[ppiindia] Gus Mus: Lebaran Tinggal Satu Hari Lagi
Lebaran Tinggal Satu Hari Lagi Oleh: KH. Dr. A. Mustofa Bisri Saat pamit dua minggu yang lalu, suaminya berjanji akan pulang sebelum lebaran. Kini lebaran sudah tinggal satu hari dan belum ada kabar berita dari suaminya itu. Hatinya jadi gelisah. Sebetulnya suaminya pergi seminggu-dua minggu sudah biasa. Selama ini dia sama sekali tidak pernah merasa gelisah. Tapi ini menjelang lebaran. Selama ini mereka selalu berlebaran bersama. Mungkin juga berita-berita yang selalu didengarnya, turut mempengaruhi batinnya. Setelah ledakan bom di Bali, tampaknya semua orang bisa saja diciduk aparat. Setiap rumah bisa digeledah polisi. Seperti beberapa orang yang dicurigai polisi itu, dia juga tidak begitu mengetahui kegiatan suaminya di luaran. Selama ini, sebagai orang yang berasal dari desa yang dikawin orang kota, dia merasa tidak pantas bila bertanya macam-macam urusan lelaki. Jika suaminya bilang bisnis, itu sudah cukup baginya; dia tidak pernah kepingin tahu bisnis apa. Tapi sekarang, dia mulai was-was. Jangan-jangan apa yang dibilang suaminya bisnis itu merupakan kegiatan seperti yang dilakukan oleh mereka yang saat ini dicurigai polisi itu. Ah, tapi tidak. Suaminya orangnya lembut dan tidak neko-neko. Tidak mungkin. Tapi kebanyakan yang ditangkap polisi itu sepertinya juga tidak tampak sangar dan neko-neko. Ah. Sehabis menidurkan anak semata wayangnya, Siti sembahyang Isya'. Tidak seperti biasanya, kali ini doanya panjang sekali. Semua doa yang dihafalnya dibaca semua, bahkan ditambah doa dengan bahasa ibunya. Dia pernah mendengar dari seorang kiai, doa menggunakan bahasa ibu, terasa jauh lebih khusyuk. Ternyata benar. Air matanya sampai berlelehan saat dia meminta keselamatan suaminya. Dia teringat semua kebaikan suaminya yang selama ini tidak begitu ia perhatikan. Bicaranya yang selalu lembut kepadanya. Jika pulang dari bepergian, jauh atau dekat, selalu tidak lupa membawa oleh-oleh untuk dirinya dan anak mereka. Bila memberi uang, suaminya tidak pakai hitungan. Seringkali, belum sempat dia meminta, suaminya seperti sudah tahu dan langsung memberikan uang yang ia perlukan. Tidak jarang suaminya, jika sedang di rumah, ikut membantunya; tidak hanya momong anak, tapi juga mencuci dan di dapur. Siti tersenyum sendiri, teringat ketika suaminya berlelelahan air matanya saat membantunya merajang bawang merah. "Ya Allah, lindungilah suamiku! Jauhkanlah dia dari segala mara bahaya!" Ketika kemudian Siti merebahkan badannya di sisi anaknya yang pulas, dia masih terus berzikir. Tiba-tiba terdengar suara orang menggedor-gedor pintunya. Buru-buru Siti meloncat turun. Sejenak dia merasa lega. Ini pasti suaminya. Alhamdulillah. Namun betapa kagetnya ketika baru saja dia membuka pintu, beberapa orang berhamburan masuk. Semuanya berwajah waspada atau lebih tepatnya angker. "Kami petugas," kata salah seorang di antara mereka, "Kami mendapat perintah mencari suami Anda. Anda istri Mat Soleh?" Siti hanya mengangguk asal mengangguk. Pikirannya tak karuan. Ketika dilihatnya orang-orang itu menyebar ke seluruh ruang rumahnya, yang terpikir oleh Siti hanyalah anaknya yang sedang tidur. "Tolong jangan terlalu berisik!" pintanya, "anak saya baru saja tidur." Tapi tak ada gunanya. Dari biliknya, Intan, anaknya yang baru berumur lima tahun itu sudah keluar sambil menangis, memanggil-manggilnya. Siti segera menghambur memeluk buah hatinya itu sambil berusaha menenangkannya. "Bu, takut! Siapa mereka ini, Bu?" tanya si anak masih sesenggukan. "Syhh, syhh, tidak ada apa-apa, sayang. Bapak-bapak ini petugas yang sedang mencari sesuatu." Siti asal menjawab. "Bapal-bapak inilah yang sering ibu ceritakan sebagai pelindung-pelindung kita." Orang-orang itu mengobrak-abrik seisi rumah. Tak ada satu benda pun yang selamat dari pemeriksaan mereka. Bahkan grobok tempat makanan pun mereka udal-udal, entah mencari apa? Salah seorang di antaranya mencecar Siti dengan pertanyaan-pertanyaan tentang suaminya. Kapan kenal, kapan kawin, bagaimana kelakuannya selama ini; dan kapan terakhir bersama suaminya. Semua pertanyaan dijawab Siti apa adanya. Setelah puas dan tidak mendapatkan apa yang mereka cari, seorang di antara mereka pun memberi isyarat pergi. Namun sebelumnya dia masih sempat mengatakan kepada Siti bahwa mereka akan datang lagi. Begitu mereka keluar, Siti buru-buru menutup pintunya sambil berdoa semoga mereka tidak berubah pikiran dan balik lagi. Dia kembali menidurkan anaknya dan berbaring di sampingnya dengan pikiran yang kalut. Ternyata apa yang dikhawatirkan benar-benar terjadi. Suaminya dicari polisi. Bagaimana mungkin. Seingatnya, suaminya tidak pernah bohong dan menyembunyikan sesuatu kepadanya. Kalau benar dugaan polisi, pastilah Mat Soleh, suaminya itu, aktor yang luar biasa. Atau dia yang terlalu lugu sebagai istri, sehingga suaminya merahasiakan sesuatu selama ini tanpa sedikit pun dia mengetahuinya. Jadi selama ini suaminya pergi tidak untuk bisnis seperti yang dikesankan kepadanya. Ah, terlalu kau, Kang. Tega
[ppiindia] Gus Mus: Ramadan yang Istimewa
Ramadan yang Istimewa Oleh: KH. Dr. A Mustofa Bisri TIDAK terasa Ramadan, bulan istimewa dengan situasi dan suasananya yang istimewa, sudah kembali tiba. Di antara bulan-bulan setahun, bulan Ramadan memang merupakan bulan istimewa. Keistimewaannya bisa dilihat dari berbagai sudut; di antaranya bulan ini kitab suci Alquran diturunkan (Q.2: 185). Bahkan menurut sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud, Shuhuf-nya Nabi Ibrahim, Tauratnya Nabi Musa, Injilnya Nabi Isa, dan Zaburnya Nabi Daud, semuanya juga turun di bulan Ramadan. Pada bulan ini kita, kaum muslimin, diwajibkan berpuasa (Q. 2: 183). Pada bulan ini pintu sorga dibuka (HR imam Bukhori dan imam Muslim dari shahabat Abu Hurairah). Istimewanya lagi, setiap keistimewaan Ramadan justru bermuara kepada keistimewaan kita. Turunnya Alquran adalah istimewa, karena, sebagaimana kitab-kitab suci lainnya, Alquran adalah firman Allah kepada hamba-hambaNya. Dan ini berarti istimewa bagi kita, hamba-hamba-Nya. Bayangkan Allah Yang Maha Besar yang tak terhingga kebesarannya, Pencipta alam semesta , berkenan berfirman kepada kita yang sungguh amat sangat kecil di planet yang hanya sebesar debu di alam semesta ini. Pada bulan Ramadan kita, kaum beriman, diwajibkan berpuasa. Ini istimewa. Di sebelas bulan yang lain, kita boleh dikata bebas memperlakukan dan mentasarufkan apa saja yang dianugerahkan Allah kepada kita. Kita, misalnya, bebas menggunakan mulut anugerahNya untuk memasukkan dan mengeluarkan apa saja yang kita kehendaki, kecuali yang berbahaya terhadap diri kita sendiri. Kita bebas makan, minum, dan berbicara kapan saja kita mau. Begitu bebasnya sehingga terhadap yang berbahaya terhadap diri kita sendiri pun seringkali kita tabrak juga. Di bulan Ramadan ini lain. Kita tidak lagi bebas. Kita dipaksa mengekang dan menahan diri meski dalam waktu yang terbatas dari hal-hal yang halal yang tidak membahayakan diri kita sekali pun. Kemudahan Untuk kepentingan siapa kita mengekang dan menahan diri itu? Tidak untuk kepentingan siapa-siapa? Tapi untuk kepentingan kita sendiri. Di samping di bulan suci ini kita bisa dengan intens melatih diri menjadi mukmin yang kuat yang mampu mengalahkan diri sendiri yang pada akhirnya menjadi orang-orang yang benar-benar bertakwa, di samping itu bulan Ramadan menyediakan berbagai kemudahan bagi kita untuk mendapatkan rahmat dan pahala Allah. Pada bulan Ramadan, seperti berita yang disampaikan Rasulullah SAW, pintu surga dibuka. Kesempatan mendapatkan sesuatu yang memudahkan kita masuk surga terbuka lebar-lebar. Tinggal bagaimana kita mempergunakan kesempatan istimewa ini. Sebab ada hadis yang menyatakan banyak orang yang berpuasa dan hanya mendapatkan lapar belaka. Mudah-mudahan kita termasuk orang-orang yang dapat mengambil kesempatan istimewa bulan suci Ramadan ini terutama bagi kebahagiaan kita di akhirat kelak. Sedangkan untuk kebahagiaan dunia kita, sebelas bulan masa sih masih belum cukup? Selamat menunaikan ibadah puasa bagi kaum muslimin. Selamat mempergunakan kesempatan istimewa bulan Ramadan untuk mengevaluasi diri, menuju keridhaan Allah. KH. Dr. A. Mustofa Bisri, Pengajar di Pondok Pesantren Taman Pelajar Raudlatut Thalibin, Rembang, Jawa Tengah. -- "...menyembah yang maha esa, menghormati yang lebih tua, menyayangi yang lebih muda, mengasihi sesama..." [Non-text portions of this message have been removed]
[ppiindia] Gus Mus: Puasa dan Takwa
Puasa dan Takwa Oleh: KH. Dr. A. Mustofa Bisri Puasa diwajibkan atas kita orang-orang yang beriman. Kita yang telah berikrar lahir-batin bahwa tiada Tuhan kecuali Allah dan Nabi Muhammad SAW utusan Allah. Sebagai hamba Allah SWT yang telah berikrar, sebenarnya apa pun perintah-Nya, kita tidak perlu dan tidak pantas bertanya-tanya mengapa, untuk apa?. Hamba yang baik justru senantiasa ber-husnuzhzhan, berbaik sangka kepada-Nya. Allah SWT memerintahkan atau melarang sesuatu, pastilah untuk kepentingan kita. Karena Allah SWT Maha Kaya, tidak memiliki kepentingan apa pun. Ia mulia bukan karena dimuliakan, agung bukan karena diagungkan, berwibawa bukan karena ditunduki. Sejak semula, Ia sudah Maha Mulia, sudah Maha Agung, sudah Maha Kaya, sudah Maha Berwibawa Kalau kemudian Ia menjelaskan pentingnya melaksanakan perintah-Nya atau menjauhi larangan-Nya, semata-mata karena Ia tahu watak kita yang suka mempertanyakan, yang selalu menonjolkan kepentingan sendiri. Maka, sebelum kita mempertanyakan mengapa kita diperintahkan berpuasa, misalnya, Allah SWT telah berfirman: íóÇ ÃóíøõåóÇ ÇáøóÐöíäó ÂãóäõæÇ ßõÊöÈó Úóáóíúßõãú ÇáÕøöíóÇãõ ßóãóÇ ßõÊöÈó Úóáóì ÇáøóÐöíäó ãöäú ÞóÈúáößõãú áóÚóáøóßõãú ÊóÊøóÞõæäó (QS. Al-Baqarah: 183) "Wahai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan puasa atas kalian sebagaimana diwajibkan atas orang-orang yang sebelum kalian, agar kalian bertakwa." Hamba mukmin di dunia ini, dalam proses menuju ketakwaan kepada Allah SWT. Karena semua kebaikan hamba di dunia dan kebahagiaannya di akherat, kuncinya adalah ketakwaan kepada-Nya. Mulai dari pujian Allah SWT, dukungan dan pertolongan-Nya, penjagaan-Nya, pengampunan-Nya, cinta-Nya, limpahan rejeki-Nya, pematutan amal dan penerimaan-Nya terhadapnya, hingga kebahagiaan abadi di sorga, ketakwaanlah kuncinya. (Baca misalnya, Q.3: 76, 120, 133, 186; Q.5:27; Q. 16: 128; Q. 19: 72; Q. 39: 61; Q. 65: 2-3; Q. 33: 70-71; Q. 49: 13). Nah puasa, sebagaimana dijelaskan Allah SWT dalam ayat 183 al-Baqarah di atas, merupakan sarana kita untuk mencapai ketakwaan yang berarti pada gilirannya meraih kebahagian di dunia dan akherat.. Takwa sendiri lebih sering diucapkan ketimbang diterangkan. Ini barangkali karena banyaknya definisi. Intinya-sejalan dengan maknanya secara bahasa-ialah penjagaan diri. Penjagaan diri dari apa? Ada yang mengatakan penjagaan diri dari hukuman Allah dengan cara mentaati-Nya. Ada yang mengatakan penjagaan diri dari mengabaikan perintah-perintah Allah dan melanggar larangan-larangan-Nya. Ada yang mengatakan penjagaan diri dari melakukan hal-hal yang menjauhkan dari Allah. Ada yang mengatakan penjagaan diri jangan sampai mengikuti hawa nafsu dan tergoda setan. Ada yang mengatakan penjagaan diri jangan sampai tidak mengikuti jejak Rasulullah SAW. Dan masih banyak lagi pendapat yang jika kita cermati, semuanya berujung pada satu makna. Perbedaannya hanya pada ungkapan tentang dari apa kita mesti menjaga diri. Orang mukmin yang menjaga dirinya terhadap seretan hawa nafsunya dan atau godaan setan, berarti dia menjaga diri dari mengabaikan perintah-perintah Allah dan dari melakukan hal-hal yang dilarang-Nya; berarti, dia menjaga diri agar tetap mengikuti jejak Rasullah SAW; berarti menjaga diri dari hukuman Allah dan dijauhkan dari-Nya. Ibarat berjalan di ladang ranjau, orang yang bertakwa senantiasa berhati-hati dan waspada terhadap hal-hal yang dapat mencelakakannya. Puasa, seperti diketahui, bukanlah sekedar menahan diri untuk tidak makan dan tidak minum. Seandainya sekedar menahan diri dari makan dan minum pun sudah merupakan latihan untuk dapat menguasai dan menjaga diri karena Allah. Dalam puasa, melakukan dan tidak melakukan sesuatu karena Allah secara nalar jauh lebih mudah. Orang yang berpuasa karena orang, misalnya, bisa saja makan atau minum di siang hari secara sembunyi-sembunyi. Makan makanannya sendiri, minum minumannya sendiri, apa susahnya? Tapi untuk apa? Karena Allah-lah yang membuat orang mukmin bersedia menahan lapar, tidak makan makanannya sendiri, menahan haus, tidak minum minumannya sendiri. Karena Allah ini tentu saja hanya bisa disikapi oleh mereka yang iman kepada Allah. Dan seukur tebal-tipis, besar-kecil, atau kuat-ringkihnya iman itulah, ketulusan orang yang melakukan atau tidak melakukan sesuatu karena Allah. Di dalam puasa, orang mukmin digembleng untuk menjadi mukmin yang kuat yang dapat menguasai dan menjaga diri. Mukmin yang lubuk hatinya, pikirannya, hingga pelupuk matanya, merupakan singgasana Allah, sehingga tidak mudah dibuat tergiur oleh iming-iming sesaat seperti hewan, tidak terjerumus berperilaku buas dan serakah seperti binatang. Mukmin sejati, mukmin yang bertakwa kepada Allah. Bukan pengaku mukmin yang lubuk hatinya, pikirannya, hingga pelupuk matanya merupakan tempat mendekam hewan dan binatang buas, sehingga makan pun tidak peduli makan makanannya sendiri atau milik orang lain dan menunjukkan kehebatannya dengan menerkam kesana-kemari. Naudzu billah min dzalik. Mudah-mudahan
[ppiindia] Gus Mus: Pesantren Kilat
Pesantren Kilat Oleh: KH. Dr. A. Mustofa Bisri Ramadhan adalah bulan mulia yang memberikan kesempatan kepada kamu untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT. Nah, gunakan sebaik-baiknya waktu kamu pada bulan Ramadhan ini untuk memperbanyak ibadah dan pengetahuan keagamaan. Pada awal-awal bulan ramadhan yang telah lewat, kita menyaksikan dan melihat banyak lembaga-lembaga pendidikan dan takmir/remaja masjid sibuk untuk mengadakan kegiatan-kegiatan yang bernafaskan islami pada awal-awal bulan ramdhan. Tradisi mengadakan kegiatan-kegiatan islami selama bulan ramadhan, khususnya pada awal minggu pertama, agar bulan yang penuh berkah ini diisi dengan ibadah. Kegiatan selama bulan ramadhan sudah pasti bernuansa rohani, seperti siraman rohani dan bimbingan khusus untuk menjalankan ibadah puasa dengan khusyuk. Salah satu kegiatan positif yang dapat memperdalam ilmu-ilmu agama adalah pesantren kilat. Pesantren kilat sering diadakan oleh lembaga-lembaga pendidikan formal, mulai dari Sekolah Dasar (SD) sampai Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) dengan cara mewajibkan para siswa/siswinya untuk mengikuti pesantren kilat. Tempat untuk mengadakan pesantren kilat tidak hanya dilaksanakan di dalam gedung-gedung sekolah atau ruang masjid tetapi ada juga yang mengadakan pesantren kilat di ruang terbuka, seperti pegunungan dan di padepokan-padepokan taman wisata yang jauh dari kerumunan orang-orang banyak yang tujuan utamanya adalah supaya bisa khusyuk dan serius dalam menjalankan ibadah. Pesantren kilat umumnya dilaksanakan selama satu atau dua minggu pada awal bulan ramadhan. Materi yang diberikan pada pesantren kilat biasanya kegiatan-kegiatan yang bernafaskan rohani dan pendalaman ilmu-ilmu agama, misalnya membaca Al-Qur'an, praktik wudlu, shalat, tayamum, adzan, menghafal surat-surat pendek dan ayat-ayat pilihan, doa-doa, mendengarkan ceramah, dan berdiskusi tentang keislaman. Tetapi pada akhir-akhir ini, materi pesantren kilat tidak hanya mempelajari ilmu-ilmu religius tetapi juga ada materi-materi umum seperti, psikologi yang menenkankan pentingnya mengetahui siapa manusia itu sebenarnya dan bagaimana harus berintraksi antara satu dengan yang lain, *outbound *atau permainan di luar ruangan, pentas musik, pentas teater, dan sebagainya. Misalnya saja pesantren kilat yang dilaksanakan oleh RISKA (Remaja Islam Sunda Kelapa) yang dilaksanakan di daerah Cisalak, Bogor, Jawa Barat. Dengan bertempat di alam terbuka peserta diharapkan bisa mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Kuasa dengan merenungkan ciptaan-Nya. Pesantren kilat yang laksanakan oleh RISKA tidak hanya diisi materi-materi agama tetapi peserta juga akan diajak untuk mengunjungi Lembaga Pemasyarakatan (LP) khusus wanita di Tangerang. Manfaat mengikuti pesantren kilat adalah selain mendapatkan ilmu agama dan dapat menjalankan ibadah puasa dengan khusus juga memperoleh banyak pengalaman berharga misalnya, berlatih mandiri, rasa sosial dan setia kawan jadi lebih meningkat, serta memupuk rasa kebersamaan. Pesantren kilat tampaknya dapat dijadikan alternatif pendidikan islami bagi siswa sekolah umum di kota-kota besar yang relatif kurang mendapatkan pelajaran keagamaan. Pesantren kilat selama bulan Ramadhan diharapkan dapat meningkatkan ketakwaan para siswa sekolah serta menanamkan kepedulian sesama. Akan lebih baik lagi bila para pengelola pondok pesantren juga pro aktif menyelenggarakan pesantren kilat bagi para siswa sekolah umum selama bulan ramadhan sehingga para siswa sekolah umum di kota-kota besar dapat menyelami kehidupan asrama (mukim) di pesantren yang sarat dengan nilai kebersamaan dan kebersahajaan. Pesantren kilat yang diselenggarakan langsung oleh Pondok Pesantren yang sehari-hari memang menyelenggarakan pendidikan keagamaan diharapkan dapat memberikan pemahaman keislaman yang menyeluruh *(kaffah)* dan tidak *instant * sehingga para siswa sekolah umum dapat memahami substansi ajaran agama dan tidak tejebak pada simbolisme agama yang seringkali bermuara pada ekstrimisme, radikalisme dan anarkisme. Kita tentunya prihatin dengan kecenderungan ekstrimisme dan radikalisme yang melanda kaum muda pelajar dan mahasiswa di sekolah dan kampus umum yang salah satunya disebabkan pemahaman agama yang simbolik dan *instant**.* KH. Dr. A. Mustofa Bisri, Pengajar di Pondok Pesantren Taman Pelajar Raudlatut Thalibin, Rembang, Jawa Tengah. -- "...menyembah yang maha esa, menghormati yang lebih tua, menyayangi yang lebih muda, mengasihi sesama..." [Non-text portions of this message have been removed]
[ppiindia] Gus Mus: Pidato Nabi Menjelang Ramadlan
Pidato Nabi Menjelang Ramadlan Oleh: KH. Dr. A. Mustofa Bisri Sahabat Salman r.a. menceritakan, bahwa Rasulullah saw. pernah berpidato di depan para sahabat pada hari terakhir bulan Sya'ban. Rasulullah antara lain bersabda: *"Wahai orang-orang, telah datang kepada kalian Bulan Agung, bulan penuh berkah dimana di dalamnya terdapat satu malam yang lebih baik dari seribu bulan. Bulan dimana Allah mewajibkan puasa dan mengajurkan jungkung, melakukan ibadah sunnah di malam harinya.* *Barangsiapa melakukan pendekatan diri kepada Allah di dalam bulan ini dengan mengerjakan sesuatu perbuatan baik atau menunaikan suatu kewajiban, maka sama halnya dengan menunaikan tujuhpuluh kewajiban di saat-saat lain. Bulan ini adalah bulan bersabar, sedangkan bersabar pahalanya adalah surga. Bulan ini adalah bulan kebersamaan. Bulan dimana rezeki orang Mukmin bertambah; barangsiapa memberi buka kepada orang yang berpuasa, berarti melebur dosa-dosanya dan membebaskannya dari api neraka, dan orang yang memberi buku itu sendiri mendapatkan pahala yang sama, tanpa kurang sedikit pun."* Para sahabat berkata, "Tidak semua kita mampu menyediakan buka bagi orang yang berpuasa." Nabi pun bersabda,"Allah memberikan pahala ini kepada orang yang memberi buka, meskipun hanya dengan sebuah kurma, seteguk air, atau hanya secicipan susu. Bulan ini adalah bulan yang awalnya merupakan rahmat, tengahnya ampunan, dan akhirnya pembebasan dari api neraka; barangsiapa meringankan beban buruhnya di bulan ini, Allah akan mengampunimya dan membebaskannya dari api neraka. Maka perbanyaklah, di bulan ini, melakukan empat hal; dua diantaranya akan membuat Tuhan kalian ridha dan dua hal lainnya merupakan kebutuhan yang tak dapat kalian abaikan. Dua hal yang membuat Tuhan kalian ridha ialah bersyahadat tak ada Tuhan selain Allah dan beristighfar, memohon ampun kepada-Nya. Sedangkan dua lainnya yang tak dapat kalian abaikan ialah: memohon surga kepada Allah dan memohon perlindungan-Nya dari api neraka. Barangsiapa membuat kenyang seseorang yang berpuasa di bulan ini, Allah akan memberinya minum dari telagaku, minuman yang membuatnya tak akan kehausan selamanya." Itulah sabda Rasul pembawa syariat Islam termasuk puasa di bulan Ramadhan ini dari Allah Kiranya saya tidak perlu lagi memberi komentar atau penjelasan kecuali barangkali memberitahukan sebahai amanat an-naqli dan tanggung jawab ilmiah dalam penulikan sabda Nabi bahwa sabda Nabi itu saya dapat dan saya terjemahkan dari salah satu kitab Syeikh Abdul Qadir al-Jailani al-Baghdady yang terkenal, Al-Ghinyah. Ilmuan yang termasyhur sebagai wali Allah itu menuturkan dalam kitabnya tersebut, bahwa dia mendapat cerita tentang pidato Nabi itu dari Abu Nashr. Abu Nashr dari ayahnya dan ayahnya ini dari Ibn al-Faris. Ibn al-Faris dari Abu Hamid dari Muhammad bin al-Jaludi an-Naisabury. Abu Hamid dari Muhammad bin Ishaq. Ibn Ishaq dari Ibn Khuzaimah. Ibn Khuzaimah dari Ibn Hajar as-Sa'di dari Yusuf bin Ziyad. Tusuf dari Hamam bin Yahya. Hamam dari Ali bin Zaid bin Jad'an. Ali dari tokoh tabi'in terkenal, sa'd bin al-Musayyab. Dan Sa'd sendiri dari dahabat Salman r.a. KH. Dr. A. Mustofa Bisri, Pengajar di Pondok Pesantren Taman Pelajar Raudlatut Thalibin, Rembang, Jawa Tengah. Dari buku Pesan Islam Sehari-hari: Ritus Zikir dan Gempita Ummat, Risalah Gusti, 1997 -- "...menyembah yang maha esa, menghormati yang lebih tua, menyayangi yang lebih muda, mengasihi sesama..." [Non-text portions of this message have been removed] *** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://groups.yahoo.com/group/ppiindia *** __ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Reading only, http://ppi-india.blogspot.com 4. Satu email perhari: ppiindia-dig...@yahoogroups.com 5. No-email/web only: ppiindia-nom...@yahoogroups.com 6. kembali menerima email: ppiindia-nor...@yahoogroups.com Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> Your email settings: Individual Email | Traditional <*> To change settings online go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/join (Yahoo! ID required) <*> To change settings via email: ppiindia-dig...@yahoogroups.com ppiindia-fullfeatu...@yahoogroups.com <*> To unsubscribe from this group, send an email to: ppiindia-unsubscr...@yahoogroups.com <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/
[ppiindia] Gus Mus: Sang Primadona
Sang Primadona Oleh: KH. Dr. A. Mustofa Bisri Apa yang harus aku lakukan? Berilah aku saran! Aku benar-benar pusing. Apabila masalahku ini berlarut-larut dan aku tidak segera menemukan pemecahannya, aku khawatir akan berdampak buruk terhadap kondisi kesehatan dan kegiatanku dalam masyarakat. Lebih-lebih terhadap dua permataku yang manis-manis; Gita, dan Ragil. Tapi agar jelas, biarlah aku ceritakan lebih dahulu dari awal. Aku lahir dan tumbuh dalam keluarga yang katakanlahkecukupan. Aku dianugerahi Tuhan wajah yang cukup cantik dan perawakan yang menawan. Sejak kecil aku sudah menjadi 'primadona' keluarga. Kedua orangtuaku pun, meski tidak memanjakanku, sangat menyayangiku. Di sekolah, mulai SD sampai dengan SMA, aku pun alhamduliLlah-- juga disayangi guru-guru dan kawan-kawanku. Apalagi aku sering mewakili sekolah dalam perlombaan-perlombaan dan tidak jarang aku menjadi juara. Ketika di SD aku pernah menjadi juara I lomba menari. Waktu SMP aku mendapat piala dalam lomba menyanyi. Bahkan ketika SMA aku pernah menjuarai lomba baca puisi tingkat propinsi. Tapi sungguh, aku tidak pernah bermimpi akhirnya aku menjadi artis di ibu kota seperti sekarang ini. Cita-citaku dari kecil aku ingin menjadi pengacara yang disetiap persidangan menjadi bintang, seperti sering aku lihat dalam film. Ini gara-gara ketika aku baru beberapa semester kuliah, aku memenangkan lomba foto model. Lalu ditawari main sinetron dan akhirnya keasyikan main film. Kuliahku pun tidak berlanjut. Seperti umumnya artis-artis popular di negeri ini, aku pun kemudian menjadi incaran perusahaan-perusahaan untuk pembuatan iklan; diminta menjadi presenter dalam acara-acara seremonial; menjadi host di tv-tv; malah tidak jarang diundang untuk presentasi dalam seminar-seminar bersama tokoh-tokoh cendekiawan. Yang terakhir ini, boleh jadi aku hanya dijadikan alat menarik peminat. Tapi apa rugiku? Asal aku diberi honor standar, aku tak peduli. Soal kuliahku yang tidak berlanjut, aku menghibur diriku dengan mengatakan kepada diriku, 'Ah, belajar kan tidak harus di bangku kuliah. Lagi pula orang kuliah ujung-ujungnya kan untuk mencari materi. Aku tidak menjadi pengacara dan bintang pengadilan, tak mengapa; bukankah kini aku sudah menjadi super bintang. Materi cukup.' Memang sebagai perempuan yang belum bersuami, aku cukup bangga dengan kehidupanku yang boleh dikata serba kecukupan. Aku sudah mampu membeli rumah sendiri yang cukup indah di kawasan elite. Kemana-mana, ada mobil yang siap mengantarku. Pendek kata aku bangga bisa menjadi perempuan yang mandiri. Tidak lagi bergantung kepada orangtua. Bahkan kini sedikit-banyak aku bisa membantu kehidupan ekonomi mereka di kampung. Sementara banyak kawan-kawanku yang sudah lulus kuliah, masih lontang-lantung mencari pekerjaan. Kadang-kadang untuk sekedar menyenangkan orang tua, aku mengundang mereka dari kampung. Ibuku yang biasanya nyinyir mengomentari apa saja yang kulakukan dan menasehatiku ini-itu, kini tampak seperti sudah menganggapku benar-benar orang dewasa. Entah kenyataannya demikian atau hanya karena segan kepada anaknya yang kini sudah benar-benar hidup mandiri. Yang masih selalu ibu ingatkan, baik secara langsung atau melalui surat, ialah soal ibadah. "Nduk, ibadah itu penting."; "Bagaimana pun sibukmu, salat jangan kamu abaikan!"; "Sempatkan membaca Quran yang pernah kau pelajari ketika di kampung dulu, agar tidak hilang."; "Bila kamu mempunyai rezki lebih, jangan lupa bersedekah kepada fakir miskin dan anak yatim." Ya, kalimat-kalimat semacam itulah yang masih sering beliau wiridkan. Mula-mula memang aku perhatikan; bahkan aku berusaha melaksanakan nasihat-nasihat itu, tapi dengan semakin meningkatnya volume kegiatanku, lama-lama aku justru risi dan menganggapnya angin lalu saja. Sebagai artis tenar, tentu saja banyak orang yang mengidolakanku. Tapi ada seorang yang mengagumiku justru sebelum aku menjadi setenar sekarang ini. Tidak. Ia tidak sekedar mengidolakanku. Dia menyintaiku habis-habisan. Ini ia tunjukkan tidak hanya dengan hampir selalu hadir dalam event-event dimana aku tampil; ia juga setia menungguiku shoting film dan mengantarku pulang. Tidak itu saja; hampir setiap hari, bila berjauhan, dia selalu telpon atau mengirim sms yang seringkali hanya untuk menyatakan kangen. Di antara mereka yang mengagumiku, lelaki yang satu ini memang memiliki kelebihan. Dia seorang pengusaha yang sukses. Masih muda, tampan, sopan, dan penuh perhatian. Pendek kata, akhirnya aku takluk di hadapan kegigihannya dan kesabarannya. Aku berhasil dipersuntingnya. Tidak perlu aku ceritakan betapa meriah pesta perkawinan kami ketika itu. Pers memberitakannya setiap hari hampir dua minggu penuh. Tentu saja yang paling bahagia adalah kedua orangtuaku yang memang sejak lama menghendaki aku segera mengakhiri masa lajangku yang menurut mereka mengkhawatirkan. Begitulah; di awal-awal perkawinan, semua berjalan baik-baik saja. Setelah berbulan madu yang singkat, aku kembali menekuni ke
[ppiindia] Gus Mus: Kang Kasanun
Kang Kasanun Oleh: KH. A. Mustofa Bisri Mendengar cerita-cerita tentang tokoh yang akan aku ceritakan ini, baik dari ayah atau kawan-kawannya seangkatan di pesantren, aku diam-diam mengaguminya. Bahkan seringkali aku membayangkannya seperti Superman, Spiderman, atau si Pesulap Mandrake. Wah, seandainya aku berkesempatan bertemu dengannya dan dapat satu ilmu saja, lamunku selalu. Ayah maupun kawan-kawannya selalu menyebutnya dengan Kang Kasanun. Tidak ada yang menyebut namanya saja. Boleh jadi karena faktor keseniorannya atau karena ilmunya. Kiai Mabrur, guruku ngaji Quran dan salah seorang kawan ayah di pesantren, paling semangat bila bercerita tentang Kang Kasanun. Aku dan kawan-kawanku paling senang mendengarkannya; apalagi Kiai Mabrur bila bercerita tentang tokoh yang dikaguminya itu acapkali sambil memperagakannya. Misalnya ketika bercerita bagaimana Kang Kasanun dikeroyok para begal, Kiai Mabrur memperagakan dengan memperlihatkan jurus-jurus silat. "Kang Kasanun itu pendekar yang ilmu silatnya komplit," katanya terengah-engah. "Yang saya peragakan itu tadi jurus silat Cibadak. Jurus yang digunakan Kang Kasanun membekuk tujuh begal yang mencegatnya di perjalanan. Tujuh orang dan Kang Kasanun sendirian. Bayangkan! Kami sendiri, saya dan beberapa kawan yang berminat, setiap malam Jumat dia ajari jurus-jurus silat dari berbagai cabang. Tapi mana mungkin bisa seperti dia? Dia itu bahkan mempunyai ilmu cicak. Bila sedang bersilat, bisa nempel dan merayap di dinding." Ayah sendiri sering juga bercerita tentang Kang Kasanun, tapi tidak dengan memperagakannya seperti Kiai Mabrur. "Nggak tahu, dia itu ilmunya dari mana?" kata ayah suatu hari ketika sedang bercerita tentang kawannya yang disebutnya jadug itu. "Di samping menguasai ilmu silat, ilmu hikmahnya aneh-aneh. Hanya dengan merapalkan bacaan aneh --campuran bahasa Arab dan Jawa-- dia bisa membuat tidur seiisi mushalla. Pernah dia menjadi tontonan orang sepasar gara-gara dia dihina penjual lombok lalu lombok satu pikul dimakannya habis. Dia tidak apa-apa, tapi penjualnya kemudian yang murus. Kata kawan-kawan dia juga bisa memanggil burung yang sedang terbang di udara dan ikan di dalam sungai." "Kata Kiai Mabrur, Pak Kasanun juga bisa menghilang, betul Yah?" tanya saya. Ayah tersenyum dan pandangannya seperti menerawang ke masa lalunya. "Pernah beberapa kawan diajarinya ilmu halimunan entah apa. Pokoknya ilmu untuk menghilang. Mereka disuruh puasa tujuh hari mutih, artinya bukanya hanya dengan nasi tanpa lauk apa-apa. Lalu ada satu malam ngebleng, semuanya tidak boleh tidur sama sekali. Ayah juga ikut." Ayah berhenti sejenak, tersenyum-senyum sendiri, mungkin terbawa kenangan masa lalunya, baru kemudian melanjutkan ceritanya. "Dari sekian orang yang ikut program halimunan itu, hanya ayah yang gagal. Ayah tahu kalau gagal, ketika ilmu itu dipraktikkan. Hari itu, kami beramai-ramai, di bawah pimpinan Kang Kasanun sendiri, datang ke toko Cina yang terkenal paling galak di kota. Kang Kasanun berpesan siapa pun di antara kami yang nanti di toko masih melihat orang lengkap dengan kepalanya, jangan sekali-kali mengambil sesuatu. Karena tandanya kalau kami sudah benar-benar hilang, tidak terlihat orang, yaitu apabila kepala semua orang tidak tampak. Dan ingat, kata Kang Kasanun, kita bukan niat mencuri tapi mengamalkan ilmu. Jadi ambil barang seadanya dan yang murah-murah saja." Ayah berhenti lagi, tersenyum-senyum lagi, baru sejurus kemudian melanjutkan. "Wah, saya lihat waktu itu kawan-kawan ada yang mengambil sabun, ada yang mengambil potlot, sisir, minyak rambut, dan lain-lain. Mabrur, guru Quranmu itu, malah sengaja mengambil manisan yang terletak persis di depan Cina pemilik toko yang galak itu. Anehnya, baik si pemilik toko maupun pelayan-pelayannya, seperti tidak melihat apa-apa. Setelah mengambil barang-barang itu, kawan-kawan ngeloyor begitu saja dan tak ada yang menegur. Saya yang malah ditanya Kang Kasanun, kenapa saya tidak mengambil apa-apa? Saya menjawab bahwa saya masih melihat kepala semua orang yang ada di toko. Jadi, sesuai pesan Kang Kasanun sendiri, saya tidak berani mengambil apa-apa. 'Sampeyan kurang mantap sih!' komentar Kang Kasanun. Memang terus terang, waktu itu --sebelum menyaksikan sendiri adegan di toko itu-- saya tidak percaya ada ilmu halimunan, ada orang bisa menghilang." "Ada tamu ya, Bu?!" tanyaku kepada ibuku yang sedang sibuk membenahi kamar tamu. "Ya," jawab ibu tanpa menoleh, "Kawan lama ayahmu di pesantren. Beliau akan menginap beberapa malam. Mungkin mau kangen-kangenan sama ayahmu. Dengar itu, tawa mereka." "Ya, asyik benar tampaknya," timpalku. "Tamu dari mana sih, Bu?" "Kata ayahmu tinggalnya sekarang di luar Jawa. Namanya Kasanun atau siapa?!" "Kasanun?" tanya aku setengah berteriak. "Ee, jangan berteriak!" bisik ibu. Tapi aku sudah bergegas meninggalkannya. Dari gorden jendela aku mengintip ke ruang tamu. Sekejab aku jadi ragu-ragu. Tamu ayah tidak seperti yang aku bayangkan. Tidak gagah,
[ppiindia] Gus Mus: Dakwah Itu...
