[ppiindia] jurnal sairara: menuju sarawak [11-selesai]
Jurnal Sairara: MENUJU SARAWAK [11] Secara keinginan, aku memang ingin menyusup juah dan lebih jauh lagi, jauh hingga sampai ke pedalaman Sarawak, yang seperti sudah kukatakan di atas, telah kukenal namanya dalam lagu-lagi yang dilarang Belanda seperti "Borneo Tanahairku". Aku ingin mengenal dengan baik dan rinci keadaan serta budaya semua bagian Borneo dan pulau-pulau tanah kelahiranku sehingga aku mengerti apa arti kebhinnekaan tanahair. Tidak asing di negeri sendiri , sekali pun fisik berada di tengah-tengahnya. Untuk mengenal pulau, maka Tjilik Riwut, yang kebetulan adalah pamanku, ketika melancarkan perang gerilya melawan Belanda untuk mengibarkan sang saka di Kalimantan, telah berjalan kaki ke Kalimantan Utara [Sarawak dan Sabah] guna mengenal Kalimantan secara langsung. Barangkali melalui kunjungan berkali-kali ke Utara inilah kemudian yang menjadi sangkan paran adanya orang-orang Iban, Dayak dari Sarawak, dalam Angkatan Udara Republik Indonesia [AURI]. Selama ini aku lebih banyak ke muara daripada ke hulu sungai. Lebih banyak ke laut daripada ke gunung. Sebab aku masih ingat nasehat:"Melihat sekali jauh lebih baik dari pengetahuan buku". Walau pun nasehat ini kukira masih berat sebelah. Melihat adalah membandingkan. Membandingkan bacaan dengan kenyataan dan perkembangannya. Sebab bisa saja apa yang terdapat di buku, selain banyak celah-celahnya, bahkan kesalahan, juga sangat rentan akan keadaan yang tak henti berkembang. Membaca buku, laporan, dokumen, sejarah, dan sebagainya mengenai suatu daerah yang akan didatangi, kemudian kurasakan sebagai suatu hal yang sangat perlu. Apalagi jika perjalanan dianggap sebagai kesempatan belajar, membanding bersangukan soal-soal dari negeri sendiri. Sangu dialog dengan budaya lain, jika meminjam pendapat filosof Perancis Paul Ricoeur. Bacaan sebelum datang memberi kepada pengunjung sebuah peta garis besar tentang berbagai keadaan sehingga ketika tiba, kita tidak seperti rusa masuk kampung. Bacaaan sebelum tiba ke suatu tempat agaknya tak obah sejenis mercusuar bagi kapal menuju dermaga. Keinginan memperpanjang kunjungan ke Sarawak, tidak bisa kuujudkan. Acara besar tentang Dayak oleh orang Dayak di Palangka Raya segera berlangsung dan sangat ingin kuhadiri walau pun sebagai pendengar yang duduk di deretan kursi paling belakang. Aku pun segera mencari tiket bus untuk kembali ke Pontianak. "Sudah penuh, Pak" , ujar pejual tiket. "Besok, lusa, esoknya dan esoknya lagi sudah penuh semua", lanjutnya. Aku hanya bisa terdiam. Berpikir mencari jalan keluar yang lain. Aku tidak mau menunggu dan tidak pula mau tergantung pada jalan tunggal. Akhirnya aku mendapat tiket pesawat Malaysia Air Service [MAS] ke Pontianak. Sopir taksi yang mengantarku ke bandara adalah Kuching asal etnik Tionghoa. Agaknya ia baru menjemput anak lelakinya lepas sekolah. Kami berbicara bahasa Tionghoa dan Inggris. Anaknya memanggil aku dengan panggilan "uncle". Kami berbicara hulu-hilir termasuk keadaan keluarga sopir itu sendiri seakan kami sudah lama berkenalan. Sopir dan anaknya mengantarku hingga ke pintu "check-in" bandara. Sebelum melanjutkan langkah, kucium pipi anak sopir itu yang menjawabku dengan suara bocahnya: "Cai cien Xuxu". Goodbye Uncle. Sebelum masuk pesawat MAS, aku mondar-mandir dari toko ke toko. Yang sangat menarik perhatianku bahwa toko-toko di bandara ini dimeriahi oleh barang-barang suvenir Dayak dan dijaga oleh orang-orang Dayak. Aku tidak tahu, apakah modalnya juga modal orang Dayak. Tapi mengingat posisi orang Dayak di Sarawak yang cukup berpengaruh, termasuk di dunia politik, hal demikian kukira bukanlah tidak mungkin dan bukan mustahil. Jika benar dugaanku, maka kenyataan ini membantah anggapan bahwa orang Dayak itu tidak mampu berwiraswasta. Yang menjadi pertanyaan dalam hatiku: Apakah benar manusia Dayak Sarawak sudah bisa keluar dari kungkungan anak alam yang manja pada periode betang [long house] dan hutan tropis pulau belum ganas dibabat? Eksploatasi hutan tropis secara ganas dan buas telah menggoncangkan jiwa putera-puteri alam yang tadinya ramah memanjakan. Olehnya kehidupan menjadi garang dan ganas pula dan tidak sedikit anak alam yang kehilangan dirinya. Bandara sebagai pintu gerbang memasuki Sarawak. Adanya dominasi Dayak di bandara seakan-akan mau mengatakan bahwa Dayak merupakan salah satu identitas Sarawak. Sebagai kenang-kenangan, aku membeli patung enggang [hornbill] dari kayu. Hal ini tidak kudapatkan di Sepinggan, Balikpapan. Tidak juga di Supadio, Pontianak, bahkan juga tidak di bandara Tjilik Riwut, Palangka Raya, Kalimantan Tengah. Kuching seperti halnya Yogyakarta, melalui bandara sudah menyambut para tamu dengan berkata: Inilah aku. Inilah identitasku. Baru selesai secangkir kecil kopi yang dihidangkan oleh pramugari-pramugari Melayu pesawat MAS yang penuh penum
[ppiindia] Re: ÂPENGALAMAN BURUKÂ DI IMIGRASI BOGOR (birokrasi tolol?)
