Mungkin, kalau ada orang Non Jawa mengusulkan: " Sudahlah, jangan
dimasalhkan makian Jawa Kowek", agak ajaib juga. Atau seorang Non
African American mengusulkan agar mereka tak memperoalkan sebutan
bagi Black Americans. Ini 100% masalah mereka yang terkait.

Apakah saudara Tionghoa mempersoalkan panggilan Cina atau tidak,
adalah 100% masalah saudara saudara Tionghoa. Tokh kita tahu dan
sadar, bahwa kita, Non Tionghoa seringkali masih memakai kata Cina
untuk merendahkan? Mialnya " Dasar Cina".

Kalau ada generasi muda Tionghoa yang malah cinta dipanggil Cina, itu
hak mereka, juga dipanggil Cina Medan. Account Officer keluarga saya
di CITIBANK, seorang wanita Tionghoa asal Semarang dipindahkan ke
cabang di Pluit. Ketika kami tanya, bagaimana rasanya disana dengan
customers bareu, dia jawab mau menangis, wah client disini kasar
kasar, Pak, hampir semua Cina Medan. Ini jelas bukan konotasi positif!

Bahwa ada teman yang tak berkeberatan menyebut diri Cina Medan, sih
OK OK saja. Tetapi kita, yang Non Tionghoa harus tetap ber-hati hati.

Tak ada salahnya kita pilih kata yang PASTI tak menyinggung
seseorang. Saya juga memilih menggunakan kata orang Tapanuli,
daripada orang Batak, walau banyak diantara mereka yang tak merasa
dihina, disebut Batak. Orang Jawa menamakan ini tepo seliro, saving
face kawan bicara...

By the way, lawan atau kawan TETAP ada disetiap milis. Tidak saja
disini. Lawan saya adalah pendukung negara syariat Islam, let's be
frank... saya tahu pasti, who is against me and my ideological fellow
dan sebaliknya..


Salam budaya

Danardono





--- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, "Akhmad Bukhari Saleh"
<[EMAIL PROTECTED]> wrote:
>
> Memang paradigma berubah sesuai perkembangan jaman.
> Orang sekarang, cina atau bukan, tionghoa atau bukan, tidak ada
lagi yang mempersoalkan pemakaian kata "cina".
>
> Waktu Thomas Cup dan Uber Cup berlangsung, di Jakarta beberapa
bulan lalu sempat di milis ini saya kemukakan fakta dari kenyataan
itu.
> Tiada seorang presenter TV pun (termasuk presenter yang tionghoa),
tiada suatu media cetak pun, tiada seorang penonton pun di Istora
yang mendikotomikan hal itu.
> Saat itu kebanyakan memang bilangnya "cina", hanya SBY yang
bilang "tiongkok", tetapi yang pasti tidak ada seorang pun yang
mempersoalkan perbedaan itu, apalagi pakai kirim surat protes segala.
>
> Begitu pula dalam komunitas yang mayoritas suku tionghoa, di mana
saya kebetulan intens terlibat, soal ini pun juga samasekali bukan
soal.
>
> Tempo hari sementara owner milis ini pernah berinisiatif
mengusulkan penyelenggaraan 'kopi darat' mendiskusikan issue
kata "cina" ini.
> Tetapi nyatanya samasekali tidak bersambut. Sehingga gagasan itu
hilang menguap sendirinya.
>
> Bahkan hari-hari ini, munculnya di milis ini kata "cimed" dengan
sambutan yang meriah, menunjukkan tidak adanya persoalan dengan
kata "cina" itu di kebanyakan warga milis ini.
>
> Yang sekarang banyak dipersoalkan malahan pemakaian kata "china"
oleh sementara media elektronik maupun cetak vis-a-vis kata "cina".
Tetapi itu pun lebih dalam konteks pelurusan linguistik (tata
bahasa). Samasekali bukan dalam konteks politik.
>
> Kelihatannya yang masih mendikotomikan hal itu, kalau kita simak
posting-posting di milis ini, tersisa teman-teman yang masih punya
nostalgia politik sektarian dari masa lalu.
> Yang antara lain nampak dari sikap terus ber-shadow-boxing, "lu apa
gua", "kawan apa lawan", "teman apa musuh", dan semacamnya.
>
> Maka, kalau saya boleh usul, sejak sekarang untuk selanjutnya tidak
perlu lagi lah kita membahas, mendiskusikan, menperdebatkan soal
kata "cina" itu di milis ini. Tidak ada manfaatnya samasekali,
kecuali omong kosong berkepanjangan.
>
> Wasalam.
>

Kirim email ke