Dakwah Itu... Oleh: KH. Dr. A. Mustofa Bisri Dalam rangka mereformasi diri, mereformasi keberagamaan saya sebagai muslim -yang akhir-akhir ini dirisaukan oleh berita-berita negatif mengenai beberapa oknum muslim dan lembaga Islam- pada bulan suci Ramadan kemarin saya sempat merenung. Di antaranya tentang dakwah. Saya membayangkan, seandainya para Wali Sanga (atau Wali Sana) dan dai-dai bijak yang lain tempo dulu tidak berdakwah, atau berdakwah tetapi tidak sesuai dengan tuntunan Quran dan Rasulullah, kira-kira apa saya akan mengenal dan mengikuti jalan Allah serta menikmati ajaran Islam yang mulia seperti sekarang ini? Bahkan, umat Islam di negeri kita apakah akan menjadi mayoritas seperti sekarang ini? Alhamdulillah, para dai pendahulu itu -tidak seperti banyak kalangan Islam sekarang ini- begitu sabar, telaten, dan bijaksana dalam berdakwah, mengikuti tuntunan Quran dan Rasulullah SAW. Mereka benar-benar berdakwah dalam pengertian yang sebenar-benarnya. Seperti kita ketahui, dakwah adalah mengajak. Mengajak lain dengan memerintah atau apalagi memaksa. Mengajak bernuansa lembut dan membujuk. Kebanyakan calo terminal tidak berhasil mengajak orang naik bus juragannya, karena mereka tidak mengenal makna dan etika mengajak. Sikap mereka lebih menyiratkan pemaksaan ketimbang ajakan. Dalam kaitan dakwah Islamiah, sasaran dakwah -sebagaimana tersurat dan tersirat dalam Quran (Q. 16: 125 dst)- ialah mereka yang belum tahu atau belum mengambah jalan Allah. Kita tahu bahwa pada zaman Wali Sanga, orang yang belum di jalan Allah jauh lebih banyak daripada sekarang. Bahkan, boleh dikata yang sudah berada di jalan Allah masih langka sekali. Alangkah besarnya jasa dan pahala para pendahulu itu. Saya membayangkan, seandainya para wali itu seperti banyak pengajak Islam masa kini yang tidak sabaran dan suka main gasak dan sikat, pastilah kita yang hidup sekarang ini masih belum mengenal Islam, apalagi Allah. Untunglah, yang ditiru para wali itu bukan tokoh-tokoh dunia yang tertindas dan *kaku ati* melihat kezaliman pihak lain yang kuat, tetapi konsisten mengikuti jejak Rasulullah SAW yang arif bijaksana. Sesuai teladan Rasulullah SAW, mereka mengajak ke jalan Allah dengan bijaksana *(bil-hikmah)*, menasihati dengan baik *(bil-mauizhatil hasanah)*. Bila perlu berbantah, mereka melakukan dengan cara yang lebih baik lagi *(billatie hiya ahsan).* Mengajak bil-hikmah artinya melaksanakan dengan kelembutan dan memperhatikan siapa yang diajak, kemudian menyesuaikan ajakannya dengan kondisi yang diajaknya itu. Mengajak orang yang lebih tua, tentu berbeda dengan mengajak orang yang lebih muda, dan seterusnya. Mengajak juga mesti dengan kasih sayang dan tidak secara kasar. Bahkan, Allah sendiri ketika mengutus Nabi Musa dan Nabi Harun mendakwahi Firaun -yang tidak hanya kafir, tapi malah mengaku Tuhan- mewanti-wanti, *"Waquulaa lahu qaulan layyinan.." *(Q. 20: 44) "Berbicaralah kalian berdua kepadanya (Firaun) dengan perkataan yang lemah-lembut" Idealnya, orang yang mengajak orang lain, sebelumnya sudah mengajak dirinya sendiri. Orang yang mengajak naik bus A, sedangkan dia sendiri naik bus B, tentu membingungkan yang diajak. Orang yang mengajak ke agama kasih sayang, tetapi dia sendiri penuh kebencian, tentu saja aneh. (Anehnya, yang bersangkutan sendiri banyak yang justru tidak merasa aneh). Mengajak *bil-mauizhatil hasanah*, mengandung arti diri yang mengajak sendiri haruslah sudah dapat melakukan apa yang dinasihatkan kepada orang lain. Bagaimana mungkin mengajak dan menasihati orang agar sabar, misalnya, dengan marah-marah? Bagaimana mengajak dan menasihatkan iman dengan cara-cara Jahiliyah? Bagaimana mengajak dan menasihatkan Islam dengan arogansi dan kebencian? Apabila yang diajak ke jalan Allah membantah, yang mengajak harus lebih baik lagi melayaninya. Perhatikanlah redaksi ayat 125 surah An-Nahl itu. Ketika berfirman tentang mauizhah, Allah menyifatinya dengan hasanah (baik) dan ketika berfirman tentang *jidaal* (berbantahan, polemik, berdialog, dsb), Allah menyifatinya dengan *billatie hiya ahsan*(dengan yang lebih baik). Berbantah atau berdialog atau berpolemik yang lebih baik ialah yang semata-mata karena Allah dan untuk menunjukkan kebenaran, bukan mencari menang atau unjuk kekuatan. Ia juga menuntut kesediaan mendengarkan lawan bicara, tidak apriori. *Billatie hiya ahsan* juga mengisyaratkan bahwa jalan Allah yang baik, mesti tecermin juga dari cara orang yang mengajak dan berbantah. Bagaimana mungkin orang yang mengajak kepada kebaikan bisa diterima oleh yang diajak, bila cara-cara yang dipakainya justru tidak baik. Ayat *Ud'u ilaa sabiili Rabbika.* (Ajaklah ke jalan Tuhanmu) itu tidak menyebutkan siapa yang disuruh ajak. Para mufassir menafsirkan: yang diajak adalah semua orang. Tentu termasuk diri sendiri. Dan, mereka yang mengajak ke jalan Tuhan haruslah ingat kepada yang menyuruh mereka mengajak. Karena itu, mengajak ke jalan Tuhan haruslah hanya karena Allah. Bukan karena kepentingan ideologi p
[ppiindia] Gus Mus: Bahasa Geram
Bahasa Geram 18 Juni 2010 14:00:10 Oleh: KH. Dr. A. Mustofa Bisri Bangsa ini sedang terserang virus apa sebenarnya? Apakah hanya karena panas global? Di rumah, di jalanan, di lapangan bola, di gedung dapur, bahkan di tempat-tempat ibadah, kita menyaksikan saja orang yang marah-marah. Tidak hanya laku dan tindakan, ujaran dan kata-kata pun seolah-olah dipilih yang kasar dan menusuk. Seolah-olah di negeri ini tidak lagi ada ruang untuk kesantunan pergaulan. Pers pun apalagi teve--tampaknya suka dengan berita dan tayangan-tayangan kemarahan. Lihatlah bahasa orang-orang terhormat di forum-forum terhormat itu dan banding-sandingkan dengan tingkah laku umumnya para demonstran di jalanan. Seolah-olah ada kejumbuhani pemahaman antara para pembawa aspirasi gedongan dan pembawa aspirasi jalanan tentang demokrasi. Demokrasi yangsetelah euforia reformasi--dipahami sebagai sesuatu tatanan yang mesti bermuatan kekasaran dan kemarahan. Yang lebih musykil lagi bahasa kemarahan ini juga sudah seperti tren pula di kalangan intelektual dan agamawan. Khotbah-khotbah keagamaan, ceramah-ceramah dan makalah-makalah ilmiah dirasa kurang afdol bila tidak disertai dengan dan disarati oleh nada geram dan murka. Seolah-olah tanpa gelegak kemarahan dan tusuk sana tusuk sini bukanlah khotbah dan makalah sejati. Khususnya di ibu kota dan kota-kota besar lainnya, di hari Jumat, misalnya, Anda akan sangat mudah menyaksikan dan mendengarkan khotbah ustadz yang dengan kebencian luar biasa menghujat pihak-pihak tertentu yang tidak sealiran atau sepaham dengannya. Nuansa nafsu atau keangkuhan Orang Pintar Baru (OPB) lebih kental terasa dari pada semangat dan ruh nasihat keagamaan dan ishlah. Kegenitan para ustadz OPB yang umumnya dari perkotaan itu seiiring dengan munculnya banyak buku, majalah, brosur dan selebaran yang mengajarkan kegeraman atas nama amar makruf nahi munkar atau atas nama pemurnian syariat Islam. Penulis-penulisnyayang agaknya juga OPBdi samping silau dengan paham-paham dari luar, boleh jadi juga akibat terlalu tinggi menghargai diri sendiri dan terlalu kagum dengan pengetahuan baru-nya. Lalu menganggap apa yang dikemukakannya merupakan pendapatnya dan pendapatnya adalah kebenaran sejati satu-satunya. Pendapat-pendapat lain yang berbeda pasti salah. Dan yang salah pasti jahanam. Dari bacaan-bacaan, ceramah-ceramah, khotbah-khotbah dan ujaran-ujaran lain yang bernada geram dan menghujat sana-sani tersebut pada gilirannya menjalar-tularkan bahasa tengik itu kemana-mana; termasuk ke media komunikasi internet dan handphone. Lihatlah dan bacalah apa yang ditulis orang di ruang-ruang yang khusus disediakan untuk mengomentari suatu berita atau pendapat di dunia maya atau sms-sms yang ditulis oleh anonim itu. Kita boleh beranalisis bahwa fenomena yang bertentangan dengan slogan Bangsa Indonesia adalah bangsa yang ramah tersebut akibat dari berbagai faktor, terutama karena faktor tekanan ekonomi, ketimpangan sosial dan ketertinggalan. Namun, mengingat bahwa mayoritas bangsa ini beragama Islam pengikut Nabi Muhammad SAW, fenomena tersebut tetap saja musykil. Apalagi jika para elit agama yang mengajarkan budi pekerti luhur itu justru ikut menjadi pelopor tren tengik tersebut. Bagi umat Islam, al-khairu kulluhu fittibaair Rasul SAW, yang terbaik dan paling baik adalah mengikuti jejak dan perilaku panutan agung, Nabi Muhammad SAW. Dan ini merupakan perintah Allah. Semua orang Islam, terutama para pemimpinnya, pastilah tahu semata pribadi, jejak-langkah dan perilaku Nabi mereka. Nabi Muhammad SAW sebagaimana diperikan sendiri oleh Allah dalam al-Quran, memiliki keluhuran budi yang luar biasa, pekerti yang agung (Q. 68:4). Beliau lemah lembut, tidak kasar dan kaku (Q. 3: 159). Bacalah kesaksian para shahabat dan orang-orang dekat yang mengalami sendiri bergaul dengan Rasulullah SAW. Rata-rata mereka sepakat bahwa Panutan Agung kita itu benar-benar teladan. Pribadi paling mulia; tidak bengis, tidak kaku, tidak kasar, tidak suka mengumpat dan mencaci, tidak menegur dengan cara yang menyakitkan hati, tidak membalas keburukan dengan keburukan, tapi memilih memaafkan. Beliau sendiri menyatakan, seperti ditirukan oleh shahabat Jabir r.a,InnaLlaaha taaala lam yabatsnii mutaannitan..., Sesungguhnya Allah tidak mengutusku sebagai utusan yang keras dan kaku, tapi sebagai utusan yang memberi pelajaran dan memudahkan. Bagi Nabi Muhammad SAW pun, orang yang dinilainya paling mulia bukanlah orang yang paling pandai atau paling fasih bicara (apalagi orang pandai yang terlalu bangga dengan kepandaiannya sehingga merendahkan orang atau orang fasih yang menggunakan kefasihannya untuk melecehkan orang). Bagi Rasulullah SAW orang yang paling mulia ialah orang yang paling mulia akhlaknya. Wallahu alam. KH. Dr. A. Mustofa Bisri, Pengajar di Pondok Pesantren Taman Pelajar Raudlatut Thalibin, Rembang, Jawa Tengah. -- "...menyembah yang maha esa, menghormati yang lebih tua, menyayangi yang lebih mud
[ppiindia] Gus Mus: Kritik Atawa Amar Ma’ruf Nahi Munkar
Kritik Atawa Amar Maruf Nahi Munkar Oleh: Dr. KH. A. Mustofa Bisri Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kritik ialah kecaman atau tanggapan, kadang-kadang disertai uraian dan pertimbangan baik buruk terhadap suatu hasil karya, pendapat, dsb. Agaknya semua kita menyukai kritikan asal tidak ditujukan kepada diri kita. Dalam pengalaman saya bergaul selama ini, saya sering mendengar orang mengatakan, "Saya tidak alergi kritikan"; atau "Saya malah senang dikritik"; atau "Kritiklah saya!"; atau kata-kata semacam yang mengesankan pemahaman orang yang bersangkutan terhadap penting dan berfaedahnya kritikan. Namun sejauh itu saya belum pernah menjumpai orang yang benar-benar senang atau sekedar mau dikritik. Bahkan saya sering menyaksikan orang yang terkenal sangat gandrung demokrasi justru sangat alergi terhadap kritikan. Orang yang tak mau dikritik, biasanya berdalih, "Itu bukan kritikan!" atau "Jangan asal kritik! Tunjukkan alternatifnya!" atau dalih-dalih keberatan lainnya. Namun, yang paling sering justru tidak berdalih-dalih apa-apa. Hanya marah! Padahal kritikan terutama yang dilontarkan oleh sahabat atau saudara sendiri-- sebenarnya dan memang seharusnyadilambari oleh rasa sayang dan eman."Man ahabbaka nashahaka", kata pepatah Arab; "Orang yang mencintaimu akan menasehatimu" (atau boleh diartikan, hanya orang yang mencintaimulah yang mau menasehatimu). Tapi yang umum terjadi, orang yang mencintai seseorang justru tidak mau atau sungkan mengkritik. Mungkin takut kritikannya akan melukai orang yang dicintainya itu. Dan ini akan sangat merugikan orang yang dicintainya tersebut. Karena bagaimana pun hebatnya orang yang kita cintai, dia adalah manusia yang bisa khilaf atau keliru. Manusia yang tidak pernah salah malah perlu dicurigai kemanusiaannya. Lebih buruk lagi bila orang yang mencintai atau sekedar kepingin dekat denganseseorang itu hanya membenarkan dan memujinya. Sebab orang yang dicintai itu lama-lama merasa benar terus. Saya melihat banyak tokoh yang pada dasarnya pantas dicintai karena kelebihan-kelebihannya, kemudian menjadi sangat arogan dan merasa benar sendiri, karena ulah orang-orang yang terus menerus membenarkannya tanpa sedikit pun dengan cara halus sekalipunmengkritiknya. Lupa sama sekali bahwa, Shadiequka man shadaqaka laa man shaddaqaka, Sahabatmu yang sejati adalah orang yang jujur kepadamu, bukan orang yang selalu membenarkanmu! Kritik bila bisa kita samakan dengan amar makruf nahi ('anil) munkar, sebenarnya merupakan manifestasi atau pengejawentahan dari kasih sayang. Bila kata orang, "Tak kenal maka tak sayang", maka seharusnya "Tak sayang makan tak mengkritik". Seorang istri --yang menyintai suaminya-- pastilah akan segera menegur dan mengkritik suaminya bila suaminya itu tampil tidak pantas, misalnya memakai baju terbalik. Dia, si istri, tentu tidak cukup membatin (bilqalbi), bahkan tidak cukup menegur dengan mulut (bil-lisaan), tapi kemungkinan besar malah langsung dengan tangannya membenarkan pemakaian baju suaminya (bil-yad). Karena itulah wallahu a'lam bisshawabdi dalam kitab suci al-Quran, ketika berbicara tentang komunitas kaum beriman, Allah berfirman, "Wal mu'minuuna wal mu'minaatu ba'dluhum auliyaa-u ba'dlin ya'muruuna bil-ma'ruufi wayanhaunaa 'anil munkar " Al-ayat (Q. 9: 71) "Orang-orang mukmin laki-laki dan orang-orang mukmin perempuan sebagian dari mereka adalah kekasih/ penolong/ bala (Jawa: kebalikan dari musuh) sebagian yang lain; mereka beramar makruf dan bernahi anil munkar " Saya lebih suka memaknai kata "auliyaa-u" dengan bahasa Jawa "bala". Menurut pemahaman saya orang-orang mukmin (laki-laki dan perempuan) adalah bala, satu kubu. Tidak ada orang mukmin satu menjadi musuh mukmin yang lain. Karena kepentingan mereka sama: mencari ridla Allah. Bandingkanlah dengan ayat sebelumnya yang berbicara tentang komunitas orang-orang munafik, "Almunaafiquuna wal munaafiqaatu ba'dluhum min ba'dlin ya'muruuna bil-munkari wayanhauna 'anil-ma'ruuf " al-Ayat. (Q. 9: 67). "Orang-orang munafik laki-laki dan orang-orang munafik perempuan, sebagian mereka sama dengan sebagian yang lain; mereka beramar munkar dan bernahi anil makruf " Perhatikanlah perbedaan redaksi antara yang disini dan yang disana tadi. Disana tadi, ba'dluhum auliyaa-u ba'dlin, satu sama lain kekasih atau bala dan disini ba'dluhum min ba'dlin, satu sama lain sama. Dalam komunitas orang-orang munafik, berbeda dengan komunitas orang-orang mukmin, tidak ada balanan atau saling mengasihi. Bila kepentingan pas sama, mereka bala dan saling mengasihi, bila kemudian kepentingan berbeda, bisa saja mereka bermusuhan. Tapi dimana pun orang munafik itu sama: menyarankan kemungkaran dan menghalang-halangi kemakrufan. Waba'du; adanya banyak orang yang alergi kritik, boleh jadi karena terpengaruh oleh banyaknya kritik yang asal kritik. Kritik yang dilakukan oleh mereka yang tidak tahu artinya kritik. Kritik yang bukan dilandasi kasih-sayang tapi sebaliknya didorong oleh kebencian. Karena kita
[ppiindia] Gus Mus: ?
