[ppiindia] jurnal sairara: menuju sarawak [11-selesai]

2008-03-04 Terurut Topik sangumang kusni
Jurnal Sairara:
   
   
   
  MENUJU SARAWAK [11]
   
   
  Secara keinginan, aku memang ingin menyusup juah  dan lebih jauh lagi, jauh 
hingga sampai ke pedalaman Sarawak,  yang seperti sudah kukatakan di atas,  
telah kukenal namanya dalam lagu-lagi yang dilarang Belanda seperti "Borneo 
Tanahairku". Aku ingin mengenal dengan baik dan rinci keadaan serta budaya 
semua bagian Borneo dan pulau-pulau tanah kelahiranku sehingga aku mengerti apa 
arti kebhinnekaan tanahair. Tidak asing di negeri sendiri , sekali pun fisik 
berada di tengah-tengahnya. Untuk mengenal pulau, maka Tjilik Riwut, yang 
kebetulan adalah pamanku, ketika melancarkan perang gerilya melawan Belanda 
untuk mengibarkan sang saka di Kalimantan, telah berjalan kaki ke Kalimantan 
Utara [Sarawak dan Sabah] guna mengenal Kalimantan secara langsung. Barangkali 
melalui kunjungan berkali-kali ke Utara inilah kemudian yang menjadi sangkan 
paran adanya orang-orang Iban, Dayak dari Sarawak, dalam Angkatan Udara 
Republik Indonesia  [AURI].
   
   
  Selama ini aku lebih banyak ke muara daripada ke hulu sungai. Lebih banyak ke 
laut daripada ke gunung. Sebab aku masih ingat nasehat:"Melihat sekali jauh 
lebih baik dari pengetahuan buku". Walau pun nasehat ini kukira masih berat 
sebelah. Melihat adalah membandingkan. Membandingkan bacaan dengan kenyataan 
dan perkembangannya. Sebab bisa saja apa yang terdapat di buku, selain banyak 
celah-celahnya, bahkan kesalahan,  juga sangat rentan akan keadaan yang tak 
henti berkembang. Membaca buku, laporan, dokumen, sejarah,  dan sebagainya 
mengenai suatu daerah yang akan didatangi, kemudian kurasakan sebagai suatu hal 
yang sangat  perlu. Apalagi jika perjalanan dianggap sebagai kesempatan 
belajar, membanding bersangukan soal-soal dari negeri sendiri. Sangu dialog 
dengan budaya lain, jika meminjam pendapat filosof Perancis Paul Ricoeur.
   
   
  Bacaan sebelum datang memberi kepada pengunjung sebuah peta garis besar 
tentang berbagai keadaan sehingga ketika tiba, kita tidak seperti rusa masuk 
kampung. Bacaaan sebelum tiba ke suatu tempat agaknya tak obah sejenis  
mercusuar bagi kapal menuju dermaga. 
   
   
  Keinginan memperpanjang kunjungan ke Sarawak, tidak bisa kuujudkan. Acara 
besar tentang Dayak oleh orang Dayak di Palangka Raya segera berlangsung dan 
sangat ingin kuhadiri walau pun sebagai pendengar yang duduk di deretan kursi 
paling belakang. Aku pun segera mencari tiket  bus untuk kembali  ke Pontianak. 
   
  "Sudah penuh, Pak" , ujar pejual tiket.
   
  "Besok, lusa, esoknya dan esoknya lagi sudah penuh semua", lanjutnya. Aku 
hanya bisa terdiam. Berpikir mencari jalan keluar yang lain. Aku tidak mau 
menunggu dan tidak pula mau tergantung pada jalan tunggal.
   
   
  Akhirnya aku mendapat tiket pesawat Malaysia Air Service [MAS] ke Pontianak. 
Sopir taksi yang mengantarku ke bandara adalah Kuching asal etnik Tionghoa. 
Agaknya ia baru menjemput anak lelakinya lepas sekolah. Kami berbicara bahasa 
Tionghoa dan Inggris. Anaknya memanggil aku dengan panggilan "uncle". Kami 
berbicara hulu-hilir termasuk keadaan keluarga sopir itu sendiri seakan kami 
sudah lama berkenalan. Sopir dan anaknya mengantarku hingga ke pintu "check-in" 
bandara. Sebelum melanjutkan langkah, kucium pipi anak sopir itu yang 
menjawabku dengan suara bocahnya: "Cai cien Xuxu". Goodbye Uncle.
   
   
  Sebelum masuk pesawat MAS, aku mondar-mandir dari toko ke toko. Yang sangat 
menarik perhatianku bahwa toko-toko di bandara ini dimeriahi oleh barang-barang 
suvenir Dayak dan dijaga oleh orang-orang Dayak. Aku tidak tahu, apakah 
modalnya juga modal orang Dayak. Tapi  mengingat posisi orang Dayak di Sarawak 
yang cukup berpengaruh, termasuk di dunia politik,  hal demikian kukira 
bukanlah tidak mungkin dan bukan mustahil. Jika benar dugaanku, maka kenyataan 
ini membantah anggapan bahwa orang Dayak itu tidak mampu berwiraswasta. Yang 
menjadi pertanyaan dalam hatiku: Apakah benar manusia Dayak Sarawak sudah bisa 
keluar dari kungkungan anak alam yang manja pada periode betang [long house] 
dan hutan tropis pulau belum ganas dibabat? Eksploatasi hutan tropis secara 
ganas dan buas telah menggoncangkan jiwa putera-puteri alam yang tadinya ramah 
memanjakan. Olehnya kehidupan menjadi garang dan ganas pula dan tidak sedikit 
anak alam yang kehilangan dirinya.
   
   
  Bandara sebagai pintu gerbang memasuki Sarawak. Adanya dominasi Dayak di 
bandara seakan-akan mau mengatakan bahwa Dayak merupakan salah satu identitas 
Sarawak. Sebagai kenang-kenangan, aku membeli patung enggang [hornbill] dari 
kayu.  Hal ini tidak kudapatkan di Sepinggan, Balikpapan. Tidak juga di 
Supadio, Pontianak, bahkan juga tidak di bandara Tjilik Riwut,  Palangka Raya, 
Kalimantan Tengah. 
   
   
  Kuching seperti halnya Yogyakarta, melalui bandara sudah menyambut para tamu 
dengan berkata: Inilah aku. Inilah identitasku.
   
   
  Baru selesai secangkir kecil kopi yang dihidangkan oleh pramugari-pramugari 
Melayu pesawat MAS yang penuh penum

[ppiindia] Re: ‘PENGALAMAN BURUK’ DI IMIGRASI BOGOR (birokrasi tolol?)

