[ppiindia] Gus Mus: Lebaran Tinggal Satu Hari Lagi

2010-09-07 Terurut Topik Ananto
Lebaran Tinggal Satu Hari Lagi

Oleh: KH. Dr. A. Mustofa Bisri


Saat pamit dua minggu yang lalu, suaminya berjanji akan pulang sebelum
lebaran. Kini lebaran sudah tinggal satu hari dan belum ada kabar berita
dari suaminya itu. Hatinya jadi gelisah. Sebetulnya suaminya pergi
seminggu-dua minggu sudah biasa. Selama ini dia sama sekali tidak pernah
merasa gelisah. Tapi ini menjelang lebaran. Selama ini mereka selalu
berlebaran bersama. Mungkin juga berita-berita yang selalu didengarnya,
turut mempengaruhi batinnya.



Setelah ledakan bom di Bali, tampaknya semua orang bisa saja diciduk aparat.
Setiap rumah bisa digeledah polisi. Seperti beberapa orang yang dicurigai
polisi itu, dia juga tidak begitu mengetahui kegiatan suaminya di luaran.
Selama ini, sebagai orang yang berasal dari desa yang dikawin orang kota,
dia merasa tidak pantas bila bertanya macam-macam urusan lelaki. Jika
suaminya bilang bisnis, itu sudah cukup baginya; dia tidak pernah kepingin
tahu bisnis apa. Tapi sekarang, dia mulai was-was. Jangan-jangan apa yang
dibilang suaminya bisnis itu merupakan kegiatan seperti yang dilakukan oleh
mereka yang saat ini dicurigai polisi itu. Ah, tapi tidak. Suaminya orangnya
lembut dan tidak neko-neko. Tidak mungkin. Tapi kebanyakan yang ditangkap
polisi itu sepertinya juga tidak tampak sangar dan neko-neko. Ah.


Sehabis menidurkan anak semata wayangnya, Siti sembahyang Isya'. Tidak
seperti biasanya, kali ini doanya panjang sekali. Semua doa yang dihafalnya
dibaca semua, bahkan ditambah doa dengan bahasa ibunya. Dia pernah mendengar
dari seorang kiai, doa menggunakan bahasa ibu, terasa jauh lebih khusyuk.
Ternyata benar. Air matanya sampai berlelehan saat dia meminta keselamatan
suaminya.


Dia teringat semua kebaikan suaminya yang selama ini tidak begitu ia
perhatikan. Bicaranya yang selalu lembut kepadanya. Jika pulang dari
bepergian, jauh atau dekat, selalu tidak lupa membawa oleh-oleh untuk
dirinya dan anak mereka. Bila memberi uang, suaminya tidak pakai hitungan.
Seringkali, belum sempat dia meminta, suaminya seperti sudah tahu dan
langsung memberikan uang yang ia perlukan. Tidak jarang suaminya, jika
sedang di rumah, ikut membantunya; tidak hanya momong anak, tapi juga
mencuci dan di dapur.


Siti tersenyum sendiri, teringat ketika suaminya berlelelahan air matanya
saat membantunya merajang bawang merah. Ya Allah, lindungilah suamiku!
Jauhkanlah dia dari segala mara bahaya!


Ketika kemudian Siti merebahkan badannya di sisi anaknya yang pulas, dia
masih terus berzikir. Tiba-tiba terdengar suara orang menggedor-gedor
pintunya. Buru-buru Siti meloncat turun. Sejenak dia merasa lega. Ini pasti
suaminya. Alhamdulillah. Namun betapa kagetnya ketika baru saja dia membuka
pintu, beberapa orang berhamburan masuk. Semuanya berwajah waspada atau
lebih tepatnya angker.


Kami petugas, kata salah seorang di antara mereka, Kami mendapat perintah
mencari suami Anda. Anda istri Mat Soleh?


Siti hanya mengangguk asal mengangguk. Pikirannya tak karuan. Ketika
dilihatnya orang-orang itu menyebar ke seluruh ruang rumahnya, yang terpikir
oleh Siti hanyalah anaknya yang sedang tidur. Tolong jangan terlalu
berisik! pintanya, anak saya baru saja tidur.


Tapi tak ada gunanya. Dari biliknya, Intan, anaknya yang baru berumur lima
tahun itu sudah keluar sambil menangis, memanggil-manggilnya. Siti segera
menghambur memeluk buah hatinya itu sambil berusaha menenangkannya. Bu,
takut! Siapa mereka ini, Bu? tanya si anak masih sesenggukan.


Syhh, syhh, tidak ada apa-apa, sayang. Bapak-bapak ini petugas yang sedang
mencari sesuatu. Siti asal menjawab. Bapal-bapak inilah yang sering ibu
ceritakan sebagai pelindung-pelindung kita.


Orang-orang itu mengobrak-abrik seisi rumah. Tak ada satu benda pun yang
selamat dari pemeriksaan mereka. Bahkan grobok tempat makanan pun mereka
udal-udal, entah mencari apa? Salah seorang di antaranya mencecar Siti
dengan pertanyaan-pertanyaan tentang suaminya. Kapan kenal, kapan kawin,
bagaimana kelakuannya selama ini; dan kapan terakhir bersama suaminya. Semua
pertanyaan dijawab Siti apa adanya. Setelah puas dan tidak mendapatkan apa
yang mereka cari, seorang di antara mereka pun memberi isyarat pergi. Namun
sebelumnya dia masih sempat mengatakan kepada Siti bahwa mereka akan datang
lagi.


Begitu mereka keluar, Siti buru-buru menutup pintunya sambil berdoa semoga
mereka tidak berubah pikiran dan balik lagi. Dia kembali menidurkan anaknya
dan berbaring di sampingnya dengan pikiran yang kalut. Ternyata apa yang
dikhawatirkan benar-benar terjadi. Suaminya dicari polisi. Bagaimana
mungkin. Seingatnya, suaminya tidak pernah bohong dan menyembunyikan sesuatu
kepadanya. Kalau benar dugaan polisi, pastilah Mat Soleh, suaminya itu,
aktor yang luar biasa. Atau dia yang terlalu lugu sebagai istri, sehingga
suaminya merahasiakan sesuatu selama ini tanpa sedikit pun dia
mengetahuinya. Jadi selama ini suaminya pergi tidak untuk bisnis seperti
yang dikesankan kepadanya. Ah, terlalu kau, Kang. Tega benar kau

[ppiindia] Gus Mus: Ramadan yang Istimewa

2010-08-22 Terurut Topik Ananto
Ramadan yang Istimewa

Oleh: KH. Dr. A Mustofa Bisri



TIDAK terasa Ramadan, bulan istimewa dengan situasi dan suasananya yang
istimewa, sudah kembali tiba. Di antara bulan-bulan setahun, bulan Ramadan
memang merupakan bulan istimewa. Keistimewaannya  bisa dilihat dari berbagai
sudut; di antaranya bulan ini kitab suci Alquran diturunkan (Q.2: 185).


Bahkan menurut sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud, Shuhuf-nya
Nabi Ibrahim, Tauratnya  Nabi Musa, Injilnya Nabi Isa, dan Zaburnya Nabi
Daud, semuanya juga turun di bulan Ramadan.


Pada bulan ini kita, kaum muslimin, diwajibkan berpuasa (Q. 2: 183). Pada
bulan ini pintu sorga dibuka (HR imam Bukhori dan imam Muslim dari shahabat
Abu Hurairah).


Istimewanya lagi, setiap keistimewaan Ramadan justru bermuara kepada
keistimewaan kita. Turunnya Alquran adalah istimewa, karena, sebagaimana
kitab-kitab suci lainnya, Alquran adalah firman Allah kepada hamba-hambaNya.
Dan ini berarti istimewa bagi kita, hamba-hamba-Nya.


Bayangkan Allah Yang Maha Besar yang tak terhingga kebesarannya, Pencipta
alam semesta , berkenan berfirman kepada kita yang sungguh amat sangat kecil
di planet yang hanya sebesar debu di alam semesta  ini.


Pada bulan Ramadan kita, kaum beriman, diwajibkan berpuasa. Ini istimewa.
Di sebelas bulan yang lain, kita boleh dikata bebas memperlakukan dan
mentasarufkan apa saja yang  dianugerahkan  Allah kepada kita.


Kita, misalnya,  bebas menggunakan mulut anugerahNya untuk memasukkan  dan
mengeluarkan apa saja yang kita kehendaki,  kecuali yang berbahaya terhadap
diri kita sendiri.


Kita bebas makan, minum, dan berbicara kapan saja kita mau. Begitu bebasnya
sehingga  terhadap yang berbahaya terhadap diri kita sendiri pun seringkali
kita tabrak juga.


Di bulan Ramadan ini lain. Kita tidak lagi bebas. Kita dipaksa mengekang dan
menahan diri meski dalam waktu yang terbatas dari hal-hal yang halal yang
tidak membahayakan diri kita sekali pun.


Kemudahan

Untuk kepentingan siapa kita mengekang dan menahan diri itu? Tidak untuk
kepentingan siapa-siapa? Tapi untuk kepentingan kita sendiri.  Di samping di
bulan suci ini kita bisa dengan intens melatih diri menjadi mukmin yang kuat
yang mampu mengalahkan diri sendiri yang pada akhirnya menjadi orang-orang
yang benar-benar bertakwa, di samping itu bulan Ramadan menyediakan berbagai
kemudahan bagi kita untuk mendapatkan rahmat dan pahala Allah.


Pada bulan Ramadan, seperti berita yang disampaikan Rasulullah SAW, pintu
surga dibuka. Kesempatan mendapatkan sesuatu yang memudahkan kita masuk
surga  terbuka lebar-lebar.


Tinggal bagaimana kita mempergunakan kesempatan istimewa ini.  Sebab ada
hadis yang menyatakan banyak orang yang berpuasa dan hanya mendapatkan
lapar  belaka.


Mudah-mudahan kita termasuk orang-orang  yang dapat mengambil kesempatan
istimewa bulan suci Ramadan ini terutama bagi kebahagiaan kita di akhirat
kelak. Sedangkan untuk kebahagiaan dunia kita, sebelas bulan masa sih masih
belum cukup?


Selamat menunaikan ibadah puasa bagi kaum muslimin. Selamat mempergunakan
kesempatan istimewa bulan Ramadan untuk mengevaluasi diri, menuju keridhaan
Allah.



KH. Dr. A. Mustofa Bisri, Pengajar di Pondok Pesantren Taman Pelajar
Raudlatut Thalibin, Rembang, Jawa Tengah.


-- 
...menyembah yang maha esa,
menghormati yang lebih tua,
menyayangi yang lebih muda,
mengasihi sesama...


[Non-text portions of this message have been removed]



[ppiindia] Gus Mus: Puasa dan Takwa

2010-08-19 Terurut Topik Ananto
Puasa dan Takwa

Oleh: KH. Dr. A. Mustofa Bisri


Puasa diwajibkan atas kita orang-orang yang beriman. Kita yang telah
berikrar lahir-batin bahwa tiada Tuhan kecuali Allah dan Nabi Muhammad SAW
utusan Allah.



Sebagai hamba Allah SWT yang telah berikrar, sebenarnya apa pun
perintah-Nya, kita tidak perlu dan tidak pantas bertanya-tanya mengapa,
untuk apa?. Hamba yang baik justru senantiasa ber-husnuzhzhan, berbaik
sangka kepada-Nya. Allah SWT memerintahkan atau melarang sesuatu, pastilah
untuk kepentingan kita. Karena Allah SWT Maha Kaya, tidak memiliki
kepentingan apa pun. Ia mulia bukan karena dimuliakan, agung bukan karena
diagungkan, berwibawa bukan karena ditunduki. Sejak semula, Ia sudah Maha
Mulia, sudah Maha Agung, sudah Maha Kaya, sudah Maha Berwibawa


Kalau kemudian Ia menjelaskan pentingnya melaksanakan perintah-Nya atau
menjauhi larangan-Nya, semata-mata karena Ia tahu watak kita yang suka
mempertanyakan, yang selalu menonjolkan kepentingan sendiri.


Maka, sebelum kita mempertanyakan mengapa kita diperintahkan berpuasa,
misalnya, Allah SWT telah berfirman:


íóÇ ÃóíøõåóÇ ÇáøóÐöíäó ÂãóäõæÇ ßõÊöÈó Úóáóíúßõãú ÇáÕøöíóÇãõ ßóãóÇ ßõÊöÈó
Úóáóì ÇáøóÐöíäó ãöäú ÞóÈúáößõãú áóÚóáøóßõãú ÊóÊøóÞõæäó


(QS. Al-Baqarah: 183) Wahai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan
puasa atas kalian sebagaimana diwajibkan atas orang-orang yang sebelum
kalian, agar kalian bertakwa.


Hamba mukmin di dunia ini, dalam proses menuju ketakwaan kepada Allah SWT.
Karena semua kebaikan hamba di dunia dan kebahagiaannya di akherat, kuncinya
adalah ketakwaan kepada-Nya. Mulai dari pujian Allah SWT, dukungan dan
pertolongan-Nya, penjagaan-Nya, pengampunan-Nya, cinta-Nya, limpahan
rejeki-Nya, pematutan amal dan penerimaan-Nya terhadapnya, hingga
kebahagiaan abadi di sorga, ketakwaanlah kuncinya. (Baca misalnya, Q.3: 76,
120, 133, 186; Q.5:27; Q. 16: 128; Q. 19: 72; Q. 39: 61; Q. 65: 2-3; Q. 33:
70-71; Q. 49: 13).


Nah puasa, sebagaimana dijelaskan Allah SWT dalam ayat 183 al-Baqarah di
atas, merupakan sarana kita untuk mencapai ketakwaan yang berarti pada
gilirannya meraih kebahagian di dunia dan akherat..


Takwa sendiri lebih sering diucapkan ketimbang diterangkan. Ini barangkali
karena banyaknya definisi. Intinya-sejalan dengan maknanya secara
bahasa-ialah penjagaan diri. Penjagaan diri dari apa? Ada yang mengatakan
penjagaan diri dari hukuman Allah dengan cara mentaati-Nya. Ada yang
mengatakan penjagaan diri dari mengabaikan perintah-perintah Allah dan
melanggar larangan-larangan-Nya. Ada yang mengatakan penjagaan diri dari
melakukan hal-hal yang menjauhkan dari Allah. Ada yang mengatakan penjagaan
diri jangan sampai mengikuti hawa nafsu dan tergoda setan. Ada yang
mengatakan penjagaan diri jangan sampai tidak mengikuti jejak Rasulullah
SAW. Dan masih banyak lagi pendapat yang jika kita cermati, semuanya
berujung pada satu makna. Perbedaannya hanya pada ungkapan tentang dari apa
kita mesti menjaga diri.


Orang mukmin yang menjaga dirinya terhadap seretan hawa nafsunya dan atau
godaan setan, berarti dia menjaga diri dari mengabaikan perintah-perintah
Allah dan dari melakukan hal-hal yang dilarang-Nya; berarti, dia menjaga
diri agar tetap mengikuti jejak Rasullah SAW; berarti menjaga diri dari
hukuman Allah dan dijauhkan dari-Nya.


Ibarat berjalan di ladang ranjau, orang yang bertakwa senantiasa
berhati-hati dan waspada terhadap hal-hal yang dapat mencelakakannya.


Puasa, seperti diketahui, bukanlah sekedar menahan diri untuk tidak makan
dan tidak minum. Seandainya sekedar menahan diri dari makan dan minum pun
sudah merupakan latihan untuk dapat menguasai dan menjaga diri karena Allah.
Dalam puasa, melakukan dan tidak melakukan sesuatu karena Allah secara nalar
jauh lebih mudah. Orang yang berpuasa karena orang, misalnya, bisa saja
makan atau minum di siang hari secara sembunyi-sembunyi. Makan makanannya
sendiri, minum minumannya sendiri, apa susahnya? Tapi untuk apa? Karena
Allah-lah yang membuat orang mukmin bersedia menahan lapar, tidak makan
makanannya sendiri, menahan haus, tidak minum minumannya sendiri.


Karena Allah ini tentu saja hanya bisa disikapi oleh mereka yang iman kepada
Allah. Dan seukur tebal-tipis, besar-kecil, atau kuat-ringkihnya iman
itulah, ketulusan orang yang melakukan atau tidak melakukan sesuatu karena
Allah. Di dalam puasa, orang mukmin digembleng untuk menjadi mukmin yang
kuat yang dapat menguasai dan menjaga diri. Mukmin yang lubuk hatinya,
pikirannya, hingga pelupuk matanya, merupakan singgasana Allah, sehingga
tidak mudah dibuat tergiur oleh iming-iming sesaat seperti hewan, tidak
terjerumus berperilaku buas dan serakah seperti binatang. Mukmin sejati,
mukmin yang bertakwa kepada Allah. Bukan pengaku mukmin yang lubuk hatinya,
pikirannya, hingga pelupuk matanya merupakan tempat mendekam hewan dan
binatang buas, sehingga makan pun tidak peduli makan makanannya sendiri atau
milik orang lain dan menunjukkan kehebatannya dengan menerkam kesana-kemari.
Na’udzu billah min dzalik.


Mudah-mudahan 

[ppiindia] Gus Mus: Pesantren Kilat

2010-08-18 Terurut Topik Ananto
Pesantren Kilat

Oleh: KH. Dr. A. Mustofa Bisri



Ramadhan adalah bulan mulia yang memberikan kesempatan kepada kamu untuk
meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT. Nah, gunakan
sebaik-baiknya waktu kamu pada bulan Ramadhan ini untuk memperbanyak ibadah
dan pengetahuan keagamaan.



Pada awal-awal bulan ramadhan yang telah lewat, kita menyaksikan dan melihat
banyak lembaga-lembaga pendidikan dan takmir/remaja masjid sibuk untuk
mengadakan kegiatan-kegiatan yang bernafaskan islami pada awal-awal bulan
ramdhan. Tradisi mengadakan kegiatan-kegiatan islami selama bulan ramadhan,
khususnya pada awal minggu pertama, agar bulan yang penuh berkah ini diisi
dengan ibadah.

Kegiatan selama bulan ramadhan sudah pasti bernuansa rohani, seperti siraman
rohani dan bimbingan khusus untuk menjalankan ibadah puasa dengan khusyuk.
Salah satu kegiatan positif yang dapat memperdalam ilmu-ilmu agama adalah
pesantren kilat. Pesantren kilat sering diadakan oleh lembaga-lembaga
pendidikan formal, mulai dari Sekolah Dasar (SD) sampai Sekolah Lanjutan
Tingkat Atas (SLTA) dengan cara mewajibkan para siswa/siswinya untuk
mengikuti pesantren kilat.


Tempat untuk mengadakan pesantren kilat tidak hanya dilaksanakan di dalam
gedung-gedung sekolah atau ruang masjid tetapi ada juga yang mengadakan
pesantren kilat di ruang terbuka, seperti pegunungan dan di
padepokan-padepokan taman wisata yang jauh dari kerumunan orang-orang banyak
yang tujuan utamanya adalah supaya bisa khusyuk dan serius dalam menjalankan
ibadah.


Pesantren kilat umumnya dilaksanakan selama satu atau dua minggu pada awal
bulan ramadhan. Materi yang diberikan pada pesantren kilat biasanya
kegiatan-kegiatan yang bernafaskan rohani dan pendalaman ilmu-ilmu agama,
misalnya membaca Al-Qur'an, praktik wudlu, shalat, tayamum, adzan, menghafal
surat-surat pendek dan ayat-ayat pilihan, doa-doa, mendengarkan ceramah, dan
berdiskusi tentang keislaman. Tetapi pada akhir-akhir ini, materi pesantren
kilat tidak hanya mempelajari ilmu-ilmu religius tetapi juga ada
materi-materi umum seperti, psikologi yang menenkankan pentingnya mengetahui
siapa manusia itu sebenarnya dan bagaimana harus berintraksi antara satu
dengan yang lain, *outbound *atau permainan di luar ruangan, pentas musik,
pentas teater, dan sebagainya.


Misalnya saja pesantren kilat yang dilaksanakan oleh RISKA (Remaja Islam
Sunda Kelapa) yang dilaksanakan di daerah Cisalak, Bogor, Jawa Barat. Dengan
bertempat di alam terbuka peserta diharapkan bisa mendekatkan diri kepada
Tuhan Yang Maha Kuasa dengan merenungkan ciptaan-Nya. Pesantren kilat yang
laksanakan oleh RISKA tidak hanya diisi materi-materi agama tetapi peserta
juga akan diajak untuk mengunjungi Lembaga Pemasyarakatan (LP) khusus wanita
di Tangerang.


Manfaat mengikuti pesantren kilat adalah selain mendapatkan ilmu agama dan
dapat menjalankan ibadah puasa dengan khusus juga memperoleh banyak
pengalaman berharga misalnya, berlatih mandiri, rasa sosial dan setia kawan
jadi lebih meningkat, serta memupuk rasa kebersamaan.


Pesantren kilat tampaknya dapat dijadikan alternatif pendidikan islami bagi
siswa sekolah umum di kota-kota besar yang relatif kurang mendapatkan
pelajaran keagamaan.  Pesantren kilat selama bulan Ramadhan diharapkan dapat
meningkatkan ketakwaan para siswa sekolah serta menanamkan kepedulian
sesama.  Akan lebih baik lagi bila para pengelola pondok pesantren juga pro
aktif menyelenggarakan pesantren kilat bagi para siswa sekolah umum selama
bulan ramadhan sehingga para siswa sekolah umum di kota-kota besar dapat
menyelami kehidupan asrama (mukim) di pesantren yang sarat dengan nilai
kebersamaan dan kebersahajaan.



Pesantren kilat yang diselenggarakan langsung oleh Pondok Pesantren yang
sehari-hari memang menyelenggarakan pendidikan keagamaan diharapkan dapat
memberikan pemahaman keislaman yang menyeluruh *(kaffah)* dan tidak *instant
* sehingga para siswa sekolah umum dapat memahami substansi ajaran agama dan
tidak tejebak pada simbolisme agama yang seringkali bermuara pada
ekstrimisme, radikalisme dan anarkisme.  Kita tentunya prihatin dengan
kecenderungan ekstrimisme dan radikalisme yang melanda kaum muda pelajar dan
mahasiswa di sekolah dan kampus umum yang salah satunya disebabkan pemahaman
agama yang simbolik dan *instant**.*



KH. Dr. A. Mustofa Bisri, Pengajar di Pondok Pesantren Taman Pelajar
Raudlatut Thalibin, Rembang, Jawa Tengah.


-- 
...menyembah yang maha esa,
menghormati yang lebih tua,
menyayangi yang lebih muda,
mengasihi sesama...


[Non-text portions of this message have been removed]



[ppiindia] Gus Mus: Pidato Nabi Menjelang Ramadlan

2010-08-09 Terurut Topik Ananto
Pidato Nabi Menjelang Ramadlan

Oleh: KH. Dr. A. Mustofa Bisri



Sahabat Salman r.a. menceritakan, bahwa Rasulullah saw. pernah berpidato di
depan para sahabat pada hari terakhir bulan Sya'ban. Rasulullah antara lain
bersabda:


*Wahai orang-orang, telah datang kepada kalian Bulan Agung, bulan penuh
berkah dimana di dalamnya terdapat satu malam yang lebih baik dari seribu
bulan. Bulan dimana Allah mewajibkan puasa dan mengajurkan jungkung,
melakukan ibadah sunnah di malam harinya.*



*Barangsiapa melakukan pendekatan diri kepada Allah di dalam bulan ini
dengan mengerjakan sesuatu perbuatan baik atau menunaikan suatu kewajiban,
maka sama halnya dengan menunaikan tujuhpuluh kewajiban di saat-saat lain.
Bulan ini adalah bulan bersabar, sedangkan bersabar pahalanya adalah surga.
Bulan ini adalah bulan kebersamaan. Bulan dimana rezeki orang Mukmin
bertambah; barangsiapa memberi buka kepada orang yang berpuasa, berarti
melebur dosa-dosanya dan membebaskannya dari api neraka, dan orang yang
memberi buku itu sendiri mendapatkan pahala yang sama, tanpa kurang sedikit
pun.*



Para sahabat berkata, Tidak semua kita mampu menyediakan buka bagi orang
yang berpuasa.
Nabi pun bersabda,Allah memberikan pahala ini kepada orang yang memberi
buka, meskipun hanya dengan sebuah kurma, seteguk air, atau hanya secicipan
susu. Bulan ini adalah bulan yang awalnya merupakan rahmat, tengahnya
ampunan, dan akhirnya pembebasan dari api neraka; barangsiapa meringankan
beban buruhnya di bulan ini, Allah akan mengampunimya dan membebaskannya
dari api neraka.



Maka perbanyaklah, di bulan ini, melakukan empat hal; dua diantaranya akan
membuat Tuhan kalian ridha dan dua hal lainnya merupakan kebutuhan yang tak
dapat kalian abaikan. Dua hal yang membuat Tuhan kalian ridha ialah
bersyahadat – tak ada Tuhan selain Allah – dan beristighfar, memohon ampun
kepada-Nya. Sedangkan dua lainnya yang tak dapat kalian abaikan ialah:
memohon surga kepada Allah dan memohon perlindungan-Nya dari api neraka.


Barangsiapa membuat kenyang seseorang yang berpuasa di bulan ini, Allah akan
memberinya minum dari telagaku, minuman yang membuatnya tak akan kehausan
selamanya.



Itulah sabda Rasul pembawa syariat Islam – termasuk puasa di bulan Ramadhan
ini – dari Allah
Kiranya saya tidak perlu lagi memberi komentar atau penjelasan kecuali
barangkali memberitahukan – sebahai amanat an-naqli dan tanggung jawab
ilmiah dalam penulikan sabda Nabi – bahwa sabda Nabi itu saya dapat dan saya
terjemahkan dari salah satu kitab Syeikh Abdul Qadir al-Jailani al-Baghdady
yang terkenal, Al-Ghinyah. Ilmuan yang termasyhur sebagai wali Allah itu
menuturkan dalam kitabnya tersebut, bahwa dia mendapat cerita tentang pidato
Nabi itu dari Abu Nashr. Abu Nashr dari ayahnya dan ayahnya ini dari Ibn
al-Faris. Ibn al-Faris dari Abu Hamid dari Muhammad bin al-Jaludi
an-Naisabury. Abu Hamid dari Muhammad bin Ishaq. Ibn Ishaq dari Ibn
Khuzaimah. Ibn Khuzaimah dari Ibn Hajar as-Sa'di dari Yusuf bin Ziyad. Tusuf
dari Hamam bin Yahya. Hamam dari Ali bin Zaid bin Jad'an. Ali dari tokoh
tabi'in terkenal, sa'd bin al-Musayyab. Dan Sa'd sendiri dari dahabat Salman
r.a.



KH. Dr. A. Mustofa Bisri, Pengajar di Pondok Pesantren Taman Pelajar
Raudlatut Thalibin, Rembang, Jawa Tengah.



Dari buku Pesan Islam Sehari-hari: Ritus Zikir dan Gempita Ummat, Risalah
Gusti, 1997


-- 
...menyembah yang maha esa,
menghormati yang lebih tua,
menyayangi yang lebih muda,
mengasihi sesama...


[Non-text portions of this message have been removed]





***
Berdikusi dg Santun  Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality  Shared Destiny. 
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia
***
__
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Reading only, http://ppi-india.blogspot.com 
4. Satu email perhari: ppiindia-dig...@yahoogroups.com
5. No-email/web only: ppiindia-nom...@yahoogroups.com
6. kembali menerima email: ppiindia-nor...@yahoogroups.com
Yahoo! Groups Links

* To visit your group on the web, go to:
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

* Your email settings:
Individual Email | Traditional

* To change settings online go to:
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/join
(Yahoo! ID required)

* To change settings via email:
ppiindia-dig...@yahoogroups.com 
ppiindia-fullfeatu...@yahoogroups.com

* To unsubscribe from this group, send an email to:
ppiindia-unsubscr...@yahoogroups.com

* Your use of Yahoo! Groups is subject to:
http://docs.yahoo.com/info/terms/



[ppiindia] Gus Mus: Sang Primadona

2010-08-05 Terurut Topik Ananto
Sang Primadona

Oleh: KH. Dr. A. Mustofa Bisri



Apa yang harus aku lakukan? Berilah aku saran! Aku benar-benar pusing.
Apabila masalahku ini berlarut-larut dan aku tidak segera menemukan
pemecahannya, aku khawatir akan berdampak buruk terhadap kondisi kesehatan
dan kegiatanku dalam masyarakat. Lebih-lebih terhadap dua permataku yang
manis-manis; Gita, dan Ragil.



Tapi agar jelas, biarlah aku ceritakan lebih dahulu dari awal.



Aku lahir dan tumbuh dalam keluarga yang –katakanlah—kecukupan. Aku
dianugerahi Tuhan wajah yang cukup cantik dan perawakan yang menawan. Sejak
kecil aku sudah menjadi 'primadona' keluarga. Kedua orangtuaku pun, meski
tidak memanjakanku, sangat menyayangiku.



Di sekolah, mulai SD sampai dengan SMA, aku pun –alhamduliLlah-- juga
disayangi guru-guru dan kawan-kawanku. Apalagi aku sering mewakili sekolah
dalam perlombaan-perlombaan dan tidak jarang aku menjadi juara. Ketika di SD
aku pernah menjadi juara I lomba menari. Waktu SMP aku mendapat piala dalam
lomba menyanyi. Bahkan ketika SMA aku pernah menjuarai lomba baca puisi
tingkat propinsi.

Tapi sungguh, aku tidak pernah bermimpi akhirnya aku menjadi artis di ibu
kota seperti sekarang ini. Cita-citaku dari kecil aku ingin menjadi
pengacara yang disetiap persidangan menjadi bintang, seperti sering aku
lihat dalam film. Ini gara-gara ketika aku baru beberapa semester kuliah,
aku memenangkan lomba foto model. Lalu ditawari main sinetron dan akhirnya
keasyikan main film. Kuliahku pun tidak berlanjut.



Seperti umumnya artis-artis popular di negeri ini, aku pun kemudian menjadi
incaran perusahaan-perusahaan untuk pembuatan iklan; diminta menjadi
presenter dalam acara-acara seremonial; menjadi host di tv-tv; malah tidak
jarang diundang untuk presentasi dalam seminar-seminar bersama tokoh-tokoh
cendekiawan. Yang terakhir ini, boleh jadi aku hanya dijadikan alat menarik
peminat. Tapi apa rugiku? Asal aku diberi honor standar, aku tak peduli.


Soal kuliahku yang tidak berlanjut, aku menghibur diriku dengan mengatakan
kepada diriku, 'Ah, belajar kan tidak harus di bangku kuliah. Lagi pula
orang kuliah ujung-ujungnya kan untuk mencari materi. Aku tidak menjadi
pengacara dan bintang pengadilan, tak mengapa; bukankah kini aku sudah
menjadi super bintang. Materi cukup.'