? 8 Juni 2010 12:26:19 | kesiur angin dan gemercik gelombang diterjang lancip hidung perahuku kukira kelakar mereka yang menggunjingkan mabukku padamu maka bintang-bintang yang berkedip-kedip di langit seperti mengejekku tapi tak kuhiraukan aku tetap mengayuh sambil menutup dengan jemarikakiku lobang-lobang pada dinding-dinding perahuku yang dibuat khidir mengecoh lanun yang akan merampokku sebelum ikan pepes sisa bekal musa meloncat ke samodera takjubku haruskah aku membunuh bocah tak berdosa menegakkan tembok nyaris runtuh secara sukarela atau sekedar terus bertanya akan makna-makna sebelum aku memutuskan akan ikut siapa khidir atau musa? Rembang, 15042010 -- "...menyembah yang maha esa, menghormati yang lebih tua, menyayangi yang lebih muda, mengasihi sesama..." [Non-text portions of this message have been removed]
[ppiindia] Gus Mus: Banjet dan Dagang Sapi
Banjet dan Dagang Sapi Oleh: Dr. KH. A. Mustofa Bisri Datanglah sesekali ke pasar ternak, di tempat orang berdagang sapi! Anda tidak hanya akan ketemu penjual dan orang-orang yang akan membeli sapi. Anda, insya Allah, akan ketemu juga dengan jenis manusia yang tampak lebih sibuk dari penjual maupun pembeli/calon pembeli sapi itu sendiri. Jenis manusia itu, di tempat saya disebut banjet. Di samping kepintaran menjalin hubungan dengan para pedagang atau pemilik sapi karena pekerjaan pembanjetan memerlukan adanya naluri kkn dan kongkalikong antara si banjet dan si penjual sapi seorang banjet hanya bermodal mulut dan sedikit keahlian berakting atau katakanlah sedikit kelicikan, terutama dalam teknik tawar-menawar semu. Dengan bahasa yang lebih canggih, seorang banjet mesti bisa membuat manuver atau melemparkan move-move untuk menggoyang pasar. Tujuan dan kepentingan pedagang sapi tentu saja agar sapinya terjual dengan sebesar-besar keuntungan. Sedangkan tugas banjet adalah membantu memuluskan keberhasilan si pedagang memenuhi kepentingannya itu, dengan keuntungan memperoleh komisi. Kerja sama yang bagus antara si pedagang dan banjet-nya merupakan faktor penting bagi kesuksesan tujuan tersebut. Para peminat atau calon pembeli sapi atau bahkan yang sekedar melihat-lihat yang awam, jika tidak langsung termakan manuver banjet, paling tidak akan tergoda atau bingung. Sapi kurus yang nilainya tidak sampai satu juta rupiah, misalnya, mungkin ditawarkan si pedagang sampai 5 juta dan si banjet akan berpura-pura menawar antara 3-4 juta. Bahkan jika si pedagang dan banjet-nya lihai atau peminatnya bloon, kambing congek pun bisa terjual semahal sapi. Jika Anda mengira saya dengan bicara seperti di atas sedang ancang-ancang untuk bicara tentang politik, maka Anda tidak terlalu salah. Atau mungkin malah benar. Saat ini seperti lazimnya menjelang pemilu, bahkan melebihi biasanya semenjak reformasi dicanangkan kehidupan perpolitikan kita semakin gegap gempita. Hampir tak ada sisi kehidupan yang tak meruapkan bau politik. Bau itu tercium mulai dari pemilihan ketua dalam konferensi organisasi tingkat anak cabang, pilihan bupati, pilihan gubernur, hingga hiruk-pikuk menjelang pilihan presiden. Berpolitik tidak lagi menjadi monopoli para politisi dan anggota-anggota dewan. Hampir semua orang mulai dari pengurus organisasi sosial, pengurus organisasi keagamaan, pengurus MUI, pengurus persatuan artis, tentara, hakim, insan pers, guru, tokoh agama, pengusaha, bandar judi, anggota gang, hingga tukang ojek, sudah ikut keranjingan berpolitik atau minimal bicara politik. Politik bagaikan makhluk halus; bisa dirasakan dan mempengaruhi, meski tak jelas tongkrongannya. Karena banyak orang yang memahami politik hanya sebagai siasat, maka pedagang sapi dan banjet pun boleh merasa sudah mempunyai modal untuk terjun di bidang politik. Apalagi praktek-praktek politik yang dipamerkan banyak pemimpin politik justru lebih mengambil referensi dari perdagangan sapi dan per-banjet-annya. Bahkan siapa tahu mereka memang hanya dididik di pasar ternak. Lebih ramai lagi, karena umumnya politisi atau yang bermain politik di negeri ini, baru dalam taraf belajar mensiasati kawan-kawan sendiri. Dalil untuk men-sahkan hal ini, ialah dalil 'politik' yang mutawatir dan agaknya muttafaq 'alaih, yaitu: "tak ada kawan abadi dalam politik". Seperti pedagang sapi, kepentingan 'orang-orang politik' itu ialah mendapatkan keuntungan, kalau bisa sebesar-besarnya. Seperti pedagang sapi, 'politikus' juga punya banjet dan makelar yang nunut untung untuk dirinya sendiri. Meski tak bermodal kecuali mulut, banjet dan makelar yang lihai, bisa mendapatkan keuntungan yang lebih besar daripada si pedagangnya sendiri. Banjet-banjet dan makelar-makelar yang lihai bisa 'bermain' dengan dan terhadap si calon pembeli sekaligus dengan dan terhadap rekannya sendiri, sang pedagang. Seandainya nasib tidak berpihak kepada mereka sekalipun, mereka tidak rugi apa-apa. Paling-paling lelah sedikit dan itu sudah menjadi resiko mereka yang berjuang untuk mencapai sesuatu. Dan besar-kecilnya 'sesuatu' ini menentukan besar-kecilnya orang apakah ia pedagang sapi, banjet, makelar, atau politisi. KH. Dr. A. Mustofa Bisri, Pengajar di Pondok Pesantren Taman Pelajar Raudlatut Thalibin, Rembang, Jawa Tengah. -- "...menyembah yang maha esa, menghormati yang lebih tua, menyayangi yang lebih muda, mengasihi sesama..." [Non-text portions of this message have been removed] *** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://groups.yahoo.com/group/ppiindia *** __ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokr
[ppiindia] Gus Mus: Mbah Sidiq
Mbah Sidiq Oleh: KH. Dr. A. Mustofa Bisri Berita tentang Mbah Sidiq sudah sampai ke daerah kami. Entah siapa yang mula-mula menyebarluaskannya. Yang jelas, kini kebanyakan penduduk-sebagaimana penduduk di beberapa daerah lain-sudah seperti mengenal Mbah Sidiq, meski belum pernah bertemu dengan orang yang dianggap istimewa itu. Memang ada diantara mereka yang mengaku sudah mengenalnya secara pribadi, bahkan mengaku sudah menjadi orang dekatnya. Sering dibawa-bawa pergi keliling. Bila si Mbah datang ke daerah kami, selalu singgah ke rumah mereka. Dari mereka inilah nama Mbah Sidiq "melegenda", termasuk di daerah kami. Mereka yang mengaku dekat dengan Mbah Sidiq ini paling suka bercerita atau ditanya tentang Mbah Sidiq. Cerita mereka selalu mengasyikkan, terutama karena cara mereka bercerita memang benar-benar meyakinkan. Seperti Nasrul-seorang "aktivis" di tempat kami yang memang biasa mengantar orang ke tempat Mbah Sidiq itu. Wah, dasar pinter omong, kalau bercerita tentang Mbah Sidiq, Nasrul bisa membuat orang lupa acaranya sendiri. "Percaya tidak, saya pernah diajak beliau ke makam Sunan Ampel di Surabaya," kata Nasrul suatu hari di warung Wak Rukiban yang biasa dipakai mangkal Nasrul dan kawan-kawan. "Saya piker beliau akan berdo'a di makam wali itu; ternyata tidak. Tahu apa yang beliau kerjakan di makam?" Nasrul sengaja berhenti sejenak, seperti menunggu jawaban dari orang-orang yang asyik mendengarkannya. "Apa?" tanya beberapa orang serempak. Nasrul tersenyum. Senang pancingannya bersambut. Dia menghirup kopinya dulu sebelum kemudian melanjutkan, "Tahu tidak? Beliau berdiskusi dengan Sunan Ampel serius sekali." "Berdiskusi?" kini serempak semua yang mendengarkan bertanya. Nasrul tampak semakin senang. "Ya, berdiskusi laiknya dua tokoh yang sedang membahas suatu masalah penting." "Dari mana kau tahu beliau sedang berdiskusi dengan Sunan Ampel?" tanya Pak Manaf, guru SD yang mulai tertarik dengan tokoh yang menjadi buah bibir itu. "Bagaimana saya tidak tahu, wong saya duduk di belakang beliau. Memang saya sendiri tidak mendengar suara Mbah Sunan, tapi dari bicara dan sikap Mbah Sidiq, jelas beliau sedang berdiskusi." "Apa yang mereka diskusikan?" tanya Mas Slamet Pemborong, benar-benar ingin tahu. "Saya tidak tahu persis, tapi saya dengar Mbah Sidiq berkali-kali mengatakan, 'Eyang harus menolong mereka!' Tentu saja saya tidak berani bertanya kepada beliau, siapa yang beliau maksud dengan 'mereka'. Tapi ketika meninggalkan makam, beliau berkata kepada saya, 'Sudah, beres sekarang! Orang-orang itu suka berbuat seenaknya sendiri; nanti kalau ada masalah, awak pula yang disuruh memecahkan. Dasar politisi!' Dari sini saya menduga agaknya beliau mendiskusikan soal politik dengan Mbah Sunan." Siapa Srul, orang-orang yang digerunduli Mbah Sidiq dan disebut politisi itu?" Tanya Mas Slamet lagi. "Persisnya saya tak tahu. Soalnya banyak orang gede dari Jakarta yang sowan Mbah. Mulai dari pengusaha besar; anggota DPR, sampai menteri. Bahkan ada jenderal yang sering sowan sendirian. Saya hanya tahu beberapa diantara mereka; kebetulan saya sering melihat mereka di TV." "Ngapain aja orang-orang gede itu datang ke Mbah Sidiq?" "Lho, orang-orang gede itu kan banyak mikir ini-itu, dan di jaman sekarang ini banyak hal yang tidak bisa dipecahkan hanya dengan pakai otak. Mereka itu, kalau sudah buntu pikirannya, datang ke Mbah minta fatwa dari langit." "Ngomong-ngomong, apa benar; Srul, Mbah Sidiq itu suka menggigit tamunya?" tanya Wak Rukiban tiba-tiba. "Ah, ya nggak mesti,Wak. Lihat-lihat tamunya. Biasanya, Mbah menggigit telinga orang yang wataknya bandel. Seperti Parman yang suka bikin jengkel ibunya itu kan pernah kena gigit. 'Telinga gunanya untuk mendengar!' kata Mbah waktu itu sehabis menggigit telinga Parman. Tapi ada juga tamu yang beliau ciumi atau beliau kasih duit." "Katanya Mbah Sidiq tidak pernah salat Jum'at, Kang Nasrul" tanya Haji Kusen yang dari tadi mendengarkan sambil menyantap nasi rawon. "Lho Mbah Sidiq kan tidak seperti kita. Mbah kalau Jum'atan di Mekkah. Sampeyan tidak pernah mendengar cerita Haji Narto yang bertemu Mbah di pasar Seng Mekkah? Padahal tahun ini Mbah Sidiq tidak naik haji. Tanyakan kepada isteri-isteri Mbah yang selalu menerima oleh-oleh dari beliau! Kadang-kadang Mbah mengoleh-olehi mereka karung; kadang akik Fairuz; kadang kurma Medina. Pokoknya Mbah selalu membawa buah tangan dari tanah suci untuk isteri-isterinya. Padahal setahu orang-orang, Mbah tidak kemana-mana." "Berapa sih isteri Mbah Sidiq Srul?" tanya Wak Rukiban sambil meletakkan piring pisang goreng yang masih mengepul. "Seandainya boleh lebih, ya bisa banyak, Wak. Wong banyak yang ngunggah-ngunggahi, kepingin mendapat berkah. Tapi kan kuotanya cuma empat. Jadi Mbah cuma punya empat." "Tapi apa benar dia itu kiai?" tiba-tiba Pak Guru Manaf kembali bertanya. "Saya dengar dia itu tidak bisa mengaji." Nasrul kelihatan tidak suka dengan pertanyaan Pak Manaf; apalagi dia meng
[ppiindia] Gus Mus: Gus Jakfar
Gus Jakfar Oleh: Dr. KH. A. Mustofa Bisri Di antara putera-putera Kiai Saleh, pengasuh pesantren "Sabilul Muttaqin" dan sesepuh di daerah kami, Gus Jakfar-lah yang paling menarik perhatian masyarakat. Mungkin Gus Jakfar tidak sealim dan sepandai saudara-saudaranya, tapi dia mempunyai keistimewaan yang membuat namanya tenar hingga ke luar daerah, malah konon beberapa pejabat tinggi dari pusat memerlukan sowan khusus ke rumahnya setelah mengunjungi Kiai Saleh. Kata Kang Solikin yang dekat dengan keluarga ndalem, bahkan Kiai Saleh sendiri segan dengan anaknya yang satu itu. "Kata Kiai, Gus Jakfar itu lebih tua dari beliau sendiri," cerita Kang Solikin suatu hari kepada kawan-kawannya yang sedang membicarakan putera bungsu Kiai Saleh itu. "Saya sendiri tidak paham apa maksudnya." "Tapi, Gus Jakfar memang luar biasa," kata Mas Bambang, pegawai Pemda yang sering mengikuti pengajian subuh Kiai Saleh. "Matanya itu lho. Sekilas saja mereka melihat kening orang, kok langsung bisa melihat rahasianya yang tersembunyi. Kalian ingat, Sumini yang anak penjual rujak di terminal lama yang dijuluki perawan tua itu, sebelum dilamar orang sabrang kan ketemu Gus Jakfar. Waktu itu Gus Jakfar bilang, 'Sum, kulihat keningmu kok bersinar, sudah ada yang ngelamar ya?'. Tak lama kemudian orang sabrang itu datang melamarnya." "Kang Kandar kan juga begitu," timpal Mas Guru Slamet. "Kalian kan mendengar sendiri ketika Gus Jakfar bilang kepada tukang kebun SD IV itu, 'Kang, saya lihat hidung sampeyan kok sudah bengkok, sudah capek menghirup nafas ya?' Lho, ternyata besoknya Kang Kandar meninggal." "Ya. Waktu itu saya pikir Gus Jakfar hanya berkelakar," sahut Ustadz Kamil, "Nggak tahunya beliau sedang membaca tanda pada diri Kang Kandar." "Saya malah mengalami sendiri," kata Lik Salamun, pemborong yang dari tadi sudah kepingin ikut bicara. "Waktu itu, tak ada hujan tak ada angina, Gus Jakfar bilang kepada saya, 'Wah, saku sampeyan kok mondol-mondol; dapat proyek besar ya?' Padahal saat itu saku saya justru sedang kemps. Dan percaya atau tidak, esok harinya saya memenangkan tender yang diselenggarakan Pemda tingkat propinsi." "Apa yang begitu itu disebut ilmu kasyaf?" tanya Pak Carik yang sejak tadi hanya asyik mendengarkan. "Mungkin saja," jawab Ustadz Kamil. "Makanya saya justru takut ketemu Gus Jakfar. Takut dibaca tanda-tanda buruk saya, lalu pikiran saya terganggu." *** Maka, ketika kemudian sikap Gus Jakfar berubah, masyarakat pun geger; terutama para santri kalong, orang-orang kampung yang ikut mengaji tapi tidak tinggal di pesantren seperti Kang Solikin yang selama ini merasa dekat dengan beliau. Mula-mula Gus Jakfar menghilang berminggu-minggu, kemudian ketika kembali tahu-tahu sikapnya berubah menjadi manusia biasa. Dia sama sekali berhenti dan tak mau lagi membaca tanda-tanda. Tak mau lagi memberikan isyarat-isyarat yang berbau ramalan. Ringkas kata, dia benar-benar kehilangan keistimewaannya. "Jangan-jangan ilmu beliau hilang pada saat beliau menghilang itu," komentar Mas Guru Slamet penuh penyesalan. "Wah, sayang sekali! Apa gerangan yang terjadi pada beliau?" "Ke mana beliau pergi saat menghilang pun, kita tidak tahu;" kata Lik Salamun. "Kalau saja kita tahu ke mana beliau pergi, mungkin kita akan mengetahui apa yang terjadi pada beliau dan mengapa beliau kemudian berubah." "Tapi, bagaimanapun ini ada hikmahnya," ujar Ustadz Kamil. "Paling tidak, kini kita bisa setiap saat menemui Gus Jakfar tanpa merasa deg-degan dan was-was; bisa mengikuti pengajiannya dengan niat tulus mencari ilmu. Maka, jangan kita ingin mengetahui apa yang terjadi dengan gus kita ini hingga sikapnya berubah atau ilmunya hilang, sebaiknya kita langsung saja menemui beliau." Begitulah, sesuai usul Ustadz Kamil, pada malam Jum'at sehabis wiridan salat Isya, saat mana Gus Jakfar prei, tidak mengajar; rombongan santri kalong sengaja mendatangi rumahnya. Kali ini hampir semua anggota rombongan merasakan keakraban Gus Jakfar, jauh melebihi yang sudah-sudah. Mungkin karena kini tidak ada lagi sekat berupa rasa segan, was-was dan takut. Setelah ngobrol ke sana kemari, akhirnya Ustadz Kamil berterus terang mengungkapkan maksud utama kedatangan rombongan: "Gus, di samping silaturahmi seperti biasa, malam ini kami datang juga dengan sedikit keperluan khusus. Singkatnya, kami penasaran dan sangat ingin tahu latar belakang perubahan sikap sampeyan." "Perubahan apa?" tanya Gus Jakfar sambil tersenyum penuh arti. "Sikap yang mana? Kalian ini ada-ada saja. Saya kok merasa tidak berubah." "Dulu sampeyan kan biasa dan suka membaca tanda-tanda orang," tukas Mas Guru Slamet, "kok sekarang tiba-tiba mak pet, sampeyan tak mau lagi membaca, bahkan diminta pun tak mau." "O, itu," kata Gus Jakfar seperti benar-benar baru tahu. Tapi dia tidak segera meneruskan bicaranya. Diam agak lama. Baru setelah menyeruput kopi di depannya, dia melanjutkan, "Ceritanya panjang." Dia berhenti lagi, membuat kami tidak sabar, tapi kami diam saja. "Kalian ingat,
[ppiindia] Gus Mus: Salah Anggapan
Salah Anggapan Oleh: KH. Dr. A. Mustofa Bisri Kalau saya, misalnya, disuruh mengajar kitab Sullam Safiinah atau A-Jurumiyah kepada anak-anak santri atau mengimami salat di mushalla, insya Allah saya bisa. Atau sekedar secara global mengamarmakruf-nahimunkari orang-orang yang saya cintai, saya insya Allah juga bisa. Tapi kalau saya disuruh memimpin dan menata suatu organisasi, lebih-lebih organisasi politik, atau menjadi manager perusahaan, terus terang saya tidak mampu. Saya tidak punya keahlian untuk itu. Saya tidak pernah belajar managemen dan administrasi. Bahkan sekolah formal yang sampai tamat, hanya Sekolah Rayat (sekarang SD). Dawuh yang disampaikan almarhum ayah saya, "Maa halaka umru-un 'arafa qadrahu" (Tak akan rusak orang yang tahu batas kemampuannya) , rupanya sangat membekas, karena selalu saya ingat-ingat; terutama pada saat saya dihadapkan kepada suatu tugas atau tanggung jawab.. Ketika saya akan direkrut KBRI di Saudi Arabia untuk menjadi pegawai musim haji, misalnya, meskipun saya kepingin sekali (karena hanya dengan menjadi pegawai musim, waktu itu, saya bisa menunaikan ibadah haji), saya tidak buru-buru menerimanya, tapi saya tanyakan dulu kepada yang berwenang, apa tugas-tugas saya. Saya khawatir saya diberi tugas yang di luar kebisaan saya. Ketika kawan-kawan mendaftarkan saya untuk menjadi calon anggota DPD, yang pertama-tama saya tanyakan juga tentang tugas-tugas DPD. Karena terdesak jadwal KPU, kawan-kawan bilang yang penting daftar dulu. Dan baru setelah mendaftar, saya diberitahu rincian tugas-tugas DPD. Ketika saya tahu tugas-tugasnya, saya pun mengundurkan diri. Saya takut kalau saya tetap mencalonkan diribukan hanya diri saya yang akan kapiran, tapi bisa-bisa juga orang banyak dan bahkan mungkin negara ikut kena dampaknya. Bukankah Nabi Muhammad SAW telah bersabda: Idzaa wussidal amru ilaa ghairi ahlihi fantazhiris saa'ah"?! (Apabila urusan diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya, tunggulah kiamatnya) Waktu berdirinya PKB dan Muktamarnya yang pertama di Surabaya , banyak sekali tokoh yang mendorong-dorong saya dan mencalonkan saya sebagai Ketua Umum, termasuk Gus Dur sendiri. Tapi saya tahu sesuatu yang orang lain tidak begitu tahu, yaitu kemampuan saya. Saya tidak punya keahlian untuk memimpin organisasi politik. Dari pada ngrusak dandanan, lebih baik saya tolak. Kekecewaan orang karena gagal mencalonkan saya, tidak seberapa dibandingkan dengan kekecewaan yang pasti terjadi bila saya menerima jabatan itu. Di NU, saya sering dikritik sebagai orang yang hanya bisa mengkritik tapi lari bila diserahi tanggung jawab sendiri. Kritikan ini benar sekali. Kalau mau analog yang agak gagah, saya ini ibaratnya kritikus sastra. Saya bisa menunjukkan puisi ini atau prosa itu istimewa atau banyak kekurangannya, tapi saya sendiri tak bisa membuat puisi atau prosa yang baik. Di NU, saya memang hanya membaca Khitthah NU dan perilaku para pendiri dan pendahulu-pendahulu NU. Tapi pengetahuan tentang hal ini adalah satu hal dan pengetahuan tentang memimpin organisasi ada hal yang lain. Tapi bukan berarti saya tidak pernah tergoda oleh suatu jabatan yang disodorkan kepada saya. Misalnya ketika banyak kiai dan tokoh ramai berkehendak mencalonkan saya menjadi ketua umum NU di Muktamar Lirboyo dan di Donohudan, terbentik juga angan-angan, wah bila aku turuti kehendak mereka dan saya benar-benar menjadi ketua umum NU, bagaimana ya rasanya menjadi pemimpin berjuta umat. Saya bisa mengendalikan banyak orang. Pikiran-pikiran saya akan dapat saya implementasikan dalam program-program dan kegiatan-kegiatan organisasi. Saya bisa ini, bisa itu.Wah. Tapi alhamdulillah, setiap kali godaan angan-angan tentang hal-hal yang bersifat gengsi dan prestise itu, dapat dikalahkan oleh kesadaran akan keterbatasan kemampuan saya dan sabda Nabi tersebut. Orang lain sering hanya melihat tampakan luar yang acap kali menipu. Orang yang dilihat mempunyai satu-dua keahlian, celakanya, lalu dianggap ahli dalam semua hal. Dan kenyataan membuktikan memang banyak juga orang yang senang dianggap ahli dalam banyak hal dan berusaha memperteguh anggapan itu. Ada semacam kecenderungan umum menganggap seorang tokoh yang dikenal memiliki kemampuan di satu bidang, dianggap memiliki keahlian di berbagai atau bahkan di semua bidang. Seorang profesor misalnya, tanpa peduli profesor di bidang apa, dianggap sebagai profesor serba bidang, ahli apa saja. Seorang ahli pidato dianggap sebagai orang yang pasti mampu melaksanakan semua yang dipidatokan.Seorang yang berhasil memimpin majlis taklim, dianggap pasti mampu juga menjadi memimpin daerah, menjadi bupati. Demikian seterusnya. Dan tak jarang yang bersangkutan justru senyum-senyum berusaha meyakinkan kebenaran anggapan yang mustahil itu. Kalau berhenti pada anggapan saja, mungkin tidak mengapa. Tapi kalau kemudian hal itu dijadikan dasar dan pertimbangan untuk merekrut atau mendudukkan "tokoh-tokoh anggapan" itu dalam jabatan-jabatan yang di luar keahlian mereka
[ppiindia] Gus Mus: Amaliyah Gus Dur
Amaliyah Gus Dur 28 April 2010 12:14:07 Oleh: Dr. KH. A. Mustofa Bisri Memperingati 100 hari wafat Gus Dur. Duduk di depan makam Gus Dur (KH. Abdurrahman Wahid) dan tokoh-tokoh Tebuireng, Kiai sepuh kharismatik, KH. Maemoen Zubair yang malam itu hadir bersama nyai dalam acara 40 hari wafat Gus Dur di Tebuireng, sempat bertanya seolah-olah kepada dirimengenai fenomena presiden keempat itu. Pertanyaan yang juga mengusik pikiran saya dan mungkin banyak orang yang lain. Amaliah Gus Dur apa kira-kira yang membuat cucu Hadhratussyeikh KHM. Hasyim Asyari dan KH. Bisri Sansuri itu dihargai dan dihormati orang sedemikian rupa setelah kemangkatannya. Penghormatan yang belum pernah terjadi pada orang lain, termasuk presiden maupun kiai. Pers dunia tidak hanya memberitakan kewafatannya, tapi menulis tentang diri Gus Dur. Di saat pemakaman, keluarga ; masyarakat; dan pemerintah; seperti berebut merasa paling berhak menghormatinya. Dan ternyata pemakaman Kiai Bangsa ini bukanlah penghormatan terakhir. Rombongan demi rombongan dari berbagai pelosok tanah air, setiap hari berdatangan di makamnya. Bahkan banyak peziarah yang memerlukan datang dari luar negeri. Mereka semua datang dengan tulus menangisi dan mendoakannya. Sebagian malah ada yang memohon maaf kepada Gus Dur atas kesalahannya; termasuk seorang ibu yang menangis memohon maaf karena tahun 2004 tidak memilih PKB. Di samping acara-acara doa bersama untuk Gus Dur, berbagai acara untuk mengenang dan menghormati almarhum diselenggarakan dimana-mana. Ada yang bersifat ritual keagamaan; ada yang dikemas dalam bentuk pengajian umum, saresehan, kesenian, dlsb. Acara-acara itu tidak hanya diselenggarakan oleh kalangan Pesantren, Nahdliyin, kaum muslimin; tapi juga oleh kalangan agama-agama dan etnis lain. Dalam rangka peringatan 40 hari wafatnya, di mana-mana pun orang menyelenggarakan acara khusus. Tidak hanya di Tebuireng dan Ciganjur Saya sendiri dapat sembilan undangan dalam rangka yang sama. Saya mendatangi undangan Gus Sholahuddin Wahid dan keluarga Bani Wahid di Tebuireng. Menyaksikan ribuan warga masyarakat yang mulai pagi hari sudah berdatangan menuju komplek Pesantren dimana terletak makam Gus Dur. Rahmat Allah berupa hujan, mengguyur Tebuireng dan sekitarnya. Saya menyaksikan sekian banyak orang ber-basah-basah berjalan dari tempat-tempat kendaraan mereka di parkir yang jaraknya berkisar antara 3 sampai 5 kmmenuju ke makam. Saya menyaksikan di samping tempat-tempat parkiran, tukang-tukang ojek dadakan, juga warung-warung baru. Semuanya itu tentu untuk melayani para peziarah. Dan malam itu, ribuan umat duduk khidmat di sekitar makam untuk berdzikir dan berdoa. Renyai hujan seolah-olah ikut mengamini doa mereka. Saya mendengar kabar, hal yang kurang lebih sama juga terjadi di Ciganjur. Kembali ke pertanyaan Kiai Maemoen di atas. Ketika Gus Dur ke rumah saya di Rembang, seminggu sebelum wafat, beliau ada menceritakan mimpi saudaranya. Mimpi, yang menurut saudaranya itu, aneh dan ingin ditolaknya. Saudaranya itu bermimpi berada dalam jamaah salat. Termasuk yang ikut menjadi makmum adalah Hadhratussyeikh KHM. Hasyim Asyari dan yang menjadi imam Gus Dur. Barangkali untuk menghilangkan kekecewaan saudaranya yang tampak kurang senang Mbah Hasyim kok makmun Gus Dur meski hanya dalam mimpi, Gus Dur pun berkata menafsiri mimpinya itu: Ya kalau soal akhlak dan agama, imamnya memang harus Hadhratussyeikh; tapi kalau soal politik, imamnya ya saya. Tapi tentu saja bukan karena politiknya, Gus Dur mendapat penghargaan dan penghormatan yang begitu fenomenal dari umat. Apalagi pada saat dunia politik cemar dan memuakkan seperti sekarang ini. Lalu, apakah karena amaliyah pluraliyah-nya? Tentu bukan juga. Sebab kalau karena ini, bagaimana kita menjelaskan tentang banyaknya kiai yang juga merasa sangat kehilangan dengan wafatnya Gus Dur dan dengan tulus mendoakannya, padahal mereka tidak paham atau tidak setuju pluralisme? Ataukah fenomena itu hanya sekedar pengejawentahan dari rasa kesal masyarakat terhadap umumnya pemimpin yang masih hidup, yang tidak jujur (lain di mulut, lain di perbutan), dan tidak konsisten memikirkan dan berpihak kepada rakyat? Menurut saya sendiri; Gus Dur dihargai dan dicintai beragam orang, karena Gus Dur menghargai keberagaman dan mencintai beragam orang. Gus Dur dihormati orang secara tulus, karena Gus Dur tulus menghormati orang. Gus Dur bersemayam di hati orang banyak, karena orang banyak selalu berada di hati Gus Dur. Gus Dur, setahu saya, sering dan banyak berbeda dengan orang, tapi tidak pernah benci kepada mereka yang berbeda, bahkan kepada yang membencinya sekalipin. Gus Dur tidak hanya mengenal persaudaraan kepartaian; persaudaraan ke-NU-an; persaudaraan keIslaman; persaudaraan keseimanan; persaudaraan keIndonesiaan; tapi lebih dari itu juga persaudaraan kemanusiaan. Dan itu amaliyah. Bukan sekedar ucapan. Wallahu alam. KH. Dr. A. Mustofa Bisri, Pengajar di Pondok Pesantren Taman Pelajar Raudlatut Tha
[ppiindia] Gus Mus: Dakwah vs Menakut-nakuti