2008-03-04 Terurut Topik Lina Dahlan
Kalo saya pengen nanya, apa saja yang bisa membuat orang asing 
dideportasi dari Indonesia, selain yang saya tahu dibawah ini:
- Melakukan tindakan kriminal, termasuk pemalsuan surat2
- Tidak memperpanjang visa pada waktunya
- Tujuan kunjungannya tidak sesuai dengan type visa...

he..he..ada yang punya dendam neh!

wassalam,
--- In ppiindia@yahoogroups.com, eka zulkarnain <[EMAIL PROTECTED]> 
wrote:
>
> Sebenarnya ini bukan pengalaman saya. Ini adalah
> pengalaman adik saya yang mengurus pembuatan paspor di
> Kantor Imigrasi Bogor, Jawa Barat. Saya sendiri pernah
> memiliki pengalaman buruk dengan imigrasi dalam
> pembuatan paspor, cuma itu terjadi sekitar 2 tahun
> lalu.
> 
> 1 Pada hari Senin, 25 Maret 2008, saya mengantarkan
> adik saya untuk mengurus pembuatan paspor di Kantor
> Dinas Imigrasi Bogor, Jawa Barat. Ini adalah paspor
> pertama adik saya. 
> 
> 2 Saya mendatangi loket dan bertanya syarat-syarat
> pembuatan paspor. Setelah dijelaskan, adik saya telah
> memenuhi persyaratan. Dan kami pun meminta formulir
> pembuatan paspor. Petugas di loket meminta kami berdua
> untuk mengambil formulir di bagian samping kantor di
> sebuah loket dekat sebuah loket fotokopi dan formulir
> harus dibeli dengan uang sebesar Rp 15.000,- (lima
> belas ribu rupiah).
> 
> 4 Di tempat pembelian formulir ini saya melihat
> sejumlah orang berpakaian rapi dengan name tag alias
> kartu identitas yang tergantung di dada. Setelah
> iseng-iseng bertanya-tanya kepada pria tersebut, dia
> mengaku kepada saya bisa menguruskan paspor adik saya.
> Ia mengaku dari travel agent. Untuk paspor yang sehari
> jadi, dikenai biaya Rp 700 ribu, sedangkan yang besok
> jadi Rp 550 ribu. Saya bertanya, "bisa Mas? Beneran
> bisa nih?" Dia menjawab, "bisa mas, sehari ini jadi
> kok dan mas tak perlu mengantri." Saya pun bilang apa
> tidak bisa rendah dari harga itu, dia bilang tidak
> karena sudah begitu aturannya. 
>   Dan saya memang melihat ia membawa lebih dari empat
> map berwarna kuning muda, sepertinya dokumen
> persyaratan orang-orang yang ingin yang urus
> paspornya. 
>   Tapi saya tak mau memakai jalur itu. Toh saya cuma
> iseng-iseng dan mungkin sudah naluriah saya sebagai
> wartawan pengen tahu. Pasalnya, saya pernah juga
> dikerjain waktu mengurus paspor di Jakarta sekitar dua
> tahun lalu. Saya pengen aja negara ini memiliki
> struktur dan prosedur birokrasi yang sehat yang
> benar-benar melayani warga negaranya dengan baik
> sesuai dengan cita-cita luhur Pemerintah Negeri ini di
> era reformasi untuk menghapuskan KKN dan birokrasi
> berbelit yang malah menyengsarakan rakyatnya. Dan saya
> pribadi ingin tahu bagaimana sih mengurus paspor
> secara prosedural.
> 
> 3 Setelah mengisi kebutuhan formulir, saya kembali ke
> loket untuk diberikan kepada petugas pendaftaran
> pembuatan paspor. Kami tanyakan berapa lama
> mengurusnya? Petugas itu menjawab 7 (tujuh) hari
> kerja. Ia pun memberikan sebuah formulir yang berisi
> jadwal wawancara adik saya hari Senin depan alias
> tanggal 3 Maret. Dia bilang agar adik saya datang
> antara jam 8.00 – 12.00. Kalau lewat itu sudah tak
> dilayani lagi. 
>   Dan biaya yang tertera di loket adalah Rp 270 ribu.
> 
> 4 Adik saya (sendirian tak lagi bersama saya) datang
> ke Imigrasi Bogor pada hari Senin, 3 Maret 2008. Ia
> datang sekitar pukul 9.15 dan sudah mengambil nomor
> antrian. Tapi sampai waktunya makan siang tidak juga
> dipanggil. Ia heran kok tidak dipanggil-panggil,
> padahal jadwalnya jam 8.00 sampai 12.00 sedangkan
> banyak pendaftar lain yang nomor antriannya di bawah
> dia dipanggil. Dan dia pun melihat orang-orang yang
> mengaku dirinya travel agent hilir mudik keluar masuk
> Kantor Imigrasi Bogor mengurus pendaftaran paspor. Dan
> para pendaftar yang nomor antriannya di bawah dia bisa
> langsung wawancara dan ternyata dibantu oleh
> orang-orang yang `ngakunya' dari travel agent
> tersebut. 
>   Akhirnya adik saya memang bisa mendapatkan paspor
> pada hari itu juga (Senin, 3 Maret 2008) dan itu pun
> pada sekitar jam 18.30. Alias menjelang Maghrib!
> 
> Yang saya ingin tanyakan:
> 1 Apakah jangka waktu mengurus paspor harus selama
> itu? (7 hari kerja) 
> 
> 2 Apakah untuk mendapatkan formulir paspor juga
> dikenai biaya Rp 15.000,- (lima belas ribu rupiah) per
> orang atau per satu map formulir?
> 
> 3 Kalau sudah ada prosedural kerja 7 hari, kenapa
> Kantor Imigrasi Bogor melayani juga pembuatan paspor
> kilat 1 hari kerja atau dua hari kerja selesai dengan
> biaya Rp 700.000,- (tujuh ratus ribu rupiah) untuk
> satu hari kerja dan Rp 550.000,- untuk 2 hari kerja
> dan pendaftar tidak perlu mengurus sendiri, melainkan
> diurus oleh travel agent.
>   Kalau ini diberlakukan yang dirugikan adalah
> orang-orang yang mengikuti prosedural tujuh hari
> kerja. Seperti yang dialami oleh adik saya. Atau
> sebetulnya pengurusan 1 hari kerja dan 2 hari kerja
> dengan biaya yang lebih besar itu adalah AKAL-AKALAN
> IMIGRASI SAJA UNTUK MELAKUKAN KORUPSI DENGAN MODUS
> BARU?

[ppiindia] Penulis Buku “Mantan Kiai NU Menggugat” Tidak Siap Hadiri Debat Terbuka

2008-03-04 Terurut Topik Ananto
Penulis Buku "Mantan Kiai NU Menggugat" Tidak Siap Hadiri Debat Terbuka



Surabaya, NU Online**

Kurang sepuluh hari pelaksanaan dialog terbuka penulis buku Mantan Kiai NU
Menggugat Shalawat dan Dzikir Syirik, H Mahrus Ali, penulis buku, menyatakan
tidak siap hadir. Keputusan itu disampaikan kepada NU Online oleh Usman,
katua panitia dialog terbuka Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya pada
Selasa (4/3). Usman menyatakan hal itu setelah dirinya berkunjung ke rumah H
Mahrus sehari sebelumnya. "Beliau menyatakan tidak bersedia hadir," kata
Usman.


Pernyataan Usman itu dibenarkan oleh Musa, salah seorang kepercayaan H
Mahrus. Dihubungi NU Online via ponselnya, lelaki alumnus Pesantren
Tambakberas Jombang itu menyatakan gurunya memang tidak siap hadir.


"Karena alasan keamanan," tuturnya. Meski dijelaskan pihak panitia sudah
menjamin keamanan H Mahrus, namun pihaknya belum ada rencana mengubah
keputusan itu.


Pada mulanya Musa mengaku banyak alasan untuk membatalkan rencana awal,
faktor keamanan hanyalah salah satunya. Namun ketika didesak untuk
menyebutkan beberapa faktor penyebab keberatan itu, ia malah tidak bisa
menyebutkannya. "Ya keamanan itu saja," lanjutnya.


Menurut Musa, para murid H Mahrus yang kebanyakan berlatar belakang NU lebih
menghendaki agar gurunya mau datang dalam dialog itu. Dengan adanya dialog
terbuka, akan sama-sama tahu keabsahan dalil yang dipakai selama ini. Namun
hingga kini gurunya masih belum menyatakan kesiapannya.


Di sisi lain, sekalipun gurunya yang berperan sebagai penulis buku tidak
hadir, namun pihaknya meminta agar penerbit Laa Tasyuk! Pres juga diundang
dalam dialog itu. Sebab yang membuat judul bombastis dan banyak menyingung
perasaan tokoh NU itu adalah penerbit, bukan penulis buku.


