga bersamaan ketika itu banyak mahasiswa Tiongkok belajar disana. Selama di Jepang Liang aktif menerbitkan jurnal-jurnal, suratkabar, tulisan (politik, sastra klasik, novel) dan terjemahan buku asing. Salah satu kontribusi penting dari Liang dalam gerakan pembaharuan di Tiongkok adalah menterjemahkan dan menerbitkan buku-buku yang merumuskan ide-ide Barat dan Jepang serta menyebarkannya (diseminasi) kepada kaum terpelajar Tiongkok ketika itu seperti ide- ide demokrasi, sistim konstitusi, pemerintahan parlementer, kesetaraan gender, nasionalisme, darwinisme, dan teori sosial lainnya. Liang juga mempunyai minat yang tinggi serta menulis dibidang sastra, filsafat klasik dan sejarah. Salam GH
[budaya_tionghua] Re: tolong dooong...
--- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, Ruri HP <[EMAIL PROTECTED]> wrote: > > Dear all, > >Saya seorang jurnalis di Batam di sebuah media yang memiliki rubrik >khusus budaya Tionghoa yang terbit saban Senin-Kamis. > >Tapi, sekarang saya sedang kehabisan ide alias blank, meski sudah >buka beberapa artikel maupun literatur mengenai budaya Tionghoa, >misalnya masuk ke www.budaya-tionghoa.org. >Mungkin ada rekan-rekan miliser yang bisa memberi ide fresh bagi saya >supaya bisa mengelola rubrik ini dengan lebih baik. >... Anda dapat mencoba di beberapa website ini, termasuk beberapa forum yang membahas budaya Tionghoa dengan cukup baik : http://www.chinahistoryforum.com/index.php? http://www.sino-economy.com/index.php?act=idx http://www.asiawind.com/ http://www.asiawind.com/forums/ http://www.china-corner.com/default.asp http://www.chinaculture.org/gb/en/node_2.htm Salam GH
[budaya_tionghua] Re: Peristiwa Mei dan sikap budaya
--- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, indarto tan <[EMAIL PROTECTED]> wrote: >Usai perang dunia II, terjadilah perang dingin antara Timur (Uni >soviet) dan Barat (Amerika). Saat itu, RRT yang komunis sekubu >dengan Timur. Memasuki tahun enampuluhan, Sovyet dan RRT pecah, >tetapi RRT dibawah ketua Mao tetap berpolitik kekiri-kirian, dicap >suka export revolusi. Bung Karno yang pro RRT sangat tidak disukai >oleh kaum kanan dan umat Islam. Masalah politik ini, mau tidak mau, >menyebabkan suasana anti Tionghua sering mencuat kepermukaan. >Contohnya peristiwa ITB. >... -- Peristiwa-peristiwa kerusuhan anti Tionghoa di Indonesia yang dimulai sejak jaman Soekarno itu, tidak terlepas dengan situasi dunia ketika itu yaitu ketika dunia masih dalam keadaan perang dingin, antara blok Barat dengan blok Timur. Seperti diketahui bahwa pada periode perang dingin, Soekarno lebih condong ke blok Timur atau Sosialis serta dekat dengan RRT. Hal ini tidak disukai oleh AS, dan AS telah berulang kali hendak menjatuhkannya seperti mendukung pemberontakkan PRRI dan PERMESTA yang akhirnya Soekarno jatuh juga pada tahun 1965. Peristiwa anti Tionghoa yang terjadi pada bulan Mei 1963 (kelihatannya setiap kerusuhan terjadi pada bulan Mei, kebetulan ?) yang dimulai dari ITB, Bandung dan menjalar kebeberapa kota di Jawa Barat telah disinggung dalam tulisan Peter Dale Scott ,"The United States and the Overthrow of Soekarno, 1965-1967" http://www.namebase.org/scott.html Disebutkan disitu bahwa sebuah konspirasi yang terdiri atas CIA (aktor intelektual dan sumber pendanaan, termasuk RAND Corporation dan Ford Foundation), elemen tertentu perwira angkatan darat yang telah dibinanya (Kolonel Kosasih dan Jenderal Ishak Djuarsa), sel PSI bawah tanah serta organisasi mahasiswa yang berafiliasi ke Masyumi dan PSI (partainya Prof. Soemitro Djoyohadikusumo) terlibat dalam memprovokasi peristiwa anti Tionghoa di Bandung pada tahun 1963 tersebut. Aksi anti Tionghoa itu bertujuan untuk mengganggu hubungan antara Indonesia dengan RRT ("campaign to rupture relations with China") ditujukan ke Soekarno secara tidak langsung. Dan Soekarno sendiri terkejut dan tak menduga sebelumnya dengan aksi anti Tionghoa itu, dan wajahnya merasa tercoreng oleh aksi tersebut, karena hubungan antara Tiongkok dan Indonesia sedang hangat-hangatnya saat itu. Walaupun warga Tionghoa Indonesia bukan lagi warga negara RRT dan anti Tionghoa di tahun 1963 di Bandung itu adalah urusan dalam negeri Indonesia, tetapi tetap saja hal ini membuat hubungan kedua negara itu merasa terganggu, seperti pepatah mengatakan "memukul anak untuk memperingatkan menantu" Peter Dale Scott menyebutkan bahwa AS mengobarkan sentimen anti Tionghoa di Indonesia dalam perang dingin ketika itu dengan tujuan geostrategi politik untuk memecah dan mengganggu hubungan yang baik antara Indonesia dengan