----- Ursprüngliche Mail ----
Von: Budi Rahardjo [EMAIL PROTECTED]
Waktu itu ceritanya National Semiconductor sudah punya pabriknya
(di Bandung). Jadi sudah ada. Hanya, waktu itu mereka mau meningkatkan
dengan memasang robot/mesin. Karena ketakutan digantikan mesin,
maka usulan mereka ditolang. Akhirnya perusahaan minggat sekalian
ke Malaysia :)
Nano:
oh itu National Semiconductor pak, bukan Fairchild ya? Sorry, slaah kutip:-(
Di Indonesia ... kebanyakan demo buruh sih.
Kayak sekarang, sulit bagi pabrik mau buka di Indonesia karena
sedikit2 demo buruh. Mendingan bikin pabrik di China saja.
Buruh mau demo, disikat tentara. hik hik hik.
Tragis memang ya?
Kata orang ini kapitalis vs sosialis.
Tapi apa mau dikata.
Nano:
Cina negara komunis tapi tidak manusiawi terhadap buruh. Di pabrik sebuah
supplier Wal-Mart di Hong Kong tertulis tulisan besar2: bekerja yang baik hari
ini, atau besok anda cari kerja lagi. Gimana investor US + Eropa nggak ngiler.
Dan tampaknya Yang Mulia Wapres Kalla sedang "studi banding" ke Cina ya?
India tampaknya juga punya hukum buruh yang longgar tapi mereka punya
demokrasi. Pemogokan di India jelas lebih mungkin daripada di Cina. Tapi setahu
saya belum pernah tuh ada "white collar strike" di India:-) Mereka malah
seperti kutu loncat, pindah segera kalau ada perusahaan IT lain menawarkan gaji
lebih besar. Jadi fleksibilitas perburuhan di India merugikan buat buruh tapi
menguntungkan buat IT engineers karena mereka tak terikat:-) Dari sinilah
muncul ungkapan "love your job but not your company". btw saya menemukan buku
menarik, sila rujuk ke
http://www.amazon.com/gp/product/0976694018/102-6345387-4254553?v=glance&n=283155
Sebetulnya hal yang sama juga kok di Jakarta. Kalau anda mengamati pemandangan
di depan kantor sebuah perusahaan telekomunikasi multinasional di Jakarta,
katakanlah namanya S, itu banyak headhunter nawarin gaji dua kali lipat di
perusahaan saingannya, katakanlah namanya E. "Bedol desa" bukanlah hal yang
asing di kalangan ini:-)
Jadi menurut saya fenomenanya bukan kapitalis atau sosialis. Ada segmen2 kecil
yang harus diamati satu-satu, siapa yang diuntungkan dan siapa yang
dibuntungkan.
Di Jerman, konon katanya keamanan posisi pekerjaan termasuk yang paling aman di
dunia. Tetapi ingat ada celah juga di hukum perburuhan Jerman: karyawan bisa
dipecat atau harus minggat kalau *tidak ada pekerjaan lagi*. Nah kalau sekarang
CEO bilang kalau kalian minta naik gaji maka tidak ada kerjaan lagi buat kalian
karena pabrik dipindah ke Eropa Timur atau India atau Asia, karyawan mau bilang
apa?
> Mungkin beda terbesar antara Indonesia dan India ini seperti kata Pak
> Estananto, kalau pemth India punya long term strategy (dengan mencetak
> banyak engineers,etc) sementara pemth Indonesia tidak.
Percaya atau tidak, jaman Pak Harto malah ada strategi!
Sekarang memang kita kebablasan dalam demokrasi.
Di satu sisi bagus karena kita pernah merasakan demokrasi yang mahal
dan ternyata tidak langsung meningkatkan kualitas hidup.
Nah, sekarang bagaimana kita belajar dari dua ekstrim dan mensintesa
sebuah solusi yang khas Indonesia.
-- budi
Nano:
hal paling utama dari keseluruhan negara industri Barat atau Timur adalah:
pemerintahan yang efektif dan efisien. Kalau di Indonesia orang musti tunggu
150 hari (sekarang katanya "cuma" 85 hari?) untuk menunggu investasi disetujui,
plus bayar biaya2 tak jelas sedangkan di Singapura orang cuma butuh 8 hari
dengan biaya resmi, orang waras berpikir cuma orang gila yang mau buka usaha di
Indonesia. Belum lagi ada pungutan tidak resmi yang dibikin resmi maupun pajak
era otonomi daerah.
Sebetulnya ini tantangan IT. Kalau pemerintah mau invest sekian trilyun untuk
membangun sistem birokrasi yang baru dan sistem database terdesentralisasi tapi
accesible dari pemda manapun di wilayah RI, plus perampingan secara radikal
pegawai negeri dan pelatihan bagi pegawai negeri potensial, saya yakin dalam 5
tahun ikllim investasi (baik dari dalam maupun luar negeri) bakal membaik.
Jumlah pegawai negeri yang ramping memungkinkan gaji layak. Pensiun dini
pegawai negeri? Ya betul, itu investasi juga, arahkan mereka jadi entrepreneur.
Memangnya gampang jadi entrepreneur?
Indonesia itu sebetulnya bangsa entrepreneur. Kalau saya pulang ke rumah orang
tua saya di Jakarta, saya kana lihat abang sate, abang martabak, tukang ojek,
yang kesemuanya adalah entrepreneur kecil yang menghitung risiko2 usaha. Kalau
saya pulang ke rumah mertua di Kebumen, saya lihat abang becak, petani, yang
mereka punya alat produksi dan harus menghitung rugi laba sendiri. Saya lihat
sebuah TV di Jerman melaporkan pasca Tsunami dan mengetengahkan seorang ibu
yang tegar membuat usaha untuk menghidupi ibu2 di kampungnya. Kita seharusnya
disimbolkan oleh ibu di Aceh itu: asalkan pemerintahan yang kuat melindungi
secara hukum dan efisien -> kepastian hukum dan iklim usaha. Jadi bukan
kapitalis, sosialis, atau demokrasi semata.
Salam,
Nano