"Dia yang makan nangkanya kita yang kena getahnya, kan tidak enak jadinya,"
kata Musa yang mengaku sejak awal tidak setuju dengan judul buku itu.


Respon dari Tokoh NU


Sudah jelas, banyak tokoh NU merasa kecewa denga tidak hadirnya H Mahrus
dalam dialog yang akan digelar di IAIN Sunan Ampel pada 12 Maret itu. Sebab
sebelumnya mereka mendengar kabar kalau H Mahrus siap hadir. Tapi ketika
kesediaan itu dibatalkan, mereka tidak bisa menyembunyikan kekecewaannya.


"Alasan karena keamanan itu tidak rasional," kata KH Ali Masyhuri, salah
seorang Wakil Rais Syuriah PWNU Jawa Timur. "Itu hanya mengada-ada," lanjut
kiai yang biasa disapa Gus Ali itu. Ia mengaku kecewa karena sejak lama
ingin tahu wajah orang yang bernama H Mahrus Ali yang kontroversial itu.
Dengan nada menyakinkan, kembali ia mengharap agar H Mahrus mau hadir dalam
acara dialog itu. Soal keamanan sepenuhnya ditanggung Gus Ali. "Saya jamin
keamanannya," ujarnya tegas.


Kekecewaan juga terlihat dari Ketua Tim LBM PCNU Jember, Drs KH Abdullah
Syamsul Arifin, MHi. Ia juga mengaku gembira dengan adanya kabar H Mahrus
siap hadir, namun ketika membatalkan kesediaan, tentu saja rasa penasaran
itu muncul. "Kalau memang merasa benar dan dalilnya kuat, kenapa harus takut
adu argumentasi?" begitu Kiai Abdullah mempertanyakan.

Lebih jauh ia mempertanyakan motivasi penulisan buku itu. Sudah jelas
menginggung perasaan orang NU, diajak klarifikasi malah tidak mau. "Terus
mau diselesaikan dengan cara apa?" begitu pengasuh Pondok Pesantren Bustanul
Ulum Curang Kalong Bangsalsari Jember itu mempertanyakan. "Mestinya penulis
itu berani mempertanggungjawabkan apa yang ditulis, bukan malah menghindar.
Itu kan sama artinya tidak yakin dengan apa yang dia tulis sendiri," tandas
dosen STAIN Jember itu.


Salah seorang Wakil Katib Syuriah PWNU itu menuturkan, kisah serupa pernah
terjadi di daerahnya dua tahun silam. Kala itu ada seorang wahabiyin bernama
Lukman Ba'abullah, menyebarkan paham wahabi di Jember melalui buletin
bernama Al-Ilmu. Sama dengan buku karangan H Mahrus, tulisan dalam Al-Ilmu
banyak menyinggung perasaan nahdliyin. PCNU Jember bergerak dengan menulis
buku bantahan dari buletin penyebar keresahan itu. Setelah itu Lukman diajak
adu argumentasi secara terbuka. Berkali-kali diajak tidak mau, akhrinya
kasusnya dibawa ke FKUB (Forum Komunikasi Umat Beragama). Di depan FKUB
Lukman meminta maaf dan menghentikan tulisannya yang banyak menyinggung
perasaan umat Islam itu. "Sekarang kasusnya terulang lagi," tutur Kiai
Abdullah.


Menurut Kiai Abdullah, panitia tidak harus memaksa penulis buku itu nanti
hadir. Hanya saja sebagai konsekwensi logis, sebagai jalan keluar, pihaknya
meminta agar penerbit dan penulis menarik seluruh buku yang menyinggung
perasaan itu. "Mau bagaimana lagi, diajak ngomong enak-enak juga tidak mau,"
tuturnya dengan nada mulai meninggi.



Dari panitia pelaksana dikabarkan, meski penulis buku menyatakan tidak
hadir, namun acara dialog terbuka itu tidak dibatalkan, karena KH Muammal
Hamidy, pemberi kata pengantar, menyatakan siap. Panitia mengaku tidak
mempermasalahkan apakah dialog itu menarik atau tidak, karena hanya dihadiri
pemberi kata pengantar (mungkin juga penerbit), namun rencana itu tidak
dibatalkan. Sud

[ppiindia] Buntut kasus BLBI yang panjang

2008-03-04 Terurut Topik Umar Said
(Tulisan ini juga disajikan dalam website http://kontak.club.fr/index.htm)

Buntut kasus BLBI yang panjang



Berhubung dengan makin gencarnya berita-berita yang “seru” tentang kasus
BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia), yang sekarang kelihatan makin
mengobok-obok berbagai lembaga tinggi negara (eksekutif, legislatif,
judikatif), dan dengan tujuan untuk memberi kesempatan dan kemudahan kepada
para pembaca untuk bisa mengikuti masalah besar ini maka website
http://kontak.club.fr/index.htm   menyediakan ruangan yang luas
dengan memasang rubrik khusus yang berisi kumpulan berita, atau tulisan,
atau berbagai pendapat yang berkaitan dengan persoalan ini.



Sekarang makin kelihatan bahwa di antara banyak masalah besar tentang
penyelewengan atau korupsi yang terjadi di negara kita selama ini, kasus
BLBI adalah salah satu sumber keruwetan atau sumber penyakit yang terparah.
Bukan saja, karena menyangkut dana yang luar biasa besarnya (147,7 triliun
Rupiah, atau 147 000 000 000 000 Rupiah, atau 147 juta Rupiah dikalikan
sejuta. Tentu saja, sulit dibayangkan berapa besarnya uang yang begitu
banyak itu !!!), tetapi juga  karena banyaknya berbagai permainan kotor
(dari banyak fihak) yang tersangkut di dalamnya.



BLBI secara singkat

Berikut adalah sekadar bahan untuk menyegarkan kembali ingatan kita bersama
tentang BLBI : Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) adalah pinjaman yang
diberikan Bank Indonesia kepada bank-bank yang mengalami masalah likuiditas
pada saat terjadinya krisis moneter 1998 di Indonesia. Pinjaman  ini
dilakukan berdasarkan perjanjian Indonesia dengan IMF dalam mengatasi
masalah krisis. Pada bulan Desember 1998, BI telah menyalurkan BLBI sebesar
Rp 147,7 triliun kepada 48 bank.

Menurut Wikipedia Indonesia, audit BPK terhadap penggunaan dana BLBI oleh
ke-48 bank tersebut menyimpulkan telah terjadi indikasi penyimpangan sebesar
Rp 138 triliun. Dana BLBI banyak yang diselewengkan oleh penerimanya. Proses
penyalurannya pun banyak yang melalui penyimpangan-penyimpangan. Beberapa
mantan direktur BI telah menjadi terpidana kasus penyelewengan dana BLBI,
antara lain Paul Sutopo Tjokronegoro, Hendro Budiyanto, dan Heru Supratomo

Selama bertahun-tahun, masalah BLBI merupakan soal yang tidak bisa
diselesaikan secara tuntas oleh berbagai pemerintahan sesudah Suharto “turun
tachta” (pemerintahan Habibi, Abdurrahman Wahid, Megawati dan sekarang
SBY-JK), berhubung dengan banyaknya persoalan yang dihadapi oleh para
pejabat negara yang bertugas untuk mengurusnya serta para konglomerat yang
bersangkutan (pimpinan bank-bank yang menerima pinjaman). Di samping itu,
ada “permainan” (dengan macam-macam cara) antara para konglomerat yang
berusaha “mengemplang” dan para pejabat dan tokoh penting negara, yang
menggunakan (atau mensalahgunakan ???) alasan hukum atau macam-macam dalih
lainnya.