Memang sebagai perempuan yang belum bersuami, aku cukup bangga dengan
kehidupanku yang boleh dikata serba kecukupan. Aku sudah mampu membeli rumah
sendiri yang cukup indah di kawasan elite. Kemana-mana, ada mobil yang siap
mengantarku. Pendek kata aku bangga bisa menjadi perempuan yang mandiri.
Tidak lagi bergantung kepada orangtua. Bahkan kini sedikit-banyak aku bisa
membantu kehidupan ekonomi mereka di kampung. Sementara banyak kawan-kawanku
yang sudah lulus kuliah, masih lontang-lantung mencari pekerjaan.



Kadang-kadang untuk sekedar menyenangkan orang tua, aku mengundang mereka
dari kampung. Ibuku yang biasanya nyinyir mengomentari apa saja yang
kulakukan dan menasehatiku ini-itu, kini tampak seperti sudah menganggapku
benar-benar orang dewasa. Entah kenyataannya demikian atau hanya karena
segan kepada anaknya yang kini sudah benar-benar hidup mandiri. Yang masih
selalu ibu ingatkan, baik secara langsung atau melalui surat, ialah soal
ibadah.


Nduk, ibadah itu penting.; Bagaimana pun sibukmu, salat jangan kamu
abaikan!; Sempatkan membaca Quran yang pernah kau pelajari ketika di
kampung dulu, agar tidak hilang.; Bila kamu mempunyai rezki lebih, jangan
lupa bersedekah kepada fakir miskin dan anak yatim. Ya, kalimat-kalimat
semacam itulah yang masih sering beliau wiridkan. Mula-mula memang aku
perhatikan; bahkan aku berusaha melaksanakan nasihat-nasihat itu, tapi
dengan semakin meningkatnya volume kegiatanku, lama-lama aku justru risi dan
menganggapnya angin lalu saja.



Sebagai artis tenar, tentu saja banyak orang yang mengidolakanku. Tapi ada
seorang yang mengagumiku justru sebelum aku menjadi setenar sekarang ini.
Tidak. Ia tidak sekedar mengidolakanku. Dia menyintaiku habis-habisan. Ini
ia tunjukkan tidak hanya dengan hampir selalu hadir dalam event-event dimana
aku tampil; ia juga setia menungguiku shoting film dan mengantarku pulang.
Tidak itu saja; hampir setiap hari, bila berjauhan, dia selalu telpon atau
mengirim sms yang seringkali hanya untuk menyatakan kangen.



Di antara mereka yang mengagumiku, lelaki yang satu ini memang memiliki
kelebihan. Dia seorang pengusaha yang sukses. Masih muda, tampan, sopan, dan
penuh perhatian. Pendek kata, akhirnya aku takluk di hadapan kegigihannya
dan kesabarannya. Aku berhasil dipersuntingnya. Tidak perlu aku ceritakan
betapa meriah pesta perkawinan kami ketika itu. Pers memberitakannya setiap
hari hampir dua minggu penuh. Tentu saja yang paling bahagia adalah kedua
orangtuaku yang memang sejak lama menghendaki aku segera mengakhiri masa
lajangku yang menurut mereka mengkhawatirkan.



Begitulah; di awal-awal perkawinan, semua berjalan baik-baik saja. Setelah
berbulan madu yang singkat, aku kembali menekuni 

[ppiindia] Gus Mus: Kang Kasanun

2010-07-08 Terurut Topik Ananto
Kang Kasanun

Oleh: KH. A. Mustofa Bisri



Mendengar cerita-cerita tentang tokoh yang akan aku ceritakan ini, baik dari
ayah atau kawan-kawannya seangkatan di pesantren, aku diam-diam
mengaguminya. Bahkan seringkali aku membayangkannya seperti Superman,
Spiderman, atau si Pesulap Mandrake. Wah, seandainya aku berkesempatan
bertemu dengannya dan dapat satu ilmu saja, lamunku selalu. Ayah maupun
kawan-kawannya selalu menyebutnya dengan Kang Kasanun. Tidak ada yang
menyebut namanya saja. Boleh jadi karena faktor keseniorannya atau karena
ilmunya.



Kiai Mabrur, guruku ngaji Quran dan salah seorang kawan ayah di pesantren,
paling semangat bila bercerita tentang Kang Kasanun. Aku dan kawan-kawanku
paling senang mendengarkannya; apalagi Kiai Mabrur bila bercerita tentang
tokoh yang dikaguminya itu acapkali sambil memperagakannya. Misalnya ketika
bercerita bagaimana Kang Kasanun dikeroyok para begal, Kiai Mabrur
memperagakan dengan memperlihatkan jurus-jurus silat. Kang Kasanun itu
pendekar yang ilmu silatnya komplit, katanya terengah-engah.


Yang saya peragakan itu tadi jurus silat Cibadak. Jurus yang digunakan Kang
Kasanun membekuk tujuh begal yang mencegatnya di perjalanan. Tujuh orang dan
Kang Kasanun sendirian. Bayangkan! Kami sendiri, saya dan beberapa kawan
yang berminat, setiap malam Jumat dia ajari jurus-jurus silat dari berbagai
cabang. Tapi mana mungkin bisa seperti dia? Dia itu bahkan mempunyai ilmu
cicak. Bila sedang bersilat, bisa nempel dan merayap di dinding.


Ayah sendiri sering juga bercerita tentang Kang Kasanun, tapi tidak dengan
memperagakannya seperti Kiai Mabrur. Nggak tahu, dia itu ilmunya dari
mana? kata ayah suatu hari ketika sedang bercerita tentang kawannya yang
disebutnya jadug itu. Di samping menguasai ilmu silat, ilmu hikmahnya
aneh-aneh. Hanya dengan merapalkan bacaan aneh --campuran bahasa Arab dan
Jawa-- dia bisa membuat tidur seiisi mushalla. Pernah dia menjadi tontonan
orang sepasar gara-gara dia dihina penjual lombok lalu lombok satu pikul
dimakannya habis. Dia tidak apa-apa, tapi penjualnya kemudian yang murus.
Kata kawan-kawan dia juga bisa memanggil burung yang sedang terbang di udara
dan ikan di dalam sungai.


Kata Kiai Mabrur, Pak Kasanun juga bisa menghilang, betul Yah? tanya saya.


Ayah tersenyum dan pandangannya seperti menerawang ke masa lalunya. Pernah
beberapa kawan diajarinya ilmu halimunan entah apa. Pokoknya ilmu untuk
menghilang. Mereka disuruh puasa tujuh hari mutih, artinya bukanya hanya
dengan nasi tanpa lauk apa-apa. Lalu ada satu malam ngebleng, semuanya tidak
boleh tidur sama sekali. Ayah juga ikut.


Ayah berhenti sejenak, tersenyum-senyum sendiri, mungkin terbawa kenangan
masa lalunya, baru kemudian melanjutkan ceritanya. Dari sekian orang yang
ikut program halimunan itu, hanya ayah yang gagal. Ayah tahu kalau gagal,
ketika ilmu itu dipraktikkan. Hari itu, kami beramai-ramai, di bawah
pimpinan Kang Kasanun sendiri, datang ke toko Cina yang terkenal paling
galak di kota. Kang Kasanun berpesan siapa pun di antara kami yang nanti di
toko masih melihat orang lengkap dengan kepalanya, jangan sekali-kali
mengambil sesuatu. Karena tandanya kalau kami sudah benar-benar hilang,
tidak terlihat orang, yaitu apabila kepala semua orang tidak tampak. Dan
ingat, kata Kang Kasanun, kita bukan niat mencuri tapi mengamalkan ilmu.
Jadi ambil barang seadanya dan yang murah-murah saja.


Ayah berhenti lagi, tersenyum-senyum lagi, baru sejurus kemudian
melanjutkan. Wah, saya lihat waktu itu kawan-kawan ada yang mengambil
sabun, ada yang mengambil potlot, sisir, minyak rambut, dan lain-lain.
Mabrur, guru Quranmu itu, malah sengaja mengambil manisan yang terletak
persis di depan Cina pemilik toko yang galak itu. Anehnya, baik si pemilik
toko maupun pelayan-pelayannya, seperti tidak melihat apa-apa. Setelah
mengambil barang-barang itu, kawan-kawan ngeloyor begitu saja dan tak ada
yang menegur. Saya yang malah ditanya Kang Kasanun, kenapa saya tidak
mengambil apa-apa? Saya menjawab bahwa saya masih melihat kepala semua orang
yang ada di toko. Jadi, sesuai pesan Kang Kasanun sendiri, saya tidak berani
mengambil apa-apa. 'Sampeyan kurang mantap sih!' komentar Kang Kasanun.
Memang terus terang, waktu itu --sebelum menyaksikan sendiri adegan di toko
itu-- saya tidak percaya ada ilmu halimunan, ada orang bisa menghilang.


Ada tamu ya, Bu?! tanyaku kepada ibuku yang sedang sibuk membenahi kamar
tamu.


Ya, jawab ibu tanpa menoleh, Kawan lama ayahmu di pesantren. Beliau akan
menginap beberapa malam. Mungkin mau kangen-kangenan sama ayahmu. Dengar
itu, tawa mereka.


Ya, asyik benar tampaknya, timpalku. Tamu dari mana sih, Bu?


Kata ayahmu tinggalnya sekarang di luar Jawa. Namanya Kasanun atau siapa?!


Kasanun? tanya aku setengah berteriak.


Ee, jangan berteriak! bisik ibu. Tapi aku sudah bergegas meninggalkannya.
Dari gorden jendela aku mengintip ke ruang tamu. Sekejab aku jadi ragu-ragu.
Tamu ayah tidak seperti yang aku bayangkan. Tidak gagah, malah terlihat
kecil sekali di 

[ppiindia] Gus Mus: Dakwah Itu...

2010-07-04 Terurut Topik Ananto
Dakwah Itu...

Oleh: KH. Dr. A. Mustofa Bisri


Dalam rangka mereformasi diri, mereformasi keberagamaan saya sebagai muslim
-yang akhir-akhir ini dirisaukan oleh berita-berita negatif mengenai
beberapa oknum muslim dan lembaga Islam- pada bulan suci Ramadan kemarin
saya sempat merenung. Di antaranya tentang dakwah.



Saya membayangkan, seandainya para Wali Sanga (atau Wali Sana) dan dai-dai
bijak yang lain tempo dulu tidak berdakwah, atau berdakwah tetapi tidak
sesuai dengan tuntunan Quran dan Rasulullah, kira-kira apa saya akan
mengenal dan mengikuti jalan Allah serta menikmati ajaran Islam yang mulia
seperti sekarang ini? Bahkan, umat Islam di negeri kita apakah akan menjadi
mayoritas seperti sekarang ini? Alhamdulillah, para dai pendahulu itu -tidak
seperti banyak kalangan Islam sekarang ini- begitu sabar, telaten, dan
bijaksana dalam berdakwah, mengikuti tuntunan Quran dan Rasulullah SAW.


Mereka benar-benar berdakwah dalam pengertian yang sebenar-benarnya. Seperti
kita ketahui, dakwah adalah mengajak. Mengajak lain dengan memerintah atau
apalagi memaksa. Mengajak bernuansa lembut dan membujuk. Kebanyakan calo
terminal tidak berhasil mengajak orang naik bus juragannya, karena mereka
tidak mengenal makna dan etika mengajak. Sikap mereka lebih menyiratkan
pemaksaan ketimbang ajakan.


Dalam kaitan dakwah Islamiah, sasaran dakwah -sebagaimana tersurat dan
tersirat dalam Quran (Q. 16: 125 dst)- ialah mereka yang belum tahu atau
belum mengambah jalan Allah. Kita tahu bahwa pada zaman Wali Sanga, orang
yang belum di jalan Allah jauh lebih banyak daripada sekarang. Bahkan, boleh
dikata yang sudah berada di jalan Allah masih langka sekali. Alangkah
besarnya jasa dan pahala para pendahulu itu. Saya membayangkan, seandainya
para wali itu seperti banyak pengajak Islam masa kini yang tidak sabaran dan
suka main gasak dan sikat, pastilah kita yang hidup sekarang ini masih belum
mengenal Islam, apalagi Allah. Untunglah, yang ditiru para wali itu bukan
tokoh-tokoh dunia yang tertindas dan *kaku ati* melihat kezaliman pihak lain
yang kuat, tetapi konsisten mengikuti jejak Rasulullah SAW yang arif
bijaksana.


Sesuai teladan Rasulullah SAW, mereka mengajak ke jalan Allah dengan
bijaksana *(bil-hikmah)*, menasihati dengan baik *(bil-mauizhatil hasanah)*.
Bila perlu berbantah, mereka melakukan dengan cara yang lebih baik
lagi *(billatie
hiya ahsan).* Mengajak bil-hikmah artinya melaksanakan dengan kelembutan dan
memperhatikan siapa yang diajak, kemudian menyesuaikan ajakannya dengan
kondisi yang diajaknya itu. Mengajak orang yang lebih tua, tentu berbeda
dengan mengajak orang yang lebih muda, dan seterusnya. Mengajak juga mesti
dengan kasih sayang dan tidak secara kasar.


Bahkan, Allah sendiri ketika mengutus Nabi Musa dan Nabi Harun mendakwahi
Firaun -yang tidak hanya kafir, tapi malah mengaku Tuhan-
mewanti-wanti, *Waquulaa
lahu qaulan layyinan.. *(Q. 20: 44) Berbicaralah kalian berdua kepadanya
(Firaun) dengan perkataan yang lemah-lembut Idealnya, orang yang mengajak
orang lain, sebelumnya sudah mengajak dirinya sendiri. Orang yang mengajak
naik bus A, sedangkan dia sendiri naik bus B, tentu membingungkan yang
diajak. Orang yang mengajak ke agama kasih sayang, tetapi dia sendiri penuh
kebencian, tentu saja aneh. (Anehnya, yang bersangkutan sendiri banyak yang
justru tidak merasa aneh).


Mengajak *bil-mauizhatil hasanah*, mengandung arti diri yang mengajak
sendiri haruslah sudah dapat melakukan apa yang dinasihatkan kepada orang
lain. Bagaimana mungkin mengajak dan menasihati orang agar sabar, misalnya,
dengan marah-marah? Bagaimana mengajak dan menasihatkan iman dengan
cara-cara Jahiliyah? Bagaimana mengajak dan menasihatkan Islam dengan
arogansi dan kebencian? Apabila yang diajak ke jalan Allah membantah, yang
mengajak harus lebih baik lagi melayaninya. Perhatikanlah redaksi ayat 125
surah An-Nahl itu. Ketika berfirman tentang mauizhah, Allah menyifatinya
dengan hasanah (baik) dan ketika berfirman tentang *jidaal* (berbantahan,
polemik, berdialog, dsb), Allah menyifatinya dengan *billatie hiya
ahsan*(dengan yang lebih baik).


Berbantah atau berdialog atau berpolemik yang lebih baik ialah yang
semata-mata karena Allah dan untuk menunjukkan kebenaran, bukan mencari
menang atau unjuk kekuatan. Ia juga menuntut kesediaan mendengarkan lawan
bicara, tidak apriori. *Billatie hiya ahsan* juga mengisyaratkan bahwa jalan
Allah yang baik, mesti tecermin juga dari cara orang yang mengajak dan
berbantah. Bagaimana mungkin orang yang mengajak kepada kebaikan bisa
diterima oleh yang diajak, bila cara-cara yang dipakainya justru tidak baik.
Ayat *Ud'u ilaa sabiili Rabbika.* (Ajaklah ke jalan Tuhanmu) itu tidak
menyebutkan siapa yang disuruh ajak. Para mufassir menafsirkan: yang diajak
adalah semua orang. Tentu termasuk diri sendiri. Dan, mereka yang mengajak
ke jalan Tuhan haruslah ingat kepada yang menyuruh mereka mengajak. Karena
itu, mengajak ke jalan Tuhan haruslah hanya karena Allah. Bukan karena
kepentingan ideologi 

[ppiindia] Gus Mus: Bahasa Geram

2010-06-29 Terurut Topik Ananto
Bahasa Geram

18 Juni 2010 14:00:10

Oleh: KH. Dr. A. Mustofa Bisri



Bangsa ini sedang terserang virus apa sebenarnya? Apakah hanya karena panas
global? Di rumah, di jalanan, di lapangan bola, di gedung dapur, bahkan di
tempat-tempat ibadah, kita menyaksikan saja orang yang marah-marah. Tidak
hanya laku dan tindakan, ujaran dan kata-kata pun seolah-olah dipilih yang
kasar dan menusuk. Seolah-olah di negeri ini tidak lagi ada ruang untuk
kesantunan pergaulan. Pers pun –apalagi teve--tampaknya suka dengan berita
dan tayangan-tayangan kemarahan.



Lihatlah “bahasa” orang-orang terhormat di forum-forum terhormat itu dan
banding-sandingkan dengan tingkah laku umumnya para demonstran di jalanan.
Seolah-olah ada “kejumbuhani” pemahaman antara para “pembawa aspirasi”
gedongan dan “pembawa aspirasi” jalanan tentang “demokrasi”. Demokrasi
yang–setelah euforia reformasi--dipahami sebagai sesuatu tatanan yang mesti
bermuatan kekasaran dan kemarahan.


Yang lebih musykil lagi “bahasa kemarahan” ini juga sudah seperti tren pula
di kalangan intelektual dan agamawan. Khotbah-khotbah keagamaan,
ceramah-ceramah dan makalah-makalah ilmiah dirasa kurang afdol bila tidak
disertai dengan dan disarati oleh nada geram dan murka. Seolah-olah tanpa
gelegak kemarahan dan tusuk sana tusuk sini bukanlah khotbah dan makalah
sejati.


Khususnya di ibu kota dan kota-kota besar lainnya, di hari Jumat, misalnya,
Anda akan sangat mudah menyaksikan dan mendengarkan khotbah “ustadz” yang
dengan kebencian luar biasa menghujat pihak-pihak tertentu yang tidak
sealiran atau sepaham dengannya. Nuansa nafsu atau keangkuhan “Orang Pintar
Baru” (OPB) lebih kental terasa dari pada semangat dan ruh nasihat keagamaan
dan ishlah.


Kegenitan para ustadz OPB yang umumnya dari perkotaan itu seiiring dengan
munculnya banyak buku, majalah, brosur dan selebaran yang “mengajarkan”
kegeraman atas nama amar makruf nahi munkar atau atas nama pemurnian syariat
Islam. Penulis-penulisnya–yang agaknya juga OPB—di samping silau dengan
paham-paham dari luar, boleh jadi juga akibat terlalu tinggi menghargai diri
sendiri dan terlalu kagum dengan “pengetahuan baru”-nya. Lalu menganggap apa
yang dikemukakannya merupakan pendapatnya dan pendapatnya adalah kebenaran
sejati satu-satunya. Pendapat-pendapat lain yang berbeda pasti salah. Dan
yang salah pasti jahanam.


Dari bacaan-bacaan, ceramah-ceramah, khotbah-khotbah dan ujaran-ujaran lain
yang bernada geram dan menghujat sana-sani tersebut pada gilirannya
menjalar-tularkan bahasa tengik itu kemana-mana; termasuk ke media
komunikasi internet dan handphone. Lihatlah dan bacalah apa yang ditulis
orang di ruang-ruang yang khusus disediakan untuk mengomentari suatu berita
atau pendapat di “dunia maya” atau sms-sms yang ditulis oleh anonim itu.


Kita boleh beranalisis bahwa fenomena yang bertentangan dengan slogan
“Bangsa Indonesia adalah bangsa yang ramah” tersebut akibat dari berbagai
faktor, terutama karena faktor tekanan ekonomi, ketimpangan sosial dan
ketertinggalan. Namun, mengingat bahwa mayoritas bangsa ini beragama Islam
pengikut Nabi Muhammad SAW, fenomena tersebut tetap saja musykil. Apalagi
jika para elit agama yang mengajarkan budi pekerti luhur itu justru ikut
menjadi pelopor tren tengik tersebut.


Bagi umat Islam, al-khairu kulluhu fittibaa’ir Rasul SAW, yang terbaik dan
paling baik adalah mengikuti jejak dan perilaku panutan agung, Nabi Muhammad
SAW. Dan ini merupakan perintah Allah. Semua orang Islam, terutama para
pemimpinnya, pastilah tahu semata pribadi, jejak-langkah dan perilaku Nabi
mereka.


Nabi Muhammad SAW sebagaimana diperikan sendiri oleh Allah dalam al-Quran,
memiliki keluhuran budi yang luar biasa, pekerti yang agung (Q. 68:4).
Beliau lemah lembut, tidak kasar dan kaku (Q. 3: 159). Bacalah kesaksian
para shahabat dan orang-orang dekat yang mengalami sendiri bergaul dengan
Rasulullah SAW. Rata-rata mereka sepakat bahwa Panutan Agung kita itu
benar-benar teladan. Pribadi paling mulia; tidak bengis, tidak kaku, tidak
kasar, tidak suka mengumpat dan mencaci, tidak menegur dengan cara yang
menyakitkan hati, tidak membalas keburukan dengan keburukan, tapi memilih
memaafkan. Beliau sendiri menyatakan, seperti ditirukan oleh shahabat Jabir
r.a,“InnaLlaaha ta’aala lam yab’atsnii muta’annitan...”, Sesungguhnya Allah
tidak mengutusku sebagai utusan yang keras dan kaku, tapi sebagai utusan
yang memberi pelajaran dan memudahkan.


Bagi Nabi Muhammad SAW pun, orang yang dinilainya paling mulia bukanlah
orang yang paling pandai atau paling fasih bicara (apalagi orang pandai yang
terlalu bangga dengan kepandaiannya sehingga merendahkan orang atau orang
fasih yang menggunakan kefasihannya untuk melecehkan orang). Bagi Rasulullah
SAW orang yang paling mulia ialah orang yang paling mulia akhlaknya. Wallahu
a’lam.



KH. Dr. A. Mustofa Bisri, Pengajar di Pondok Pesantren Taman Pelajar
Raudlatut Thalibin, Rembang, Jawa Tengah.


-- 
...menyembah yang maha esa,
menghormati yang lebih tua,
menyayangi yang lebih 

[ppiindia] Gus Mus: Kritik Atawa Amar Ma’ruf Nahi Munkar

2010-06-23 Terurut Topik Ananto
Kritik Atawa Amar Ma’ruf Nahi Munkar

Oleh: Dr. KH. A. Mustofa Bisri



Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kritik ialah kecaman atau tanggapan,
kadang-kadang disertai uraian dan pertimbangan baik buruk terhadap suatu
hasil karya, pendapat, dsb. Agaknya semua kita menyukai kritikan asal …
tidak ditujukan kepada diri kita. Dalam pengalaman saya bergaul selama ini,
saya sering mendengar orang mengatakan, Saya tidak alergi kritikan; atau
Saya malah senang dikritik; atau Kritiklah saya!; atau kata-kata semacam
yang mengesankan pemahaman orang yang bersangkutan terhadap penting dan
berfaedahnya kritikan. Namun sejauh itu saya belum pernah menjumpai orang
yang benar-benar senang atau sekedar mau dikritik. Bahkan saya sering
menyaksikan orang yang terkenal sangat gandrung demokrasi justru sangat
alergi terhadap kritikan.



Orang yang tak mau dikritik, biasanya berdalih, Itu bukan kritikan! atau
Jangan asal kritik! Tunjukkan alternatifnya! atau dalih-dalih keberatan
lainnya. Namun, yang paling sering justru tidak berdalih-dalih apa-apa.
Hanya marah!



Padahal kritikan –terutama yang dilontarkan oleh sahabat atau saudara
sendiri-- sebenarnya –dan memang seharusnya—dilambari oleh rasa sayang dan
eman.Man ahabbaka nashahaka, kata pepatah Arab; Orang yang mencintaimu
akan menasehatimu (atau boleh diartikan, hanya orang yang mencintaimulah
yang mau menasehatimu).



Tapi yang umum terjadi, orang yang mencintai seseorang justru tidak mau atau
sungkan mengkritik. Mungkin takut kritikannya akan melukai orang yang
dicintainya itu. Dan ini akan sangat merugikan orang yang dicintainya
tersebut. Karena bagaimana pun hebatnya orang yang kita cintai, dia adalah
manusia yang bisa khilaf atau keliru. Manusia yang tidak pernah salah malah
perlu dicurigai kemanusiaannya. Lebih buruk lagi bila orang yang mencintai
–atau sekedar kepingin dekat dengan—seseorang itu hanya membenarkan dan
memujinya. Sebab orang yang dicintai itu lama-lama merasa benar terus. Saya
melihat banyak tokoh yang pada dasarnya pantas dicintai karena
kelebihan-kelebihannya, kemudian menjadi sangat arogan dan merasa benar
sendiri, karena ulah orang-orang yang terus menerus membenarkannya tanpa
sedikit pun –dengan cara halus sekalipun—mengkritiknya. Lupa sama sekali
bahwa, Shadiequka man shadaqaka laa man shaddaqaka, Sahabatmu yang sejati
adalah orang yang jujur kepadamu, bukan orang yang selalu membenarkanmu!


Kritik bila bisa kita samakan dengan amar makruf nahi ('anil) munkar,
sebenarnya merupakan manifestasi atau pengejawentahan dari kasih sayang.



Bila kata orang, Tak kenal maka tak sayang, maka seharusnya Tak sayang
makan tak mengkritik. Seorang istri --yang menyintai suaminya-- pastilah
akan segera menegur dan mengkritik suaminya bila suaminya itu tampil tidak
pantas, misalnya memakai baju terbalik. Dia, si istri, tentu tidak cukup
membatin (bilqalbi), bahkan tidak cukup menegur dengan mulut (bil-lisaan),
tapi kemungkinan besar malah langsung dengan tangannya membenarkan pemakaian
baju suaminya (bil-yad). Karena itulah –wallahu a'lam bisshawab—di dalam
kitab suci al-Quran, ketika berbicara tentang komunitas kaum beriman, Allah
berfirman, Wal mu'minuuna wal mu'minaatu ba'dluhum auliyaa-u ba'dlin
ya'muruuna bil-ma'ruufi wayanhaunaa 'anil munkar … Al-ayat (Q. 9: 71)
Orang-orang mukmin laki-laki dan orang-orang mukmin perempuan sebagian dari
mereka adalah kekasih/ penolong/ bala (Jawa: kebalikan dari musuh) sebagian
yang lain; mereka beramar makruf dan bernahi anil munkar … Saya lebih suka
memaknai kata auliyaa-u dengan bahasa Jawa bala. Menurut pemahaman saya
orang-orang mukmin (laki-laki dan perempuan) adalah bala, satu kubu. Tidak
ada orang mukmin satu menjadi musuh mukmin yang lain. Karena kepentingan
mereka sama: mencari ridla Allah.



Bandingkanlah dengan ayat sebelumnya yang berbicara tentang komunitas
orang-orang munafik, Almunaafiquuna wal munaafiqaatu ba'dluhum min ba'dlin
ya'muruuna bil-munkari wayanhauna 'anil-ma'ruuf… al-Ayat. (Q. 9: 67).
Orang-orang munafik laki-laki dan orang-orang munafik perempuan, sebagian
mereka sama dengan sebagian yang lain; mereka beramar munkar dan bernahi
anil makruf… Perhatikanlah perbedaan redaksi antara yang disini dan yang
disana tadi. Disana tadi, ba'dluhum auliyaa-u ba'dlin, satu sama lain
kekasih atau bala dan disini ba'dluhum min ba'dlin, satu sama lain sama.
Dalam komunitas orang-orang munafik, berbeda dengan komunitas orang-orang
mukmin, tidak ada balanan atau saling mengasihi. Bila kepentingan pas sama,
mereka bala dan saling mengasihi, bila kemudian kepentingan berbeda, bisa
saja mereka bermusuhan. Tapi dimana pun orang munafik itu sama: menyarankan
kemungkaran dan menghalang-halangi kemakrufan.



Waba'du; adanya banyak orang yang alergi kritik, boleh jadi karena
terpengaruh oleh banyaknya kritik yang asal kritik. Kritik yang dilakukan
oleh mereka yang tidak tahu artinya kritik. Kritik yang bukan dilandasi
kasih-sayang tapi sebaliknya didorong oleh kebencian. Karena kita semua
adalah manusia yang 

[ppiindia] Gus Mus: ?

2010-06-17 Terurut Topik Ananto
?
8 Juni 2010 12:26:19 |



kesiur angin dan gemercik gelombang diterjang lancip hidung perahuku
kukira kelakar mereka yang menggunjingkan mabukku padamu
maka bintang-bintang yang berkedip-kedip di langit seperti mengejekku
tapi tak kuhiraukan aku tetap mengayuh sambil menutup dengan jemarikakiku
lobang-lobang pada dinding-dinding perahuku
yang dibuat khidir mengecoh lanun yang akan merampokku
sebelum ikan pepes sisa bekal musa meloncat ke samodera takjubku
haruskah aku membunuh bocah tak berdosa
menegakkan tembok nyaris runtuh secara sukarela
atau sekedar terus bertanya akan makna-makna
sebelum aku memutuskan akan ikut siapa
khidir atau musa?



Rembang, 15042010


-- 
...menyembah yang maha esa,
menghormati yang lebih tua,
menyayangi yang lebih muda,
mengasihi sesama...


[Non-text portions of this message have been removed]



[ppiindia] Gus Mus: Banjet dan Dagang Sapi

2010-06-16 Terurut Topik Ananto
Banjet dan Dagang Sapi

Oleh: Dr. KH. A. Mustofa Bisri



Datanglah sesekali ke pasar ternak, di tempat orang berdagang sapi! Anda
tidak hanya akan ketemu penjual dan orang-orang yang akan membeli sapi.
Anda, insya Allah, akan ketemu juga dengan jenis manusia yang tampak lebih
sibuk dari penjual maupun pembeli/calon pembeli sapi itu sendiri. Jenis
manusia itu, di tempat saya disebut banjet.



Di samping kepintaran menjalin hubungan dengan para pedagang atau pemilik
sapi karena pekerjaan pembanjetan memerlukan adanya naluri kkn dan
kongkalikong antara si banjet dan si penjual sapi  seorang banjet hanya
bermodal mulut dan sedikit keahlian berakting atau katakanlah sedikit
kelicikan, terutama dalam teknik tawar-menawar semu. Dengan bahasa yang
lebih canggih, seorang banjet mesti bisa membuat manuver atau melemparkan
move-move untuk menggoyang pasar.