Dakwah vs Menakut-nakuti 21 April 2010 13:23:57 Oleh: Dr. KH. A. Mustofa Bisri Seorang kawan budayawan dari satu daerah di Jawa Tengah yang biasanya hanya SMS-an dengan saya, tiba-tiba siang itu menelpon. Dengan nada khawatir, dia melaporkan kondisi kemasyarakatan dan keagamaan di kampungnya. Keluhnya antara lain,Kalau ada kekerasan di Jakarta oleh kelompok warga yang mengaku muslim terhadap saudara-saudaranya sebangsa yang mereka anggap kurang menghargai Islam, mungkin itu politis masalahnya. Tapi ini di kampung, Gus, sudah ada kelompok yang sikapnya seperti paling Islam sendiri. Mereka dengan semangat jihad, memaksakan pahamnya ke masyarakat. Sasarannya jamaah-jamaah di masjid dan surau. Rakyat pada takut. Bahkan, naudzu billah, Gus, saking takutnya ada yang sampai keluar dari Islam. Ini bagaimana? Harus ada yang mengawani masyarakat, Gus. NU dan Muhammadiyah kok diam saja ya? Kondisi yang dilaporkan kawan saya itu bukanlah satu-satunya laporan yang saya terima. Ya, akhir-akhir ini sikap perilaku keberagamaan yang keras model zaman Jahiliyah semakin merebak. Hujjah-nya, tidak tanggung-tanggung seperti membela Islam, menegakkan syariat, amar makruf nahi munkar, memurnikan agama, dsb. Cirinya yang menonjol : sikap merasa benar sendiri dan karenanya bila bicara suka menghina dan melecehkan mereka yang tidak sepaham. Suka memaksa dan bertindak keras dan kasar kepada golongan lain yang mereka anggap sesat. Seandainya kita tidak melihat mereka berpakaian Arab dan sering meneriakkan Allahu Akbar!, kita sulit mengatakan mereka itu orang-orang Islam. Apalagi bila kita sudah mengenal pemimpin tertinggi dan panutan kaum muslimin, Nabi Muhmmad SAW. Seperti kita ketahui, Nabi kita yang diutus Allah menyampaikan firman-Nya kepada hamba-hamba-Nya, adalah contoh manusia paling manusia. Manusia yang mengerti manusia dan memanusiakan manusia. Rasulullah SAW seperti bisa dengan mudah kita kenal melalui sirah dan sejarah kehidupannya, adalah pribadi yang sangat lembut, ramah dan menarik. Diam dan bicaranya menyejukkan dan menyenangkan. Beliau tidak pernah bertindak atau berbicara kasar. Ñæì ÇáÈÎÇÑí Úä ÃäÓ ÑÖí Çááå Úäå ÞÇá: áã íßä ÑÓæá Çááå Õáì Çááå Úáíå æÓáã ÓÈÇÈÇ æáÇ áãÇãÇ æáÇ ÝÇÍÔÇ Sahabat Anas r.a yang lama melayani Rasulullah SAW, seperti diriwayatkan imam Bukhari, menuturkan bahwa Rasulullah SAW bukanlah pencaci, bukan orang yang suka mencela, dan bukan orang yang kasar. æÑæì ÇáÊÑãÐí Úä ÃÈí åÑíÑÉ ÑÖí Çááå ÊÚÇáì Úäå ÞÇá: áã íßä ÑÓæá Çááå Õáì Çááå Úáíå æÓáã ÝÇÍÔÇ æáÇ ãÊÝÇÍÔÇ æáÇ ÕÎÇÈÇ Ýí ÇáÃÓæÇÞ Sementara menurut riwayat Imam Turmudzi, dari sahabat Abu Hurairah r.a: Rasulullah SAW pribadinya tidak kasar, tidak keji, dan tidak suka berteriak-teriak di pasar. Ini sesuai dengan firman Allah sendiri kepada Rasulullah SAW di Q. 3: 159, *Fabima rahmatin minallaahi linta lahum walau kunta fazhzhan ghaliizhalqalbi lanfadhdhuu min haulika * , Maka disebabkan rahmat dari Alllah, kamu lemah lembut kepada mereka. Seandainya kamu berperangai keras berhati kasar, niscaya mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu Jadi, kita tidak bisa mengerti bila ada umat Nabi Muhammad SAW, berlaku kasar, keras dan kejam. Ataukah mereka tidak mengenal pemimpin agung mereka yang begitu berbudi, lemah- lembut dan menyenangkan; atau mereka mempunyai panutan lain dengan doktrin lain. Atau mungkin sikap mereka yang demikian itu merupakan reaksi belaka dari kezaliman Amerika dan Yahudi/Israel. Kalau memang ya, bukankah kitab suci kita al-Quran sudah mewanti-wanti, berpesan dengan sangat agar kita tidak terseret oleh kebencian kita kepada suatu kaum untuk berlaku tidak adil. Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kalian penegak-penegak kebenaran karena Allah (bukan karena yang lain-lain!), menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencian kalian terhadap suatu kaum mendorong kalian untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah; adil itu lebih dekat kepada takwa dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan. (Baca Q. 5: 9). Hampir semua orang Islam mengetahui bahwa Rasulullah SAW diutus utamanya untuk menyempurnakan budi pekerti. Karena itu, Rasulullah SAW sendiri budi pekertinya sangat luhur (Q. 68: 4). Mencontohkan dan mengajarkan keluhuran budi. Sehingga semua orang tertarik . Ini sekaligus merupakan pelaksanaan perintah Allah untuk berdakwah. Berdakwah adalah menarik orang bukan membuat orang lari. (Baca lagi Q. 3: 159!). Bagaimana orang tertarik dengan agama yang dai-dainya sangar dan bertindak kasar tidak berbudi? Melihat perilaku mereka yang bicara kasar dan tengik, bertindak brutal sewenang-wenang sambil membawa-bawa simbol-simbol Islam, saya kadang-kadang curiga, jangan-jangan mereka ini antek-antek Yahudi yang ditugasi mencemarkan agama Islam dengan berkedok Islam. Kalau tidak, bagaimana ada orang Islam, apalagi sudah dipanggil ustadz, begitu bodoh: tidak bisa membedakan antara dakwah yang mengajak orang dengan menakut-nakuti yang membuat orang lari. Bagaimana meng
[ppiindia] Gus Mus: Fatwa dan Fatwa
Fatwa dan Fatwa Oleh: KH. Dr. A. Mustofa Bisri FATWA akhir-akhir ini merupakan tren baru, bahkan sudah mirip dengan latah. Dulu, fatwa hampir identik dengan MUI (Majelis Ulama Indonesia), yang memang paling sering mengeluarkan fatwa. Fatwa yang dinilai sering tidak menjadi solusi, melainkan malah meresahkan. Pak Jusuf Kalla waktu menjadi wakil presiden sampai berpesan dalam pembukaan Ijtimak Komisi Fatwa MUI agar MUI jangan mengeluarkan fatwa yang meresahkan dan menjadi ketakutan baru, melainkan menjadi solusi (Jawa Pos, Minggu 25 Januari 2009). Tapi kini, fatwa tidak lagi menjadi monopoli MUI. Rupanya, MUI mendapatkan banyak saingan. Fatwa bermunculan dari berbagai penjuru, dari berbagai lembaga dan organisasi. Berbagai hal dan masalah difatwakan. Mulai fatwa tentang aliran sesat, bunga bank, golput, yoga, rokok, pembangkit tenaga nuklir, rebonding, prewedding, infotainment, ringtone ayat-ayat Alquran, Facebook, sampai naik ojek. Kecanggihan dan keaktifan pers ikut dan sangat membantu tersiarnya fatwa-fatwa dari berbagai pihak itu serta menjadikannya bahan pembicaraan berkepanjangan sehingga menimbulkan pro dan kontra di masyarakat. Bahkan, ada yang menilainya meresahkan. Di sisi lain, ada pula yang khawatir, dengan sering dan mudahnya fatwa dikeluarkan, fatwa akan kehilangan wibawa dan kesakralan. Padahal, sejak dulu organisasi NU dengan bahtsul masail-nya dan Majelis Tarjih Muhammadiyah selalu menjawab masalah-masalah keagamaan yang ditanyakan anggotanya. Di banyak pesantren juga ada tradisi musyawarah di kalangan santri. Mereka berlatih menjawab masalah-masalah keagamaan di masyarakat. Hanya, dulu mungkin tidak ada media massa yang tertarik menyiarkannya. Di koran ini, saya pernah sedikit menjelaskan perbedaan antara fatwa, wacana, dan vonis yang sering dirancukan. Gara-gara kerancuan itu, sering terjadi fatwa dianggap vonis. Celakanya, ada yang mengeksekusi berdasar fatwa tersebut. Itu merupakan kesalahan bertumpuk. Yakni, kesalahan menganggap fatwa sebagai vonis serta melakukan eksekusi dan penghakiman sendiri. Saya menjelaskan istilah-istilah tersebut terutama agar masyarakat tidak terlalu bingung dan resah terhadap fatwa-fatwa MUI. Ternyata, sekarang masih atau semakin banyak keluhan mengenai kian maraknya fatwa, tidak hanya dari MUI. Masyarakat kembali ramai membicarakan dan sebagian malah menyatakan semakin bingung. Apalagi, kemudian ada yang membesar-besarkan perbedaan fatwa, seperti fatwa yang mengharamkan rokok dan yang hanya memakruhkannya. Maka, saya teringat akan hal yang pernah saya kemukakan -mengutip keterangan para ulama- tentang fatwa lebih dari setahun lalu. Fatwa dalam istilah agama (sempitnya: fikih) mirip dengan pengertian bahasanya, yakni jawaban mufti terhadap masalah keberagamaan. Dulu -dan sampai sekarang di beberapa negara Timur Tengah- fatwa memang diminta dan diberikan oleh mufti secara perorangan. Dalam kitab-kitab fikih, mufti atau pemberi fatwa dibedakan dengan hakim. Mufti hanya memberikan informasi kepada dan sesuai dengan pertanyaan si peminta fatwa. Sementara itu, hakim memutuskan hukuman setelah mendengarkan berbagai pihak, seperti penuntut, terdakwa, dan saksi-saksi. Berbeda dengan putusan hakim, fatwa tidak memiliki kekuatan memaksa. Ia tidak mengikat, kecuali bagi si peminta fatwa.Itu pun berlaku dengan beberapa catatan. Antara lain, si peminta fatwa hanya mendapatkan fatwa dari satu pihak atau pemberi fatwa dan fatwa yang diberikan sesuai dengan kemantapan hatinya. Apabila ada dua pihak yang memberikan fatwa berbeda, dia mengikuti fatwa yang sesuai dengan kata hatinya. Itu berdasar hadis Nabi Muhammad SAW, "Istafti qalbak/nafsak wain aftaaka an-naas..." Arti hadis tersebut, mintalah fatwa hati nuranimu meski orang-orang sudah memberimu fatwa. Sementara itu, mufti yang boleh ditanya dan memberikan fatwa adalah orang yang memenuhi kriteria tertentu. Bukan sembarang orang. Misalnya, pensiunan pegawai tinggi Depag (kini Kementerian Agama) atau ketua umum organisasi tidak bisa dijadikan ukuran. Para ulama punya pendapat berbeda mengenai rincian kriteria mufti; ada yang ketat, ada juga yang agak longgar. Ada yang mensyaratkan mufti harus mujtahid. Ada yang sekadar menyatakan -seperti Imam Malik- orang alim tidak seyogianya memberikan fatwa sampai tahu bahwa orang melihatnya pantas memberikan fatwa dan dirinya juga merasa pantas. Secara garis besar, semua menyepakati bahwa yang diperkenankan dimintai dan memberikan fatwa hanyalah mereka yang memang ahli. Pemberian fatwa, menurut para ulama, juga punya etika. Misalnya, mufti tidak boleh tergesa-gesa dalam memberikan fatwa. Ibn Qayyim, misalnya, dalam salah satu kitabnya menyatakan, "Dulu salaf, para sahabat nabi, dan tabiin tidak suka cepat-cepat memberikan fatwa. Masing-masing justru mengharap fatwa diberikan oleh selain dirinya. Apabila sudah jelas bahwa fatwa itu harus diberikan olehnya, dia akan mengerahkan segala tenaga dan pikiran untuk mengetahui hukum masalah yang dimintakan fatwa tersebut da
[ppiindia] Gus Mus: Melayat
Melayat Oleh: KH. Dr. A. Mustofa Bisri sejak yang mati dikuburkan dengan upacara sederhana pagi tadi seisi rumah sudah bisa melipur diri yang mati betapapun disayang tak akan kembali hanya si ayah dan anaknya lelaki tampak masih menyembunyikan sisa kesedihan dalam senyum keki "dia begitu setia membangunkan kita dengan suara lembutnya mengingatkan syukur yang tak tertunaikan dengan sempurna" "yah, kini walad bermain dengan siapa?" si ayah mengelus kepala putranya mencoba menggiring sisa kemurungan mereka tiba-tiba silau mentari menyeruak dari ambang pintu yang terbuka seisi rumah berdiri terkesima "aku mendengar dan memerlukan singgah sebentar" katanya merdu dan direngkuhnya si bocah yang memandangnya lugu semua mata pun berbinar-binar mencair-rebakkan butir-butir airmata haru "semoga tuhan memberi kalian ganti kesayangan baru" allahu akbar! ya tuhan, rahmat apa ini? "ya rasul, hanya burung sederhana kami yang mati mengapa paduka menyempatkan diri melayat kami?" o, bagaimana mendung tahan bergantung jika mentari begini peduli o, alangkah bahagianya umat ini jika secercah saja sinar ini mencerahi dada-dada mereka KH. Dr. A. Mustofa Bisri, Pengajar di Pondok Pesantren Taman Pelajar Raudlatut Thalibin, Rembang, Jawa Tengah. -- "...menyembah yang maha esa, menghormati yang lebih tua, menyayangi yang lebih muda, mengasihi sesama..." [Non-text portions of this message have been removed]
[ppiindia] Gus Mus: Catatan Kecil dari Muktamar NU di Cipasung dan Makassar: Debar Muktamar Makassar
Catatan Kecil dari Muktamar NU di Cipasung dan Makassar: Debar Muktamar Makassar 6 April 2010 13:00:28 Oleh: KH Dr. A. Mustofa Bisri SETIAP selesai muktamar NU, sejak muktamar ke-27 di Situbondo, saya selalu menulis semacam catatan akhir. Bahkan, setelah muktamar Cipasung yang batal saya ikuti pun, saya menulis catatan mengenai muktamar yang fenomenal itu. (Saya datang ke Cipasung dan pulang sebelum pembukaan muktamar karena kecelakaan yang dialami -dan merenggut nyawa- dua adik saya dan seorang santri yang juga sedang menuju ke muktamar). Ada yang menyebut muktamar ke-32 di Makassar tempo hari mirip muktamar Cipasung. Di mana letak kemiripannya? Kalau sama-sama ramai, sama-sama menguras emosi muktamirin, dan sama-sama berpotensi mengacaukan akal sehat, memang benar. Muktamar Makassar memang juga mendebarkan sebagaimana muktamar Cipasung. Namun, ada perbedaan yang sangat mencolok. Muktamar Cipasung merupakan puncak kezaliman rezim Soeharto terhadap NU. Sejak Soeharto mantap berkuasa, NU seperti terus dianggap duri. Apalagi ketika NU dalam Pemilu 1971 seperti ''melawan'' dan dipandang mengancam kekuatan buldoser Golkar. Apalagi, di NU masih ada tokoh yang tidak takut pada Golkar dan rezim Soeharto semacam almarhum Kiai Bisri Sansuri dan almarhum Subhan Z.E. Muktamar Cipasung adalah puncaknya. Soeharto sudah sedemikian gerahnya terhadap NU yang saat itu dipimpin Gus Dur. Seorang tokoh yang tidak hanya pintar dan berani, tapi juga dicintai umat. Profil yang paling ditakuti Soeharto. Maka, muktamar NU pun hendak direkayasa dengan mula-mula mendorong tokoh NU yang sudah ikut Golkar, Cholid Mawardi. Ketika tampak tak mendapat sambutan muktamar, diajukanlah orang yang tak dikenal masyarakat NU sebelumnya, Abu Hasan. Hebatnya lagi, untuk lebih menyiksa NU, rezim ketika itu juga mengadu domba. Orang dekat yang paling menghormati dan dihormati Gus Dur, Dr Fahmi D. Saifuddin -Allahu yarhamuhuma-, diajukan juga sebagai alternatif calon ketua umum. (Mereka tahu bahwa Dr Fahmi adalah kandidat pengganti Gus Dur yang didukung cabang-cabang, seandainya Gus Dur tidak dipaksa ''keadaan'' untuk maju lagi). Akibatnya, ketegangan di kalangan intern NU menjadi semakin silang-selimpat. Dari sudut ketegangan yang menguras emosi muktamirin, muktamar Cipasung mungkin tidak tertandingi oleh muktamar Makassar atau muktamar-muktamar yang lain. Namun, ada sesuatu yang membuat muktamar Makassar jauh lebih memprihatinkan. Bukan karena campur tangan pihak luar, tapi justru dipicu oleh pihak dalam NU sendiri (Kalaupun ada campur tangan, pihak luar hanyalah numpang kepentingan belakangan). Selain aroma pilkada yang kental dan berseliwerannya kepentingan-kepentingan yang nebeng, muktamar Makassar telah mengawali tradisi yang sangat tidak elok sebagai muktamarnya organisasi ulama. Baru muktamar kali ini jabatan rais am dipandang dan ditampilkan sebagai jabatan duniawiah. Diperebutkan seperti kedudukan kepala desa. Hal itu bermula dari sikap berlebihan yang bukan karakter NU. Mereka yang terpesona pada prestasi Hasyim Muzadi saat memimpin sebagai ketua umum tanfidziyah, terutama mereka yang merasakan sendiri barokah kepemimpinannya, sejak awal mewacanakan dan mengampanyekan ''Kiai Hasyim Muzadi untuk Rais Am''. Saking semangatnya, mereka sampai lupa bahwa mereka masih di bawah kepemimpinan Rais Am KH M. Ahmad Sahal Mahfudz yang mungkin hanya mereka anggap seperti incumbent dalam pilkada. *** Ketua Umum Hasyim Muzadi memang berhasil dalam banyak hal. Misalnya, melanjutkan apa yang dilakukan Gus Dur dalam ''meng-go-international-kan NU'', menyebarkan Islam rahmatan lil-'aalmiin', dan mendakwahkan bi lisaanil maqaal serta bilisaanil haal ukhuwwah nahdliyah, ukhuwwah Islamiyah, ukhuwwah wathaniyah, dan ukhuwwah basyariyah. Sebagai tokoh yang kaya wacana dan informasi, dia tanggap terhadap permasalahan-permasalahan kemasyarakatan. Dia juga dinilai berhasil mendistribusikan kader-kader NU ke dalam jabatan-jabatan politik (mulai anggota DPRD, DPR, kepala-kepala daerah, anggota KPU, hingga Dubes); mencarikan beasiswa anak-anak NU; serta memfasilitasi kegiatan-kegiatan yang dilakukan badan-badan otonom NU. Bahkan, tidak segan-segan membantu warga NU yang meminta bantuan dalam pencalonan kepala daerah. Boleh jadi, karena melihat prestasi ketanfidziyahan tersebut dan mengingat Pak Hasyim sudah menyatakan tidak akan maju lagi sebagai ketua umum, mereka yang tatharruf itu pun mengusungnya untuk jabatan di atas ketua umum: rais am. Untuk itu, mereka pun dengan gencar mengampanyekannya. Melihat keseriusan dan semangat mereka itu, banyak kiai yang mula-mula kaget dan prihatin dengan ''bid'ah'' dalam tradisi NU ini: kampanye untuk rais am. Masya Allah! Kemudian, beberapa kiai seperti Kiai Masruri Mughni, rais Syuriah Wilayah Jawa Tengah, dan Kiai Azhari Abta, rais Syuriah DIJ, bertindak mengajak kiai-kiai yang lain untuk ''memaksa'' Kiai Sahal yang sebenarnya sudah lelah dan ingin mundur untuk tetap kerso menjadi rais am kembali. Se
[ppiindia] Gus Mus: Pernikahan
Pernikahan 30 Maret 2010 17:50:43 | Oleh: KH. Dr. A. Mustofa Bisri Pernikahan merupakan salah satu sunnah Rasul SAW dan merupakan anjuran agama. Pernikahan yang disebut dalam al-Quran sebagai miitsaaqun ghaliizh, perjanjian agung, bukanlah sekedar upacara dalam rangka mengikuti tradisi, bukan semata-mata sarana mendapatkan keturunan, dan apalagi hanya sebagai penyaluran libido seksualitas atau pelampiasan nafsu syahwat belaka. Pernikahan adalah amanah dan tanggungjawab. Bagi pasangan yang masing-masing mempunyai niat tulus untuk membangun mahligai kehidupan bersama dan menyadari bahwa pernikahan ialah tanggungjawab dan amanah, maka pernikahan mereka bisa menjadi sorga. Apalagi, bila keduanya saling menyintai. Nabi Muhammad SAW telah bersabda yang artinya,Perhatikanlah baik-baik istri-istri kalian. Mereka di samping kalian ibarat titipan, amanat yang harus kalian jaga. Mereka kalian jemput melalui amanah Allah dan kalimah-Nya. Maka pergaulilah mereka dengan baik, jangan kalian lalimi, dan penuhilah hak-hak mereka. Ketika berbicara tentang tanggungjawab kita, Rasulullah SAW antara lain juga menyebutkan bahwa Suami adalah penggembala dalam keluarganya dan akan dimintai pertanggungjawaban atas gembalaannya dan isteri adalah penggembala dalam rumah suaminya dan bertanggungjawab atas gembalaannya. Begitulah, laki-laki dan perempuan yang telah diikat atas nama Allah dalam sebuah pernikahan, masing-masing terhadap yang lain mempunyai hak dan kewajiban. Suami wajib memenuhi tanggungjawabnya terhadap keluarga dan anak-anaknya, di antaranya yang terpenting ialah mempergauli mereka dengan baik. Istri dituntut untuk taat kepada suaminya dan mengatur rumah tangganya. Masing-masing dari suami-isteri memikul tanggungjawab bagi keberhasilan perkawinan mereka untuk mendapatkan ridha Tuhan mereka. Apabila masing-masing lebih memperhatikan dan melaksanakan kewajibannya terhadap pasangannya daripada menuntut haknya saja, Insya Allah, keharmonisan dan kebahagian hidup mereka akan lestari sampai Hari Akhir. Sebaliknya, apabila masing-masing hanya melihat haknya sendiri karena merasa memiliki kelebihan atau melihat kekurangan dari yang lain, maka kehidupan mereka akan menjadi beban yang sering kali tak tertahankan. Masing-masing, laki-laki dan perempuan, secara fitri mempunyai kelebihan dan kekurangannnya sendiri-sendiri. Kelebihan-kelebihan itu bukan untuk diperbanggakan atau diperirikan. Kekurangan-kekurang pun bukan untuk diperejekkan atau dibuat merendahkan. Tapi, semua itu merupakan peluang bagi kedua pasangan untuk saling melengkapi. Kedua suami-isteri bersama-sama berjuang membangun kehidupan keluarga mereka dengan akhlak yang mulia dan menjaga keselamatan dan keistiqamahannya selalu. Dengan demikian, akan terwujudlah kebahagian hakiki di dunia maupun di akhirat kelak, Insya Allah. KH. Dr. A. Mustofa Bisri, Pengajar di Pondok Pesantren Taman Pelajar Raudlatut Thalibin, Rembang, Jawa Tengah. -- "...menyembah yang maha esa, menghormati yang lebih tua, menyayangi yang lebih muda, mengasihi sesama..." [Non-text portions of this message have been removed] *** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://groups.yahoo.com/group/ppiindia *** __ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Reading only, http://ppi-india.blogspot.com 4. Satu email perhari: ppiindia-dig...@yahoogroups.com 5. No-email/web only: ppiindia-nom...@yahoogroups.com 6. kembali menerima email: ppiindia-nor...@yahoogroups.com Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> Your email settings: Individual Email | Traditional <*> To change settings online go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/join (Yahoo! ID required) <*> To change settings via email: ppiindia-dig...@yahoogroups.com ppiindia-fullfeatu...@yahoogroups.com <*> To unsubscribe from this group, send an email to: ppiindia-unsubscr...@yahoogroups.com <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/
[ppiindia] Gus Mus: Akan Pecahkah NU?
Akan Pecahkah NU? Selasa, 21 Desember 2004 Oleh: KH. Abdurrahman Wahid Muktamar ke 31 di Asarama Haji Donohudan (Boyolali) ternyata membawa hasil yang dapat dikatakan mendua. Di satu sisi, ada harapan (dan tentu saja ada ketakutan) NU tidak terpecah belah. Di pihak lain, ada keinginan agar NU membenahi diri karena Muktamar ke-31 itu ternyata 'dikuasai' oleh para pengurus 'jorok'. Tentu saja kejorokan itu sudah dimulai, sejak beberapa tahun yang lalu yaitu ketika Hasyim Muzadi "menyeret" NU struktural ke kancah politik praktis. Maksud yaitu bukannya pencalonan Hasyim Muzadi sebagai Wakil Presiden RI mendampingi Megawati Soekarnoputri yang menjadi Calon Presiden waktu itu. Tetapi dalam cara bagaimana Hasyim Muzadi 'memaksakan' agar seluruh jajaran NU mendukung kemenangan pasangan calon itu dengan menggunakan 'kekuasaan organisatoris' sebagai Ketua Umum Pengurus Besar NU (Ketum PBNU). Ia melanggar semua aturan permainan yang sudah ditetapkan oleh berbagai forum NU sejak dahulu yaitu sebagai organisasi, NU tidak berpolitik. Rais 'Aam PBNU sebagai otoritas tertinggi di lingkungan NU, ternyata hanya berdiam diri saja dan tidak melakukan disiplin organisasi secara ketat. Hal terjauh yang dilakukannya, adalah menyatakan Hasyim Muzadi non aktif, dan mengangkat/menetapkan Masdar Farid Mas'udi sebagai PjS (Pejabat Sementara) ketua umum PBNU. Ia tidak pernah mencoba 'mengerem' pengurus-pengurus daerah dan panitia muktamar di tingkat pusat maupun daerah untuk tidak menggunakan 'kebutuhan politik' mendukung Ketua Umum PBNU dalam pencalonan, maupun dalam kampanye. Akibatnya justru banyak pengurus NU di tingkat cabang (kabupaten dan kota madya) dan wilayah (di tingkat propinsi), justru membentuk solidaritas kelompok yang berdasarkan kebutuhan politik praktis itu. Inilah yang sebenarnya dirisaukan oleh banyak kalangan kultural/budaya di lingkungan NU sendiri, dan ini pula yang menjadi keprihatinan para kyai sepuh. Tetapi itu semua dianggap sepi oleh Hasyim Muzadi dan kawan-kawan. Rais 'Aam KH. A.M Sahal, seperti sudah dapat diduga sebelumnya hanya bersikap pasif saja. Demikianlah ketika tanggal 1 Desember 2004 penulis menanyakan ketegasan sikap beliau dan hanya memperoleh jawaban pasif saja. Penulis meminta baik secara tertulis maupun lisan, mereka yang ternyata melakukan tindakan politik praktis tidak diperkenankan menjadi anggota PBNU hasil Muktamar ke-31 itu, beliau hanya menjawab dengan air mata terurai bahwa beliau tidak dapat melarang Hasyim Muzadi menjadi calon Ketua Umum PBNU. Padahal beliau punya wewenang untuk itu menurut tata tertib Muktamar. Apa motif sebenarnya dari sikap beliau tersebut tidaklah begitu penting bagi penulis, karena segera penulis bersiap-siap untuk kembali ke Jakarta keesokan harinya. Namun antara jam 7-8 malam penulis diminta oleh para sesepuh NU, dan diberi tugas tertulis untuk membentuk sebuah organisasi baru, karena yang lama sudah lepas kendali. Beberapa hari kemudian penulis di panggil beliau-beliau itu, ke Pesantren Buntet, Astanajapura (Cirebon), penulis mendapat "perintah pelaksanaan" dari apa yang menjadi gagasan tersebut. Perintah baru itu pada dasarnya meliputi tiga hal. Pertama, jangan ada deklarasi dan upaya apapun untuk mendirikan secara formal organisasi baru itu, di luar Muktamar Luar Biasa yang akan diselenggarakan bulan Juni 2005. Kedua, untuk menghindarkan hal-hal konfrontatif dalam pembentukan organisasi itu. Ketiga, mengulur waktu begitu rupa sehingga persiapan pembentukan wadah baru itu akan berakibat sangat panjang, setelah kita dapat mengatasi krisis multidimensial. Dengan demikian, kebutuhan untuk menggunakan sumber-sumber dalam negeri kita, bagi kemakmuran sebesar-besarnya jumlah penduduk untuk keadilan dapat tercapai Sebuah analogi (qiyas) dapat dibangun dalam hal ini. Pada 2 Mei 1982 'para sesepuh NU' bertemu di rumah KH. Maskur Jl. Imam Bonjol No. 22 (Jakarta Pusat), kemudian mendatangi rumah DR. KH. Idham Chalid (jalan Mangunsarkoro) untuk memintanya menggundurkan diri dari jabatan Ketua Umum PBNU. Dua hari kemudian, penulis bersama-sama dengan Dr. Fahmi Syaifudin (ipar penulis sendiri) mendatanginya. Ketika penulis bertanya, mengapakah ia memenuhi permintaan itu, padahal itu akan membawa perpecahan sangat dalam di tubuh NU sendiri? Untuk menghindarkan hal itu, ia menyetujui penunjukan H. Chalid Mawardi untuk menjadi 'manajer' kelompok Cipete. Penulis sendiri berhasil ditunjuk menjadi 'manajer para kyai'. Dengan Dr. Fahmi Syaifudin menjadi penghubung antar kedua orang 'manajer" itu. H. Chalid Mawardi dan penulis melakukan hal itu utnuk dua tahun lebih lamanya. Kami berdua, bersama-sama Dr. Fahmi Syaifudin menggunakan kantor yang sama di Kramat Raya No. 164 Jakarta-pusat. Demikianlah pula, kami berdua sama-sama menggunakan staff PBNU yang itu-itu juga. Serta kertas kop surat yang sama pula. Demikianlah, dengan menggunakan kecerdikan otak, pertikaian dalam NU tidak berkembang menjadi perpecahan. Hal itu sangat diperlukan, karena sekarang inipun NU mas
[ppiindia] Gus Mus: NU dan Garasinya
NU dan Garasinya 15 Maret 2010 20:14:41 Oleh: KH. Dr. A. Mustofa Bisri Keluarga Pak Nuas Waja merupakan keluarga desa yang cukup kaya. Di samping rumah yang besar, keluarga ini memiliki sawah, kebun, peternakan, perahu penangkap ikan, toko serba ada, dan masih ada kekayaan dan usaha yang lain. Keluarga Pak Nuas Waja yang cukup banyak, tidak kesulitan menangani semua harta dan usaha itu, meski pengelolaannya masih secara tradisional. Masing-masing anggota keluarga, sesuai keahliannya diserahi dan bertanggungjawab atas bidang yang dikuasainya. Ini menggarap sawah; ini mengurus kebun; itu menangani toko; itu mengurus peternakan; demikian seterusnya. Masih ada satu usaha keluarga lagi yang dilakukan bekerja sama dengan pihak-pihak lain. Yaitu, usaha transportasi. Tapi, karena waktu pembagian keuntungan, dirasa kurang adil, akhirnya keluar dan mendirikan usaha transportasi sendiri. Berhubung usaha ini baru bagi mereka, maka diajaknya beberapa personil dari luar yang dianggap mampu dan mengerti seluk-beluk transportasi. Ternyata, usaha baru ini meraih sukses yang luar biasa. Dari empat besar perusahaan transportasi, perusahaan keluarga pak Nuas Waja yang baru ini meraih peringkat ketiga. Dampak dari sukses besar ini, antara lain: personil-personil dari luar yang ikut membantuatau yang berjanji akan membantu--menangani usaha ini pun menyatakan bergabung total sebagai anggota keluarga. Pak Nuas pun tidak keberatan dan justru senang. Dampak lain yang jauh lebih penting dan serius, ialah kemaruknya para anggota keluarga terhadap usaha transportasi yang sukses besar ini. Setiap hari sebagian besar mereka berjubelan di garasi; meskipun sebenarnya banyak yang sekedar bermain-main klakson atau memutar-mutar stir mobil, karena memang tak tahu apa yang harus mereka lakukan di garasi itu. Lama-lama, mereka yang bertanggung jawab menggarap sawah, kebun, peternakan, toko, dlsb pun tertarik dan tersedot ikut menjubeli garasi mereka. Sawah pun menjadi bero, kebun tak terawat, toko tak ada yang menjaga, ternak-ternak pada mati, perahu nganggur Bahkan, rumah sendiri sering kosong, banyak perabotan diambil dan dibawa orang tak ada yang tahu. Halamannya kotor tak terurus. Ketika penguasa negeri ganti dan mendirikan juga usaha transportasi sendiri, keluarga Nuas Waja pun agak pusing. Soalnya cara berusaha penguasa baru ini tidak lazim. Mereka menggunakan cara-cara makhluk rimba untuk memajukan usaha mereka. Tak segan-segan mereka menggunakan tipuan dan kekerasan.Orang dipaksa untuk menggunakan transportasi mereka; yang tidak mau, tahu rasa! Namun, meski bersaing dengan usaha penguasa yang zalim begitu, usaha keluarga Nuas Waja masih mampu bertahan, walau babak-belur. Bahkan perlakuan penguasa itu justru semakin mengentalkan fanatisme keluarga terhadap usaha transportasi ini. Akan tetapi, penguasa lebih pintar lagi. Dengan kelicikannya, orang pun digiring untuk menyepakati aturan main baru yang agaknya sudah lama mereka rencanakan di bidang transportasi ini. Aturan itu melarang orang berusaha transportasi sendiri-sendiri di rumah. Mereka yang berusaha di bidang transportasi harus nge-pol dan bergabung dalam salah satu dari tiga wadah usaha yang sudah disiapkan. Akhirnya, keluarga Nuas pun bergabung dengan beberapa penguasaha lain, sesuai arahan penguasa. Dan nasib seperti pada masa lampau pun terulang kembali. Keluarga Nuas yang sahamnya paling besar, justru waktu pembagian keuntungan selalu kena tipu dan rugi. Maka, waktu ada gagasan dari sementara anggota keluarga untuk kembali saja ke jati diri awal mereka, banyak yang mendukung gagasan itu, meskipun dengan alasan yang berbeda-beda. Demikianlah, meskipun seperti malas-malas dan terus menghadapi godaan untuk hanya mengurusi usaha transportasi, anggota keluarga yang biasa menggarap sawah, mulai kembali ke sawah; yang biasa mengurus kebun, kembali ke kebun; yang mengelola toko, kembali ke toko; demikian seterusnya. Sementara itu, mereka yang sudah merasa mapan menjalankan usaha transportasi, sesekali masih mencoba mencari kawan pendukung. Dunia selalu berubah. Beberapa waktu, setelah pemerintahan ganti lagi dan usaha transportasi kembali bebas, keluarga Nuas Waja pun kembali terseret arus pertransportasian yang kembali marak. Banyak keluarga yang dulu punya usaha sendiri, beramai-ramai menghidupkan kembali usaha transportasi mereka. Garasi pun dibangun dimana-mana. Dan keluarga Nuas Waja pun menghabiskan enersi mereka untuk urusan garasi dan transportasi; termasuk mereka yang busi dan dongkrak pun tak mengenalnya. *** Mungkin saya terlalu sederhana, tapi tamsil di atas itulah yang selalu saya gunakan untuk menerangkan NU dan Khithahnya kepada orang-orang sederhana di bawah. Saya ingin mengatakan bahwa memang ada faktor politik di dalam proses kelahiran Khithah NU, tapi bukan berarti politiklah yang harus disalahkan dan oleh karenanya lalu dipahami NU tak lagi menghalalkansetelah selama ini menghalalkan--politik. Khitthah NU dalam hal inikarena Khitthah ta
[ppiindia] Gus Mus: Wabah
Wabah Oleh: KH. Dr. A. Mustofa Bisri Mula-mula tak ada seorang pun di rumah keluarga besar itu yang berterus terang. Masing-masing memendam pengalaman aneh yang dirasakannya dan curiga kepada yang lain. Masing-masing hanya bertanya dalam hati, "Bau apa ini?" Lalu keadaan itu meningkat menjadi bisik-bisik antar 'kelompok' dalam keluarga besar itu. Kakek berbisik-bisik dengan nenek. "Kau mencium sesuatu, nek?" "Ya. Bau aneh yang tak sedap!" jawab nenek. "Siapa gerangan yang mengeluarkan bau aneh tak sedap ini?" "Mungkin anakmu." "Belum tentu; boleh jadi cucumu!" "Atau salah seorang pembantu kita." Ayah berbisik-bisik dengan ibu. "Kau mencium sesuatu, Bu?" "Ya. Bau aneh yang tak sedap!" jawab ibu. "Siapa gerangan yang mengeluarkan bau aneh tak sedap ini?" "Mungkin ibumu." "Belum tentu; boleh jadi menantumu." "Atau salah seorang pembantu kita." Demikianlah para menantu pun berbisik-bisik dengan isteri atau suami masing-masing. Anak-anak berbisik antar mereka. Para pembantu berbisik-bisik antar mereka. Kemudian keadaan berkembang menjadi bisik-bisik lintas 'kelompok'. Kakek berbisik-bisik dengan ayah atau menantu laki-laki atau pembantu laki-laki. Nenek berbisik-bisik dengan ibu atau menantu perempuan atau pembantu perempuan. Para menantu berbisik-bisik dengan orangtua masing-masing. Ibu berbisik-bisik dengan anak perempuannya atau menantu perempuannya atau pembantu perempuan. Ayah berbisik-bisik dengan anak laki-lakinya atau menantu laki-lakinya atau pembantu laki-laki. Akhirnya semuanya berbisik-bisik dengan semuanya. Bau aneh tak sedap yang mula-mula dikira hanya tercium oleh masing-masing itu semakin menjadi masalah, ketika bisik-bisik berkembang menjadi saling curiga antara mereka. Apalagi setiap hari selalu bertambah saja anggota keluarga yang terang-terangan menutup hidungnya apabila sedang berkumpul. Akhirnya setelah semuanya menutup hidung setiap kali berkumpul, mereka pun sadar bahwa ternyata semuanya mencium bau aneh tak sedap itu. Mereka pun mengadakan pertemuan khusus untuk membicarakan masalah yang mengganggu ketenangan keluarga besar itu. Masing-masing tidak ada yang mau mengakui bahwa dirinya adalah sumber dari bau aneh tak sedap itu. Masing-masing menuduh yang lainlah sumber bau aneh tak sedap itu. Untuk menghindari pertengkaran dan agar pembicaraan tidak mengalami deadlock, maka untuk sementara fokus pembicaraan dialihkan kepada menganalisa saja mengapa muncul bau aneh tak sedap itu. Alhasil, didapat kesimpulan yang disepakati bersama bahwa bau itu timbul karena kurangnya perhatian terhadap kebersihan. Oleh karena itu diputuskan agar semua anggota keluarga meningkatkan penjagaan kebersihan; baik kebersihan diri mau pun lingkungan. Selain para pembantu, semua anggota keluarga diwajibkan untuk ikut menjaga kebersihan rumah dan halaman. Setiap hari, masing-masing mempunyai jadwal kerja bakti sendiri. Ada yang bertanggungjawab menjaga kebersihan kamar tidur, ruang tamu, ruang makan, dapur, kamar mandi, dst. Sampah tidak boleh dibuang di sembarang tempat. Menumpuk atau merendam pakaian kotor dilarang keras. Juga disepakati untuk membangun beberapa kamar mandi baru. Tujuannya agar tak ada seorang pun anggota keluarga yang tidak mandi dengan alasan malas. Siapa tahu bau itu muncul justru dari mereka yang malas mandi. Di samping itu, semua anggota keluarga diharuskan memakai parfum dan menyemprot kamar masing-masing dengan penyedap ruangan. Semua benda dan bahan makanan yang menimbulkan bau, seperti trasi, ikan asin, jengkol, dsb. dilarang dikonsumsi dan tidak boleh ada dalam rumah. Setiap jengkal tanah yang dapat ditanami, ditanami bunga-bunga yang berbau wangi. Ketika kemudian segala upaya itu ternyata tidak membuahkan hasil dan justru bau aneh tak sedap itu semakin menyengat, maka mereka menyepakati untuk beramai-ramai memeriksakan diri. Jangan-jangan ada seseorang atau bahkan beberapa orang di antara mereka yang mengidap sesuatu penyakit. Mereka percaya ada beberapa penyakit yang dapat menimbulkan bau seperti misalnya sakit gigi, sakit lambung, paru-paru, dsb. Pertama-tama mereka datang ke puskesmas dan satu-persatu mereka diperiksa. Ternyata semua dokter puskesmas yang memeriksa mereka menyatakan bahwa mereka semua sehat. Tak ada seorang pun yang mengidap sesuatu penyakit. Tak puas dengan pemeriksaan di puskesmas, mereka pun mendatangi dokter-dokter spesialis; mulai dari spesialis THT, dokter gigi, hingga ahli penyakit dalam. Hasilnya sama saja. Semua dokter yang memeriksa, tidak menemukan kelainan apa pun pada kesemuanya. Mereka merasa gembira karena oleh semua dokter --mulai dari dokter puskesmas hingga dokter-dokter spesialis-- di kota, mereka dinyatakan sehat. Setidak-tidaknya bau aneh dan busuk yang meruap di rumah mereka kemungkinan besar tidak berasal dari penyakit yang mereka idap. Namun ini tidak memecahkan masalah. Sebab bau aneh tak sedap itu semakin hari justru semakin menyesak dada. Mereka pun berembug kembali. "Sebaiknya kita cari
[ppiindia] Gus Mus: Pemimpin Yang Rendah Hati
Pemimpin Yang Rendah Hati 26 Februari 2010 15:15:12 | Oleh: KH. Dr. A. Mustofa Bisri Suatu ketika seorang laki-laki menghadap Nabi Muhammad SAW dan gemetaran oleh wibawa beliau-- saat berbicara. Nabi SAW pun berkata menenangkan: Tenang saja! Aku bukan raja. Aku hanyalah anaknya perempuan Qureisy yang biasa makan ikan asin. (Dalam hadisnya, menggunakan kata qadiid yang maknanya dendeng, makanan sederhana di Arab. Saya terjemahkan dengan ikan asin yang merupakan makanan sederhana di Indonesia). Ketika Rasulullah SAW datang di Mekkah, setelah sekian lama hijrah, sahabat Abu Bakar Siddiq r.a. sowan bersama ayahandanya, Utsman yang lebih terkenal dengan julukan Abu Quhaafah. Melihat sahabat karib sekaligus mertuanya bersama ayahandanya itu, Rasulullah SAW pun bersabda Wahai Abu Bakar, mengapa Sampeyan merepotkan orang tua? Mengapa tidak menunggu aku yang sowan beliau di kediamannya? *** Sahabat Abdurrahman Ibn Shakhr yang lebih dikenal dengan Abu Hurairah r.a. bercerita: Suatu ketika aku masuk pasar bersama Rasulullah SAW. Rasulullah berhenti, membeli celana dalam dan berkata: Pilihkan yang baik lho! (Terjemahan dari aslinya: Rasulullah bersabda kepada si tukang timbang, Timbang dan murahin bahasa Jawa: sing anget. Boleh jadi waktu itu, beli celana pun ditimbang). Mendengar suara Rasulullah SAW, si pedagang celana pun melompat mencium tangan beliau. Rasulullah menarik tangan beliau sambil bersabda: Itu tindakan orang-orang asing terhadap raja mereka. Aku bukan raja. Aku hanyalah laki-laki biasa seperti kamu. Kemudian beliau ambil celana yang sudah beliau beli. Aku berniat akan membawakannya, tapi beliau buru-buru bersabda: Pemilik barang lebih berhak membawa barangnya. *** Itu beberapa cuplikan yang saya terjemahkan secara bebas dari kitab Nihayaayat al-Arab-nya Syeikh Syihabuddin Ahmad Ibn Abdul Wahhab An-Nuweiry (677-733 H) jilid ke 18 hal 262-263. Saya nukilkan cuplikan-cuplikan kecil itu untuk berbagi kesan dengan Anda. Soalnya saya sendiri, saat membacanya, mendapat gambaran betapa biasa dan rendah hatinya pemimpin agung kita Nabi Muhammad SAW. Dalam kitab itu juga disebutkan bahwa Rasulullah SAW sering naik atau membonceng kendaraan paling sederhana saat itu; yaitu keledai. Rasulullah SAW suka menyambangi dan duduk bercengkerama dengan orang-orang fakir-miskin. Menurut istri terkasih beliau, sayyidatina Aisyah r.a dan cucu kesayangan beliau Hasan Ibn Ali r.a, Rasulullah SAW mengerjakan pekerjaan rumah; membersihkan dan menambal sendiri pakaiannya; memerah susu kambingnya; menjahit terompahnya yang putus; menyapu dan membuang sampah; memberi makan ternak; ikut membantu sang istri mengaduk adonan roti; dan makan bersama-sama pelayan. Sikap dan gaya hidup sederhana sebagaimana hamba biasa itu agaknya memang merupakan pilihan Rasulullah SAW sejak awal. Karena itu dan tentu saja juga karena kekuatan pribadi beliau, bahkan kebesaran beliau sebagai pemimpin agama maupun pemimpin Negara pun tidak mampu mengubah sikap dan gaya hidup sederhana beliau. Bandingkan misalnya, dengan kawan kita yang baru menjadi kepala desa saja sudah merasa lain; atau ikhwan kita yang baru menjadi pimpinan majlis taklim saja sudah merasa beda dengan orang lain. Memang tidak mudah untuk bersikap biasa; terutama bagi mereka yang terlalu ingin menjadi luar biasa atau mereka yang tidak tahan dengan keluarbiasaan. Apalagi sering kali masyarakat juga ikut membantu mempersulit orang istimewa untuk bersikap biasa. Orang yang semula biasa dan sederhana; ketika nasib baik mengistimewakannya menjadi pemimpin, misalnya, atau tokoh berilmu atau berada atau berpangkat atau terkenal, biasanya masyarakat di sekelilingnya pun mengelu-elukannya sedemikian rupa, sehingga yang bersangkutan terlena dan menjadi tidak istimewa. Keistimewaan orang istimewa terutama terletak pada kekuatannya untuk tidak terlena dan terpengaruh oleh keistimewaannya itu. Keistimewaan khalifah Allah terutama terletak pada kekuatannya untuk tidak terlena dan terpengaruh oleh kekhalifahannya, mampu menjaga tetap menjadi hamba Allah. Keistimewaan Nabi Muhammad SAW sebagai pemimpin antara lain karena beliau tidak terlena dan terpengaruh oleh keistimewaannya sendiri. Kita pun kemudian menyebutnya sebagai pemimpin yang rendah hati. Nabi Muhammad SAW adalah contoh paling baik dari seorang hamba Allah yang menjadi khalifahNya. Beliau sangat istimewa justru karena sikap kehambaannya sedikit pun tidak menjadi luntur oleh keistimewaannya sebagai khalifah Allah. Shalawat dan salam bagimu, ya Rasulallah, kami rindu! KH. A. Mustofa Bisri, Pengajar di Pondok Pesantren Taman Pelajar Raudlatut Thalibin, Rembang, Jawa Tengah. -- "...menyembah yang maha esa, menghormati yang lebih tua, menyayangi yang lebih muda, mengasihi sesama..." [Non-text portions of this message have been removed] *** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semang
[ppiindia] Gus Mus: Sang Pemimpin
Sang Pemimpin Oleh: KH. A. Mustofa Bisri Zahir sedang berada di pasar Madinah ketika tiba-tiba seseorang memeluknya kuat-kuat dari belakang. Tentu saja Zahir terkejut dan berusaha melepaskan diri, katanya: Lepaskan aku! Siapa ini? Orang yang memeluknya tidak melepaskannya justru berteriak: Siapa mau membeli budak saya ini? Begitu mendengar suaranya, Zahir pun sadar siapa orang yang mengejutkannya itu. Ia pun malah merapatkan punggungnya ke dada orang yang memeluknya, sebelum kemudian mencium tangannya. Lalu katanya riang: Lihatlah, ya Rasulullah, ternyata saya tidak laku dijual. Tidak, Zahir, di sisi Allah hargamu sangat tinggi; sahut lelaki yang memeluk dan menawarkan dirinya seolah budak itu yang ternyata tidak lain adalah Rasulullah, Muhammad SAW. Zahir Ibn Haram dari suku Asyja, adalah satu di antara sekian banyak orang dusun yang sering datang berkunjung ke Madinah, sowan menghadap Kanjeng Nabi Muhammad SAW. Tentang Zahir ini, Rasulullah SAW pernah bersabda di hadapan sahabat-sahabatnya, Zahir adalah orang-dusun kita dan kita adalah orang-orang-kota dia. *** Nabi Muhammad SAW Anda anggap pemimpin apa saja, pemimpin formal kah; pemimpin non formal; pemimpin agama; pemimpin masyarakat; atau pemimpin Negara, Anda akan sulit membayangkannya bercanda di pasar dengan salah seorang rakyatnya seperti kisah yang saya tuturkan (berdasarkan beberapa kitab hadis dan kitab biografi para sahabat, Asad al-ghaabah- nya Ibn al-Atsier ) di atas. Tapi itulah pemimpin agung, Uswah hasanah kita Nabi Muhammad SAW. Dari kisah di atas, Anda tentu bisa merasakan betapa bahagianya Zahir Ibn Haram. Seorang dusun, rakyat jelata, mendapat perlakuan yang begitu istimewa dari pemimpinnya. Lalu apakah kemudian Anda bisa mengukur kecintaan si rakyat itu kepada sang pemimpinnya? Bagaimana seandainya Anda seorang santri dan mendapat perlakuan demikian akrab dari kiai Anda? Atau Anda seorang anggota partai dan mendapat perlakuan demikian dari pimpinan partai Anda? Atau seandainya Anda rakyat biasa dan diperlakukan demikian oleh --tidak usah terlalu jauh: gubernur atau presidenbupati Anda? Anda mungkin akan merasakan kebahagiaan yang tiada taranya; mungkin kebahagiaan bercampur bangga; dan pasti Anda akan semakin mencintai pemimpin Anda itu. Sekarang pengandainya dibalik: seandainya Anda kiai atau, pimpinan partai, atau bupati; apakah Anda sampai hati bercanda dengan santri atau bawahan Anda seperti yang dilakukan oleh panutan agung Anda, Rasulullah SAW itu? Boleh jadi kesulitan utama yang dialami umumnya pemimpin, ialah mempertahankan kemanusiaanya dan pandangannya terhadap manusia yang lain. Biasanya, karena selalu dihormati sebagai pemimpin, orang pun menganggap ataukah dirinya tidak lagi sebagai manusia biasa, atau orang lain sebagai tidak begitu manusia. *** Kharqaa, perempuan berkulit hitam itu entah dari mana asalnya. Orang hanya tahu bahwa ia seorang perempuan tua yang sehari-hari menyapu mesjid dan membuang sampah. Seperti galibnya tukang sapu, tak banyak orang yang memperhatikannya. Sampai suatu hari ketika Nabi Muhammad SAW tiba-tiba bertanya kepada para sahabatnya, Aku kok sudah lama tidak melihat Kharqaa; kemana gerangan perempuan itu? Seperti kaget beberapa sahabat menjawab: Lho, Kharqaa sudah sebulan yang lalu meninggal, ya Rasulullah. Boleh jadi para sahabat menganggap kematian Kharqaa tidak begitu penting hingga perlu memberitahukannya kepada Rasulullah SAW. Tapi ternyata Rasulullah SAW dengan nada menyesali, bersabda: Mengapa kalian tidak memberitahukannya kepadaku? Tunjukkan aku dimana dia dikuburkan?. Orang-orang pun menunjukkan kuburnya dan sang pemimpin agung pun bersembahyang di atasnya, mendoakan perempuan tukang sapu itu. *** Nabi Muhammad SAW Anda anggap pemimpin apa saja, pemimpin formal kah; pemimpin non formal; pemimpin agama; pemimpin masyarakat; atau pemimpin Negara, Anda pasti akan sulit membayangkan bagaimana pemimpin seagung beliau, masih memiliki perhatian yang begitu besar terhadap tukang sapu, seperti kisah nyata yang saya ceritakan (berdasarkan beberapa hadis sahih) di atas. Tapi itulah pemimpin agung, Uswah hasanah kita Nabi Muhammad SAW. Urusan-urusan besar tidak mampu membuatnya kehilangan perhatian terhadap rakyatnya, yang paling jembel sekalipun. *** Anas Ibn Malik yang sejak kecil mengabdikan diri sebagai pelayan Rasulullah SAW bercerita: Lebih Sembilan tahun aku menjadi pelayan Rasulullah SAW dan selama itu, bila aku melakukan sesuatu, tidak pernah beliau bersabda, Mengapa kau lakukan itu? Tidak pernah beliau mencelaku. Pernah, ketika aku masih kanak-kanak, diutus Rasulullah SAW untuk sesuatu urusan; cerita Anas lagi, Meski dalam hati aku berniat pergi melaksanakan perintah beliau, tapi aku berkata, Aku tidak akan pergi. Aku keluar rumah hingga melewati anak-anak yang sedang bermain di pasar. Tiba-tiba Rasulullah SAW memegang tengkukku dari belakang dan bersabda sambil tertawa, Hai Anas kecil, kau akan pergi melaksanaka
[ppiindia] Gus Mus: Nabi Kasih Sayang
Nabi Kasih Sayang Oleh: KH. A. Mustofa Bisri "Benar-benar telah datang kepada kalian seorang Rasul dari kalangan kalian sendiri, yang terasa berat baginya penderitaan kalian; penuh perhatian terhadap kalian; dan terhadap orang-orang Mukmin, sangat pengasih lagi penyayang" ( Q.s. 9:128) Nabi Muhammad SAW diutus Allah tiada lain untuk merahmati semesta alam (Q.s. 21:107). Maka tentulah bukan kebetulan bila ternyata Nabi Muhammad SAW dan agama yang dibawanya merupakan rahmat. Merupakan kasih sayang bagi semesta Alam. Tentulah bukan kebetulan, bahkan hal yang wajar bahwa pembawa kasih saying adalah seseorang yang pengasih dan penyayang. Siapapun yang mempelajari Sirah Nabi SAW, akan menjumpai kisah-kisah kasih sayang Nabi Muhammad SAW, sebagaimana siapapun yang mempelajari syariat agama akan dengan mudah menemukan bukti hikmah-hikmah kasih sayang Islam. Kasih sayang bisa dengan mudah Anda temui dalam kehidupan sehari-hari sang Rasul SAW, baik sebagai bapak dan suami dalam lingkungan keluarga, sebagai saudara di kalangan handai taulan, sebagai teman di kalangan sahabat, sebagai guru di antara para murid, sebagai pemimpin di kalangan ummat, bahkan sebagai manusia di tengah mahluk-mahluk Allah yang lain. Dalam surat At-taubah ayat 128 yang terjemahannya dinukil di awal tulisan ini, Allah menyifati nabi Muhammad SAW dengan beberapa sifat yang kesemuanya merupakan penggambaran akan besarnya kasih sayang beliau. Dalam ayat itu disebutkan bahwa Rasulullah SAW adalah orang yang 'aziezun alaihi maa'anittum, yang merasakan betapa berat melihat penderitaan dan harieshun 'alaikum yang sangat mendambakan keselamatan kaumnya; dan raufun rahiem, pengasih lagi penyayang terhadap orang-orang yang beriman. Penderitaan kaumnya terasa berat sekali bagi Rasulullah SAW; baik pedneritaan itu dialami di dunia maupun apalagi- di akhirat. Oleh karena itu Rasulullah SAW hariesh, penuh perhatian , dan sangat mendambakan keselamatan kaumnya ummat manusia- jangan sampai menderita. Dan hal ini dapat dilihat dari sikap dan sepak terjang beliau dalam kehidupan dan perjuangannya : bagaimana beliau menyantuni dan menganjurkan penyantunan terhadap kaum dhu'afa; bagaimana beliau menegakkan dan menganjurkan penegakan kebenaran dan keadilan; bagaimana beliau menghormati dan menganjurkan penghormatan terhadap harkat dan martabat manusia; bagaimana beliau berperingai dan menganjurkan untuk berperangai mulia (akhlaq al-kariemah); dan bagaimana beliau tak henti-hentinya melakukan dan menganjurkan amar ma'ruf nahi munkar dan seterusnya. Khusus tentang amar ma'ruf nahi munkar, bahkan menjadi ciri Nabi dan juga diharapkan menjadi ciri- ummatnya. Amar ma'ruf nahi munkar, apabila dicermati, kiranya memang merupakan pengejawantahan dari keinginan keselamatan ummat manusia, agar tidak menderita, yang bersumber dari dan didorong oleh kasih sayang itu pula. Memang, boleh jadi hanya orang yang mempunyai rasa kasih sayang dan memahami arti sebenarnya dari kasih sayanglah yang mau dan menerima amar ma'ruf nahi munkar. Amar ma'ruf nahi munkar hampir tidak bisa dibayangkan berjalan dan apalagi membudaya dalam masyarakat yang tidak aling menyayangi dan mengasihi. Maka tidaklah mengherankan bahwa, sebagai pemimpin, Nabi Muhammad SAW sangat ditaati, karena dan denga kasih sayang; bukan ditaati karena ditakuti dan dengan kebencian atau keterpaksaan. Jadi, kasih sayang Allah yang mewujud dalam firman-Nya perintah dan larangan-Nya- melalui pribadinya yang pengasih dan penyayang ke dalam kehidupan ummat manusia. Atau boleh pula dikatakan apabila Islam merupakan kasih sayang Allah, maka Nabi Muhammad SAW merupakan "bentuk konkret" dari Islam itu sendiri. Maka tidak berlebihan jika Sayyidatina Aisyah r.a ketika ditanya tentang Rasulullah SAW hanya mengatakan "Kaana khuluqul-Qur'an" (Perilaku beliau adalah Qur'an). Dan kaum muslimin yang berimanlah yang selanjutnya diharapkan meneruskan membawa kasih sayang Ilahi itu kepada semesta alam. Bukankah Allah sendiri berfirman kepada Nabi SAW "Qul in kuntum tuhibbuun Allah fattabie'unnie yuhbibkumullah " (Katakanlah, "Jika kalian benar-benar mencintai Allah, ikutilah jejakku; niscaya Allah mengasihi kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang") ( Q.s. 3:31). Wallahu a'lam. [] KH. A. Mustofa Bisri, Pengajar di Pondok Pesantren Taman Pelajar Raudlatut Thalibin, Rembang, Jawa Tengah. -- "...menyembah yang maha esa, menghormati yang lebih tua, menyayangi yang lebih muda, mengasihi sesama..." [Non-text portions of this message have been removed] *** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://groups.yahoo.com/group/ppiindia *** ___
[ppiindia] Gus Mus: Nabi Pembawa Kasih Tuhan
Nabi Pembawa Kasih Tuhan Oleh: KH. A Mustofa Bisri Lelaki berwibawa itu membariskan anak-anak pamannya, Abbas, Abdullah, Ubaidillah, dan Kutsair. Ia berkata kepada bocah-bocah itu, Ayo, siapa yang lebih dulu mencapaiku, aku beri hadiah. Bocah-bocah itu dengan gembira berlarian, berlomba mendapatkan laki-laki yang mereka cintai itu. Ada yang kemudian jatuh di dadanya, ada yang di punggungnya. Lelaki yang tidak lain adalah pemimpin agung Nabi Muhammad SAW itu pun memeluk dan menciumi mereka. Ketika waktu salat tiba, Rasulullah SAW seperti biasa datang untuk mengimami jamaah. Namun, kali ini, beliau datang dan salat dengan memanggul cucunya, Umamah binti Abil Ash, di pundaknya. Pada saat rukuk, Umamah diletakkan dan saat bangkit dari rukuk cucunya itu diangkat lagi. Kisah Nabi Zahir sedang berada di pasar Madinah ketika tiba-tiba seseorang memeluknya kuat-kuat dari belakang. Tentu saja Zahir terkejut dan berusaha melepaskan diri, katanya, Lepaskan aku! Siapa ini? Orang yang memeluknya tidak melepaskannya, justru berteriak, Siapa mau membeli budak saya ini? Begitu mendengar suaranya, Zahir sadar siapa orang yang mengejutkannya itu. Bahkan, ia merapatkan punggungnya ke dada orang yang memeluknya, sebelum kemudian mencium tangannya. Lalu, katanya riang, Lihatlah, ya, Rasulullah, ternyata saya tidak laku dijual. Tidak, Zahir, di sisi Allah hargamu sangat tinggi, sahut lelaki yang memeluk dan menawarkan dirinya seolah budak itu yang ternyata tidak lain adalah Rasulullah, Muhammad SAW. Zahir Ibn Haram dari suku Asyja adalah satu di antara sekian banyak orang dusun yang sering datang berkunjung ke Madinah, sowan menghadap Kanjeng Nabi Muhammad SAW. Di perjalanan, rombongan berhenti untuk beristirahat. Ketika mereka menyiapkan santapan, seseorang mengangkat tangan dan berkata, Aku yang menyembelih kambingnya. Aku yang mengulitinya! kata yang lain. Aku yang memasak! sahut yang lain lagi. Kalau begitu, aku yang mencari kayu bakar! kata pemimpin mereka, Nabi Muhammad SAW. Orang- orang pun serentak berkata, Tak usah, ya, Rasulullah, biar kami saja yang bekerja. Aku tahu kalian bisa membereskan pekerjaan ini tanpa aku, sergah Sang Nabi, tetapi aku tidak ingin berbeda dariistimewa melebihikalian. Allah tidak suka melihat hambanya berbeda dari sahabat-sahabatnya. Pemimpin Agung Dalam rangka memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW, sengaja saya nukilkan penggalan-penggalan hadis. Hadis-hadis sahih semacam ini jarang sekali dinukil, baik dalam ceramah keagamaan maupun dalam tulisan. Mungkin orang menganggap hal- hal itu terlalu biasa dan kurang menarik. Padahal, pemeran utama berbagai penggalan kisah kehidupan itu adalah sang pemimpin agung yang nabi yang rasul, utusan Allah. Pemeran utama berbagai cuplikan kisah itu adalah Kanjeng Nabi Muhammad SAW yang oleh Michael H Hart, namanya ditempatkan dalam urutan pertama 100 manusia paling berpengaruh di dunia. Pemeran utama cuplikan-cuplikan kisah itu adalah utusan Allah, Muhammad SAW, yang agamanya diikuti oleh mayoritas bangsa ini. Pemimpin yang berhasil membangun masyarakat madani di Madinah. Pemimpin yang mencintai dan dicintai umatnya. Pemimpin yang ditaati karena dicintai dan bukan karena ditakuti. Di dada dan punggung Pemimpin Agung itulah bocah-bocah, anak-anak pamannya, bergelayutan dengan riang. Di pundak Pemimpin Agung itulah Umamah binti Abil Ash, cucunya, digendong dibawa mengimami salat. Pemimpin Agung itulah yang bercanda dan menggoda salah seorang rakyatnya di pasar. Pemimpin Agung itulah yang tidak mau diistimewakan oleh kawan- kawan rombongannya dan meminta bagian pekerjaan juga seperti anggota rombongan yang lain. Kasih sayang Dari adegan-adegan sederhana itu, Anda pasti dapat membaca, antara lain, kasih sayang dan kerendah-hatian Kanjeng Nabi Muhammad SAW. Kasih sayang dan kerendah-hatian inilah yang menjadi faktor utama mengapa beliau amat dicintai dan disayangi umatnya. Kasih sayang sudah menjadi bawaan Kanjeng Nabi SAW. Pernah Kanjeng Nabi SAW mencium cucunya, Hasan Ibn Ali, di hadapan tokoh suku Tamim, Aqra Ibn Habis. Aqra berkomentar, Aku punya sepuluh anak dan tak seorang pun pernah aku cium. Kanjeng Nabi memandang Aqra dan bersabda, Man laa yarhamu laa yurhamu. Orang yang tidak menyayangi, tidak akan disayangi. Kasih sayang bukan saja bawaan Rasulullah SAW dan merupakan sikap hidup beliau, melainkan juga merupakan misi beliau; sesuai dengan yang difirmankan Tuhannya dalam Al Quran (Q. 21: 107). Seperti nabi-nabi sebelumnya, Nabi Muhammad SAW adalah pembawa kasih sayang Tuhan. Maka, mereka yang mengaku pemimpin penerus risalah Nabi, tetapi tidak memiliki kasih sayang, akan kesulitan bahkan juga menyulitkan orang lain. Semoga selawat dan salam dilimpahkan kepada Kanjeng NabiMuhammad SAW. KH. A. Mustofa Bisri, Pengajar di Pondok Pesantren Taman Pelajar Raudlatut Thalibin, Rembang, Jawa Tengah. -- "...menyembah yang maha esa, menghormati yang lebih tua, m
[ppiindia] Gus Mus: Nasehat Hasan Al-Bashary
Nasehat Hasan Al-Bashary Oleh: KH. A. Mustofa Bisri Begitu Umar Ibn Abdul Aziz yang disebut-sebut sebagai mujaddid penghujung abad I dari kalangan umaraa diangkat sebagai khalifah, beliau mengirim surat kepada imam Hasan al-Bashary yang juga disebut-sebut sebagai salah satu mujaddid penghujung abad I dari kalangan 'ulamaa. Dalam suratnya itu, khalifah Umar meminta imam Hasan agar memerikan kriteria al-imaamul 'aadil, penguasa atau pemimpin yang adil. Imam Hasan pun menjawab dengan kalimat-kalimat yang indah, "Ketahuilah, wahai Amiral mukminin, bahwa Allah menjadikan al-imaamul 'aadil sebagai penegak setiap yang doyong; pembasmi setiap kelaliman; pembaik setiap kerusakan; penguat setiap yang lemah; pembela setiap yang dilalimi; tempat berlindung setiap yang memerlukan pertolongan." "Al-imaamul 'aadil, wahai Amiral mukminin, bagaikan gembala yang bersikap lembut kepada gembalaannya yang membawanya kepada tempat gembalaan yang paling baik dan menjaganya jangan sampai merumput di tempat yang berbahaya; menjaganya dari binatang buas dan melindunginya dari panas dan dingin." "Al-imaamul 'aadil, wahai Amiral mukminin, bagaikan seorang ayah yang menyintai anaknya yang merawatnya ketika kecil dan mengajarnya hingga besar; bekerja untuknya sepanjang hidupnya dan menabung bagi kepentingannya setelah ia tiada. Al-imaamul 'aadil bagaikan seorang ibu yang belas kasih terhadap anaknya; rela menanggung beban mengandung dan melahirkannya; mendidiknya penuh kesabaran; menjaganya siang-malam; gembira bila anaknya sehat dan sedih bila ada keluhan sakit darinya." "Al-imaamul 'aadil, wahai Amiral mukminin, adalah pengampu anak-anak yatim; gudangnya orang-orang miskin yang merawat bocah-bocah mereka dan meransum orang-orang tua mereka" "Al-imaamul 'aadil, wahai Amiral mukminin, ibarat kalbu di antara bagian-bagian tubuh; bagian-bagian itu akan baik selama ia baik dan akan rusak apabila ia rusak. "Al-imaamul 'aadil, wahai Amiral mukminin, adalah orang yang berdiri antara Allah dan hamba-hambaNya; mendengarkan firman Allah dan memperdengarkannya kepada mereka, memandang kepada Allah dan memperlihatkan kepada mereka, tunduk kepada Allah dan memimpin mereka.' "Maka, wahai Amiral mukminin, dalam kekuasaan yang diberikan Allah kepada Anda, janganlah Anda seperti seorang budak yang diberi kepercayaan tuannya untuk menjaga harta dan keluarganya lalu mengangkangi harta dan bertindak sewenang-wenang terhadap keluarga tuannya itu, sehingga keluarganya menjadi miskin dan hartanya terhambur-hamburkan." " .." Sebenarnya surat itu masih panjang, namun yang dikemukakan disini kiranya sudah cukup sebagai cermin bagi para pemimpin atau penguasa atau calon-calon pemimpin atau penguasa. Umar Ibn Abdul Aziz bukanlah presiden modern dari negara demokratis. Ia adalah khalifah, penguasa negara yang menganut sistem kerajaan. Ia tidak dipilih rakyat dari antara mereka, tapi dicomot dari lingkungan ningrat istana. Karenanya, ia tentu saja sudah terbiasa dengan kemewahan hidup. Kalau ketika 'hanya' menjadi keluarga istana saja, dia sudah bergelimang kemewahan; maka saat menjadi khalifah seandainya ia mau kesempatan untuk lebih bermewah-mewah lagi jelas sangat terbuka. Dia penguasa tunggal dan kekuasaannya tidak terbatasi. Presiden negara demokratis yang kekuasaannya tidak tak terbatas saja, kemewahannya kadang luar biasa. Begitu diangkat menjadi khalifah, yang pertama dilakukan Umar Ibn Abdul Aziz, bukan berkonsultasi kepada yang lain, tetapi kepada Hasan al-Bashary. Seorang tokoh ulama yang mumpuni yang dijuluki Syeikhul Islam dan Sayyidut Taabi'ien yang ketika wafat tahun 110 H tak ada seorang pun penduduk Bashrah yang tak keluar melayatnya. Rahimahullah. Al-Bashary, meski diminta oleh dan memberi nasihat kepada khalifah, ia bukanlah semacam tokoh disini sekarang yang sering disebut pers sebagai penasihat spiritual. Umumnya yang disebut penasihat spritual penguasa sejak zaman Soekarno, tak lebih dari dukun atau paranormal yang sama sekali tak mudheng tentang kehendak Allah dan persoalan negara. Karenanya nasihat-nasihatnya belum pernah membawa kemaslahatan, bahkan sering kali malah menambah kacau negeri ini saja. Lihatlah penggalan nasihat Hasan al-Bashary di atas. Itulah nasihat spiritual. Itulah nasihat ulama yang arif. Mana kini ada nasihat kepada pemimpin atau penguasa seperti itu? Atau mana sekarang ada pemimpin atau penguasa mau meminta nasihat kepada orang waras seperti itu? Kalau pun ada, mana ada pemimpin atau penguasa yang mau mendengarkannya? Kalau pun ada mana ada yang mau menjadikannya sebagai pedoman? Pemimpin atau penguasa sekarang satu dan lain hal karena terlampau sadar akan kelebihannya-- rata-rata terlalu angkuh untuk menerima hidayah. Umar Ibn Abdul Aziz yang raja, yang kekuasaannya tak terbatas itu, bukan saja meminta dan mendengarkan nasihat Hasan al-Bashary, tapi benar-benar menjadikannya sebagai pedoman. Baik sebagai pribadi maupun sebagai pemimpin dan kepala negara. Kese
[ppiindia] Gus Mus: Ulama dan Kiai
Ulama dan Kiai Oleh: KH. A. Mustofa Bisri Boleh jadi pengaruh dan penyerapan dari bahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia tak kalah banyak daripada sumbangan bahasa asing lain, terutama bahasa Inggris. Kita melihat banyak sekali kosa kata kita yang merupakan serapan dari -atau "rakitan" dengan bahan baku- bahasa Arab. Contoh paling mencolok adalah istilah-istilah yang digunakan untuk lembaga-lembaga legislatif kita. Majelis Permusyawaratan Rakyat, misalnya, berasal dari kata Arab majlis, musyawarah, dan raa'iyah. Dewan Perwakilan Rakyat dari diiwaan, wakiil, dan ra'iyah. Dewan Perwakilan Daerah pun demikian. Kata daerah diambil dari daairah. Bahasa Arab juga banyak menyerap bahasa asing, namun galibnya terbatas pada istilah-istilah baru yang tak ada di Arab. Misalnya, kata sijarah dari cigarette, telefuun dari telephone, telefeziyuun dari television, dan dimukrathiyah dari demokrasi. Kata-kata seperti itu mereka sebut mu'arrab, yang diarabkan. Berbeda dari kata-kata mu'arrab yang umumnya terbatas pada istilah-istilah baru yang memang tidak ada dalam kamus Arab. Kata-kata Arab yang diindonesiakan sering mengalami pergesaran dari makna aslinya atau sengaja diberi muatan makna lain karena tidak tahu atau karena kepentingan tertentu. Ada beberapa istilah yang diambil dari bahasa Arab itu yang kemudian rancu atau dirancukan orang dengan istilah asli dari sononya. Istilah ulama yang sudah mengindonesia dirancukan dengan 'ulamaa yang masih asli Arab. Di Arab, kata 'ulamaa adalah bentuk jamak dari 'aalim/aliim, berasal dari 'alima-ya'lamu yang berarti mengetahui. 'Ilmu = pengetahuan dan 'aalim/'aliim = orang yang berpengetahuan. Jadi, 'ulamaa adalah orang-orang yang berpengetahuan. Karena itu, dalam bahasa Arab, orang-orang semacam Isaac Newton hingga Habibie kita yang ahli pesawat terbang termasuk golongan 'ulamaa. Jadi, bukan hanya tokoh-tokoh yang seperti para sahabat dan para mujtahid yang bukan saja ahli dalam ilmu ke-Ilahi-an, tapi juga dalam amaliah. Meskipun, lazimnya istilah 'ulamaa memang dimaksudkan untuk yang terakhir ini (dan yang sejenis itu pada zaman ini, tampaknya, stock-nya sudah habis). Setelah ditaklukkan (ini istilah Rendra) ke dalam bahasa Indonesia menjadi ulama, bentuknya berubah tak lagi jamak, tapi mufrad, satu. Jadi, sebagai orang Indonesia , Anda bisa dan sah, misalnya, mengatakan "Seorang ulama besar" atau "Wahai para ulama!". Ulama dalam bahasa Indonesia memang berarti seorang yang ahli dalam pengetahuan agama Islam (lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia). Kita tahu, tidak semua amaliah orang yang ahli dalam sesuatu bidang pengetahuan bersangkut-paut dengan pengetahuannya. Ada ahli hukum yang tidak menghargai hukum, ada dokter hewan yang tidak pernah menyentuh hewan, ada ahli jiwa yang sakit jiwa, dan sebagainya. Demikian pula dengan ulama, ahli agama Islam, juga ada -kalau tidak banyak- yang amaliahnya tidak atau kurang Islami. Apalagi, kita tahu sendiri, pengetahuan agama di kita masih belum terlalu beranjak dari simbol-simbol belaka (Majelis Ulama Indonesia saja masih lebih sibuk ngurusi label halal dan logo kaset musik daripada ikut ngurusi koruptor serta tindakan arogansi, misalnya. Padahal, korupsi jauh lebih menjijikkan daripada minyak babi dan arogansi. Atau, takabur jauh lebih gawat akibatnya daripada logo kaset). Yang berbeda dari istilah ulama adalah istilah kiai. Istilah kiai adalah istilah budaya (Jawa), bukan terjemahan dari ulama. Orang Jawa mempunyai kebiasaan menyebut kiai kepada apa atau siapa saja yang mereka hormati, bahkan mereka keramatkan. Kiai Nagasasra dan Sabuk Inten adalah benda. Kiai Slamet adalah hewan. Para pendiri NU yang umumnya dari Jawa menamakan jam'iyah mereka dengan Nahdlatul Ulama. Saya kira, itu karena mereka tidak menemukan padanan kata kiai, lalu mengambil yang agak mirip. Karena pada waktu itu peran kiai -yang relatif cukup menguasai ajaran Nabi Muhammad SAW- memang sejauh mungkin meniru peran para sahabat, tabi'iin, dan para mujtahid, terutama di dalam ri'aayatul ummah, mengawani umat; melihat umat dengan kacamata kasih saying. Menolong mereka yang perlu ditolong, mengajar mereka yang tidak tahu, mengingatkan mereka yang lupa, dan seterusnya. Dan, itu mereka lakukan tanpa pamrih, kecuali rida Allah. Jadi, kiai -yang kemudian disinonimkan dengan ulama- adalah istilah yang diberikan masyarakat atau menurut istilah Arief Budiman: produk masyarakat. Dalam kehidupan bermasyarakat, istilah itu semakin meruwetkan ketika kemudian masyarakat tidak lagi bisa "memonopoli" dalam "memproduksi" kiai. Kata Arief Budiman, pemerintah juga bisa memproduksi kiai/ulama. Pers juga bisa. Dan, saya menambahkan, ada kiai/ulama produk partai dan produk sendiri. Yang terakhir itu cukup dengan modal -selain aksesori seperti kopiah, serban, dan tasbih- punya sedikit kemampuan akting, punya hafalan beberapa ayat dan satu-dua hadis, sukyur sedikit-sedikit bisa ndukun. [] KH. A. Mustofa Bisri, Pengajar di Pondok Pesantren Taman Pelajar Raudlatut Thali
[ppiindia] Gus Mus: Kisah Nyata atau Dongeng?
Kisah Nyata atau Dongeng? Oleh: KH. A. Mustofa Bisri Saya akan menceritakan beberapa kisah nyata dan saya jamin Anda akan merasakannnya sebagai sekedar dongeng. Bukan karena Anda tidak mempercayai saya atau sumber-sumber dari mana saya memperoleh kisah-kisah nyata itu; namun terutama karena kita hidup di zaman yang jauh lebih absurd dari dongeng. Atau karena kehidupan kita sudah sedemikian jauh meninggalkan norma-norma nyata dalam kehidupan kemanusiaan. Baiklah saya mulai saja. Anda sudah siap mengikuti kisah-kisah saya? Inilah: 1. Suatu hari ada seorang tua miskin datang kepada Syeikh kalau sekarang mungkin dipanggil kiai-- Sa'id bin Salim, hendak menyampaikan sesuatu keperluan meminta tolong kepada tokoh masyarakat yang disegani itu. Seperti laiknya orang yang sudah tua renta, selama berbicara mengutarakan hajatnya, si orang tua miskin itu bertelekan pada tongkat penopang ketuaannya. Dan tanpa disadari, ujung tongkatnya itu menghunjam pada kaki syeikh Sa'id hingga berdarah-darah. Seperti tidak merasakan apa-apa, Syiekh Sa'id terus mendengarkan dengan penuh perhatian keluhan wong cilik itu. Demikianlah; ketika orang tua itu sudah mendapatkan dari Syeikh apa yang ia perlukan dan pergi meninggalkan majlis, orang-orang yang dari tadi memendam keheranan pun serta-merta bertanya kepada Syeikh Sa'id: "Kenapa Syeikh diam saja, tidak menegur, ketika orang tua tadi menghunjamkan tongkatnya di kaki Syeikh?" "Kalian kan tahu sendiri, dia datang kepadaku untuk menyampaikan keperluannya;" jawab Syeikh Sa'id sambil tersenyum, "Kalau aku mengaduh atau apalagi menegurnya, aku khawatir dia akan merasa bersalah dan tidak jadi menyampaikan hajatnya." Lihatlah. Bukankah kisah di atas bagaikan dongeng saja?! Mana ada pemimpin atau tokoh masyarakat yang begitu tinggi menempatkan keperluan orang yang memerlukan bantuan dalam perhatiannya? Kalau pun ada, mungkin untuk menemukannya bagaikan mencari jarum di tumpukan jerami sekarang ini. 2. Syeikh Hasan Al-Bashari, siapa yang tak mengenal tokoh ulama dan sufi di penghujung abad pertama ini? Beliau tinggal bertetangga dengan seorang Nasrani. Apartemen si Nasrani di atas dan beliau di bawah. Bertahun-tahun mereka bertetangga, belum pernah si Nasrani datang bertandang ke apartemen Syeikh Hasan. Baru ketika Syeikh Hasan jatuh sakit, si Nasrani datang menjenguk. Ketika menjenguk itulah, si Nasrani baru tahu betapa sederhana kehidupan Syeikh Hasan yang sangat terkenal kebesarannya itu. Tapi yang lebih menarik perhatian si Nasrani adalah adanya sebuah baskom berisi air keruh yang terletak di dekat balai-balai tempat tidur Syeikh Hasan. Apalagi ketika ada tetesan air jatuh tepat dari atas baskom. Spontan si Nasrani teringat kamar mandinya di atas. Dengan ragu-ragu si Nasrani pun bertanya: "Syeikh, ini baskom apa?' "Ah baskom itu, sekedar penampung tiris;" jawab Syeikh wajar-wajar saja, "Setiap kali penuh baru saya buang." "Sudah berapa lama Syeikh melakukan ini?" tanya si Nasrani lagi dengan suara gemetar, "maksud saya menampung tiris dari atas ini?" "Ya, kurang-lebih sudah dua puluh tahun;" jawab Syeikh kalem, "jadi sudah terbiasa." Mendengar itu, si Nasrani langsung menyatakan syahadat. Mengakui Tuhan dan Rasul-nya Syeikh Hasan Al-Bashari, Allah swt dan Nabi Muhammad saw. Seperti dongeng bukan? Dimana kini Anda bisa menjumpai orang yang menjunjung tinggi ajaran menghormati tetangga seperti Hasan Al-Bashari itu? 3. Datang seseorang melarat kepada sang pemimpin mengeluhkan kondisinya yang sangat lapar. Sang pemimpin pun bertanya kepada isterinya kalau-kalau ada sesuatu yang dapat disuguhkan kepada tamunya. Ternyata di rumah sang pemimpin yang ada hanya air. Sang pemimpin pun bertanya kepada orang-orang di sekelilingnya, "Siapa yang bersedia menjamu tamuku ini?" "Saya;" kata seseorang. Lalu orang ini pun segera pulang ke rumahnya sendiri membawa tamunya. "Saya membawa tamunya pemimpin kita, tolong sediakan makanan untuk menjamunya!" katanya kepada isterinya. "Wah, sudah tidak ada makanan lagi, kecuali persiadaan untuk anak-anak kita;" bisik sang isteri. "Sibukkan mereka;" kata suaminya lirih, "kalau datang waktunya makan, usahakan mereka tidur. Nanti kalau si tamu akan masuk untuk makan, padamkan lampu dan kita pura-pura ikut makan, ya!" Demikianlah keluarga itu menjalankan skenario kepala rumah tangganya. Dan mereka menahan lapar mereka sendiri hingga pagi. Esok harinya sebelum laporan, sang pemimpin yang tidak lain adalah Rasulullah saw, sudah menyambut kepala rumah tangga seorang shahabat Anshor-- itu dengan tersenyum, sabdanya: "Allah takjub menyaksikan perlakuan kalian berdua terhadap tamu kalian semalan." Anda tahu kisah ini bukan dongeng, karena ini hadis muttafaq 'alaih yang bersumber dari shahabat Abu Hurairah r.a. Tapi tetap saja kedengarannya seperti dongeng, bukan ?! Tiga kisah itu hanyalah sekedar contoh, yang lainnya masih banyak lagi. Anda bisa dengan mudah menjumpainya di kitab-kitab Anda, di kitab suci Al-Quran, di kita
[ppiindia] Gus Mus: Tawassuth dan Tatharruf
Tawassuth dan Tatharruf Oleh: KH. A. Mustofa Bisri Sudah selayaknya umat Islam menjadi ummatan wasatha, umat tengah-tengah, sebagaimana diisyaratkan kitab suci mereka Al-Quran Q. 2: 143). Rasul mereka, Nabi Muhammad saw tidak hanya mengajarkan tapi juga senantiasa mencotohkan sikap dan perilaku tengah-tengah. Tawassuth wal I'tidal. Sikap Tawassuth wal I'tidal, tengah-tengah dan jejeg akan mempermudah kita untuk berlaku adil dan istiqamah, dua hal sangat mulia sekaligus sulit yang sering diseru-tegaskan Al-Quran. Untuk menjadi orang yang adil dan istiqamah akan lebih sulit lagi kalau tidak mustahil-- bagi mereka yang tidak membiasakan sikap dan perilaku tawassuth wal i'tidal. Kebalikan dari tawassuth wal i'tidal ialah tatharruf, ekstrim, berlebih-lebihan. Dari segi pengerahan energi, tatharruf kiranya jauh lebih banyak memerlukan energi dibanding tawassuth; seperti halnya meninggalkan maksiat tentu lebih tidak ribet mengerahkan energi katimbang melakukan maksiat. Hidup sederhana alias tawassuth jauh lebih sederhana katimbang hidup mewah, berlebih-lebihan. Tapi entah mengapa manusia justru lebih suka yang ribet dan sulit yang memerlukan banyak mengeluarkan energi dan beresiko, katimbang yang gampang dan aman. Yang halal, misalnya, begitu banyaknya dibanding yang haram, tapi orang cenderung mencari yang haram yang jelas beresiko.Jangan-jangan ini 'perangai turunan'. Segala yang ada di sorga dihalalkan untuk Bapak Adam dan ibu Hawa dan hanya satu yang diharamkan, lho kok beliau-beliau tertarik kepada yang satu itu. Manusia juga cenderung bersikap tatharruf dari pada tawassuth. Padahal tatharruf mempunyai resiko yang sering kali sangat berat dan parah. Makan-minum berlebihan, beresiko sakit; senang dan benci berlebihan, beresiko tidak bisa adil dan obyektif; menyenangi dunia berlebihan, beresiko melupakan akherat; mengagumi pendapat sendiri, beresiko ujub dan takabbur; bahkan ibadah yang berlebihan, beresiko bosan dan tidak bisa istiqamah. Celakanya lagi, dunia sekarang ini sepertinya 'dikuasai' oleh dua 'ideologi' berlawanan yang sama-sama tatharruf, ibarat hitam dan putih. Yang satu diwakili oleh George W. Bush dan satunya lagi oleh Osama bin Laden. Masing-masing merasa paling benar dan menganggap yang lain mutlak salah. Karena masing-masing merasa paling benar, maka dalil mereka pun sama: Laisa waraa-al haqqi illal baathil, di balik yang benar hanya ada yang salah. Yang benar adalah kami dan yang salah adalah mereka. Dan yang salah harus dibasmi. Bush bilang, siapa yang tak ikut Amerika adalah teroris dan harus dihancurkan. Sementara Osama menganggap siapa yang tidak memusuhi Amerika adalah jahannam yang mesti dibom. Masing-masing pun memperlihatkan keganasannya kepada yang lain. Dan sikap tatharruf seperti ini, rupanya juga sudah menjalar di negeri kita. Resiko dari ini, Anda sendiri dapat ikut merasakannya. Apakah itu merupakan bagian dari azab Allah kepada manusia akhir zaman ini? Soalnya seperti disebutkan dalam Al-Quran, ada model siksa yang berupa: " yalbisakum syiyaa-an wayudziiqa ba'dhakum ba'sa ba'dh..", "mengacaukan kalian dalam kelompok-kelompok fanatik yang berseberangan lalu mencicipkan keganasan sebagian kalian kepada sebagian yang lain.." (Q. 6: 65) Waba'du; dalam dunia yang seperti ini, bukankah sangat relevan apabila kita kembali ke MataAir, kepada ajaran dan contoh agung kita Nabi Muhammad SAW bagi mengembangkan sikap dan perilaku tawassuth wal I'tidaal sebagai ummatan wasathaa dalam upaya rahmatan lil'aalamiin? Wallahu a'lam. KH. A. Mustofa Bisri, Pengajar di Pondok Pesantren Taman Pelajar Raudlatut Thalibin, Rembang, Jawa Tengah. -- "...menyembah yang maha esa, menghormati yang lebih tua, menyayangi yang lebih muda, mengasihi sesama..." [Non-text portions of this message have been removed] *** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://groups.yahoo.com/group/ppiindia *** __ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Reading only, http://ppi-india.blogspot.com 4. Satu email perhari: ppiindia-dig...@yahoogroups.com 5. No-email/web only: ppiindia-nom...@yahoogroups.com 6. kembali menerima email: ppiindia-nor...@yahoogroups.com Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> Your email settings: Individual Email | Traditional <*> To change settings online go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/join (Yahoo! ID required) <*> To change settings via email: ppiindia-dig...@yahoogroups.com ppiindia-fullfeatu...@yahoog
[ppiindia] Gus Mus: Fenomena Gus Dur
[Senin, 08 Februari 2010] Fenomena Gus Dur Oleh: KH. A. Mustofa Bisri KETIKA presiden ke-35 Amerika Serikat John F. Kennedy atau JFK (1917-1963 M) yang nasibnya banyak mirip dengan presiden pendahulunya, Abraham Lincoln, meninggal terbunuh pada 22 November 1963, dunia ikut berduka. Maklum, JFK merupakan presiden negara adikuasa. Dia juga dikenal sebagai presiden Amerika yang berani, mempunyai pandangan ke depan, dan menjanjikan perubahan dunia. Namun, meski saat pemakamannya banyak sekali yang hadir, masih terhitung tidak seberapa bila dibandingkan dengan saat pemakaman Presiden Republik Mesir Gamal Abdel Nasser (1918-1970). Presiden bertubuh raksasa yang mengaku 'murid'-nya presiden kita Bung Karno itu benar-benar orang yang "tahu saat harus meninggal". Setelah pertemuan tingkat tinggi yang membahas berbagai perbedaan pendapat di antara beberapa kepala negara di Kairo, Gamal sebagai tuan rumah mengantar satu per satu tamu-tamunya kembali ke negara masing-masing. Saya masih ingat, yang terakhir diantar ke bandara ialah Amir Shabah dari Kuwait. Setelah itu radio dan TV Mesir berhenti menyiarkan berita. Semua hanya menyiarkan bacaan Alquran. Ternyata presiden yang dianggap paling berjasa mendamaikan Raja Husein dari Jordan dengan Raja Faisal dari Arab Saudi dan Yasser Arafat dari Palestina itu dipanggil ke rahmatullah setelah pulang dari bandara mengantarkan Amir Sabah. Besoknya, kepala-kepala negara yang dilepas Gamal sebelumnya itu berdatangan kembali. Kali ini untuk memberikan penghormatan terakhir kepada presiden yang mereka hormati itu. Maka pada waktu itu dunia -termasuk saya yang langsung- menyaksikan pemakaman paling akbar dalam sejarah modern. The Guinness Book of Records memperkirakan pelayat Presiden Gamal Abdel Nasser mencapai 4 juta dan menetapkan sebagai pemakaman dengan pelayat terbesar. Presiden pertama kita Bung Karno, andai tidak dizalimi oleh pemerintah Orde Baru yang menggantikannya, mungkin pemakamannya tidak kalah akbar daripada pemakaman 'murid'-nya dari Mesir itu. Kepopuleran Bung Karno di dunia tidak kalah dari Gamal. Hanya, Gamal pada saat wafat sedang berada dalam puncak kepopuleran. Kalau di negerinya sendiri, Bung Karno waktu itu kurang dihargai. Pemakamannya hanya ala kadarnya. Sedangkan Gamal di Mesir -yang saya tahu- sangat dihormati oleh pemimpin-pemimpin Mesir dan dicintai rakyatnya. Mesir berkabung tujuh hari atas kemangkatan Bung Karno. Beberapa media massa menulis tentang presiden pertama kita itu, seingat saya, sampai 15 hari. Waba'du, presiden kita keempat, Gus Dur alias KH Dr Abdurrahman Wahid Ad-Dakhil (1940-2009) sudah '40 hari' meninggalkan kita. Presiden yang pengaturan pemakamannya jadi 'rebutan' antara keluarga dan protokol negara itu, dilepas menuju ke haribaan Tuhannya oleh presiden, petinggi-petinggi negara, para kiai, dan ratusan ribu warga masyarakat. Pers dunia tidak hanya memberitakan kewafatannya, tapi juga menulis pribadi dan keistimewaannya. Majalah kenamaan, The Economics, bahkan menceritakan kembali joke-joke Gus Dur yang menertawakan diri sendiri. Seolah-olah orang tidak puas memberikan penghormatan terakhir kepada Gus Dur saat dimakamkan, berbagai kelompok masyarakat mengadakan acara-acara khusus untuk mengenang presiden yang dimakzulkan oleh para politisi -yang dulu mendukung pengangkatannya- itu. Ada Seribu Lilin untuk Gus Dur. Ada berdoa bersama untuk Gus Dur yang diikuti pimpinan berbagai agama dan kepercayaan. Ada beberapa komunitas etnis dan agama yang masing-masing menyelenggarakan acara khusus untuk menghormati almarhum. Di makamnya sendiri di Tebuireng, setiap hari hingga kini rombongan masyarakat dari berbagai pelosok tanah air, bahkan juga dari luar negeri, masih terus berdatangan. Khusus dalam rangka 40 hari wafat presiden rakyat itu, acara-acara mengenang kiai unik tersebut digelar di mana-mana. Dalam rangka itu, saya sendiri mendapat undangan tidak kurang dari sembilan panitia dari berbagai kota di tanah air. Tidak hanya berbentuk doa bersama atau tahlilan dan pengajian, tapi ada pula yang dikemas dalam acara seminar, orasi budaya, kesenian, tirakatan, dan sebagainya. Seniman serbabisa Slamet Gundono malah menyelenggarakan acara budaya sehari semalam di Solo dengan tidak ketinggalan menggelar lakon Kuncung Semar. Studio Mendut Magelang berencana mengadakan pameran patung Gus Dur. Masyarakat Pati lain lagi, rencananya mengadakan pawai keliling sebelum acara puncak di alun-alun Pati. Melihat fenomena itu, sampai ada kiai sepuh yang menyatakan bahwa mulai Nabi Adam belum pernah ada manusia yang diperlakukan seperti Gus Dur. Menurut saya, fenomena ini tidak hanya patut masuk Muri-nya Jaya Suprana, tapi sangat layak masuk Guinness Book of Records. Demikianlah, karena Gus Dur menghargai keberagaman, dia pun dihargai oleh berbagai ragam manusia, terutama yang menerima keberagaman, meskipun pasti ada -terutama dari kalangan mereka yang tidak menyukai keberagaman- yang tidak menghargai bahkan merendahkannya. Dan akan hal
[ppiindia] Gus Mus: Mata Air
Mata Air Oleh: KH. A. Mustofa Bisri Jarak waktu kehidupan kita sekarang ini dengan kehidupan pemimpin agung kita Rasulullah SAW sudah mendekati 15 abad. Ibarat air sungai, kita sudah sangat jauh dari mata air. Boleh jadi sudah mendekati muara. Maka air sungai pun sudah semakin keruh, nyaris tak terlihat lagi warnanya. Tinggal namanya saja. Berbaur dengan limbah nilai-nilai baru yang dikemas begitu menarik oleh kehidupan serba materi yang mendominasi dunia dewasa ini, ajaran dan keteladanan Rasulullah SAW sering tak jelas lagi. Kalau pun tampak, kebanyakan sekedar dagingnya belaka. Peringatan-peringatan Maulid Nabi yang digelar dalam kemas yang begitu-begitu saja dengan isi yang kurang lebih permanen dari Rabi'ul Awal ke Rabi'ul Awal, tak cukup berarti di sela-sela derasnya banjir 'pengajian lain' yang lebih menggiurkan yang secara rutin dan tertib melanda rumah-rumah. Setiap kali kita menyebut suatu perangai atau perilaku pemimpin agung kita Muhammad SAW, kita hanya terkagum-kagum seperti mendengar dongeng nan indah. Apalagi di zaman dimana kebanyakan pemimpin tidak lagi mecerminkan sosok pemimpin yang pantas disebut pemimpin, pemimpin yang membantu memudahkan orang menghormati dan meneladaninya. Mereka yang terlanjur disebut pemimpin dewasa ini, bila diingatkan akan keagungan Rasulullah SAW, mungkin akan berdalih, "Itu kan Nabi pemimpin agung yang mendapat wahyu Ilahi, mana mungkin kami bisa menirunya. Lagi pula kalian sebagai umat juga tidak seperti para shahabat Nabi." Seperti juga air sungai yang masih jernih ketika baru saja meninggalkan mataairnya, para pemimpin salaf masih dapat dengan jelas kita lihat benang merah yang menghubungkan mereka dengan kepemimpinan Rasulullah SAW. Aroma keharuman akhlak mereka masih anduk kesemerbakan uswah hasanah-nya. Mereka yang tidak menangi Nabi Muhammad SAW dan masih sempat melihat shahabat Abu Bakar Shiddiq, misalnya, masih dapat dengan jelas melihat kelembutan; kasihsayang; dan kearifan kenabian melalui pribadi khalifah pertamanya ini. Mereka yang tidak menangi Nabi Muhammad SAW dan masih sempat melihat shahabat Umar Ibn Khatthab, masih dapat dengan jelas menyaksikan kesederhanaan; kedemokratan; dan keadilan kenabian melalui pribadi Amirulmukminien ini. Mereka yang tidak menangi Nabi Muhammad SAW dan masih sempat melihat shahabat Utman Ibn 'Affan, masih dapat dengan jelas merasakan; kesantunan; kedermawanan; dan keikhlasan kenabian melalui pribadi Dzun Nurain ini. Mereka yang tidak menangi Nabi Muhammad SAW dan masih sempat mengenal shahabat 'Ali Ibn Abi Thalib, masih dapat dengan jelas menghayati keilmuan; kezuhudan; dan keberanian kenabian melalui pribadi Babul Ilmi ini. Jika mau, Anda bisa melanjutkan sendiri dengan contoh-contoh agung lainnya seperti Tholhah Ibn 'Ubaidillah; Zubeir Ibn 'Awwam; 'Abdurrahman Ibn 'Auf; Sa'd Ibn Abi Waqqash; Sa'id Ibn Zaid; Abu 'Ubaidah Ibn Jarrah dan masih banyak lagi dari para pemimpin salaf -- radhiaLlahu 'anhum ajmaien-- yang meneruskan tradisi Nabi: menebar kasihsayang. Rahmatan lil 'aalamien! Kalau mereka terlalu jauh, Anda masih dapat mencari-cari dari teladan-teladan mulia yang datang belakangan, seperti khalifah Umar Ibn Abdul Aziez; imam Hasan Bashari; imam Abu Hanifah; imam Malik, imam Syafii; imam Ahmad; imam Juneid; imam Ghazali; syeih Syadzily; syeikh Abdul Qadir Jailani; dlsb. Atau yang lebih belakangan lagi: Hadlratussyeikh Hasyim Asy'ari hingga Kiai Abdu Hamid Pasuruan. RahimahumuLlhu ajma'ien. Setiap bulan Rabi'ul Awal, memang banyak di antara kita yang sengaja mendatangi tempat dimana 'percik-percik' kebeningan mata air coba dikemukakan. Sekilas-sekilas kemilau kejernihannya tampak oleh kita; namun belum sempat kita menyerap kesegarannya, sampah-sampah yang membanjiri sungai sudah melanda kita. Gemerlap sampah-sampah yang deras itu begitu canggih menutupi sisa-sisa air mata air, hingga kita tak lagi dapat atau sempat membedakan mana yang warna sampah dan mana yang warna air. Kekeruhan yang sempurna. Masya Allah! Meratapi nasib saja tak ada gunannya. Kita yang berada di hilir ini masih bisa menapis dan menyaring untuk mendapatkan air yang bersih. Apalagi zaman sekarang menyediakan berbagai fasilitas canggih untuk itu. Tinggal kita. Maukah kita menyempatkan diri melakukan penapisan dan penyaringan itu, atau bahkan mau bersusah payah naik ke hulu, mencari mata air. Ataukah kita masih asyik dan sibuk dengan sampah-sampah limbah hingga tak merasa perlu dengan air jernih nan bersih? KH. A. Mustofa Bisri, Pengajar di Pondok Pesantren Taman Pelajar Raudlatut Thalibin, Rembang, Jawa Tengah. -- "...menyembah yang maha esa, menghormati yang lebih tua, menyayangi yang lebih muda, mengasihi sesama..." [Non-text portions of this message have been removed] *** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny.
[ppiindia] Gus Mus: Pesona
PESONA 26 Desember 2009 00:55:45 Oleh: KH. A. Mustofa Bisri di antara seribu malam inikah malam kita kulihat semua bintang menjelma purnama dalam langit cahaya tiada tara benderangnya lalu semuanya tiada semuanya lenyap dalam senyap semesta fana tiba-tiba ya Ilahi silau aku oleh kilas wajah Mu yang menderas dalam takjubku dan aku pun tak ingin yang lain tak ingin yang lain hanya Kau dimana Kau? kemana Kau? Akhir Ramadan 1430 KH. A. Mustofa Bisri, Pengajar di Pondok Pesantren Taman Pelajar Raudlatut Thalibin, Rembang, Jawa Tengah. [Non-text portions of this message have been removed]
[ppiindia] Gus Mus: Kitab dan Buku
Kitab dan Buku 15 Desember 2009 11:28:54 Oleh: KH. A. Mustofa Bisri Mungkin karena banyaknya hal-hal aneh di negeri ini, maka orang seperti tidak merasa aneh lagi dengan adanya penggunaan istilah-istilah yang sebenarnya aneh. Di negeri ini, misalnya, ada istilah sekolah dan madrasah yang pengertiannya setali tiga wang. Maka lucu sekali ketika ada orang mengatakan, Anak saya sekolah di madrasah anu. Anehnya lagi, selaras dengan hal tersebut, di negeri ini di samping ada toko buku, ada pula toko kitab. Orang sekolahan kalau mencari buku di toko buku; sementara yang madrasahan mencarinya di toko kitab. Toko buku seperti Gunung Agung, Gramedia, dsb, ketika itu, hanya menjual buku-buku yang bertulisan Latin; sementara yang ada tulisan Arabnya, toko kitablahseperti Toha Putra, Menara Kudus, Salim Nabhan, dsb.-- yang menjualnya. Apalagi kitab kuning, jangan harap Anda menemukannya di toko buku. Terjemahan-terjemahannya saja pun hanya dijual di toko kitab; karena biasanya terjemahan kitab-kitab kuning yang diterjemahkan tokoh-tokoh pesantren itu pun selalu ada tulisan Arabnya. Demikianlah; seiring dengan pikiran salah kaprah tentang adanya dikotomi ilmu agama dan ilmu umum, maka madrasah (dan pesantren) dianggap tempat belajar agama dan kitab yang dijual di toko kitab dianggap bacaan agama. Sedangkan sekolah dianggap tempat belajar umum dan buku yang dijual di toko buku dianggap sebagai bacaan umum. Baru belakangan--dugaan saya sejak orang-orang Barat menerjemahkan kitab-kitab bahasa Arab seperti kitab-kitabnya Hasan Banna, Sayyid Quthub, dan Mauddudi, dan menarik perhatian Muslim-muslim kota-- toko-toko buku seperti Gramedia mulai menjual kitab-kitab; terutama kitab-kitab terjemahan bacaan agama. Kebanyakan kitab-kitab yang dijual di toko buku itu bukanlah kitab-kitab yang biasa dijual di toko kitab. Juga umumnya kitab-kitab baru yang mulai dijual di toko buku itu adalah terjemahan dari bahasa Barat utamanya bahasa Inggris; tidak seperti kitab-kitab yang selama ini dijual di toko kitab. Boleh jadi, ketertarikan orang Barat terhadap kitab-kitab para tokoh semisal Hasan Banna (1906-1949), Sayyid Quthub (1906-1966), dan Mauddudi (1903-1979) itu, ada kaitannya dengan gerakan-gerakan militan yang mulai merebak di dunia. Sementara orang-orang kota di kita, umumnya dari kampus-kampus, tertarik menerjemahkan kitab-kitab tersebut mungkin karena merasa cocok. Orang-orang kotalah yang galibnya paling bisa merasakan ketertindasan rezim Suharto. Sehingga ketika mereka membaca kitab-kitab karangan para tokoh yang tertindas itu (Hasan Al-Banna, pendiri Al-Ikhwan Al-Muslimiin, ditembak, Sayyid Quthub digantung setelah lama mendekam di penjara rezim Jamal Abdun Nasser, dan Al-Maududi nyarissudah divonis-- hukuman mati tahun 1953, batal karena protes keras dari dunia Islam). Maka sekarang ini, bila Anda masuk ke toko buku, Anda akan menjumpai rak-raknya yang penuh dengan kitab dan bacaan agama; termasuk buku-buku terjemahan dari kitab-kitab kuning. Wabadu; sengaja saya menyebut nama Hasan Banna, Sayyid Quthub, dan Maududi ketika berbicara tentang kitab-kitab yang mulai menyerbu toko-toko buku, karena saya perhatikan seperti ada korelasi antara masuknya pikiran-pikiran para tokoh tertindas tersebut dengan munculnya semangat keberagamaan yang menyala-nyala terutama di kota-kota dan kemudian munculnya paham Islam yang garis keras (termasuk yang super keras yang dianut para teroris). Hal ini mengingatkan kepada pikiran-pikiran para tokoh generasi sebelumnya semacam Jamaluddin Afghani (1838-1897) dan Muhammad Abduh (1849-1905) yang mempengaruhi dunia Islam pada zamannya. Bahkan, sampai sekarang pengaruhnya masih terasa. [] KH. A. Mustofa Bisri, Pengajar di Pondok Pesantren Taman Pelajar Raudlatut Thalibin, Rembang, Jawa Tengah. [Non-text portions of this message have been removed] *** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://groups.yahoo.com/group/ppiindia *** __ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Reading only, http://ppi-india.blogspot.com 4. Satu email perhari: ppiindia-dig...@yahoogroups.com 5. No-email/web only: ppiindia-nom...@yahoogroups.com 6. kembali menerima email: ppiindia-nor...@yahoogroups.com Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> Your email settings: Individual Email | Traditional <*> To change settings online go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/join (Yahoo! ID required) <*> To change settings via email:
[ppiindia] Gus Mus: Tahu-tahu Tahun Baru
Tahu-tahu Tahun Baru Oleh: KH. A. Mustofa Bisri Tahu-tahu Ahad. Tahu-tahu Senin. Tahu-tahu Selasa. Tahu-tahu Rabu. Tahu Kamis. Tahu Jumat. Tahu-tahu Sabtu. Tahu-tahu Januari. Tahu-tahu Februari. Tahu-tahu Maret. Tahu-tahu April. Tahu-tahu Mei. Tahu-tahu Juni. Tahu-tahu Juli. Tahu-tahu Agustus. Tahu-tahu September. Tahu-tahu Oktober. Tahu-tahu November. Tahu-tahu Desember. Tahu-tahu Januari lagi. Tak terasa ya?! Tak terasa. Berapa umur Anda sekarang? Berapa tahun lagi Anda ingin hidup? 10, 20, 30, atau 50 tahun lagi. Apalah artinya angka-angka ini bila setiap saat umur kita digerogoti waktu, tidak terasa? Bahkan, sering justru dengan suka ria kita menyambut dan merayakan tahun baru, seakan-akan kita tak paham bahwa setiap tahun baru umur kita bertambah dan bertambah umur berarti sebaliknya: berkurangnya umur. Bayi dan anak kecil seperti lebih sadar dari kita yang tua-tua. Pertambahan umur bagi mereka lebih bermakna. Perubahan diri mereka seiring bertambahnya umur mereka, begitu jelas bisa dilihat. Dari tengkurap, merangkak, misalnya, menjadi bisa berjalan; dari tak bisa bicara, ngoceh tanpa makna, hingga lancar bicara; dari kemlucu, kemeplak, hingga jemagar; dari suka bermain-main hingga suka bersolek; dsb, dst. Semuanya dapat jelas terlihat. Bandingkan dengan kita yang tua-tua ini. Apa perubahan yang dapat dilihat dari kita? Kesibukan kita -entah apa?- tetap saja yang itu-itu. Berlari ke sana, berlari ke sini. Yang memburu harta, terus memburu harta. Yang berebut kursi, tetap tak berubah berebut meja, misalnya. Yang pamer kepintaran atau kekayaan, terus pamer seperti tak kunjung yakin bahwa kepintaran atau kekayaannya sudah diketahui. Yang bertikai tak pernah berubah menyadari kesia-siaannya. Yang menipu, yang korup, yang merekayasa kejahatan, yang nyogok, yang disogok, yang selingkuh, dst, meski sudah konangan, masih terus tak berhenti. Berapa tahun lagi mereka ini akan istiqamah berlaku demikian? 10, 20, 30, 50 tahun lagi. Ataukah menunggu dikejutkan maut? Bukankah mereka yang tidak pernah menyadari dan memikirkan perubahan waktu -karena sibuk menjalaninya dengan kegiatan rutin tanpa mengevaluasi- berarti menunggu kematian yang mendadak? Bacalah berita! Simaklah isu dan opini yang berkembang di tanah air, terutama beberapa tahun terakhir ini! Bukankah yang itu-itu saja yang kita dengar? Reformasi, KKN yang hanya terus dibicarakan. Pemimpin yang terus tidak jelas ke mana kita ini akan dipimpin. Kebijaksanaan yang sering sangat tidak bijaksana terus saja dilakukan. Hukum yang terus dibuat permainan. Pertikaian antarkelompok dan perorangan yang terus terjadi. Penggusuran dan pelecehan hak rakyat yang terus berjalan. Politik praktis yang -seperti Inul- terus menggoyang dan diedani. Para politisi yang terus berebut kekuasaan. Rakyat yang terus dijadikan objek. Penggelapan di departemen-departemen dan lembaga-lembaga penting yang tak kunjung kapok. Pencurian besar-kecil, kasar-halus, yang terus merebak. Pemaksaan kehendak yang terus sok hebat. Dan sebagainya dan seterusnya. Kalau kita amati 'perilaku monoton' ini secara cermat, kita bisa telusuri akarnya pada kegandrungan orang kepada dunia yang berlebihan. Kepentingan dunialah yang menjadikan orang arif menjadi bebal, orang pintar menjadi bloon, orang ramah menjadi sangar, orang waras menjadi majnun, orang sopan menjadi kurang ajar, saudara lupa saudaranya, manusia menjadi binatang atau bahkan setan. Geledahlah diri! Mengapa kita tega membiarkan anak kita tak terdidik? Mengapa kita enteng merusak alam? Mengapa orang tak malu menilap harta rakyat? Mengapa kita berkelahi dengan saudara kita sendiri? Mengapa tanda gambar partai kita lebih kita agungkan katimbang bendera Merah Putih dan lambang garuda? Mengapa kita yang beragama Islam lebih asyik membaca koran daripada Quran? Mengapa ayat tidak kita ikuti, tapi kita buat mengikuti kita? Mengapa nurani dan akal sehat kita kalahkan dengan hawa nafsu? Mengapa memenangkan partai lebih kita pentingkan daripada memenangkan persaudaraan bangsa? Mengapa kepentingan sesaat kita menangkan dari kepentingan Indonesia? Bila kita jujur, kita akan menemukan jawaban itu semua pada itu tadi: kegandrungan yang berlebihan kepada dunia. Benar sekali dawuh yang menyatakan Hubbud dunya raasu kulli khathiiatin, gandrung dunia adalah sumber dari setiap kesalahan. Namun sebebal-bebal orang bebal, sebloon-bloon orang bloon, sesangar-sangar orang sangar, se-majnun-majnun orang majnun, sekurang ajar-kurang ajar orang yang kurang ajar, selupa-lupa orang lupa, masak suatu saat tidak tersadarkan, misalnya, oleh umur yang kian menipis setiap tahun. Masak sekian banyak pemimpin akan terus lupa semua ke arah mana akan dibawa orang-orang yang mereka pimpin. Masak sekian banyak politisi akan terus mbadut, padahal sudah lama tak lucu. Masak sekian banyak penegak hukum akan terus melecehkan hukum semua. Masak sekian banyak orang yang mengaku membela dan mewakili rakyat akan terus tak mau tahu kepentingan rakyat. Masak sekian banyak pe
[ppiindia] Gus Mus: Sayangilah
Sayangilah Oleh: KH. A. Mustofa Bisri *Irhamuu man fil ardli yarhamkum man fissamaa* Sayangilah mereka yang di bumi, maka Yang di langit akan menyayangimu! KH. A. Mustofa Bisri, Pengajar di Pondok Pesantren Taman Pelajar Raudlatut Thalibin, Rembang, Jawa Tengah. [Non-text portions of this message have been removed]
[ppiindia] Gus Mus: Berkurban, Berkorban, dan Berqurban
Berkurban, Berkorban, dan Berqurban Oleh: KH. A. Mustofa Bisri IDUL ADHA -biasa juga disebut Idul Kurban, Hari Raya Adha, Hari Raya Haji, atau Hari Raya Besar- seperti kita ketahui, adalah hari raya Islam, kembaran Idul Fitri. Ketika Nabi Muhammad SAW datang ke Madinah, di negeri hijrah itu telah ada tradisi semacam perayaan tahunan, satu tahun dua kali, yang disebut Mahrajan. Oleh Kanjeng Nabi, kedua perayaan itu diusulkan diganti dengan yang lebih baik. Itulah Idul Adha dan Idul Fitri. Jadi, dari sudut perayaannya, kedua hari raya itu memang boleh dikata merupakan semacam "pesta rakyat". Hari gembira umat Islam. Tapi, dasar orang Indonesia, kedua hari bahagia itu di sini malah sering dijadikan pasal pertengkaran juga. Biasa, gara-gara fanatisme kelompok. Tabiat khas orang Indonesia dan kaum jahiliyah! Adha, Haji, atau Kurban, semuanya berasal dari bahasa Quran. Adh-ha yang berarti kurban (jangan kacaukan dengan korban pakai 'o'! Maknanya lain!) karena pada hari itu umat Islam merayakannya dengan menyembelih ternak sebagai tanda bakti dan taat kepada Allah. Sedangkan Qurban bisa berarti pendekatan. Tentu saja pendekatan kepada Al-Khaliq, Allah Azza wa Jalla. Kita sering mengistilahkannya dengan taqarrub, mendekat-dekat atau berusaha dekat kepada-Nya. Karena itu, sejak 1 Dzulhijjah, kita dianjurkan memperbanyak amalan-amalan ibadah seperti puasa, bersembahyang, bersilaturahmi, dan berzikir, mengagungkan Allah. Di saat-saat Idul Adha seperti ini, biasanya umat Islam -"baru"- teringat kepada Bapak para Nabi, Khalilullah Ibrahim dan putranya, Nabi Ismail -alaihimus salaam! Mereka yang teringat pun banyak yang tidak sempat merenungkan keagungan pengorbanan kedua nabi itu, apalagi sambil membandingkan kesiapan berkorban diri sendiri. Bayangkan. Nabi Ibrahim sudah lama sekali ingin mempunyai keturunan yang dapat melanjutkan perjuangannya. Baru setelah sangat sepuh beliau dikaruniai Ismail. Tempatkan diri Anda di tempat beliau dan rasakan, betapa gembira dan bahagianya. Lalu, tiba-tiba setelah si anak ketok moto (membanggakan dipandang, Red), seperti sudah kita ketahui, Allah memerintahkan untuk menyembelihnya. Bagi umumnya kita, kehilangan anak saja sudah merupakan malapetaka, apa pula dengan menghilangkan anak yang nota bene sudah lama didambakan dan diidam-idamkan. Adakah keikhlasan berkorban demi kekasih yang sehebat dan seagung itu? Ya, ada. Yaitu, keikhlasan berkorban sang putra, Ismail, yang dengan ketulusan luar biasa menyerahkan nyawanya demi Sang Kekasih yang sama. Dua hamba Allah telah membuktikan cinta mereka yang agung dengan pengorbanan yang agung. Anak, belahan jiwa, dan nyawa sendiri! Allahu Akbar! Keduanya telah membuktikan bahwa pernyataan mereka tulus, bukan pernyataan kosong yang hanya sebagai kembang lambe (pemanis bibir). Mereka benar-benar memurnikan kepasrahan hanya kepada Allah. Mengakui dan menyadari bahwa pemilihan hakiki hanya pada Allah. Bahwa semuanya, tanpa kecuali, adalah milik Allah, tak berbagi dengan siapa pun, termasuk dengan diri sendiri. Inna shalaati wanusuki wamahyaaya wa mamaati lillahi Rabbil 'aalamien; laa syarieka lahu wa bidzaalika umirtu wa ana awwalul muslimien. Sesungguhnya salatku, ibadahku, hidupku, matiku, semata-mata milik Allah Tuhan sekalian alam; tak ada seorang pun yang ikut bersama-Nya memiliki. Untuk itulah aku diperintahkan dan aku adalah orang pertama yang menerima, yang pasrah, yang Islam! Maka, sudah sepatutnyalah kedua nabi agung itu mendapatkan tempat terdekat di sisi-Nya sebagai kekasih-kekasih-Nya. Sekarang kita, yang setiap saat juga berikrar seperti Nabi Ibrahim AS, Inna shalaati wanusuki dan seterusnya. Jangan tanya tentang apakah kita sudah mampu melepas "kepemilikan" dari diri kita sendiri dan menisbatkannya hanya kepada Allah? Tanya saja, apakah kita sudah dapat menghilangkan rasa sayang melepas sebagian "milik" kita demi Allah? Membeli kambing untuk kurban -meniru Nabi Ibrahim AS- saja, kita membelinya ngloloni pada bulan-bulan sebelum mendekati Dzulhijjah untuk mendapatkan harga yang lebih murah. Jika sedang di masjid, ketemu "kotak amal", kalaupun kita membuka dompet, maka yang kita cari untuk kita masukkan ke dalamnya adalah pecahan yang terkecil. Ketika dekat Baitullah, rumah Allah, saja kita tak sudi berkorban sedikit tempat atau sedikit kesempatan kepada sesama hamba Allah. Kita memilih berkelahi dengan sesama saudara -yang dilarang Allah- daripada, misalnya, mengikhlaskan sedikit tempat di maqam mustajab atau sedikit kesempatan mencium Hajar Aswad kepada sudara kita. Padahal, kita hafal sabda Nabi Muhammad SAW, "Laa yu'minu ahadukum hattaa yuhibba li akhiihi maa yuhibbu linafsihi." (Tidak sempurna iman salah seorang di antara kamu sebelum dia menyukai untuk saudaranya sebagaimana dia menyukai untuk dirinya sendiri). Setiap saat kita terus dituntun kehidupan yang serba material untuk semakin menjadi orang yang kemilikan. Jangankan apa yang kita anggap milik kita sendiri, "milik" orang pun, kalau bisa, ing
[ppiindia] Gus Mus: Fid-Dunya Hasanah Wafil-Akhirati Hasanah
FID-DUNYA HASANAH WAFIL-AKHIRATI HASANAH 16 Nopember 2009 10:17:04 Oleh: KH. A. Mustofa Bisri Kepentingan pembangunanseperti juga pada jaman revolusi, yaitu kepentingan revolusiternyata tidak hanya memerlukan dalil aqli, tapi juga dalil naqli. Apalagi jika masyarakat menjadi subyekatau obyekpembangunan justru kaum beragama. Apabila pembangunan itu menitikberatkan pada pembangunan material (kepentingan duniawi), meski konon tujuannya material dan spiritual (kepentingan akhirat), maka perlu dicarikan dalil-dalil tentang pentingnya materi. Minimal pentingnya menjaga keseimbangan antara keduanya (material bagi kehidupan dunia dan spiritual bagi kehidupan akhirat). Maka, dalil-dalil tentang mencariatau setidak-tidaknya tentang peringatan untuk tidak melupakankesejahteraan dunia, pun perlu digali untuk digalakkan sosialisasinya. Tak jarang semangat ingin berpartisipasi dalam pembangunan material-- yang menjadi titik berat pembangunan ini mendorong para dai dan kyai justru melupakan kepentingan spiritual bagi kebahagiaan akhirat. Atau, setidaknya, kurang proporsional dalam melihat kedua kepentingan itu. Ketika berbicara tentang pentingnya menjaga keseimbangan antara kepentingan duniawi dan ukhrawi, biasanya para dai tidak cukup menyitir doa sapu jagat saja: Rabbanaa aatinaa fid-dunya hasanah wa fil akhirati hasanah. Biasanya, mereka juga tak lupa membawakan Hadist popular ini: I'mal lidunyaaka kaannaka ta'iesyu abadan wa'mal liakhiratika kaannaka tamuutu ghadan, yang galibnya berarti Beramallah kamu untuk duniamu seolah-olah kamu akan hidup abadi dan beramallah kamu untuk akhiratmu seolah-olah kamu akan mati besok pagi. Kadang-kadang, dirangkaikan pula dengan firman Allah dalam Surat al-Qashash (28), ayat 77:Wabtaghi fiimaa aataakallahu 'd-daaral aakhirata walaa tansanashiebaka min ad-dunya yang menurut terjemahan Depag diartikan,Dan carikan pada apa yang dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat dan janganlah kamu melupakan kebahagiaan dari (kenikmatan) duniawi . Umumnya orangsebagaimana para dainyasegera memahami dalil-dalil tersebut sebagai anjuran untuk giat bekerja demi kesejahteraan di dunia dan giat beramal demi kebahagiaan di akhirat. Kita yang umumnyatak usah dianjurkan punsudah senang beramal untuk kesejahteraan duniawi, mendengarkan dalil-dalil ini rasanya seperti mendapat pembenar, bahkan pemacu kita untuk lebih giat lagi bekerja demi kebahagiaan duniawi kita. Lihat dan hitunglah jam-jam kesibukan kita. Berapa persen yang untuk dunia dan berapa persen untuk yang akhirat kita? Begitu semangatbahkan mati-matiankita dalam bekerja untuk dunia kita, hingga kelihatan sekali kita memang beranggapan bahwa kita akan hidup abadi di dunia ini. Kita bisa saja berdalih bahwa jadwal kegiatan kita sehari-hari yang tampak didominasi kerja-kerja duniawi, sebenarnya juga dalam rangka mencari kebahagiaan ukhrawi. Bukankah perbuatan orang tergantung pada niatnya, Innamal a'maalu binniyyaat wa likullimri-in maa nawaa. Tapi, kita tentu tidak bisa berdusta kepada diri kita sendiri. Amal perbuatan kita pun menunjukkan belaka akan niat kita yang sebenarnya. Padahal, meski awal ayat 77 Surat sl-Qashash tersebut mengandung peringatan agar jangan melupakan (kenikmatan) dunia, peringatan itu jelas dalam konteks perintah untuk mencari kebahagiaan akhirat. Seolah-olah Allah wallahu a'lam sekadar memperingatkan, supaya dalam mencari kebahagiaan akhirat janganlah lalu kenikmatan duniawi yang juga merupakan anugerah-Nya ditinggalkan. (Bahkan, menurut tafsir Ibn Abbas,Walaa tansa nasiibaka min ad-dunya diartikan Janganlah kamu tinggalkan bagianmu dari akhirat karena bagianmu dari dunia). Juga dalil I'mal lidunyaaka --seandainya pun benar merupakan Hadist shahihmengapa tidak dipahami, misalnya,Beramallah kamu untuk duniamu seolah-olah kamu akan hidup abadi. Nah, karena kamu akan hidup abadi, jadi tak usah ngongso dan ngoyo, tak perlu ngotot. Sebaliknya, untuk akhiratmu, karena kamu akan mati besok pagi, bergegaslah. Dengan pemahaman seperti ini, kiranya logika hikmahnya lebih kena. Sehubungan dengan itu, ketika kita mengulang-ulang doa,Rabbanaa aatina fid-dunya hasanah wa fil-akhirati hasanah, bukankah kita memang sedang mengharapkan kebahagiaan (secara materiil) di dunia dan kebahagiaan (surga) di akhirat, tanpa mengusut lebih lanjut, apakah memang demikian arti sebenarnya dari hasanah, khususnya hasanah fid-dunya itu? Pendek kata, jika tak mau mengartikan dalil-dalil tersebut sebagai anjuran berorientasi pada akhirat, bukankah tidak lebih baik kita mengartikan saja itu sebagai anjuran untuk memandang dunia dan akhirat secara proporsional (berimbang yang tidak mesti seimbang). Memang, repotnya, kini kita sepertinya sudah terbiasa berkepentingan dulu sebelum melihat dalil, dan bukan sebaliknya. Wallahu a'lam. KH. A. Mustofa Bisri, Pengajar di Pondok Pesantren Taman Pelajar Raudlatut Thalibin, Rembang, Jawa Tengah. [Non-text portions o
[ppiindia] Gus Mus: Negeriku
NEGERKU Oleh: KH. A. Mustofa Bisri 27 Oktober 2009 11:29:42 15 tahun yang lalu, aku menulis sajak satu baris berjudul Negeriku: NEGERIKU Negeriku telah menguning Kini aku tergoda menulis sajak serupa. Ini jadinya: NEGERIKU Negeriku mulai membiru [Non-text portions of this message have been removed]
[ppiindia] Gus Mus: Duka Haji
Duka Haji Oleh: KH. A. Mustofa Bisri Dalam rangka mendapatkan haji mabrur, seniman A. Hamid Jabbar waktu itu berada di Mina. Penyair yang atraktif itu sedang akan melontar jumrah untuk yang pertama, jumrah 'Aqabah. Seperti jamaah lain, dia harus menceburkan dirinya dan mengarungi lautan manusia agar dapat mendekati jumrah yang akan dilemparnya. Tangan kiri menggenggam bekal kerikil-kerikil dari Muzdalifah, sementara tangan kanan sudah siap dengan sebutir kerikil yang akan dilempar. Syahdan, ketika merasa sudah cukup dekat, dia pun mengangkat tangan kanannya, siap menghantam "sang setan". Tapi, belum lagi sempat tangannya mengayun, seseorang menghantam lengannya hingga kerikilnya terjatuh. Dia ambil lagi sebutir kerikil dari tangan kirinya dan siap mengulang lemparan pertama. Tapi, lagi-lagi kerikilnya terlempar oleh sodokan orang di sampingnya. Begitulah berkali-kali Hamid berusaha mengulang dan gagal melempar hingga kerikil-kerikil di tangan kirinya nyaris habis. Tapi, rupanya, kesabarannya yang justru lebih dulu habis. Sambil merentangkan kedua tangannya ke langit seperti gayanya ketika berdeklamasi, tiba-tiba dia berteriak sekencang-kencangnya: "Ya Allah, ini ibadah apa???" Saya kira, kawan saya ini tidak sedang jengkel kepada Tuhan atau kepada ibadah haji. Cuma mungkin, seperti banyak jamaah yang lain, sebelumnya sudah mempunyai anggapan atau pengertian tentang kekhusyukan ibadah. Jadi, ketika melihat kenyataan lain yang jauh berbeda dari pengertian seperti yang sudah dipahaminya, dia pun "berontak". Sebenarnya, tidak ada yang salah pada pemahaman dan pengertiannya. Yang barangkali sering lalai dipahami orang, termasuk kawan saya ini, ialah bahwa kebanyakan jamaah haji yang berada di tanah suci adalah orang-orang awam dan umumnya pemimpin mereka terbiasa dengan doktrin yang itu-itu juga. Doktrin yang lebih menekankan kepada "semangat" beragama atau beribadah ketimbang pemahaman agama dan makna ibadah. Kita lihat misalnya, dalam penataran-penataran manasik, baik yang diselenggarakan instansi resmi maupun KBIH-KBIH di Indonesia, galibnya jamaah lebih diberi doktrin tentang "amalan-amalan" dan bacaan-bacaan. Seringkali penatar menekankan tentang afdhaliah, hal yang lebih afdol, dalam pelaksanaan haji dan keutamaan melakukan ini dan itu, tanpa penjelasan yang memadai tentang kondisi dan situasi riil di tanah suci pada saat haji itu. Misalnya keutamaan waktu melempar jumrah; keutamaan berdoa di Multazam, di Hijr Ismail (bahkan di bawah talang mas?); berdoa di Arafah di luar tenda; di Raudhah Rasul (bahkan di "mihrab Nab"?); dlsb. Hal ini menyebabkan banyak jamaah yang semangatnya "murni" semangat. Hanya semangat mendapatkan apa yang disebut sebagai keutamaan itu. Seperti kita ketahui, sebenarnya ibadah haji itu tidak terlalu pelik. Ia "hanya" ibadah amaliah. Asal lakunya benar, sudah sah. Sedangkan lakunya juga sangat sederhana: berihram, niat, dan memakai pakaian sederhana; memutari Ka'bah, lari hilir-mudik antara Shafa dan Marwah; berdiam diri di Arafah; melempar-lempar; cukur atau potong rambut; dan menyembelih ternak. Apanya yang sulit? (Banyak daerah malah lucu. Membangun tiruan Ka'bah untuk keperluan latihan *thawaf.* Mana ada orang -bagaimanapun bebalnya- keliru memutari Ka'bah? Sebab, misalnya, ada yang keliru memutarinya ke arah kanan, pasti akan ketabrak yang lain). Saya pikir adalah lebih bijaksana bila "ruh ibadah" dan praktik pelaksanaan haji -dengan memperhatikan kondisi dan situasi riil di lapangan- lebih mendapatkan porsi dalam penataran-penataran manasik. "Ruh ibadah" yang saya maksud juga mencakup penyadaran terhadap pemahaman ibadah secara keseluruhan. Totalitas amal hanya untuk Allah. "Menyenangkan" Allah. Mencari ridha Allah. Sebab, sering semangat beragama yang berlebihan menyeret hamba kepada amalan yang justru berbalik menjadi hanya untuk menyenangkan diri sendiri. Mencari ridha diri sendiri. Bahkan, sekadar keinginan yang menggebu untuk mendapat haji mabrur sering cukup membuat orang menjadi sangat egois. Bayangkan bila jutaan orang egois berkumpul jadi satu dengan satu "kepentingan". Sebenarnya, jamaah Indonesia tergolong paling tertib. Cuma tertib sendiri tentu tidak menjamin ketertiban bersama, terutama bila yang lain tidak tertib. Karena itu, mestinya pemerintah Saudi Arabia harus lebih rendah hati, mengajak negara-negara Islam atau muslim untuk bekerja-sama dan bermusyawarah bagi penyempurnaan ibadah yang satu ini. Atau paling tidak berkoordinasi dengan negara-negara itu terutama kaitannya dengan kebijakan yang diambil. Syukur dibentuk badan dunia khusus yang melibatkan semua negara yang berkepentingan, untuk tidak saja bertanggung jawab tentang ketertiban dan keamanan pelaksanaan haji, tapi juga bagi pemahaman umat terhadap makna hakiki ibadah itu. Peristiwa-peristiwa tragis seperti yang pernah terjadi di Mina sudah berulang-ulang menyentak perasaan kita. Akan sampai kapan? KH. A. Mustofa Bisri, Pengajar di Pondok Pesantren Taman Pelajar Raudlatut
[ppiindia] Gus Mus: Doaku Untuk Indonesia
Doaku Untuk Indonesia Oleh: KH. A. Mustofa Bisri Untuk mencapai Multazam, daerah antara Hajar Aswad dan pintu Ka'bah, terutama di musim haji, sungguh diperlukan 'perjuangan' tersendiri. Meskipun tidak sesulit mencium Hajar Aswad, untuk mencapai tempat mustajab itu, di samping diperlukan keberanian, juga keahlian berjalan di tengah-tengah gelombang manusia yang nota bene saudara-saudara sendiri yang sama-sama mencari ridha Allah. Lain soal jika kita hanya memikirkan kepentingan diri sendiri dan mengabaikan kepentingan orang lain hingga menganggap wajar menyikut kanan-kiri. Kepada istri saya yang ingin sekali memanjatkan doa di tempat mustajab itu, saya janji: kita boleh kesana, asal tidak mendesak-desak dan apalagi menyakiti orang. "Caranya," kata saya, "kau lentur-lemaskan tubuhmu; kalau ada sikut mendesakmu, ikuti saja arahnya. Jangan kau lawan dengan tenagamu. Ikuti arus mereka yang menuju kesana." Alhamdulillah; tanpa merasa sakit atau menyakiti, kami bisa sampai ke Multazam. 'Silakan kau panjatkan doa-doamu;" kata saya kepada istri saya ketika posisi kami sudah cukup dekat dengan Ka'bah, "aku akan menjagamu agar kau tetap khusyuk." Setelah cukup lama dia berdoa, dia pun berputar mengambil posisi di belakang punggung saya seraya katanya, "Sekarang kau yang berdoa biar aku ikut mengamini." Saya pun berdoa. Singkat saja; mendoakan Indonesia dan bangsa Indonesia. Dari Multazam, kami Alhamdulillah berhasil salat sunnah di Maqam Ibrahim dengan relatif dapat menjaga kekhusyukan. Disini saya berdoa lagi dan istri mengamini. Pulang dari Masjidil Haram, istri saya membisiki saya dengan berbagai pertanyaan. Di Multazam dan Maqam Ibrarim yang mustajab itu, mengapa doa saya itu-itu saja. Mendoakan Indonesia dan bangsa Indonesia. Mengapa saya tidak berdoa untuk keluarga, untuk anak-anak dan kawan-kawan dekat kita. "Kita kan masih mempunyai waktu banyak untuk berdoa;" kata saya menjelaskan, "lagi pula, bukankah kita sudah berniat dan bertekad sejak dari Indonesia akan memprioritaskan doa untuk negeri dan bangsa kita?" "Kau pun harus ingat," kata saya selanjutnya, "kita, keluarga, dan kawan-kawan kita adalah bagian dari bangsa Indonesia yang tinggal di Indonesia. Kalau kita berdoa untuk bangsa Indonesia bukankah berarti kita juga mendoakan diri kita; keluarga; dan kawan-kawan kita juga. Kalau kita mendoakan Indonesia berarti mendoakan tempat tinggal kita sendiri. Bukankah cobaan atau azab yang saat ini menimpa negeri dan bangsa kita terasakan juga oleh kita?" "Doa baik sama saja dengan kebaikan itu sendiri. Maksud saya; apabila kita terlalu mementingkan dan mengharapkan kebaikan untuk diri atau keluarga kita sendiri, salah-salah justru kita tidak dapat 'menikmati' kebaikan tersebut. Taruhlah misalnya kita atau keluarga kita makmur, damai, dan sejahtera; tapi lingkungan dan tempat di mana kita tinggal melarat, kacau, dan rusuh, apakah artinya? Kita baik, tapi lingkungan kita buruk, apakah kau yakin dapat mempertahankan kebaikan itu?" "Itulah sebabnya," lanjut saya seperti pengkhotbah, "kebanyakan doa-doa yang diajarkan kitab suci Quran, menggunakan shiighah jamak, bentuk kata ganti orang pertama jamak: kami bukan mufrad, tunggal: aku. Dan agaknya itu pulalah sebabnya, bila kau cermat memperhatikan, mengapa kita diwajibkan ber-amar-makruf-nahi-'anil-munkar." "Seperti kau ketahui, amar makruf dan nahi 'anil-munkar bertujuan untuk kebaikan bersama. Karena itu orang yang ananie, egois, tidak memiliki rasa kasih sayang, dan rasa kebersamaan, tidak mungkin diharapkan mampu melakukan amar makruf nahi 'anil-munkar yang sebenarnya." Waba'du; mungkin ada baiknya saya tuliskan doa saya tersebut. Satu dan lain hal, agar bila Anda cocok, dapat ikut mengamini. Siapa tahu Anda lebih didengar oleh Allah. Inilah doa yang saya ulang-ulang di tempat-tempat mustajab saat berhaji waktu itu: *"Bismillahirrahmanirrahim walhamdulillahi Rabbil 'aalamiin.* * Ya Allah ya Tuhan kami Yang Maha Pengampun dan suka mengampuni; ampunilah kami, khususnya hamba-hambaMu bangsa Indonsia. Ampunilah dosa-dosa kami dan dosa-dosa para pemimpin kami. * * Ya Allah ya Tuhan kami Yang Maha Pengasih; kembalikanlah kasih-sayang dan rahmatMu kepada rakyat dan negeri kami, Indonesia. Kembalikan akal sehat dan rasa kemanusiaan kepada rakyat dan pemimpin-pemimpin kami. Lepaskan kami dan pemimpin-pemimpin kami dari belenggu penjajahan apa saja, termasuk penjajahan oleh diri dan kepentingan sendiri. * * Ya Allah ya Tuhan kami Yang Maha Penyayang; rekatkanlah kembali kesatuan dan persatuan di antara kami. Jangan biarkan nafsu; angkara; dan kepentingan sesaat mencabik-cabik persaudaran kebangsaan kami. Lepaskanlah kami dari krisis-krisis jalin-jemalin yang melilit bangsa kami dan keluarkanlah kami dari kemelut berkepanjangan yang menimpa kami. * * Ya Allah ya Tuhan kami Yang Maha Kuasa. Jangan lagi kuasakan atas kami, karena kesalahan-kesalahan kami, penguasa-penguasa yang tidak takut kepadaMu dan tidak mempunyai belas-kasihan kep
[ppiindia] Gus Mus : Musibah Berebut Berkah
[ Rabu, 17 September 2008 ] Musibah Berebut Berkah Oleh A. Mustofa Bisri * Ramadan mestinya merupakan bulan berkah. Tapi, kita dikejutkan oleh suatu peristiwa yang memilukan sekaligus luar biasa aneh: 21 nyawa melayang saat pembagian zakat. Musibah apa ini, ya Allah! Seorang kaya di Pasuruan, yang agaknya tidak percaya dengan amil zakat mana pun, mengundang para mustahiq zakat untuk diberi zakat. Melebihi BLT (bantuan langsung tunai), orang-orang pun berbondong-bondong datang dan berdesak-desakan mengambil zakat. Dan berakibat jatuhnya banyak korban terinjak-injak. Seperti biasa, beberapa tokoh agama langsung memberikan komentar. Ada yang menyalahkan si orang kaya pemberi zakat. Bahkan, ada yang terang-terangan menyatakan bahwa kejadian yang mengenaskan itu akibat si orang kaya pamer kekayaan. Ada yang mengatakan bahwa kejadian tersebut akibat orang tidak percaya dengan badan amil zakat yang ada. Bagi kita yang terbiasa menyalahkan orang, sangatlah mudah mencari kambing hitam. Kambing hitam dalam peristiwa tragis itu bisa si orang kaya yang berzakat yang (niatnya mungkin tidak pamer, tapi agar orang-orang kaya lainnya mau juga berzakat) tidak memperhitungkan caranya; bisa mereka yang berebut zakat yang tidak sabaran; bisa para tokoh agama yang seharusnya memberikan taushiyah kepada masyarakat dalam soal keagamaan; dan sangat bisa pemerintah yang berkewajiban dan berhak mengangkat amil zakat untuk menyejahterakan dan melindungi rakyat. *** Tapi marilah, mumpung masih berada di bulan Ramadan, setelah menyampaikan belasungkawa yang sedalam-dalamnya kepada mereka yang terkena musibah, mari kita merenung sejenak mencari akar masalah mengapa terjadi musibah seperti di Pasuruan itu? Saling menyalahkan atau hanya mencari kambing hitam terbukti tidak memecahkan masalah dan sering justru hanya menambah permasalahan. Siapakah mereka yang begitu bersemangat memenuhi undangan si orang kaya itu? Mereka rata-rata adalah perempuan. Kaum ibu yang sehari-hari dipusingkan oleh masalah dapur dan belanja kebutuhan keluarga. Anak-anak di bulan puasa ini minta menu bukanya lebih enak daripada biasanya. Di sisi lain, harga-harga kebutuhan pokok di pasar semakin tidak terjangkau dan hari raya akan datang pula. Maka, anehkah bila mereka begitu bersemangat menyambut undangan si dermawan sehingga dibela-belain berdesakan untuk mendapatkan "berkah'' zakat? Kalau kita perhatikan, peristiwa seperti yang terjadi di Pasuruan -atau peristiwa-peristiwa berdesakan berebut "berkah'' lainnya di tempat-tempat lain- itu tampaknya mengiringi zaman di mana "ketergantungan" masyarakat pada materi sudah sedemikian mengerikan. Kepentingan duniawi sudah menjadi "Tuhan" yang dapat menggiring orang yang berakal melakukan hal-hal yang tidak masuk akal; membuat orang terhormat mencampakkan kehormatannya; membuat orang beragama menjual agamanya; membuat saudara tega terhadap saudaranya; dan sebagainya. Peristiwa-peristiwa menyedihkan seperti itu tidak terbayangkan bisa terjadi di zaman dulu di saat masyarakat masih menganggap hidup di dunia ini hanya mampir ngombe, singgah minum sebentar. Di saat hidup sederhana masih menjadi budaya yang dipujikan. Di saat pasar rakyat masih belum dijuluki pasar tradisional yang harus mengalah dengan mal-mal dan supermarket-supermarket. Di saat masyarakat belum dijejali setiap hari oleh iming-iming TV agar menjadi konsumtif dan hedonis. Mumpung masih di bulan suci Ramadan, yang kata para kiai dan ustad bulan pelatihan mengendalikan diri, apabila kita setuju bahwa akar masalah -hampir semua masalah-dalam masyarakat adalah akibat kecintaan yang berlebihan terhadap materi dan pemanjaan yang kelewatan terhadap jasmani sehingga melupakan ruhani, usul yang paling masuk akal saya ialah: marilah kita kampanyekan untuk kembali kepada budaya hidup sederhana. Memandang dunia dan materi secara pas, hanya sebagai sarana dan alat dan bukan tujuan hidup. Atau Anda punya pendapat lain dan usul yang lebih masuk akal? * H A. Mustofa Bisri , pengasuh Pesantren Roudlatut Thalibin, Rembang, Jawa Tengah. Dikenal pula sebagai kolumnis di banyak media.
[ppiindia] Gus Mus dan Tragedi Kebudayaan NU --> pro Guntur Romli n rekan2 NU
NU memiliki peranan cukup besar dalam kehidupan bernegara di negeri ini mengingat jumlah anggotanya yg cukup dapat mewarnai perkembangan politik tanah air. karena itu perkembangan dan dinamika interen NU selalu mendapat perhatian tidak hanya oleh kalangan fans NU sendiri, tapi juga oleh kalangan "luar" termasuk luar negeri. Semoga tulisan di bawah ini mendapat respons dari rekan2 NU yg jadi member di milis ini. Khususnya rekan Guntur Romli yg tulisannya di Republika menjadi titik tolak dari tulisan di bawah. Guntur Romli, any opinion? salam, MG Selasa, 31 Agustus 2004 Gus Mus dan 'Tragedi' Kebudayaan NU Sulthan Fatoni Dosen STAI NU Jakarta dan Mahasiswa Pascasarjana FISIP UI Jakarta Saya tertarik menanggapi tulisan Sdr Muhammad Guntur Romli (selanjutnya disebut MGR) berjudul "Gus Mus dan Poros Khittah NU" yang dimuat Republika (23 Agustus 2004). Namun dalam kesempatan ini saya ingin memberikan pandangan yang berbeda, terutama peta politik elite NU dewasa ini, khususnya menjelang pilpres putaran kedua. Ada beberapa pendapat MGR yang perlu dikritisi. Pertama, ketidaktepatan MGR menempatkan beberapa tokoh-tokoh NU dalam kelompok NU politik dan NU Khittah. Menurut pengamatan saya, polarisasi elite NU sekarang ini dapat ditelusuri dari pertemuan antara Pelaksana Harian Ketua Umum PBNU Masdar Farid Mas'udi dan calon presiden dari Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di PBNU beberapa hari yang lalu. Imbas pertemuan tersebut kemudian melebar menjadi "perang statemen". Dalam sebuah pernyataannya di Jember, Jawa Timur, Masdar menceritakan bahwa menjelang dirinya akan menerima kunjungan SBY di PBNU beberapa hari yang lalu, ia ditelepon Andi Jamaro, salah satu ketua Tanfidziyah PBNU yang bertekad akan menemuinya di "lapangan" jika masih berkeras menerima SBY. Penuturan Masdar ini -- jika benar adanya -- merupakan preseden terburuk bagi dinamika perpolitikan internal NU. Masdar telah melakukan kreativitas subjektif yang berpotensi menghasilkan sesuatu ide yang disebut sosiolog George Simmel dengan "tragedi" kebudayaan (Doyle Paul Johnson: 1988). Apalagi beberapa saat setelah silaturahmi SBY-Masdar, Andi Jamaro berkomentar keras bahwa Masdar telah membelah keutuhan NU. Enam bulan terakhir, NU memang menjadi perbincangan cukup panjang dan menarik. Hal ini terkait dengan eksistensinya sebagai organisasi sosial keagamaan terbesar di Indonesia yang sangat mempengaruhi peta politik di Tanah Air, khususnya pemilihan presiden secara langsung. Masa-masa pemilihan umum (baik memilih anggota legislatif maupun presiden dan wakil presiden), memang telah memposisikan NU sebagai "gadis cantik" yang diperebutkan semua pihak. Memasuki pemilihan presiden secara langsung yang akan dilaksanakan pada 20 September 2004, ke manakah suara warga nahdliyyin akan diarahkan? NU bukanlah sebuah organisasi yang mempunyai tingkat manajemen yang canggih. Roda organisasi NU terlihat solid bukan tecermin dari efektivitas struktur organisasi. Kekuatan besar NU justru terletak pada soliditas para kiai/ulama yang tersebar di pesantren-pesantren di seluruh Indonesia. Karena itu sudah menjadi tradisi di internal NU apabila struktur NU selalu aktif melakukan komunikasi secara intensif dan kontinyu dengan kiai-kiai pesantren non-struktural. Kelompok kiai pesantren inilah yang kemudian dijadikan landasan bagi tumbuh suburnya kekuatan kultural NU. Semakin intens kelompok struktural NU melakukan komunikasi dengan kiai-kiai pesantren maka semakin kuat posisinya dalam pentas yang lebih makro. Hal menarik dari NU menjelang pemilihan presiden (Pilpres) putaran kedua adalah polarisasi elite NU di tingkat pusat. Jika selama pilpres putaran pertama warga nahdliyyin hanya dihadapkan pada dua kubu yang saling berseberangan; Salahuddin Wahid versus Hasyim Muzadi, maka memasuki putaran kedua terjadi rekonstruksi peta politik warga nahdliyyin. Hal ini merupakan implikasi dari langkah politik Masdar menerima kunjungan SBY di Gedung PBNU beberapa hari yang lalu. Sebagaimana maklum, berdalih telah mendapat persetujuan Rois 'Aam PBNU KH A Sahal Mahfudz, Masdar telah melakukan pertemuan dengan SBY dengan agenda utama pengenalan visi masing-masing dalam memandang bangsa dan negara. Tak pelak, langkah Masdar ini telah memunculkan kelompok baru dalam tubuh perpolitikan NU. Masdar menyeruak sebagai sebuah komunitas baru yang berijtihad akan mengandalkan barisan LSM dan floating mass yang selama ini tidak memihak Salahuddin Wahid-Hasyim Muzadi. Sehingga menjelang Pilpres tahap kedua, ada beberapa kelompok di tubuh NU yang mencoba merebut simpati warga NU. Pertama, kelompok Hasyim Muzadi. Kelompok ini cukup potensial mendapatkan simpati warga NU mengingat posisi Hasyim Muzadi sebagai ketua umum PBNU. Dalam menggaet simpati warga NU, kelompok Hasyim mengoptimalkan dua instrumen; pertama, warga nahdliyyin yang aktif di kepengurusan NU di semua tingkatan. Para aktivis NU ini berperan sebagai mesin politik yang pada putaran pertama terbukti mampu memobilisasi
[ppiindia] Gus Mus dan Poros Khittah NU
http://www.republika.co.id/ASP/kolom.asp?kat_id=16 Senin, 23 Agustus 2004 Gus Mus dan Poros Khittah NU Oleh : Mohamad Guntur Romli "NU saat ini harus diselamatkan". Demikian ajakan Gus Mus, panggilan akrab KH Mustofa Bisri, dalam rangkaian Konferensi Cabang III NU Mesir pada 29 Agustus lalu. Keprihatinan Gus Mus tersebut dilandasi realitas NU saat ini dalam permainan kubu NU politik. Baik kubu Hasyim Muzadi ataupun kubu Abdurrahman Wahid. Pilihan warga NU Mesir terhadap sosok Gus Mus untuk membuka Konfercab bukan tanpa alasan. Gus Mus, seorang kiai, penyair, cerpenis, kolumnis, pelukis, seniman, dan budayawan dipandang mampu menjadi perekat pluralitas pemikiran dan kelompok di NU. Selain itu, ada dua alasan lain; "emosional" dan "rasional" yang melatarbelakangi pilihan tersebut. Alasan emosional adalah keterikatan NU Mesir dengan sosok Gus Mus sebagai salah satu alumnus Universitas Al-Azhar, pelabuhan studi mahasiswa Indonesia di Mesir. Gus Mus juga merupakan pelopor dari berdirinya komunitas NU Mesir bersama Gus Dur sejak tahun 1960- an. Waktu itu masih bernama Keluarga Mahasiswa Nahdlatul Ulama (KMNU). Ketika pada Muktamar NU XXX di Kediri pada tahun 1999, KMNU diresmikan menjadi salah satu cabang istimewa NU di luar negeri. Pada tanggal 20 Januari 2000, melalui acara yang sederhana Gus Mus yang meresmikan berdirinya NU Cabang Istimewa Mesir di Kairo. Jadi bukan hal yang dibuat-buat jika ada yang berpendapat sosok Gus Mus tidak bisa dipisahkan dari eksistensi NU Mesir, baik sejak tahun 1960-an hingga Konferensi Cabang III kemarin. NU khittah dan NU politik Alasan rasionalnya adalah, Gus Mus merupakan sosok yang konsisten terhadap Khittah NU. Gus Mus mampu menjaga jarak dengan kekuasaan ataupun dengan friksi-friksi yang terjadi dalam tubuh NU akibat pertarungan politik praktis. Bersama Rais Aam, KH Sahal Mahfuz, Pelaksana Harian PBNU KH Masdar F Mas'udi, dan beberapa personel NU lainnya, Gus Mus mampu menjadi kekuatan poros NU Khittah yang berlawanan dengan poros NU politik. Poros NU Khittah itu merupakan kekuatan ketiga di tubuh NU saat ini yang terpecah menjadi dua poros NU politik. Seperti yang maklum, saat ini bisa diibaratkan di NU terjadi pergulatan dua "bani" yang menyeret NU dalam pusaran politik. Pertama Bani Wahid, yang terdiri atas Abdurrahman Wahid, Salahuddin Wahid, PKB, dan komunitas kiai khos. Kedua Bani Hasyim Muzadi, dengan beberapa personel PBNU (tim sukses) dan beberapa pengurus NU wilayah (terutama PWNU Jawa Timur). Kedua poros tersebut semakin adu kekuatan. Dan akan membawa dampak yang besar terhadap perjalanan NU. Menjelang Muktamar NU XXXI Gus Dur sudah memasang jago-jagonya. Seperti di Muktamar XXX di Kediri, beberapa waktu lalu Gus Dur juga telah melontarkan beberapa nama untuk dicalonkan menjadi ketua umum PBNU mendatang. Dan tentu saja, nama-nama itu berasal dari "kantong" Gus Dur. Hasyim Muzadi tidak mau kalah, beliau juga sangat bersemangat dalam "mengamankan" Muktamar NU melalui pengurus PBNU yang menjadi anggota tim sukses politiknya terutama Ahmad Bagja yang menjadi Ketua Pelaksana Muktamar NU mendatang. Sedangkan PKB ke depan memberi sinyal melalui silaturahmi 27 DPW PKB di Makassar bulan lalu akan mendukung SBY dan ini akan semakin memperparah hubungan NU dan PKB. Sedangkan "mesra-mesra" Gus Dur dan Mega saya lihat adalah manuver Gus Dur untuk "memotong" pengaruh Hasyim kepada Mega dan PDIP. Terakhir ada keputusan, tim sukses antara capres (Mega) dan cawapres (Hasyim) dipisah. Bisa jadi kalau nanti Mega menjadi presiden dan Hasyim menjadi wakil presiden tapi orang-orang Gus Dur dengan dukungan Gus Dur tentunya akan bersaing dan menjadi ancaman bagi orang-orang Hasyim. Apalagi PDIP sadar bahwa Hasyim hanya bisa menyumbang suara 22 persen dari kantong-kantong NU. Karena kekuatan politik NU sesungguhnya ada di tangan Gus Dur dan PKB. Menurut pengamatan saya sementara, dan menjaga hal yang paling jelek adalah Gus Dur dan Hasyim tidak bisa damai. Nah, menurut kaidah ushul Fiqh ''al-khurj min al-khilf mustahabb (keluar dari perselisihan dianjurkan) jika dua poros ini terus berseteru dan sama-sama mempolitisasi NU maka sudah saatnya kita memikirkan poros lain, yaitu poros ketiga. Poros Rembang atau poros Khittah. Poros Rembang ini didukung oleh Rais Aam Syuriah PBNU KH Sahal Mahfuz, dan tokoh sentral KH Mustofa Bisri. Terbukti melalui qarr Syuriah di Rembang mampu menjadi jalan ketiga, dengan menonaktifkan Hasyim tanpa harus memecat dan personel pengurus NU yang terlibat dalam aksi dukung- mendukung capres-cawapres. Hal ini merupakan pilihan yang moderat dan tepat. Gus Mus Nah, pada Muktamar NU XXXI mendatang di Solo, harus dipertimbangkan al-khurj min al-khilf itu dan mendukung poros ketiga. Tetapi poros ketiga ini memiliki kendala sangat besar yaitu, Gus Mus sebagai tokoh sentral enggan menjadi ketua umum PBNU. Kalau saja pada Muktamar NU XXX di Lirboyo kemarin Gus Mus bersedia, mungkin beliau