Kalo saya pengen nanya, apa saja yang bisa membuat orang asing dideportasi dari Indonesia, selain yang saya tahu dibawah ini: - Melakukan tindakan kriminal, termasuk pemalsuan surat2 - Tidak memperpanjang visa pada waktunya - Tujuan kunjungannya tidak sesuai dengan type visa... he..he..ada yang punya dendam neh! wassalam, --- In ppiindia@yahoogroups.com, eka zulkarnain <[EMAIL PROTECTED]> wrote: > > Sebenarnya ini bukan pengalaman saya. Ini adalah > pengalaman adik saya yang mengurus pembuatan paspor di > Kantor Imigrasi Bogor, Jawa Barat. Saya sendiri pernah > memiliki pengalaman buruk dengan imigrasi dalam > pembuatan paspor, cuma itu terjadi sekitar 2 tahun > lalu. > > 1 Pada hari Senin, 25 Maret 2008, saya mengantarkan > adik saya untuk mengurus pembuatan paspor di Kantor > Dinas Imigrasi Bogor, Jawa Barat. Ini adalah paspor > pertama adik saya. > > 2 Saya mendatangi loket dan bertanya syarat-syarat > pembuatan paspor. Setelah dijelaskan, adik saya telah > memenuhi persyaratan. Dan kami pun meminta formulir > pembuatan paspor. Petugas di loket meminta kami berdua > untuk mengambil formulir di bagian samping kantor di > sebuah loket dekat sebuah loket fotokopi dan formulir > harus dibeli dengan uang sebesar Rp 15.000,- (lima > belas ribu rupiah). > > 4 Di tempat pembelian formulir ini saya melihat > sejumlah orang berpakaian rapi dengan name tag alias > kartu identitas yang tergantung di dada. Setelah > iseng-iseng bertanya-tanya kepada pria tersebut, dia > mengaku kepada saya bisa menguruskan paspor adik saya. > Ia mengaku dari travel agent. Untuk paspor yang sehari > jadi, dikenai biaya Rp 700 ribu, sedangkan yang besok > jadi Rp 550 ribu. Saya bertanya, "bisa Mas? Beneran > bisa nih?" Dia menjawab, "bisa mas, sehari ini jadi > kok dan mas tak perlu mengantri." Saya pun bilang apa > tidak bisa rendah dari harga itu, dia bilang tidak > karena sudah begitu aturannya. > Dan saya memang melihat ia membawa lebih dari empat > map berwarna kuning muda, sepertinya dokumen > persyaratan orang-orang yang ingin yang urus > paspornya. > Tapi saya tak mau memakai jalur itu. Toh saya cuma > iseng-iseng dan mungkin sudah naluriah saya sebagai > wartawan pengen tahu. Pasalnya, saya pernah juga > dikerjain waktu mengurus paspor di Jakarta sekitar dua > tahun lalu. Saya pengen aja negara ini memiliki > struktur dan prosedur birokrasi yang sehat yang > benar-benar melayani warga negaranya dengan baik > sesuai dengan cita-cita luhur Pemerintah Negeri ini di > era reformasi untuk menghapuskan KKN dan birokrasi > berbelit yang malah menyengsarakan rakyatnya. Dan saya > pribadi ingin tahu bagaimana sih mengurus paspor > secara prosedural. > > 3 Setelah mengisi kebutuhan formulir, saya kembali ke > loket untuk diberikan kepada petugas pendaftaran > pembuatan paspor. Kami tanyakan berapa lama > mengurusnya? Petugas itu menjawab 7 (tujuh) hari > kerja. Ia pun memberikan sebuah formulir yang berisi > jadwal wawancara adik saya hari Senin depan alias > tanggal 3 Maret. Dia bilang agar adik saya datang > antara jam 8.00 Â 12.00. Kalau lewat itu sudah tak > dilayani lagi. > Dan biaya yang tertera di loket adalah Rp 270 ribu. > > 4 Adik saya (sendirian tak lagi bersama saya) datang > ke Imigrasi Bogor pada hari Senin, 3 Maret 2008. Ia > datang sekitar pukul 9.15 dan sudah mengambil nomor > antrian. Tapi sampai waktunya makan siang tidak juga > dipanggil. Ia heran kok tidak dipanggil-panggil, > padahal jadwalnya jam 8.00 sampai 12.00 sedangkan > banyak pendaftar lain yang nomor antriannya di bawah > dia dipanggil. Dan dia pun melihat orang-orang yang > mengaku dirinya travel agent hilir mudik keluar masuk > Kantor Imigrasi Bogor mengurus pendaftaran paspor. Dan > para pendaftar yang nomor antriannya di bawah dia bisa > langsung wawancara dan ternyata dibantu oleh > orang-orang yang `ngakunya' dari travel agent > tersebut. > Akhirnya adik saya memang bisa mendapatkan paspor > pada hari itu juga (Senin, 3 Maret 2008) dan itu pun > pada sekitar jam 18.30. Alias menjelang Maghrib! > > Yang saya ingin tanyakan: > 1 Apakah jangka waktu mengurus paspor harus selama > itu? (7 hari kerja) > > 2 Apakah untuk mendapatkan formulir paspor juga > dikenai biaya Rp 15.000,- (lima belas ribu rupiah) per > orang atau per satu map formulir? > > 3 Kalau sudah ada prosedural kerja 7 hari, kenapa > Kantor Imigrasi Bogor melayani juga pembuatan paspor > kilat 1 hari kerja atau dua hari kerja selesai dengan > biaya Rp 700.000,- (tujuh ratus ribu rupiah) untuk > satu hari kerja dan Rp 550.000,- untuk 2 hari kerja > dan pendaftar tidak perlu mengurus sendiri, melainkan > diurus oleh travel agent. > Kalau ini diberlakukan yang dirugikan adalah > orang-orang yang mengikuti prosedural tujuh hari > kerja. Seperti yang dialami oleh adik saya. Atau > sebetulnya pengurusan 1 hari kerja dan 2 hari kerja > dengan biaya yang lebih besar itu adalah AKAL-AKALAN > IMIGRASI SAJA UNTUK MELAKUKAN KORUPSI DENGAN MODUS > BARU?