Banyak fihak yang “tersangkut” dengan BLBI

Entah sudah berapa saja uang haram yang sudah digunakan (sebagai suapan ke
berbagai fihak ) dalam tahun-tahun yang lalu oleh para konglomerat hitam
untuk usaha mereka menghindari kewajiban membayar utangnya (sebagai obligor)
yang umumnya berjumlah sampai puluhan bahkan ratusan miliar Rupiah. Dapat
diperkirakan bahwa banyak sekali pejabat negara dan tokoh masyarakat
(termasuk di pemerintahan pusat, DPR, Kejaksaan Agung, Mahkamah Agung, hakim
dan jaksa pengadilan) yang telah menjadikan para konglomerat yang tersangkut
BLBI sebagai sapi perahan.

Kasus jaksa Urip Tri Gunawan yang tertangkap basah sedang menerima uang
suapan sebesar 600.000 US$ (atau lebih dari 6 miliar Rupiah) dari Artalyta
Suryani (orang dekat Syamsul Nursalim, tokoh penting bank BDNI)  adalah
salah satu dari banyak contoh yang bisa diangkat mengenai persoalan besar
BLBI ini.

Dari apa yang terjadi dengan kasus BLBI, yang melibatkan uang negara dan
rakyat ratusan triliun Rupiah dan menyangkut banyak pejabat-pejabat negara
dan konglomerat hitam, jelas sekali kelihatan bahwa kasus BLBI adalah  salah
satu dari begitu banyak penyakit parah yang telah diidap bangsa kita sebagai
akibat pemerintahan Orde Baru yang puluhan tahun. Penyakit parah bangsa kita
dewasa ini bukan hanya karena kasus BLBI saja,  dan bukan pula hanya karena
kejahatan-kejahatan keluarga Cendana saja, tetapi juga karena kerusakan
moral atau dekadensi mental yang menyerang secara besar-besaran kalangan
elite bangsa kita.



Kasus jaksa Urip Tri Gunawan


Dari sudut ini pulalah kita bisa mencoba menelaah kasus jaksa Urup Tri
Gunawan. Bahwa kasus ini merupakan cermin kebejatan moral yang amat parah
adalah berikut ini :



Jaksa Urip Tri Gunawan tadinya dianggap oleh banyak orang sebagai jaksa
(Kajari di Klungkung, Bali) yang berkepribadian baik, dan karenanya telah
dipilih oleh Jaksa Agung sebagai Ketua atau Koordinator Tim Penyelidikan
Kasus BLBI yang beranggotakan 35 jaksa yang diseleksi dari berbagai daerah
di Indonesia. Tugas dari Tim yang beranggotakan 35 jaksa “terpilih” ini
adalah mengusut kasus BLBI, terutama yang m

[ppiindia] Re: bergabunglah dalam milis diskusi progressif...!

2008-03-04 Terurut Topik kim3hook
--- In ppiindia@yahoogroups.com, "Julian" <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
>
> Imperialisme merupakan tahap tertinggi kapitalisme, demikian menurut
> Lenin. 
...

Sosialisme, komunisme itu tidak jalan dan gerakan yang sudah
bisa dianggap kadaluwarsa pada masa kini. Malahan ada kecon-
dongan isme-isme ini satu haluan dengan gerakan islamisme dlm
gagasan utk merubah dunia.






[ppiindia] Perkuat Ide/Gagasan untuk Panduan Aksi Revolusioner..gabunglah bersama kami

2008-03-04 Terurut Topik Julian
Gerakan sosial baru bukanlah hal yang baru, tendensi seperti ini sudah
muncul sejak bergeloranya kembali klas pekerja dan massa mahasiswa
paska perang dunia ke. II. Namun tidak terpimpin atau di persiapkan
oleh organisasi-organisasi revolusioner yang berbasiskan ideology
marxisme revolusioner. Ada beberapa factor yang melingkupi dan
menyediakan basis material untuk berkembangnya gerakan sosial yakni;
pertama kemunduran-kemunduran gerakan kiri-revolusioner secara
internasional karena kekalahan dan kegagalan revolusi di berbagai
Negara Eropa. Kebangkitan-kebangkitan fasisme tanpa halangan/hambatan
berarti dari gerakan klas pekerja, yang kemudian menggulung
partai-partai kiri-komunis. Kedua kebangkrutan ideologis yang dialami
oleh partai-partai stalinis yang kemudian menjadi penyokong
rejim-rejim diktatur militer yang anti-klas pekerja. Disi lain,
partai-partai reformis sosial demokrasi semakin bergerak kepada
lapisan klas borjuis dengan membuang analisa-analisa perjuangan klas,
sosialisme ilmiah, dan lain-lain. Ketiga kekosongan ruang yang
ditinggalkan oleh kaum radikal-progressif ini kemudian dimanfaatkan
oleh kehadiran kelompok-kelompok yang membawa tuntutan penolakan
nuklir, masyarakat adapt, perempuan, lingkungan, dan lain sebagainya. 

Mau berdebat soal gerakan sosial, gerakan klas pekerja, regroupment
gerakan kiri di Indonesia dan internasional, anti perang, climate
change, feminisme, dan sebagainya, Silahkan bergabung di Milis ini
http://tv.groups.yahoo.com/group/Liga-anti-imperialis-platform/?yguid=335599764




Re: [ppiindia] Caping GM: Fouda

2008-03-04 Terurut Topik A. Marconi
Rupanya usaha rasululloh Muhammadsaw guna memanusiakan bangsa Arab dengan 
budaya kehormatan kelompok, suku, golongan, melalui pendidikan ahlaq 
kemanusiaan tidak mempan buat bangsa Arab. Memang transformasi budaya jahiliah 
Arab ke budaya perkotaan modern yang dipimpin rasululloh hanya berlangsung 
sekitar 10 tahunan (selama di Madinah). Sesudahnya para pemimpin yang 
ditinggalkan rasul saling baku hantam sendiri demi kepentingan kelompok, suku, 
golongan masing-masing. 

Jelas kan bahwa memanusiakan manusia itu bukan kerja sejam dua jam bahkan sudah 
hampir 1500 tahun masih menonjol kesadaran biologisnya dengan ahlaq biologis 
yang tidak banyak beda dengan kesadaran dan ahlaq bonobo, gorilla dan 
chimpanzee. 



Salam,
A.M

 
  - Original Message - 
  From: Nugroho Dewanto 
  To: ppiindia@yahoogroups.com ; [EMAIL PROTECTED] 
  Sent: Tuesday, March 04, 2008 9:44 AM
  Subject: [ppiindia] Caping GM: Fouda



  Fouda

  Pada tanggal 8 Juni 1992, mereka bunuh Farag Fouda di Madinat al-Nasr, 
  Kairo. Dua orang bertopeng menyerangnya. Fouda tewas tertembak, anaknya 
  luka-luka parah. Kelompok Jamaah Islamiyah mengatakan: "Ya, kami membunuhnya."

  Bagi kelompok itu, tak ada dosa bila Fouda dibinasakan. Bukankah lima hari 
  sebelum itu sekelompok ulama dari Universitas al-Azhar memaklumkan bahwa 
  cendekiawan ini telah menghujat agama, dan sebab itu boleh dibunuh? Seorang 
  ulama, Muhammad al-Ghazali, membela para algojo: tindakan mereka adalah 
  pelaksanaan hukuman yang tepat bagi seorang yang murtad.

  Tapi tak seorang pun tahu sebenarnya, benarkah Fouda, yang tewas pada umur 
  46, orang yang murtad. Terutama jika kita baca buku yang baru-baru ini 
  diterbitkan Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama, Kebenaran Yang 
  Hilang, yang juga memuat kata pengantar Samsu Rizal Panggabean.

