Bung Andreas, Bung Erik, Bung King Hian dan TTM semuah,

Hai, apakabar? Sudah makan-minum?

Sorry, saya rambang ajah respon anda bertiga, biar gak bosen yang bacanya ya.

Bener kata Bung Andreas, konon katanya sapaan 'sudah makan' ini 
dilatarbelakangi jaman susah (makan) di daratan pada jaman perang dulu. Sesama 
tetangga saling menanyakan 'sudah makan' untuk mencari tahu secara harafiah 
sudah makan atau belum, kalau pun belum, mereka (tuan rumah) suka mengajak 
teman-nya yang bertandang (atau musafir juga?) untuk ikut makan. Tarik satu 
kursi tambahan, dengan lauk dan nasi seadanya, yang semula hendak dimakan 
bertujuh sekeluarga, terpaksa dibagi menjadi ber-delapan atau sembilan.

Dan, biasanya anak-anak mesti mengalah makan belakangan ya.

Saya ingat lihat sekeluarga dengan anak-anak masih kecil, di film "Ketika 
Gladiol Bersemi"(?) di Da-ai TV, papahnya yang kepala kampung (swa-teng) begitu 
ramahnya, mengajak setiap tamu sesiapa saja yang singgah ke rumahnya untuk ikut 
makan. Ndak pernah tahu bahwa anak-anak dan nyonyahnya di dapur mengawasi para 
tamu makan dengan lahapnya, kuatir lauk masak rebung yang enak-enak olahan sang 
nyonyah dihabiskan. 

Bukan saja lauk rebung di meja dihabiskan, sang tamu masih dibawain pula 
oleh-oleh rebung mentah hasil petikan sang nyonyah, bahkan kepala kampung yang 
budiman, baik hati dan tidak sombong itu, menunjukkan tempat lokasi pemetikan 
bambu muda itu di hutan pinggir desa, supaya tamu yang dari kota bisa ikut 
berjualan mengais rezeki dengan rebung yang sama enaknya itu.

Ketika sang nyonyah protes atas 'kebaikan' hati sang kepala kampung, dengan 
tenang dia jawab: lha, rebung tumbuh liar di hutan bambu, apakah itu milik elo? 
Apa salahnya berbagi dengan sesama 'kerabat' kita?

Ya. Tentu saja sapaan 'sudah makan' itu bukan sekedar sapaan basa-basi tak 
bermakna semisal 'how are you' yang tetap dijawab 'I am fine' walaupun anda 
sedang flu berat saat itu. Pada masa itu. Itu bentuk kekerabatan, 
keramah-tamahan, hospitality khas Tiongkok(?). Yang mestinya seperti diteladani 
oleh sang papah kepala kampung itu. Bahwa semua orang adalah bersaudara, jadi 
mengajak makan itu bukanlah sesuatu yang aneh.



Bung Erik, jadi kalau mau ditambahi 'sudah minum' supaya gak bosan, tentu saja 
tidak apa-apa. It's oke. No problemo. Kan cuma sesekali. Apalagi kalau minumnya 
es campur seperti es teler, es Shanghai (it has nothing to do with the war at 
Shanghai), atau es cincai, eh, cincau, atau es jus kemang di Warung Doyong, 
Bogor. Pas musim panas terik, seger-meger pisan ituh, euy!



Bung King Hian, terima kasih sangat atas tawaran tua-huan goreng mentega buatan 
Koh Aay. Bener-na mah sayah sih bukan pendoyan jejeroan begitu. Karena 
pengalaman saya tinggal di asrama ketika kuliah di Yogya dulu, menu-nya hampir 
setiap hari dalam seminggu ada jejeroan: selang (tuahuan), handuk (babat kasar 
dan halus) dan tetelan. 

Baguslah asramanya ndak menyediakan babai, kalau saja ada babai, mungkin setiap 
hari makan sekba, baik yang berbumbu kecap - losembak namanya di Jawa, atau 
yang biasa disebut bektim di Jakarta/Tangerang, yakni yang berkuah dan bersayur 
(sawi) asin dan bertahu dan tempe, eh, bukan tempe ding, berkentang bongkahan. 
Bumbu rempahnya hampir sama, pake pek-kak juga, jeh!



Mong-omong soal babai yang bagian kepalanya (kuping, pipi, congor) biasa 
dibikin sekba masak kecap aka losembak itu, anda pernah coba makan 
'titouw-cang' belim? Titouw = kepala babi, yakni masak sekba begitu, ditambahi 
daging samcwan, dimasak pake bumbu ngohiang begitu, lalu dipres sampai saling 
nempel melekat erat bersatu padu, berbentuk kubus jadi seperti black forest 
ham. 