[ppiindia] Penulis Buku “Mantan Kiai NU Menggugat” Tidak Siap Hadiri Debat Terbuka
Penulis Buku "Mantan Kiai NU Menggugat" Tidak Siap Hadiri Debat Terbuka Surabaya, NU Online** Kurang sepuluh hari pelaksanaan dialog terbuka penulis buku Mantan Kiai NU Menggugat Shalawat dan Dzikir Syirik, H Mahrus Ali, penulis buku, menyatakan tidak siap hadir. Keputusan itu disampaikan kepada NU Online oleh Usman, katua panitia dialog terbuka Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya pada Selasa (4/3). Usman menyatakan hal itu setelah dirinya berkunjung ke rumah H Mahrus sehari sebelumnya. "Beliau menyatakan tidak bersedia hadir," kata Usman. Pernyataan Usman itu dibenarkan oleh Musa, salah seorang kepercayaan H Mahrus. Dihubungi NU Online via ponselnya, lelaki alumnus Pesantren Tambakberas Jombang itu menyatakan gurunya memang tidak siap hadir. "Karena alasan keamanan," tuturnya. Meski dijelaskan pihak panitia sudah menjamin keamanan H Mahrus, namun pihaknya belum ada rencana mengubah keputusan itu. Pada mulanya Musa mengaku banyak alasan untuk membatalkan rencana awal, faktor keamanan hanyalah salah satunya. Namun ketika didesak untuk menyebutkan beberapa faktor penyebab keberatan itu, ia malah tidak bisa menyebutkannya. "Ya keamanan itu saja," lanjutnya. Menurut Musa, para murid H Mahrus yang kebanyakan berlatar belakang NU lebih menghendaki agar gurunya mau datang dalam dialog itu. Dengan adanya dialog terbuka, akan sama-sama tahu keabsahan dalil yang dipakai selama ini. Namun hingga kini gurunya masih belum menyatakan kesiapannya. Di sisi lain, sekalipun gurunya yang berperan sebagai penulis buku tidak hadir, namun pihaknya meminta agar penerbit Laa Tasyuk! Pres juga diundang dalam dialog itu. Sebab yang membuat judul bombastis dan banyak menyingung perasaan tokoh NU itu adalah penerbit, bukan penulis buku. "Dia yang makan nangkanya kita yang kena getahnya, kan tidak enak jadinya," kata Musa yang mengaku sejak awal tidak setuju dengan judul buku itu. Respon dari Tokoh NU Sudah jelas, banyak tokoh NU merasa kecewa denga tidak hadirnya H Mahrus dalam dialog yang akan digelar di IAIN Sunan Ampel pada 12 Maret itu. Sebab sebelumnya mereka mendengar kabar kalau H Mahrus siap hadir. Tapi ketika kesediaan itu dibatalkan, mereka tidak bisa menyembunyikan kekecewaannya. "Alasan karena keamanan itu tidak rasional," kata KH Ali Masyhuri, salah seorang Wakil Rais Syuriah PWNU Jawa Timur. "Itu hanya mengada-ada," lanjut kiai yang biasa disapa Gus Ali itu. Ia mengaku kecewa karena sejak lama ingin tahu wajah orang yang bernama H Mahrus Ali yang kontroversial itu. Dengan nada menyakinkan, kembali ia mengharap agar H Mahrus mau hadir dalam acara dialog itu. Soal keamanan sepenuhnya ditanggung Gus Ali. "Saya jamin keamanannya," ujarnya tegas. Kekecewaan juga terlihat dari Ketua Tim LBM PCNU Jember, Drs KH Abdullah Syamsul Arifin, MHi. Ia juga mengaku gembira dengan adanya kabar H Mahrus siap hadir, namun ketika membatalkan kesediaan, tentu saja rasa penasaran itu muncul. "Kalau memang merasa benar dan dalilnya kuat, kenapa harus takut adu argumentasi?" begitu Kiai Abdullah mempertanyakan. Lebih jauh ia mempertanyakan motivasi penulisan buku itu. Sudah jelas menginggung perasaan orang NU, diajak klarifikasi malah tidak mau. "Terus mau diselesaikan dengan cara apa?" begitu pengasuh Pondok Pesantren Bustanul Ulum Curang Kalong Bangsalsari Jember itu mempertanyakan. "Mestinya penulis itu berani mempertanggungjawabkan apa yang ditulis, bukan malah menghindar. Itu kan sama artinya tidak yakin dengan apa yang dia tulis sendiri," tandas dosen STAIN Jember itu. Salah seorang Wakil Katib Syuriah PWNU itu menuturkan, kisah serupa pernah terjadi di daerahnya dua tahun silam. Kala itu ada seorang wahabiyin bernama Lukman Ba'abullah, menyebarkan paham wahabi di Jember melalui buletin bernama Al-Ilmu. Sama dengan buku karangan H Mahrus, tulisan dalam Al-Ilmu banyak menyinggung perasaan nahdliyin. PCNU Jember bergerak dengan menulis buku bantahan dari buletin penyebar keresahan itu. Setelah itu Lukman diajak adu argumentasi secara terbuka. Berkali-kali diajak tidak mau, akhrinya kasusnya dibawa ke FKUB (Forum Komunikasi Umat Beragama). Di depan FKUB Lukman meminta maaf dan menghentikan tulisannya yang banyak menyinggung perasaan umat Islam itu. "Sekarang kasusnya terulang lagi," tutur Kiai Abdullah. Menurut Kiai Abdullah, panitia tidak harus memaksa penulis buku itu nanti hadir. Hanya saja sebagai konsekwensi logis, sebagai jalan keluar, pihaknya meminta agar penerbit dan penulis menarik seluruh buku yang menyinggung perasaan itu. "Mau bagaimana lagi, diajak ngomong enak-enak juga tidak mau," tuturnya dengan nada mulai meninggi. Dari panitia pelaksana dikabarkan, meski penulis buku menyatakan tidak hadir, namun acara dialog terbuka itu tidak dibatalkan, karena KH Muammal Hamidy, pemberi kata pengantar, menyatakan siap. Panitia mengaku tidak mempermasalahkan apakah dialog itu menarik atau tidak, karena hanya dihadiri pemberi kata pengantar (mungkin juga penerbit), namun rencana itu tidak dibatalkan. Sud
[ppiindia] Buntut kasus BLBI yang panjang
(Tulisan ini juga disajikan dalam website http://kontak.club.fr/index.htm) Buntut kasus BLBI yang panjang Berhubung dengan makin gencarnya berita-berita yang seru tentang kasus BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia), yang sekarang kelihatan makin mengobok-obok berbagai lembaga tinggi negara (eksekutif, legislatif, judikatif), dan dengan tujuan untuk memberi kesempatan dan kemudahan kepada para pembaca untuk bisa mengikuti masalah besar ini maka website http://kontak.club.fr/index.htm menyediakan ruangan yang luas dengan memasang rubrik khusus yang berisi kumpulan berita, atau tulisan, atau berbagai pendapat yang berkaitan dengan persoalan ini. Sekarang makin kelihatan bahwa di antara banyak masalah besar tentang penyelewengan atau korupsi yang terjadi di negara kita selama ini, kasus BLBI adalah salah satu sumber keruwetan atau sumber penyakit yang terparah. Bukan saja, karena menyangkut dana yang luar biasa besarnya (147,7 triliun Rupiah, atau 147 000 000 000 000 Rupiah, atau 147 juta Rupiah dikalikan sejuta. Tentu saja, sulit dibayangkan berapa besarnya uang yang begitu banyak itu !!!), tetapi juga karena banyaknya berbagai permainan kotor (dari banyak fihak) yang tersangkut di dalamnya. BLBI secara singkat Berikut adalah sekadar bahan untuk menyegarkan kembali ingatan kita bersama tentang BLBI : Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) adalah pinjaman yang diberikan Bank Indonesia kepada bank-bank yang mengalami masalah likuiditas pada saat terjadinya krisis moneter 1998 