  Lima bulan sebelum ia dibunuh, Fouda ikut dalam perdebatan di Pameran 
  Buku Kairo. Dalam acara yang konon diikuti 30.000 orang itu ia menghadapi 
  ulama macam Muhammad al-Ghazali. Perdebatan berkisar pada masalah hubungan 
  antara agama dan politik, negara dan agama, penerapan syariat Islam dan 
  lembaga khilafah.

  Pendirian Fouda dikemukakan dengan gamblang dalam serangkaian bab al-Haqiah 
  al-Ghaybah-nya yang diterjemahkan oleh Novriantoni. Ia memang bisa 
  mengguncang sendi-sendi pemikiran kaum "Islamis": mereka yang ingin 
  menegakkan "negara Islam" berdasarkan ingatan tentang dunia Arab di abad 
  ke-7 ketika para sahabat Nabi memimpin umat.

  Bila kaum "Islamis" menggambarkan periode salaf itu sebagai zaman keemasan 
  yang patut dirindukan, Fouda tidak. Baginya, sebagaimana ditulis Samsu 
  Rizal Panggabean, periode itu "zaman biasa".

  Bahkan sebenarnya "tidak banyak yang gemilang dari masa itu", demikian 
  kesimpulan Samsu Rizal Panggabean. "Malah, ada banyak jejak memalukan."

  Contoh yang paling tajam yang dikemukakan Fouda ialah saat kejatuhan Usman 
  bin Affan, khalifah ke-3. Sahabat Rasul yang diangkat ke kedudukan pemimpin 
  umat pada tahun 644 itu--melalui sebuah musyawarah terbatas antara lima 
  orang--berakhir kekuasaannya 12 tahun kemudian. Ia dibunuh. Para 
  pembunuhnya bukan orang Majusi, bukan pula orang yang murtad, tapi orang 
  Islam sendiri yang bersepakat memberontak.

  Mereka tak sekadar membunuh Usman. Menurut sejarawan al-Thabari, jenazahnya 
  terpaksa "bertahan dua malam karena tidak dapat dikuburkan". Ketika mayat 
  itu disemayamkan, tak ada orang yang bersembahyang untuknya. Siapa saja 
  dilarang menyalatinya. Jasad orang tua berumur 83 itu bahkan diludahi dan 
  salah satu persendiannya dipatahkan. Karena tak dapat dikuburkan di 
  pemakaman Islam, khalifah ke-3 itu dimakamkan di Hisy Kaukab, wilayah 
  pekuburan Yahudi.

  Tak diketahui dengan pasti mengapa semua kekejian itu terjadi kepada 
  seseorang yang oleh Nabi sendiri telah dijamin akan masuk surga. Fouda 
  mengutip kitab al-Tabaqãt al-Kubrã karya sejarah Ibnu Sa'ad, yang 
  menyebutkan satu data yang menarik: khalif itu agaknya bukan seorang yang 
  bebas dari keserakahan. Tatkala Usman terbunuh, dalam brankasnya terdapat 
  30.500.000 dirham dan 100.000 dinar.

  Kaum "Islamis" tak pernah menyebut peristiwa penting itu, tentu. Dan tentu 
  saja mereka tak hendak mengakui bahwa tindakan berdarah terhadap Usman itu 
  menunjukkan ada yang kurang dalam hukum Islam: tak ada pegangan yang 
  mengatur cara mencegah seorang pemimpin agar tak menyeleweng dan bagaimana 
  pergantian kekuasaan dilakukan.

  Ketika Usman tak hendak turun dari takhta (ia mengatakan, "Demi Allah, aku 
  tidak akan melepas baju yang telah disematkan Allah kepadaku!"), 
  orang-orang Islam di bawahnya pun menemui jalan buntu. Sebagaimana disebut 
  dalam Kebenaran Yang Hilang, para pemuka Islam waktu itu mencari-cari 
  contoh dari masa lalu bagaimana memecahkan soal suksesi. Mereka gagal. 
  "Mereka juga mencari kaidah dalam Islam.tapi mereka tak menemukannya," 
  tulis Fouda. Maka perkara jadi runcing dan mereka mengepung U

[ppiindia] catatan bantimurung: masihkah beso ada kupu-kupu?

2008-03-04 Terurut Topik sangumang kusni
Catatan Bantimurung :
   
   
   
  MASIHKAH BESOK ADA KUPU-KUPU? 
   
   
   
  Puas dengan kegiatan hobbinya potret-memotret, Ken Prita segera mencari dan 
mencium pipi puterinya.
   
   
  "Maaf ya Rara. Mama tinggalkan lama" .
   
   
  "Aku kan sama Papahku, Mah. Kami juga asyik deh". Melihat aku membungkuk, 
Rara seperti biasa tiba-tiba menerkam punggungku sambil ngekek. Dengan kedua 
tangannya yang kecil memeluk leherku. Dan tak mau turun-turun lagi dari 
punggungku. Rara tidak bisa melihat ayahnya jongkok. Ia pasti menggunakan 
kesempatan itu untuk digendong.
   
   
  "Ayo, Pah berdiri!". Ken Prita melihat ulah puterinya yang manja dengan 
geleng-geleng.
   
   
  "Papahmu kan capek, nak".
   
  "Biarin. Ini kan Papahku sendiri. Hanya Papahku seorang", sambil berkata 
demikian, Rara mencium pipiku gemas. Terkadang bahkan mencubitku. Jawaban ini 
adalah jawaban standar Rara pada siapa saja yang berkomentar melihat 
kemanjaannya pada sang ayah.
   
  Sambil berjalan menuju jurusan air terjun untuk mendapatkan kesegaran air di 
tengah terik, Ken Prita bercerita apa yang baru terjadi ketika ia sedang 
motret-motret.
   
   
  "Aku didekati oleh seorang  lelaki penangkap kupu-kupu. Ia menanyai Mama, 
apakah Mama mau kupu-kupu langka?"
   
   
  Rara yang berada di punggungku menoleh ke ibunya dengan rasa ingin tahu lebih 
jauh. 
   
  "Terus gimana,Mah" tanya Rara.
   
  "Aku tanya kupu-kupu langka itu?"
   
  "Kupu-kupu yang sangat sangat jarang, Bu", jawab penangkap kupu-kupu itu.
   
  "Berapa lama untuk mendapatkan kupu-kupu langka?"
   
  "Paling tidak seminggu lah".
   
  "Lama sekali".
   
  "Tentu saja. Namanya saja barang langka".
   
  "Berapa harganya kira-kira?"
   
  "Barang langka mana ada yang murah, Bu. Apalagi aku kan juga hidup dari 
kupu-kupu. Kupu-kupu menghidupi aku dan keluargaku".
   
  "Berapa kupu-kupu langka yang akan Bapak tawarkan?"
   
  "Lha, ibu mau berapa? Tentu waktunya pun jadi bukan seminggu". 
   
  "Bapak tawarkan berapa seekor kupu-kupu langka?"
   
  "Barang langka ya harganya langka juga".
   
  "Berapa?"
   
  "Ibu benar mau?"
   
  "Kan tanya dulu?"
   
  "Dua juta seekor".
   
  "Mahal amat ya Pak".
   
  "Begitu memang barang langka itu, Bu"
   
  "Lalu Mamah bilang apa pada penangkap kupu-kupu itu?" tanya Rara dari 
punggungku.
   
  "Pah, aku turun Pah. Papah capek kan?"lanjut Rara. Aku jongkok membiarkan 
Rara turun dari punggungku.
   
  "Pegel ya nak"
   
  "Tapi aku kan gak capek".
   
  "Papah yang capek".
   
  "Biarin, kan Papahku sendiri".
   
  Rara berjalan sambil memegang tanganku. 
   