Tujuan dan kepentingan pedagang sapi tentu saja agar sapinya terjual dengan
sebesar-besar keuntungan. Sedangkan tugas banjet adalah membantu memuluskan
keberhasilan si pedagang memenuhi kepentingannya itu, dengan keuntungan
memperoleh komisi. Kerja sama yang bagus antara si pedagang dan banjet-nya
merupakan faktor penting bagi kesuksesan tujuan tersebut. Para peminat atau
calon pembeli sapi atau bahkan yang sekedar melihat-lihat yang awam, jika
tidak langsung termakan manuver banjet, paling tidak akan tergoda atau
bingung. Sapi kurus yang nilainya tidak sampai satu juta rupiah, misalnya,
mungkin ditawarkan si pedagang sampai 5 juta dan si banjet akan berpura-pura
menawar antara 3-4 juta. Bahkan jika si pedagang dan banjet-nya lihai atau
peminatnya bloon, kambing congek pun bisa terjual semahal sapi.


Jika Anda mengira saya –dengan bicara seperti di atas sedang ancang-ancang
untuk bicara tentang politik, maka Anda tidak terlalu salah. Atau mungkin
malah benar. Saat ini seperti lazimnya menjelang pemilu, bahkan melebihi
biasanya semenjak reformasi dicanangkan kehidupan perpolitikan kita semakin
gegap gempita. Hampir tak ada sisi kehidupan yang tak meruapkan bau politik.
Bau itu tercium mulai dari pemilihan ketua dalam konferensi organisasi
tingkat anak cabang, pilihan bupati, pilihan gubernur, hingga hiruk-pikuk
menjelang pilihan presiden. Berpolitik tidak lagi menjadi monopoli para
politisi dan anggota-anggota dewan. Hampir semua orang  mulai dari pengurus
organisasi sosial, pengurus organisasi keagamaan, pengurus MUI, pengurus
persatuan artis, tentara, hakim, insan pers, guru, tokoh agama, pengusaha,
bandar judi, anggota gang, hingga tukang ojek, sudah ikut keranjingan
berpolitik atau minimal bicara politik.


Politik bagaikan makhluk halus; bisa dirasakan dan mempengaruhi, meski tak
jelas tongkrongannya. Karena banyak orang yang memahami politik hanya
sebagai siasat, maka pedagang sapi dan banjet pun boleh merasa sudah
mempunyai modal untuk terjun di bidang politik. Apalagi praktek-praktek
politik yang dipamerkan banyak pemimpin politik justru lebih mengambil
referensi dari perdagangan sapi dan per-banjet-annya. Bahkan siapa tahu
mereka memang hanya dididik di pasar ternak. Lebih ramai lagi, karena
umumnya politisi atau yang bermain politik di negeri ini, baru dalam taraf
belajar mensiasati kawan-kawan sendiri. Dalil untuk men-sahkan hal ini,
ialah dalil 'politik' yang mutawatir dan agaknya muttafaq 'alaih, yaitu:
tak ada kawan abadi dalam politik.


Seperti pedagang sapi, kepentingan 'orang-orang politik' itu ialah
mendapatkan keuntungan, kalau bisa sebesar-besarnya. Seperti pedagang sapi,
'politikus' juga punya banjet dan makelar yang nunut untung untuk dirinya
sendiri. Meski tak bermodal kecuali mulut, banjet dan makelar yang lihai,
bisa mendapatkan keuntungan yang lebih besar daripada si pedagangnya
sendiri. Banjet-banjet dan makelar-makelar yang lihai bisa 'bermain' dengan
dan terhadap si calon pembeli sekaligus dengan dan terhadap rekannya
sendiri, sang pedagang. Seandainya nasib tidak berpihak kepada mereka
sekalipun, mereka tidak rugi apa-apa. Paling-paling lelah sedikit dan itu
sudah menjadi resiko mereka yang berjuang untuk mencapai sesuatu. Dan
besar-kecilnya 'sesuatu' ini menentukan besar-kecilnya orang – apakah ia
pedagang sapi, banjet, makelar, atau politisi.



KH. Dr. A. Mustofa Bisri, Pengajar di Pondok Pesantren Taman Pelajar
Raudlatut Thalibin, Rembang, Jawa Tengah.


-- 
...menyembah yang maha esa,
menghormati yang lebih tua,
menyayangi yang lebih muda,
mengasihi sesama...


[Non-text portions of this message have been removed]





***
Berdikusi dg Santun  Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality  Shared Destiny. 
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia
***
__
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)

[ppiindia] Gus Mus: Mbah Sidiq

2010-05-25 Terurut Topik Ananto
Mbah Sidiq

Oleh: KH. Dr. A. Mustofa Bisri



Berita tentang Mbah Sidiq sudah sampai ke daerah kami. Entah siapa yang
mula-mula menyebarluaskannya. Yang jelas, kini kebanyakan
penduduk-sebagaimana penduduk di beberapa daerah lain-sudah seperti mengenal
Mbah Sidiq, meski belum pernah bertemu dengan orang yang dianggap istimewa
itu. Memang ada diantara mereka yang mengaku sudah mengenalnya secara
pribadi, bahkan mengaku sudah menjadi orang dekatnya. Sering dibawa-bawa
pergi keliling. Bila si Mbah datang ke daerah kami, selalu singgah ke rumah
mereka. Dari mereka inilah nama Mbah Sidiq melegenda, termasuk di daerah
kami.



Mereka yang mengaku dekat dengan Mbah Sidiq ini paling suka bercerita atau
ditanya tentang Mbah Sidiq. Cerita mereka selalu mengasyikkan, terutama
karena cara mereka bercerita memang benar-benar meyakinkan. Seperti
Nasrul-seorang aktivis di tempat kami yang memang biasa mengantar orang ke
tempat Mbah Sidiq itu. Wah, dasar pinter omong, kalau bercerita tentang Mbah
Sidiq, Nasrul bisa membuat orang lupa acaranya sendiri.


Percaya tidak, saya pernah diajak beliau ke makam Sunan Ampel di Surabaya,
kata Nasrul suatu hari di warung Wak Rukiban yang biasa dipakai mangkal
Nasrul dan kawan-kawan. Saya piker beliau akan berdo'a di makam wali itu;
ternyata tidak. Tahu apa yang beliau kerjakan di makam? Nasrul sengaja
berhenti sejenak, seperti menunggu jawaban dari orang-orang yang asyik
mendengarkannya.


Apa? tanya beberapa orang serempak.


Nasrul tersenyum. Senang pancingannya bersambut. Dia menghirup kopinya dulu
sebelum kemudian melanjutkan,


Tahu tidak? Beliau berdiskusi dengan Sunan Ampel serius sekali.


Berdiskusi? kini serempak semua yang mendengarkan bertanya. Nasrul tampak
semakin senang.


Ya, berdiskusi laiknya dua tokoh yang sedang membahas suatu masalah
penting.


Dari mana kau tahu beliau sedang berdiskusi dengan Sunan Ampel? tanya Pak
Manaf, guru SD yang mulai tertarik dengan tokoh yang menjadi buah bibir itu.



Bagaimana saya tidak tahu, wong saya duduk di belakang beliau. Memang saya
sendiri tidak mendengar suara Mbah Sunan, tapi dari bicara dan sikap Mbah
Sidiq, jelas beliau sedang berdiskusi.


Apa yang mereka diskusikan? tanya Mas Slamet Pemborong, benar-benar ingin
tahu.


Saya tidak tahu persis, tapi saya dengar Mbah Sidiq berkali-kali
mengatakan, 'Eyang harus menolong mereka!' Tentu saja saya tidak berani
bertanya kepada beliau, siapa yang beliau maksud dengan 'mereka'. Tapi
ketika meninggalkan makam, beliau berkata kepada saya, 'Sudah, beres
sekarang! Orang-orang itu suka berbuat seenaknya sendiri; nanti kalau ada
masalah, awak pula yang disuruh memecahkan. Dasar politisi!' Dari sini saya
menduga agaknya beliau mendiskusikan soal politik dengan Mbah Sunan.


Siapa Srul, orang-orang yang digerunduli Mbah Sidiq dan disebut politisi
itu? Tanya Mas Slamet lagi.


Persisnya saya tak tahu. Soalnya banyak orang gede dari Jakarta yang sowan
Mbah. Mulai dari pengusaha besar; anggota DPR, sampai menteri. Bahkan ada
jenderal yang sering sowan sendirian. Saya hanya tahu beberapa diantara
mereka; kebetulan saya sering melihat mereka di TV.


Ngapain aja orang-orang gede itu datang ke Mbah Sidiq?


Lho, orang-orang gede itu kan banyak mikir ini-itu, dan di jaman sekarang
ini banyak hal yang tidak bisa dipecahkan hanya dengan pakai otak. Mereka
itu, kalau sudah buntu pikirannya, datang ke Mbah minta fatwa dari langit.


Ngomong-ngomong, apa benar; Srul, Mbah Sidiq itu suka menggigit tamunya?
tanya Wak Rukiban tiba-tiba.


Ah, ya nggak mesti,Wak. Lihat-lihat tamunya. Biasanya, Mbah menggigit
telinga orang yang wataknya bandel. Seperti Parman yang suka bikin jengkel
ibunya itu kan pernah kena gigit. 'Telinga gunanya untuk mendengar!' kata
Mbah waktu itu sehabis menggigit telinga Parman. Tapi ada juga tamu yang
beliau ciumi atau beliau kasih duit.


Katanya Mbah Sidiq tidak pernah salat Jum'at, Kang Nasrul tanya Haji Kusen
yang dari tadi mendengarkan sambil menyantap nasi rawon.


Lho Mbah Sidiq kan tidak seperti kita. Mbah kalau Jum'atan di Mekkah.
Sampeyan tidak pernah mendengar cerita Haji Narto yang bertemu Mbah di pasar
Seng Mekkah? Padahal tahun ini Mbah Sidiq tidak naik haji. Tanyakan kepada
isteri-isteri Mbah yang selalu menerima oleh-oleh dari beliau! Kadang-kadang
Mbah mengoleh-olehi mereka karung; kadang akik Fairuz; kadang kurma Medina.
Pokoknya Mbah selalu membawa buah tangan dari tanah suci untuk
isteri-isterinya. Padahal setahu orang-orang, Mbah tidak kemana-mana.


Berapa sih isteri Mbah Sidiq Srul? tanya Wak Rukiban sambil meletakkan
piring pisang goreng yang masih mengepul.


Seandainya boleh lebih, ya bisa banyak, Wak. Wong banyak yang
ngunggah-ngunggahi, kepingin mendapat berkah. Tapi kan kuotanya cuma empat.
Jadi Mbah cuma punya empat.


Tapi apa benar dia itu kiai? tiba-tiba Pak Guru Manaf kembali bertanya.
Saya dengar dia itu tidak bisa mengaji.


Nasrul kelihatan tidak suka dengan pertanyaan Pak Manaf; apalagi dia
menggunakan kata ganti dia untuk orang yang sangat 

[ppiindia] Gus Mus: Gus Jakfar

2010-05-23 Terurut Topik Ananto
Gus Jakfar

Oleh: Dr. KH. A. Mustofa Bisri


Di antara putera-putera Kiai Saleh, pengasuh pesantren Sabilul Muttaqin
dan sesepuh di daerah kami, Gus Jakfar-lah yang paling menarik perhatian
masyarakat. Mungkin Gus Jakfar tidak sealim dan sepandai saudara-saudaranya,
tapi dia mempunyai keistimewaan yang membuat namanya tenar hingga ke luar
daerah, malah konon beberapa pejabat tinggi dari pusat memerlukan sowan
khusus ke rumahnya setelah mengunjungi Kiai Saleh. Kata Kang Solikin yang
dekat dengan keluarga ndalem, bahkan Kiai Saleh sendiri segan dengan anaknya
yang satu itu.



Kata Kiai, Gus Jakfar itu lebih tua dari beliau sendiri, cerita Kang
Solikin suatu hari kepada kawan-kawannya yang sedang membicarakan putera
bungsu Kiai Saleh itu. Saya sendiri tidak paham apa maksudnya.


Tapi, Gus Jakfar memang luar biasa, kata Mas Bambang, pegawai Pemda yang
sering mengikuti pengajian subuh Kiai Saleh. Matanya itu lho. Sekilas saja
mereka melihat kening orang, kok langsung bisa melihat rahasianya yang
tersembunyi. Kalian ingat, Sumini yang anak penjual rujak di terminal lama
yang dijuluki perawan tua itu, sebelum dilamar orang sabrang kan ketemu Gus
Jakfar. Waktu itu Gus Jakfar bilang, 'Sum, kulihat keningmu kok bersinar,
sudah ada yang ngelamar ya?'. Tak lama kemudian orang sabrang itu datang
melamarnya.


Kang Kandar kan juga begitu, timpal Mas Guru Slamet. Kalian kan mendengar
sendiri ketika Gus Jakfar bilang kepada tukang kebun SD IV itu, 'Kang, saya
lihat hidung sampeyan kok sudah bengkok, sudah capek menghirup nafas ya?'
Lho, ternyata besoknya Kang Kandar meninggal.


Ya. Waktu itu saya pikir Gus Jakfar hanya berkelakar, sahut Ustadz Kamil,
Nggak tahunya beliau sedang membaca tanda pada diri Kang Kandar.


Saya malah mengalami sendiri, kata Lik Salamun, pemborong yang dari tadi
sudah kepingin ikut bicara. Waktu itu, tak ada hujan tak ada angina, Gus
Jakfar bilang kepada saya, 'Wah, saku sampeyan kok mondol-mondol; dapat
proyek besar ya?' Padahal saat itu saku saya justru sedang kemps. Dan
percaya atau tidak, esok harinya saya memenangkan tender yang
diselenggarakan Pemda tingkat propinsi.


Apa yang begitu itu disebut ilmu kasyaf? tanya Pak Carik yang sejak tadi
hanya asyik mendengarkan.
Mungkin saja, jawab Ustadz Kamil. Makanya saya justru takut ketemu Gus
Jakfar. Takut dibaca tanda-tanda buruk saya, lalu pikiran saya terganggu.

***
Maka, ketika kemudian sikap Gus Jakfar berubah, masyarakat pun geger;
terutama para santri kalong, orang-orang kampung yang ikut mengaji tapi
tidak tinggal di pesantren seperti Kang Solikin yang selama ini merasa dekat
dengan beliau. Mula-mula Gus Jakfar menghilang berminggu-minggu, kemudian
ketika kembali tahu-tahu sikapnya berubah menjadi manusia biasa. Dia sama
sekali berhenti dan tak mau lagi membaca tanda-tanda. Tak mau lagi
memberikan isyarat-isyarat yang berbau ramalan. Ringkas kata, dia
benar-benar kehilangan keistimewaannya.


Jangan-jangan ilmu beliau hilang pada saat beliau menghilang itu, komentar
Mas Guru Slamet penuh penyesalan. Wah, sayang sekali! Apa gerangan yang
terjadi pada beliau?


Ke mana beliau pergi saat menghilang pun, kita tidak tahu; kata Lik
Salamun. Kalau saja kita tahu ke mana beliau pergi, mungkin kita akan
mengetahui apa yang terjadi pada beliau dan mengapa beliau kemudian
berubah.


Tapi, bagaimanapun ini ada hikmahnya, ujar Ustadz Kamil. Paling tidak,
kini kita bisa setiap saat menemui Gus Jakfar tanpa merasa deg-degan dan
was-was; bisa mengikuti pengajiannya dengan niat tulus mencari ilmu. Maka,
jangan kita ingin mengetahui apa yang terjadi dengan gus kita ini hingga
sikapnya berubah atau ilmunya hilang, sebaiknya kita langsung saja menemui
beliau.


Begitulah, sesuai usul Ustadz Kamil, pada malam Jum'at sehabis wiridan salat
Isya, saat mana Gus Jakfar prei, tidak mengajar; rombongan santri kalong
sengaja mendatangi rumahnya. Kali ini hampir semua anggota rombongan
merasakan keakraban Gus Jakfar, jauh melebihi yang sudah-sudah. Mungkin
karena kini tidak ada lagi sekat berupa rasa segan, was-was dan takut.


Setelah ngobrol ke sana kemari, akhirnya Ustadz Kamil berterus terang
mengungkapkan maksud utama kedatangan rombongan: Gus, di samping
silaturahmi seperti biasa, malam ini kami datang juga dengan sedikit
keperluan khusus. Singkatnya, kami penasaran dan sangat ingin tahu latar
belakang perubahan sikap sampeyan.


Perubahan apa? tanya Gus Jakfar sambil tersenyum penuh arti. Sikap yang
mana? Kalian ini ada-ada saja. Saya kok merasa tidak berubah.


Dulu sampeyan kan biasa dan suka membaca tanda-tanda orang, tukas Mas Guru
Slamet, kok sekarang tiba-tiba mak pet, sampeyan tak mau lagi membaca,
bahkan diminta pun tak mau.


O, itu, kata Gus Jakfar seperti benar-benar baru tahu. Tapi dia tidak
segera meneruskan bicaranya. Diam agak lama. Baru setelah menyeruput kopi di
depannya, dia melanjutkan, Ceritanya panjang. Dia berhenti lagi, membuat
kami tidak sabar, tapi kami diam saja.


Kalian ingat, saya lama menghilang? akhirnya Gus Jakfar bertanya, 

[ppiindia] Gus Mus: Salah Anggapan

2010-05-03 Terurut Topik Ananto
Salah Anggapan

Oleh: KH. Dr. A. Mustofa Bisri



Kalau saya, misalnya, disuruh mengajar kitab Sullam Safiinah atau
A-Jurumiyah kepada anak-anak santri atau mengimami salat di mushalla, insya
Allah saya bisa. Atau sekedar secara global mengamarmakruf-nahimunkari
orang-orang yang saya cintai, saya insya Allah juga bisa. Tapi kalau saya
disuruh memimpin dan menata suatu organisasi, lebih-lebih organisasi
politik, atau menjadi manager perusahaan, terus terang saya tidak mampu.
Saya tidak punya keahlian untuk itu. Saya tidak pernah belajar managemen dan
administrasi. Bahkan sekolah formal yang sampai tamat, hanya Sekolah Rayat
(sekarang SD).



Dawuh yang disampaikan almarhum ayah saya, Maa halaka umru-un 'arafa
qadrahu (Tak akan rusak orang yang tahu batas kemampuannya) , rupanya
sangat membekas, karena selalu saya ingat-ingat; terutama pada saat saya
dihadapkan kepada suatu tugas atau tanggung jawab.. Ketika saya akan
direkrut KBRI di Saudi Arabia untuk menjadi pegawai musim haji, misalnya,
meskipun saya kepingin sekali (karena hanya dengan menjadi pegawai musim,
waktu itu, saya bisa menunaikan ibadah haji), saya tidak buru-buru
menerimanya, tapi saya tanyakan dulu kepada yang berwenang, apa tugas-tugas
saya. Saya khawatir saya diberi tugas yang di luar kebisaan saya.



Ketika kawan-kawan mendaftarkan saya untuk menjadi calon anggota DPD, yang
pertama-tama saya tanyakan juga tentang tugas-tugas DPD. Karena terdesak
jadwal KPU, kawan-kawan bilang yang penting daftar dulu. Dan baru setelah
mendaftar, saya diberitahu rincian tugas-tugas DPD. Ketika saya tahu
tugas-tugasnya, saya pun mengundurkan diri. Saya takut –kalau saya tetap
mencalonkan diri—bukan hanya diri saya yang akan kapiran, tapi bisa-bisa
juga orang banyak dan bahkan mungkin negara ikut kena dampaknya. Bukankah
Nabi Muhammad SAW telah bersabda: Idzaa wussidal amru ilaa ghairi ahlihi
fantazhiris saa'ah?! (Apabila urusan diserahkan kepada orang yang bukan
ahlinya, tunggulah kiamatnya)



 Waktu berdirinya PKB dan Muktamarnya yang pertama di Surabaya , banyak
sekali tokoh yang mendorong-dorong saya dan mencalonkan saya sebagai Ketua
Umum, termasuk Gus Dur sendiri. Tapi saya tahu sesuatu yang orang lain tidak
begitu tahu, yaitu kemampuan saya. Saya tidak punya keahlian untuk memimpin
organisasi politik. Dari pada ngrusak dandanan, lebih baik saya tolak.
Kekecewaan orang karena gagal mencalonkan saya, tidak seberapa dibandingkan
dengan kekecewaan yang pasti terjadi bila saya menerima jabatan itu.



Di NU, saya sering dikritik sebagai orang yang hanya bisa mengkritik tapi
lari bila diserahi tanggung jawab sendiri. Kritikan ini benar sekali. Kalau
mau analog yang agak gagah, saya ini ibaratnya kritikus sastra. Saya bisa
menunjukkan puisi ini atau prosa itu istimewa atau banyak kekurangannya,
tapi saya sendiri tak bisa membuat puisi atau prosa yang baik. Di NU, saya
memang hanya membaca Khitthah NU dan perilaku para pendiri dan
pendahulu-pendahulu NU. Tapi pengetahuan tentang hal ini adalah satu hal dan
pengetahuan tentang memimpin organisasi ada hal yang lain.



Tapi bukan berarti saya tidak pernah tergoda oleh suatu jabatan yang
disodorkan kepada saya. Misalnya ketika banyak kiai dan tokoh ramai
berkehendak mencalonkan saya menjadi ketua umum NU di Muktamar Lirboyo dan
di Donohudan, terbentik juga angan-angan, wah bila aku turuti kehendak
mereka dan saya benar-benar menjadi ketua umum NU, bagaimana ya rasanya
menjadi pemimpin berjuta umat. Saya bisa mengendalikan banyak orang.
Pikiran-pikiran saya akan dapat saya implementasikan dalam program-program
dan kegiatan-kegiatan organisasi. Saya bisa ini, bisa itu.Wah. Tapi
alhamdulillah, setiap kali godaan angan-angan tentang hal-hal yang bersifat
gengsi dan prestise itu, dapat dikalahkan oleh kesadaran akan keterbatasan
kemampuan saya dan sabda Nabi tersebut.



Orang lain sering hanya melihat tampakan luar yang acap kali menipu. Orang
yang dilihat mempunyai satu-dua keahlian, celakanya, lalu dianggap ahli
dalam semua hal. Dan kenyataan membuktikan memang banyak juga orang yang
senang dianggap ahli dalam banyak hal dan berusaha memperteguh anggapan itu.
Ada semacam kecenderungan umum menganggap seorang tokoh yang dikenal
memiliki kemampuan di satu bidang, dianggap memiliki keahlian di berbagai
atau bahkan di semua bidang. Seorang profesor misalnya, tanpa peduli
profesor di bidang apa, dianggap sebagai profesor serba bidang, ahli apa
saja. Seorang ahli pidato dianggap sebagai orang yang pasti mampu
melaksanakan semua yang dipidatokan.Seorang yang berhasil memimpin majlis
taklim, dianggap pasti mampu juga menjadi memimpin daerah, menjadi bupati.
Demikian seterusnya.  Dan tak jarang yang bersangkutan justru senyum-senyum
berusaha meyakinkan kebenaran anggapan yang mustahil itu.



Kalau berhenti pada anggapan saja, mungkin tidak mengapa. Tapi kalau
kemudian hal itu dijadikan dasar dan pertimbangan untuk merekrut atau
mendudukkan tokoh-tokoh anggapan itu dalam jabatan-jabatan yang di luar
keahlian mereka yang 

[ppiindia] Gus Mus: Amaliyah Gus Dur

2010-04-28 Terurut Topik Ananto
Amaliyah Gus Dur

28 April 2010 12:14:07

Oleh: Dr. KH. A. Mustofa Bisri



Memperingati 100 hari wafat Gus Dur. Duduk di depan makam Gus Dur (KH.
Abdurrahman Wahid) dan tokoh-tokoh Tebuireng, Kiai sepuh kharismatik, KH.
Maemoen Zubair yang malam itu hadir bersama nyai dalam acara 40 hari wafat
Gus Dur di Tebuireng, sempat bertanya –seolah-olah kepada diri—mengenai
fenomena presiden keempat itu.



Pertanyaan yang juga mengusik pikiran saya dan mungkin banyak orang yang
lain. Amaliah Gus Dur apa kira-kira yang membuat cucu Hadhratussyeikh KHM.
Hasyim Asy’ari dan KH. Bisri Sansuri itu dihargai dan dihormati orang
sedemikian rupa setelah kemangkatannya. Penghormatan yang belum pernah
terjadi pada orang lain, termasuk presiden maupun kiai.



Pers dunia tidak hanya memberitakan kewafatannya, tapi menulis tentang diri
Gus Dur. Di saat pemakaman, keluarga ; masyarakat; dan pemerintah; seperti
‘berebut’ merasa paling berhak menghormatinya. Dan ternyata pemakaman Kiai
Bangsa ini bukanlah penghormatan terakhir. Rombongan demi rombongan dari
berbagai pelosok tanah air, setiap hari berdatangan di makamnya. Bahkan
banyak peziarah yang memerlukan datang dari luar negeri. Mereka semua datang
dengan tulus menangisi dan mendoakannya. Sebagian malah ada yang memohon
maaf kepada Gus Dur atas kesalahannya; termasuk seorang ibu yang menangis
memohon maaf karena tahun 2004 tidak memilih PKB.


Di samping acara-acara doa bersama untuk Gus Dur, berbagai acara untuk
mengenang dan menghormati almarhum diselenggarakan dimana-mana. Ada yang
bersifat ritual keagamaan; ada yang dikemas dalam bentuk pengajian umum,
saresehan, kesenian, dlsb. Acara-acara itu tidak hanya diselenggarakan oleh
kalangan Pesantren, Nahdliyin, kaum muslimin; tapi juga oleh kalangan
agama-agama dan etnis lain. Dalam rangka peringatan 40 hari wafatnya, di
mana-mana pun orang menyelenggarakan acara khusus. Tidak hanya di Tebuireng
dan Ciganjur Saya sendiri dapat sembilan undangan dalam rangka yang sama.


Saya mendatangi undangan Gus Sholahuddin Wahid dan keluarga Bani Wahid di
Tebuireng. Menyaksikan ribuan warga masyarakat yang mulai pagi hari sudah
berdatangan menuju komplek Pesantren dimana terletak makam Gus Dur. Rahmat
Allah berupa hujan, mengguyur Tebuireng dan sekitarnya. Saya menyaksikan
sekian banyak orang ber-basah-basah berjalan dari tempat-tempat kendaraan
mereka di parkir –yang jaraknya berkisar antara 3 sampai 5 km—menuju ke
makam. Saya menyaksikan di samping tempat-tempat parkiran, tukang-tukang
ojek dadakan, juga warung-warung baru. Semuanya itu tentu untuk melayani
para peziarah.


Dan malam itu, ribuan umat duduk khidmat di sekitar makam untuk berdzikir
dan berdoa. Renyai hujan seolah-olah ikut mengamini doa mereka. Saya
mendengar kabar, hal yang kurang lebih sama juga terjadi di Ciganjur.


Kembali ke pertanyaan Kiai Maemoen di atas. Ketika Gus Dur ke rumah saya di
Rembang, seminggu sebelum wafat, beliau ada menceritakan mimpi saudaranya.
Mimpi, yang menurut saudaranya itu, aneh dan ingin ditolaknya. Saudaranya
itu bermimpi berada dalam jamaah salat. Termasuk yang ikut menjadi makmum
adalah Hadhratussyeikh KHM. Hasyim Asy’ari dan yang menjadi imam … Gus Dur.
Barangkali untuk menghilangkan kekecewaan saudaranya yang tampak kurang
senang Mbah Hasyim kok makmun Gus Dur meski hanya dalam mimpi, Gus Dur pun
berkata menafsiri mimpinya itu: “Ya kalau soal akhlak dan agama, imamnya
memang harus Hadhratussyeikh; tapi kalau soal politik, imamnya ya saya.”


Tapi tentu saja bukan karena ‘politik’nya, Gus Dur mendapat penghargaan dan
penghormatan yang begitu fenomenal dari umat. Apalagi pada saat dunia
politik cemar dan memuakkan seperti sekarang ini. Lalu, apakah karena
‘amaliyah pluraliyah’-nya? Tentu bukan juga. Sebab kalau karena ini,
bagaimana kita menjelaskan tentang banyaknya kiai yang juga merasa sangat
kehilangan dengan wafatnya Gus Dur dan dengan tulus mendoakannya, padahal
mereka tidak paham atau tidak setuju pluralisme?


Ataukah fenomena itu hanya sekedar pengejawentahan dari rasa kesal
masyarakat terhadap umumnya pemimpin yang masih hidup, yang tidak jujur
(lain di mulut, lain di perbutan), dan tidak konsisten memikirkan dan
berpihak kepada rakyat?


Menurut saya sendiri; Gus Dur dihargai dan dicintai beragam orang, karena
Gus Dur menghargai keberagaman dan mencintai beragam orang. Gus Dur
dihormati orang secara tulus, karena Gus Dur tulus menghormati orang. Gus
Dur bersemayam di hati orang banyak, karena orang banyak selalu berada di
hati Gus Dur. Gus Dur, setahu saya, sering dan banyak berbeda dengan orang,
tapi tidak pernah benci kepada mereka yang berbeda, bahkan kepada yang
membencinya sekalipin. Gus Dur tidak hanya mengenal persaudaraan kepartaian;
persaudaraan ke-NU-an; persaudaraan keIslaman; persaudaraan keseimanan;
persaudaraan keIndonesiaan; tapi lebih dari itu juga persaudaraan
kemanusiaan. Dan itu amaliyah. Bukan sekedar ucapan.  Wallahu alam.



KH. Dr. A. Mustofa Bisri, Pengajar di Pondok Pesantren Taman Pelajar
Raudlatut 

[ppiindia] Gus Mus: Dakwah vs Menakut-nakuti

2010-04-25 Terurut Topik Ananto
Dakwah vs Menakut-nakuti
21 April 2010 13:23:57
Oleh: Dr. KH. A. Mustofa Bisri


Seorang kawan budayawan dari satu daerah di Jawa Tengah yang biasanya hanya
SMS-an dengan saya, tiba-tiba siang itu menelpon. Dengan nada khawatir, dia
melaporkan kondisi kemasyarakatan dan keagamaan di kampungnya.



Keluhnya antara lain,“Kalau ada kekerasan di Jakarta oleh kelompok warga
yang mengaku muslim terhadap saudara-saudaranya sebangsa yang mereka anggap
kurang menghargai Islam, mungkin itu politis masalahnya. Tapi ini di
kampung, Gus, sudah ada kelompok yang sikapnya seperti paling Islam sendiri.
Mereka dengan semangat jihad, memaksakan pahamnya ke masyarakat. Sasarannya
jamaah-jamaah di masjid dan surau. Rakyat pada takut. Bahkan, na’udzu
billah, Gus, saking takutnya ada yang sampai keluar dari Islam. Ini
bagaimana? Harus ada yang mengawani masyarakat, Gus. NU dan Muhammadiyah kok
diam saja ya?”