Tiongkok, apalagi ketika itu perang Vietnam sedang meningkat dan Amerika tidak menginginkan Indonesia jatuh dalam pangkuan blok Sosialis. Sejak runtuhnya Orde Baru hubungan Indonesia dengan RRT telah pulih kembali dan berkembang dengan pesat ke arah positif. Sedangkan hubungan antara AS dan RRT naik turun, bahkan merosot akhir-akhir ini seperti dalam laporan Pentagon yang menyebutkan bahwa perkembangan persenjataan RRT (kapal selam nuklir, rudal nuklir jarak jauh dan senjata anti satelit) sangat mengkhawatirkan AS yang merasa terancam keamanan negara serta dominasinya didunia, selain itu masalah Taiwan juga berpotensi memicu konfrontasi bersenjata antara AS dengan RRT, sekiranya Taiwan memerdekakan dirinya. Maka timbul suatu pertanyaan yang hipotetis, apakah sejarah akan terulang kembali pada saat sekarang seperti dalam perang dingin ketika itu ? dan apakah orang Tionghoa sudah merasa aman dan yakin tak akan terulang kembali seperti dahulu ? dan tak akan ada negara lain yang memancing di air keruh untuk memecah belah persatuan bangsa? Sering terjadi dalam sejarah bahwa memburuknya hubungan RRT dengan salah satu negara di Asia khususnya, warga etnis Tionghoa setempat sering terseret sebagai sandera politiknya, seperti halnya dengan warga etnis Tionghoa di Vietnam (Hoa) pada tahun 1975 ketika terjadi konflik antara RRT dengan Vietnam (atau di India ditahun 1962). Walaupun warga etnis Tionghoa Vietnam (Hoa) adalah warganegara Vietnam dan bukan warganegara RRT lagi, dan sudah berasimilasi dan berintegrasi sejak beberapa generasi serta ikut berjuang mengusir Amerika, tetap saja mereka dikaitkan secara politis dengan kepentingan RRT (dianggap sebagai kolone ke-5). Warga etnis Tionghoa Vietnam yang diusir dan dimusuhi ketika itu sebagian besar tidak memilih mengungsi ke RRT melainkan ke Amerika, Australia, Eropah dll. karena bagi mereka RRT tetap saja dilihat seperti sebuah ne
[budaya_tionghua] Re: Peringatan Tragedi Mei 98 di Los Angeles
--- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, PK Lim <[EMAIL PROTECTED]> wrote: > > Two more cents from me. > >Ibu yang disebut di talk show tersebut adalah Ibu Esther, salah satu >penulis buku tentang kerusuhan Mei 98 yang baru diluncurkan. >Sebagai info, Bapak Fadly Zon yang saya dengan adalah teman dekat >Prabowo Subianto. so, need we more to say ??? --- Dalam perdebatan di talk show Metro TV pekan lalu, terkesan Ester dipojokkan oleh Fadli Zon. Walaupun demikian Esther sebagai aktivis HAM dari SNB (Solidaritas Nusa Bangsa) patut mendapat penghargaan dan respek atas keberaniannya sebagai seorang wanita dalam menegakkan HAM dan penghapusan segala bentuk diskriminasi rasial di negara kita, walaupun ia sering mendapatkan ancaman gelap. Esther bukan saja memperjuangkan keadilan terhadap etnis Tinghoa yang menjadi korban kerusuhan Mei 98, tetapi juga untuk semua korban aksi kekerasan tersebut termasuk warga pribumi lainnya yang ikut menjadi korban dalam peristiwa tersebut. Bersama dengan almarhum suaminya Arnold Purba (etnis Batak) dari SNB, Esther I Jusuf sejak lama juga sudah bergerak sebagai aktivis HAM, seperti dalam Tim Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998. Dalam usaha mencari kebenaran dan menegakkan keadilan atas peristiwa Pogrom Mei 1998, yang sampai kini belum ada penyelesaian hukumnya, golongan etnis Tionghoa sebagai salah satu korban utamanya, juga tidak dapat (atau cukup) memperjuangkan sendiri saja sebagai kelompok, melainkan juga dibutuhkan dukungan dan solidaritas luas dari mayoritas warga etnis lainnya (pribumi) sebagai bagian dari cita-cita penegakkan HAM dalam negara hukum dan demokrasi di Indonesia. Mengenai Fadli Zon, saya telah mengirim sebuah komentar mengenainya kemilis BT ini (21 Mei 07). Tetapi entah mengapa, apakah karena tidak sampai ke tim moderator atau karena mungkin isinya dianggap tidak berkenan maka postingan saya tidak muncul dalam milis ini. Tetapi apapun keputusannya saya menghormati hak dan wewenang tim moderator yang mempunyai kepentingan, kebijaksanaan dan pertimbangan lainnya Selanjutnya mengenai peristiwa Mei 1998 dan Fadli Zon dapat dilihat link dibawah ini yang dilaporkan dan diinvestigasi oleh reporter asing (Asiaweek & FEER) ketika itu. (Asiaweek 24 Juli 1998) http://www.asiaweek.com/asiaweek/98/0724/index.html http://www.asiaweek.com/asiaweek/98/0724/cs1.html (Far Eastern Economic Review 12 Februari 1998) http://www.geocities.com/CapitolHill/Senate/9388/february98/muslim_act ivists_say.htm (Berita SiaR 17 Juli 1998) http://www.minihub.org/siarlist/msg00348.html Salam GH.
