On 1/11/06, adi <[EMAIL PROTECTED]> wrote:

On Wed, Jan 11, 2006 at 05:32:35PM -0000, Muhamad Carlos Patriawan wrote:
> Terus kalau bisa diefisiensikan, bisa dihemat sampai berapa persen ?
> dan apakah ini sama dengan penghilangan berberapa departemen alias PHK
> ?

by design, tiap-tiap fakultas jadinya berfungsi semacam kerajaan kecil.
masing-masing mengadakan pungutan sendiri, yang pada dasarnya bisa
dishare lintas fakultas ... misalnya: lab, ruang kuliah, wc, satpam dll.

Hal ini tidak terjadi di tempat saya, karena by design tidak seperti itu.  Tapi akibatnya banyak "pejabat" yg berasal dari Uni yg memiliki model seperti itu, sering ngeluh.  Istilah mereka "power" sebagai Ketua Jurusan atau dekan tidak ada.

kalau ndak salah, hampir tiap fakultas mengeluh bahwa dana dari
universitas itu kecil bin ndak cukup.

Ini general di mana saja dan siapa saja , di Jerman juga begitu :-))


bahkan, di satu fakultas, masing-masing jurusan bisa memiliki lab
masing-masing (yang juga mengadakan pungutan sendiri-sendiri). dari hari
ke hari, lab-lab tsb. mostly idle ... masing-masing memiliki staf
non-pengajar sendiri-sendiri, menanggung biaya untuk listrik, air
sendiri-sendiri.

Di kampus saya tidak ada hal ini, Lab atau staf-nya adalah "milik kampus" termasuk pembiayaannya. Jadi ini memudahkan utk sharing.  Ndak ada masalah asisten jurusan komputer memberi mateir komputer di jurusan sastra (biaya murah, para asisten senang, terutama yang bujangan)

dimasuki 100 orang sekaligus, tetapi yang berkeliaran cuman 1 atau dua
biji saja :-) rata-rata gedung kuliah untuk ini mentereng dan mahal,
yang akhirnya menjadi justifikasi biaya *pendidikan* yang mahal.

Terus terang, fasilitas pendidikann mentereng lebih memiliki nilai jual ke masyarakat luas, sedangkan fasilitas seperti "dosen", "perpustakaan", dsb tidak memiliki nilai jual.

Mahasiswa sering protest kalau ruangan tak berAC tapi tak pernah protest (atau sedikit) kalau perpustakaannya tak "berisi"

mestinya, kalau memang biaya pendidikan itu mahal, maka masing-masing
perguruan tinggi secara sukarela mengundang para auditor dari luar untuk
datang memeriksa. ini merupakan hil yang mustahal. padahal hasil audit
dari pihak ketiga ini merupakan salah satu faktor yang menentukan
tingkat akuntabilitasnya.

Kalau PTS karena bersifat yayasan harus melakukan hal itu.  Di tambah lagi, kalau kita menerima bantuan dari luar, maka audit secara terbuka WAJIB dilakukan.  Saya tahu soalnya sekarang rekan-rekan saya lagi proses audit proyek kerjasama tersebut.

IMW


Reply via email to