  "Terus,apakah Mamah jadi pesan kupu-kupu langka itu?", tanya Rara pada ibunya.
   
  "Darimana Mamah punya uang sebanyak itu? Dan pula untuk apa buang duit untuk 
seekor kupu-kupu, betapa pun langkanya? Kita kan bukan orang kaya , Nak. Mamah 
kan hanya ingin tahu saja. Ada apa yang lain di bawah  ada di bawah sayap 
ribuan kupu-kupu Bantimurung. Ingin tahu berapa lama keindahan Bantimurung ini 
bertahan?".
   
   
  "Bayangkan aku pernah dapat info bahwa untuk siaran iklannya, sebuah tivi 
swasta memerlukan seribu kupu-kupu Bantimurung. Satu iklan seribu kupu-kupu. 
Ditambah dengan adanya barisan penangkap kupu-kupu yang berpatokan pada uang 
dan karena memang hidup dari kupu-kupu", lanjut Ken Prita bercerita kepada 
anaknya. 
   
   
  "Kalau begitu, kupu-kupu Bantimurung ini akan habis dong, Mah? Sayang sekali. 
Padahal aku suka sekali kupu-kupu dan Bantimurung yang sekarang", ujar Rara 
polos.
   
   
  "Pah, kira-kira besok, masihkah akan ada kupu-kupu di Bantimurung", tanya 
menanyaiku sambil minta digendong lagi dengan alasan lelah berjalan kaki.
   
   
  "Entahlah, Nak. Hutan Kalimantan dekat kampung Papah saja sudah gundul jadi 
padang pasir. Papah kan pernah ajak Anak melihatnya", jawabku sambil 
membayangkan nasib hutan Hampalit -- sebuah tambang emas terbuka di Katingan.
   
   
  "Ya, ya , aku masih ingat, Pah. Aku masih kecil sekali waktu itu. Sekarang 
aku kan sudah besar. Aku ingat , Pah", ujar Rara dari punggungku sambil mencium 
pipiku yang basah keringat.
   
   
  "Ihhh, pipi Papah asin ihh", katanya lagi sambil mengusap bibirnya. Ngekek . 
Geli sendiri. Aku hanya diam membiarkan anakku girang di punggungku menikmati 
masa kanaknya yang hanya sekali sepanjang hidup. Masa yang tak akan pernah bisa 
terulang kecuali melekat di kenang. Hijau tandusnya, riap rimbunnya masa kanak 
anak adalah tanggungjawab orangtua. Jika kurang disadari, maka masa kanak itu 
akan seperti hutan Hampalit yang menjelma padang pasir putih hingga cakrawala 
di mana kepahitan berkeliaran garang dan liar. Di padang pasir putih ini tak 
lagi kudengar suara enggang dan suara kijang berlari seperti dahulu. 
   
  Bantimurung! Besok masihkah kau punya kupu-kupu?***
   
   
   
  Paris, Akhir Musim Dingin 2008
  --
  JJ. Kusni, pekerja biasa pada Koperasi Restoran Indonesia Paris.
   

   
-
 
 Real p

Re: [ppiindia] Caping GM: Fouda - AGAKNYA....?

2008-03-04 Terurut Topik Nugroho Dewanto


intisari caping itu adalah balaslah tulisan dengan tulisan.
buku dilawan dengan buku. jangan kedepankan kekerasan.

sejarah bukan keyakinan. dia bisa diperdebatkan siapa saja
dengan kajian yang obyektif. dan tetap saja orang boleh setuju
atau tidak setuju dengan hasilnya.

kutipan dibawah tepat menjelaskan psikografi kaum islamis:

"Di satu pihak, mereka harus yakin, tapi di lain pihak, mereka
tahu mereka buta."



At 02:27 AM 3/4/2008 -0800, you wrote:
>Saya terus terang tidak merasa sreg dengan penggunaan istilah AGAKNYA di 
>bawah ini.
>Marilah kita berpikir secara logis:
>
>1. Jika Nabi Muhammad SAW sendiri menyatakan Utsman bin Affan R.A. 
>termasuk salah satu sahabat yang DIJAMIN MASUK SURGA (dan artikel di bawah 
>tidak menggugat keabsahan ucapan Nabi Muhammad SAW tersebut), maka 
>sepatutnya kita mempertanyakan: mengapa kutipan atas karya Ibnu Sa'ad itu 
>dianggap begitu signifikan? Mana yang lebih kuat, pernyataan Nabi Muhammad 
>SAW atau Ibnu Sa'ad? Logika saya, mustahil Rasulullah SAW menyebut Utsman 
>termasuk sahabat yang dijamin surga jika Utsman seorang koruptor atau 
>orang yang rakus harta! Ini tuduhan yang sangat keji.
>
>2. Saya bukan ahli sejarah. Tapi sejauh saya tahu dari beberapa literatur, 
>Utsman bin Affan itu SUDAH kaya raya sebelum masuk Islam. Kemajuan dakwah 
>Islam di bawah Rasulullah mendapat dukungan penuh dari Utsman, yang 
>menghibahkan begitu banyak hartanya untuk dakwah secara sukarela. Kalau 
>niatnya cuma menumpuk harta, ngapain juga dia repot-repot mengambil risiko 
>bergabung dengan Rasulullah? Jadi, kalau toh (anggap saja data Ibnu Saad 
>bednar), Utsman ketika meninggal punya simpanan uang banyak, tidak ada 
>yang aneh, wong dia memang sejak dulu sudah kaya raya kok!
>
>=
>Tulisan Goenawan Mohamad:
>
>"Tak diketahui dengan pasti mengapa semua kekejian itu terjadi kepada
>seseorang yang oleh Nabi sendiri telah dijamin akan masuk surga. Fouda
>mengutip kitab al-Tabaqãt al-Kubrã karya sejarah Ibnu Sa’ad, yang
>menyebutkan satu data yang menarik: khalif itu agaknya bukan seorang yang
>bebas dari keserakahan. Tatkala Usman terbunuh, dalam brankasnya terdapat
>30.500.000 dirham dan 100.000 dinar."
>
>
>Satrio Arismunandar
>Producer "SISI LAIN" (tayang Senin-Jumat, pukul 13.30-14.00 WIB) -
>News Division, Trans TV, Lantai 3
>Jl. Kapten P. Tendean Kav. 12 - 14 A, Jakarta 12790
>Phone: 7917-7000, 7918-4544 ext. 4023,  Fax: 79184558, 79184627
>
>http://satrioarismunandar6.blogspot.com
>http://satrioarismunandar.multiply.com
>
>"Ungkapkanlah kebenaran itu, meskipun pahit" (Hadist Nabi)
>
>
>
>- Original Message 
>From: Nugroho Dewanto <[EMAIL PROTECTED]>
>To: ppiindia@yahoogroups.com; [EMAIL PROTECTED]
>Sent: Tuesday, March 4, 2008 3:44:05 PM
>Subject: [ppiindia] Caping GM: Fouda
>
>
>Fouda
>
>Pada tanggal 8 Juni 1992, mereka bunuh Farag Fouda di Madinat al-Nasr,
>Kairo. Dua orang bertopeng menyerangnya. Fouda tewas tertembak, anaknya
>luka-luka parah. Kelompok Jamaah Islamiyah mengatakan: “Ya, kami membunuhnya.”
>
>Bagi kelompok itu, tak ada dosa bila Fouda dibinasakan. Bukankah lima hari
>sebelum itu sekelompok ulama dari Universitas al-Azhar memaklumkan bahwa
>cendekiawan ini telah menghujat agama, dan sebab itu boleh dibunuh? Seorang
>ulama, Muhammad al-Ghazali, membela para algojo: tindakan mereka adalah
>pelaksanaan hukuman yang tepat bagi seorang yang murtad.
>
>Tapi tak seorang pun tahu sebenarnya, benarkah Fouda, yang tewas pada umur
>46, orang yang murtad. Terutama jika kita baca buku yang baru-baru ini
>diterbitkan Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama, Kebenaran Yang
>Hilang, yang juga memuat kata pengantar Samsu Rizal Panggabean.
>
>Lima bulan sebelum ia dibunuh, Fouda ikut dalam perdebatan di Pameran
>Buku Kairo. Dalam acara yang konon diikuti 30.000 orang itu ia menghadapi
>ulama macam Muhammad al-Ghazali. Perdebatan berkisar pada masalah hubungan
>antara agama dan politik, negara dan agama, penerapan syariat Islam dan
>lembaga khilafah.
>
>Pendirian Fouda dikemukakan dengan gamblang dalam serangkaian bab al-Haqiah
>al-Ghaybah-nya yang diterjemahkan oleh Novriantoni. Ia memang bisa
>mengguncang sendi-sendi pemikiran kaum “Islamis”: mereka yang ingin
>menegakkan “negara Islam” berdasarkan ingatan tentang dunia Arab di abad
>ke-7 ketika para sahabat Nabi memimpin umat.
>
>Bila kaum “Islamis” menggambarkan periode salaf itu sebagai zaman keemasan
>yang patut dirindukan, Fouda tidak. Baginya, sebagaimana ditulis Samsu
>Rizal Panggabean, periode itu “zaman biasa”.
>
>Bahkan sebenarnya “tidak banyak yang gemilang dari masa itu”, demikian
>kesimpulan Samsu Rizal Panggabean. “Malah, ada banyak jejak memalukan.”
>
>Contoh yang paling tajam yang dikemukakan Fouda ialah saat kejatuhan Usman
>bin Affan, khalifah ke-3. Sahabat Rasul yang diangkat ke kedudukan pemimpin
>umat pada tahun 644 itu--melalui sebuah musyawarah terbatas antara lima
>orang--berakhir kekuasaannya 12 tahun kemudian. Ia dibunuh. Para
>pembunuhnya bukan orang Majusi, bu