Kondisi yang dilaporkan kawan saya itu bukanlah satu-satunya laporan yang
saya terima. Ya, akhir-akhir ini sikap perilaku keberagamaan yang keras
model zaman Jahiliyah semakin merebak. Hujjah-nya, tidak tanggung-tanggung
seperti membela Islam, menegakkan syariat, amar makruf nahi munkar,
memurnikan agama, dsb. Cirinya yang menonjol : sikap merasa benar sendiri
dan karenanya bila bicara suka menghina dan melecehkan mereka yang tidak
sepaham. Suka memaksa dan bertindak keras dan kasar kepada golongan lain
yang mereka anggap sesat. Seandainya kita tidak melihat mereka berpakaian
Arab dan sering meneriakkan “Allahu Akbar!”, kita sulit mengatakan mereka
itu orang-orang Islam. Apalagi bila kita sudah mengenal pemimpin tertinggi
dan panutan kaum muslimin, Nabi Muhmmad SAW.


Seperti kita ketahui, Nabi kita yang diutus Allah menyampaikan firman-Nya
kepada hamba-hamba-Nya, adalah contoh manusia paling manusia. Manusia yang
mengerti manusia dan memanusiakan manusia. Rasulullah SAW seperti bisa
dengan mudah kita kenal melalui sirah dan sejarah kehidupannya, adalah
pribadi yang sangat lembut, ramah dan menarik. Diam dan bicaranya
menyejukkan dan menyenangkan. Beliau tidak pernah bertindak atau berbicara
kasar.


Ñæì ÇáÈÎÇÑí Úä ÃäÓ ÑÖí Çááå Úäå ÞÇá: áã íßä ÑÓæá Çááå Õáì Çááå Úáíå æÓáã
ÓÈÇÈÇ æáÇ áãÇãÇ æáÇ ÝÇÍÔÇ

Sahabat Anas r.a yang lama melayani Rasulullah SAW, seperti diriwayatkan
imam Bukhari, menuturkan bahwa Rasulullah SAW bukanlah pencaci, bukan orang
yang suka mencela, dan bukan orang yang kasar.


æÑæì ÇáÊÑãÐí Úä ÃÈí åÑíÑÉ ÑÖí Çááå ÊÚÇáì Úäå ÞÇá: áã íßä ÑÓæá Çááå Õáì Çááå
Úáíå æÓáã ÝÇÍÔÇ æáÇ ãÊÝÇÍÔÇ æáÇ ÕÎÇÈÇ Ýí ÇáÃÓæÇÞ

Sementara menurut riwayat Imam Turmudzi, dari sahabat Abu Hurairah r.a:
Rasulullah SAW pribadinya tidak kasar, tidak keji, dan tidak suka
berteriak-teriak di pasar.


Ini sesuai dengan firman Allah sendiri kepada Rasulullah SAW di Q. 3:
159, *“Fabima
rahmatin minallaahi linta lahum walau kunta fazhzhan ghaliizhalqalbi
lanfadhdhuu min haulika …”* , Maka disebabkan rahmat dari Alllah, kamu lemah
lembut kepada mereka. Seandainya kamu berperangai keras berhati kasar,
niscaya mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu…”


Jadi, kita tidak bisa mengerti bila ada umat Nabi Muhammad SAW, berlaku
kasar, keras dan kejam. Ataukah mereka tidak mengenal pemimpin agung mereka
yang begitu berbudi, lemah- lembut dan menyenangkan; atau mereka mempunyai
panutan lain dengan doktrin lain.


Atau mungkin sikap mereka yang demikian itu merupakan reaksi belaka dari
kezaliman Amerika dan Yahudi/Israel. Kalau memang ya, bukankah kitab suci
kita al-Quran sudah mewanti-wanti, berpesan dengan sangat agar kita tidak
terseret oleh kebencian kita kepada suatu kaum untuk berlaku tidak adil.
“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kalian penegak-penegak kebenaran
karena Allah (bukan karena yang lain-lain!), menjadi saksi dengan adil. Dan
janganlah sekali-kali kebencian kalian terhadap suatu kaum mendorong kalian
untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah; adil itu lebih dekat kepada takwa
dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh Allah Maha Mengetahui apa yang kalian
kerjakan.” (Baca Q. 5: 9).


Hampir semua orang Islam mengetahui bahwa Rasulullah SAW diutus utamanya
untuk menyempurnakan budi pekerti. Karena itu, Rasulullah SAW sendiri budi
pekertinya sangat luhur (Q. 68: 4). Mencontohkan dan mengajarkan keluhuran
budi. Sehingga semua orang tertarik . Ini sekaligus merupakan pelaksanaan
perintah Allah untuk berdakwah. Berdakwah adalah menarik orang bukan membuat
orang lari. (Baca lagi Q. 3: 159!). Bagaimana orang tertarik dengan agama
yang dai-dainya sangar dan bertindak kasar tidak berbudi?


Melihat perilaku mereka yang bicara kasar dan tengik, bertindak brutal
sewenang-wenang sambil membawa-bawa simbol-simbol Islam, saya kadang-kadang
curiga, jangan-jangan mereka ini antek-antek Yahudi yang ditugasi
mencemarkan agama Islam dengan berkedok Islam. Kalau tidak, bagaimana ada
orang Islam, apalagi sudah dipanggil ustadz, begitu bodoh: tidak bisa
membedakan antara dakwah yang mengajak orang dengan menakut-nakuti yang
membuat orang lari. Bagaimana 

[ppiindia] Gus Mus: Fatwa dan Fatwa

2010-04-15 Terurut Topik Ananto
Fatwa dan Fatwa

Oleh: KH. Dr. A. Mustofa Bisri


FATWA akhir-akhir ini merupakan tren baru, bahkan sudah mirip dengan
latah. Dulu, fatwa hampir identik dengan MUI (Majelis Ulama Indonesia), yang
memang paling sering mengeluarkan fatwa. Fatwa yang dinilai sering tidak
menjadi solusi, melainkan malah meresahkan. Pak Jusuf Kalla waktu menjadi
wakil presiden sampai berpesan dalam pembukaan Ijtimak Komisi Fatwa MUI agar
MUI jangan mengeluarkan fatwa yang meresahkan dan menjadi ketakutan baru,
melainkan menjadi solusi (Jawa Pos, Minggu 25 Januari 2009).


Tapi kini, fatwa tidak lagi menjadi monopoli MUI. Rupanya, MUI mendapatkan
banyak saingan.


Fatwa bermunculan dari berbagai penjuru, dari berbagai lembaga dan
organisasi. Berbagai hal dan masalah difatwakan. Mulai fatwa tentang aliran
sesat, bunga bank, golput, yoga, rokok, pembangkit tenaga nuklir, rebonding,
prewedding, infotainment, ringtone ayat-ayat Alquran, Facebook, sampai naik
ojek.


Kecanggihan dan keaktifan pers ikut dan sangat membantu tersiarnya
fatwa-fatwa dari berbagai pihak itu serta menjadikannya bahan pembicaraan
berkepanjangan sehingga menimbulkan pro dan kontra di masyarakat. Bahkan,
ada yang menilainya meresahkan. Di sisi lain, ada pula yang khawatir, dengan
sering dan mudahnya fatwa dikeluarkan, fatwa akan kehilangan wibawa dan
kesakralan. Padahal, sejak dulu organisasi NU dengan bahtsul masail-nya dan
Majelis Tarjih Muhammadiyah selalu menjawab masalah-masalah keagamaan yang
ditanyakan anggotanya.


Di banyak pesantren juga ada tradisi musyawarah di kalangan santri. Mereka
berlatih menjawab masalah-masalah keagamaan di masyarakat. Hanya, dulu
mungkin tidak ada media massa yang tertarik menyiarkannya.


Di koran ini, saya pernah sedikit menjelaskan perbedaan antara fatwa,
wacana, dan vonis yang sering dirancukan. Gara-gara kerancuan itu, sering
terjadi fatwa dianggap vonis. Celakanya, ada yang mengeksekusi berdasar
fatwa tersebut. Itu merupakan kesalahan bertumpuk. Yakni, kesalahan
menganggap fatwa sebagai vonis serta melakukan eksekusi dan penghakiman
sendiri. Saya menjelaskan istilah-istilah tersebut terutama agar masyarakat
tidak terlalu bingung dan resah terhadap fatwa-fatwa MUI.


Ternyata, sekarang masih atau semakin banyak keluhan mengenai kian maraknya
fatwa, tidak hanya dari MUI. Masyarakat kembali ramai membicarakan dan
sebagian malah menyatakan semakin bingung. Apalagi, kemudian ada yang
membesar-besarkan perbedaan fatwa, seperti fatwa yang mengharamkan rokok dan
yang hanya memakruhkannya. Maka, saya teringat akan hal yang pernah saya
kemukakan -mengutip keterangan para ulama- tentang fatwa lebih dari setahun
lalu.


Fatwa dalam istilah agama (sempitnya: fikih) mirip dengan pengertian
bahasanya, yakni jawaban mufti terhadap masalah keberagamaan. Dulu -dan
sampai sekarang di beberapa negara Timur Tengah- fatwa memang diminta dan
diberikan oleh mufti secara perorangan. Dalam kitab-kitab fikih, mufti atau
pemberi fatwa dibedakan dengan hakim. Mufti hanya memberikan informasi
kepada dan sesuai dengan pertanyaan si peminta fatwa. Sementara itu, hakim
memutuskan hukuman setelah mendengarkan berbagai pihak, seperti penuntut,
terdakwa, dan saksi-saksi. Berbeda dengan putusan hakim, fatwa tidak
memiliki kekuatan memaksa. Ia tidak mengikat, kecuali bagi si peminta
fatwa.Itu pun berlaku dengan beberapa catatan. Antara lain, si peminta fatwa
hanya mendapatkan fatwa dari satu pihak atau pemberi fatwa dan fatwa yang
diberikan sesuai dengan kemantapan hatinya. Apabila ada dua pihak yang
memberikan fatwa berbeda, dia mengikuti fatwa yang sesuai dengan kata
hatinya. Itu berdasar hadis Nabi Muhammad SAW, Istafti qalbak/nafsak wain
aftaaka an-naas... Arti hadis tersebut, mintalah fatwa hati nuranimu meski
orang-orang sudah memberimu fatwa.


Sementara itu, mufti yang boleh ditanya dan memberikan fatwa adalah orang
yang memenuhi kriteria tertentu. Bukan sembarang orang. Misalnya, pensiunan
pegawai tinggi Depag (kini Kementerian Agama) atau ketua umum organisasi
tidak bisa dijadikan ukuran. Para ulama punya pendapat berbeda mengenai
rincian kriteria mufti; ada yang ketat, ada juga yang agak longgar. Ada yang
mensyaratkan mufti harus mujtahid. Ada yang sekadar menyatakan -seperti Imam
Malik- orang alim tidak seyogianya memberikan fatwa sampai tahu bahwa orang
melihatnya pantas memberikan fatwa dan dirinya juga merasa pantas. Secara
garis besar, semua menyepakati bahwa yang diperkenankan dimintai dan
memberikan fatwa hanyalah mereka yang memang ahli.


Pemberian fatwa, menurut para ulama, juga punya etika. Misalnya, mufti tidak
boleh tergesa-gesa dalam memberikan fatwa. Ibn Qayyim, misalnya, dalam salah
satu kitabnya menyatakan, Dulu salaf, para sahabat nabi, dan tabiin tidak
suka cepat-cepat memberikan fatwa. Masing-masing justru mengharap fatwa
diberikan oleh selain dirinya. Apabila sudah jelas bahwa fatwa itu harus
diberikan olehnya, dia akan mengerahkan segala tenaga dan pikiran untuk
mengetahui hukum masalah yang dimintakan fatwa tersebut dari 

[ppiindia] Gus Mus: Melayat

2010-04-11 Terurut Topik Ananto
Melayat
Oleh: KH. Dr. A. Mustofa Bisri



sejak yang mati dikuburkan dengan upacara sederhana pagi tadi
seisi rumah sudah bisa melipur diri
yang mati betapapun disayang tak akan kembali
hanya si ayah dan anaknya lelaki


tampak masih menyembunyikan sisa kesedihan dalam senyum keki
dia begitu setia membangunkan kita dengan suara lembutnya
mengingatkan syukur yang tak tertunaikan dengan sempurna
yah, kini walad bermain dengan siapa?
si ayah mengelus kepala putranya
mencoba menggiring sisa kemurungan mereka
tiba-tiba silau mentari menyeruak dari ambang pintu yang terbuka

seisi rumah berdiri terkesima

aku mendengar dan memerlukan singgah sebentar katanya merdu

dan direngkuhnya si bocah yang memandangnya lugu
semua mata pun berbinar-binar mencair-rebakkan butir-butir
airmata haru

semoga tuhan memberi kalian ganti kesayangan baru

allahu akbar!
ya tuhan, rahmat apa ini?

ya rasul, hanya burung sederhana kami yang mati
mengapa paduka menyempatkan diri melayat kami?

o, bagaimana mendung tahan bergantung
jika mentari begini peduli
o, alangkah bahagianya umat ini
jika secercah saja
sinar ini mencerahi dada-dada mereka



KH. Dr. A. Mustofa Bisri, Pengajar di Pondok Pesantren Taman Pelajar
Raudlatut Thalibin, Rembang, Jawa Tengah.


-- 
...menyembah yang maha esa,
menghormati yang lebih tua,
menyayangi yang lebih muda,
mengasihi sesama...


[Non-text portions of this message have been removed]



[ppiindia] Gus Mus: Catatan Kecil dari Muktamar NU di Cipasung dan Makassar: Debar Muktamar Makassar

2010-04-06 Terurut Topik Ananto
Catatan Kecil dari Muktamar NU di Cipasung dan Makassar: Debar Muktamar
Makassar

6 April 2010 13:00:28

Oleh: KH Dr. A. Mustofa Bisri



SETIAP selesai muktamar NU, sejak muktamar ke-27 di Situbondo, saya selalu
menulis semacam catatan akhir. Bahkan, setelah muktamar Cipasung yang batal
saya ikuti pun, saya menulis catatan mengenai muktamar yang fenomenal itu.
(Saya datang ke Cipasung dan pulang sebelum pembukaan muktamar karena
kecelakaan yang dialami -dan merenggut nyawa- dua adik saya dan seorang
santri yang juga sedang menuju ke muktamar).



Ada yang menyebut muktamar ke-32 di Makassar tempo hari mirip muktamar
Cipasung. Di mana letak kemiripannya? Kalau sama-sama ramai, sama-sama
menguras emosi muktamirin, dan sama-sama berpotensi mengacaukan akal sehat,
memang benar. Muktamar Makassar memang juga mendebarkan sebagaimana muktamar
Cipasung. Namun, ada perbedaan yang sangat mencolok.


Muktamar Cipasung merupakan puncak kezaliman rezim Soeharto terhadap NU.
Sejak Soeharto mantap berkuasa, NU seperti terus dianggap duri. Apalagi
ketika NU dalam Pemilu 1971 seperti ''melawan'' dan dipandang mengancam
kekuatan buldoser Golkar. Apalagi, di NU masih ada tokoh yang tidak takut
pada Golkar dan rezim Soeharto semacam almarhum Kiai Bisri Sansuri dan
almarhum Subhan Z.E.


Muktamar Cipasung adalah puncaknya. Soeharto sudah sedemikian gerahnya
terhadap NU yang saat itu dipimpin Gus Dur. Seorang tokoh yang tidak hanya
pintar dan berani, tapi juga dicintai umat. Profil yang paling ditakuti
Soeharto. Maka, muktamar NU pun hendak direkayasa dengan mula-mula mendorong
tokoh NU yang sudah ikut Golkar, Cholid Mawardi. Ketika tampak tak mendapat
sambutan muktamar, diajukanlah orang yang tak dikenal masyarakat NU
sebelumnya, Abu Hasan.


Hebatnya lagi, untuk lebih menyiksa NU, rezim ketika itu juga mengadu domba.
Orang dekat yang paling menghormati dan dihormati Gus Dur, Dr Fahmi D.
Saifuddin -Allahu yarhamuhuma-, diajukan juga sebagai alternatif calon ketua
umum. (Mereka tahu bahwa Dr Fahmi adalah kandidat pengganti Gus Dur yang
didukung cabang-cabang, seandainya Gus Dur tidak dipaksa ''keadaan'' untuk
maju lagi). Akibatnya, ketegangan di kalangan intern NU menjadi semakin
silang-selimpat.


Dari sudut ketegangan yang menguras emosi muktamirin, muktamar Cipasung
mungkin tidak tertandingi oleh muktamar Makassar atau muktamar-muktamar yang
lain. Namun, ada sesuatu yang membuat muktamar Makassar jauh lebih
memprihatinkan. Bukan karena campur tangan pihak luar, tapi justru dipicu
oleh pihak dalam NU sendiri (Kalaupun ada campur tangan, pihak luar hanyalah
numpang kepentingan belakangan).


Selain aroma pilkada yang kental dan berseliwerannya kepentingan-kepentingan
yang nebeng, muktamar Makassar telah mengawali tradisi yang sangat tidak
elok sebagai muktamarnya organisasi ulama. Baru muktamar kali ini jabatan
rais am dipandang dan ditampilkan sebagai jabatan duniawiah. Diperebutkan
seperti kedudukan kepala desa.


Hal itu bermula dari sikap berlebihan yang bukan karakter NU. Mereka yang
terpesona pada prestasi Hasyim Muzadi saat memimpin sebagai ketua umum
tanfidziyah, terutama mereka yang merasakan sendiri barokah kepemimpinannya,
sejak awal mewacanakan dan mengampanyekan ''Kiai Hasyim Muzadi untuk Rais
Am''. Saking semangatnya, mereka sampai lupa bahwa mereka masih di bawah
kepemimpinan Rais Am KH M. Ahmad Sahal Mahfudz yang mungkin hanya mereka
anggap seperti incumbent dalam pilkada.


***

Ketua Umum Hasyim Muzadi memang berhasil dalam banyak hal. Misalnya,
melanjutkan apa yang dilakukan Gus Dur dalam ''meng-go-international-kan
NU'', menyebarkan Islam rahmatan lil-'aalmiin', dan mendakwahkan bi lisaanil
maqaal serta bilisaanil haal ukhuwwah nahdliyah, ukhuwwah Islamiyah,
ukhuwwah wathaniyah, dan ukhuwwah basyariyah. Sebagai tokoh yang kaya wacana
dan informasi, dia tanggap terhadap permasalahan-permasalahan
kemasyarakatan.


Dia juga dinilai berhasil mendistribusikan kader-kader NU ke dalam
jabatan-jabatan politik (mulai anggota DPRD, DPR, kepala-kepala daerah,
anggota KPU, hingga Dubes); mencarikan beasiswa anak-anak NU; serta
memfasilitasi kegiatan-kegiatan yang dilakukan badan-badan otonom NU.
Bahkan, tidak segan-segan membantu warga NU yang meminta bantuan dalam
pencalonan kepala daerah.


Boleh jadi, karena melihat prestasi ketanfidziyahan tersebut dan mengingat
Pak Hasyim sudah menyatakan tidak akan maju lagi sebagai ketua umum, mereka
yang tatharruf itu pun mengusungnya untuk jabatan di atas ketua umum: rais
am. Untuk itu, mereka pun dengan gencar mengampanyekannya.


Melihat keseriusan dan semangat mereka itu, banyak kiai yang mula-mula kaget
dan prihatin dengan ''bid'ah'' dalam tradisi NU ini: kampanye untuk rais am.
Masya Allah! Kemudian, beberapa kiai seperti Kiai Masruri Mughni, rais
Syuriah Wilayah Jawa Tengah, dan Kiai Azhari Abta, rais Syuriah DIJ,
bertindak mengajak kiai-kiai yang lain untuk ''memaksa'' Kiai Sahal yang
sebenarnya sudah lelah dan ingin mundur untuk tetap kerso menjadi rais am
kembali. 

[ppiindia] Gus Mus: Pernikahan

2010-04-05 Terurut Topik Ananto
Pernikahan
30 Maret 2010 17:50:43 |

Oleh: KH. Dr. A. Mustofa Bisri


Pernikahan merupakan salah satu sunnah Rasul SAW dan merupakan anjuran
agama. Pernikahan yang disebut dalam al-Quran sebagai miitsaaqun ghaliizh,
perjanjian agung, bukanlah sekedar upacara dalam rangka mengikuti tradisi,
bukan semata-mata sarana mendapatkan keturunan, dan apalagi hanya sebagai
penyaluran libido seksualitas atau pelampiasan nafsu syahwat belaka.



Pernikahan adalah amanah dan tanggungjawab. Bagi pasangan yang masing-masing
mempunyai niat tulus untuk membangun mahligai kehidupan bersama dan
menyadari bahwa pernikahan ialah tanggungjawab dan amanah, maka pernikahan
mereka bisa menjadi sorga. Apalagi, bila keduanya saling menyintai.


Nabi Muhammad SAW telah bersabda yang artinya,“Perhatikanlah baik-baik
istri-istri kalian. Mereka di samping kalian ibarat titipan, amanat yang
harus kalian jaga. Mereka kalian jemput melalui amanah Allah dan
kalimah-Nya. Maka pergaulilah mereka dengan baik, jangan kalian lalimi, dan
penuhilah hak-hak mereka.”


Ketika berbicara tentang tanggungjawab kita, Rasulullah SAW antara lain juga
menyebutkan bahwa “Suami adalah penggembala dalam keluarganya dan akan
dimintai pertanggungjawaban atas gembalaannya dan isteri adalah penggembala
dalam rumah suaminya dan bertanggungjawab atas gembalaannya.”


Begitulah, laki-laki dan perempuan yang telah diikat atas nama Allah dalam
sebuah pernikahan, masing-masing terhadap yang lain mempunyai hak dan
kewajiban. Suami wajib memenuhi tanggungjawabnya terhadap keluarga dan
anak-anaknya, di antaranya yang terpenting ialah mempergauli mereka dengan
baik. Istri dituntut untuk taat kepada suaminya dan mengatur rumah
tangganya.


Masing-masing dari suami-isteri memikul tanggungjawab bagi keberhasilan
perkawinan mereka untuk mendapatkan ridha Tuhan mereka. Apabila
masing-masing lebih memperhatikan dan melaksanakan kewajibannya terhadap
pasangannya daripada menuntut haknya saja, Insya Allah, keharmonisan dan
kebahagian hidup mereka akan lestari sampai Hari Akhir. Sebaliknya, apabila
masing-masing hanya melihat haknya sendiri karena merasa memiliki kelebihan
atau melihat kekurangan dari yang lain, maka kehidupan mereka akan menjadi
beban yang sering kali tak tertahankan.


Masing-masing, laki-laki dan perempuan, secara fitri mempunyai kelebihan dan
kekurangannnya sendiri-sendiri. Kelebihan-kelebihan itu bukan untuk
diperbanggakan atau diperirikan. Kekurangan-kekurang pun bukan untuk
diperejekkan atau dibuat merendahkan. Tapi, semua itu merupakan peluang bagi
kedua pasangan untuk saling melengkapi. Kedua suami-isteri bersama-sama
berjuang membangun kehidupan keluarga mereka dengan akhlak yang mulia dan
menjaga keselamatan dan keistiqamahannya selalu. Dengan demikian, akan
terwujudlah kebahagian hakiki di dunia maupun di akhirat kelak, Insya Allah.



KH. Dr. A. Mustofa Bisri, Pengajar di Pondok Pesantren Taman Pelajar
Raudlatut Thalibin, Rembang, Jawa Tengah.


-- 
...menyembah yang maha esa,
menghormati yang lebih tua,
menyayangi yang lebih muda,
mengasihi sesama...


[Non-text portions of this message have been removed]





***
Berdikusi dg Santun  Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality  Shared Destiny. 
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia
***
__
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Reading only, http://ppi-india.blogspot.com 
4. Satu email perhari: ppiindia-dig...@yahoogroups.com
5. No-email/web only: ppiindia-nom...@yahoogroups.com
6. kembali menerima email: ppiindia-nor...@yahoogroups.com
Yahoo! Groups Links

* To visit your group on the web, go to:
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

* Your email settings:
Individual Email | Traditional

* To change settings online go to:
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/join
(Yahoo! ID required)

* To change settings via email:
ppiindia-dig...@yahoogroups.com 
ppiindia-fullfeatu...@yahoogroups.com

* To unsubscribe from this group, send an email to:
ppiindia-unsubscr...@yahoogroups.com

* Your use of Yahoo! Groups is subject to:
http://docs.yahoo.com/info/terms/



[ppiindia] Gus Mus: Akan Pecahkah NU?

2010-03-25 Terurut Topik Ananto
Akan Pecahkah NU?

Selasa, 21 Desember 2004

Oleh: KH. Abdurrahman Wahid


Muktamar ke 31 di Asarama Haji Donohudan (Boyolali) ternyata membawa hasil
yang dapat dikatakan mendua. Di satu sisi, ada harapan (dan tentu saja ada
ketakutan) NU tidak terpecah belah. Di pihak lain, ada keinginan agar NU
membenahi diri karena Muktamar ke-31 itu ternyata 'dikuasai' oleh para
pengurus 'jorok'. Tentu saja kejorokan itu sudah dimulai, sejak beberapa
tahun yang lalu yaitu ketika Hasyim Muzadi menyeret NU struktural ke
kancah politik praktis. Maksud yaitu bukannya pencalonan Hasyim Muzadi
sebagai Wakil Presiden RI mendampingi Megawati Soekarnoputri yang menjadi
Calon Presiden waktu itu. Tetapi dalam cara bagaimana Hasyim Muzadi
'memaksakan' agar seluruh jajaran NU mendukung kemenangan pasangan calon itu
dengan menggunakan 'kekuasaan organisatoris' sebagai Ketua Umum Pengurus
Besar NU (Ketum PBNU). Ia melanggar semua aturan permainan yang sudah
ditetapkan oleh berbagai forum NU sejak dahulu yaitu sebagai organisasi, NU
tidak berpolitik.


Rais 'Aam PBNU sebagai otoritas tertinggi di lingkungan NU, ternyata hanya
berdiam diri saja dan tidak melakukan disiplin organisasi secara ketat. Hal
terjauh yang dilakukannya, adalah menyatakan Hasyim Muzadi non aktif, dan
mengangkat/menetapkan Masdar Farid Mas'udi sebagai PjS (Pejabat Sementara)
ketua umum PBNU. Ia tidak pernah mencoba 'mengerem' pengurus-pengurus daerah
dan panitia muktamar di tingkat pusat maupun daerah untuk tidak menggunakan
'kebutuhan politik' mendukung Ketua Umum PBNU dalam pencalonan, maupun dalam
kampanye. Akibatnya justru banyak pengurus NU di tingkat cabang (kabupaten
dan kota madya) dan wilayah (di tingkat propinsi), justru membentuk
solidaritas kelompok yang berdasarkan kebutuhan politik praktis itu. Inilah
yang sebenarnya dirisaukan oleh banyak kalangan kultural/budaya di
lingkungan NU sendiri, dan ini pula yang menjadi keprihatinan para kyai
sepuh.


Tetapi itu semua dianggap sepi oleh Hasyim Muzadi dan kawan-kawan. Rais 'Aam
KH. A.M Sahal, seperti sudah dapat diduga sebelumnya hanya bersikap pasif
saja. Demikianlah ketika tanggal 1 Desember 2004 penulis menanyakan
ketegasan sikap beliau dan hanya memperoleh jawaban pasif saja. Penulis
meminta baik secara tertulis maupun lisan, mereka yang ternyata melakukan
tindakan politik praktis tidak diperkenankan menjadi anggota PBNU hasil
Muktamar ke-31 itu, beliau hanya menjawab dengan air mata terurai bahwa
beliau tidak dapat melarang Hasyim Muzadi menjadi calon Ketua Umum PBNU.
Padahal beliau punya wewenang untuk itu menurut tata tertib Muktamar. Apa
motif sebenarnya dari sikap beliau tersebut tidaklah begitu penting bagi
penulis, karena segera penulis bersiap-siap untuk kembali ke Jakarta
keesokan harinya. Namun antara jam 7-8 malam penulis diminta oleh para
sesepuh NU, dan diberi tugas tertulis untuk membentuk sebuah organisasi
baru, karena yang lama sudah lepas kendali. Beberapa hari kemudian penulis
di panggil beliau-beliau itu, ke Pesantren Buntet, Astanajapura (Cirebon),
penulis mendapat perintah pelaksanaan dari apa yang menjadi gagasan
tersebut.


Perintah baru itu pada dasarnya meliputi tiga hal. Pertama, jangan ada
deklarasi dan upaya apapun untuk mendirikan secara formal organisasi baru
itu, di luar Muktamar Luar Biasa yang akan diselenggarakan bulan Juni 2005.
Kedua, untuk menghindarkan hal-hal konfrontatif dalam pembentukan organisasi
itu. Ketiga, mengulur waktu begitu rupa sehingga persiapan pembentukan wadah
baru itu akan berakibat sangat panjang, setelah kita dapat mengatasi krisis
multidimensial. Dengan demikian, kebutuhan untuk menggunakan sumber-sumber
dalam negeri kita, bagi kemakmuran sebesar-besarnya jumlah penduduk untuk
keadilan dapat tercapai


Sebuah analogi (qiyas) dapat dibangun dalam hal ini. Pada 2 Mei 1982 'para
sesepuh NU' bertemu di rumah KH. Maskur Jl. Imam Bonjol No. 22 (Jakarta
Pusat), kemudian mendatangi rumah DR. KH. Idham Chalid (jalan Mangunsarkoro)
untuk memintanya menggundurkan diri dari jabatan Ketua Umum PBNU. Dua hari
kemudian, penulis bersama-sama dengan Dr. Fahmi Syaifudin (ipar penulis
sendiri) mendatanginya. Ketika penulis bertanya, mengapakah ia memenuhi
permintaan itu, padahal itu akan membawa perpecahan sangat dalam di tubuh NU
sendiri? Untuk menghindarkan hal itu, ia menyetujui penunjukan H. Chalid
Mawardi untuk menjadi 'manajer' kelompok Cipete. Penulis sendiri berhasil
ditunjuk menjadi 'manajer para kyai'. Dengan Dr. Fahmi Syaifudin menjadi
penghubung antar kedua orang 'manajer itu. H. Chalid Mawardi dan penulis
melakukan hal itu utnuk dua tahun lebih lamanya.


Kami berdua, bersama-sama Dr. Fahmi Syaifudin menggunakan kantor yang sama
di Kramat Raya No. 164 Jakarta-pusat. Demikianlah pula, kami berdua
sama-sama menggunakan staff PBNU yang itu-itu juga. Serta kertas kop surat
yang sama pula. Demikianlah, dengan menggunakan kecerdikan otak, pertikaian
dalam NU tidak berkembang menjadi perpecahan. Hal itu sangat diperlukan,
karena sekarang inipun NU masih 

[ppiindia] Gus Mus: NU dan Garasinya

2010-03-23 Terurut Topik Ananto
NU dan Garasinya

15 Maret 2010 20:14:41

Oleh: KH. Dr. A. Mustofa Bisri


Keluarga Pak Nuas Waja merupakan keluarga desa yang cukup kaya. Di samping
rumah yang besar, keluarga ini memiliki sawah, kebun, peternakan, perahu
penangkap ikan, toko serba ada, dan masih ada kekayaan dan usaha yang lain.
Keluarga Pak Nuas Waja yang cukup banyak, tidak kesulitan menangani semua
harta dan usaha itu, meski pengelolaannya masih secara tradisional.
Masing-masing anggota keluarga, sesuai keahliannya diserahi dan
bertanggungjawab atas bidang yang dikuasainya. Ini menggarap sawah; ini
mengurus kebun; itu menangani toko; itu mengurus peternakan; demikian
seterusnya.