[budaya_tionghua] Re: Fwd: Laporan Peluncuran Buku Antologi Puisi Tiongkok Asli Dari Jakarta
>In budaya_tionghua@yahoogroups.com, "Steeve Haryanto" <[EMAIL PROTECTED]> wrote: > In [EMAIL PROTECTED], sarah serena > wrote: >LAPORAN DARI JAKARTA >"ACARA PELUNCURAN BUKU ANTOLOGI PUISI TIONGKOK KLASIK" >Peluncuran Buku Antologi Puisi TIongkok Klasik, Purnama >Di Bukit Langit, di Gedung Bentara Budaya, Palmerah, Jakarta tanggal >15 Mei 2007 telah menambah khasanah kesusastraan Indonesia. > >- Saya sendiri berkesempatan hadir dalam acara peluncuran buku tersebut di Bentara Budaya. Buku karya saudara Zhou Fuyuan ini merupakan suatu kontribusi yang kongkrit dan bernilai dalam membangun sebuah jembatan dialog budaya antara Tiongkok dan Indonesia, selain memperkaya khasanah kesusastraan Indonesia sendiri. Quote: >... >Seperti yang terjadi pada kelurga Abdullah Baadilla, dari Banda >neira. Abdullah adalah seorang pedagang keturunan arab yang kawin >dengan putri kapitan Cina dari Marga Teh, yang pernah ditangkap oleh >VOC dan dibuang ke Banda Neira. >DI Naira, waktu itu sekitar permulaan abad 19, keluarga Teh, >diantaranya dipersunting oleh Abdullah Baadila. Yang satu lagi oleh >seorang kapten Cina, Nio,sedangkan yang ketiga menikah dengan >seorang keturnan Spanyol, Montanus. >Perkawinan antara Abdullah Baadila dengan puteri Cina itu melahirkan >tiga orang putera: Said putera sulung, Abdul Rahim dan si bungsu >salim. Ketiga putra Abdullah ini berturut-turut dipanggil dengan >julukan Tjong, Nana dan Coco. > --- Mungkin saya dapat memberikan tambahan sedikit informasi mengenai keluarga Tionghoa-Arab yang terkemuka di Bandaneira (Maluku) ini, karena kisahnya tidak diceritakan lebih lanjut mengenai keturunan Tjong ini (dari keturunan marga Tionghoa The dari pihak ibu). Tjong yang terkenal sebagai "orang kaya" Banda ini adalah seorang pengekspor pala dan pengusaha mutiara serta pernah diundang ke Belanda untuk bertemu dengan Ratu Belanda Emma (ibu Ratu Wihelmina) pada tahun 1896. Tjong menghadiahkan Ratu Emma ini sebuah mutiara sebesar telur burung merpati yang sampai sekarang masih tetap menempel pada perhiasan Kerajaan Oranye dan Tjong juga pernah diangkat menjadi "Kapitan Oranglima" (Kepala Adat) di Banda Naira. Yang dimaksud dengan Tjong atau Said Tjong Baadilla ini tak lain adalah kakek dari Des Alwi yang pernah menjadi Atase Press dan Kebudayaan KBRI di Bern (Swiss), Austria dan Philipina. Bahkan ketika terjadi konfrontasi antara Indonesia-Malaysia , ia sebagai Dinas Diplomatik terlibat dalam Operasi Khusus Tim Penyelesaian Konfrontasi yang berfungsi sebagai jembatan penghubung dan perantara antara Indonesia dan Malaysia.. Karena kedekatan Des Alwi dengan mantan PM Malaysia Tunku Abdulahman dan Tunku Abdul Razak dan atas jasanya, maka kedua pihak yang sedang berkonfrontasi ini (Indonesia dan Malaysia) dapat dipertemukan dan berdialog untuk mengakhiri konfrontasi itu. Tunku Abdul Rahman dan Tunku Abdul Razak adalah kawan sekolah Des Alwi ketika sama-sama belajar di Raffles College, London. Hubungannya ini dengan calon-calon pemimpin Malaysia yang dekat ini sering disebutkan oleh pers Malaysia sebagai "The Malay College Connection" Selain itu juga Des bergerak dibidang perfilman terutama film dokumenter. Kepulauan Banda Naira (Banda Besar atau Lontar, Gunung Api, Run atau Hatta, Ai dan Naira) yang terletak di Tenggara Pulau Ambon dan dikelilingi oleh laut Banda ini adalah salah satu kepulauan yang terindah dan bersejarah (juga banyak benteng dan bangunan bersejarah lainnya) di Indonesia serta terkenal sebagai pulau rempah penghasil Pala yang utama dan pertama didunia. Beberapa tokoh Nasionalis Indonesia pernah diasingkan ke pulau ini oleh pemerintah Belanda seperti. Dr. Tjipto Mangunkusumo, Iwa Kusuma Sumantri, Hatta dan Syahrir. Di kemudian harinya Des Alwi diangkat anak oleh Hatta dan Syahrir yang kelak mempengaruhi jalan hidupnya. Masyarakat kepulauan Banda Neira ini terdiri dari beberapa kelompok etnis pendatang, seperti Arab, Tionghoa, Bugis, Papua, Portugis, selain orang Banda sendiri dan Maluku lainnya Mereka telah lama berbaur atau menikah satu dengan lainnya sejak lama. Hampir sebagian besar kepulauan Maluku, dari mulai Maluku Utara (Halmahera, Ternate dan Tidore), Maluku Tengah (Ambon, Buru dan Seram) hingga Maluku Tenggara (Kepulauan Aru, Tanimbar dan Kei) dapat dijumpai kelompok masyarakat etnis Tionghoa yang usahanya bergerak di bidang perdagangan, mengelola hasil kelautan, transportasi laut serta jasa lainnya. Di kepulauan Aru dengan ibukotanya Dobo, banyak etnis Tionghoa juga menjadi pengusaha mutiara. Di Bandaneira sendiri ada lokasi yang dinamai "Kampung Cina", karena banyak
[budaya_tionghua] Disepakati Kerjasama Militer RI & RRT
Sebagai kelanjutan dari deklarasi kesepakatan kerja sama Republik Indonesia dengan Republik Rakyat Tiongkok pada 25 April 2005 tahun lalu yang disepakati oleh Susilo Bambang Yudhoyono dan Hu Jintao di Jakarta, diberitakan bahwa pada tanggal 3 April 2007 kemarin telah ditanda tangani kesepakatan kerja sama militer yang lebih erat di antara kedua negara tersebut di Beijing. Penandatanganan kesepakatan kerja sama di bidang pertahanan dan keamanan itu dilakukan oleh Sekjen Dephan Letjen Sjafrie Sjamsoedin (mantan Pangdam Jaya yang bertangung jawab pada waktu kerusuhan Mei 1998) dengan Wakil Kepala Staff Umum Tentara Pembebasan Rakyat Tiongkok (TPRT) Letjen Zhang Qinsheng di Beijing. Rombongan Dephan yang terdiri dari Sekjen Dephan, Dirjen Perencanaan Pertahanan dan Dirjen Strategi Pertahanan itu juga bertemu dengan Menhan Tiongkok Jenderal Chao Guangchuan. Ditekankan bahwa kesepakatan kerja sama militer ini bukanlah sebuah pakta pertahanan. Kesepakatan kerja sama militer ini adalah merupakan salah satu dari sembilan kesepakatan kerja sama yang dibuat pada pertemuan bilateral antara Presiden SBY dengan Presiden Hu Jintao pada April 2005 yang lalu. Dengan kesepakatan kerja sama ini diharapkan