Re: [ppiindia] Caping GM: Fouda - AGAKNYA....?

2008-03-04 Terurut Topik Satrio Arismunandar
Saya terus terang tidak merasa sreg dengan penggunaan istilah AGAKNYA di bawah 
ini. 
Marilah kita berpikir secara logis:

1. Jika Nabi Muhammad SAW sendiri menyatakan Utsman bin Affan R.A. termasuk 
salah satu sahabat yang DIJAMIN MASUK SURGA (dan artikel di bawah tidak 
menggugat keabsahan ucapan Nabi Muhammad SAW tersebut), maka sepatutnya kita 
mempertanyakan: mengapa kutipan atas karya Ibnu Sa'ad itu dianggap begitu 
signifikan? Mana yang lebih kuat, pernyataan Nabi Muhammad SAW atau Ibnu Sa'ad? 
Logika saya, mustahil Rasulullah SAW menyebut Utsman termasuk sahabat yang 
dijamin surga jika Utsman seorang koruptor atau orang yang rakus harta! Ini 
tuduhan yang sangat keji.

2. Saya bukan ahli sejarah. Tapi sejauh saya tahu dari beberapa literatur, 
Utsman bin Affan itu SUDAH kaya raya sebelum masuk Islam. Kemajuan dakwah Islam 
di bawah Rasulullah mendapat dukungan penuh dari Utsman, yang menghibahkan 
begitu banyak hartanya untuk dakwah secara sukarela. Kalau niatnya cuma 
menumpuk harta, ngapain juga dia repot-repot mengambil risiko bergabung dengan 
Rasulullah? Jadi, kalau toh (anggap saja data Ibnu Saad bednar), Utsman ketika 
meninggal punya simpanan uang banyak, tidak ada yang aneh, wong dia memang 
sejak dulu sudah kaya raya kok!

=
Tulisan Goenawan Mohamad:

"Tak diketahui dengan pasti mengapa semua kekejian itu terjadi kepada 
seseorang yang oleh Nabi sendiri telah dijamin akan masuk surga. Fouda 
mengutip kitab al-Tabaqãt al-Kubrã karya sejarah Ibnu Sa’ad, yang 
menyebutkan satu data yang menarik: khalif itu agaknya bukan seorang yang 
bebas dari keserakahan. Tatkala Usman terbunuh, dalam brankasnya terdapat 
30.500.000 dirham dan 100.000 dinar."

 
Satrio Arismunandar 
Producer "SISI LAIN" (tayang Senin-Jumat, pukul 13.30-14.00 WIB) - 
News Division, Trans TV, Lantai 3
Jl. Kapten P. Tendean Kav. 12 - 14 A, Jakarta 12790 
Phone: 7917-7000, 7918-4544 ext. 4023,  Fax: 79184558, 79184627
 
http://satrioarismunandar6.blogspot.com
http://satrioarismunandar.multiply.com  
 
"Ungkapkanlah kebenaran itu, meskipun pahit" (Hadist Nabi)



- Original Message 
From: Nugroho Dewanto <[EMAIL PROTECTED]>
To: ppiindia@yahoogroups.com; [EMAIL PROTECTED]
Sent: Tuesday, March 4, 2008 3:44:05 PM
Subject: [ppiindia] Caping GM: Fouda


Fouda

Pada tanggal 8 Juni 1992, mereka bunuh Farag Fouda di Madinat al-Nasr, 
Kairo. Dua orang bertopeng menyerangnya. Fouda tewas tertembak, anaknya 
luka-luka parah. Kelompok Jamaah Islamiyah mengatakan: “Ya, kami membunuhnya.”

Bagi kelompok itu, tak ada dosa bila Fouda dibinasakan. Bukankah lima hari 
sebelum itu sekelompok ulama dari Universitas al-Azhar memaklumkan bahwa 
cendekiawan ini telah menghujat agama, dan sebab itu boleh dibunuh? Seorang 
ulama, Muhammad al-Ghazali, membela para algojo: tindakan mereka adalah 
pelaksanaan hukuman yang tepat bagi seorang yang murtad.

Tapi tak seorang pun tahu sebenarnya, benarkah Fouda, yang tewas pada umur 
46, orang yang murtad. Terutama jika kita baca buku yang baru-baru ini 
diterbitkan Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama, Kebenaran Yang 
Hilang, yang juga memuat kata pengantar Samsu Rizal Panggabean.

Lima bulan sebelum ia dibunuh, Fouda ikut dalam perdebatan di Pameran 
Buku Kairo. Dalam acara yang konon diikuti 30.000 orang itu ia menghadapi 
ulama macam Muhammad al-Ghazali. Perdebatan berkisar pada masalah hubungan 
antara agama dan politik, negara dan agama, penerapan syariat Islam dan 
lembaga khilafah.

Pendirian Fouda dikemukakan dengan gamblang dalam serangkaian bab al-Haqiah 
al-Ghaybah-nya yang diterjemahkan oleh Novriantoni. Ia memang bisa 
mengguncang sendi-sendi pemikiran kaum “Islamis”: mereka yang ingin 
menegakkan “negara Islam” berdasarkan ingatan tentang dunia Arab di abad 
ke-7 ketika para sahabat Nabi memimpin umat.

Bila kaum “Islamis” menggambarkan periode salaf itu sebagai zaman keemasan 
yang patut dirindukan, Fouda tidak. Baginya, sebagaimana ditulis Samsu 
Rizal Panggabean, periode itu “zaman biasa”.

Bahkan sebenarnya “tidak banyak yang gemilang dari masa itu”, demikian 
kesimpulan Samsu Rizal Panggabean. “Malah, ada banyak jejak memalukan.”