di Indonesia. Pinjaman ini dilakukan berdasarkan perjanjian Indonesia dengan IMF dalam mengatasi masalah krisis. Pada bulan Desember 1998, BI telah menyalurkan BLBI sebesar Rp 147,7 triliun kepada 48 bank. Menurut Wikipedia Indonesia, audit BPK terhadap penggunaan dana BLBI oleh ke-48 bank tersebut menyimpulkan telah terjadi indikasi penyimpangan sebesar Rp 138 triliun. Dana BLBI banyak yang diselewengkan oleh penerimanya. Proses penyalurannya pun banyak yang melalui penyimpangan-penyimpangan. Beberapa mantan direktur BI telah menjadi terpidana kasus penyelewengan dana BLBI, antara lain Paul Sutopo Tjokronegoro, Hendro Budiyanto, dan Heru Supratomo Selama bertahun-tahun, masalah BLBI merupakan soal yang tidak bisa diselesaikan secara tuntas oleh berbagai pemerintahan sesudah Suharto turun tachta (pemerintahan Habibi, Abdurrahman Wahid, Megawati dan sekarang SBY-JK), berhubung dengan banyaknya persoalan yang dihadapi oleh para pejabat negara yang bertugas untuk mengurusnya serta para konglomerat yang bersangkutan (pimpinan bank-bank yang menerima pinjaman). Di samping itu, ada permainan (dengan macam-macam cara) antara para konglomerat yang berusaha mengemplang dan para pejabat dan tokoh penting negara, yang menggunakan (atau mensalahgunakan ???) alasan hukum atau macam-macam dalih lainnya. Banyak fihak yang tersangkut dengan BLBI Entah sudah berapa saja uang haram yang sudah digunakan (sebagai suapan ke berbagai fihak ) dalam tahun-tahun yang lalu oleh para konglomerat hitam untuk usaha mereka menghindari kewajiban membayar utangnya (sebagai obligor) yang umumnya berjumlah sampai puluhan bahkan ratusan miliar Rupiah. Dapat diperkirakan bahwa banyak sekali pejabat negara dan tokoh masyarakat (termasuk di pemerintahan pusat, DPR, Kejaksaan Agung, Mahkamah Agung, hakim dan jaksa pengadilan) yang telah menjadikan para konglomerat yang tersangkut BLBI sebagai sapi perahan. Kasus jaksa Urip Tri Gunawan yang tertangkap basah sedang menerima uang suapan sebesar 600.000 US$ (atau lebih dari 6 miliar Rupiah) dari Artalyta Suryani (orang dekat Syamsul Nursalim, tokoh penting bank BDNI) adalah salah satu dari banyak contoh yang bisa diangkat mengenai persoalan besar BLBI ini. Dari apa yang terjadi dengan kasus BLBI, yang melibatkan uang negara dan rakyat ratusan triliun Rupiah dan menyangkut banyak pejabat-pejabat negara dan konglomerat hitam, jelas sekali kelihatan bahwa kasus BLBI adalah salah satu dari begitu banyak penyakit parah yang telah diidap bangsa kita sebagai akibat pemerintahan Orde Baru yang puluhan tahun. Penyakit parah bangsa kita dewasa ini bukan hanya karena kasus BLBI saja, dan bukan pula hanya karena kejahatan-kejahatan keluarga Cendana saja, tetapi juga karena kerusakan moral atau dekadensi mental yang menyerang secara besar-besaran kalangan elite bangsa kita. Kasus jaksa Urip Tri Gunawan Dari sudut ini pulalah kita bisa mencoba menelaah kasus jaksa Urup Tri Gunawan. Bahwa kasus ini merupakan cermin kebejatan moral yang amat parah adalah berikut ini : Jaksa Urip Tri Gunawan tadinya dianggap oleh banyak orang sebagai jaksa (Kajari di Klungkung, Bali) yang berkepribadian baik, dan karenanya telah dipilih oleh Jaksa Agung sebagai Ketua atau Koordinator Tim Penyelidikan Kasus BLBI yang beranggotakan 35 jaksa yang diseleksi dari berbagai daerah di Indonesia. Tugas dari Tim yang beranggotakan 35 jaksa terpilih ini adalah mengusut kasus BLBI, terutama yang m
[ppiindia] Re: bergabunglah dalam milis diskusi progressif...!
--- In ppiindia@yahoogroups.com, "Julian" <[EMAIL PROTECTED]> wrote: > > Imperialisme merupakan tahap tertinggi kapitalisme, demikian menurut > Lenin. ... Sosialisme, komunisme itu tidak jalan dan gerakan yang sudah bisa dianggap kadaluwarsa pada masa kini. Malahan ada kecon- dongan isme-isme ini satu haluan dengan gerakan islamisme dlm gagasan utk merubah dunia.
[ppiindia] Perkuat Ide/Gagasan untuk Panduan Aksi Revolusioner..gabunglah bersama kami
Gerakan sosial baru bukanlah hal yang baru, tendensi seperti ini sudah muncul sejak bergeloranya kembali klas pekerja dan massa mahasiswa paska perang dunia ke. II. Namun tidak terpimpin atau di persiapkan oleh organisasi-organisasi revolusioner yang berbasiskan ideology marxisme revolusioner. Ada beberapa factor yang melingkupi dan menyediakan basis material untuk berkembangnya gerakan sosial yakni; pertama kemunduran-kemunduran gerakan kiri-revolusioner secara internasional karena kekalahan dan kegagalan revolusi di berbagai Negara Eropa. Kebangkitan-kebangkitan fasisme tanpa halangan/hambatan berarti dari gerakan klas pekerja, yang kemudian menggulung partai-partai kiri-komunis. Kedua kebangkrutan ideologis yang dialami oleh partai-partai stalinis yang kemudian menjadi penyokong rejim-rejim diktatur militer yang anti-klas pekerja. Disi lain, partai-partai reformis sosial demokrasi semakin bergerak kepada lapisan klas borjuis dengan membuang analisa-analisa perjuangan klas, sosialisme ilmiah, dan lain-lain. Ketiga kekosongan ruang yang ditinggalkan oleh kaum radikal-progressif ini kemudian dimanfaatkan oleh kehadiran kelompok-kelompok yang membawa tuntutan penolakan nuklir, masyarakat adapt, perempuan, lingkungan, dan lain sebagainya. Mau berdebat soal gerakan sosial, gerakan klas pekerja, regroupment gerakan kiri di Indonesia dan internasional, anti perang, climate change, feminisme, dan sebagainya, Silahkan bergabung di Milis ini http://tv.groups.yahoo.com/group/Liga-anti-imperialis-platform/?yguid=335599764
Re: [ppiindia] Caping GM: Fouda
Rupanya usaha rasululloh Muhammadsaw guna memanusiakan bangsa Arab dengan budaya kehormatan kelompok, suku, golongan, melalui pendidikan ahlaq kemanusiaan tidak mempan buat bangsa Arab. Memang transformasi budaya jahiliah Arab ke budaya perkotaan modern yang dipimpin rasululloh hanya berlangsung sekitar 10 tahunan (selama di Madinah). Sesudahnya para pemimpin yang ditinggalkan rasul saling baku hantam sendiri demi kepentingan kelompok, suku, golongan masing-masing. Jelas kan bahwa memanusiakan manusia itu bukan kerja sejam dua jam bahkan sudah hampir 1500 tahun masih menonjol kesadaran biologisnya dengan ahlaq biologis yang tidak banyak beda dengan kesadaran dan ahlaq bonobo, gorilla dan chimpanzee. Salam, A.M - Original Message - From: Nugroho Dewanto To: ppiindia@yahoogroups.com ; [EMAIL PROTECTED] Sent: Tuesday, March 04, 2008 9:44 AM Subject: [ppiindia] Caping GM: Fouda Fouda Pada tanggal 8 Juni 1992, mereka bunuh Farag Fouda di Madinat al-Nasr, Kairo. Dua orang bertopeng menyerangnya. Fouda tewas tertembak, anaknya luka-luka parah. Kelompok Jamaah Islamiyah mengatakan: "Ya, kami membunuhnya." Bagi kelompok