Abah, Terima kasih atas tambahanya...kalau boleh tanya bagaiman process penerimaan wahyu ketika wahyu datang seperti bunyi gemerincing Bell seperti yang dikatakan oleh Rasul...bagaimana bunyi bell ni bisa di transform ke dalam bahasa arab??;)
--- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, "H. M. Nur Abdurrahman" <[EMAIL PROTECTED]> wrote: > > Chae: > Pak Her, Tuhan itu transenden karena dia beyond our imagination kalau bahasa > Qur'an sih Lam Yalid walam Yulad " dan tidak ada sesuatupun yang > menyamai-Nya". > > Ning: > Nyelak dikit : Koreksi mbak Chae. "Lam Yalid wa Lam Yuulad" artinya "Tidak > beranak, dan tidak dilahirkan". "Lam Yaqullahuu kufuwwan ahad", baru > artinya dan tidak ada satu pun yang menyamai-Nya.. > > HMNA: > Yang lebih pendek ayatnya: Laysa kamitslihi. > > Kemudian dari pada itu saya tambahkan sikit seperti di bawah > > Saya pakai diagram: > -------> input [proses] ------>output > > |--------------------------| > ------->wahyu (transenden} | Nabi Muhammad SAW | -------->verbal > |--------------------------| > Proses dalam kotak artinya Nabi Muhammad SAW menerima langsung wahyu itu > secara verbal, ataupun melalui Jibril. Output berupa yang verbal itu adalah > teks berupa kalimat-kalimat yang terkumpul dalam Al-Quran yang berbahasa > Arab, yang mengandung Risalah (message). Bahasa Arabnya bersifat lokal, > tetapi Risalah (message) permanen, tekstual, tidak dibatasi oleh ruang dan > waktu. Yang tekstual bisa dikembangkan secara kontekstual dan takwil, tanpa > melanggar yang tekstual. Bahkan bahasa Arab yang mulanya lokal itu berubah > menjadi tidak lokal lagi dalam wilayah pada zaman Khlafah Islamiyah, dan > sekarang juga tidak lokal lagi karena dipakai sebagai bahasa pengantar dalam > PBB, sehingga juga sudah bersifat internasional. > > The textual approach, tends to view religious phenomena merely on the level > of core element. On the other hand, the contextual approach can likely > reduce the substantial element of religion, for it tends to view religion > on the level of periphery. Frankly speaking the textual and contextual > approaches , thus, open new awareness of religious studies formed in > the synthesis of the two approaches". And again: "Methodologically > speaking, this combined-approach enables us to obtain the holistic > picture of the religion and to escape from its distorted-meaning." > Alhasil, kalau pakai akal yang jernih yang tekstual itu mesti sejalan > bergandeng tangan dengan yang kontekstual hingga bisa mencapai yang > holistik. Contohnya? Baca Seri 559 di bawah..Alhasil tidaklah perlu a > priori dan alergi pada yang tekstual. > ------------------------- > Wassalam, > HMNA > ***************************************************** > > BISMILLA-HIRRAHMA-NIRRAHIYM > > WAHYU DAN AKAL - IMAN DAN ILMU > [Kolom Tetap Harian Fajar] > 559. Tekstual, Kontekstual dan Takwil tentang Ibadah Qurban > > Ibadah Qurban dimulai sesudah Shalat 'Iyd alQurban = 'Iyd alAdhha = 'Iyd > alNahar. Disebut 'Iyd alQurban, karena pada hari itu orang mulai berqurban, > baik yang sedang berhaji di Mina, maupun ummat Islam di seluruh dunia. > Disebut 'Iyd alAdhha, hari raya sepenggal matahari naik, karena pada posisi > matahari di bola langit seperti itu orang bershalat 'Iyd. Disebut 'Iyd > alNahr, hari raya menyembelih, karena pada hari itu orang mulai menyembelih > binatang ternak empat kaki. > > Kata Qurban adalah bahasa Al Quran yang dibentuk oleh akar kata yang > terdiri dari huruf-huruf: Qaf, Ra, Ba, artinya dekat. Qurbaan adalah wazan > (pola) Fu'laan. Qurban ini telah diserap ke dalam bahasa Indonesia dalam > bentuk kurban atau korban. Kurban dan korban dalam rasa bahasa Indonesia > sudah menyimpang dari Qurban menurut rasa bahasa Al Quran. Kurban dan korban > dalam rasa bahasa Indonesia tidak lagi diapresiasikan maknanya yang asli > yaitu dekat. Namun apabila Qaf, Ra, Ba dalam bentuk qarib dan dalam bentuk > ism tafdhil (superlatif) aqrab, yang diserap ke dalam bahasa Indonesia dalam > bentuk karib dan akrab, masih terasa maknanya yang asli: sahabat karib dan > pergaulan yang akrab. Kata kurban atau korban dalam rasa