Masih ada satu usaha keluarga lagi yang dilakukan bekerja sama dengan
pihak-pihak lain. Yaitu, usaha transportasi. Tapi, karena waktu pembagian
keuntungan, dirasa kurang adil, akhirnya keluar dan mendirikan usaha
transportasi sendiri. Berhubung usaha ini baru bagi mereka, maka diajaknya
beberapa personil dari luar yang dianggap mampu dan mengerti seluk-beluk
transportasi. Ternyata, usaha baru ini meraih sukses yang luar biasa. Dari
empat besar perusahaan transportasi, perusahaan keluarga pak Nuas Waja yang
baru ini meraih peringkat ketiga. Dampak dari sukses besar ini, antara lain:
personil-personil dari luar yang ikut membantu–atau yang berjanji akan
membantu--menangani usaha ini pun menyatakan bergabung total sebagai anggota
keluarga. Pak Nuas pun tidak keberatan dan justru senang.

Dampak lain yang jauh lebih penting dan serius, ialah kemaruknya para
anggota keluarga terhadap usaha transportasi yang sukses besar ini. Setiap
hari sebagian besar mereka berjubelan di garasi; meskipun sebenarnya banyak
yang sekedar bermain-main klakson atau memutar-mutar stir mobil, karena
memang tak tahu apa yang harus mereka lakukan di garasi itu. Lama-lama,
mereka yang bertanggung jawab menggarap sawah, kebun, peternakan, toko, dlsb
pun tertarik dan tersedot ikut menjubeli garasi mereka. Sawah pun menjadi
bero, kebun tak terawat, toko tak ada yang menjaga, ternak-ternak pada mati,
perahu nganggur Bahkan, rumah sendiri sering kosong, banyak perabotan
diambil dan dibawa orang tak ada yang tahu. Halamannya kotor tak terurus.


Ketika penguasa negeri ganti dan mendirikan juga usaha transportasi sendiri,
keluarga Nuas Waja pun agak pusing. Soalnya cara berusaha penguasa baru ini
tidak lazim. Mereka menggunakan cara-cara makhluk rimba untuk memajukan
usaha mereka. Tak segan-segan mereka menggunakan tipuan dan kekerasan.Orang
dipaksa untuk menggunakan transportasi mereka; yang tidak mau, tahu rasa!


Namun, meski bersaing dengan usaha penguasa yang zalim begitu, usaha
keluarga Nuas Waja masih mampu bertahan, walau babak-belur. Bahkan perlakuan
penguasa itu justru semakin mengentalkan ‘fanatisme’ keluarga terhadap usaha
transportasi ini.


Akan tetapi, penguasa lebih pintar lagi. Dengan kelicikannya, orang pun
digiring untuk menyepakati aturan main baru yang agaknya sudah lama mereka
rencanakan di bidang transportasi ini. Aturan itu melarang orang berusaha
transportasi sendiri-sendiri di rumah. Mereka yang berusaha di bidang
transportasi harus nge-pol dan bergabung dalam salah satu dari tiga wadah
usaha yang sudah disiapkan. Akhirnya, keluarga Nuas pun bergabung dengan
beberapa penguasaha lain, sesuai arahan penguasa. Dan nasib seperti pada
masa lampau pun terulang kembali. Keluarga Nuas yang sahamnya paling besar,
justru waktu pembagian keuntungan selalu kena tipu dan rugi.


Maka, waktu ada gagasan dari sementara anggota keluarga untuk kembali saja
ke jati diri awal mereka, banyak yang mendukung gagasan itu, meskipun dengan
alasan yang berbeda-beda. Demikianlah, meskipun seperti malas-malas dan
terus menghadapi godaan untuk hanya mengurusi usaha transportasi, anggota
keluarga yang biasa menggarap sawah, mulai kembali ke sawah; yang biasa
mengurus kebun, kembali ke kebun; yang mengelola toko, kembali ke toko;
demikian seterusnya. Sementara itu, mereka yang sudah merasa mapan
menjalankan usaha transportasi, sesekali masih mencoba mencari kawan
pendukung.



Dunia selalu berubah. Beberapa waktu, setelah pemerintahan ganti lagi dan
usaha transportasi kembali bebas, keluarga Nuas Waja pun kembali terseret
arus pertransportasian yang kembali marak. Banyak keluarga yang dulu punya
usaha sendiri, beramai-ramai menghidupkan kembali usaha transportasi mereka.
Garasi pun dibangun dimana-mana. Dan keluarga Nuas Waja pun menghabiskan
enersi mereka untuk urusan garasi dan transportasi; termasuk mereka yang
busi dan dongkrak pun tak mengenalnya.


***


Mungkin saya terlalu sederhana, tapi tamsil di atas itulah yang selalu saya
gunakan untuk menerangkan NU dan Khithahnya kepada orang-orang sederhana di
bawah.


Saya ingin mengatakan bahwa memang ada faktor politik di dalam proses
kelahiran Khithah NU, tapi bukan berarti politiklah yang harus disalahkan
dan oleh karenanya lalu dipahami NU tak lagi menghalalkan–setelah selama ini
menghalalkan--politik. Khitthah NU dalam hal ini–karena Khitthah 

[ppiindia] Gus Mus: Wabah

2010-03-22 Terurut Topik Ananto
Wabah
Oleh: KH. Dr. A. Mustofa Bisri



Mula-mula tak ada seorang pun di rumah keluarga besar itu yang berterus
terang. Masing-masing memendam pengalaman aneh yang dirasakannya dan curiga
kepada yang lain. Masing-masing hanya bertanya dalam hati, Bau apa ini?
Lalu keadaan itu meningkat menjadi bisik-bisik antar 'kelompok' dalam
keluarga besar itu. Kakek berbisik-bisik dengan nenek. Kau mencium sesuatu,
nek?



Ya. Bau aneh yang tak sedap! jawab nenek.

Siapa gerangan yang mengeluarkan bau aneh tak sedap ini?

Mungkin anakmu.

Belum tentu; boleh jadi cucumu!

Atau salah seorang pembantu kita.

Ayah berbisik-bisik dengan ibu. Kau mencium sesuatu, Bu?

Ya. Bau aneh yang tak sedap! jawab ibu.

Siapa gerangan yang mengeluarkan bau aneh tak sedap ini?

Mungkin ibumu.

Belum tentu; boleh jadi menantumu.

Atau salah seorang pembantu kita.



Demikianlah para menantu pun berbisik-bisik dengan isteri atau suami
masing-masing. Anak-anak berbisik antar mereka. Para pembantu berbisik-bisik
antar mereka. Kemudian keadaan berkembang menjadi bisik-bisik lintas
'kelompok'. Kakek berbisik-bisik dengan ayah atau menantu laki-laki atau
pembantu laki-laki. Nenek berbisik-bisik dengan ibu atau menantu perempuan
atau pembantu perempuan. Para menantu berbisik-bisik dengan orangtua
masing-masing. Ibu berbisik-bisik dengan anak perempuannya atau menantu
perempuannya atau pembantu perempuan. Ayah berbisik-bisik dengan anak
laki-lakinya atau menantu laki-lakinya atau pembantu laki-laki. Akhirnya
semuanya berbisik-bisik dengan semuanya.



Bau aneh tak sedap yang mula-mula dikira hanya tercium oleh masing-masing
itu semakin menjadi masalah, ketika bisik-bisik berkembang menjadi saling
curiga antara mereka. Apalagi setiap hari selalu bertambah saja anggota
keluarga yang terang-terangan menutup hidungnya apabila sedang berkumpul.
Akhirnya setelah semuanya menutup hidung setiap kali berkumpul, mereka pun
sadar bahwa ternyata semuanya mencium bau aneh tak sedap itu.



Mereka pun mengadakan pertemuan khusus untuk membicarakan masalah yang
mengganggu ketenangan keluarga besar itu.



Masing-masing tidak ada yang mau mengakui bahwa dirinya adalah sumber dari
bau aneh tak sedap itu.

Masing-masing menuduh yang lainlah sumber bau aneh tak sedap itu.



Untuk menghindari pertengkaran dan agar pembicaraan tidak mengalami
deadlock,  maka untuk sementara fokus pembicaraan dialihkan kepada
menganalisa saja mengapa muncul bau aneh tak sedap itu.



Alhasil, didapat kesimpulan yang disepakati bersama bahwa bau itu timbul
karena kurangnya perhatian terhadap kebersihan. Oleh karena itu diputuskan
agar semua anggota keluarga meningkatkan penjagaan kebersihan; baik
kebersihan diri mau pun lingkungan. Selain para pembantu, semua anggota
keluarga diwajibkan untuk ikut menjaga kebersihan rumah dan halaman. Setiap
hari, masing-masing mempunyai jadwal kerja bakti sendiri. Ada yang
bertanggungjawab menjaga kebersihan kamar tidur, ruang tamu, ruang makan,
dapur, kamar mandi, dst. Sampah tidak boleh dibuang di sembarang tempat.
Menumpuk  atau merendam pakaian kotor dilarang keras.



Juga disepakati  untuk membangun beberapa kamar mandi baru. Tujuannya agar
tak ada seorang pun anggota keluarga yang tidak mandi dengan alasan malas.
Siapa tahu bau itu muncul justru dari mereka yang malas mandi. Di samping
itu, semua anggota keluarga diharuskan memakai parfum dan menyemprot kamar
masing-masing dengan penyedap ruangan. Semua benda dan bahan makanan yang
menimbulkan bau, seperti trasi, ikan asin, jengkol, dsb. dilarang dikonsumsi
dan tidak boleh ada dalam rumah. Setiap jengkal tanah yang dapat ditanami,
ditanami bunga-bunga yang berbau wangi.



Ketika kemudian segala upaya itu ternyata tidak membuahkan hasil dan justru
bau aneh tak sedap itu semakin menyengat, maka mereka menyepakati untuk
beramai-ramai memeriksakan diri. Jangan-jangan ada seseorang atau bahkan
beberapa orang di antara mereka yang mengidap sesuatu penyakit. Mereka
percaya ada beberapa penyakit yang dapat menimbulkan bau seperti misalnya
sakit gigi, sakit lambung, paru-paru, dsb. Pertama-tama mereka datang ke
puskesmas dan satu-persatu mereka diperiksa. Ternyata semua dokter puskesmas
yang memeriksa mereka menyatakan bahwa mereka semua sehat. Tak ada seorang
pun yang  mengidap sesuatu penyakit. Tak puas dengan pemeriksaan di
puskesmas,  mereka pun mendatangi dokter-dokter spesialis; mulai dari
spesialis THT, dokter gigi, hingga ahli penyakit dalam. Hasilnya sama saja.
Semua dokter yang memeriksa, tidak menemukan kelainan apa pun pada
kesemuanya.



Mereka merasa gembira karena oleh semua dokter --mulai dari dokter puskesmas
hingga dokter-dokter spesialis-- di kota, mereka dinyatakan sehat.
Setidak-tidaknya bau aneh dan busuk yang meruap di rumah mereka kemungkinan
besar tidak berasal dari penyakit yang mereka idap. Namun ini tidak
memecahkan masalah. Sebab bau aneh tak sedap itu semakin hari justru semakin
menyesak dada. Mereka pun berembug kembali.



Sebaiknya kita cari saja orang pintar; usul 

[ppiindia] Gus Mus: Pemimpin Yang Rendah Hati

2010-03-02 Terurut Topik Ananto
Pemimpin Yang Rendah Hati

26 Februari 2010 15:15:12 |

Oleh: KH. Dr. A. Mustofa Bisri



Suatu ketika seorang laki-laki menghadap Nabi Muhammad SAW dan gemetaran
–oleh wibawa beliau-- saat berbicara. Nabi SAW pun berkata menenangkan:
“Tenang saja! Aku bukan raja. Aku hanyalah anaknya perempuan Qureisy yang
biasa makan ikan asin.” (Dalam hadisnya, menggunakan kata qadiid yang
maknanya dendeng, makanan sederhana di Arab. Saya terjemahkan dengan ikan
asin yang merupakan makanan sederhana di Indonesia).



Ketika Rasulullah SAW datang di Mekkah, setelah sekian lama hijrah, sahabat
Abu Bakar Siddiq r.a. sowan bersama ayahandanya, Utsman yang lebih terkenal
dengan julukan Abu Quhaafah. Melihat sahabat karib sekaligus mertuanya
bersama ayahandanya itu, Rasulullah SAW pun bersabda “Wahai Abu Bakar,
mengapa Sampeyan merepotkan orang tua? Mengapa tidak menunggu aku yang sowan
beliau di kediamannya?”


***


Sahabat Abdurrahman Ibn Shakhr yang lebih dikenal dengan Abu Hurairah r.a.
bercerita: “Suatu ketika aku masuk pasar bersama Rasulullah SAW. Rasulullah
berhenti, membeli celana dalam dan berkata: ‘Pilihkan yang baik lho!’
(Terjemahan dari aslinya: Rasulullah bersabda kepada si tukang timbang,
‘Timbang dan murahin – bahasa Jawa: sing anget—‘. Boleh jadi waktu itu, beli
celana pun ditimbang). Mendengar suara Rasulullah SAW, si pedagang celana
pun melompat mencium tangan beliau. Rasulullah menarik tangan beliau sambil
bersabda: ‘Itu tindakan orang-orang asing terhadap raja mereka. Aku bukan
raja. Aku hanyalah laki-laki biasa seperti kamu.’ Kemudian beliau ambil
celana yang sudah beliau beli. Aku berniat akan membawakannya, tapi beliau
buru-buru bersabda: ‘Pemilik barang lebih berhak membawa barangnya.’”


***


Itu beberapa cuplikan yang saya terjemahkan secara bebas dari kitab
Nihayaayat al-Arab-nya Syeikh Syihabuddin Ahmad Ibn Abdul Wahhab An-Nuweiry
(677-733 H) jilid ke 18 hal 262-263. Saya nukilkan cuplikan-cuplikan kecil
itu untuk berbagi kesan dengan Anda. Soalnya saya sendiri, saat membacanya,
mendapat gambaran betapa biasa dan rendah hatinya pemimpin agung kita Nabi
Muhammad SAW.


Dalam kitab itu juga disebutkan bahwa Rasulullah SAW sering naik atau
membonceng kendaraan paling sederhana saat itu; yaitu keledai. Rasulullah
SAW suka menyambangi dan duduk bercengkerama dengan orang-orang
fakir-miskin. Menurut istri terkasih beliau, sayyidatina ‘Aisyah r.a dan
cucu kesayangan beliau Hasan Ibn Ali r.a, Rasulullah SAW mengerjakan
pekerjaan rumah; membersihkan dan menambal sendiri pakaiannya; memerah susu
kambingnya; menjahit terompahnya yang putus; menyapu dan membuang sampah;
memberi makan ternak; ikut membantu sang istri mengaduk adonan roti; dan
makan bersama-sama pelayan.


Sikap dan gaya hidup sederhana sebagaimana hamba biasa itu agaknya memang
merupakan pilihan Rasulullah SAW sejak awal. Karena itu dan tentu saja juga
karena kekuatan pribadi beliau, bahkan kebesaran beliau sebagai pemimpin
agama maupun pemimpin Negara pun tidak mampu mengubah sikap dan gaya hidup
sederhana beliau. Bandingkan misalnya, dengan kawan kita yang baru menjadi
kepala desa saja sudah merasa lain; atau ikhwan kita yang baru menjadi
pimpinan majlis taklim saja sudah merasa beda dengan orang lain.


Memang tidak mudah untuk bersikap biasa; terutama bagi mereka yang terlalu
ingin menjadi luar biasa atau mereka yang tidak tahan dengan
‘keluarbiasaan’. Apalagi sering kali masyarakat juga ikut ‘membantu’
mempersulit orang istimewa untuk bersikap biasa. Orang yang semula biasa dan
sederhana; ketika nasib baik mengistimewakannya menjadi pemimpin, misalnya,
atau tokoh berilmu atau berada atau berpangkat atau terkenal, biasanya
masyarakat di sekelilingnya pun mengelu-elukannya sedemikian rupa, sehingga
yang bersangkutan terlena dan menjadi tidak istimewa. Keistimewaan orang
istimewa terutama terletak pada kekuatannya untuk tidak terlena dan
terpengaruh oleh keistimewaannya itu. Keistimewaan khalifah Allah terutama
terletak pada kekuatannya untuk tidak terlena dan terpengaruh oleh
kekhalifahannya, mampu menjaga tetap menjadi hamba Allah.


Keistimewaan Nabi Muhammad SAW sebagai pemimpin antara lain karena beliau
tidak terlena dan terpengaruh oleh keistimewaannya sendiri. Kita pun
kemudian menyebutnya sebagai pemimpin yang rendah hati.


Nabi Muhammad SAW adalah contoh paling baik dari seorang hamba Allah yang
menjadi khalifahNya. Beliau sangat istimewa justru karena sikap kehambaannya
sedikit pun tidak menjadi luntur oleh keistimewaannya sebagai khalifah
Allah.


Shalawat dan salam bagimu, ya Rasulallah, kami rindu!



KH. A. Mustofa Bisri, Pengajar di Pondok Pesantren Taman Pelajar Raudlatut
Thalibin, Rembang, Jawa Tengah.


-- 
...menyembah yang maha esa,
menghormati yang lebih tua,
menyayangi yang lebih muda,
mengasihi sesama...


[Non-text portions of this message have been removed]





***
Berdikusi dg Santun  Elegan, dg Semangat 

[ppiindia] Gus Mus: Sang Pemimpin

2010-03-01 Terurut Topik Ananto
Sang Pemimpin

Oleh: KH. A. Mustofa Bisri


Zahir sedang berada di pasar Madinah ketika tiba-tiba seseorang memeluknya
kuat-kuat dari belakang. Tentu saja Zahir terkejut dan berusaha melepaskan
diri, katanya: “Lepaskan aku! Siapa ini?”


Orang yang memeluknya tidak melepaskannya justru berteriak: “Siapa mau
membeli budak saya ini?” Begitu mendengar suaranya, Zahir pun sadar siapa
orang yang mengejutkannya itu. Ia pun malah merapatkan punggungnya ke dada
orang yang memeluknya, sebelum kemudian mencium tangannya. Lalu katanya
riang: “Lihatlah, ya Rasulullah, ternyata saya tidak laku dijual.”



“Tidak, Zahir, di sisi Allah hargamu sangat tinggi;” sahut lelaki yang
memeluk dan ‘menawarkan’ dirinya seolah budak itu yang ternyata tidak lain
adalah Rasulullah, Muhammad SAW.


Zahir Ibn Haram dari suku Asyja’, adalah satu di antara sekian banyak orang
dusun yang sering datang berkunjung ke Madinah, sowan menghadap Kanjeng Nabi
Muhammad SAW. Tentang Zahir ini, Rasulullah SAW pernah bersabda di hadapan
sahabat-sahabatnya, “Zahir adalah orang-dusun kita dan kita adalah
orang-orang-kota dia.”


***


Nabi Muhammad SAW Anda anggap pemimpin apa saja, pemimpin formal kah;
pemimpin non formal; pemimpin agama; pemimpin masyarakat; atau pemimpin
Negara, Anda akan sulit membayangkannya bercanda di pasar dengan salah
seorang rakyatnya seperti kisah yang saya tuturkan (berdasarkan beberapa
kitab hadis dan kitab biografi para sahabat, Asad al-ghaabah- nya Ibn
al-Atsier ) di atas.


Tapi itulah pemimpin agung, Uswah hasanah kita Nabi Muhammad SAW. Dari kisah
di atas, Anda tentu bisa merasakan betapa bahagianya Zahir Ibn Haram.
Seorang dusun, rakyat jelata, mendapat perlakuan yang begitu istimewa dari
pemimpinnya. Lalu apakah kemudian Anda bisa mengukur kecintaan si rakyat itu
kepada sang pemimpinnya? Bagaimana seandainya Anda seorang santri dan
mendapat perlakuan demikian akrab dari kiai Anda? Atau Anda seorang anggota
partai dan mendapat perlakuan demikian dari pimpinan partai Anda? Atau
seandainya Anda rakyat biasa dan diperlakukan demikian oleh --tidak usah
terlalu jauh: gubernur atau presiden—bupati Anda?


Anda mungkin akan merasakan kebahagiaan yang tiada taranya; mungkin
kebahagiaan bercampur bangga; dan pasti Anda akan semakin mencintai pemimpin
Anda itu.


Sekarang pengandainya dibalik: seandainya Anda kiai atau, pimpinan partai,
atau bupati; apakah Anda ‘sampai hati’ bercanda dengan santri atau bawahan
Anda seperti yang dilakukan oleh panutan agung Anda, Rasulullah SAW itu?


Boleh jadi kesulitan utama yang dialami umumnya pemimpin, ialah
mempertahankan kemanusiaanya dan pandangannya terhadap manusia yang lain.
Biasanya, karena selalu dihormati sebagai pemimpin, orang pun menganggap
ataukah dirinya tidak lagi sebagai manusia biasa, atau orang lain sebagai
tidak begitu manusia.



***


Kharqaa’, perempuan berkulit hitam itu entah dari mana asalnya. Orang hanya
tahu bahwa ia seorang perempuan tua yang sehari-hari menyapu mesjid dan
membuang sampah. Seperti galibnya tukang sapu, tak banyak orang yang
memperhatikannya. Sampai suatu hari ketika Nabi Muhammad SAW tiba-tiba
bertanya kepada para sahabatnya, “Aku kok sudah lama tidak melihat Kharqaa’;
kemana gerangan perempuan itu?”


Seperti kaget beberapa sahabat menjawab: “Lho, Kharqaa’ sudah sebulan yang
lalu meninggal, ya Rasulullah.” Boleh jadi para sahabat menganggap kematian
Kharqaa’ tidak begitu penting hingga perlu memberitahukannya ’ kepada
Rasulullah SAW. Tapi ternyata Rasulullah SAW dengan nada menyesali,
bersabda: “Mengapa kalian tidak memberitahukannya kepadaku? Tunjukkan aku
dimana dia dikuburkan?”. Orang-orang pun menunjukkan kuburnya dan sang
pemimpin agung pun bersembahyang di atasnya, mendoakan perempuan tukang sapu
itu.


***
Nabi Muhammad SAW Anda anggap pemimpin apa saja, pemimpin formal kah;
pemimpin non formal; pemimpin agama; pemimpin masyarakat; atau pemimpin
Negara, Anda pasti akan sulit membayangkan bagaimana pemimpin seagung
beliau, masih memiliki perhatian yang begitu besar terhadap tukang sapu,
seperti kisah nyata yang saya ceritakan (berdasarkan beberapa hadis sahih)
di atas.


Tapi itulah pemimpin agung, Uswah hasanah kita Nabi Muhammad SAW.
Urusan-urusan besar tidak mampu membuatnya kehilangan perhatian terhadap
rakyatnya, yang paling jembel sekalipun.


***
Anas Ibn Malik yang sejak kecil mengabdikan diri sebagai pelayan Rasulullah
SAW bercerita: “Lebih Sembilan tahun aku menjadi pelayan Rasulullah SAW dan
selama itu, bila aku melakukan sesuatu, tidak pernah beliau bersabda,
‘Mengapa kau lakukan itu?’ Tidak pernah beliau mencelaku.”


“Pernah, ketika aku masih kanak-kanak, diutus Rasulullah SAW untuk sesuatu
urusan;” cerita Anas lagi, “Meski dalam hati aku berniat pergi melaksanakan
perintah beliau, tapi aku berkata, ‘Aku tidak akan pergi.’ Aku keluar rumah
hingga melewati anak-anak yang sedang bermain di pasar. Tiba-tiba Rasulullah
SAW memegang tengkukku dari belakang dan bersabda sambil tertawa, ‘Hai Anas
kecil, kau akan pergi 

[ppiindia] Gus Mus: Nabi Kasih Sayang

2010-02-24 Terurut Topik Ananto
Nabi Kasih Sayang

Oleh: KH. A. Mustofa Bisri


Benar-benar telah datang kepada kalian seorang Rasul dari kalangan kalian
sendiri, yang terasa berat baginya penderitaan kalian; penuh perhatian
terhadap kalian; dan terhadap orang-orang Mukmin, sangat pengasih lagi
penyayang ( Q.s. 9:128)



Nabi Muhammad SAW diutus Allah tiada lain untuk merahmati semesta alam (Q.s.
21:107). Maka tentulah bukan kebetulan bila ternyata Nabi Muhammad SAW dan
agama yang dibawanya merupakan rahmat. Merupakan kasih sayang bagi semesta
Alam.


Tentulah bukan kebetulan, bahkan hal yang wajar bahwa pembawa kasih saying
adalah seseorang yang pengasih dan penyayang. Siapapun yang mempelajari
Sirah Nabi SAW, akan menjumpai kisah-kisah kasih sayang Nabi Muhammad SAW,
sebagaimana siapapun yang mempelajari syariat agama akan dengan mudah
menemukan bukti hikmah-hikmah kasih sayang Islam.


Kasih sayang bisa dengan mudah Anda temui dalam kehidupan sehari-hari sang
Rasul SAW, baik sebagai bapak dan suami dalam lingkungan keluarga, sebagai
saudara di kalangan handai taulan, sebagai teman di kalangan sahabat,
sebagai guru di antara para murid, sebagai pemimpin di kalangan ummat,
bahkan sebagai manusia di tengah mahluk-mahluk Allah yang lain.


Dalam surat At-taubah ayat 128 yang terjemahannya dinukil di awal tulisan
ini, Allah menyifati nabi Muhammad SAW dengan beberapa sifat yang kesemuanya
merupakan penggambaran akan besarnya kasih sayang beliau. Dalam ayat itu
disebutkan bahwa Rasulullah SAW adalah orang yang 'aziezun alaihi
maa'anittum, yang merasakan betapa berat melihat penderitaan dan harieshun
'alaikum yang sangat mendambakan keselamatan kaumnya; dan raufun rahiem,
pengasih lagi penyayang terhadap orang-orang yang beriman.


Penderitaan kaumnya terasa berat sekali bagi Rasulullah SAW; baik
pedneritaan itu dialami di dunia maupun –apalagi- di akhirat. Oleh karena
itu Rasulullah SAW hariesh, penuh perhatian , dan sangat mendambakan
keselamatan kaumnya –ummat manusia- jangan sampai menderita. Dan hal ini
dapat dilihat dari sikap dan sepak terjang beliau dalam kehidupan dan
perjuangannya : bagaimana beliau menyantuni dan menganjurkan penyantunan
terhadap kaum dhu'afa; bagaimana beliau menegakkan dan menganjurkan
penegakan kebenaran dan keadilan; bagaimana beliau menghormati dan
menganjurkan penghormatan terhadap harkat dan martabat manusia; bagaimana
beliau berperingai dan menganjurkan untuk berperangai mulia (akhlaq
al-kariemah); dan bagaimana beliau tak henti-hentinya melakukan dan
menganjurkan amar ma'ruf nahi munkar dan seterusnya.


Khusus tentang amar ma'ruf nahi munkar, bahkan menjadi ciri Nabi dan juga
–diharapkan menjadi ciri- ummatnya. Amar ma'ruf nahi munkar, apabila
dicermati, kiranya memang merupakan pengejawantahan dari keinginan
keselamatan ummat manusia, agar tidak menderita, yang bersumber dari –dan
didorong oleh kasih sayang itu pula.


Memang, boleh jadi hanya orang yang mempunyai rasa kasih sayang dan memahami
arti sebenarnya dari kasih sayanglah yang mau dan menerima amar ma'ruf nahi
munkar. Amar ma'ruf nahi munkar hampir tidak bisa dibayangkan berjalan dan
apalagi membudaya dalam masyarakat yang tidak aling menyayangi dan
mengasihi.


Maka tidaklah mengherankan bahwa, sebagai pemimpin, Nabi Muhammad SAW sangat
ditaati, karena dan denga kasih sayang; bukan ditaati karena ditakuti dan
dengan kebencian atau keterpaksaan. Jadi, kasih sayang Allah yang mewujud
dalam firman-Nya – perintah dan larangan-Nya- melalui pribadinya yang
pengasih dan penyayang – ke dalam kehidupan ummat manusia. Atau boleh pula
dikatakan apabila Islam merupakan kasih sayang Allah, maka Nabi Muhammad SAW
merupakan bentuk konkret dari Islam itu sendiri. Maka tidak berlebihan
jika Sayyidatina Aisyah r.a ketika ditanya tentang Rasulullah SAW hanya
mengatakan Kaana khuluqul-Qur'an (Perilaku beliau adalah Qur'an).


Dan kaum muslimin yang berimanlah yang selanjutnya diharapkan meneruskan
membawa kasih sayang Ilahi itu kepada semesta alam. Bukankah Allah sendiri
berfirman kepada Nabi SAW Qul in kuntum tuhibbuun Allah fattabie'unnie
yuhbibkumullah… (Katakanlah, Jika kalian benar-benar mencintai Allah,
ikutilah jejakku; niscaya Allah mengasihi kalian dan mengampuni dosa-dosa
kalian. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang) ( Q.s. 3:31). Wallahu
a'lam. []



KH. A. Mustofa Bisri, Pengajar di Pondok Pesantren Taman Pelajar Raudlatut
Thalibin, Rembang, Jawa Tengah.


-- 
...menyembah yang maha esa,
menghormati yang lebih tua,
menyayangi yang lebih muda,
mengasihi sesama...


[Non-text portions of this message have been removed]





***
Berdikusi dg Santun  Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality  Shared Destiny. 
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia
***
__
Mohon 

[ppiindia] Gus Mus: Nabi Pembawa Kasih Tuhan

2010-02-22 Terurut Topik Ananto
Nabi Pembawa Kasih Tuhan

Oleh: KH. A Mustofa Bisri



Lelaki berwibawa itu membariskan anak-anak pamannya, Abbas, Abdullah,
Ubaidillah, dan Kutsair. Ia berkata kepada bocah-bocah itu, ”Ayo, siapa yang
lebih dulu mencapaiku, aku beri hadiah.”



Bocah-bocah itu dengan gembira berlarian, berlomba mendapatkan laki-laki
yang mereka cintai itu. Ada yang kemudian jatuh di dadanya, ada yang di
punggungnya. Lelaki yang tidak lain adalah pemimpin agung Nabi Muhammad SAW
itu pun memeluk dan menciumi mereka.