dimungkinkannya terjadi dialog dalam membangun kepercayaan di kedua belah pihak (confidence building) dalam bidang keamanan sertamemelihara stabilitas di kawasan regional Asia dan juga sebuah usaha untuk merealisasikan kemitraan strategis antara Indonesia dengan Tiongkok. Letjen Zhang melihat kerja sama militer ini akan menjadi pilar bagi makin dipereratnya hubungan kedua negara. Sjafrie juga menambahkan bahwa disamping pembinaan sumber daya manusia, disepakati juga kerja sama dalam bidang pengembangan industri militer dan intelijen. Sebelumnya dua kapal perang (destroyer) Angkatan Laut RRT juga telah berkunjung ke Indonesia yang merapat di Tanjung Priok pada bulan Maret lalu. Kunjungan kedua kapal perang ini merupakan kunjungan balasan terhadap kedatangan kapal latih TNI AL Dewa Ruci ke Tiongkok pada tahun 2006. Salah satu bentuk kerja sama di bidang teknologi pertahanan dan militer adalah rencana kerja sama dengan LIPI dalam mengembangkan peluru kendali (rudal) jarak menengah atau sekitar 150 km. Selain itu juga direncanakan sejak tahun 2003, Tiongkok melakukan pengkajian tentang prospek jangka panjang empat industri strategis di bidang pertahanan Indonesia yaitu, PT Dirgantara Indonesia, PT Pindad, PT PAL dan PT Dahana. Tetapi tidak diketahui dengan pasti hasilnya sampai kini, seberapa jauh rencana pengkajiannya ini selesai. Kemungkinan tertunda, karena kelihatannya belum ada kesepakatan antara kedua belah pihak sementara ini. Tiongkok minta ke pihak Indonesia ketika itu untuk mendapatkan pendataan terlebih dahulu tentang kemampuan penelitian dan pengembangan di bidang pertahanan pada industri strategis itu, sedangkan Menhan Juwono Sudarsono menolak memberikannya sebelum kajian itu selesai. (?) Guna memperlancar kerja sama lebih lanjut, maka sekarang akan dibentuk semacam komite bersama. Dari pihak Indonesia dipimpin oleh Sekjen Dephan dan dari Tiongkok dipimpin oleh Kepala Staf Umum Tentara Pembebasan Rakyat Tiongkok. Dengan berkerja sama di bidang militer dengan Tiongkok, maka pengadaan sumber Alat Utama Sistim Senjata (Alutsista) Indonesia tidak tergantung lagi dari satu negara saja, terutama dari Amerika Serikat. Karena Alutsista Indonesia sebagian besar pada era Orde Baru tergantung dari AS, maka Indonesia menghadapi kesulitan untuk mendapatkan suku cadang atau membeli perlengkapan militer baru ketika diembargo perlengkapan militer oleh AS (seperti suku cadang pesawat tempur), karena pelanggaran HAM yang dilakukan oleh militer Indonesia. Disamping mengembangkan industri pertahanan dalam negeri sendiri, Indonesia juga mencari sumber pengadaan Alut Sista baru dari beberapa negara, seperti Tiongkok, Rusia, Korea, Jerman, Italia, Perancis sebagai alternatif baru sumber pengadaan senjata. Tetapi selain spesifikasi sistim senjatanya, juga harga dan paket keuangan menjadi salah satu kriteria yang penting dalam keputusan untuk membelinya. Selain itu, seperti diketahui bahwa dalam rencana strategis (renstra) pembangunan kekuatan TNI lima tahun ke depan. Dephan merencanakan akan membeli 70 kendaraan perintis atau rantis (sejenis APC), 70 kapal korvet dan 70 pesawat angkut atau disebut "Formula 70" dan perlengkapan militer modern lainnya. Terkait dengan berbagai latar belakang tersebut, Dephan telah mengirim delegasi ke Tiongkok untuk menjajaki persenjataan apa saja yang dapat dibeli oleh Indonesia sesuai dengan program pengembangan kekuatan militer nasional dan anggaran yang tersedia, disamping kerja sama di bidang pertahanan lainnya seperti pendidikan militer dan latihan militer bersama. Indonesia mengharapkan juga nantinya selain bantuan teknis, Tiongkok dapat ikut berkerja sama meng
[budaya_tionghua] Fwd. Indonesian relations with China: Playing it hard, soft or smart?
Christine Susanna Tjhin, Fuzhou, China Monday, April 02, 2007 The Jakarta Post Christine Susanna Tjhin, Fuzhou, China Russia's "Year of China" has officially begun, following the success of last year's "Year of Russia" in China, which began after Chinese President Hu Jintao's visited to Moscow from March 26 to 28 this year. The two countries have been exchanging cultural and social "ambassadors" for the last two years. Such efforts have been attempts to bridge the gap between the dynamic progress of the high- level government relationship and the more stagnant development of people-to-people relations. Throughout 2006, China hosted over 300 Russian cultural and educational events, including several Sino-Russian economic forums with audiences in excess of 500,000 people. In Russia, the plan for 2007 is to have around 200 events Chinese- themed events, ranging from a national exhibition (which being feted as the biggest all-inclusive event held by China abroad for three decades), to media exchanges, cultural festivals and business forums. The current cooperation was formalized when Hu Jintao met Russian President Vladimir Putin on the sidelines of the 13th Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC) Economic Leaders' Meeting in South Korea in 2005. In March the following year, Putin himself opened a Russian event at the Great Hall of the People in Beijing. Putin even managed, to an affectionate reception by Chinese media, to exchange some of his black-belt judo moves with kung fu masters in Henan's Shaolin Temple. Greater media cooperation and educational exchanges are amongst the main strategies to bridge the gap between Russia and China. News agencies have actively increased cooperation. The Chinese state agency Xinhua is cooperating with ITAR-TASS; the Russian newspaper RIA Novosti cooperates with Renmin Ribao; and Radio of Russia has done exchanges with International Radio of China. Both governments have promised to increase the number of scholarships, exchanges and research grants for students and teachers. Last year Russia sent a large education delegation of 110 representatives from 53 higher education institutions to the China Education Expo to lure Chinese students to the country. In 2006, around 4,000 new Chinese students enrolled in Russian educational institutions. Those numbers are expected to increase as the year progresses. These have been, to use the term coined by American political scientist Joseph Nye, some of the biggest "soft power" engagements between the two titans so far. Soft power engagement favors attraction and persuasion based on in-depth knowledge and solid understanding between partner countries. Although this mainly entails government-to-government interaction, people-to-people dynamics are also critical. In contrast to the "hard power" of military and economic capability, soft power is about the more subtle use of cultural, social and political values. A well- balanced combination of both hard and soft power would produce something else again: "smart power". The backbone of contemporary Sino-Russian relations has obviously been the economic and strategic security relationship. Sino-Russian trade reportedly reached a record high of US$33.4 billion in 2006, an increase of 14.7 percent over the previous year. There has been eight straight years of double digit growth. By 2010, bilateral trade is expected to reach between $60 billion and $80 billion. China's 2006 Foreign Direct Investment in Russia reached $470 million over 736 projects, representing a 131.5 percent year on year increase. China has pledged $12 billion of investment in Russia by 2020. In 2005 the two countries, who share 4,300 km of border, managed to settle four decades of negotiations over their shared frontier. "Peace Mission 2005" was held in August, with 9,000 Russian and Chinese troops conducting an eight-day exercise along China's northeastern coastline, the first such exercise since Sino-Soviet relations collapsed in the late 1960s. Both countries have established a strategic regional security structure, along with Kazakhstan, Kyrgyzstan, Tajikistan and Uzbekistan, through the Shanghai Cooperation Organization (SCO). Russia has also been one of China's main sources for advanced military hardware. Although their efforts have not been without complications, both countries have consciously strived to put the hard and soft power balance between them in tune. A lot can be learned from Sino-Russian engagement. How smart has Indonesia been with China so far? China's soft power charm offensive is underway in Indonesia, though not to the same extent as in Russia. But the Indonesian government is still apparently reluctant, if not overly suspicious, toward these overtures. This is holding Indonesia back from fully benefiting from China's dynamic growth. When the government clogged up its soft power channels with China in
[budaya_tionghua] Re: OOT: Selamat Jalan Mas Chrisye Dan NyanyianmuTetap Abadi
--- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, wahyudi yudi <[EMAIL PROTECTED]> wrote: > >Penyanyi legendaris Indonesia Mas Chrisye telah pergi, pada hari >Jum'at 30-03-2007 dalam usia 57. Mas Chrisye telah meninggalkan >keluarga, sahabat dan penggemarnya termasuk saya ini. penyanyi yang >tidak lekang oleh zaman dan lagu-lagunya bisa >dinikmati/didengarkan/dinyanyikan dengan berbagai usia/generasi >penuh penghayatan syahdu, hingga hati bergetar lembut selembut wajah >dan senyuman Mas Chrisye. Mas Chrisye yang hidupnya total dengan ini. >..deleted. >salam > >yudi Sebelum beliau meninggal, sebuah buku yang mengisahkan lebih dari 30 tahun perjalanan musiknya telah diluncurkan pada tanggal 17 Februari 2007 yang lalu . Buku yang diterbitkan dengan judul "Chrisye, Sebuah Memoar Musikal", oleh Gramedia Pustaka Utama ini (373 hal) disusun oleh Alberthiene Endah, ditengah masa sakitnya. Dalam peluncuran buku itu banyak dihadiri oleh banyak musisi, seperti Guruh Soekarno Putra, tetapi penyanyi legendaris ini tidak hadir dalam peluncuran buku tersebut, karena dalam keadaan sakit. Buku ini merupakan karya musikal dalam bentuk tulisan yang telah memaparkan karir musik dan suka duka kehidupan pribadinya. Dikisahkan dalam buku tersebut bahwa Chrisye sebagai seorang keturunan Tionghoa yang ketika kecil berdomisil di Menteng itu tidak mudah diterima begitu saja oleh masyarakat non-Tionghoa disekelilingnya dan tak jarang dicemohkan atau diejek oleh teman- temannya ketika kecil. Chrisye adalah juga seorang penyanyi kharismatik dan salah satu musisi terbaik bangsa seperti dikatakan oleh promotor musik Adrie Subono. Di usianya setengah abad lebih, Chrisye (lahir 1949) masih menunjukkan eksistensinya yang gemilang, dan namaya tak pernah pudar karena kegemilangan bintang-bintang muda. Selama karir musiknya, Chrisye telah meraih penghargaan Internasional dan Nasional, seperti juara pertama dalam ajang Enka Song Festival tahun 1986 yang diadakan oleh Fuji TV, Tokyo di Jepang dan pada tahun 1990, Video Clip "Pergilah Kasih", menjadi Video Klip Indonesia pertama yang ditayangkan oleh MTV Hongkong. Video Klip "Sendiri lagi", terpilih sebagai Video Klip favorit dan terbaik pada episode ke-5 Video Musik Indonesia. Chrisye selama ini telah menciptakan lebih dari 80 lagu, diantaranya telah mendapatkan penghargaan musik paling bergengsi di Indonesia yang diadakan oleh perusahaan yang memproduksi pita kaset HDX dan BASF. Meraih 4 piringan emas dan 4 piringan perak untuk album- albumnya yang dirilis. Pada tahun 1995, Chrisye menerima penghargaan BASF LEGEND AWARD atas pengabdiannya terhadap musik Indonesia selama ini. Beberapa lagunya juga telah menjadi hit yang dibawakan oleh : Vina Panduwinata, Tika Bono, Andi Matalatta dan Utha Likumahuwa. Selain itu Chrisye juga pernah ikut berakting dalam sebuah film yang berjudul " Seindah Rembulan" pada tahun 1981. Seperti juga Teguh Karya, N. Riantiarno, dll, Chrisye telah menambah lagi deretan nama-nama dari etnis keturunan Tionghoa Indonesia yang telah memberikan kontribusi dalam perkembangan seni budaya Indonesia yang selalu dikenang oleh orang. Salam G.H.
[budaya_tionghua] Re: NEW: STUDY TOUR TAIWAN 2007
Bukan kepentingan dari etnis Tionghoa atau bangsa siapapun, untuk menolak dan mendiskriminasi orang atau bangsa lain yang ingin mempelajari bahasa dan kebudayaannya mereka. Sebaliknya mereka akan disambut hangat dan "welcome" sekali keinginannya. Selama hampir tiga dekade, terbatas atau tidak ada sama sekali hubungan dan pertukaran budaya antara kedua negara ini yaitu Indonesia dan Tiongkok, termasuk juga pertukaran mahasiswa dan pelajar, kecuali pada jaman Soekarno yang lalu. Jadi hampir dua generasi terputus komunikasi dan dialog antara kedua negara dan bangsa ini. Dan baru sesudah kejatuhan Orde Baru dapat dipulihkan kembali, walaupun masih terbatas. Seperti sebuah pameo mengatakan bahwa masa depan suatu bangsa terletak di tangan generasi mudanya, maka pertukaran mahasiswa dan pelajar sebagai generasi muda bangsa harus dipromosikan dan digalakkan. Dengan adanya pertukaran budaya dan mahasiswa antara kedua negara ini, maka dipersiapkan sebuah jembatan saling pengertian (mutual understanding) serta kerja sama ekonomi, politik dan budaya antara negara dan bangsa dimasa depannya, sekaligus mengikis prasangka dan kecurigaan. Apalagi di era globalisasi ini, dimana ketergantungan antara negara satu dengan lainnya bertambah intensif. Pengalaman Uni Eropah adalah sebuah model percontohan yang baik. Sesudah perang dunia ke II, Jerman mengambil langkah inisiatif untuk menghapus prasangka, kecurigaan dan trauma negara-negara tetangga dan Eropah lain terhadapnya, yaitu dengan intensif melakukan pertukaran budaya dan mahasiswa dengan negara-negara Eropah lainnya sebagai salah satu langkahnya. Dengan demikian diharapkan bahwa generasi baru Eropah dapat membangun saling pengertian dan kepercayaan bersama untuk membangun Eropah yang damai dan sejahtera. Pemimpin-pemimpin negara dan bangsa Eropah sekarang telah bertekad untuk tidak akan mengulangi lagi pengalaman sejarah masa lalunya yang gelap seperti dua kali perang dunia yang menghancurkan kehidupan bangsa dan negaranya. Terbentuknya Uni Eropah sekarang adalah merupakan salah satu langkah keberhasilan mereka untuk menghapus kecurigaan dan prasangka satu dengan lainnya. Generasi Eropah pasca perang dunia kedua ini lebih mudah berkomunikasi dan berdialog sesamanya, kekuatan sinergi politik dan perekonomian dari Uni Eropah yang bersatu ini tidak dapat diremehkan oleh negara manapun, termasuk Amerika Serikat. Maka sudah selayaknya kalau kedua negara ini (Indonesia-Tiongkok) juga lebih intensif menggalakkan lebih lanjut pertukaran budaya dan mahasiswa diantaranya. Makin banyak mahasiswa dan pelajar Indonesia yang belajar ilmu, bahasa dan budaya di Tiongkok, makin baik bagi Tiongkok sendiri sebagai mitra strategisnya Indonesia, demikian juga sebaliknya, karena setiap bangsa didunia akan lebih bangga dan bersahabat kalau bangsa lain dapat mengenal bahasa dan budayanya. Seperti yang pernah dikatakan orang bahwa kebudayaan Tionghoa bukanlah eksklusif milik orang Tionghoa saja, melainkan sudah menjadi bagian kebudayaan dunia yang universal sekarang. Dan bagi orang Tionghoa di Indonesia, prasangka negatif atau diskriminasi terhadapnya juga tak dapat dihapus dengan sekaligus dan menyeluruh, melainkan membutuhkan proses waktu, seperti yang dikatakan dalam sebuah pameo bahwa Roma tidak dibangun dalam semalam Maka sudah menjadi kepentingan dari etnis Tionghoa Indonesia sendiri kalau lebih banyak lagi mahasiswa Indonesia, yang non- Tionghoa atau Pribumi dapat melanjutkan pendidikannya di Tiongkok untuk belajar ilmu, bahasa dan kebudayaannya. Dengan demikian maka diharapkan prasangka negatif terhadap etnis Tionghoa di Indonesia ikut terkikis seiring dengan proses waktu, karena komunikasi dan dialog budaya dapat lebih lancar jalannya, termasuk kemitraan dan sinergi di bidang ekonomi nantinya. Selain itu biaya pendidikan dan hidup di Tiongkok relatif lebih murah daripada di Taiwan serta lebih banyak pilihan di lembaga pendidikannya. Salam G.H.
[budaya_tionghua] Re: Gelombang Pengunduran Diri Mendekati 20 Juta
--- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, PK Lim <[EMAIL PROTECTED]> wrote: > >Biarlah apa yang terjadi disana menjadi urusan mereka2. Kita2 >Tionghoa di Indonesia masih banyak masalah yang perlu mendapat >perhatian dan penanganan. > >Salam, >PK Lim Right, He is barking up the wrong tree !! G.H.
Re: Fw: [budaya_tionghua] Ang Kee
GS wrote: >Fatahilah di tahun 1527M, berputra/i 4 orang salah satunya Ratu Ayu >yang menikah dengan Pangeran Djaya Ki Gedeng Angke.. >dari pasangan ini ber cucu Pangeran Djayakarta dan Pangeran Surya. > >Demikian sekilas tambahan info dari kertas silsilah keluaran Banten. > >sur. >ps. >Gelar Tubagus tidak tertulis di silsilah keturunan Fatahilah, dimana >untuk pria mendapat gelar Pangeran sedang Perempuannya Ratu. >Tubagus setingkat dengan Pangeran. -- Nama Fatahillah atau kadang-kadang disebut Faddillah Khan, Faletehan dari Pasei atau Tagaril seperti disebutkan oleh orang Portugis, disebutkan dalam catatan sejarah sebagai panglima pasukan Cirebon yang merebut Sunda Kelapa di tahun 1527. Tetapi sampai kini sampai kini masih belum ada kesepakatan atau kepastian sejarah identitas sebenarnya Fatahillah tersebut. Sejauh ini namanya disebutkan sebagai panglima yang ikut merebut Banten lalu kemudian merebut Sunda Kelapa ( Jakarta ) dari tangan Raja Pakuan