itu, tak ada dosa bila Fouda dibinasakan. Bukankah lima hari sebelum itu sekelompok ulama dari Universitas al-Azhar memaklumkan bahwa cendekiawan ini telah menghujat agama, dan sebab itu boleh dibunuh? Seorang ulama, Muhammad al-Ghazali, membela para algojo: tindakan mereka adalah pelaksanaan hukuman yang tepat bagi seorang yang murtad. Tapi tak seorang pun tahu sebenarnya, benarkah Fouda, yang tewas pada umur 46, orang yang murtad. Terutama jika kita baca buku yang baru-baru ini diterbitkan Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama, Kebenaran Yang Hilang, yang juga memuat kata pengantar Samsu Rizal Panggabean. Lima bulan sebelum ia dibunuh, Fouda ikut dalam perdebatan di Pameran Buku Kairo. Dalam acara yang konon diikuti 30.000 orang itu ia menghadapi ulama macam Muhammad al-Ghazali. Perdebatan berkisar pada masalah hubungan antara agama dan politik, negara dan agama, penerapan syariat Islam dan lembaga khilafah. Pendirian Fouda dikemukakan dengan gamblang dalam serangkaian bab al-Haqiah al-Ghaybah-nya yang diterjemahkan oleh Novriantoni. Ia memang bisa mengguncang sendi-sendi pemikiran kaum "Islamis": mereka yang ingin menegakkan "negara Islam" berdasarkan ingatan tentang dunia Arab di abad ke-7 ketika para sahabat Nabi memimpin umat. Bila kaum "Islamis" menggambarkan periode salaf itu sebagai zaman keemasan yang patut dirindukan, Fouda tidak. Baginya, sebagaimana ditulis Samsu Rizal Panggabean, periode itu "zaman biasa". Bahkan sebenarnya "tidak banyak yang gemilang dari masa itu", demikian kesimpulan Samsu Rizal Panggabean. "Malah, ada banyak jejak memalukan." Contoh yang paling tajam yang dikemukakan Fouda ialah saat kejatuhan Usman bin Affan, khalifah ke-3. Sahabat Rasul yang diangkat ke kedudukan pemimpin umat pada tahun 644 itu--melalui sebuah musyawarah terbatas antara lima orang--berakhir kekuasaannya 12 tahun kemudian. Ia dibunuh. Para pembunuhnya bukan orang Majusi, bukan pula orang yang murtad, tapi orang Islam sendiri yang bersepakat memberontak. Mereka tak sekadar membunuh Usman. Menurut sejarawan al-Thabari, jenazahnya terpaksa "bertahan dua malam karena tidak dapat dikuburkan". Ketika mayat itu disemayamkan, tak ada orang yang bersembahyang untuknya. Siapa saja dilarang menyalatinya. Jasad orang tua berumur 83 itu bahkan diludahi dan salah satu persendiannya dipatahkan. Karena tak dapat dikuburkan di pemakaman Islam, khalifah ke-3 itu dimakamkan di Hisy Kaukab, wilayah pekuburan Yahudi. Tak diketahui dengan pasti mengapa semua kekejian itu terjadi kepada seseorang yang oleh Nabi sendiri telah dijamin akan masuk surga. Fouda mengutip kitab al-Tabaqãt al-Kubrã karya sejarah Ibnu Sa'ad, yang menyebutkan satu data yang menarik: khalif itu agaknya bukan seorang yang bebas dari keserakahan. Tatkala Usman terbunuh, dalam brankasnya terdapat 30.500.000 dirham dan 100.000 dinar. Kaum "Islamis" tak pernah menyebut peristiwa penting itu, tentu. Dan tentu saja mereka tak hendak mengakui bahwa tindakan berdarah terhadap Usman itu menunjukkan ada yang kurang dalam hukum Islam: tak ada pegangan yang mengatur cara mencegah seorang pemimpin agar tak menyeleweng dan bagaimana pergantian kekuasaan dilakukan. Ketika Usman tak hendak turun dari takhta (ia mengatakan, "Demi Allah, aku tidak akan melepas baju yang telah disematkan Allah kepadaku!"), orang-orang Islam di bawahnya pun menemui jalan buntu. Sebagaimana disebut dalam Kebenaran Yang Hilang, para pemuka Islam waktu itu mencari-cari contoh dari masa lalu bagaimana memecahkan soal suksesi. Mereka gagal. "Mereka juga mencari kaidah dalam Islam.tapi mereka tak menemukannya," tulis Fouda. Maka perkara jadi runcing dan mereka mengepung U
[ppiindia] catatan bantimurung: masihkah beso ada kupu-kupu?
Catatan Bantimurung : MASIHKAH BESOK ADA KUPU-KUPU? Puas dengan kegiatan hobbinya potret-memotret, Ken Prita segera mencari dan mencium pipi puterinya. "Maaf ya Rara. Mama tinggalkan lama" . "Aku kan sama Papahku, Mah. Kami juga asyik deh". Melihat aku membungkuk, Rara seperti biasa tiba-tiba menerkam punggungku sambil ngekek. Dengan kedua tangannya yang kecil memeluk leherku. Dan tak mau turun-turun lagi dari punggungku. Rara tidak bisa melihat ayahnya jongkok. Ia pasti menggunakan kesempatan itu untuk digendong. "Ayo, Pah berdiri!". Ken Prita melihat ulah puterinya yang manja dengan geleng-geleng. "Papahmu kan capek, nak". "Biarin. Ini kan Papahku sendiri. Hanya Papahku seorang", sambil berkata demikian, Rara mencium pipiku gemas. Terkadang bahkan mencubitku. Jawaban ini adalah jawaban standar Rara pada siapa saja yang berkomentar melihat kemanjaannya pada sang ayah. Sambil berjalan menuju jurusan air terjun untuk mendapatkan kesegaran air di tengah terik, Ken Prita bercerita apa yang baru terjadi ketika ia sedang motret-motret. "Aku didekati oleh seorang lelaki penangkap kupu-kupu. Ia menanyai Mama, apakah Mama mau kupu-kupu langka?" Rara yang berada di punggungku menoleh ke ibunya dengan rasa ingin tahu lebih jauh. "Terus gimana,Mah" tanya Rara. "Aku tanya kupu-kupu langka itu?" "Kupu-kupu yang sangat sangat jarang, Bu", jawab penangkap kupu-kupu itu. "Berapa lama untuk mendapatkan kupu-kupu langka?" "Paling tidak seminggu lah". "Lama sekali". "Tentu saja. Namanya saja barang langka". "Berapa harganya kira-kira?" "Barang langka mana ada yang murah, Bu. Apalagi aku kan juga hidup dari kupu-kupu. Kupu-kupu menghidupi aku dan keluargaku". "Berapa kupu-kupu langka yang akan Bapak tawarkan?" "Lha, ibu mau berapa? Tentu waktunya pun jadi bukan seminggu". "Bapak tawarkan berapa seekor kupu-kupu langka?" "Barang langka ya harganya langka juga". "Berapa?" "Ibu benar mau?" "Kan tanya dulu?" "Dua juta seekor". "Mahal amat ya Pak". "Begitu memang barang langka itu, Bu" "Lalu Mamah bilang apa pada penangkap kupu-kupu itu?" tanya Rara dari punggungku. "Pah, aku turun Pah. Papah capek kan?"lanjut Rara. Aku jongkok membiarkan Rara turun dari punggungku. "Pegel ya nak" "Tapi aku kan gak capek". "Papah yang capek". "Biarin, kan Papahku sendiri". Rara berjalan sambil memegang tanganku. "Terus,apakah Mamah jadi pesan kupu-kupu langka itu?", tanya Rara pada ibunya. "Darimana Mamah punya uang sebanyak itu? Dan pula untuk apa buang duit untuk seekor kupu-kupu, betapa pun langkanya? Kita kan bukan orang kaya , Nak. Mamah kan hanya ingin tahu saja. Ada apa yang lain di bawah ada di bawah sayap ribuan kupu-kupu Bantimurung. Ingin tahu berapa lama keindahan Bantimurung ini bertahan?". "Bayangkan aku pernah dapat info bahwa untuk siaran iklannya, sebuah tivi swasta memerlukan seribu kupu-kupu Bantimurung. Satu iklan seribu kupu-kupu. Ditambah dengan adanya barisan penangkap kupu-kupu