Ketika waktu salat tiba, Rasulullah SAW seperti biasa datang untuk mengimami
jamaah. Namun, kali ini, beliau datang dan salat dengan memanggul cucunya,
Umamah binti Abil ’Ash, di pundaknya. Pada saat rukuk, Umamah diletakkan dan
saat bangkit dari rukuk cucunya itu diangkat lagi.



Kisah Nabi



Zahir sedang berada di pasar Madinah ketika tiba-tiba seseorang memeluknya
kuat-kuat dari belakang. Tentu saja Zahir terkejut dan berusaha melepaskan
diri, katanya, ”Lepaskan aku! Siapa ini?”



Orang yang memeluknya tidak melepaskannya, justru berteriak, ”Siapa mau
membeli budak saya ini?” Begitu mendengar suaranya, Zahir sadar siapa orang
yang mengejutkannya itu. Bahkan, ia merapatkan punggungnya ke dada orang
yang memeluknya, sebelum kemudian mencium tangannya. Lalu, katanya riang,
”Lihatlah, ya, Rasulullah, ternyata saya tidak laku dijual.”



”Tidak, Zahir, di sisi Allah hargamu sangat tinggi,” sahut lelaki yang
memeluk dan ”menawarkan” dirinya seolah budak itu yang ternyata tidak lain
adalah Rasulullah, Muhammad SAW.



Zahir Ibn Haram dari suku Asyja’ adalah satu di antara sekian banyak orang
dusun yang sering datang berkunjung ke Madinah, sowan menghadap Kanjeng Nabi
Muhammad SAW.



Di perjalanan, rombongan berhenti untuk beristirahat. Ketika mereka
menyiapkan santapan, seseorang mengangkat tangan dan berkata, ”Aku yang
menyembelih kambingnya.”



”Aku yang mengulitinya!” kata yang lain. ”Aku yang memasak!” sahut yang lain
lagi. ”Kalau begitu, aku yang mencari kayu bakar!” kata pemimpin mereka,
Nabi Muhammad SAW. Orang- orang pun serentak berkata, ”Tak usah, ya,
Rasulullah, biar kami saja yang bekerja.”



”Aku tahu kalian bisa membereskan pekerjaan ini tanpa aku,” sergah Sang
Nabi, ”tetapi aku tidak ingin berbeda dari—istimewa melebihi—kalian. Allah
tidak suka melihat hambanya berbeda dari sahabat-sahabatnya.”



Pemimpin Agung



Dalam rangka memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW, sengaja saya nukilkan
penggalan-penggalan hadis. Hadis-hadis sahih semacam ini jarang sekali
dinukil, baik dalam ceramah keagamaan maupun dalam tulisan. Mungkin orang
menganggap hal- hal itu terlalu biasa dan kurang menarik. Padahal, pemeran
utama berbagai penggalan kisah kehidupan itu adalah sang pemimpin agung yang
nabi yang rasul, utusan Allah.



Pemeran utama berbagai cuplikan kisah itu adalah Kanjeng Nabi Muhammad SAW
yang oleh Michael H Hart, namanya ditempatkan dalam urutan pertama 100
manusia paling berpengaruh di dunia. Pemeran utama cuplikan-cuplikan kisah
itu adalah utusan Allah, Muhammad SAW, yang agamanya diikuti oleh mayoritas
bangsa ini. Pemimpin yang berhasil membangun masyarakat madani di Madinah.
Pemimpin yang mencintai dan dicintai umatnya. Pemimpin yang ditaati karena
dicintai dan bukan karena ditakuti.



Di dada dan punggung Pemimpin Agung itulah bocah-bocah, anak-anak pamannya,
bergelayutan dengan riang. Di pundak Pemimpin Agung itulah Umamah binti Abil
’Ash, cucunya, digendong dibawa mengimami salat. Pemimpin Agung itulah yang
bercanda dan menggoda salah seorang rakyatnya di pasar. Pemimpin Agung
itulah yang tidak mau diistimewakan oleh kawan- kawan rombongannya dan
meminta bagian pekerjaan juga seperti anggota rombongan yang lain.



Kasih sayang



Dari adegan-adegan sederhana itu, Anda pasti dapat membaca, antara lain,
kasih sayang dan kerendah-hatian Kanjeng Nabi Muhammad SAW. Kasih sayang dan
kerendah-hatian inilah yang menjadi faktor utama mengapa beliau amat
dicintai dan disayangi umatnya. Kasih sayang sudah menjadi bawaan Kanjeng
Nabi SAW.



Pernah Kanjeng Nabi SAW mencium cucunya, Hasan Ibn Ali, di hadapan tokoh
suku Tamim, Aqra’ Ibn Habis. Aqra’ berkomentar, ”Aku punya sepuluh anak dan
tak seorang pun pernah aku cium.” Kanjeng Nabi memandang Aqra” dan bersabda,
”Man laa yarhamu laa yurhamu.” ”Orang yang tidak menyayangi, tidak akan
disayangi.”



Kasih sayang bukan saja bawaan Rasulullah SAW dan merupakan sikap hidup
beliau, melainkan juga merupakan misi beliau; sesuai dengan yang difirmankan
Tuhannya dalam Al Quran (Q. 21: 107). Seperti nabi-nabi sebelumnya, Nabi
Muhammad SAW adalah pembawa kasih sayang Tuhan. Maka, mereka yang mengaku
pemimpin penerus risalah Nabi, tetapi tidak memiliki kasih sayang, akan
kesulitan bahkan juga menyulitkan orang lain.



Semoga selawat dan salam dilimpahkan kepada Kanjeng NabiMuhammad SAW.



KH. A. Mustofa Bisri, Pengajar di Pondok Pesantren Taman Pelajar Raudlatut
Thalibin, Rembang, Jawa Tengah.


-- 
...menyembah yang maha esa,
menghormati yang lebih tua,

[ppiindia] Gus Mus: Nasehat Hasan Al-Bashary

2010-02-21 Terurut Topik Ananto
Nasehat Hasan Al-Bashary

Oleh: KH. A. Mustofa Bisri



Begitu Umar Ibn Abdul Aziz –yang disebut-sebut sebagai mujaddid penghujung
abad I dari kalangan umaraa —diangkat sebagai khalifah, beliau mengirim
surat kepada imam Hasan al-Bashary– yang juga disebut-sebut sebagai salah
satu mujaddid penghujung abad I dari kalangan 'ulamaa. Dalam suratnya itu,
khalifah Umar meminta imam Hasan agar memerikan kriteria al-imaamul 'aadil,
penguasa atau pemimpin yang adil.



Imam Hasan pun menjawab dengan kalimat-kalimat yang indah, Ketahuilah,
wahai Amiral mukminin, bahwa Allah menjadikan al-imaamul 'aadil sebagai
penegak setiap yang doyong; pembasmi setiap kelaliman; pembaik setiap
kerusakan; penguat setiap yang lemah; pembela setiap yang dilalimi; tempat
berlindung setiap yang memerlukan pertolongan.



Al-imaamul 'aadil, wahai Amiral mukminin, bagaikan gembala yang bersikap
lembut kepada gembalaannya yang membawanya kepada tempat gembalaan yang
paling baik dan menjaganya jangan sampai merumput di tempat yang berbahaya;
menjaganya dari binatang buas dan melindunginya dari panas dan dingin.



Al-imaamul 'aadil, wahai Amiral mukminin, bagaikan seorang ayah yang
menyintai anaknya yang merawatnya ketika kecil dan mengajarnya hingga besar;
bekerja untuknya sepanjang hidupnya dan menabung bagi kepentingannya setelah
ia tiada. Al-imaamul 'aadil bagaikan seorang ibu yang belas kasih terhadap
anaknya; rela menanggung beban mengandung dan melahirkannya; mendidiknya
penuh kesabaran; menjaganya siang-malam; gembira bila anaknya sehat dan
sedih bila ada keluhan sakit darinya.



Al-imaamul 'aadil, wahai Amiral mukminin, adalah pengampu anak-anak yatim;
gudangnya orang-orang miskin yang merawat bocah-bocah mereka dan meransum
orang-orang tua mereka



Al-imaamul 'aadil, wahai Amiral mukminin, ibarat kalbu di antara
bagian-bagian tubuh; bagian-bagian itu akan baik selama ia baik dan akan
rusak apabila ia rusak.



Al-imaamul 'aadil, wahai Amiral mukminin, adalah orang yang berdiri antara
Allah dan hamba-hambaNya; mendengarkan firman Allah dan memperdengarkannya
kepada mereka, memandang kepada Allah dan memperlihatkan kepada mereka,
tunduk kepada Allah dan memimpin mereka.'



Maka, wahai Amiral mukminin, dalam kekuasaan yang diberikan Allah kepada
Anda, janganlah Anda seperti seorang budak yang diberi kepercayaan tuannya
untuk menjaga harta dan keluarganya lalu mengangkangi harta dan bertindak
sewenang-wenang terhadap keluarga tuannya itu, sehingga keluarganya menjadi
miskin dan hartanya terhambur-hamburkan.



…..



Sebenarnya surat itu masih panjang, namun yang dikemukakan disini kiranya
sudah cukup sebagai cermin bagi para pemimpin atau penguasa atau calon-calon
pemimpin atau penguasa.



Umar Ibn Abdul Aziz bukanlah presiden modern dari negara demokratis. Ia
adalah khalifah, penguasa negara yang menganut sistem kerajaan. Ia tidak
dipilih rakyat dari antara mereka, tapi dicomot dari lingkungan ningrat
istana. Karenanya, ia tentu saja sudah terbiasa dengan kemewahan hidup.
Kalau ketika 'hanya' menjadi keluarga istana saja, dia sudah bergelimang
kemewahan; maka saat menjadi khalifah –seandainya ia mau— kesempatan untuk
lebih bermewah-mewah lagi jelas sangat terbuka. Dia penguasa tunggal dan
kekuasaannya tidak terbatasi. Presiden negara demokratis yang kekuasaannya
tidak tak terbatas saja, kemewahannya kadang luar biasa.



Begitu diangkat menjadi khalifah, yang pertama dilakukan Umar Ibn Abdul
Aziz, bukan berkonsultasi kepada yang lain, tetapi kepada Hasan al-Bashary.
Seorang tokoh ulama yang mumpuni yang dijuluki Syeikhul Islam dan Sayyidut
Taabi'ien yang ketika wafat tahun 110 H tak ada seorang pun penduduk Bashrah
yang tak keluar melayatnya. Rahimahullah.



Al-Bashary, meski diminta oleh dan memberi nasihat kepada khalifah, ia
bukanlah semacam tokoh disini sekarang yang sering disebut pers sebagai
penasihat spiritual. Umumnya yang disebut penasihat spritual penguasa sejak
zaman Soekarno, tak lebih dari dukun atau paranormal yang sama sekali tak
mudheng tentang kehendak Allah dan persoalan negara. Karenanya
nasihat-nasihatnya belum pernah membawa kemaslahatan, bahkan sering kali
malah menambah kacau negeri ini saja.



Lihatlah penggalan nasihat Hasan al-Bashary di atas. Itulah nasihat
spiritual. Itulah nasihat ulama yang arif. Mana kini ada nasihat kepada
pemimpin atau penguasa seperti itu? Atau mana sekarang ada pemimpin atau
penguasa mau meminta nasihat kepada orang waras seperti itu? Kalau pun ada,
mana ada pemimpin atau penguasa yang mau mendengarkannya? Kalau pun ada mana
ada yang mau menjadikannya sebagai pedoman? Pemimpin atau penguasa sekarang
–satu dan lain hal karena terlampau sadar akan kelebihannya-- rata-rata
terlalu angkuh untuk menerima hidayah.



Umar Ibn Abdul Aziz yang raja, yang kekuasaannya tak terbatas itu, bukan
saja meminta dan mendengarkan nasihat Hasan al-Bashary, tapi benar-benar
menjadikannya sebagai pedoman. Baik sebagai pribadi maupun sebagai pemimpin
dan kepala negara. Kesederhanaan dan 

[ppiindia] Gus Mus: Ulama dan Kiai

2010-02-17 Terurut Topik Ananto
Ulama dan Kiai

Oleh: KH. A. Mustofa Bisri



Boleh jadi pengaruh dan penyerapan dari bahasa Arab ke dalam bahasa
Indonesia tak kalah banyak daripada sumbangan bahasa asing lain, terutama
bahasa Inggris. Kita melihat banyak sekali kosa kata kita yang merupakan
serapan dari -atau rakitan dengan bahan baku- bahasa Arab.



Contoh paling mencolok adalah istilah-istilah yang digunakan untuk
lembaga-lembaga legislatif kita. Majelis Permusyawaratan Rakyat, misalnya,
berasal dari kata Arab majlis, musyawarah, dan raa'iyah. Dewan Perwakilan
Rakyat dari diiwaan, wakiil, dan ra'iyah. Dewan Perwakilan Daerah pun
demikian. Kata daerah diambil dari daairah.


Bahasa Arab juga banyak menyerap bahasa asing, namun galibnya terbatas pada
istilah-istilah baru yang tak ada di Arab. Misalnya, kata sijarah dari
cigarette, telefuun dari telephone, telefeziyuun dari television, dan
dimukrathiyah dari demokrasi. Kata-kata seperti itu mereka sebut mu'arrab,
yang diarabkan.


Berbeda dari kata-kata mu'arrab yang umumnya terbatas pada istilah-istilah
baru yang memang tidak ada dalam kamus Arab. Kata-kata Arab yang
diindonesiakan sering mengalami pergesaran dari makna aslinya atau sengaja
diberi muatan makna lain karena tidak tahu atau karena kepentingan tertentu.



Ada beberapa istilah yang diambil dari bahasa Arab itu yang kemudian rancu
atau dirancukan orang dengan istilah asli dari sononya. Istilah ulama yang
sudah mengindonesia dirancukan dengan 'ulamaa yang masih asli Arab. Di Arab,
kata 'ulamaa adalah bentuk jamak dari 'aalim/aliim, berasal dari
'alima-ya'lamu yang berarti mengetahui. 'Ilmu = pengetahuan dan
'aalim/'aliim = orang yang berpengetahuan. Jadi, 'ulamaa adalah orang-orang
yang berpengetahuan.


Karena itu, dalam bahasa Arab, orang-orang semacam Isaac Newton hingga
Habibie kita yang ahli pesawat terbang termasuk golongan 'ulamaa. Jadi,
bukan hanya tokoh-tokoh yang seperti para sahabat dan para mujtahid yang
bukan saja ahli dalam ilmu ke-Ilahi-an, tapi juga dalam amaliah. Meskipun,
lazimnya istilah 'ulamaa memang dimaksudkan untuk yang terakhir ini (dan
yang sejenis itu pada zaman ini, tampaknya, stock-nya sudah habis).


Setelah ditaklukkan (ini istilah Rendra) ke dalam bahasa Indonesia menjadi
ulama, bentuknya berubah tak lagi jamak, tapi mufrad, satu. Jadi, sebagai
orang Indonesia , Anda bisa dan sah, misalnya, mengatakan Seorang ulama
besar atau Wahai para ulama!. Ulama dalam bahasa Indonesia memang berarti
seorang yang ahli dalam pengetahuan agama Islam (lihat Kamus Besar Bahasa
Indonesia). Kita tahu, tidak semua amaliah orang yang ahli dalam sesuatu
bidang pengetahuan bersangkut-paut dengan pengetahuannya. Ada ahli hukum
yang tidak menghargai hukum, ada dokter hewan yang tidak pernah menyentuh
hewan, ada ahli jiwa yang sakit jiwa, dan sebagainya.


Demikian pula dengan ulama, ahli agama Islam, juga ada -kalau tidak banyak-
yang amaliahnya tidak atau kurang Islami. Apalagi, kita tahu sendiri,
pengetahuan agama di kita masih belum terlalu beranjak dari simbol-simbol
belaka (Majelis Ulama Indonesia saja masih lebih sibuk ngurusi label halal
dan logo kaset musik daripada ikut ngurusi koruptor serta tindakan arogansi,
misalnya. Padahal, korupsi jauh lebih menjijikkan daripada minyak babi dan
arogansi. Atau, takabur jauh lebih gawat akibatnya daripada logo kaset).


Yang berbeda dari istilah ulama adalah istilah kiai. Istilah kiai adalah
istilah budaya (Jawa), bukan terjemahan dari ulama. Orang Jawa mempunyai
kebiasaan menyebut kiai kepada apa atau siapa saja yang mereka hormati,
bahkan mereka keramatkan. Kiai Nagasasra dan Sabuk Inten adalah benda. Kiai
Slamet adalah hewan. Para pendiri NU yang umumnya dari Jawa menamakan
jam'iyah mereka dengan Nahdlatul Ulama. Saya kira, itu karena mereka tidak
menemukan padanan kata kiai, lalu mengambil yang agak mirip. Karena pada
waktu itu peran kiai -yang relatif cukup menguasai ajaran Nabi Muhammad SAW-
memang sejauh mungkin meniru peran para sahabat, tabi'iin, dan para
mujtahid, terutama di dalam ri'aayatul ummah, mengawani umat; melihat umat
dengan kacamata kasih saying. Menolong mereka yang perlu ditolong, mengajar
mereka yang tidak tahu, mengingatkan mereka yang lupa, dan seterusnya. Dan,
itu mereka lakukan tanpa pamrih, kecuali rida Allah.


Jadi, kiai -yang kemudian disinonimkan dengan ulama- adalah istilah yang
diberikan masyarakat atau menurut istilah Arief Budiman: produk masyarakat.
Dalam kehidupan bermasyarakat, istilah itu semakin meruwetkan ketika
kemudian masyarakat tidak lagi bisa memonopoli dalam memproduksi kiai.
Kata Arief Budiman, pemerintah juga bisa memproduksi kiai/ulama. Pers juga
bisa. Dan, saya menambahkan, ada kiai/ulama produk partai dan produk
sendiri. Yang terakhir itu cukup dengan modal -selain aksesori seperti
kopiah, serban, dan tasbih- punya sedikit kemampuan akting, punya hafalan
beberapa ayat dan satu-dua hadis, sukyur sedikit-sedikit bisa ndukun. []



KH. A. Mustofa Bisri, Pengajar di Pondok Pesantren Taman Pelajar Raudlatut
Thalibin, 

[ppiindia] Gus Mus: Kisah Nyata atau Dongeng?

2010-02-16 Terurut Topik Ananto
Kisah Nyata atau Dongeng?

Oleh: KH. A. Mustofa Bisri



Saya akan menceritakan beberapa kisah nyata dan saya jamin Anda akan
merasakannnya sebagai sekedar dongeng. Bukan karena Anda tidak mempercayai
saya atau sumber-sumber dari mana saya memperoleh kisah-kisah nyata itu;
namun terutama karena kita hidup di zaman yang jauh lebih absurd dari
dongeng. Atau karena kehidupan kita sudah sedemikian jauh meninggalkan
norma-norma nyata dalam kehidupan kemanusiaan.



Baiklah saya mulai saja. Anda sudah siap mengikuti kisah-kisah saya? Inilah:




1.

Suatu hari ada seorang tua miskin datang kepada Syeikh –kalau sekarang
mungkin dipanggil kiai-- Sa'id bin Salim, hendak menyampaikan sesuatu
keperluan meminta tolong kepada tokoh masyarakat yang disegani itu. Seperti
laiknya orang yang sudah tua renta, selama berbicara mengutarakan hajatnya,
si orang tua miskin itu bertelekan pada tongkat penopang ketuaannya. Dan
tanpa disadari, ujung tongkatnya itu menghunjam pada kaki syeikh Sa'id
hingga berdarah-darah. Seperti tidak merasakan apa-apa, Syiekh Sa'id terus
mendengarkan dengan penuh perhatian keluhan wong cilik itu.


Demikianlah; ketika orang tua itu sudah mendapatkan dari Syeikh apa yang ia
perlukan dan pergi meninggalkan majlis, orang-orang yang dari tadi memendam
keheranan pun serta-merta bertanya kepada Syeikh Sa'id: Kenapa Syeikh diam
saja, tidak menegur, ketika orang tua tadi menghunjamkan tongkatnya di kaki
Syeikh?


Kalian kan tahu sendiri, dia datang kepadaku untuk menyampaikan
keperluannya; jawab Syeikh Sa'id sambil tersenyum, Kalau aku mengaduh atau
apalagi menegurnya, aku khawatir dia akan merasa bersalah dan tidak jadi
menyampaikan hajatnya.


Lihatlah. Bukankah kisah di atas bagaikan dongeng saja?! Mana ada pemimpin
atau tokoh masyarakat yang begitu tinggi menempatkan keperluan orang yang
memerlukan bantuan dalam perhatiannya? Kalau pun ada, mungkin untuk
menemukannya bagaikan mencari jarum di tumpukan jerami sekarang ini.


2.

Syeikh Hasan Al-Bashari, siapa yang tak mengenal tokoh ulama dan sufi di
penghujung abad pertama ini? Beliau tinggal bertetangga dengan seorang
Nasrani. Apartemen si Nasrani di atas dan beliau di bawah. Bertahun-tahun
mereka bertetangga, belum pernah si Nasrani datang bertandang ke apartemen
Syeikh Hasan. Baru ketika Syeikh Hasan jatuh sakit, si Nasrani datang
menjenguk.


Ketika menjenguk itulah, si Nasrani baru tahu betapa sederhana kehidupan
Syeikh Hasan yang sangat terkenal kebesarannya itu. Tapi yang lebih menarik
perhatian si Nasrani adalah adanya sebuah baskom berisi air keruh yang
terletak di dekat balai-balai tempat tidur Syeikh Hasan. Apalagi ketika ada
tetesan air jatuh tepat dari atas baskom. Spontan si Nasrani teringat kamar
mandinya di atas. Dengan ragu-ragu si Nasrani pun bertanya: Syeikh, ini
baskom apa?'


Ah baskom itu, sekedar penampung tiris; jawab Syeikh wajar-wajar saja,
Setiap kali penuh baru saya buang.


Sudah berapa lama Syeikh melakukan ini? tanya si Nasrani lagi dengan suara
gemetar, maksud saya menampung tiris dari atas ini?


Ya, kurang-lebih sudah dua puluh tahun; jawab Syeikh kalem, jadi sudah
terbiasa.


Mendengar itu, si Nasrani langsung menyatakan syahadat. Mengakui Tuhan dan
Rasul-nya Syeikh Hasan Al-Bashari, Allah swt dan Nabi Muhammad saw.


Seperti dongeng bukan? Dimana kini Anda bisa menjumpai orang yang menjunjung
tinggi ajaran menghormati tetangga seperti Hasan Al-Bashari itu?


3.

Datang seseorang melarat kepada sang pemimpin mengeluhkan kondisinya yang
sangat lapar. Sang pemimpin pun bertanya kepada isterinya kalau-kalau ada
sesuatu yang dapat disuguhkan kepada tamunya. Ternyata di rumah sang
pemimpin yang ada hanya air. Sang pemimpin pun bertanya kepada orang-orang
di sekelilingnya, Siapa yang bersedia menjamu tamuku ini?


Saya; kata seseorang. Lalu orang ini pun segera pulang ke rumahnya sendiri
membawa tamunya.


Saya membawa tamunya pemimpin kita, tolong sediakan makanan untuk
menjamunya! katanya kepada isterinya.


Wah, sudah tidak ada makanan lagi, kecuali persiadaan untuk anak-anak
kita; bisik sang isteri.


Sibukkan mereka; kata suaminya lirih, kalau datang waktunya makan,
usahakan mereka tidur. Nanti kalau si tamu akan masuk untuk makan, padamkan
lampu dan kita pura-pura ikut makan, ya!


Demikianlah keluarga itu menjalankan skenario kepala rumah tangganya. Dan
mereka menahan lapar mereka sendiri hingga pagi.


Esok harinya sebelum laporan, sang pemimpin yang tidak lain adalah
Rasulullah saw, sudah menyambut kepala rumah tangga –seorang shahabat
Anshor-- itu dengan tersenyum, sabdanya: Allah takjub menyaksikan perlakuan
kalian berdua terhadap tamu kalian semalan.


Anda tahu kisah ini bukan dongeng, karena ini hadis muttafaq 'alaih yang
bersumber dari shahabat Abu Hurairah r.a. Tapi tetap saja kedengarannya
seperti dongeng, bukan ?!


Tiga kisah itu hanyalah sekedar contoh, yang lainnya masih banyak lagi. Anda
bisa dengan mudah menjumpainya di kitab-kitab Anda, di kitab suci Al-Quran,
di kitab-kitab Hadis, dan kitab-kitab 

[ppiindia] Gus Mus: Tawassuth dan Tatharruf

2010-02-15 Terurut Topik Ananto
Tawassuth dan Tatharruf

Oleh: KH. A. Mustofa Bisri


Sudah selayaknya umat Islam menjadi ummatan wasatha, umat tengah-tengah,
sebagaimana diisyaratkan kitab suci mereka Al-Quran Q. 2: 143). Rasul
mereka, Nabi Muhammad saw tidak hanya mengajarkan tapi juga senantiasa
mencotohkan sikap dan perilaku tengah-tengah. Tawassuth wal I'tidal.



Sikap Tawassuth wal I'tidal, tengah-tengah dan jejeg akan mempermudah kita
untuk berlaku adil dan istiqamah, dua hal sangat mulia sekaligus sulit yang
sering diseru-tegaskan Al-Quran. Untuk menjadi orang yang adil dan istiqamah
akan lebih sulit lagi –kalau tidak mustahil-- bagi mereka yang tidak
membiasakan sikap dan perilaku tawassuth wal i'tidal.


Kebalikan dari tawassuth wal i'tidal ialah tatharruf, ekstrim,
berlebih-lebihan. Dari segi pengerahan energi, tatharruf kiranya jauh lebih
banyak memerlukan energi dibanding tawassuth; seperti halnya meninggalkan
maksiat tentu lebih tidak ribet mengerahkan energi katimbang melakukan
maksiat. Hidup sederhana alias tawassuth jauh lebih sederhana katimbang
hidup mewah, berlebih-lebihan.


Tapi entah mengapa manusia justru lebih suka yang ribet dan sulit yang
memerlukan banyak mengeluarkan energi dan beresiko, katimbang yang gampang
dan aman. Yang halal, misalnya, begitu banyaknya dibanding yang haram, tapi
orang cenderung mencari yang haram yang jelas beresiko.Jangan-jangan ini
'perangai turunan'. Segala yang ada di sorga dihalalkan untuk Bapak Adam dan
ibu Hawa dan hanya satu yang diharamkan, lho kok beliau-beliau tertarik
kepada yang satu itu.


Manusia juga cenderung bersikap tatharruf dari pada tawassuth. Padahal
tatharruf mempunyai resiko yang sering kali sangat berat dan parah.
Makan-minum berlebihan, beresiko sakit; senang dan benci berlebihan,
beresiko tidak bisa adil dan obyektif; menyenangi dunia berlebihan, beresiko
melupakan akherat; mengagumi pendapat sendiri, beresiko ujub dan takabbur;
bahkan ibadah yang berlebihan, beresiko bosan dan tidak bisa istiqamah.


Celakanya lagi, dunia sekarang ini sepertinya 'dikuasai' oleh dua 'ideologi'
berlawanan yang sama-sama tatharruf, ibarat hitam dan putih. Yang satu
diwakili oleh George W. Bush dan satunya lagi oleh Osama bin Laden.
Masing-masing merasa paling benar dan menganggap yang lain mutlak salah.
Karena masing-masing merasa paling benar, maka dalil mereka pun sama: Laisa
waraa-al haqqi illal baathil, di balik yang benar hanya ada yang salah. Yang
benar adalah kami dan yang salah adalah mereka. Dan yang salah harus
dibasmi. Bush bilang, siapa yang tak ikut Amerika adalah teroris dan harus
dihancurkan. Sementara Osama menganggap siapa yang tidak memusuhi Amerika
adalah jahannam yang mesti dibom. Masing-masing pun memperlihatkan
keganasannya kepada yang lain. Dan sikap tatharruf seperti ini, rupanya juga
sudah menjalar di negeri kita. Resiko dari ini, Anda sendiri dapat ikut
merasakannya.


Apakah itu merupakan bagian dari azab Allah kepada manusia akhir zaman ini?
Soalnya seperti disebutkan dalam Al-Quran, ada model siksa yang berupa: …
yalbisakum syiyaa-an wayudziiqa ba'dhakum ba'sa ba'dh.., mengacaukan
kalian dalam kelompok-kelompok fanatik yang berseberangan lalu mencicipkan
keganasan sebagian kalian kepada sebagian yang lain.. (Q. 6: 65)


Waba'du; dalam dunia yang seperti ini, bukankah sangat relevan apabila kita
kembali ke MataAir, kepada ajaran dan contoh agung kita Nabi Muhammad SAW
bagi mengembangkan sikap dan perilaku tawassuth wal I'tidaal sebagai ummatan
wasathaa dalam upaya rahmatan lil'aalamiin?


Wallahu a'lam.



KH. A. Mustofa Bisri, Pengajar di Pondok Pesantren Taman Pelajar Raudlatut
Thalibin, Rembang, Jawa Tengah.


-- 
...menyembah yang maha esa,
menghormati yang lebih tua,
menyayangi yang lebih muda,
mengasihi sesama...


[Non-text portions of this message have been removed]





***
Berdikusi dg Santun  Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality  Shared Destiny. 
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia
***
__
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Reading only, http://ppi-india.blogspot.com 
4. Satu email perhari: ppiindia-dig...@yahoogroups.com
5. No-email/web only: ppiindia-nom...@yahoogroups.com
6. kembali menerima email: ppiindia-nor...@yahoogroups.com
Yahoo! Groups Links

* To visit your group on the web, go to:
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

* Your email settings:
Individual Email | Traditional

* To change settings online go to:
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/join
(Yahoo! ID required)

* To change settings via email:
ppiindia-dig...@yahoogroups.com 
ppiindia-fullfeatu...@yahoogroups.com

* To 

[ppiindia] Gus Mus: Fenomena Gus Dur

2010-02-08 Terurut Topik Ananto
[Senin, 08 Februari 2010]

Fenomena Gus Dur

Oleh: KH. A. Mustofa Bisri



KETIKA presiden ke-35 Amerika Serikat John F. Kennedy atau JFK (1917-1963 M)
yang nasibnya banyak mirip dengan presiden pendahulunya, Abraham Lincoln,
meninggal terbunuh pada 22 November 1963, dunia ikut berduka.
Maklum, JFK merupakan presiden negara adikuasa. Dia juga dikenal sebagai
presiden Amerika yang berani, mempunyai pandangan ke depan, dan menjanjikan
perubahan dunia. Namun, meski saat pemakamannya banyak sekali yang hadir,
masih terhitung tidak seberapa bila dibandingkan dengan saat pemakaman
Presiden Republik Mesir Gamal Abdel Nasser (1918-1970).