Pajajaran (kerajaan Sunda) dengan bantuan tentara dari Demak. Selain itu juga ia disebutkan dalam naskah Carita Caruban menikah dengan puteri Sunan Gunung Jati dan dimakamkan dekat makam Sunan Gunung Jati di Cirebon dengan nama Tubagus Pase. (Tempat-tempat bersejarah di Jakarta, A. Heuken, hal 26). Menurut Hoesein Djajadiningrat dalam bukunya (Tinjauan Kritis Sajarah Banten) menyebutkan Fatahillah identik dengan Sunan Gunungj Jati (Nurullah), sedangkan menurut naskah `Carita Purwaka Caruban Nagari " yang ditulis sekitar tahun 1720 itu, disebutkan bahwa Fatahillah berbeda dengan Sunan Gunung Jati. Tetapi beberapa sejarawan meragukan nilai historisnya naskah Carita Caruban ini, karena dianggap penuh mitos dan dan bertendensi melegitimasikan kesultanan Cirebon , serta ditulis 200 tahun setelah peristiwa sejarah itu terjadi. (Sejarah Indonesia Modern, 1200-2004, M.C. Riclefs, hal 92 ). Saya sendiri belum pernah mendapatkan informasi atau catatan sejarah tentang silsilah putera-puteri dari Fatahilah tersebut yang disebutkan sebagai kakek dari Pangeran Jayakarta itu. Apakah dapat disebutkan sumbernya ? karena cukup menarik untuk diketahui . Sampai kini para sejarawan pada umumnya (Prof. Dr. Hasan Muarif Ambary, Dr. Uka Tjandrasasmita, Dr. Nina Lubis, Drs. Halwany Michrob, A. Heuken SJ, dll) sependapat dengan Hoesein Djajadiningrat (Tinjauan Kritis Tentang Sajarah Banten, 1913), bahwa "Ratu Bagus Angke" adalah menantu dari Sultan Maulana Hasanuddin dari Banten (1552-1570) yang menikah dengan salah satu puterinya (Ratu Pambayun). Sultan Hasanuddin sendiri adalah putera dari Sunan Gunung Jati, yang didalam Sejarah Banten disebut sebagai Sultan pertama Banten. Versi resmi sejarah kota Jakarta juga menyebutkan hal yang sama seperti yang ditulis di "Jakarta Dari Tepian Air Ke Kota Proklamasi" yang diterbitkan oleh Pemerintah Daerah Kusus Ibukota Jakarta, Dinas Museum Dan Sejarah,1988 serta buku kumpulan makalah diskusi yang diselenggarakan oleh Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan RI, Jakarta ditahun 1997 ("Sunda Kelapa Sebagai Bandar Jalur Sutera"). Ratu Bagus Angke, atau Ra(Tu)bagus Angke, dinamakan mengikuti toponinym (toponimi) setempat yaitu daerah kali Angke, dan nama Angke sendiri berasal dari bahasa Tionghoa, seperti sejarawan Denys Lombard menulisnya. Hal ini dimungkinkan karena orang Tionghoa sudah ada di Jakarta di abad ke 16 itu. Di Banten sendiri sudah ada orang Tionghoa sejak abad ke 12 dan 13 (The Sulanate of Banten, Claude Guillot). Dalam bahasa Indonesia sendiri toponimi Angke hampir tidak pernah dijumpai ditempat lain dan sering seseorang dinamakan berdasarkan sebutan toponiminya, seperti sebutan Sultan Ageng Tirtayasa (1651- 1682). Tirtayasa adalah nama sebuah desa dekat Serang , dimana ia mendirikan keraton baru dan tempat mengasingkan diri sementara di desa tersebut. Nama Ratu untuk seorang bangsawan laki mungkin agak membingungkan, karena biasanya nama Ratu diasosiasikan dengan nama seorang wanita. Tetapi dalam sejarah Indonesia, hal ini sering ditemukan sebagai nama gelar. Seperti seorang bangsawan Banten bernama "Ratu Bagus Buang" bersama guru agama Kiai Tapa (namanya diabadikan sebagai nama jalan di Grogol sekarang) pada tahun 1750 melakukan pemberontakan terhadap Ratu Syarifah Fatimah (keturunan Arab) dan Pangeran Syarif, sebagai penguasa Banten yang didukung oleh VOC ketika itu. Ketika pada tahun 1750 itu, dan baru sepuluh tahun peristiwa pembantaian orang Tionghoa terjadi (1740), Angke menjadi lagi sasaran penghancuran lagi, ketika pasukan Kiai Tapa bergerak maju ke Batavia dan menghancurkan wilayah pinggiran kota yang bernama Angke (Nusa Jawa: Silang Budaya 1, hal 65, Denys Lombard). Kejadian seperti ini terulang kembali pada Mei 1998, dimana kawasan Angke menjadi salah satu sasaran awalnya. Didepan nama Ratu juga sering ditambahkan dengan gelar Pangeran atau Panem
[budaya_tionghua] Re: Need Info = Table Manner Chinese
--- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, dinda karina <[EMAIL PROTECTED]> wrote: > > dear all, > >ada yang tahu tidak ya restaurant china di jakarta yang bisa >mengaplikasikan langsung TABLE MANNER nya CHINNA. seperti tata letak >utilities nya. lalu cara memegang sumpit yang benar, dll. >kalau ada yang punya info nya boleh tlg lsg reply ke e-mail saya... >sebelumnya terimakasih banyak > > -dinda- Anda dapat juga mencarinya langsung melalui Google dibawah judul Table Manner+Chinese. Mungkin salah satu etiket yang perlu untuk diperhatikan pada jamuan makan bersama dalam tradisi kebudayaan Tionghoa ialah "jangan menancapkan kedua sumpitnya diatas nasi", karena ini dapat dianggap seperti upacara sembahyang arwah. "Don't stick your chopsticks upright in the rice bowl.Instead,lay them on your dish. The reason for this is that when somebody dies,the shrine to them contains a bowl of sand or rice with two sticks of incense stuck upright in it. So if you stick your chopsticks in the rice bowl, it looks like this shrine and is equivalent to wishing death upon a person at the table!" http://en.wikipedia.org/wiki/Table_manners#Chinese_table_manners http://www.travelchinaguide.com/intro/cuisine.htm http://www.newsgd.com/specials/95cantonfair/95fairhelpfulinfo/20040308 0042.htm http://www.newsgd.com/specials/95cantonfair/95fairhelpfulinfo/20040308 0042.htm http://www.warriortours.com/intro/cuisine_culture.htm Salam G.H.