Contoh yang paling tajam yang dikemukakan Fouda ialah saat kejatuhan Usman 
bin Affan, khalifah ke-3. Sahabat Rasul yang diangkat ke kedudukan pemimpin 
umat pada tahun 644 itu--melalui sebuah musyawarah terbatas antara lima 
orang--berakhir kekuasaannya 12 tahun kemudian. Ia dibunuh. Para 
pembunuhnya bukan orang Majusi, bukan pula orang yang murtad, tapi orang 
Islam sendiri yang bersepakat memberontak.

Mereka tak sekadar membunuh Usman. Menurut sejarawan al-Thabari, jenazahnya 
terpaksa “bertahan dua malam karena tidak dapat dikuburkan”. Ketika mayat 
itu disemayamkan, tak ada orang yang bersembahyang untuknya. Siapa saja 
dilarang menyalatinya. Jasad orang tua berumur 83 itu bahkan diludahi dan 
salah satu persendiannya dipatahkan. Karena tak dapat dikuburkan di 
pemakaman Islam, khalifah ke-3 itu dimakamkan di Hisy Kaukab, w

[ppiindia] Caping GM: Fouda

2008-03-04 Terurut Topik Nugroho Dewanto

Fouda

Pada tanggal 8 Juni 1992, mereka bunuh Farag Fouda di Madinat al-Nasr, 
Kairo. Dua orang bertopeng menyerangnya. Fouda tewas tertembak, anaknya 
luka-luka parah. Kelompok Jamaah Islamiyah mengatakan: “Ya, kami membunuhnya.”

Bagi kelompok itu, tak ada dosa bila Fouda dibinasakan. Bukankah lima hari 
sebelum itu sekelompok ulama dari Universitas al-Azhar memaklumkan bahwa 
cendekiawan ini telah menghujat agama, dan sebab itu boleh dibunuh? Seorang 
ulama, Muhammad al-Ghazali, membela para algojo: tindakan mereka adalah 
pelaksanaan hukuman yang tepat bagi seorang yang murtad.

Tapi tak seorang pun tahu sebenarnya, benarkah Fouda, yang tewas pada umur 
46, orang yang murtad. Terutama jika kita baca buku yang baru-baru ini 
diterbitkan Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama, Kebenaran Yang 
Hilang, yang juga memuat kata pengantar Samsu Rizal Panggabean.

  Lima bulan sebelum ia dibunuh, Fouda ikut dalam perdebatan di Pameran 
Buku Kairo. Dalam acara yang konon diikuti 30.000 orang itu ia menghadapi 
ulama macam Muhammad al-Ghazali. Perdebatan berkisar pada masalah hubungan 
antara agama dan politik, negara dan agama, penerapan syariat Islam dan 
lembaga khilafah.

Pendirian Fouda dikemukakan dengan gamblang dalam serangkaian bab al-Haqiah 
al-Ghaybah-nya yang diterjemahkan oleh Novriantoni. Ia memang bisa 
mengguncang sendi-sendi pemikiran kaum “Islamis”: mereka yang ingin 
menegakkan “negara Islam” berdasarkan ingatan tentang dunia Arab di abad 
ke-7 ketika para sahabat Nabi memimpin umat.

Bila kaum “Islamis” menggambarkan periode salaf itu sebagai zaman keemasan 
yang patut dirindukan, Fouda tidak. Baginya, sebagaimana ditulis Samsu 
Rizal Panggabean, periode itu “zaman biasa”.

Bahkan sebenarnya “tidak banyak yang gemilang dari masa itu”, demikian 
kesimpulan Samsu Rizal Panggabean. “Malah, ada banyak jejak memalukan.”

Contoh yang paling tajam yang dikemukakan Fouda ialah saat kejatuhan Usman 
bin Affan, khalifah ke-3. Sahabat Rasul yang diangkat ke kedudukan pemimpin 
umat pada tahun 644 itu--melalui sebuah musyawarah terbatas antara lima 
orang--berakhir kekuasaannya 12 tahun kemudian. Ia dibunuh. Para 
pembunuhnya bukan orang Majusi, bukan pula orang yang murtad, tapi orang 
Islam sendiri yang bersepakat memberontak.

Mereka tak sekadar membunuh Usman. Menurut sejarawan al-Thabari, jenazahnya 
terpaksa “bertahan dua malam karena tidak dapat dikuburkan”. Ketika mayat 
itu disemayamkan, tak ada orang yang bersembahyang untuknya. Siapa saja 
dilarang menyalatinya. Jasad orang tua berumur 83 itu bahkan diludahi dan 
salah satu persendiannya dipatahkan. Karena tak dapat dikuburkan di 
pemakaman Islam, khalifah ke-3 itu dimakamkan di Hisy Kaukab, wilayah 
pekuburan Yahudi.

Tak diketahui dengan pasti mengapa semua kekejian itu terjadi kepada 
seseorang yang oleh Nabi sendiri telah dijamin akan masuk surga. Fouda 
mengutip kitab al-Tabaqãt al-Kubrã karya sejarah Ibnu Sa’ad, yang 
menyebutkan satu data yang menarik: khalif itu agaknya bukan seorang yang 
bebas dari keserakahan. Tatkala Usman terbunuh, dalam brankasnya terdapat 
30.500.000 dirham dan 100.000 dinar.

Kaum “Islamis” tak pernah menyebut peristiwa penting itu, tentu. Dan tentu 
saja mereka tak hendak mengakui bahwa tindakan berdarah terhadap Usman itu 
menunjukkan ada yang kurang dalam hukum Islam: tak ada pegangan yang 
mengatur cara mencegah seorang pemimpin agar tak menyeleweng dan bagaimana 
pergantian kekuasaan dilakukan.

Ketika Usman tak hendak turun dari takhta (ia mengatakan, “Demi Allah, aku 
tidak akan melepas baju yang telah disematkan Allah kepadaku!”), 
orang-orang Islam di bawahnya pun menemui jalan buntu. Sebagaimana disebut 
dalam Kebenaran Yang Hilang, para pemuka Islam waktu itu mencari-cari 
contoh dari masa lalu bagaimana memecahkan soal suksesi. Mereka gagal. 
“Mereka juga mencari kaidah dalam Islam…tapi mereka tak menemukannya,” 
tulis Fouda. Maka perkara jadi runcing dan mereka mengepung Usman--lalu 
membunuhnya, lalu menistanya.

Tampak, ada dinamika lain yang mungkin tak pernah diperkirakan ketika Islam 
bertaut dengan kekuasaan. Dinamika itu mencari jalan dalam kegelapan tapi 
dengan rasa cemas yang sangat. Orang memakai dalih agama untuk 
mempertahankan takhta atau untuk menjatuhkan si penguasa, tapi sebenarnya 
mereka tahu: tak ada jalan yang jelas, apalagi suci. Di satu pihak, mereka 
harus yakin, tapi di lain pihak, mereka tahu mereka buta.

Itu sebabnya laku mereka begitu absolut dan begitu bengis. Pada tahun 661, 
setelah lima tahun memimpin, Ali dibunuh dengan pedang beracun oleh seorang 
pengikutnya yang kecewa, Ibnu Muljam. Khalifah ke-4 itu wafat setelah dua 
hari kesakitan. Pembunuhnya ditangkap. Sebagai hukuman, tangan dan kaki 
orang ini dipenggal, matanya dicungkil, dan lidahnya dipotong. Mayatnya 
dibakar.

Ketika pada abad ke-8 khilafah jatuh ke tangan wangsa Abbasiyah, yang 
pertama kali muncul al-Saffah, “Si Jagal”. Di mimbar ia mengaum, “Allah 
telah mengembalikan hak kami.” Tapi tentu saja