yang berpatokan pada uang dan karena memang hidup dari kupu-kupu", lanjut Ken Prita bercerita kepada anaknya. "Kalau begitu, kupu-kupu Bantimurung ini akan habis dong, Mah? Sayang sekali. Padahal aku suka sekali kupu-kupu dan Bantimurung yang sekarang", ujar Rara polos. "Pah, kira-kira besok, masihkah akan ada kupu-kupu di Bantimurung", tanya menanyaiku sambil minta digendong lagi dengan alasan lelah berjalan kaki. "Entahlah, Nak. Hutan Kalimantan dekat kampung Papah saja sudah gundul jadi padang pasir. Papah kan pernah ajak Anak melihatnya", jawabku sambil membayangkan nasib hutan Hampalit -- sebuah tambang emas terbuka di Katingan. "Ya, ya , aku masih ingat, Pah. Aku masih kecil sekali waktu itu. Sekarang aku kan sudah besar. Aku ingat , Pah", ujar Rara dari punggungku sambil mencium pipiku yang basah keringat. "Ihhh, pipi Papah asin ihh", katanya lagi sambil mengusap bibirnya. Ngekek . Geli sendiri. Aku hanya diam membiarkan anakku girang di punggungku menikmati masa kanaknya yang hanya sekali sepanjang hidup. Masa yang tak akan pernah bisa terulang kecuali melekat di kenang. Hijau tandusnya, riap rimbunnya masa kanak anak adalah tanggungjawab orangtua. Jika kurang disadari, maka masa kanak itu akan seperti hutan Hampalit yang menjelma padang pasir putih hingga cakrawala di mana kepahitan berkeliaran garang dan liar. Di padang pasir putih ini tak lagi kudengar suara enggang dan suara kijang berlari seperti dahulu. Bantimurung! Besok masihkah kau punya kupu-kupu?*** Paris, Akhir Musim Dingin 2008 -- JJ. Kusni, pekerja biasa pada Koperasi Restoran Indonesia Paris. - Real p
Re: [ppiindia] Caping GM: Fouda - AGAKNYA....?
intisari caping itu adalah balaslah tulisan dengan tulisan. buku dilawan dengan buku. jangan kedepankan kekerasan. sejarah bukan keyakinan. dia bisa diperdebatkan siapa saja dengan kajian yang obyektif. dan tetap saja orang boleh setuju atau tidak setuju dengan hasilnya. kutipan dibawah tepat menjelaskan psikografi kaum islamis: "Di satu pihak, mereka harus yakin, tapi di lain pihak, mereka tahu mereka buta." At 02:27 AM 3/4/2008 -0800, you wrote: >Saya terus terang tidak merasa sreg dengan penggunaan istilah AGAKNYA di >bawah ini. >Marilah kita berpikir secara logis: > >1. Jika Nabi Muhammad SAW sendiri menyatakan Utsman bin Affan R.A. >termasuk salah satu sahabat yang DIJAMIN MASUK SURGA (dan artikel di bawah >tidak menggugat keabsahan ucapan Nabi Muhammad SAW tersebut), maka >sepatutnya kita mempertanyakan: mengapa kutipan atas karya Ibnu Sa'ad itu >dianggap begitu signifikan? Mana yang lebih kuat, pernyataan Nabi Muhammad >SAW atau Ibnu Sa'ad? Logika saya, mustahil Rasulullah SAW menyebut Utsman >termasuk sahabat yang dijamin surga jika Utsman seorang koruptor atau >orang yang rakus harta! Ini tuduhan yang sangat keji. > >2. Saya bukan ahli sejarah. Tapi sejauh saya tahu dari beberapa literatur, >Utsman bin Affan itu SUDAH kaya raya sebelum masuk Islam. Kemajuan dakwah >Islam di bawah Rasulullah mendapat dukungan penuh dari Utsman, yang >menghibahkan begitu banyak hartanya untuk dakwah secara sukarela. Kalau >niatnya cuma menumpuk harta, ngapain juga dia repot-repot mengambil risiko >bergabung dengan Rasulullah? Jadi, kalau toh (anggap saja data Ibnu Saad >bednar), Utsman ketika meninggal punya simpanan uang banyak, tidak ada >yang aneh, wong dia memang sejak dulu sudah kaya raya kok! > >= >Tulisan Goenawan Mohamad: > >"Tak diketahui dengan pasti mengapa semua kekejian itu terjadi kepada >seseorang yang oleh Nabi sendiri telah dijamin akan masuk surga. Fouda >mengutip kitab al-Tabaqãt al-Kubrã karya sejarah Ibnu Saad, yang >menyebutkan satu data yang menarik: khalif itu agaknya bukan seorang yang >bebas dari keserakahan. Tatkala Usman terbunuh, dalam brankasnya terdapat >30.500.000 dirham dan 100.000 dinar." > > >Satrio Arismunandar >Producer "SISI LAIN" (tayang Senin-Jumat, pukul 13.30-14.00 WIB) - >News Division, Trans TV, Lantai 3 >Jl. Kapten P. Tendean Kav. 12 - 14 A, Jakarta 12790 >Phone: 7917-7000, 7918-4544 ext. 4023, Fax: 79184558, 79184627 > >http://satrioarismunandar6.blogspot.com >http://satrioarismunandar.multiply.com > >"Ungkapkanlah kebenaran itu, meskipun pahit" (Hadist Nabi) > > > >- Original Message >From: Nugroho Dewanto <[EMAIL PROTECTED]> >To: ppiindia@yahoogroups.com; [EMAIL PROTECTED] >Sent: Tuesday, March 4, 2008 3:44:05 PM >Subject: [ppiindia] Caping GM: Fouda > > >Fouda > >Pada tanggal 8 Juni 1992, mereka bunuh Farag Fouda di Madinat al-Nasr, >Kairo. Dua orang bertopeng menyerangnya. Fouda tewas tertembak, anaknya >luka-luka parah. Kelompok Jamaah Islamiyah mengatakan: Ya, kami membunuhnya. > >Bagi kelompok itu, tak ada dosa bila Fouda dibinasakan. Bukankah lima hari >sebelum itu sekelompok ulama dari Universitas al-Azhar memaklumkan bahwa >cendekiawan ini telah menghujat agama, dan sebab itu boleh dibunuh? Seorang >ulama, Muhammad al-Ghazali, membela para algojo: tindakan mereka adalah >pelaksanaan hukuman yang tepat bagi seorang yang murtad. > >Tapi tak seorang pun tahu sebenarnya, benarkah Fouda, yang tewas pada umur >46, orang yang murtad. Terutama jika kita baca buku yang baru-baru ini >diterbitkan Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama, Kebenaran Yang >Hilang, yang juga memuat kata pengantar Samsu Rizal Panggabean. > >Lima bulan sebelum ia dibunuh, Fouda ikut dalam perdebatan di Pameran >Buku Kairo. Dalam acara yang konon diikuti 30.000 orang itu ia menghadapi >ulama macam Muhammad al-Ghazali. Perdebatan berkisar pada masalah hubungan >antara agama dan politik, negara dan agama, penerapan syariat Islam dan >lembaga khilafah. > >Pendirian Fouda dikemukakan dengan gamblang dalam serangkaian bab al-Haqiah >al-Ghaybah-nya yang diterjemahkan oleh Novriantoni. Ia memang bisa >mengguncang sendi-sendi pemikiran kaum Islamis: mereka yang ingin >menegakkan negara Islam berdasarkan ingatan tentang dunia Arab di abad >ke-7 ketika para sahabat Nabi memimpin umat. > >Bila kaum Islamis menggambarkan periode salaf itu sebagai zaman keemasan >yang patut dirindukan, Fouda tidak. Baginya, sebagaimana ditulis Samsu >Rizal Panggabean, periode itu zaman biasa. > >Bahkan sebenarnya tidak banyak yang gemilang dari masa itu, demikian >kesimpulan Samsu Rizal Panggabean. Malah, ada banyak jejak memalukan. > >Contoh yang paling tajam yang dikemukakan Fouda ialah saat kejatuhan Usman >bin Affan, khalifah ke-3. Sahabat Rasul yang diangkat ke kedudukan pemimpin >umat pada tahun 644 itu--melalui sebuah musyawarah terbatas antara lima >orang--berakhir kekuasaannya 12 tahun kemudian. Ia dibunuh. Para >pembunuhnya bukan orang Majusi, bu
Re: [ppiindia] Caping GM: Fouda - AGAKNYA....?