Presiden bertubuh raksasa yang mengaku 'murid'-nya presiden kita Bung Karno
itu benar-benar orang yang tahu saat harus meninggal. Setelah pertemuan
tingkat tinggi yang membahas berbagai perbedaan pendapat di antara beberapa
kepala negara di Kairo, Gamal sebagai tuan rumah mengantar satu per satu
tamu-tamunya kembali ke negara masing-masing. Saya masih ingat, yang
terakhir diantar ke bandara ialah Amir Shabah dari Kuwait. Setelah itu radio
dan TV Mesir berhenti menyiarkan berita.


Semua hanya menyiarkan bacaan Alquran. Ternyata presiden yang dianggap
paling berjasa mendamaikan Raja Husein dari Jordan dengan Raja Faisal dari
Arab Saudi dan Yasser Arafat dari Palestina itu dipanggil ke rahmatullah
setelah pulang dari bandara mengantarkan Amir Sabah. Besoknya, kepala-kepala
negara yang dilepas Gamal sebelumnya itu berdatangan kembali. Kali ini untuk
memberikan penghormatan terakhir kepada presiden yang mereka hormati itu.


Maka pada waktu itu dunia -termasuk saya yang langsung- menyaksikan
pemakaman paling akbar dalam sejarah modern. The Guinness Book of Records
memperkirakan pelayat Presiden Gamal Abdel Nasser mencapai 4 juta dan
menetapkan sebagai pemakaman dengan pelayat terbesar.


Presiden pertama kita Bung Karno, andai tidak dizalimi oleh pemerintah Orde
Baru yang menggantikannya, mungkin pemakamannya tidak kalah akbar daripada
pemakaman 'murid'-nya dari Mesir itu. Kepopuleran Bung Karno di dunia tidak
kalah dari Gamal. Hanya, Gamal pada saat wafat sedang berada dalam puncak
kepopuleran. Kalau di negerinya sendiri, Bung Karno waktu itu kurang
dihargai. Pemakamannya hanya ala kadarnya. Sedangkan Gamal di Mesir -yang
saya tahu- sangat dihormati oleh pemimpin-pemimpin Mesir dan dicintai
rakyatnya. Mesir berkabung tujuh hari atas kemangkatan Bung Karno. Beberapa
media massa menulis tentang presiden pertama kita itu, seingat saya, sampai
15 hari.


Waba'du, presiden kita keempat, Gus Dur alias KH Dr Abdurrahman Wahid
Ad-Dakhil (1940-2009) sudah '40 hari' meninggalkan kita. Presiden yang
pengaturan pemakamannya jadi 'rebutan' antara keluarga dan protokol negara
itu, dilepas menuju ke haribaan Tuhannya oleh presiden, petinggi-petinggi
negara, para kiai, dan ratusan ribu warga masyarakat. Pers dunia tidak hanya
memberitakan kewafatannya, tapi juga menulis pribadi dan keistimewaannya.
Majalah kenamaan, The Economics, bahkan menceritakan kembali joke-joke Gus
Dur yang menertawakan diri sendiri.


Seolah-olah orang tidak puas memberikan penghormatan terakhir kepada Gus Dur
saat dimakamkan, berbagai kelompok masyarakat mengadakan acara-acara khusus
untuk mengenang presiden yang dimakzulkan oleh para politisi -yang dulu
mendukung pengangkatannya- itu. Ada Seribu Lilin untuk Gus Dur. Ada berdoa
bersama untuk Gus Dur yang diikuti pimpinan berbagai agama dan kepercayaan.
Ada beberapa komunitas etnis dan agama yang masing-masing menyelenggarakan
acara khusus untuk menghormati almarhum. Di makamnya sendiri di Tebuireng,
setiap hari hingga kini rombongan masyarakat dari berbagai pelosok tanah
air, bahkan juga dari luar negeri, masih terus berdatangan.


Khusus dalam rangka 40 hari wafat presiden rakyat itu, acara-acara mengenang
kiai unik tersebut digelar di mana-mana. Dalam rangka itu, saya sendiri
mendapat undangan tidak kurang dari sembilan panitia dari berbagai kota di
tanah air. Tidak hanya berbentuk doa bersama atau tahlilan dan pengajian,
tapi ada pula yang dikemas dalam acara seminar, orasi budaya, kesenian,
tirakatan, dan sebagainya. Seniman serbabisa Slamet Gundono malah
menyelenggarakan acara budaya sehari semalam di Solo dengan tidak
ketinggalan menggelar lakon Kuncung Semar. Studio Mendut Magelang berencana
mengadakan pameran patung Gus Dur. Masyarakat Pati lain lagi, rencananya
mengadakan pawai keliling sebelum acara puncak di alun-alun Pati.


Melihat fenomena itu, sampai ada kiai sepuh yang menyatakan bahwa mulai Nabi
Adam belum pernah ada manusia yang diperlakukan seperti Gus Dur. Menurut
saya, fenomena ini tidak hanya patut masuk Muri-nya Jaya Suprana, tapi
sangat layak masuk Guinness Book of Records.


Demikianlah, karena Gus Dur menghargai keberagaman, dia pun dihargai oleh
berbagai ragam manusia, terutama yang menerima keberagaman, meskipun pasti
ada -terutama dari kalangan mereka yang tidak menyukai keberagaman- yang
tidak menghargai bahkan merendahkannya. Dan akan hal 

[ppiindia] Gus Mus: Mata Air

2010-02-07 Terurut Topik Ananto
Mata Air

Oleh: KH. A. Mustofa Bisri



Jarak waktu kehidupan kita sekarang ini dengan kehidupan pemimpin agung kita
Rasulullah SAW sudah mendekati 15 abad. Ibarat air sungai, kita sudah sangat
jauh dari mata air. Boleh jadi sudah mendekati muara. Maka air sungai pun
sudah semakin keruh, nyaris tak terlihat lagi warnanya. Tinggal namanya
saja.



Berbaur dengan limbah nilai-nilai baru yang dikemas begitu menarik oleh
kehidupan serba materi yang mendominasi dunia dewasa ini, ajaran dan
keteladanan Rasulullah SAW sering tak jelas lagi. Kalau pun tampak,
kebanyakan sekedar dagingnya belaka. Peringatan-peringatan Maulid Nabi yang
digelar dalam kemas yang begitu-begitu saja dengan isi yang kurang lebih
permanen dari Rabi'ul Awal ke Rabi'ul Awal, tak cukup berarti di sela-sela
derasnya banjir 'pengajian lain' yang lebih menggiurkan yang secara rutin
dan tertib melanda rumah-rumah.



Setiap kali kita menyebut suatu perangai atau perilaku pemimpin agung kita
Muhammad SAW, kita hanya terkagum-kagum seperti mendengar dongeng nan indah.
Apalagi di zaman dimana kebanyakan pemimpin tidak lagi mecerminkan sosok
pemimpin yang pantas disebut pemimpin, pemimpin yang membantu memudahkan
orang menghormati dan meneladaninya. Mereka yang terlanjur disebut pemimpin
dewasa ini, bila diingatkan akan keagungan Rasulullah SAW, mungkin akan
berdalih, Itu kan Nabi pemimpin agung yang mendapat wahyu Ilahi, mana
mungkin kami bisa menirunya. Lagi pula kalian sebagai umat juga tidak
seperti para shahabat Nabi.



Seperti juga air sungai yang masih jernih ketika baru saja meninggalkan
mataairnya, para pemimpin salaf masih dapat dengan jelas kita lihat benang
merah yang menghubungkan mereka dengan kepemimpinan Rasulullah SAW. Aroma
keharuman akhlak mereka masih anduk kesemerbakan  uswah hasanah-nya. Mereka
yang tidak menangi Nabi Muhammad SAW dan masih sempat melihat shahabat Abu
Bakar Shiddiq, misalnya, masih dapat dengan jelas melihat kelembutan;
kasihsayang; dan kearifan kenabian melalui pribadi khalifah pertamanya ini.
Mereka yang tidak menangi Nabi Muhammad SAW dan masih sempat melihat
shahabat Umar Ibn Khatthab, masih dapat dengan jelas menyaksikan
kesederhanaan; kedemokratan; dan keadilan kenabian melalui pribadi
Amirulmukminien ini. Mereka yang tidak menangi Nabi Muhammad SAW dan masih
sempat melihat shahabat Utman Ibn 'Affan, masih dapat dengan jelas
merasakan; kesantunan; kedermawanan; dan keikhlasan kenabian melalui pribadi
Dzun Nurain ini. Mereka yang tidak menangi Nabi Muhammad SAW dan masih
sempat mengenal shahabat 'Ali Ibn Abi Thalib, masih dapat dengan jelas
menghayati keilmuan; kezuhudan; dan keberanian kenabian melalui pribadi
Babul Ilmi ini. Jika mau, Anda bisa melanjutkan sendiri dengan contoh-contoh
agung lainnya seperti Tholhah Ibn 'Ubaidillah; Zubeir Ibn 'Awwam;
'Abdurrahman Ibn 'Auf; Sa'd Ibn Abi Waqqash; Sa'id Ibn Zaid; Abu 'Ubaidah
Ibn Jarrah dan masih banyak lagi dari para pemimpin salaf -- radhiaLlahu
'anhum ajmaien-- yang meneruskan tradisi Nabi: menebar kasihsayang. Rahmatan
lil 'aalamien!



Kalau mereka terlalu jauh, Anda masih dapat mencari-cari dari
teladan-teladan mulia yang datang belakangan, seperti khalifah Umar Ibn
Abdul Aziez; imam Hasan Bashari; imam Abu Hanifah; imam Malik, imam Syafii;
imam Ahmad; imam Juneid; imam Ghazali; syeih Syadzily; syeikh Abdul Qadir
Jailani; dlsb. Atau yang lebih belakangan lagi: Hadlratussyeikh Hasyim
Asy'ari …hingga Kiai Abdu Hamid Pasuruan. RahimahumuLlhu ajma'ien.



Setiap bulan Rabi'ul Awal, memang banyak di antara kita yang sengaja
mendatangi tempat dimana 'percik-percik' kebeningan mata air coba
dikemukakan. Sekilas-sekilas kemilau kejernihannya tampak oleh kita; namun
belum sempat kita menyerap kesegarannya, sampah-sampah yang membanjiri
sungai sudah melanda kita.



Gemerlap sampah-sampah yang deras itu begitu canggih menutupi sisa-sisa air
mata air, hingga kita tak lagi dapat atau sempat membedakan mana yang warna
sampah dan mana yang warna air. Kekeruhan yang sempurna. Masya Allah!



Meratapi nasib saja tak ada gunannya. Kita yang berada di hilir ini masih
bisa menapis dan menyaring untuk mendapatkan air yang bersih. Apalagi zaman
sekarang menyediakan berbagai fasilitas canggih untuk itu. Tinggal kita.
Maukah kita menyempatkan diri melakukan penapisan dan penyaringan itu, atau
bahkan mau bersusah payah naik ke hulu, mencari mata air. Ataukah kita masih
asyik dan sibuk dengan sampah-sampah limbah hingga tak merasa perlu dengan
air jernih nan bersih?



KH. A. Mustofa Bisri, Pengajar di Pondok Pesantren Taman Pelajar Raudlatut
Thalibin, Rembang, Jawa Tengah.


-- 
...menyembah yang maha esa,
menghormati yang lebih tua,
menyayangi yang lebih muda,
mengasihi sesama...


[Non-text portions of this message have been removed]





***
Berdikusi dg Santun  Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality  Shared Destiny. 

[ppiindia] Gus Mus: Pesona

2010-01-04 Terurut Topik Ananto
PESONA
26 Desember 2009 00:55:45

Oleh: KH. A. Mustofa Bisri


di antara seribu malam
inikah malam kita

kulihat semua bintang
menjelma purnama
dalam langit cahaya
tiada tara benderangnya

lalu semuanya tiada
semuanya lenyap
dalam senyap
semesta fana

tiba-tiba ya Ilahi
silau aku
oleh kilas
wajah
Mu
yang menderas
dalam takjubku

dan aku pun
tak ingin
yang lain
tak ingin yang lain
hanya Kau
dimana
Kau?
kemana
Kau?

Akhir Ramadan 1430

KH. A. Mustofa Bisri, Pengajar di Pondok Pesantren Taman Pelajar Raudlatut
Thalibin, Rembang, Jawa Tengah.


[Non-text portions of this message have been removed]



[ppiindia] Gus Mus: Kitab dan Buku

2009-12-22 Terurut Topik Ananto
Kitab dan Buku

15 Desember 2009 11:28:54

Oleh: KH. A. Mustofa Bisri



Mungkin karena banyaknya hal-hal aneh di negeri ini, maka orang seperti
tidak merasa aneh lagi dengan adanya penggunaan istilah-istilah yang
sebenarnya aneh. Di negeri ini, misalnya, ada istilah sekolah dan madrasah
yang pengertiannya setali tiga wang. Maka lucu sekali ketika ada orang
mengatakan, “Anak saya sekolah di madrasah anu.”



Anehnya lagi, selaras dengan hal tersebut, di negeri ini di samping ada toko
buku, ada pula toko kitab. Orang “sekolahan” kalau mencari buku di toko
buku; sementara yang “madrasahan” mencarinya di toko kitab. Toko buku
seperti Gunung Agung, Gramedia, dsb, ketika itu, hanya menjual buku-buku
yang bertulisan Latin; sementara yang ada tulisan Arabnya, toko
kitablah–seperti Toha Putra, Menara Kudus, Salim Nabhan, dsb.-- yang
menjualnya.


Apalagi “kitab kuning”, jangan harap Anda menemukannya di toko buku.
Terjemahan-terjemahannya saja pun hanya dijual di toko kitab; karena
biasanya terjemahan kitab-kitab kuning yang diterjemahkan tokoh-tokoh
pesantren itu pun selalu ada tulisan Arabnya.


Demikianlah; seiring dengan pikiran salah kaprah tentang adanya dikotomi
ilmu agama dan ilmu umum, maka madrasah (dan pesantren) dianggap tempat
belajar agama dan kitab yang dijual di toko kitab dianggap bacaan agama.
Sedangkan sekolah dianggap tempat belajar umum dan buku yang dijual di toko
buku dianggap sebagai bacaan umum.


Baru belakangan--dugaan saya sejak orang-orang Barat menerjemahkan
kitab-kitab bahasa Arab seperti kitab-kitabnya Hasan Banna, Sayyid Quthub,
dan Mauddudi, dan menarik perhatian “Muslim-muslim kota”-- toko-toko buku
seperti Gramedia mulai menjual “kitab-kitab”; terutama kitab-kitab
terjemahan “bacaan agama”. Kebanyakan “kitab-kitab” yang dijual di toko buku
itu bukanlah kitab-kitab yang biasa dijual di toko kitab. Juga umumnya
“kitab-kitab” baru yang mulai dijual di toko buku itu adalah terjemahan dari
bahasa Barat utamanya bahasa Inggris; tidak seperti kitab-kitab yang selama
ini dijual di toko kitab.


Boleh jadi, ketertarikan orang Barat terhadap kitab-kitab para tokoh semisal
Hasan Banna (1906-1949), Sayyid Quthub (1906-1966), dan Mauddudi (1903-1979)
itu, ada kaitannya dengan gerakan-gerakan militan yang mulai merebak di
dunia. Sementara orang-orang kota di kita, umumnya dari kampus-kampus,
tertarik menerjemahkan kitab-kitab tersebut mungkin karena merasa cocok.
Orang-orang kotalah yang galibnya paling bisa merasakan ketertindasan rezim
Suharto. Sehingga ketika mereka membaca kitab-kitab karangan para tokoh yang
tertindas itu (Hasan Al-Banna, pendiri Al-Ikhwan Al-Muslimiin, ditembak,
Sayyid Quthub digantung setelah lama mendekam di penjara rezim Jamal Abdun
Nasser, dan Al-Maududi nyaris–sudah divonis-- hukuman mati tahun 1953, batal
karena protes keras dari dunia Islam).


Maka sekarang ini, bila Anda masuk ke toko buku, Anda akan menjumpai
rak-raknya yang penuh dengan “kitab” dan “bacaan agama”; termasuk buku-buku
terjemahan dari kitab-kitab kuning.

Waba’du; sengaja saya menyebut nama Hasan Banna, Sayyid Quthub, dan Maududi
ketika berbicara tentang “kitab-kitab” yang mulai menyerbu toko-toko buku,
karena saya perhatikan seperti ada korelasi antara masuknya pikiran-pikiran
para tokoh tertindas tersebut dengan munculnya semangat keberagamaan yang
menyala-nyala terutama di kota-kota dan kemudian munculnya paham Islam yang
garis keras (termasuk yang “super keras” yang dianut para teroris). Hal ini
mengingatkan kepada pikiran-pikiran para tokoh generasi sebelumnya semacam
Jamaluddin Afghani (1838-1897) dan Muhammad Abduh (1849-1905) yang
mempengaruhi dunia Islam pada zamannya. Bahkan, sampai sekarang pengaruhnya
masih terasa. []


KH. A. Mustofa Bisri, Pengajar di Pondok Pesantren Taman Pelajar Raudlatut
Thalibin, Rembang, Jawa Tengah.


[Non-text portions of this message have been removed]





***
Berdikusi dg Santun  Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality  Shared Destiny. 
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia
***
__
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Reading only, http://ppi-india.blogspot.com 
4. Satu email perhari: ppiindia-dig...@yahoogroups.com
5. No-email/web only: ppiindia-nom...@yahoogroups.com
6. kembali menerima email: ppiindia-nor...@yahoogroups.com
Yahoo! Groups Links

* To visit your group on the web, go to:
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

* Your email settings:
Individual Email | Traditional

* To change settings online go to:
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/join
(Yahoo! ID required)

* To change settings via email:

[ppiindia] Gus Mus: Tahu-tahu Tahun Baru

2009-12-16 Terurut Topik Ananto
Tahu-tahu Tahun Baru

Oleh: KH. A. Mustofa Bisri


Tahu-tahu Ahad. Tahu-tahu Senin. Tahu-tahu Selasa. Tahu-tahu Rabu. Tahu
Kamis. Tahu Jumat. Tahu-tahu Sabtu. Tahu-tahu Januari. Tahu-tahu Februari.
Tahu-tahu Maret. Tahu-tahu April. Tahu-tahu Mei. Tahu-tahu Juni. Tahu-tahu
Juli. Tahu-tahu Agustus. Tahu-tahu September. Tahu-tahu Oktober. Tahu-tahu
November. Tahu-tahu Desember. Tahu-tahu Januari lagi. Tak terasa ya?!



Tak terasa. Berapa umur Anda sekarang? Berapa tahun lagi Anda ingin hidup?
10, 20, 30, atau 50 tahun lagi. Apalah artinya angka-angka ini bila setiap
saat umur kita digerogoti waktu, tidak terasa? Bahkan, sering justru dengan
suka ria kita menyambut dan merayakan tahun baru, seakan-akan kita tak paham
bahwa setiap tahun baru umur kita bertambah dan bertambah umur berarti
sebaliknya: berkurangnya umur.


Bayi dan anak kecil seperti lebih sadar dari kita yang tua-tua. Pertambahan
umur bagi mereka lebih bermakna. Perubahan diri mereka seiring bertambahnya
umur mereka, begitu jelas bisa dilihat. Dari tengkurap, merangkak, misalnya,
menjadi bisa berjalan; dari tak bisa bicara, ngoceh tanpa makna, hingga
lancar bicara; dari kemlucu, kemeplak, hingga jemagar; dari suka
bermain-main hingga suka bersolek; dsb, dst. Semuanya dapat jelas terlihat.
Bandingkan dengan kita yang tua-tua ini. Apa perubahan yang dapat dilihat
dari kita?


Kesibukan kita -entah apa?- tetap saja yang itu-itu. Berlari ke sana,
berlari ke sini. Yang memburu harta, terus memburu harta. Yang berebut
kursi, tetap tak berubah berebut meja, misalnya. Yang pamer kepintaran atau
kekayaan, terus pamer seperti tak kunjung yakin bahwa kepintaran atau
kekayaannya sudah diketahui. Yang bertikai tak pernah berubah menyadari
kesia-siaannya. Yang menipu, yang korup, yang merekayasa kejahatan, yang
nyogok, yang disogok, yang selingkuh, dst, meski sudah konangan, masih terus
tak berhenti. Berapa tahun lagi mereka ini akan istiqamah berlaku demikian?
10, 20, 30, 50 tahun lagi. Ataukah menunggu dikejutkan maut? Bukankah mereka
yang tidak pernah menyadari dan memikirkan perubahan waktu -karena sibuk
menjalaninya dengan kegiatan rutin tanpa mengevaluasi- berarti menunggu
kematian yang mendadak?


Bacalah berita! Simaklah isu dan opini yang berkembang di tanah air,
terutama beberapa tahun terakhir ini! Bukankah yang itu-itu saja yang kita
dengar? Reformasi, KKN yang hanya terus dibicarakan. Pemimpin yang terus
tidak jelas ke mana kita ini akan dipimpin. Kebijaksanaan yang sering sangat
tidak bijaksana terus saja dilakukan. Hukum yang terus dibuat permainan.
Pertikaian antarkelompok dan perorangan yang terus terjadi. Penggusuran dan
pelecehan hak rakyat yang terus berjalan. Politik praktis yang -seperti
Inul- terus menggoyang dan diedani. Para politisi yang terus berebut
kekuasaan. Rakyat yang terus dijadikan objek. Penggelapan di
departemen-departemen dan lembaga-lembaga penting yang tak kunjung kapok.
Pencurian besar-kecil, kasar-halus, yang terus merebak. Pemaksaan kehendak
yang terus sok hebat. Dan sebagainya dan seterusnya.


Kalau kita amati 'perilaku monoton' ini secara cermat, kita bisa telusuri
akarnya pada kegandrungan orang kepada dunia yang berlebihan. Kepentingan
dunialah yang menjadikan orang arif menjadi bebal, orang pintar menjadi
bloon, orang ramah menjadi sangar, orang waras menjadi majnun, orang sopan
menjadi kurang ajar, saudara lupa saudaranya, manusia menjadi binatang atau
bahkan setan. Geledahlah diri! Mengapa kita tega membiarkan anak kita tak
terdidik? Mengapa kita enteng merusak alam? Mengapa orang tak malu menilap
harta rakyat? Mengapa kita berkelahi dengan saudara kita sendiri? Mengapa
tanda gambar partai kita lebih kita agungkan katimbang bendera Merah Putih
dan lambang garuda? Mengapa kita yang beragama Islam lebih asyik membaca
koran daripada Quran? Mengapa ayat tidak kita ikuti, tapi kita buat
mengikuti kita? Mengapa nurani dan akal sehat kita kalahkan dengan hawa
nafsu? Mengapa memenangkan partai lebih kita pentingkan daripada memenangkan
persaudaraan bangsa? Mengapa kepentingan sesaat kita menangkan dari
kepentingan Indonesia? Bila kita jujur, kita akan menemukan jawaban itu
semua pada itu tadi: kegandrungan yang berlebihan kepada dunia. Benar sekali
dawuh yang menyatakan Hubbud dunya raasu kulli khathiiatin, gandrung dunia
adalah sumber dari setiap kesalahan.


Namun sebebal-bebal orang bebal, sebloon-bloon orang bloon, sesangar-sangar
orang sangar, se-majnun-majnun orang majnun, sekurang ajar-kurang ajar orang
yang kurang ajar, selupa-lupa orang lupa, masak suatu saat tidak
tersadarkan, misalnya, oleh umur yang kian menipis setiap tahun. Masak
sekian banyak pemimpin akan terus lupa semua ke arah mana akan dibawa
orang-orang yang mereka pimpin. Masak sekian banyak politisi akan terus
mbadut, padahal sudah lama tak lucu. Masak sekian banyak penegak hukum akan
terus melecehkan hukum semua. Masak sekian banyak orang yang mengaku membela
dan mewakili rakyat akan terus tak mau tahu kepentingan rakyat. Masak sekian
banyak 

[ppiindia] Gus Mus: Sayangilah

2009-12-15 Terurut Topik Ananto
Sayangilah
Oleh: KH. A. Mustofa Bisri



*Irhamuu man fil ardli yarhamkum man fissamaa*

Sayangilah mereka yang di bumi, maka Yang di langit akan menyayangimu!



KH. A. Mustofa Bisri, Pengajar di Pondok Pesantren Taman Pelajar Raudlatut
Thalibin, Rembang, Jawa Tengah.


[Non-text portions of this message have been removed]



[ppiindia] Gus Mus: Berkurban, Berkorban, dan Berqurban

2009-11-22 Terurut Topik Ananto
Berkurban, Berkorban, dan Berqurban

Oleh: KH. A. Mustofa Bisri


IDUL ADHA -biasa juga disebut Idul Kurban, Hari Raya Adha, Hari Raya Haji,
atau Hari Raya Besar- seperti kita ketahui, adalah hari raya Islam, kembaran
Idul Fitri. Ketika Nabi Muhammad SAW datang ke Madinah, di negeri hijrah itu
telah ada tradisi semacam perayaan tahunan, satu tahun dua kali, yang
disebut Mahrajan. Oleh Kanjeng Nabi, kedua perayaan itu diusulkan diganti
dengan yang lebih baik. Itulah Idul Adha dan Idul Fitri.



Jadi, dari sudut perayaannya, kedua hari raya itu memang boleh dikata
merupakan semacam pesta rakyat. Hari gembira umat Islam. Tapi, dasar orang
Indonesia, kedua hari bahagia itu di sini malah sering dijadikan pasal
pertengkaran juga. Biasa, gara-gara fanatisme kelompok. Tabiat khas orang
Indonesia dan kaum jahiliyah!


Adha, Haji, atau Kurban, semuanya berasal dari bahasa Quran. Adh-ha yang
berarti kurban (jangan kacaukan dengan korban pakai 'o'! Maknanya lain!)
karena pada hari itu umat Islam merayakannya dengan menyembelih ternak
sebagai tanda bakti dan taat kepada Allah. Sedangkan Qurban bisa berarti
pendekatan. Tentu saja pendekatan kepada Al-Khaliq, Allah Azza wa Jalla.
Kita sering mengistilahkannya dengan taqarrub, mendekat-dekat atau berusaha
dekat kepada-Nya. Karena itu, sejak 1 Dzulhijjah, kita dianjurkan
memperbanyak amalan-amalan ibadah seperti puasa, bersembahyang,
bersilaturahmi, dan berzikir, mengagungkan Allah.


Di saat-saat Idul Adha seperti ini, biasanya umat Islam -baru- teringat
kepada Bapak para Nabi, Khalilullah Ibrahim dan putranya, Nabi Ismail
-alaihimus salaam! Mereka yang teringat pun banyak yang tidak sempat
merenungkan keagungan pengorbanan kedua nabi itu, apalagi sambil
membandingkan kesiapan berkorban diri sendiri.


Bayangkan. Nabi Ibrahim sudah lama sekali ingin mempunyai keturunan yang
dapat melanjutkan perjuangannya. Baru setelah sangat sepuh beliau dikaruniai
Ismail. Tempatkan diri Anda di tempat beliau dan rasakan, betapa gembira dan
bahagianya. Lalu, tiba-tiba setelah si anak ketok moto (membanggakan
dipandang, Red), seperti sudah kita ketahui, Allah memerintahkan untuk
menyembelihnya.

Bagi umumnya kita, kehilangan anak saja sudah merupakan malapetaka, apa pula
dengan menghilangkan anak yang nota bene sudah lama didambakan dan
diidam-idamkan. Adakah keikhlasan berkorban demi kekasih yang sehebat dan
seagung itu?


Ya, ada. Yaitu, keikhlasan berkorban sang putra, Ismail, yang dengan
ketulusan luar biasa menyerahkan nyawanya demi Sang Kekasih yang sama. Dua
hamba Allah telah membuktikan cinta mereka yang agung dengan pengorbanan
yang agung. Anak, belahan jiwa, dan nyawa sendiri! Allahu Akbar!


Keduanya telah membuktikan bahwa pernyataan mereka tulus, bukan pernyataan
kosong yang hanya sebagai kembang lambe (pemanis bibir). Mereka benar-benar
memurnikan kepasrahan hanya kepada Allah. Mengakui dan menyadari bahwa
pemilihan hakiki hanya pada Allah. Bahwa semuanya, tanpa kecuali, adalah
milik Allah, tak berbagi dengan siapa pun, termasuk dengan diri sendiri.


Inna shalaati wanusuki wamahyaaya wa mamaati lillahi Rabbil 'aalamien; laa
syarieka lahu wa bidzaalika umirtu wa ana awwalul muslimien. Sesungguhnya
salatku, ibadahku, hidupku, matiku, semata-mata milik Allah Tuhan sekalian
alam; tak ada seorang pun yang ikut bersama-Nya memiliki. Untuk itulah aku
diperintahkan dan aku adalah orang pertama yang menerima, yang pasrah, yang
Islam!


Maka, sudah sepatutnyalah kedua nabi agung itu mendapatkan tempat terdekat
di sisi-Nya sebagai kekasih-kekasih-Nya.



Sekarang kita, yang setiap saat juga berikrar seperti Nabi Ibrahim AS, Inna
shalaati wanusuki… dan seterusnya. Jangan tanya tentang apakah kita sudah
mampu melepas kepemilikan dari diri kita sendiri dan menisbatkannya hanya
kepada Allah? Tanya saja, apakah kita sudah dapat menghilangkan rasa sayang
melepas sebagian milik kita demi Allah?


Membeli kambing untuk kurban -meniru Nabi Ibrahim AS- saja, kita membelinya
ngloloni pada bulan-bulan sebelum mendekati Dzulhijjah untuk mendapatkan
harga yang lebih murah. Jika sedang di masjid, ketemu kotak amal, kalaupun
kita membuka dompet, maka yang kita cari untuk kita masukkan ke dalamnya
adalah pecahan yang terkecil. Ketika dekat Baitullah, rumah Allah, saja kita
tak sudi berkorban sedikit tempat atau sedikit kesempatan kepada sesama
hamba Allah.


Kita memilih berkelahi dengan sesama saudara -yang dilarang Allah- daripada,
misalnya, mengikhlaskan sedikit tempat di maqam mustajab atau sedikit
kesempatan mencium Hajar Aswad kepada sudara kita. Padahal, kita hafal sabda
Nabi Muhammad SAW, Laa yu'minu ahadukum hattaa yuhibba li akhiihi maa
yuhibbu linafsihi. (Tidak sempurna iman salah seorang di antara kamu
sebelum dia menyukai untuk saudaranya sebagaimana dia menyukai untuk dirinya
sendiri).