bahasa Indonesia > dipengaruhi oleh rasa bahasa barat: offering, sacrifice (Inggris), > slachtoffer (Belanda). Kurban atau korban dirasakan sebagai sesuatu yang > dipersembahkan. Karena sudah terbiasa dan mendarah daging turun-temurun kata > kurban dan korban itu dirasakan sebagai suatu persembahan, sesajen, maka > sangat sukar sekali kata kurban dan korban dirasakan sebagai mendekatkan > batin kita kepada Allah SWT. Dalam Al Quran dekat dan Qurban dirangkaikan: > QRBA QRBANA (S. ALMA^DT, 27), dibaca: qarraba- qurba-nan, artinya: keduanya > mendekatkan (diri kepada Allah) dengan Qurban (5:27). > > Melaksanakan syari'ah tanpa landasan 'aqidah yang bersih dari tahyul serta > khurafat (paganism), tidak akan mendapatkan nilai ukhrawi. Berqurban > haruslah berlandaskan atas aqidah yang bersih dari paganism, bersih dari > rasa bahasa korban sebagai suatu persembahan (offering) yang sakral > (sacrifice) sifatnya. Untuk itu kita mesti bertitik tolak dari tekstual. > > Firman Allah SWT: > -- FADZA WJBT JNWBHA FKLWA MNHA WATH'AMWA ALQAN'A WALM'ATR . LN YNAL ALLH > LHWMHA WLA DMA^WHA WLKN YNALH ALTQWY MNKM (S. ALHJ, 36-37), dibaca: > -- Faidza- wajabat junu-buha- fakulu- minha- wath'imul qa-ni'a wal mu'tar. > Lay yana-lalla-ha luhu-muha- wala- dima-uha- wala-kiy yanuhut taqwa- minkum > (s. alhaj), artinya: > -- apabila telah rebah badannya (hewan sembelihan), maka makanlah sebagian > darinya dan beri makanlah orang yang tidak meminta dan orang yang meminta . > Tidak akan sampai kepada Allah daging-dagingnya dan tidak darah-darahnya, > melainkan yang sampai kepadaNya ialah ketaqwaan kamu (22:36-37). > -- FSHL LRBK WANHR (S. ALKWTSR, 2), dibaca: > -- fashalli lirabbika wan har (s. alkawtsar), artinya: > -- maka shalatlah bagi Maha Pemeliharamu dan sembelihlah (108:2). > > Hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dari Bara': > -- qa-lan nabiyyu saw inna awwala ma- nabda-u fi- yawmina- ha-dza- nushalli- > tsumma narji'u fananhar, aw qama- qa-la, artinya: > -- Bersabna Nabi SAW pertama-tama yang kita lakukan pada hari ini shalat, > kemudian kita kembali, lalu menyembelih (hewan Qurban). Demikianlah, 'Ibadah > Qurban tidak boleh tidak harus dimaknai secara tekstual, tidak boleh > bertentangan dengan Nash: ayat (22:36-37), (108:2) dan Shahih Bukhari, yaitu > menyembelih binatang Qurban, supaya dapat dimakan dagingnya. > > Karena darah dan daging hewan itu tidak akan sampai kepada Allah, maka > orang dapat mengangkatnya ke tataran nilai berbuat baik kepada orang miskin, > > Buat apa diberikan secara konsumtif. Dalam konteks visi produktif, secara > kontekstual lebih baik hewan Qurban itu diberikan kepada mereka itu untuk > diternakkan supaya terbuka lapangan kerja, yang sangat dibutuhkan Supaya > dapat diternakkan maka binatang qurban itu tidak usah yang jantan, melanikan > semuanya betina. Secara tekstual tidak ada ketentuan bahwa hewan Qurban itu > mesti jantan. Namun pendekatan kontekstual ini bertabrakan dengan yang > tekstual, karena qurban itu harus disembelih dan dimakan dagingnya. > > Dalam hal ini akal mesti bekerja. Apabila itu dilihat dari segi pasar, maka > itu sangat mempunyai nilai ekonomis. Produksi saja tanpa pasar tidak ada > gunanya. Bahkan tidak kurang dalam kegiatan ekonomi harus memperluas bahkan > kalau perlu menciptakan pasar. Allah SWT telah menciptakan pasar bagi > peternak kelas bawah dalam bulan Dzulhijjah setiap tahun. Melalui kredit > usaha tani (KUT), para peternak dapatlah berternak sapi, kambing dan > biri-biri khusus "diproduksi" untuk dipasarkan sekali setahun. > > Maka menyembelih hewan Qurban setiap tahun sebagai pasar bagi para peternak > kecil-kecilan, 'Ibadah Qurban itu secara kontekstual sekali-gus mempunyai > nilai ekonomis, nilai sosiologis dan tidak bertabrakan dengan pendekatan > tekstual. Bahkan dengan memotong hewan korban yang dagingnya diberikan > kepada orang miskin sekali gus terbinalah komunikasi dalam konteks > psikologis, yaitu ikatan batin antara yang memberi dengan yang menerima > daging yang secara langsung dapat bermakna pula sebagai nilai kesehatan, > peningkatan gizi, mengkonsumsi protein. > > Yang terakhir penggantian Isma'il dengan binatang sembelihan dapat > ditakwilkan dalam dua hal: > Pertama, menyembelih naluri kebinatangan dalam diri kita, dan dengan > demikian kita bisa bertqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah SWT, sebagai > tumpuan untuk dapat meningkat menjadi taqwa, tujuan akhir bagi ummat Islam. > Kedua, manusia tidak boleh dijadikan seperti binatang qurban, yaitu tidak > boleh "disembelih" dalam arti yang majasi (metaforis), yaitu kita > berkewajiban untuk mencegah agar supaya nilai kemanusiaan tidak > diinjak-injak, dan inilah kewajiban asasi manusia (KAM). > > Alhasil, "berdamailah" yang Tekstual, Kontekstual dan Takwil secara > holistik. WaLlahu a'lamu bishShawab. > > *** Makassar, 26 Januari 2003. > [H.Muh.Nur Abdurrahman] > > Wassalam > ************************************************* > > > ----- Original Message ----- > From: "Tri Budi Lestyaningsih (Ning)" <[EMAIL PROTECTED]> > To: <wanita-muslimah@yahoogroups.com> > Sent: Wednesday, January 31, 2007 15:59 > Subject: RE: [wanita-muslimah] Tuhan yangTransenden was Pengaruh budaya arab > > > > > > Nyelak dikit : > > > > Koreksi mbak Chae. "Lam Yalid wa Lam Yuulad" artinya "Tidak beranak, dan > > tidak dilahirkan". "Lam Yaqullahuu kufuwwan ahad", baru artinya dan > > tidak ada satu pun yang menyamai-Nya.. > > > > Silakan dilanjut lagi diskusinya. > > > > -----Original Message----- > > From: wanita-muslimah@yahoogroups.com > > [mailto:[EMAIL PROTECTED] On Behalf Of Chae > > Sent: Wednesday, January 31, 2007 3:13 PM > > To: wanita-muslimah@yahoogroups.com > > Subject: [wanita-muslimah] Tuhan yangTransenden was Pengaruh budaya arab > > > > --- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, sriwening herpribadi > > <herpribadi@> wrote: > > > > > 1. Menurut saya tidak mungkin sesuatu yang transenden ketika > > bersentuhan dengan sesuatu yang tidak transenden maka akan menjadi tidak > > transenden dan kenyataannya justru sebaliknya sesuatu yang tidak > > transenden akan menjadi lebih transenden ketika bersentuhan dengan yang > > transenden. Kenapa? karena sesuatu yang transenden memiliki kekuatan > > intervensi yang jauh lebih kuat daripada sesuatu yang tidak transenden. > > > > Chae: Pak Her, Tuhan itu transenden karena dia beyond our imagination > > kalau bahasa Qur'an sih Lam Yalid walam Yulad " dan tidak ada sesuatupun > > yang menyamai-Nya". > > > > Ketika Tuhan menyapa manusia, maka dalam sapa'an-Nya menjadi tidak > > transeden itulah yang kita namakan wahyu. Logikanya bagaimana manusia > > bisa memahami sesuatu yang bersifat transeden... yaitu sesuatu yangtidak > > tergapai oleh akal pikiranya, oleh daya ciptanya, oleh budi pekertinya, > > oleh angan-angannya... > > > > Dan jika wahyu bersifat transenden..lalu bagaimana wahyu bisa dipahami > > oleh manusia??? kecuali kalau wahyu tsb masuk ke wilayah tidak > > transenden atau menjadi tidak transenden. Kalau dalam bahasa Qur'anya.." > > Dan tidak ada bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan > > dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau di belakang tabir atau dengan > > mengutus seorang utusan (malaikat)...Qs.42:51 > > > > Pelan..pelan ya Pak Her agar mudah buat saya;) > > > > Tuhan itu transenden yaitu " Tidak ada sesuatupun yang menyamai-NYa" > > artinya semua diluar dirinya yaitu (makhluk) ciptaan-Nya adalah non > > transenden.. > > > > Dan di dalam Qur'an di katakan bahwa ..."Dan tidak ada bagi seorang > > manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali dengan > > perantaraan wahyu atau di belakang tabir atau dengan mengutus seorang > > utusan (malaikat)...Qs.42:51 > > > > Jadi ketika Tuhan menyapa makhluk-Nya maka digunakan (dengan > > perantara) yang berada diluar diri-Nya yaitu: wahyu,dibelakang tabir > > atau mengutus malaikat... > > > > Disini bisakah kita pahami mengenai Tuhan yang transenden sedang > > makhluk-Nya tidak??? termasuk kepada Qur'an itu sendiri?? > > __________________________________________________ > Apakah Anda Yahoo!? > Lelah menerima spam? Surat Yahoo! memiliki perlindungan terbaik terhadap spam > http://id.mail.yahoo.com >