Sebuah survei tentang majority:

http://www.kompas.com/index.php/read/xml/2008/04/22/15200662/ 
survei.psik.mayoritas.akui.keberadaan.ahmadiyah

Survei PSIK: Mayoritas Akui Keberadaan Ahmadiyah


SELASA, 22 APRIL 2008 | 15:20 WIB
JAKARTA, SELASA - Sebuah survei yang dilakukan Pusat Studi Islam dan  
Kewarganegaraan (PSIK) Paramadina menunjukan bahwa mayoritas warga  
menyatakan Ahmadiyah berhak untuk hidup di Indonesia dengan damai.  
Hasil survei tersebut disampaikan Ketua PSIK Yudi Latif saat diskusi  
"Perlindungan Hak-Hak Konstitusional Warga Negara" di Indofood Tower,  
Plaza Senayan, Jakarta, Selasa (22/4).

Survei tersebut dilakukan melalui pembagian dan pengisian kuesioner  
dalam kurun waktu 9 April 2007 hingga 8 Agustus 2007 lalu yang  
dilakukan pada 18 kota antara lain Jakarta, Jambi, Banjarmasin, Aceh,  
Gorontalo, Ambon, Ternate, Samarinda, Palangkaraya, Pontianak, Bogor,  
Surabaya, dan Makasar.

Total responden yang disurvei 296 orang dengan komposisi laki-laki  
183 orang dan perempuan 113 orang. Rentang usia responden berkisar 17  
tahun hingga 74 tahun. Pekerjaannya beragam, mulai dari mahasiswa  
(144 orang), dosen (68 orang), pegawai negeri sipil (35 orang),  
pekerja sosial (7 orang), peneliti (6 orang), guru (4 orang),  
pendakwah (3 orang), pengamat, pengarang dan pelajar (masing-masing 2  
orang), serta pensiunan pegawai negeri sipil, seniman, rohaniwan,  
wartawan, dan ibu rumah tangga (masing-masing 1 orang).

Dari satu pertanyaan yang diajukan yakni 'apakah penganut Jamaah  
Ahmdiyah atau Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia (IJABI) berhak hidup  
di Indonesia dengan damai?', sebanyak 24 persen mengatakan tidak  
berhak, dan 13 persen mengatakan tidak tahu. Mayoritasnya yakni  
sebanyak 63 persen mengatakan bahwa Ahmadiyah atau IJABI berhak hidup  
damai di Indonesia.

Negara lakukan pembiaran

Sebelumnya, Yudi Latif mengkritik sikap negara dalam menangani  
Ahmadiyah, berkait dengan tindakan dan tuntutan sejumlah lembaga dan  
komunitas lain yang untuk membubarkan Ahmadiyah.  Menurut Yudi,  
komunitas agama harus memahami seberapa jauh otoritas keagamaan bisa  
masuk dalam urusan kenegaraan. Jangan meminta negara cepat-cepat ikut  
campur dalam persoalan komunitas.

"Boleh saja komunitas berpandangan berbeda, misalnya MUI menyatakan  
Ahmadiyah sebagai aliran sesat, dan Ahmadiyah merasa benar, namun  
tidak berhak meminta pembubaran yang lain, jika tidak ada pelanggaran  
konstitusi dan hukum yang dilakukan," ujar Yudi.

Senada dengan Yudi, Ray Rangkuti mengatakan, Bakorpakem yang  
menggunakan pendekatan destruktif dalam menilai keyakinan masyarakat  
tidak bisa dibiarkan. Pasalnya, dalam demokrasi yang dikembangkan  
saat ini, hanya pengadilanlah yang berhak membubarkan suatu lembaga  
dan paham tertentu.

"Pengadilan yang berhak pun bukan pengadilan umum, tetapi Mahkamah  
Konstitusi. Dan dalam konstitusi, pembubaran organisasi itu dikaitkan  
dengan paham marxisme," ujarnya.




On Apr 22, 2008, at 3:08 PM, Muhammad Syafei wrote:

>
> > dan di pihak lain, ada sementara kalangan
> > (mayoritas) ummat yang tersinggung, terhina, resah dan bahkan
> > ketakutan dengan keyakinan dan sepak terjang aliran sesat ini, yang
> > segelintir elemen kalangan mayoritas ini ada yang tidak bisa diam
> > menahan diri, setelah aliran ini puluhan tahun disanggah dan
> > disadarkan tapi tidak mau berubah, sehingga dengan segala emosi dan
> > keterbatasan pemahaman yang ada mereka ada yang melampiaskannya
> > dengan 'menyerang' sarana milik aliran sesat ini, tapi tidak pernah
> > menyerang pengikutnya.
> >
> Ini lagi-lagi klaim ..
> Mayoritas itu yang mana?
> Lebih banyak orang yang adem-ayem, tenang-tenang saja, ada Ahmadiyah
> atau tidak.
>



[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke