Re: [wanita-muslimah] ketika para koki digusur tukang sayur dan tukang sayur pun menjadi koki
tulisan yang sangat menarik. sayang sekali penulisnya kurang sering update blognya, sempat vakum 3 tahun. Sekedar memberi penekanan ulang, bagian dialog berikut sangat menarik, karena PERSIS dengan yang terjadi di milis ini :-) On Thu, Jun 12, 2008 at 11:18 PM, Muhkito Afiff <[EMAIL PROTECTED]> wrote: > http://idhamdeyas.blogspot.com/2005_03_16_archive.html > > "ANDA MUSLIM KAN, ANDA SETUJU KALAU PEREMPUAN JADI PRESIDEN?" > > "setuju saja, asal dia mampu, memang kenapa?" > > "LHO, ANDA INI GIMANA, ISLAM MENGHARAMKAN PRESIDEN PEREMPUAN.." > > "kok Anda tahu Islam mengharamkan presiden perempuan?" > > "ADA HADISNYA. NABI MUHAMMAD MELARANG PEMIMPIN PEREMPUAN, KALAU > PEREMPUAN JADI PEMIMPIN MAKA RUSAKLAH NEGARA." > > "Oo.. begitu ya. Jadi menurut Bapak bagaimana cara kita menjalankan > hadis Nabi secara benar?" > > "HARUS APA ADANYA, GIMANA DI DALAM HADIS YA YANG BEGITU ITU KITA > JALANKAN, SAMI'NA WA ATHA'NA. SAYA DENGAR SAYA TAAT. GAK BOLEH DIUBAH- > UBAH, JANGAN DI BOLAK-BALIK MAKNANYA!" > > "oo.. jadi harus apa adanya?" > > "IYALAH!" > > "Bapak pernah tau gak ada hadis yang sama sahihnya dengan hadis > pelarangan pemimpin perempuan?" > > "APA TUH?" > > "al-aimmah minal Quraisy, pemimpin itu haruslah berasal dari Suku > Quraisy. Kalau menurut hadis ini hanya orang Arab dari suku Quraisy > yang boleh jadi presiden. Laki-laki pun kalau bukan Suku Quraisy gak > boleh jadi presiden di Indonesia Pak.. Kita harus impor dari Arab." > > "YAAH, SITUASINYA KAN UDAH BEDA, KITA HARUS LIHAT KEADAANNYA SEKARANG > DONG.." > > "tapi tadi bapak bilang hadis harus dijalankan apa adanya, gak boleh > dibolak-balik pemahamannya?" > > "...?!?!" > well, apalagi ya? cecak? ular? jilbab? memukul istri? salam, DWS
[wanita-muslimah] ketika para koki digusur tukang sayur dan tukang sayur pun menjadi koki
http://idhamdeyas.blogspot.com/2005_03_16_archive.html Wednesday, March 16, 2005 ketika para koki digusur tukang sayur dan tukang sayur pun menjadi koki Sewaktu menghadiri shalat Jumat, saya sering mendengar khatib berkata: "sebagai umat Islam kita harus menuruti dan menjalankan apa- apa yang diperintahkan dalam Alquran, dan menjauhi apa-apa yang dilarang di dalam Alquran agar kita menjadi orang-orang yang bertakwa " Ucapan ini memang mudah diucapkan, dan terkesan mudah pula dilakukan (bagi yang mau melakukan). Ketika kesekian kalinya saya mendengar ucapan ini, saya menjadi teringat satu problema dalam ilmu fiqih yang diangkat pertama kali oleh Imam Al-Syafi'i (w. 204 H/820 M) dalam kitabnya Al-Risalah. Berikut ini adalah kisahnya (biar menarik dibaca, kisah ini tidak lagi seharfiah redaksi aslinya) : "Suatu ketika seorang laki-laki berangkat ke pasar. Ia berniat membeli budak. Ia kemudian membeli budak perempuan. Setelah budak itu menjadi miliknya, dan tinggal di rumahnya, ia pun berkali-kali melakukan hubungan seksual dengan budak perempuan itu. [Karena perbudakan sekarang menjadi sesuatu yang emoh untuk difikirkan, saya akan menjelaskan sedikit: di dalam fiqih Islam hubungan seksual antara laki-laki pemilik budak dengan budak perempuan tidak dilarang. Tidak ada akad nikah, pemberian mas kawin, atau prosesi apa pun sebelum hubungan seksual itu berlangsung. Jika budak perempuan itu hamil dan melahirkan anak, maka anak itu statusnya tetap budak, tetapi ibunya naik status sedikit menjadi ummu walad, tetapi masih tetap budak. ] Setelah beberapa lama, si laki-laki menjadi tahu bahwa budak yang dibelinya ini adalah saudara perempuannya. Nah lho... Besar kemungkinan si laki-laki adalah mantan budak yang kini merdeka dan menjadi berkecukupan, dulu orangtuanya juga budak, saudara-saudarinya pun budak. Atau bisa jadi, budak perempuan ini seayah dengannya tapi lain ibu, dan karena berbagai hal yang tragis, si adik perempuan pun akhirnya menjadi budak dan diperjualbelikan. Terus jadi gimana masalah ini? Kita lihat pokok masalahnya . Si laki-laki membeli budak perempuan dan kemudian melakukan hubungan seksual dengan budaknya itu. Keadaan ini dibolehkan oleh Alquran, malah dianggap baik-baik saja. Hasanah bi dzatiha. Alquran di dalam Surah Al Mukminun ayat 5 membolehkan perilaku seperti ini: qad aflaha'l mu'minun alladzina hum fi shalatihim khasyi'un walladzinahum 'ani'l laghwi mu'ridhun walladzinahum lizzakati fa'ilun walladzinahum li furujihim hafizhun illa 'ala ajwazihim aw ma malakat aymanuhum, fainnahum ghairu malumin (Alquran Surah Al Mu'minun 1 5) [sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman yaitu orang-orang yang khusyu' dalam shalatnya dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tidak berguna dan orang-orang yang menunaikan zakat dan orang-orang yang menjaga penisnya kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak perempuan yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tidak tercela ] Ketika lama kemudian si laki-laki menjadi tahu bahwa budak perempuan itu adalah adiknya, maka hubungan ini menjadi incest, dan sangat dilarang. Qabihah bi dzatiha. Haram tanpa kompromi, karena Alquran dalam Surah An-Nisa ayat 23 melarangnya: Hurrimat 'alaikum ummahatukum, wa banatukum, wa akhawatukum, (diharamkan bagi kamu sekalian untuk menikahi ibu-ibumu [maksudnya ibu kandung terus ke nenek terus ke atasnya nenek], anak-anak perempuanmu [anak terus ke cucu dan seterusnya], dan saudara-saudara perempuanmu . dst.) Dalam kasus di atas, si perempuan adalah saudarinya dan sekaligus budaknya. Kebolehan melakukan hubungan seksual dengan budak yang ditetapkan dalam Surah Al Mu'minun ayat 1-5 menjadi tidak relevan. Surah An-Nisa ayat 23 harus dimenangkan. Kenapa harus dimenangkan? Bisa jadi hati nurani dan akal sehat si laki-laki yang berkata demikian. Atau bisa juga sebuah fatwa dari seorang ahli fiqih yang mengangkat dua kaidah fiqih seperti: dar`u'l mafasidi awla min jalbi'l mashalihi (menghilangkan keburukan lebih utama dari memperoleh kemaslahatan) dan fa idza ta'aradha mafsadatun wa mashlahatun quddima daf'ul mafsadati ghaliban (apabila bertemu keburukan dan kebaikan dalam satu masalah, maka utamakanlah menghilangkan keburukan). Kaidah-kaidah fikih di atas saya kutip dari kitab berjudul al-Asybah wa'l-Nazhair karya Ibnu Nujaim (w. 970 H/ 1562 M). Kaidah-kaidah ini adalah hasil penalaran hukum para fuqaha dari berbagai dalil seperti Alquran, hadis Nabi Muhammad, fatwa-fatwa para mujtahid besar, dan hal-hal lain. Jika pun kaidah-kaidah ini dilepaskan dari sumber- sumber religius, sifatnya tetap rasional, karena dalam banyak kasus, bunyi kaidah-kaidah fiqih menjadi sama dengan maxim hukum berbahasa Latin yang berasal dari penalaran rasional, contohnya seperti al- hukmu yaduru ma'a `ilatihi wujudan wa `adaman (hukum itu akan terus berlaku bila reason-nya masih terus ditemukan dan berlangsung, dan
Re: [wanita-muslimah] ketika para koki digusur tukang sayur dan tukang sayur pun menjadi koki
Pak Wida, Pertanyaannya sekarang adalah: tidak mengerti ayat menurut tafsir siapa? Kalau dari diskusi yang pak Wida saya melihat sekarang pak Wida cenderung setuju pendapat bahwa ada berbagai tafsir, dan perbedaan tafsir tersebut bukanlah sesuatu yang wajar terjadi. Nah dengan pemahaman tafsir yang seperti itu, sangat mungkin mereka tidak memanfaatkan ayat tersebut, tetapi menganggap hal tersebut sebagai sesuatu yang wajar terjadi, dan "culturally accepted". Jadi IMHO gak sesederhana bahwa mereka memanfaatkan ayat tersebut, tetapi memang karna secara kultural hal tersebut diterima dan dikondisikan (berdasar informasi di milis ini bahwa perbudakan masih diajarkan di sekolah dan ulama menentang hal tersebut dihapuskan). Analoginya mungkin sama dengan korupsi di Indonesia, semua orang akan bilang itu keliru, tetapi secara kultural hal itu sudah dikondisikan menjadi bagian dari kehidupan orang indonesia di semua level. Jadi ingat kemaren ada dies FK UGM ke 60, dan pidato dies dari sekjen KPK (?) yang kebetulan dokter bicara tentang korupsi dilayanan kesehatan. Satu hal yang juga telah dikategorikan sebagai korupsi, dan saya rasa banyak teman dokter yang tahu, adalah gratifikasi (pemberian fasilitas, ataupun kompensasi) dari perusahaan obat karena dokter "berjasa memasarkan" produk mereka, yang ujung2nya menambah biaya kesehatan. banyak yang tersenyum kecut mendengar hal itu, karena hampir semua orang yang hadir disitu (termasuk dekannya saya pikir) juga melakukan hal yang sama... hehehe.. Tapi secara kultural itu diterima dan merasa tidak ada yang keliru dengan praktek tersebut. Contoh lain mungkin pemakaian kekerasan di Indonesia. Secara sadar hal itu tidak dibenarkan, tetapi secara kultural hal itu bisa diterima. Itu kenapa banyak masalah di Indonesia yang diselesaikan menggunakan kekerasan, dan dalam some extent masyarakat bisa menerimanya (dengan berbagai alasan penjelasannya). Misal seperti pak Wida, dan banyak pihak yang menerima FPI melakukan kekerasan. Jadi?? Kembali ke budaya Arab. memang ada orang arab yang baik dan buruk, tetapi tidak berarti arab yang baik tidak melakukan hal tersebut, karena secara kultural hal tersebut diterima, dan konsep baik buruk juga bukanlah sesuatu yang universal bulat tetapi terkait dengan konteks budaya setempat (local bound). regards, donnie === On 10 Mar 06, at 16:32, [EMAIL PROTECTED] wrote: > Saya rasa, yang melakukan hal itu tidak mengerti maksud dari ayat > al-Qur'an ini. Tidak bisa melihat ayat ini secara kontekstual sosial > budaya di zaman nabi. Jadi ia "memanfaatkan" ayat ini (jika benar > demikian) untuk nafsu bejatnya itu. > > Tetapi saya tidak yakin juga bahwa pemahaman bahwa TKW itu = sahaya > dianut > secara umum di Arab sana. Sekalipun pada beberapa kasus tampaknya > demikian. > > Bisa juga kasus perkosaan itu memang murni kriminal tanpa landasan > agama, > sekalipun dalam pemahaman yang salah. Anak majikan, atau tuan > majikan yang > nafsunya besar, dan tertarik pada kecantikan wanita Indonesia. Lalu > mendapat celah lemahnya perlindungan hukum terhadap TKW karena > posisinya > yang lemah. > > Salam, > > > > > "Ari Condro" <[EMAIL PROTECTED]> > Sent by: wanita-muslimah@yahoogroups.com > 03/10/2006 04:14 PM > Please respond to > wanita-muslimah@yahoogroups.com > > > To > > cc > > Subject > Re: [wanita-muslimah] ketika para koki digusur tukang sayur dan tukang > sayur pun menjadi koki > > > > > > > jika sudah clear demikian, apa sebabnya para TKW kita tetap banyak > yang menjadi korban ? apalagi menjadi korbannya karena disamakan > dengan sahaya ini. > > salam, > Ari Condro > > - Original Message - > From: <[EMAIL PROTECTED]> > Ini adalah usaha saya memberikan penafsiran atas ayat yang membolehkan > "menggauli sahaya yang engkau miliki". CMIIW. > > > > > > > Milis Wanita Muslimah > Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun > masyarakat. > Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com > ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages > Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com > Berhenti mailto:[EMAIL PROTECTED] > Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com > Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com > > This mailing list has a special spell casted to reject any > attachment > > Yahoo! Groups Links > > > > > > > > > > [Non-text portions of this message have been removed] > > > > Yahoo! Groups Sponsor > ~--> > Join modern day disciples reach the disfigured
Re: [wanita-muslimah] ketika para koki digusur tukang sayur dan tukang sayur pun menjadi koki
Mas Ari, Ada riwayat bahwa pindahnya Ibu Maria kepinggiran kota Medinah terkait dengan Asbabun Nuzul QS 66:1-5. Setelah Rasul memarahi istri-istrinya karena berkomplot, Rasul pisah ranjang gitu sama mereka lalu Maria dipindahkan ke pinggir kota Madinah. Walaupun memang ada riwayat lain yang menyatakan ayat-ayat itu terkait dengan Ibu Hafsah ra. Walaupun Rasul melakukan rekayasa sosial masyarakat untuk menghilangkan perbudakan secara bertahap, dalam hemat saya tidak lah mungkin Rasul menganjurkan kebaikan sedangkan beliau tidak memberi contoh. Spt-nya hal ini pas dan sesuai dengan isyarat dari hadits harta peniggalan rasul saat meninggal yang tidak termasuk di dalamnya adanya budak. Kalau para sahabat masih ada yang punya hal itu wajar saja. Salam Ary - Original Message - From: Ari Condro To: wanita-muslimah@yahoogroups.com Sent: Friday, March 10, 2006 10:35 AM Subject: Re: [wanita-muslimah] ketika para koki digusur tukang sayur dan tukang sayur pun menjadi koki Coba lihat 3 point di bawah ini. Terutama fakta bahwa Maria Qibtiyyah tidak berada dalam rumah yg berdekatan dengan para istri nabi lainnya. salam, Ari Condro 1. According to most Islamic accounts, she was Muhammad's wife. However, some scholars have claimed that she stayed as a concubine. 2. Many Muslim sources say that Muhammad later freed and married Maria, but it is not clear if this is historical fact or historical apology. Some Muslim traditions claim that Muhammmad offered to free Maria, but that she chose to remain a slave. To further complicate matters, slaves were to be automatically freed upon conversion to Islam, so it is not clear why Maria would have to be explicitly freed if she had already converted. 3. The fact that Maria was not housed with Muhammad's other wives argues that she may have been a concubine. Muhammad lived in a humble mud-brick dwelling next to the Medina mosque, and each of his wives had her own mud-brick room, built in a line next to his. Maria, however, was lodged in a house on the edge of Medina. Maria is also not listed as a wife in some of the earliest sources, such as Ibn Hisham's notes on Ibn Ishaq's Sira (Guillaume 691–798). Muslim sources are unanimous in saying that she was accorded the same honor and respect given Muhammad's wives, pointing out that she was given the same title as Muhammad's wives — "Mother of the Believers." References * Tabari. Vol. 8 of the Tarikh al-rusul wa'l-mulak, State University of New York Press, 1997. * Guillaume, A. The Life of Muhammad, Oxford University Press, 1955. * Rodinson, Maxime Muhammad. Random House, Inc., New York, 2002. * Gilchrist, John. Muhammad and the Religion of Islam. Benoni, Republic of South Africa, 1986. - Original Message - From: <[EMAIL PROTECTED]> To: Sent: Friday, March 10, 2006 3:42 PM Subject: Re: [wanita-muslimah] ketika para koki digusur tukang sayur dan tukang sayur pun menjadi koki Maria orang Mesir asli. Dia adalah pemberian raja Muqawqis setelah mendapat surat ajakan masuk Islam dari nabi. Ini ada sedikit tulisan saya tentang Maria Qibtiyah, istri nabi. 11. Maria al-Qibtiyah ‘Kelak kalian akan memasuki Mesir. Aku wasiatkan pada kalian agar berbuat baik kepada orang-orang Mesir. Sebab antara mereka dan kita ada pertalian darah dan rahim’. (hadits) Tidak jauh dari rumah-rumah para istri nabi terdapat sebuah rumah yang dkhususkan bagi sahaya nabi. Mereka tidak memperoleh kehormatan sebagai Ummul Mukminin, kecuali satu orang. Dialah Maria al-Qibityah, ibu dari putra nabi, Ibrahim bin Muhammad. Maria adalah hadiah bagi nabi Muhammad dari raja Muqauqis, penguasa Mesir. Sebelumnya nabi berkirim surat kepada raja itu dan mengajaknya untuk masuk Islam. Muqauqis berkata kepada utusan nabi: Aku tahu akan datangnya nabi terakhir. Aku mengira nabi itu akan datang di Syam, sebab dari sanalah biasanya bermunculan para nabi. Tapi ini benar-benar tak kusangka bahwa nabi itu muncul di Arab. Kelak kaum Qibtiyah tidak akan menuruti kehendakku.’ Lalu raja Muqauqis menjawab surat nabi: ‘Aku telah membaca isi suratmu. Aku telah memahami dan mengerti ajakanmu. Aku juga tahu bahwa kaulah nabi terakhir yang akan muncul, yang sebelumnya aku kira akan datang dari Syam. Aku menghormati utusanmu. Dan aku kirimkan dua budak yang terhormat dari istana kami disertai beberapa hadiah dariku dan satu ekor unta untuk dirimu. Sekian jawabanku dan salam untukmu.’ Demikianlah kedatangan Maria dan Sirin kakaknya ke Madinah. Lalu nabi mengambil Maria untuk dirinya dan Sirin dihadiahkan untuk penulisnya, Hasan bin Tsabit. Tidak diragukan lagi, bahwa nabi mencampuri Maria sebagaimana hal itu diperbolehkan oleh al-Qur’an. Namun nabi dalam hal sahaya ini pernah menegaskan kepada sahabat, jika ia ingin mencampurinya adalah dengan niat untu
Re: [wanita-muslimah] ketika para koki digusur tukang sayur dan tukang sayur pun menjadi koki
Coba lihat 3 point di bawah ini. Terutama fakta bahwa Maria Qibtiyyah tidak berada dalam rumah yg berdekatan dengan para istri nabi lainnya. salam, Ari Condro 1. According to most Islamic accounts, she was Muhammad's wife. However, some scholars have claimed that she stayed as a concubine. 2. Many Muslim sources say that Muhammad later freed and married Maria, but it is not clear if this is historical fact or historical apology. Some Muslim traditions claim that Muhammmad offered to free Maria, but that she chose to remain a slave. To further complicate matters, slaves were to be automatically freed upon conversion to Islam, so it is not clear why Maria would have to be explicitly freed if she had already converted. 3. The fact that Maria was not housed with Muhammad's other wives argues that she may have been a concubine. Muhammad lived in a humble mud-brick dwelling next to the Medina mosque, and each of his wives had her own mud-brick room, built in a line next to his. Maria, however, was lodged in a house on the edge of Medina. Maria is also not listed as a wife in some of the earliest sources, such as Ibn Hisham's notes on Ibn Ishaq's Sira (Guillaume 691–798). Muslim sources are unanimous in saying that she was accorded the same honor and respect given Muhammad's wives, pointing out that she was given the same title as Muhammad's wives — "Mother of the Believers." References * Tabari. Vol. 8 of the Tarikh al-rusul wa'l-mulak, State University of New York Press, 1997. * Guillaume, A. The Life of Muhammad, Oxford University Press, 1955. * Rodinson, Maxime Muhammad. Random House, Inc., New York, 2002. * Gilchrist, John. Muhammad and the Religion of Islam. Benoni, Republic of South Africa, 1986. - Original Message - From: <[EMAIL PROTECTED]> To: Sent: Friday, March 10, 2006 3:42 PM Subject: Re: [wanita-muslimah] ketika para koki digusur tukang sayur dan tukang sayur pun menjadi koki Maria orang Mesir asli. Dia adalah pemberian raja Muqawqis setelah mendapat surat ajakan masuk Islam dari nabi. Ini ada sedikit tulisan saya tentang Maria Qibtiyah, istri nabi. 11. Maria al-Qibtiyah ‘Kelak kalian akan memasuki Mesir. Aku wasiatkan pada kalian agar berbuat baik kepada orang-orang Mesir. Sebab antara mereka dan kita ada pertalian darah dan rahim’. (hadits) Tidak jauh dari rumah-rumah para istri nabi terdapat sebuah rumah yang dkhususkan bagi sahaya nabi. Mereka tidak memperoleh kehormatan sebagai Ummul Mukminin, kecuali satu orang. Dialah Maria al-Qibityah, ibu dari putra nabi, Ibrahim bin Muhammad. Maria adalah hadiah bagi nabi Muhammad dari raja Muqauqis, penguasa Mesir. Sebelumnya nabi berkirim surat kepada raja itu dan mengajaknya untuk masuk Islam. Muqauqis berkata kepada utusan nabi: Aku tahu akan datangnya nabi terakhir. Aku mengira nabi itu akan datang di Syam, sebab dari sanalah biasanya bermunculan para nabi. Tapi ini benar-benar tak kusangka bahwa nabi itu muncul di Arab. Kelak kaum Qibtiyah tidak akan menuruti kehendakku.’ Lalu raja Muqauqis menjawab surat nabi: ‘Aku telah membaca isi suratmu. Aku telah memahami dan mengerti ajakanmu. Aku juga tahu bahwa kaulah nabi terakhir yang akan muncul, yang sebelumnya aku kira akan datang dari Syam. Aku menghormati utusanmu. Dan aku kirimkan dua budak yang terhormat dari istana kami disertai beberapa hadiah dariku dan satu ekor unta untuk dirimu. Sekian jawabanku dan salam untukmu.’ Demikianlah kedatangan Maria dan Sirin kakaknya ke Madinah. Lalu nabi mengambil Maria untuk dirinya dan Sirin dihadiahkan untuk penulisnya, Hasan bin Tsabit. Tidak diragukan lagi, bahwa nabi mencampuri Maria sebagaimana hal itu diperbolehkan oleh al-Qur’an. Namun nabi dalam hal sahaya ini pernah menegaskan kepada sahabat, jika ia ingin mencampurinya adalah dengan niat untuk dijadikan istri jika kelak sahaya itu hamil. Maka demikianlah yang terjadi pada Maria, dan hanya pada Maria tidak pada istri-istri nabi yang lain. Maria hamil benih dari nabi. Betapa gembiranya hati nabi. Maria dimerdekakan dari statusnya sebagai sahaya. Dia dibebaskan dari urusan membantu rumah tangga nabi. Diangkat statusnya menjadi Ummul Mukminin. Akan halnya Maria sangat bergembira sekali dengan kejadian dirinya. Dia sangat membanggakan kisah Hagar dan Ibrahim. Dia mendapatkan kenyataan yang sangat mirip sekali antara dirinya dan Hagar. Sama-sama hadiah dari penguasa Mesir. Sama-sama bisa memberikan anak kepada seorang nabi suaminya. Dan dimuliakan statusnya menjadi seorang istri. Terlebih lagi, nabi Muhammad mempunyai hubungan darah dari Mesir melalui bundanya Ismail, Hagar. Atas semua kemiripan ini, mereka namakan putera mereka sebagai Ibrahim. Nenek moyang yang sangat mereka kagumi itu. Akan halnya istri-istri nabi yang lain, kepedihan mendera mereka atas kehamilan Maria ini. Bagaimana mungkin, Maria yang baru tinggal setahun bisa langsung hamil? Padahal mereka telah selama ini menjadi istri nabi? Kecemburuan ini terkadang
Re: [wanita-muslimah] ketika para koki digusur tukang sayur dan tukang sayur pun menjadi koki
Saya rasa, yang melakukan hal itu tidak mengerti maksud dari ayat al-Qur'an ini. Tidak bisa melihat ayat ini secara kontekstual sosial budaya di zaman nabi. Jadi ia "memanfaatkan" ayat ini (jika benar demikian) untuk nafsu bejatnya itu. Tetapi saya tidak yakin juga bahwa pemahaman bahwa TKW itu = sahaya dianut secara umum di Arab sana. Sekalipun pada beberapa kasus tampaknya demikian. Bisa juga kasus perkosaan itu memang murni kriminal tanpa landasan agama, sekalipun dalam pemahaman yang salah. Anak majikan, atau tuan majikan yang nafsunya besar, dan tertarik pada kecantikan wanita Indonesia. Lalu mendapat celah lemahnya perlindungan hukum terhadap TKW karena posisinya yang lemah. Salam, "Ari Condro" <[EMAIL PROTECTED]> Sent by: wanita-muslimah@yahoogroups.com 03/10/2006 04:14 PM Please respond to wanita-muslimah@yahoogroups.com To cc Subject Re: [wanita-muslimah] ketika para koki digusur tukang sayur dan tukang sayur pun menjadi koki jika sudah clear demikian, apa sebabnya para TKW kita tetap banyak yang menjadi korban ? apalagi menjadi korbannya karena disamakan dengan sahaya ini. salam, Ari Condro - Original Message - From: <[EMAIL PROTECTED]> Ini adalah usaha saya memberikan penafsiran atas ayat yang membolehkan "menggauli sahaya yang engkau miliki". CMIIW. Milis Wanita Muslimah Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat. Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com Berhenti mailto:[EMAIL PROTECTED] Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com This mailing list has a special spell casted to reject any attachment Yahoo! Groups Links [Non-text portions of this message have been removed] Yahoo! Groups Sponsor ~--> Join modern day disciples reach the disfigured and poor with hope and healing http://us.click.yahoo.com/lMct6A/Vp3LAA/i1hLAA/aYWolB/TM ~-> Milis Wanita Muslimah Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat. Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com Berhenti mailto:[EMAIL PROTECTED] Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com This mailing list has a special spell casted to reject any attachment Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/
Re: [wanita-muslimah] ketika para koki digusur tukang sayur dan tukang sayur pun menjadi koki
Maria Qibtiyah itu Kristen Koptik. Yang Yahudi adalah Raihana dan Safiyya/Sophia. Raihana adalah salah seorang tawanan Banu Quraiza. Ia jatuh menjadi bagian Muhammad. Kepadanya ditawarkan kalau-kalau ia bersedia menjadi orang Islam. Tetapi ia tetap bertahan dengan agama Yahudinya. Juga ditawarkan kepadanya kalau-kalau ia mau di kawini. Tetapi dia menjawab: "Biar sajalah saya dibawah tuan. Ini akan lebih ringan buat saya, juga buat tuan." Barangkali juga, melekatnya ia kepada agama Yahudi dan penolakannya akan dikawin, berpangkal pada fanatisma kegolongan, serta sisa-sisa kebencian yang masih tertanam dalam hatinya terhadap kaum Muslimin dan terhadap Nabi. Tetapi tidak ada orang yang bicara tentang kecantikan Raihana seperti yang pernah disebut-sebut orang tentang Zainab bt. Jahsy, sekalipun ada juga yang menyebutkan bahwa dia juga cantik. Buku-buku sejarah dalam hal ini berbeda-beda pendapat: Adakah ia juga menggunakan tabir seperti terhadap isteri-isteri Nabi, atau masih seperti wanita-wanita Arab umumnya pada waktu itu, yang memang tidak menggunakan tutup muka. Sampai pada waktu Raihana wafat di tempat Nabi, ia tetap sebagai miliknya. ... - S E J A R A H H I D U P M U H A M M A D oleh MUHAMMAD HUSAIN HAEKAL diterjemahkan dari bahasa Arab oleh Ali Audah Penerbit PUSTAKA JAYA Jln. Kramat II, No. 31 A, Jakarta Pusat Cetakan Kelima, 1980 Seri PUSTAKA ISLAM No.1 === Maria Qibtiyya http://en.wikipedia.org/wiki/Maria_al-Qibtiyya Maria al-Qibtiyya (Arabic: مارية القبطية) (alternatively, especially in non-Arabic traditions, "Maria Qupthiya"), or Maria the Copt, was a Coptic Christian slave who was sent as a gift from Muqawqis, a Byzantine official, to the Islamic prophet Muhammad in 628 CE. According to most Islamic accounts, she was Muhammad's wife. However, some scholars have claimed that she stayed as a concubine. She was the mother of Muhammad's short-lived son Ibrahim, who died in infancy. Maria never remarried, and died five years after Muhammad, in 637 CE. Maria and her sister sent from the Patriarch Tabari does, however recount the story of Maria's arrival from Egypt: In this year Hātib b. Abi Balta'ah came back from al-Muqawqis bringing Māriyah and her sister Sīrīn, his female mule Duldul, his donkey Ya'fūr, and sets of garments. With the two women al-Muqawqis had sent a eununch, and the latter stayed with them. Hātib had invited them to become Muslims before he arrived with them, and Māriyah and her sister did so. The Messenger of God lodged them with Umm Sulaym bt. Milhān. Māriyah was beautiful. The Prophet sent her sister Sīrīn to Hassān b. Thābit and she bore him 'Abd al-Rahmān b. Hassān. (p. 131) Many Muslim sources say that Muhammad later freed and married Maria, but it is not clear if this is historical fact or historical apology. Some Muslim traditions claim that Muhammmad offered to free Maria, but that she chose to remain a slave. To further complicate matters, slaves were to be automatically freed upon conversion to Islam, so it is not clear why Maria would have to be explicitly freed if she had already converted. The fact that Maria was not housed with Muhammad's other wives argues that she may have been a concubine. Muhammad lived in a humble mud-brick dwelling next to the Medina mosque, and each of his wives had her own mud-brick room, built in a line next to his. Maria, however, was lodged in a house on the edge of Medina. Maria is also not listed as a wife in some of the earliest sources, such as Ibn Hisham's notes on Ibn Ishaq's Sira (Guillaume 691–798). Muslim sources are unanimous in saying that she was accorded the same honor and respect given Muhammad's wives, pointing out that she was given the same title as Muhammad's wives — "Mother of the Believers." References * Tabari. Vol. 8 of the Tarikh al-rusul wa'l-mulak, State University of New York Press, 1997. * Guillaume, A. The Life of Muhammad, Oxford University Press, 1955. * Rodinson, Maxime Muhammad. Random House, Inc., New York, 2002. * Gilchrist, John. Muhammad and the Religion of Islam. Benoni, Republic of South Africa, 1986. = Safiyya http://en.wikipedia.org/wiki/Safiyya_bint_Huyayy Safiyya bint Huyayy (Arabic: صفية بنت حيي) was a Jewess who was married to the Prophet Muhammad. Life She was married to Muhammad at the age of seventeen. The marriage occurred after the battle of Khaybar. She was the daughter of Huyayy ibn Akhtab, the chief of Jewish tribe Banu Nadir, who were earlier expelled from Medina for allegedly plotting to kill Muhammad. She was married to Kinana ibn al-Rabi'a before the Muslims attacked Khaybar. Her husband is said to have been killed in the battle. Before that she was the wife of Sallam ibn Mishkam, who had divorced her. She was with Muhammad for nearly four years before Muhammad died. She lived as a widow for the next thirty-nine years, dying at the age of sixty. According to Muslims, Muhammad married her to save he
Re: [wanita-muslimah] ketika para koki digusur tukang sayur dan tukang sayur pun menjadi koki
jika sudah clear demikian, apa sebabnya para TKW kita tetap banyak yang menjadi korban ? apalagi menjadi korbannya karena disamakan dengan sahaya ini. salam, Ari Condro - Original Message - From: <[EMAIL PROTECTED]> Ini adalah usaha saya memberikan penafsiran atas ayat yang membolehkan "menggauli sahaya yang engkau miliki". CMIIW. Yahoo! Groups Sponsor ~--> Join modern day disciples reach the disfigured and poor with hope and healing http://us.click.yahoo.com/lMct6A/Vp3LAA/i1hLAA/aYWolB/TM ~-> Milis Wanita Muslimah Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat. Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com Berhenti mailto:[EMAIL PROTECTED] Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com This mailing list has a special spell casted to reject any attachment Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/
Re: [wanita-muslimah] ketika para koki digusur tukang sayur dan tukang sayur pun menjadi koki
groups.com 03/10/2006 03:52 PM Please respond to wanita-muslimah@yahoogroups.com To cc Subject Re: [wanita-muslimah] ketika para koki digusur tukang sayur dan tukang sayur pun menjadi koki Tambahan dalam menganalisa pertanyaan saya: Jika Nabi melarang perbudakan dan beliau dan sahabat-sahabatnya banyak membebaskan budak, mengapa ketika beliau diberi budak (Maria) oleh Raja Mesir, beliau tidak langsung membebaskannya malah dipake sbg budak? Apakah mungkin Nabi yang mulia ini, yang menganjurkan untuk membebaskan budak, beliau sendiri masih memiliki budak? Berikut adalah salah satu hadits favoritnya Eyang HMNA: Dari 'Amr bin al-Harits, saudara Juwairiyah Ummul Mu^minin, ia berkata: RasuluLlah SAW tidak meninggalkan waktu wafatnya satu dirham dan tiada dinar dan tidak ada budak laki-laki, tidak ada budak perempuan dan tidak sesuatu, kecuali baghal beliau yang putih dan senjata beliau dan sekeping tanah yang telah beliau mensedekahkannya (Diriwayatkan oleh Bukhari-1463-). IMHO, ketika Nabi menganjurkan untuk membebaskan budak, beliau sendiri juga pasti melaksanakan apa yang beliau anjurkan. Beliau tidak mengharuskan yang lain melakukannya, tapi beliau sendiri pasti melakukannya. Bagaimana mungkin menganjurkan tanpa memberi contoh? CMIIW, Maria memang beragama Nasrani tapi beretnik Yahudi bukan? Salam Ary - Original Message - From: [EMAIL PROTECTED] To: wanita-muslimah@yahoogroups.com Sent: Friday, March 10, 2006 8:16 AM Subject: Re: [wanita-muslimah] ketika para koki digusur tukang sayur dan tukang sayur pun menjadi koki Pada prinsipnya saya setuju mas Ary, memang betullah bahwa sebuah Siroh atau catatan sejarah nabi hanyalah merupakan "pendekatan", karena penulis siroh yang paling dekat dengan zaman nabi sekalipun tidak hidup sezaman dengan nabi dan mencatat perjalanan hidupnya. Nabi tidak melarang perbudakan secara frontal. Tetapi beliau melarangnya secara bertahap. Karena beliau paham perubahan sosial budaya yang sedang ia emban, tidak bisa dilakukan dalam sekejap, pastilah harus bertahap. Umatnya yang sezaman dengan dia pastilah tidak akan tahan jika perubahan sosial budaya yang nabi inginkan itu dilakukan sekaligus. Karena perubahan sosial budaya itu haruslah mengikuti perubahan jiwa umat yang beliau bimbing. Mungkin saja Maria sudah dibebaskan dan diperistri oleh nabi. Saya pun tidak bisa menyangkal kepada kemungkinan ini. Dan Maria Qibtiyah itu bukan keturunan Yahudi lho. Setahu saya, setelah melahirkan Ibrahim, Maria kemudian memang bergelar Ummul Mukminin. Sedangkan memperistri mantan sahaya sebetulnya banyak terjadi di zaman nabi. Banyak sahabat (orang yang hidup sezaman dengan nabi, bukan akrab) yang mencari istri dari tawanan perang (sahaya). Budaya di zaman itu kira-kira seperti itu. Kita agak kesulitan menilainya dengan standar zaman kita. Adakah yang bisa memberikan penjelasan lain, mengapa menggauli sahaya di zaman nabi tidak terlarang? Atau tidak dikategorikan sebagai zina? Salam, "Ary Setijadi Prihatmanto" <[EMAIL PROTECTED]> Sent by: wanita-muslimah@yahoogroups.com 03/10/2006 02:14 PM Please respond to wanita-muslimah@yahoogroups.com To cc Subject Re: [wanita-muslimah] ketika para koki digusur tukang sayur dan tukang sayur pun menjadi koki Bang Wida, Pada prinsipnya saya setuju. Saya hanya ingin mengajukan pertanyaan (he he he he malah nambah mumet) yang mungkin bisa menjadi pemicu kita untuk bisa memahami sejarah Nabi dengan lebih baik. Sejarah Nabi walaupun bercerita ttg Nabi tetap hanyalah berupa sejarah. Sama dengan sejarah ttg Napoleon dll. Bisa jadi ceritanya terdistorsi dengan banyak hal spt. mitos-mitos dll. Yang kita bisa dijadikan asumsi awal hanyalah keyakinan kita akan konsistensi akhlak Nabi yang mulia. Pertanyaan saya adalah: Jika Nabi melarang perbudakan dan beliau dan sahabat-sahabatnya banyak membebaskan budak, mengapa ketika beliau diberi budak (Maria) oleh Raja Mesir, beliau tidak langsung membebaskannya malah dipake sbg budak? Saya menduga keras, Maria itu sudah dibebaskan oleh Rasul tanpa menunggu Maria menghasilkan keturunan dan langsung diperistri, jadi Istri yang sah juga. Mengapa sirah nabi tidak menyebutkan hal itu, bisa saja karena berbagai sebab yang jamak terjadi dalam penulisan sejarah. Contohnya, adalah hal yang nggak "elok" bagi orang Arab untuk mengakui bahwa Rasulullah menikahi perempuan bekas BUDAK yang BUKAN KETURUNAN ARAB lagi, bahkan KETURUNAN YAHUDI. Apalagi jika sampai mengakui bahwa MARIA juga bisa disebut UMMUL MUKMININ dst. dst. Ingat bahwa memperistri bekas budak itu akhlak yang luar biasa revolusioner. Dan tidak terbayangkan bagaimana impaknya dalam alam budaya spt jaman itu. Salam Ary - Original Message - From: [
Re: [wanita-muslimah] ketika para koki digusur tukang sayur dan tukang sayur pun menjadi koki
Tambahan dalam menganalisa pertanyaan saya: Jika Nabi melarang perbudakan dan beliau dan sahabat-sahabatnya banyak membebaskan budak, mengapa ketika beliau diberi budak (Maria) oleh Raja Mesir, beliau tidak langsung membebaskannya malah dipake sbg budak? Apakah mungkin Nabi yang mulia ini, yang menganjurkan untuk membebaskan budak, beliau sendiri masih memiliki budak? Berikut adalah salah satu hadits favoritnya Eyang HMNA: Dari 'Amr bin al-Harits, saudara Juwairiyah Ummul Mu^minin, ia berkata: RasuluLlah SAW tidak meninggalkan waktu wafatnya satu dirham dan tiada dinar dan tidak ada budak laki-laki, tidak ada budak perempuan dan tidak sesuatu, kecuali baghal beliau yang putih dan senjata beliau dan sekeping tanah yang telah beliau mensedekahkannya (Diriwayatkan oleh Bukhari-1463-). IMHO, ketika Nabi menganjurkan untuk membebaskan budak, beliau sendiri juga pasti melaksanakan apa yang beliau anjurkan. Beliau tidak mengharuskan yang lain melakukannya, tapi beliau sendiri pasti melakukannya. Bagaimana mungkin menganjurkan tanpa memberi contoh? CMIIW, Maria memang beragama Nasrani tapi beretnik Yahudi bukan? Salam Ary - Original Message - From: [EMAIL PROTECTED] To: wanita-muslimah@yahoogroups.com Sent: Friday, March 10, 2006 8:16 AM Subject: Re: [wanita-muslimah] ketika para koki digusur tukang sayur dan tukang sayur pun menjadi koki Pada prinsipnya saya setuju mas Ary, memang betullah bahwa sebuah Siroh atau catatan sejarah nabi hanyalah merupakan "pendekatan", karena penulis siroh yang paling dekat dengan zaman nabi sekalipun tidak hidup sezaman dengan nabi dan mencatat perjalanan hidupnya. Nabi tidak melarang perbudakan secara frontal. Tetapi beliau melarangnya secara bertahap. Karena beliau paham perubahan sosial budaya yang sedang ia emban, tidak bisa dilakukan dalam sekejap, pastilah harus bertahap. Umatnya yang sezaman dengan dia pastilah tidak akan tahan jika perubahan sosial budaya yang nabi inginkan itu dilakukan sekaligus. Karena perubahan sosial budaya itu haruslah mengikuti perubahan jiwa umat yang beliau bimbing. Mungkin saja Maria sudah dibebaskan dan diperistri oleh nabi. Saya pun tidak bisa menyangkal kepada kemungkinan ini. Dan Maria Qibtiyah itu bukan keturunan Yahudi lho. Setahu saya, setelah melahirkan Ibrahim, Maria kemudian memang bergelar Ummul Mukminin. Sedangkan memperistri mantan sahaya sebetulnya banyak terjadi di zaman nabi. Banyak sahabat (orang yang hidup sezaman dengan nabi, bukan akrab) yang mencari istri dari tawanan perang (sahaya). Budaya di zaman itu kira-kira seperti itu. Kita agak kesulitan menilainya dengan standar zaman kita. Adakah yang bisa memberikan penjelasan lain, mengapa menggauli sahaya di zaman nabi tidak terlarang? Atau tidak dikategorikan sebagai zina? Salam, "Ary Setijadi Prihatmanto" <[EMAIL PROTECTED]> Sent by: wanita-muslimah@yahoogroups.com 03/10/2006 02:14 PM Please respond to wanita-muslimah@yahoogroups.com To cc Subject Re: [wanita-muslimah] ketika para koki digusur tukang sayur dan tukang sayur pun menjadi koki Bang Wida, Pada prinsipnya saya setuju. Saya hanya ingin mengajukan pertanyaan (he he he he malah nambah mumet) yang mungkin bisa menjadi pemicu kita untuk bisa memahami sejarah Nabi dengan lebih baik. Sejarah Nabi walaupun bercerita ttg Nabi tetap hanyalah berupa sejarah. Sama dengan sejarah ttg Napoleon dll. Bisa jadi ceritanya terdistorsi dengan banyak hal spt. mitos-mitos dll. Yang kita bisa dijadikan asumsi awal hanyalah keyakinan kita akan konsistensi akhlak Nabi yang mulia. Pertanyaan saya adalah: Jika Nabi melarang perbudakan dan beliau dan sahabat-sahabatnya banyak membebaskan budak, mengapa ketika beliau diberi budak (Maria) oleh Raja Mesir, beliau tidak langsung membebaskannya malah dipake sbg budak? Saya menduga keras, Maria itu sudah dibebaskan oleh Rasul tanpa menunggu Maria menghasilkan keturunan dan langsung diperistri, jadi Istri yang sah juga. Mengapa sirah nabi tidak menyebutkan hal itu, bisa saja karena berbagai sebab yang jamak terjadi dalam penulisan sejarah. Contohnya, adalah hal yang nggak "elok" bagi orang Arab untuk mengakui bahwa Rasulullah menikahi perempuan bekas BUDAK yang BUKAN KETURUNAN ARAB lagi, bahkan KETURUNAN YAHUDI. Apalagi jika sampai mengakui bahwa MARIA juga bisa disebut UMMUL MUKMININ dst. dst. Ingat bahwa memperistri bekas budak itu akhlak yang luar biasa revolusioner. Dan tidak terbayangkan bagaimana impaknya dalam alam budaya spt jaman itu. Salam Ary - Original Message - From: [EMAIL PROTECTED] To: wanita-muslimah@yahoogroups.com Sent: Friday, March 10, 2006 7:32 AM Subject: Re: [wanita-muslimah] ketika para koki digusur tukang sayur dan tukang sayur pun menjadi koki
Re: [wanita-muslimah] ketika para koki digusur tukang sayur dan tukang sayur pun menjadi koki
Pada prinsipnya saya setuju mas Ary, memang betullah bahwa sebuah Siroh atau catatan sejarah nabi hanyalah merupakan "pendekatan", karena penulis siroh yang paling dekat dengan zaman nabi sekalipun tidak hidup sezaman dengan nabi dan mencatat perjalanan hidupnya. Nabi tidak melarang perbudakan secara frontal. Tetapi beliau melarangnya secara bertahap. Karena beliau paham perubahan sosial budaya yang sedang ia emban, tidak bisa dilakukan dalam sekejap, pastilah harus bertahap. Umatnya yang sezaman dengan dia pastilah tidak akan tahan jika perubahan sosial budaya yang nabi inginkan itu dilakukan sekaligus. Karena perubahan sosial budaya itu haruslah mengikuti perubahan jiwa umat yang beliau bimbing. Mungkin saja Maria sudah dibebaskan dan diperistri oleh nabi. Saya pun tidak bisa menyangkal kepada kemungkinan ini. Dan Maria Qibtiyah itu bukan keturunan Yahudi lho. Setahu saya, setelah melahirkan Ibrahim, Maria kemudian memang bergelar Ummul Mukminin. Sedangkan memperistri mantan sahaya sebetulnya banyak terjadi di zaman nabi. Banyak sahabat (orang yang hidup sezaman dengan nabi, bukan akrab) yang mencari istri dari tawanan perang (sahaya). Budaya di zaman itu kira-kira seperti itu. Kita agak kesulitan menilainya dengan standar zaman kita. Adakah yang bisa memberikan penjelasan lain, mengapa menggauli sahaya di zaman nabi tidak terlarang? Atau tidak dikategorikan sebagai zina? Salam, "Ary Setijadi Prihatmanto" <[EMAIL PROTECTED]> Sent by: wanita-muslimah@yahoogroups.com 03/10/2006 02:14 PM Please respond to wanita-muslimah@yahoogroups.com To cc Subject Re: [wanita-muslimah] ketika para koki digusur tukang sayur dan tukang sayur pun menjadi koki Bang Wida, Pada prinsipnya saya setuju. Saya hanya ingin mengajukan pertanyaan (he he he he malah nambah mumet) yang mungkin bisa menjadi pemicu kita untuk bisa memahami sejarah Nabi dengan lebih baik. Sejarah Nabi walaupun bercerita ttg Nabi tetap hanyalah berupa sejarah. Sama dengan sejarah ttg Napoleon dll. Bisa jadi ceritanya terdistorsi dengan banyak hal spt. mitos-mitos dll. Yang kita bisa dijadikan asumsi awal hanyalah keyakinan kita akan konsistensi akhlak Nabi yang mulia. Pertanyaan saya adalah: Jika Nabi melarang perbudakan dan beliau dan sahabat-sahabatnya banyak membebaskan budak, mengapa ketika beliau diberi budak (Maria) oleh Raja Mesir, beliau tidak langsung membebaskannya malah dipake sbg budak? Saya menduga keras, Maria itu sudah dibebaskan oleh Rasul tanpa menunggu Maria menghasilkan keturunan dan langsung diperistri, jadi Istri yang sah juga. Mengapa sirah nabi tidak menyebutkan hal itu, bisa saja karena berbagai sebab yang jamak terjadi dalam penulisan sejarah. Contohnya, adalah hal yang nggak "elok" bagi orang Arab untuk mengakui bahwa Rasulullah menikahi perempuan bekas BUDAK yang BUKAN KETURUNAN ARAB lagi, bahkan KETURUNAN YAHUDI. Apalagi jika sampai mengakui bahwa MARIA juga bisa disebut UMMUL MUKMININ dst. dst. Ingat bahwa memperistri bekas budak itu akhlak yang luar biasa revolusioner. Dan tidak terbayangkan bagaimana impaknya dalam alam budaya spt jaman itu. Salam Ary - Original Message - From: [EMAIL PROTECTED] To: wanita-muslimah@yahoogroups.com Sent: Friday, March 10, 2006 7:32 AM Subject: Re: [wanita-muslimah] ketika para koki digusur tukang sayur dan tukang sayur pun menjadi koki Setuju mas Ary, 1. perbudakan adalah budaya pra Islam yang timbul akibat peperangan, tawanan perang pihak yang kalah, yang kemudian dibawa ke kota dan diamankan dalam status budak. Al-Qur'an membolehkan mencampuri sahaya karena hal itu tidak dikategorikan sebagai zina. Zina terlarang karena akan merusak jalur nasab dan menghancurkan rumah tangga. Sedangkan kepada sahaya, jika sahaya itu hamil maka statusnya akan dimerdekakan dan dijadikan istri. Jadi status anaknya jelas, pasti milik tuannya. Tidak akan ada kekacauan nasab. Tidak akan ada gejolak sosial atas kasus kehamilan seorang sahaya oleh tuannya. Oleh sebab itulah mencampuri sahaya tidak dilarang. 2. Untuk masa kini tentu saja tidak boleh ada lagi perbudakan / sahaya. Sekalipun prt di rumah kita. Sebab tidak ada lagi budaya peperangan sebagaimana di zaman nabi. Sehingga tidak akan ada lagi tawanan perang yang bisa dibawa ke rumah dan dijadikan budak / sahaya. 3. saya sudah jawab di atas. 1. Maria memang sahaya nabi sebelum ia memberikan anak Ibrahim. Setidaknya hal ini karena ia tidak menempati apartemen yang biasa disediakan bagi ummul mukminin. Tetapi ia menempati apartemen (rumah) lain bagi sahaya bersama kakaknya. Dan karena asal muasalnya adalah pemberian dari raja Mesir atas ajakan nabi masuk Islam. Setidaknya begitu yang saya baca dari Siroh selama ini. CMIIW. 2. Budaya budak memang berangsur-angsur dihapuskan oleh nabi Muhammad dengan berbagai cara yang mudah untuk membebaskannya. Kalau melangga
Re: [wanita-muslimah] ketika para koki digusur tukang sayur dan tukang sayur pun menjadi koki
Bang Wida, Pada prinsipnya saya setuju. Saya hanya ingin mengajukan pertanyaan (he he he he malah nambah mumet) yang mungkin bisa menjadi pemicu kita untuk bisa memahami sejarah Nabi dengan lebih baik. Sejarah Nabi walaupun bercerita ttg Nabi tetap hanyalah berupa sejarah. Sama dengan sejarah ttg Napoleon dll. Bisa jadi ceritanya terdistorsi dengan banyak hal spt. mitos-mitos dll. Yang kita bisa dijadikan asumsi awal hanyalah keyakinan kita akan konsistensi akhlak Nabi yang mulia. Pertanyaan saya adalah: Jika Nabi melarang perbudakan dan beliau dan sahabat-sahabatnya banyak membebaskan budak, mengapa ketika beliau diberi budak (Maria) oleh Raja Mesir, beliau tidak langsung membebaskannya malah dipake sbg budak? Saya menduga keras, Maria itu sudah dibebaskan oleh Rasul tanpa menunggu Maria menghasilkan keturunan dan langsung diperistri, jadi Istri yang sah juga. Mengapa sirah nabi tidak menyebutkan hal itu, bisa saja karena berbagai sebab yang jamak terjadi dalam penulisan sejarah. Contohnya, adalah hal yang nggak "elok" bagi orang Arab untuk mengakui bahwa Rasulullah menikahi perempuan bekas BUDAK yang BUKAN KETURUNAN ARAB lagi, bahkan KETURUNAN YAHUDI. Apalagi jika sampai mengakui bahwa MARIA juga bisa disebut UMMUL MUKMININ dst. dst. Ingat bahwa memperistri bekas budak itu akhlak yang luar biasa revolusioner. Dan tidak terbayangkan bagaimana impaknya dalam alam budaya spt jaman itu. Salam Ary - Original Message - From: [EMAIL PROTECTED] To: wanita-muslimah@yahoogroups.com Sent: Friday, March 10, 2006 7:32 AM Subject: Re: [wanita-muslimah] ketika para koki digusur tukang sayur dan tukang sayur pun menjadi koki Setuju mas Ary, 1. perbudakan adalah budaya pra Islam yang timbul akibat peperangan, tawanan perang pihak yang kalah, yang kemudian dibawa ke kota dan diamankan dalam status budak. Al-Qur'an membolehkan mencampuri sahaya karena hal itu tidak dikategorikan sebagai zina. Zina terlarang karena akan merusak jalur nasab dan menghancurkan rumah tangga. Sedangkan kepada sahaya, jika sahaya itu hamil maka statusnya akan dimerdekakan dan dijadikan istri. Jadi status anaknya jelas, pasti milik tuannya. Tidak akan ada kekacauan nasab. Tidak akan ada gejolak sosial atas kasus kehamilan seorang sahaya oleh tuannya. Oleh sebab itulah mencampuri sahaya tidak dilarang. 2. Untuk masa kini tentu saja tidak boleh ada lagi perbudakan / sahaya. Sekalipun prt di rumah kita. Sebab tidak ada lagi budaya peperangan sebagaimana di zaman nabi. Sehingga tidak akan ada lagi tawanan perang yang bisa dibawa ke rumah dan dijadikan budak / sahaya. 3. saya sudah jawab di atas. 1. Maria memang sahaya nabi sebelum ia memberikan anak Ibrahim. Setidaknya hal ini karena ia tidak menempati apartemen yang biasa disediakan bagi ummul mukminin. Tetapi ia menempati apartemen (rumah) lain bagi sahaya bersama kakaknya. Dan karena asal muasalnya adalah pemberian dari raja Mesir atas ajakan nabi masuk Islam. Setidaknya begitu yang saya baca dari Siroh selama ini. CMIIW. 2. Budaya budak memang berangsur-angsur dihapuskan oleh nabi Muhammad dengan berbagai cara yang mudah untuk membebaskannya. Kalau melanggar syariat kafaratnya membebaskan budak, kalau menampar muka budak maka harus dibebaskan, kalau memukul sampai berbekas harus dibebaskan, kalau masuk Islam harus dibebaskan, dll. Juga perlakuan baik kepada budak seperti harus memberikan papan, sandang, pangan sebagaimana yang dipakai / dimakan oleh tuannya. Perbudakan adalah budaya pra-Islam akibat peperangan yang khas di zaman nabi / abad 7 H. Budaya ini menurut saya bukan hanya di Arabia saja, bahkan masih umum di seluruh dunia pada abad itu. Karena model peperangannya masih sama. Islam memberikan kebaikan pada budaya itu karena memang tidak bisa menghilangkannya di zaman itu, karena budaya peperangan terbuka masih berlangsung. Tetapi sedikit demi sedikit berusaha menghapuskannya. Tentu saja tidak berlaku lagi di zaman sekarang, karena penyebabnya sudah hilang. Ini adalah usaha saya memberikan penafsiran atas ayat yang membolehkan "menggauli sahaya yang engkau miliki". CMIIW. Salam, "Ary Setijadi Prihatmanto" <[EMAIL PROTECTED]> Sent by: wanita-muslimah@yahoogroups.com 03/10/2006 01:23 PM Please respond to wanita-muslimah@yahoogroups.com To cc Subject Re: [wanita-muslimah] ketika para koki digusur tukang sayur dan tukang sayur pun menjadi koki Jadinya bagaimana menurut Anda nih Bang Wida, 1. Apakah perbudakan itu dibolehkan dalam Islam? 2. Baru ketika perbudakan menurut Anda dibolehkan, dalam konteks kekinian kita perlu bicara terlebih dahulu apa syarat-syarat seorang budak itu 3. Ketika pertanyaan2 di atas bisa dijawab dg baik, baru kita bisa bicara ttg apakah menggauli budak juga dibolehkan dalam Islam asal ada niat
Re: [wanita-muslimah] ketika para koki digusur tukang sayur dan tukang sayur pun menjadi koki
Setuju mas Ary, 1. perbudakan adalah budaya pra Islam yang timbul akibat peperangan, tawanan perang pihak yang kalah, yang kemudian dibawa ke kota dan diamankan dalam status budak. Al-Qur'an membolehkan mencampuri sahaya karena hal itu tidak dikategorikan sebagai zina. Zina terlarang karena akan merusak jalur nasab dan menghancurkan rumah tangga. Sedangkan kepada sahaya, jika sahaya itu hamil maka statusnya akan dimerdekakan dan dijadikan istri. Jadi status anaknya jelas, pasti milik tuannya. Tidak akan ada kekacauan nasab. Tidak akan ada gejolak sosial atas kasus kehamilan seorang sahaya oleh tuannya. Oleh sebab itulah mencampuri sahaya tidak dilarang. 2. Untuk masa kini tentu saja tidak boleh ada lagi perbudakan / sahaya. Sekalipun prt di rumah kita. Sebab tidak ada lagi budaya peperangan sebagaimana di zaman nabi. Sehingga tidak akan ada lagi tawanan perang yang bisa dibawa ke rumah dan dijadikan budak / sahaya. 3. saya sudah jawab di atas. 1. Maria memang sahaya nabi sebelum ia memberikan anak Ibrahim. Setidaknya hal ini karena ia tidak menempati apartemen yang biasa disediakan bagi ummul mukminin. Tetapi ia menempati apartemen (rumah) lain bagi sahaya bersama kakaknya. Dan karena asal muasalnya adalah pemberian dari raja Mesir atas ajakan nabi masuk Islam. Setidaknya begitu yang saya baca dari Siroh selama ini. CMIIW. 2. Budaya budak memang berangsur-angsur dihapuskan oleh nabi Muhammad dengan berbagai cara yang mudah untuk membebaskannya. Kalau melanggar syariat kafaratnya membebaskan budak, kalau menampar muka budak maka harus dibebaskan, kalau memukul sampai berbekas harus dibebaskan, kalau masuk Islam harus dibebaskan, dll. Juga perlakuan baik kepada budak seperti harus memberikan papan, sandang, pangan sebagaimana yang dipakai / dimakan oleh tuannya. Perbudakan adalah budaya pra-Islam akibat peperangan yang khas di zaman nabi / abad 7 H. Budaya ini menurut saya bukan hanya di Arabia saja, bahkan masih umum di seluruh dunia pada abad itu. Karena model peperangannya masih sama. Islam memberikan kebaikan pada budaya itu karena memang tidak bisa menghilangkannya di zaman itu, karena budaya peperangan terbuka masih berlangsung. Tetapi sedikit demi sedikit berusaha menghapuskannya. Tentu saja tidak berlaku lagi di zaman sekarang, karena penyebabnya sudah hilang. Ini adalah usaha saya memberikan penafsiran atas ayat yang membolehkan "menggauli sahaya yang engkau miliki". CMIIW. Salam, "Ary Setijadi Prihatmanto" <[EMAIL PROTECTED]> Sent by: wanita-muslimah@yahoogroups.com 03/10/2006 01:23 PM Please respond to wanita-muslimah@yahoogroups.com To cc Subject Re: [wanita-muslimah] ketika para koki digusur tukang sayur dan tukang sayur pun menjadi koki Jadinya bagaimana menurut Anda nih Bang Wida, 1. Apakah perbudakan itu dibolehkan dalam Islam? 2. Baru ketika perbudakan menurut Anda dibolehkan, dalam konteks kekinian kita perlu bicara terlebih dahulu apa syarat-syarat seorang budak itu 3. Ketika pertanyaan2 di atas bisa dijawab dg baik, baru kita bisa bicara ttg apakah menggauli budak juga dibolehkan dalam Islam asal ada niat mengangkat jadi Istri? Jika sudah ada jawaban TIDAK di pertanyaan pertama, pertanyaan selanjutnya tidak perlu lagi dijawab. Konteks sejarah Nabi bisa kita interpretasi dg. berbagai jalan mis. 1. Maria itu bisa jadi istri sah Rasulullah, bukan budak. Sama sahnya dengan Hajar yang dinikahi oleh Ibrahim dengan ijin Istrinya. 2. Pelarangan perbudakan di jaman Rasul dilakukan secara berangsur-angsur. dst. dst. Salam Ary - Original Message - From: [EMAIL PROTECTED] To: wanita-muslimah@yahoogroups.com Sent: Friday, March 10, 2006 5:11 AM Subject: Re: [wanita-muslimah] ketika para koki digusur tukang sayur dan tukang sayur pun menjadi koki Terimakasih mas PREND, artikelnya bagus sekali dan banyak yang perlu untuk direnungkan. Tetapi saya ingin menkomentari satu saja. Tentang budak. Saya salinkan keterangan di bawah: [Karena perbudakan sekarang menjadi sesuatu yang emoh untuk difikirkan, saya akan menjelaskan sedikit: di dalam fiqih Islam hubungan seksual antara laki-laki pemilik budak dengan budak perempuan tidak dilarang. Tidak ada akad nikah, pemberian mas kawin, atau prosesi apa pun sebelum hubungan seksual itu berlangsung. Jika budak perempuan itu hamil dan melahirkan anak, maka anak itu statusnya tetap budak, tetapi ibunya naik status sedikit menjadi ummu walad, tetapi masih tetap budak. ] Sekarang fikirkanlah kasus ini. Nabi Muhammad mempunyai sahaya (budak perempuan) pemberian dari raja Mesir bernama Maria Qibtiyah. Dan memang nabi mencampurinya. Status Maria memang budak karena ia tidak menempati kamar bagi Ummul Mukminin. Kemudian Maria hamil dan melahirkan anak bagi nabi, Ibrahim yang kemudian wafat ketika berumur 1 tahun. Nah, apakah Ibrahim, putera nabi, statusnya masih menjadi budak? Apakah Maria ibu Ibrahim
Re: [wanita-muslimah] ketika para koki digusur tukang sayur dan tukang sayur pun menjadi koki
Jadinya bagaimana menurut Anda nih Bang Wida, 1. Apakah perbudakan itu dibolehkan dalam Islam? 2. Baru ketika perbudakan menurut Anda dibolehkan, dalam konteks kekinian kita perlu bicara terlebih dahulu apa syarat-syarat seorang budak itu 3. Ketika pertanyaan2 di atas bisa dijawab dg baik, baru kita bisa bicara ttg apakah menggauli budak juga dibolehkan dalam Islam asal ada niat mengangkat jadi Istri? Jika sudah ada jawaban TIDAK di pertanyaan pertama, pertanyaan selanjutnya tidak perlu lagi dijawab. Konteks sejarah Nabi bisa kita interpretasi dg. berbagai jalan mis. 1. Maria itu bisa jadi istri sah Rasulullah, bukan budak. Sama sahnya dengan Hajar yang dinikahi oleh Ibrahim dengan ijin Istrinya. 2. Pelarangan perbudakan di jaman Rasul dilakukan secara berangsur-angsur. dst. dst. Salam Ary - Original Message - From: [EMAIL PROTECTED] To: wanita-muslimah@yahoogroups.com Sent: Friday, March 10, 2006 5:11 AM Subject: Re: [wanita-muslimah] ketika para koki digusur tukang sayur dan tukang sayur pun menjadi koki Terimakasih mas PREND, artikelnya bagus sekali dan banyak yang perlu untuk direnungkan. Tetapi saya ingin menkomentari satu saja. Tentang budak. Saya salinkan keterangan di bawah: [Karena perbudakan sekarang menjadi sesuatu yang emoh untuk difikirkan, saya akan menjelaskan sedikit: di dalam fiqih Islam hubungan seksual antara laki-laki pemilik budak dengan budak perempuan tidak dilarang. Tidak ada akad nikah, pemberian mas kawin, atau prosesi apa pun sebelum hubungan seksual itu berlangsung. Jika budak perempuan itu hamil dan melahirkan anak, maka anak itu statusnya tetap budak, tetapi ibunya naik status sedikit menjadi ummu walad, tetapi masih tetap budak. ] Sekarang fikirkanlah kasus ini. Nabi Muhammad mempunyai sahaya (budak perempuan) pemberian dari raja Mesir bernama Maria Qibtiyah. Dan memang nabi mencampurinya. Status Maria memang budak karena ia tidak menempati kamar bagi Ummul Mukminin. Kemudian Maria hamil dan melahirkan anak bagi nabi, Ibrahim yang kemudian wafat ketika berumur 1 tahun. Nah, apakah Ibrahim, putera nabi, statusnya masih menjadi budak? Apakah Maria ibu Ibrahim statusnya hanya sebagai Ibunya Ibrahim? Bukan menjadi istri nabi? Begitulah jika agama hanya dipahami tanpa kasih sayang. Sama kasusnya dengan nabi Ibrahim dan Hagar (Siti Hajar). Saya yakin bahwa setelah melahirkan Ismail, Hagar telah diangkat statusnya menjadi istri nabi Ibrahim. Sedangkan umat Yahudi masih ingin mengatakan Hagar masih tetap sebagai budak. Dan Ismail statusnya adalah tetap anak budak, bukan anak sah dari Ibrahim. Kisah nabi Ibrahim dan Hagar ini adalah kisah favoritnya Maria Qibtiyah. Karena banyak sekali kemiripannya dengan jalan hidupnya. Sama-sama dari Mesir. Sama-sama diberikan kepada seorang nabi. Sama-sama dapat memberikan anak. Sama-sama diangkat derajatnya menjadi istri. Inilah pemahaman saya tentang status sahaya setelah melahirkan anak bagi tuannya. Lebih jauh, ketika seorang tuan berniat menggauli sahayanya, maka ia harus berniat untuk menjadikannya seorang istri. Oleh karenanya nabi melarang seorang tuan melakukan azl kepada sahayanya. Agar si sahaya bisa terangkat martabatnya ketika memberikan anak bagi tuannya. Salam, P|R|E|N|D|69 <[EMAIL PROTECTED]> Sent by: wanita-muslimah@yahoogroups.com 03/10/2006 10:48 AM Please respond to wanita-muslimah@yahoogroups.com To wanita-muslimah@yahoogroups.com cc Subject [wanita-muslimah] ketika para koki digusur tukang sayur dan tukang sayur pun menjadi koki ketika para koki digusur tukang sayur dan tukang sayur pun menjadi koki Sewaktu menghadiri shalat Jumat, saya sering mendengar khatib berkata: “sebagai umat Islam kita harus menuruti dan menjalankan apa-apa yang diperintahkan dalam Alquran, dan menjauhi apa-apa yang dilarang di dalam Alquran agar kita menjadi orang-orang yang bertakwa…” Ucapan ini memang mudah diucapkan, dan terkesan mudah pula dilakukan (bagi yang mau melakukan). Ketika kesekian kalinya saya mendengar ucapan ini, saya menjadi teringat satu problema dalam ilmu fiqih yang diangkat pertama kali oleh Imam Al-Syafi’i (w. 204 H/820 M) dalam kitabnya Al-Risalah. Berikut ini adalah kisahnya (biar menarik dibaca, kisah ini tidak lagi seharfiah redaksi aslinya) : “Suatu ketika seorang laki-laki berangkat ke pasar. Ia berniat membeli budak. Ia kemudian membeli budak perempuan. Setelah budak itu menjadi miliknya, dan tinggal di rumahnya, ia pun berkali-kali melakukan hubungan seksual dengan budak perempuan itu. [Karena perbudakan sekarang menjadi sesuatu yang emoh untuk difikirkan, saya akan menjelaskan sedikit: di dalam fiqih Islam hubungan seksual antara laki-laki pemilik budak dengan budak perempuan tidak dilarang. Tidak ada akad nikah, pemberian mas kawin, atau prosesi apa pun sebelum hu
Re: [wanita-muslimah] ketika para koki digusur tukang sayur dan tukang sayur pun menjadi koki
Terimakasih mas PREND, artikelnya bagus sekali dan banyak yang perlu untuk direnungkan. Tetapi saya ingin menkomentari satu saja. Tentang budak. Saya salinkan keterangan di bawah: [Karena perbudakan sekarang menjadi sesuatu yang emoh untuk difikirkan, saya akan menjelaskan sedikit: di dalam fiqih Islam hubungan seksual antara laki-laki pemilik budak dengan budak perempuan tidak dilarang. Tidak ada akad nikah, pemberian mas kawin, atau prosesi apa pun sebelum hubungan seksual itu berlangsung. Jika budak perempuan itu hamil dan melahirkan anak, maka anak itu statusnya tetap budak, tetapi ibunya naik status sedikit menjadi ummu walad, tetapi masih tetap budak. ] Sekarang fikirkanlah kasus ini. Nabi Muhammad mempunyai sahaya (budak perempuan) pemberian dari raja Mesir bernama Maria Qibtiyah. Dan memang nabi mencampurinya. Status Maria memang budak karena ia tidak menempati kamar bagi Ummul Mukminin. Kemudian Maria hamil dan melahirkan anak bagi nabi, Ibrahim yang kemudian wafat ketika berumur 1 tahun. Nah, apakah Ibrahim, putera nabi, statusnya masih menjadi budak? Apakah Maria ibu Ibrahim statusnya hanya sebagai Ibunya Ibrahim? Bukan menjadi istri nabi? Begitulah jika agama hanya dipahami tanpa kasih sayang. Sama kasusnya dengan nabi Ibrahim dan Hagar (Siti Hajar). Saya yakin bahwa setelah melahirkan Ismail, Hagar telah diangkat statusnya menjadi istri nabi Ibrahim. Sedangkan umat Yahudi masih ingin mengatakan Hagar masih tetap sebagai budak. Dan Ismail statusnya adalah tetap anak budak, bukan anak sah dari Ibrahim. Kisah nabi Ibrahim dan Hagar ini adalah kisah favoritnya Maria Qibtiyah. Karena banyak sekali kemiripannya dengan jalan hidupnya. Sama-sama dari Mesir. Sama-sama diberikan kepada seorang nabi. Sama-sama dapat memberikan anak. Sama-sama diangkat derajatnya menjadi istri. Inilah pemahaman saya tentang status sahaya setelah melahirkan anak bagi tuannya. Lebih jauh, ketika seorang tuan berniat menggauli sahayanya, maka ia harus berniat untuk menjadikannya seorang istri. Oleh karenanya nabi melarang seorang tuan melakukan azl kepada sahayanya. Agar si sahaya bisa terangkat martabatnya ketika memberikan anak bagi tuannya. Salam, P|R|E|N|D|69 <[EMAIL PROTECTED]> Sent by: wanita-muslimah@yahoogroups.com 03/10/2006 10:48 AM Please respond to wanita-muslimah@yahoogroups.com To wanita-muslimah@yahoogroups.com cc Subject [wanita-muslimah] ketika para koki digusur tukang sayur dan tukang sayur pun menjadi koki ketika para koki digusur tukang sayur dan tukang sayur pun menjadi koki Sewaktu menghadiri shalat Jumat, saya sering mendengar khatib berkata: “sebagai umat Islam kita harus menuruti dan menjalankan apa-apa yang diperintahkan dalam Alquran, dan menjauhi apa-apa yang dilarang di dalam Alquran agar kita menjadi orang-orang yang bertakwa…” Ucapan ini memang mudah diucapkan, dan terkesan mudah pula dilakukan (bagi yang mau melakukan). Ketika kesekian kalinya saya mendengar ucapan ini, saya menjadi teringat satu problema dalam ilmu fiqih yang diangkat pertama kali oleh Imam Al-Syafi’i (w. 204 H/820 M) dalam kitabnya Al-Risalah. Berikut ini adalah kisahnya (biar menarik dibaca, kisah ini tidak lagi seharfiah redaksi aslinya) : “Suatu ketika seorang laki-laki berangkat ke pasar. Ia berniat membeli budak. Ia kemudian membeli budak perempuan. Setelah budak itu menjadi miliknya, dan tinggal di rumahnya, ia pun berkali-kali melakukan hubungan seksual dengan budak perempuan itu. [Karena perbudakan sekarang menjadi sesuatu yang emoh untuk difikirkan, saya akan menjelaskan sedikit: di dalam fiqih Islam hubungan seksual antara laki-laki pemilik budak dengan budak perempuan tidak dilarang. Tidak ada akad nikah, pemberian mas kawin, atau prosesi apa pun sebelum hubungan seksual itu berlangsung. Jika budak perempuan itu hamil dan melahirkan anak, maka anak itu statusnya tetap budak, tetapi ibunya naik status sedikit menjadi ummu walad, tetapi masih tetap budak. ] Setelah beberapa lama, si laki-laki menjadi tahu bahwa budak yang dibelinya ini adalah saudara perempuannya. Nah lho... Besar kemungkinan si laki-laki adalah mantan budak yang kini merdeka dan menjadi berkecukupan, dulu orangtuanya juga budak, saudara-saudarinya pun budak. Atau bisa jadi, budak perempuan ini seayah dengannya tapi lain ibu, dan karena berbagai hal yang tragis, si adik perempuan pun akhirnya menjadi budak dan diperjualbelikan. Terus jadi gimana masalah ini? Kita lihat pokok masalahnya . Si laki-laki membeli budak perempuan dan kemudian melakukan hubungan seksual dengan budaknya itu. Keadaan ini dibolehkan oleh Alquran, malah dianggap baik-baik saja. Hasanah bi dzatiha. Alquran di dalam Surah Al Mukminun ayat 5 membolehkan perilaku seperti ini: qad aflaha’l mu’minun alladzina hum fi shalatihim khasyi’un walladzinahum ’ani’l laghwi mu’ridhun walladzinahum lizzakati fa’ilun walladzinahum li furujihim hafizhun illa ’ala ajwazihim aw ma malakat aymanuhum, fai
[wanita-muslimah] ketika para koki digusur tukang sayur dan tukang sayur pun menjadi koki
ketika para koki digusur tukang sayur dan tukang sayur pun menjadi koki Sewaktu menghadiri shalat Jumat, saya sering mendengar khatib berkata: sebagai umat Islam kita harus menuruti dan menjalankan apa-apa yang diperintahkan dalam Alquran, dan menjauhi apa-apa yang dilarang di dalam Alquran agar kita menjadi orang-orang yang bertakwa Ucapan ini memang mudah diucapkan, dan terkesan mudah pula dilakukan (bagi yang mau melakukan). Ketika kesekian kalinya saya mendengar ucapan ini, saya menjadi teringat satu problema dalam ilmu fiqih yang diangkat pertama kali oleh Imam Al-Syafii (w. 204 H/820 M) dalam kitabnya Al-Risalah. Berikut ini adalah kisahnya (biar menarik dibaca, kisah ini tidak lagi seharfiah redaksi aslinya) : Suatu ketika seorang laki-laki berangkat ke pasar. Ia berniat membeli budak. Ia kemudian membeli budak perempuan. Setelah budak itu menjadi miliknya, dan tinggal di rumahnya, ia pun berkali-kali melakukan hubungan seksual dengan budak perempuan itu. [Karena perbudakan sekarang menjadi sesuatu yang emoh untuk difikirkan, saya akan menjelaskan sedikit: di dalam fiqih Islam hubungan seksual antara laki-laki pemilik budak dengan budak perempuan tidak dilarang. Tidak ada akad nikah, pemberian mas kawin, atau prosesi apa pun sebelum hubungan seksual itu berlangsung. Jika budak perempuan itu hamil dan melahirkan anak, maka anak itu statusnya tetap budak, tetapi ibunya naik status sedikit menjadi ummu walad, tetapi masih tetap budak. ] Setelah beberapa lama, si laki-laki menjadi tahu bahwa budak yang dibelinya ini adalah saudara perempuannya. Nah lho... Besar kemungkinan si laki-laki adalah mantan budak yang kini merdeka dan menjadi berkecukupan, dulu orangtuanya juga budak, saudara-saudarinya pun budak. Atau bisa jadi, budak perempuan ini seayah dengannya tapi lain ibu, dan karena berbagai hal yang tragis, si adik perempuan pun akhirnya menjadi budak dan diperjualbelikan. Terus jadi gimana masalah ini? Kita lihat pokok masalahnya . Si laki-laki membeli budak perempuan dan kemudian melakukan hubungan seksual dengan budaknya itu. Keadaan ini dibolehkan oleh Alquran, malah dianggap baik-baik saja. Hasanah bi dzatiha. Alquran di dalam Surah Al Mukminun ayat 5 membolehkan perilaku seperti ini: qad aflahal muminun alladzina hum fi shalatihim khasyiun walladzinahum anil laghwi muridhun walladzinahum lizzakati failun walladzinahum li furujihim hafizhun illa ala ajwazihim aw ma malakat aymanuhum, fainnahum ghairu malumin (Alquran Surah Al Muminun 1 5) [sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman yaitu orang-orang yang khusyu' dalam shalatnya dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tidak berguna dan orang-orang yang menunaikan zakat dan orang-orang yang menjaga penisnya kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak perempuan yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tidak tercela ] Ketika lama kemudian si laki-laki menjadi tahu bahwa budak perempuan itu adalah adiknya, maka hubungan ini menjadi incest, dan sangat dilarang. Qabihah bi dzatiha. Haram tanpa kompromi, karena Alquran dalam Surah An-Nisa ayat 23 melarangnya: Hurrimat alaikum ummahatukum, wa banatukum, wa akhawatukum, (diharamkan bagi kamu sekalian untuk menikahi ibu-ibumu [maksudnya ibu kandung terus ke nenek terus ke atasnya nenek], anak-anak perempuanmu [anak terus ke cucu dan seterusnya], dan saudara-saudara perempuanmu . dst.) Dalam kasus di atas, si perempuan adalah saudarinya dan sekaligus budaknya. Kebolehan melakukan hubungan seksual dengan budak yang ditetapkan dalam Surah Al Muminun ayat 1-5 menjadi tidak relevan. Surah An-Nisa ayat 23 harus dimenangkan. Kenapa harus dimenangkan? Bisa jadi hati nurani dan akal sehat si laki-laki yang berkata demikian. Atau bisa juga sebuah fatwa dari seorang ahli fiqih yang mengangkat dua kaidah fiqih seperti: dar`ul mafasidi awla min jalbil mashalihi (menghilangkan keburukan lebih utama dari memperoleh kemaslahatan) dan fa idza taaradha mafsadatun wa mashlahatun quddima daful mafsadati ghaliban (apabila bertemu keburukan dan kebaikan dalam satu masalah, maka utamakanlah menghilangkan keburukan). Kaidah-kaidah fikih di atas saya kutip dari kitab berjudul al-Asybah wa'l-Nazhair karya Ibnu Nujaim (w. 970 H/ 1562 M). Kaidah-kaidah ini adalah hasil penalaran hukum para fuqaha dari berbagai dalil seperti Alquran, hadis Nabi Muhammad, fatwa-fatwa para mujtahid besar, dan hal-hal lain. Jika pun kaidah-kaidah ini dilepaskan dari sumber-sumber religius, sifatnya tetap rasional, karena dalam banyak kasus, bunyi kaidah-kaidah fiqih menjadi sama dengan maxim hukum berbahasa Latin yang berasal dari penalaran rasional, contohnya seperti al-hukmu yaduru maa ilatihi wujudan wa adaman (hukum itu akan terus berlaku bila reason-nya masih terus ditemukan dan berlangsung, dan hukum itu menjadi tidak berlaku lagi jika reason-nya tidak ada lagi) yang sama deng