Re: Fw: [budaya_tionghua] Ang Kee
--- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, [EMAIL PROTECTED] wrote: > > >Ang itu berarti Hung yang kalau bahasa mandarinnya berarti Merah. >Kalau banjir air tidak akan berwarna merah , kecuali banjir darah. >Yang menggelitik keingintahuan lebih lanjut adalah mengapa sampai >dinamakan ANGKE dari salah satu dialek Tionghoa ? kenapa tidak >KALMER (Kali merah) ? >Mengapa nama dari Tionghoa yang justru di adopt ? Dulu banyak daerah >dan nama jalan yang memakai kata dari istilah , nama, dan >bahasa/dialek Tionghoa , contoh Gang Toa Hong, Gang Kong Goan, >Gang Kong Kwan , Toa She Bio, , Gang Lo Su Fan, Gang Lautze, Bo >Ciang, Gang Yo Sun Bie , Gang Cay Ho, Tay Kung Sie (Kongsi Besar), >gang Sen Tiong, Ji Lak Keng, gang Mo Cui, Gang Hok Tien, Gang Lam >Ceng, Petak Sing Kian, Sam Pan Lio, gang Tiongkok, dan seabreg nama >yang bukan istilah Melayu. >Satu alasan yang mungkin bisa masuk akal adalah , pernah suatu >waktu Tionghoa mendapat legitimasi di Nusantara, Koq sekarang >tidak ada lagi/kurang ? >Mengapa Angke menjadi dinamakan jalan TUBAGUS ANGKE ? katanya nama >Pahlawan Tolong ahli sejarah disini bantu menjelaskan . == Nama Angke sebenarnya sudah ada jauh sebelum terjadi pembantaian Tionghoa di Batavia di tahun 1740 (pertengahan abad ke 18) . Dalam sejarah kota Jakarta disebutkan pada abad ke 16 dan awal ke abad 17, penguasa Jayakarta (nama Jakarta dahulu) ketika itu bernama Pangeran Tubagus Angke (1570-1600 ?), sebagai Adipati Jayakarta kedua dan bawahan (vasal) kesultanan Banten serta penerus Fatahillah. Anak dari Pangeran Tubagus Angke ini adalah Pangeran Jayakarta yang disebutkan oleh orang Inggris dan Belanda sebagai "Regent of Jakarta" atau "Koning van Jacatra". (Tempat-tempat bersejarah di Jakarta, A. Heuken SJ). Pada jaman Pangeran Jayakarta inilah orang-orang asing Eropah seperti Inggris dan Belanda (sebelumnya di abad ke 16 orang Portugis juga sudah mengunjungi Jakarta) mulai berdatangan yang kemudian harinya pecah konflik dengannya. Penduduk Tionghoa sendiri juga sudah ada sebelumnya di kota ini, dan kemudian harinya bertambah lagi dengan orang-orang Tionghoa yang berdatangan dari Banten dan terutama sesudah Banten (dibawah Sultan Ageng Tirtayasa) dikuasai oleh Belanda. Nama Pangeran Tubagus Angke sendiri didalam buku "Tinjauan Kritis Tentang Sajarah Banten" (Hoesein Djajadiningrat) disebutkan sebagai "Ratu Bagus Angke" yang juga adalah menantu dari Sultan Hasanuddin, penguasa Banten yang dinikahkan dengan putrinya Ratu Pembajun. Dia disebut Ratu Bagus Angke, karena ditempatkan didaerah dekat kali Angke di Jakarta. Ketika itu kali Angke merupakan perbatasan antara wilayah kekuasaan Banten dan Jayakarta sebelum dipindahkan dikemudian harinya ke sungai Cisadane. Nama Pangeran Tubagus Angke kini dijadikan nama jalan di Angke yang dahulunya bernama "Bacherachtsgracht". Menurut Denys Lombard, Angke adalah berasal dari kata Tionghoa yang berarti "Riviere qui deborde', yakni kali yang (suka) banjir (Tempat- tempat bersejarah di Jakarta, hal 166. A. Heuken SJ). Apakah benar transliterasi Lombard ini ? Di pemukiman-pemukiman yang mayoritas penduduknya orang Tionghoa pada jaman dahulu, terutama di kawasan kota lama seperti di Jakarta Utara, tak jarang nama lokasi atau jalan berasal dari bahasa atau dialek Tionghoa. Angke sebagai bagian kota tua dan bersejarah Jakarta, selain pernah terjadi peristiwa pembunuhan orang Tionghoa di tahun 1740 juga mempunyai cerita sejarah lain yang menarik seperti : Pada abad ke 17 itu juga, Arung Palakka (pahlawan dan bangsawan Bugis dari Bone) berserta pengikutnya pernah bermukim di Angke pada tahun 1663 sebagai tempat penampungan dan pengungsian sementara di Batavia setelah terdesak oleh kerajaan Gowa di Sulawesi Selatan ketika itu. Kemudian di tahun 1666 Arung Palakka kembali bersama pengikutnya dan tentara VOC lainnya ke Makassar untuk menaklukan Sultan Hasanuddin dari kerajaan Gowa di Makassar. Pengikut Arung Palakka ini adalah prajurit-prajurit tangguh yang disegani lawan (warrior) dan dinamakan "Toangke" , yakni "orang dari Angke" (People of Angke), dinamakan demikian karena tempat pemukimannya di Jakarta terletak di daerah sekitar kali Angke ketika itu. ("The Heritage Of Arung Palakka", Leonard Y. Andaya). Disini juga terdapat sebuah mesjid bersejarah yang menarik, baik dari segi sejarah maupun dari segi arsitektur. Mesjid ini dinamakan mesjid Angke, kini disebut sebagai Masjid Al- Anwar yang didirikan pada tahun 1761 untuk orang Bali pemeluk Islam yang bermukim di kampung Gusti dan dibangun oleh seorang kontraktor Tionghoa. Ketika itu banyak orang Bali yang tinggal di Batavia yang sebagian dijual oleh raja mereka sebagai budak. Walaupun sudah diperbaiki beberapa kali, bangunan mesjid Angke ini masih menunjukkan campuran harmon
[budaya_tionghua] Re: Sekilas Info
--- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, liong han <[EMAIL PROTECTED]> wrote: > >..deleted... >Pada tanggal 8 Maret 2007, saat ia akan mengadakan konferensi pers di >Bali, polisi Bali, atas hasutan dan tekanan rejim komunis China, >menahan Jia Jia di kantor polisi dan rutan. >...deleted.. === Harap anda ketahui bahwa sudah menjadi kebijaksanaan Pemerintah Indonesia dan juga beberapa negara lainnya didunia untuk tidak membiarkan atau mengijinkan seorang warganegara asing dari negara tempatnya berasal atau negara tertentu menggunakan kesempatannya, tinggal atau mampir di Indonesia untuk melakukan kegiatan yang dapat mengganggu atau merugikan hubungan antara negara yang mempunyai hubungan diplomatik resmi dengan pemerintah Indonesia, apapun bentuk dan sistim negara itu yang dikritiknya (demokrasi ataupun diktaktor). Anda memang cukup berani dengan mengatakan Polisi Bali sebagai Lembaga Kepolisian Negara Indonesia dihasut dan ditekan oleh rezim komunis China. G.H.