Saya terus terang tidak merasa sreg dengan penggunaan istilah AGAKNYA di bawah ini. Marilah kita berpikir secara logis: 1. Jika Nabi Muhammad SAW sendiri menyatakan Utsman bin Affan R.A. termasuk salah satu sahabat yang DIJAMIN MASUK SURGA (dan artikel di bawah tidak menggugat keabsahan ucapan Nabi Muhammad SAW tersebut), maka sepatutnya kita mempertanyakan: mengapa kutipan atas karya Ibnu Sa'ad itu dianggap begitu signifikan? Mana yang lebih kuat, pernyataan Nabi Muhammad SAW atau Ibnu Sa'ad? Logika saya, mustahil Rasulullah SAW menyebut Utsman termasuk sahabat yang dijamin surga jika Utsman seorang koruptor atau orang yang rakus harta! Ini tuduhan yang sangat keji. 2. Saya bukan ahli sejarah. Tapi sejauh saya tahu dari beberapa literatur, Utsman bin Affan itu SUDAH kaya raya sebelum masuk Islam. Kemajuan dakwah Islam di bawah Rasulullah mendapat dukungan penuh dari Utsman, yang menghibahkan begitu banyak hartanya untuk dakwah secara sukarela. Kalau niatnya cuma menumpuk harta, ngapain juga dia repot-repot mengambil risiko bergabung dengan Rasulullah? Jadi, kalau toh (anggap saja data Ibnu Saad bednar), Utsman ketika meninggal punya simpanan uang banyak, tidak ada yang aneh, wong dia memang sejak dulu sudah kaya raya kok! = Tulisan Goenawan Mohamad: "Tak diketahui dengan pasti mengapa semua kekejian itu terjadi kepada seseorang yang oleh Nabi sendiri telah dijamin akan masuk surga. Fouda mengutip kitab al-Tabaqãt al-Kubrã karya sejarah Ibnu Saad, yang menyebutkan satu data yang menarik: khalif itu agaknya bukan seorang yang bebas dari keserakahan. Tatkala Usman terbunuh, dalam brankasnya terdapat 30.500.000 dirham dan 100.000 dinar." Satrio Arismunandar Producer "SISI LAIN" (tayang Senin-Jumat, pukul 13.30-14.00 WIB) - News Division, Trans TV, Lantai 3 Jl. Kapten P. Tendean Kav. 12 - 14 A, Jakarta 12790 Phone: 7917-7000, 7918-4544 ext. 4023, Fax: 79184558, 79184627 http://satrioarismunandar6.blogspot.com http://satrioarismunandar.multiply.com "Ungkapkanlah kebenaran itu, meskipun pahit" (Hadist Nabi) - Original Message From: Nugroho Dewanto <[EMAIL PROTECTED]> To: ppiindia@yahoogroups.com; [EMAIL PROTECTED] Sent: Tuesday, March 4, 2008 3:44:05 PM Subject: [ppiindia] Caping GM: Fouda Fouda Pada tanggal 8 Juni 1992, mereka bunuh Farag Fouda di Madinat al-Nasr, Kairo. Dua orang bertopeng menyerangnya. Fouda tewas tertembak, anaknya luka-luka parah. Kelompok Jamaah Islamiyah mengatakan: Ya, kami membunuhnya. Bagi kelompok itu, tak ada dosa bila Fouda dibinasakan. Bukankah lima hari sebelum itu sekelompok ulama dari Universitas al-Azhar memaklumkan bahwa cendekiawan ini telah menghujat agama, dan sebab itu boleh dibunuh? Seorang ulama, Muhammad al-Ghazali, membela para algojo: tindakan mereka adalah pelaksanaan hukuman yang tepat bagi seorang yang murtad. Tapi tak seorang pun tahu sebenarnya, benarkah Fouda, yang tewas pada umur 46, orang yang murtad. Terutama jika kita baca buku yang baru-baru ini diterbitkan Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama, Kebenaran Yang Hilang, yang juga memuat kata pengantar Samsu Rizal Panggabean. Lima bulan sebelum ia dibunuh, Fouda ikut dalam perdebatan di Pameran Buku Kairo. Dalam acara yang konon diikuti 30.000 orang itu ia menghadapi ulama macam Muhammad al-Ghazali. Perdebatan berkisar pada masalah hubungan antara agama dan politik, negara dan agama, penerapan syariat Islam dan lembaga khilafah. Pendirian Fouda dikemukakan dengan gamblang dalam serangkaian bab al-Haqiah al-Ghaybah-nya yang diterjemahkan oleh Novriantoni. Ia memang bisa mengguncang sendi-sendi pemikiran kaum Islamis: mereka yang ingin menegakkan negara Islam berdasarkan ingatan tentang dunia Arab di abad ke-7 ketika para sahabat Nabi memimpin umat. Bila kaum Islamis menggambarkan periode salaf itu sebagai zaman keemasan yang patut dirindukan, Fouda tidak. Baginya, sebagaimana ditulis Samsu Rizal Panggabean, periode itu zaman biasa. Bahkan sebenarnya tidak banyak yang gemilang dari masa itu, demikian kesimpulan Samsu Rizal Panggabean. Malah, ada banyak jejak memalukan. Contoh yang paling tajam yang dikemukakan Fouda ialah saat kejatuhan Usman bin Affan, khalifah ke-3. Sahabat Rasul yang diangkat ke kedudukan pemimpin umat pada tahun 644 itu--melalui sebuah musyawarah terbatas antara lima orang--berakhir kekuasaannya 12 tahun kemudian. Ia dibunuh. Para pembunuhnya bukan orang Majusi, bukan pula orang yang murtad, tapi orang Islam sendiri yang bersepakat memberontak. Mereka tak sekadar membunuh Usman. Menurut sejarawan al-Thabari, jenazahnya terpaksa bertahan dua malam karena tidak dapat dikuburkan. Ketika mayat itu disemayamkan, tak ada orang yang bersembahyang untuknya. Siapa saja dilarang menyalatinya. Jasad orang tua berumur 83 itu bahkan diludahi dan salah satu persendiannya dipatahkan. Karena tak dapat dikuburkan di pemakaman Islam, khalifah ke-3 itu dimakamkan di Hisy Kaukab, w
[ppiindia] Caping GM: Fouda