Setiap saat kita terus dituntun kehidupan yang serba material untuk semakin
menjadi orang yang kemilikan. Jangankan apa yang kita anggap milik kita
sendiri, milik orang pun, kalau bisa, ingin kita 

[ppiindia] Gus Mus: Fid-Dunya Hasanah Wafil-Akhirati Hasanah

2009-11-19 Terurut Topik Ananto
FID-DUNYA HASANAH WAFIL-AKHIRATI HASANAH

16 Nopember 2009 10:17:04

Oleh: KH. A. Mustofa Bisri



Kepentingan pembangunan–seperti juga pada jaman revolusi, yaitu kepentingan
revolusi–ternyata tidak hanya memerlukan dalil aqli, tapi juga dalil naqli.
Apalagi jika masyarakat menjadi subyek–atau obyek–pembangunan justru “kaum
beragama”.


Apabila pembangunan itu menitikberatkan pada pembangunan material
(kepentingan duniawi), meski konon tujuannya material dan spiritual
(kepentingan akhirat), maka perlu dicarikan dalil-dalil tentang pentingnya
materi. Minimal pentingnya menjaga “keseimbangan” antara keduanya (material
bagi kehidupan dunia dan spiritual bagi kehidupan akhirat).


Maka, dalil-dalil tentang mencari–atau setidak-tidaknya tentang peringatan
untuk tidak melupakan–kesejahteraan dunia, pun perlu “digali” untuk
digalakkan sosialisasinya.


Tak jarang semangat ingin berpartisipasi dalam pembangunan material-- yang
menjadi titik berat pembangunan– ini mendorong para dai dan kyai justru
melupakan kepentingan spiritual bagi kebahagiaan akhirat. Atau, setidaknya,
kurang proporsional dalam melihat kedua kepentingan itu.


Ketika berbicara tentang pentingnya menjaga keseimbangan antara kepentingan
duniawi dan ukhrawi, biasanya para dai tidak cukup menyitir doa sapu jagat
saja: Rabbanaa aatinaa fid-dunya hasanah wa fil akhirati hasanah. Biasanya,
mereka juga tak lupa membawakan Hadist popular ini: I'mal lidunyaaka
kaannaka ta'iesyu abadan wa'mal liakhiratika kaannaka tamuutu ghadan, yang
galibnya berarti “Beramallah kamu untuk duniamu seolah-olah kamu akan hidup
abadi dan beramallah kamu untuk akhiratmu seolah-olah kamu akan mati besok
pagi”. Kadang-kadang, dirangkaikan pula dengan firman Allah dalam Surat
al-Qashash (28), ayat 77:“Wabtaghi fiimaa aataakallahu 'd-daaral aakhirata
walaa tansanashiebaka min ad-dunya” yang menurut terjemahan Depag
diartikan,“Dan carikan pada apa yang dianugerahkan Allah kepadamu
(kebahagiaan) negeri akhirat dan janganlah kamu melupakan kebahagiaan dari
(kenikmatan) duniawi…”.



Umumnya orang–sebagaimana para dainya–segera memahami dalil-dalil tersebut
sebagai anjuran untuk giat bekerja demi kesejahteraan di dunia dan giat
beramal demi kebahagiaan di akhirat.


Kita yang umumnya–tak usah dianjurkan pun–sudah senang “beramal” untuk
kesejahteraan duniawi, mendengarkan dalil-dalil ini rasanya seperti mendapat
pembenar, bahkan pemacu kita untuk lebih giat lagi bekerja demi kebahagiaan
duniawi kita.


Lihat dan hitunglah jam-jam kesibukan kita. Berapa persen yang untuk dunia
dan berapa persen untuk yang akhirat kita? Begitu semangat–bahkan
mati-matian–kita dalam bekerja untuk dunia kita, hingga kelihatan sekali
kita memang beranggapan bahwa kita akan hidup abadi di dunia ini.


Kita bisa saja berdalih bahwa jadwal kegiatan kita sehari-hari yang tampak
didominasi kerja-kerja duniawi, sebenarnya juga dalam rangka mencari
kebahagiaan ukhrawi. Bukankah perbuatan orang tergantung pada niatnya,
“Innamal a'maalu binniyyaat wa likullimri-in maa nawaa.” Tapi, kita tentu
tidak bisa berdusta kepada diri kita sendiri. Amal perbuatan kita pun
menunjukkan belaka akan niat kita yang sebenarnya.


Padahal, meski awal ayat 77 Surat sl-Qashash tersebut mengandung
“peringatan” agar jangan melupakan (kenikmatan) dunia, “peringatan” itu
jelas dalam konteks perintah untuk mencari kebahagiaan akhirat. Seolah-olah
Allah– wallahu a'lam– “sekadar” memperingatkan, supaya dalam mencari
kebahagiaan akhirat janganlah lalu kenikmatan duniawi yang juga merupakan
anugerah-Nya ditinggalkan. (Bahkan, menurut tafsir Ibn Abbas,“Walaa tansa
nasiibaka min ad-dunya” diartikan “Janganlah kamu tinggalkan bagianmu dari
akhirat karena bagianmu dari dunia”).


Juga dalil I'mal lidunyaaka… --seandainya pun benar merupakan Hadist
shahih–mengapa tidak dipahami, misalnya,“Beramallah kamu untuk duniamu
seolah-olah kamu akan hidup abadi.” Nah, karena kamu akan hidup abadi, jadi
tak usah ngongso dan ngoyo, tak perlu ngotot. Sebaliknya, untuk akhiratmu,
karena kamu akan mati besok pagi, bergegaslah. Dengan pemahaman seperti ini,
kiranya logika hikmahnya lebih kena.


Sehubungan dengan itu, ketika kita mengulang-ulang doa,“Rabbanaa aatina
fid-dunya hasanah wa fil-akhirati hasanah,” bukankah kita memang sedang
mengharapkan kebahagiaan (secara materiil) di dunia dan kebahagiaan (surga)
di akhirat, tanpa mengusut lebih lanjut, apakah memang demikian arti
sebenarnya dari hasanah, khususnya hasanah fid-dunya itu?


Pendek kata, jika tak mau mengartikan dalil-dalil tersebut sebagai anjuran
berorientasi pada akhirat, bukankah tidak lebih baik kita mengartikan saja
itu sebagai anjuran untuk memandang dunia dan akhirat secara proporsional
(berimbang yang tidak mesti seimbang).


Memang, repotnya, kini kita sepertinya sudah terbiasa berkepentingan dulu
sebelum melihat dalil, dan bukan sebaliknya. Wallahu a'lam.



KH. A. Mustofa Bisri, Pengajar di Pondok Pesantren Taman Pelajar Raudlatut
Thalibin, Rembang, Jawa Tengah.


[Non-text portions 

[ppiindia] Gus Mus: Negeriku

2009-11-17 Terurut Topik Ananto
 NEGERKU
Oleh: KH. A. Mustofa Bisri
27 Oktober 2009 11:29:42


15 tahun yang lalu, aku menulis sajak satu baris berjudul Negeriku:
NEGERIKU
Negeriku telah menguning

Kini aku tergoda menulis sajak serupa. Ini jadinya:
NEGERIKU
Negeriku mulai membiru


[Non-text portions of this message have been removed]



[ppiindia] Gus Mus: Duka Haji

2009-11-15 Terurut Topik Ananto
Duka Haji

Oleh: KH. A. Mustofa Bisri


Dalam rangka mendapatkan haji mabrur, seniman A. Hamid Jabbar waktu itu
berada di Mina. Penyair yang atraktif itu sedang akan melontar jumrah untuk
yang pertama, jumrah 'Aqabah. Seperti jamaah lain, dia harus menceburkan
dirinya dan mengarungi lautan manusia agar dapat mendekati jumrah yang akan
dilemparnya. Tangan kiri menggenggam bekal kerikil-kerikil dari Muzdalifah,
sementara tangan kanan sudah siap dengan sebutir kerikil yang akan dilempar.



Syahdan, ketika merasa sudah cukup dekat, dia pun mengangkat tangan
kanannya, siap menghantam sang setan. Tapi, belum lagi sempat tangannya
mengayun, seseorang menghantam lengannya hingga kerikilnya terjatuh.


Dia ambil lagi sebutir kerikil dari tangan kirinya dan siap mengulang
lemparan pertama. Tapi, lagi-lagi kerikilnya terlempar oleh sodokan orang di
sampingnya. Begitulah berkali-kali Hamid berusaha mengulang dan gagal
melempar hingga kerikil-kerikil di tangan kirinya nyaris habis.


Tapi, rupanya, kesabarannya yang justru lebih dulu habis. Sambil
merentangkan kedua tangannya ke langit seperti gayanya ketika berdeklamasi,
tiba-tiba dia berteriak sekencang-kencangnya: Ya Allah, ini ibadah apa???


Saya kira, kawan saya ini tidak sedang jengkel kepada Tuhan atau kepada
ibadah haji. Cuma mungkin, seperti banyak jamaah yang lain, sebelumnya sudah
mempunyai anggapan atau pengertian tentang kekhusyukan ibadah. Jadi, ketika
melihat kenyataan lain yang jauh berbeda dari pengertian seperti yang sudah
dipahaminya, dia pun berontak.


Sebenarnya, tidak ada yang salah pada pemahaman dan pengertiannya. Yang
barangkali sering lalai dipahami orang, termasuk kawan saya ini, ialah bahwa
kebanyakan jamaah haji yang berada di tanah suci adalah orang-orang awam dan
umumnya pemimpin mereka terbiasa dengan doktrin yang itu-itu juga. Doktrin
yang lebih menekankan kepada semangat beragama atau beribadah ketimbang
pemahaman agama dan makna ibadah.


Kita lihat misalnya, dalam penataran-penataran manasik, baik yang
diselenggarakan instansi resmi maupun KBIH-KBIH di Indonesia, galibnya
jamaah lebih diberi doktrin tentang amalan-amalan dan bacaan-bacaan.
Seringkali penatar menekankan tentang afdhaliah, hal yang lebih afdol, dalam
pelaksanaan haji dan keutamaan melakukan ini dan itu, tanpa penjelasan yang
memadai tentang kondisi dan situasi riil di tanah suci pada saat haji itu.
Misalnya keutamaan waktu melempar jumrah; keutamaan berdoa di Multazam, di
Hijr Ismail (bahkan di bawah talang mas?); berdoa di Arafah di luar tenda;
di Raudhah Rasul (bahkan di mihrab Nab?); dlsb. Hal ini menyebabkan banyak
jamaah yang semangatnya murni semangat. Hanya semangat mendapatkan apa
yang disebut sebagai keutamaan itu.


Seperti kita ketahui, sebenarnya ibadah haji itu tidak terlalu pelik. Ia
hanya ibadah amaliah. Asal lakunya benar, sudah sah. Sedangkan lakunya
juga sangat sederhana: berihram, niat, dan memakai pakaian sederhana;
memutari Ka'bah, lari hilir-mudik antara Shafa dan Marwah; berdiam diri di
Arafah; melempar-lempar; cukur atau potong rambut; dan menyembelih ternak.
Apanya yang sulit? (Banyak daerah malah lucu. Membangun tiruan Ka'bah untuk
keperluan latihan *thawaf.* Mana ada orang -bagaimanapun bebalnya- keliru
memutari Ka'bah? Sebab, misalnya, ada yang keliru memutarinya ke arah kanan,
pasti akan ketabrak yang lain).


Saya pikir adalah lebih bijaksana bila ruh ibadah dan praktik pelaksanaan
haji -dengan memperhatikan kondisi dan situasi riil di lapangan- lebih
mendapatkan porsi dalam penataran-penataran manasik. Ruh ibadah yang saya
maksud juga mencakup penyadaran terhadap pemahaman ibadah secara
keseluruhan. Totalitas amal hanya untuk Allah. Menyenangkan Allah. Mencari
ridha Allah.


Sebab, sering semangat beragama yang berlebihan menyeret hamba kepada amalan
yang justru berbalik menjadi hanya untuk menyenangkan diri sendiri. Mencari
ridha diri sendiri. Bahkan, sekadar keinginan yang menggebu untuk mendapat
haji mabrur sering cukup membuat orang menjadi sangat egois. Bayangkan bila
jutaan orang egois berkumpul jadi satu dengan satu kepentingan.


Sebenarnya, jamaah Indonesia tergolong paling tertib. Cuma tertib sendiri
tentu tidak menjamin ketertiban bersama, terutama bila yang lain tidak
tertib. Karena itu, mestinya pemerintah Saudi Arabia harus lebih rendah
hati, mengajak negara-negara Islam atau muslim untuk bekerja-sama dan
bermusyawarah bagi penyempurnaan ibadah yang satu ini. Atau paling tidak
berkoordinasi dengan negara-negara itu terutama kaitannya dengan kebijakan
yang diambil. Syukur dibentuk badan dunia khusus yang melibatkan semua
negara yang berkepentingan, untuk tidak saja bertanggung jawab tentang
ketertiban dan keamanan pelaksanaan haji, tapi juga bagi pemahaman umat
terhadap makna hakiki ibadah itu.


Peristiwa-peristiwa tragis seperti yang pernah terjadi di Mina sudah
berulang-ulang menyentak perasaan kita. Akan sampai kapan?



KH. A. Mustofa Bisri, Pengajar di Pondok Pesantren Taman Pelajar Raudlatut
Thalibin, Rembang, Jawa 

[ppiindia] Gus Mus : Musibah Berebut Berkah

2008-09-17 Terurut Topik Satrio Arismunandar
[ Rabu, 17 September 2008 ] Musibah Berebut Berkah Oleh A. Mustofa Bisri * 

Ramadan mestinya merupakan bulan berkah. Tapi, kita dikejutkan oleh suatu 
peristiwa yang memilukan sekaligus luar biasa aneh: 21 nyawa melayang saat 
pembagian zakat. Musibah apa ini, ya Allah! Seorang kaya di Pasuruan, yang 
agaknya tidak percaya dengan amil zakat mana pun, mengundang para mustahiq 
zakat untuk diberi zakat. Melebihi BLT (bantuan langsung tunai), orang-orang 
pun berbondong-bondong datang dan berdesak-desakan mengambil zakat. Dan 
berakibat jatuhnya banyak korban terinjak-injak. 

Seperti biasa, beberapa tokoh agama langsung memberikan komentar. Ada yang 
menyalahkan si orang kaya pemberi zakat. Bahkan, ada yang terang-terangan 
menyatakan bahwa kejadian yang mengenaskan itu akibat si orang kaya pamer 
kekayaan. Ada yang mengatakan bahwa kejadian tersebut akibat orang tidak 
percaya dengan badan amil zakat yang ada.

Bagi kita yang terbiasa menyalahkan orang, sangatlah mudah mencari kambing 
hitam. Kambing hitam dalam peristiwa tragis itu bisa si orang kaya yang 
berzakat yang (niatnya mungkin tidak pamer, tapi agar orang-orang kaya lainnya 
mau juga berzakat) tidak memperhitungkan caranya; bisa mereka yang berebut 
zakat yang tidak sabaran; bisa para tokoh agama yang seharusnya memberikan 
taushiyah kepada masyarakat dalam soal keagamaan; dan sangat bisa pemerintah 
yang berkewajiban dan berhak mengangkat amil zakat untuk menyejahterakan dan 
melindungi rakyat.

***

Tapi marilah, mumpung masih berada di bulan Ramadan, setelah menyampaikan 
belasungkawa yang sedalam-dalamnya kepada mereka yang terkena musibah, mari 
kita merenung sejenak mencari akar masalah mengapa terjadi musibah seperti di 
Pasuruan itu? Saling menyalahkan atau hanya mencari kambing hitam terbukti 
tidak memecahkan masalah dan sering justru hanya menambah permasalahan.

Siapakah mereka yang begitu bersemangat memenuhi undangan si orang kaya itu? 
Mereka rata-rata adalah perempuan. Kaum ibu yang sehari-hari dipusingkan oleh 
masalah dapur dan belanja kebutuhan keluarga. Anak-anak di bulan puasa ini 
minta menu bukanya lebih enak daripada biasanya. 

Di sisi lain, harga-harga kebutuhan pokok di pasar semakin tidak terjangkau dan 
hari raya akan datang pula. Maka, anehkah bila mereka begitu bersemangat 
menyambut undangan si dermawan sehingga dibela-belain berdesakan untuk 
mendapatkan berkah'' zakat?

Kalau kita perhatikan, peristiwa seperti yang terjadi di Pasuruan -atau 
peristiwa-peristiwa berdesakan berebut berkah'' lainnya di tempat-tempat lain- 
itu tampaknya mengiringi zaman di mana ketergantungan masyarakat pada materi 
sudah sedemikian mengerikan. 

Kepentingan duniawi sudah menjadi Tuhan yang dapat menggiring orang yang 
berakal melakukan hal-hal yang tidak masuk akal; membuat orang terhormat 
mencampakkan kehormatannya; membuat orang beragama menjual agamanya; membuat 
saudara tega terhadap saudaranya; dan sebagainya.

Peristiwa-peristiwa menyedihkan seperti itu tidak terbayangkan bisa terjadi di 
zaman dulu di saat masyarakat masih menganggap hidup di dunia ini hanya mampir 
ngombe, singgah minum sebentar. Di saat hidup sederhana masih menjadi budaya 
yang dipujikan. Di saat pasar rakyat masih belum dijuluki pasar tradisional 
yang harus mengalah dengan mal-mal dan supermarket-supermarket. Di saat 
masyarakat belum dijejali setiap hari oleh iming-iming TV agar menjadi 
konsumtif dan hedonis. 

Mumpung masih di bulan suci Ramadan, yang kata para kiai dan ustad bulan 
pelatihan mengendalikan diri, apabila kita setuju bahwa akar masalah -hampir 
semua masalah-dalam masyarakat adalah akibat kecintaan yang berlebihan terhadap 
materi dan pemanjaan yang kelewatan terhadap jasmani sehingga melupakan ruhani, 
usul yang paling masuk akal saya ialah: marilah kita kampanyekan untuk kembali 
kepada budaya hidup sederhana. Memandang dunia dan materi secara pas, hanya 
sebagai sarana dan alat dan bukan tujuan hidup.

Atau Anda punya pendapat lain dan usul yang lebih masuk akal? 

* H A. Mustofa Bisri , pengasuh Pesantren Roudlatut Thalibin, Rembang, Jawa 
Tengah. Dikenal pula sebagai kolumnis di banyak media. 
 


  


[ppiindia] Gus Mus dan Tragedi Kebudayaan NU -- pro Guntur Romli n rekan2 NU

2004-09-01 Terurut Topik Mario Gagho
NU memiliki peranan cukup besar dalam kehidupan
bernegara di negeri ini mengingat jumlah anggotanya yg
cukup dapat mewarnai perkembangan politik tanah air.
karena itu perkembangan dan dinamika interen NU selalu
mendapat perhatian tidak hanya oleh kalangan fans NU
sendiri, tapi juga oleh kalangan luar termasuk luar
negeri.

Semoga tulisan di bawah ini mendapat respons dari
rekan2 NU yg jadi member di milis ini. Khususnya rekan
Guntur Romli yg tulisannya di Republika menjadi titik
tolak dari tulisan di bawah. Guntur Romli, any
opinion?

salam,
MG


Selasa, 31 Agustus 2004

Gus Mus dan 'Tragedi' Kebudayaan NU 



Sulthan Fatoni
Dosen STAI NU Jakarta dan Mahasiswa Pascasarjana FISIP
UI Jakarta




Saya tertarik menanggapi tulisan Sdr Muhammad Guntur
Romli (selanjutnya disebut MGR) berjudul Gus Mus dan
Poros Khittah NU yang dimuat Republika (23 Agustus
2004). Namun dalam kesempatan ini saya ingin
memberikan pandangan yang berbeda, terutama peta
politik elite NU dewasa ini, khususnya menjelang
pilpres putaran kedua.

Ada beberapa pendapat MGR yang perlu dikritisi.
Pertama, ketidaktepatan MGR menempatkan beberapa
tokoh-tokoh NU dalam kelompok NU politik dan NU
Khittah. Menurut pengamatan saya, polarisasi elite NU
sekarang ini dapat ditelusuri dari pertemuan antara
Pelaksana Harian Ketua Umum PBNU Masdar Farid Mas'udi
dan calon presiden dari Partai Demokrat Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY) di PBNU beberapa hari yang lalu. Imbas
pertemuan tersebut kemudian melebar menjadi perang
statemen. Dalam sebuah pernyataannya di Jember, Jawa
Timur, Masdar menceritakan bahwa menjelang dirinya
akan menerima kunjungan SBY di PBNU beberapa hari yang
lalu, ia ditelepon Andi Jamaro, salah satu ketua
Tanfidziyah PBNU yang bertekad akan menemuinya di
lapangan jika masih berkeras menerima SBY. Penuturan
Masdar ini -- jika benar adanya -- merupakan preseden
terburuk bagi dinamika perpolitikan internal NU.
Masdar telah melakukan kreativitas subjektif yang
berpotensi menghasilkan sesuatu ide yang disebut
sosiolog George Simmel dengan tragedi kebudayaan
(Doyle Paul Johnson: 1988). Apalagi beberapa saat
setelah silaturahmi SBY-Masdar, Andi Jamaro
berkomentar keras bahwa Masdar telah membelah keutuhan
NU.

Enam bulan terakhir, NU memang menjadi perbincangan
cukup panjang dan menarik. Hal ini terkait dengan
eksistensinya sebagai organisasi sosial keagamaan
terbesar di Indonesia yang sangat mempengaruhi peta
politik di Tanah Air, khususnya pemilihan presiden
secara langsung. Masa-masa pemilihan umum (baik
memilih anggota legislatif maupun presiden dan wakil
presiden), memang telah memposisikan NU sebagai gadis
cantik yang diperebutkan semua pihak. Memasuki
pemilihan presiden secara langsung yang akan
dilaksanakan pada 20 September 2004, ke manakah suara
warga nahdliyyin akan diarahkan? 

NU bukanlah sebuah organisasi yang mempunyai tingkat
manajemen yang canggih. Roda organisasi NU terlihat
solid bukan tecermin dari efektivitas struktur
organisasi. Kekuatan besar NU justru terletak pada
soliditas para kiai/ulama yang tersebar di
pesantren-pesantren di seluruh Indonesia. Karena itu
sudah menjadi tradisi di internal NU apabila struktur
NU selalu aktif melakukan komunikasi secara intensif
dan kontinyu dengan kiai-kiai pesantren
non-struktural. Kelompok kiai pesantren inilah yang
kemudian dijadikan landasan bagi tumbuh suburnya
kekuatan kultural NU. Semakin intens kelompok
struktural NU melakukan komunikasi dengan kiai-kiai
pesantren maka semakin kuat posisinya dalam pentas
yang lebih makro.

Hal menarik dari NU menjelang pemilihan presiden
(Pilpres) putaran kedua adalah polarisasi elite NU di
tingkat pusat. Jika selama pilpres putaran pertama
warga nahdliyyin hanya dihadapkan pada dua kubu yang
saling berseberangan; Salahuddin Wahid versus Hasyim
Muzadi, maka memasuki putaran kedua terjadi
rekonstruksi peta politik warga nahdliyyin. Hal ini
merupakan implikasi dari langkah politik Masdar
menerima kunjungan SBY di Gedung PBNU beberapa hari
yang lalu. Sebagaimana maklum, berdalih telah mendapat
persetujuan Rois 'Aam PBNU KH A Sahal Mahfudz, Masdar
telah melakukan pertemuan dengan SBY dengan agenda
utama pengenalan visi masing-masing dalam memandang
bangsa dan negara. Tak pelak, langkah Masdar ini telah
memunculkan kelompok baru dalam tubuh perpolitikan NU.
Masdar menyeruak sebagai sebuah komunitas baru yang
berijtihad akan mengandalkan barisan LSM dan floating
mass yang selama ini tidak memihak Salahuddin
Wahid-Hasyim Muzadi.

Sehingga menjelang Pilpres tahap kedua, ada beberapa
kelompok di tubuh NU yang mencoba merebut simpati
warga NU. Pertama, kelompok Hasyim Muzadi. Kelompok
ini cukup potensial mendapatkan simpati warga NU
mengingat posisi Hasyim Muzadi sebagai ketua umum
PBNU. Dalam menggaet simpati warga NU, kelompok Hasyim
mengoptimalkan dua instrumen; pertama, warga
nahdliyyin yang aktif di kepengurusan NU di semua
tingkatan. Para aktivis NU ini berperan sebagai mesin
politik yang pada putaran pertama terbukti mampu
memobilisasi massa grass 

[ppiindia] Gus Mus dan Poros Khittah NU

2004-08-23 Terurut Topik --==GuN==-
http://www.republika.co.id/ASP/kolom.asp?kat_id=16

Senin, 23 Agustus 2004

Gus Mus dan Poros Khittah NU 

Oleh : Mohamad Guntur Romli 


NU saat ini harus diselamatkan. Demikian ajakan Gus Mus, panggilan 
akrab KH Mustofa Bisri, dalam rangkaian Konferensi Cabang III NU 
Mesir pada 29 Agustus lalu. Keprihatinan Gus Mus tersebut dilandasi 
realitas NU saat ini dalam permainan kubu NU politik. Baik kubu 
Hasyim Muzadi ataupun kubu Abdurrahman Wahid.

Pilihan warga NU Mesir terhadap sosok Gus Mus untuk membuka Konfercab 
bukan tanpa alasan. Gus Mus, seorang kiai, penyair, cerpenis, 
kolumnis, pelukis, seniman, dan budayawan dipandang mampu menjadi 
perekat pluralitas pemikiran dan kelompok di NU. Selain itu, ada dua 
alasan lain; emosional dan rasional yang melatarbelakangi pilihan 
tersebut. Alasan emosional adalah keterikatan NU Mesir dengan sosok 
Gus Mus sebagai salah satu alumnus Universitas Al-Azhar, pelabuhan 
studi mahasiswa Indonesia di Mesir. Gus Mus juga merupakan pelopor 
dari berdirinya komunitas NU Mesir bersama Gus Dur sejak tahun 1960-
an.

Waktu itu masih bernama Keluarga Mahasiswa Nahdlatul Ulama (KMNU). 
Ketika pada Muktamar NU XXX di Kediri pada tahun 1999, KMNU 
diresmikan menjadi salah satu cabang istimewa NU di luar negeri. Pada 
tanggal 20 Januari 2000, melalui acara yang sederhana Gus Mus yang 
meresmikan berdirinya NU Cabang Istimewa Mesir di Kairo. Jadi bukan 
hal yang dibuat-buat jika ada yang berpendapat sosok Gus Mus tidak 
bisa dipisahkan dari eksistensi NU Mesir, baik sejak tahun 1960-an 
hingga Konferensi Cabang III kemarin.


NU khittah dan NU politik
Alasan rasionalnya adalah, Gus Mus merupakan sosok yang konsisten 
terhadap Khittah NU. Gus Mus mampu menjaga jarak dengan kekuasaan 
ataupun dengan friksi-friksi yang terjadi dalam tubuh NU akibat 
pertarungan politik praktis. Bersama Rais Aam, KH Sahal Mahfuz, 
Pelaksana Harian PBNU KH Masdar F Mas'udi, dan beberapa personel NU 
lainnya, Gus Mus mampu menjadi kekuatan poros NU Khittah yang 
berlawanan dengan poros NU politik. Poros NU Khittah itu merupakan 
kekuatan ketiga di tubuh NU saat ini yang terpecah menjadi dua poros 
NU politik.

Seperti yang maklum, saat ini bisa diibaratkan di NU terjadi 
pergulatan dua bani yang menyeret NU dalam pusaran politik. Pertama 
Bani Wahid, yang terdiri atas Abdurrahman Wahid, Salahuddin Wahid, 
PKB, dan komunitas kiai khos. Kedua Bani Hasyim Muzadi, dengan 
beberapa personel PBNU (tim sukses) dan beberapa pengurus NU wilayah 
(terutama PWNU Jawa Timur). Kedua poros tersebut semakin adu 
kekuatan. Dan akan membawa dampak yang besar terhadap perjalanan NU. 

Menjelang Muktamar NU XXXI Gus Dur sudah memasang jago-jagonya. 
Seperti di Muktamar XXX di Kediri, beberapa waktu lalu Gus Dur juga 
telah melontarkan beberapa nama untuk dicalonkan menjadi ketua umum 
PBNU mendatang. Dan tentu saja, nama-nama itu berasal dari kantong 
Gus Dur. Hasyim Muzadi tidak mau kalah, beliau juga sangat 
bersemangat dalam mengamankan Muktamar NU melalui pengurus PBNU 
yang menjadi anggota tim sukses politiknya terutama Ahmad Bagja yang 
menjadi Ketua Pelaksana Muktamar NU mendatang. 

Sedangkan PKB ke depan memberi sinyal melalui silaturahmi 27 DPW PKB 
di Makassar bulan lalu akan mendukung SBY dan ini akan semakin 
memperparah hubungan NU dan PKB. Sedangkan mesra-mesra Gus Dur dan 
Mega saya lihat adalah manuver Gus Dur untuk memotong pengaruh 
Hasyim kepada Mega dan PDIP. Terakhir ada keputusan, tim sukses 
antara capres (Mega) dan cawapres (Hasyim) dipisah. Bisa jadi kalau 
nanti Mega menjadi presiden dan Hasyim menjadi wakil presiden tapi 
orang-orang Gus Dur dengan dukungan Gus Dur tentunya akan bersaing 
dan menjadi ancaman bagi orang-orang Hasyim. Apalagi PDIP sadar bahwa 
Hasyim hanya bisa menyumbang suara 22 persen dari kantong-kantong NU. 
Karena kekuatan politik NU sesungguhnya ada di tangan Gus Dur dan 
PKB. 

Menurut pengamatan saya sementara, dan menjaga hal yang paling jelek 
adalah Gus Dur dan Hasyim tidak bisa damai. Nah, menurut kaidah ushul 
Fiqh ''al-khurj min al-khilf mustahabb (keluar dari perselisihan 
dianjurkan) jika dua poros ini terus berseteru dan sama-sama 
mempolitisasi NU maka sudah saatnya kita memikirkan poros lain, yaitu 
poros ketiga. Poros Rembang atau poros Khittah. Poros Rembang ini 
didukung oleh Rais Aam Syuriah PBNU KH Sahal Mahfuz, dan tokoh 
sentral KH Mustofa Bisri. Terbukti melalui qarr Syuriah di Rembang 
mampu menjadi jalan ketiga, dengan menonaktifkan Hasyim tanpa harus 
memecat dan personel pengurus NU yang terlibat dalam aksi dukung-
mendukung capres-cawapres. Hal ini merupakan pilihan yang moderat dan 
tepat. 

Gus Mus
Nah, pada Muktamar NU XXXI mendatang di Solo, harus dipertimbangkan 
al-khurj min al-khilf itu dan mendukung poros ketiga. Tetapi poros 
ketiga ini memiliki kendala sangat besar yaitu, Gus Mus sebagai tokoh 
sentral enggan menjadi ketua umum PBNU. Kalau saja pada Muktamar NU 
XXX di Lirboyo kemarin Gus Mus bersedia, mungkin beliau yang saat ini