Fouda Pada tanggal 8 Juni 1992, mereka bunuh Farag Fouda di Madinat al-Nasr, Kairo. Dua orang bertopeng menyerangnya. Fouda tewas tertembak, anaknya luka-luka parah. Kelompok Jamaah Islamiyah mengatakan: Ya, kami membunuhnya. Bagi kelompok itu, tak ada dosa bila Fouda dibinasakan. Bukankah lima hari sebelum itu sekelompok ulama dari Universitas al-Azhar memaklumkan bahwa cendekiawan ini telah menghujat agama, dan sebab itu boleh dibunuh? Seorang ulama, Muhammad al-Ghazali, membela para algojo: tindakan mereka adalah pelaksanaan hukuman yang tepat bagi seorang yang murtad. Tapi tak seorang pun tahu sebenarnya, benarkah Fouda, yang tewas pada umur 46, orang yang murtad. Terutama jika kita baca buku yang baru-baru ini diterbitkan Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama, Kebenaran Yang Hilang, yang juga memuat kata pengantar Samsu Rizal Panggabean. Lima bulan sebelum ia dibunuh, Fouda ikut dalam perdebatan di Pameran Buku Kairo. Dalam acara yang konon diikuti 30.000 orang itu ia menghadapi ulama macam Muhammad al-Ghazali. Perdebatan berkisar pada masalah hubungan antara agama dan politik, negara dan agama, penerapan syariat Islam dan lembaga khilafah. Pendirian Fouda dikemukakan dengan gamblang dalam serangkaian bab al-Haqiah al-Ghaybah-nya yang diterjemahkan oleh Novriantoni. Ia memang bisa mengguncang sendi-sendi pemikiran kaum Islamis: mereka yang ingin menegakkan negara Islam berdasarkan ingatan tentang dunia Arab di abad ke-7 ketika para sahabat Nabi memimpin umat. Bila kaum Islamis menggambarkan periode salaf itu sebagai zaman keemasan yang patut dirindukan, Fouda tidak. Baginya, sebagaimana ditulis Samsu Rizal Panggabean, periode itu zaman biasa. Bahkan sebenarnya tidak banyak yang gemilang dari masa itu, demikian kesimpulan Samsu Rizal Panggabean. Malah, ada banyak jejak memalukan. Contoh yang paling tajam yang dikemukakan Fouda ialah saat kejatuhan Usman bin Affan, khalifah ke-3. Sahabat Rasul yang diangkat ke kedudukan pemimpin umat pada tahun 644 itu--melalui sebuah musyawarah terbatas antara lima orang--berakhir kekuasaannya 12 tahun kemudian. Ia dibunuh. Para pembunuhnya bukan orang Majusi, bukan pula orang yang murtad, tapi orang Islam sendiri yang bersepakat memberontak. Mereka tak sekadar membunuh Usman. Menurut sejarawan al-Thabari, jenazahnya terpaksa bertahan dua malam karena tidak dapat dikuburkan. Ketika mayat itu disemayamkan, tak ada orang yang bersembahyang untuknya. Siapa saja dilarang menyalatinya. Jasad orang tua berumur 83 itu bahkan diludahi dan salah satu persendiannya dipatahkan. Karena tak dapat dikuburkan di pemakaman Islam, khalifah ke-3 itu dimakamkan di Hisy Kaukab, wilayah pekuburan Yahudi. Tak diketahui dengan pasti mengapa semua kekejian itu terjadi kepada seseorang yang oleh Nabi sendiri telah dijamin akan masuk surga. Fouda mengutip kitab al-Tabaqãt al-Kubrã karya sejarah Ibnu Saad, yang menyebutkan satu data yang menarik: khalif itu agaknya bukan seorang yang bebas dari keserakahan. Tatkala Usman terbunuh, dalam brankasnya terdapat 30.500.000 dirham dan 100.000 dinar. Kaum Islamis tak pernah menyebut peristiwa penting itu, tentu. Dan tentu saja mereka tak hendak mengakui bahwa tindakan berdarah terhadap Usman itu menunjukkan ada yang kurang dalam hukum Islam: tak ada pegangan yang mengatur cara mencegah seorang pemimpin agar tak menyeleweng dan bagaimana pergantian kekuasaan dilakukan. Ketika Usman tak hendak turun dari takhta (ia mengatakan, Demi Allah, aku tidak akan melepas baju yang telah disematkan Allah kepadaku!), orang-orang Islam di bawahnya pun menemui jalan buntu. Sebagaimana disebut dalam Kebenaran Yang Hilang, para pemuka Islam waktu itu mencari-cari contoh dari masa lalu bagaimana memecahkan soal suksesi. Mereka gagal. Mereka juga mencari kaidah dalam Islam tapi mereka tak menemukannya, tulis Fouda. Maka perkara jadi runcing dan mereka mengepung Usman--lalu membunuhnya, lalu menistanya. Tampak, ada dinamika lain yang mungkin tak pernah diperkirakan ketika Islam bertaut dengan kekuasaan. Dinamika itu mencari jalan dalam kegelapan tapi dengan rasa cemas yang sangat. Orang memakai dalih agama untuk mempertahankan takhta atau untuk menjatuhkan si penguasa, tapi sebenarnya mereka tahu: tak ada jalan yang jelas, apalagi suci. Di satu pihak, mereka harus yakin, tapi di lain pihak, mereka tahu mereka buta. Itu sebabnya laku mereka begitu absolut dan begitu bengis. Pada tahun 661, setelah lima tahun memimpin, Ali dibunuh dengan pedang beracun oleh seorang pengikutnya yang kecewa, Ibnu Muljam. Khalifah ke-4 itu wafat setelah dua hari kesakitan. Pembunuhnya ditangkap. Sebagai hukuman, tangan dan kaki orang ini dipenggal, matanya dicungkil, dan lidahnya dipotong. Mayatnya dibakar. Ketika pada abad ke-8 khilafah jatuh ke tangan wangsa Abbasiyah, yang pertama kali muncul al-Saffah, Si Jagal. Di mimbar ia mengaum, Allah telah mengembalikan hak kami. Tapi tentu saja