Katanya itu masakan sudah langka, khas Tiociu yang masih asli, otentik dibawa 
oleh mereka yang langsung turun dari daratan sono dulu. Entah di Bogor ada yang 
masak dan jual gak, di Semarang (ada 2, satu juwalan, satu makan sendiri) dan 
Solo ada yang bikin dan jual. Katanya sih itu menu cuma keluar pas malem taon 
baru-an Imlek ajah, saking susahnya bikin (kudu dipres pake alat pres) dan 
rendemen-nya cukup rendah, 3 kilo bahan cuma jadi sekilo hasil akhir tuh, jeh!

Kalau mau lihat fotonya, sila buka link ini:
http://ophoeng.multiply.com/journal/item/425/Rare_Food_-_Black_Forest_Ham_ala_Teo-chew.



Karena sudah bosan makan jejeroan di asrama itulah, maka saya gak gitu doyan 
lagi makan jeroan ketika mulai kerja. Jauh-jauh hari sebelum muncul kesadaran 
orang akan kesehatan jantung: mengurangi asupan lemak full (pembentuk) 
kolesterol jahat yang berbahaya bagi kesehatan jantung (terutama) anda. 
Sesekali saja, ndak setahun sekali, saya masih kadang-kadang makan jeroan. 
Makanya mayan tahu soal tuahuan goreng garing dimasak kecap di RM Rico itu.

Tapi, tawaran anda tentu boleh juga saya coba nanti. Pas ketika Bung Steve 
nanti berkesempatan datang lagi. Makan sepotong dua tuahuan goreng top buatan 
Koh Aay, untuk ujirasa saja, mestinya sih is oke ajah toh? Tapi, jangan lupa 
ajak saya minum jus kemang-nya lagi ya. 

Setelah anda ajak icip-icip jus kemang itu dulu, saya selalu beli di Pasmo BSD 
kalau pas musim. Dan saya sudah berhasil menanam bijinya, tumbuh pohonnya, tapi 
tentu saja entah kapan baru bisa berbuah dan dinikmati jusnya. Mungkin 
cucu-cucu saya kelak yang sempat memakan buahnya ya?



Kapan anda sempat dan ada waktu buat jalan-jalan bersama Bung David Kwa ke 
'kantor' Bung Sumur di Parakan sana? Sekalian ketemu dengan kerabat (baru 
ketemu) saya di Temanggung (deukeut pisan dari Parakan) Bung HT Oei, anda mesti 
cobain ikan uceng yang the one and only khas Parakan. 

Ini ikan seperti ikan bilih aka bilis ex Padang (tapi diprotes Bung Sumur bahwa 
mereka teuteup beda katanya tuh), kayak ikan teri besar - panjang, yang hidup 
di 'darat', maksudna di kalen - kali kecil di sekitaran Parakan. 

Ikan uceng atau bilih digoreng garing dengan taburan sedikit tepung, dimakan 
pake sambel terasi (lalap-na kudu pete hideung, mentahna oge geus amis tah) dan 
nasi haneut (atau tambah lauk duren mateng kalau suka), atau sekedar cemilan 
sambil ngeteh, ngupi atau nyoklat pahit kutika kongkow di 'rumah singgah' di 
Parakan itu, wah..... kalau mau makan mesti kudu harus ajak mertua sekalian (o, 
ya, papi mertua saya pendoyan berat ikan itu tuh!) supaya kalau beliau lewat 
tidak anda cuwekin kayak ikan cuwek ajah, jeh!

Begitulah saja kayaknya ya.

Salam makan enak dan sehat,
Ophoeng
BSD City, Tangerang Selatan

http://www.ophoeng.multiply.com

 


--- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, ANDREAS MIHARDJA <mihar...@...> wrote:

Just a note ---- Istlah "Sudah makan?" atau "mari turut makan" mungkin tidak 
berarti jaman sekarang diIndonesia ---- tetapi silahkan bayangkan jaman perang 
sipil dIndonesiadan juga dChina - kalau kita sudah makan berarti kita happy dan 
dpt hidup tenang.

Istilah ini didalam buku sociology mengenai suku² dan bangsa ² Asia terutama 
China, adalah chas dan dianggap sangat penting. ----- Silahkan pelajari 
literatuur yg ditulis oleh non asian - mereka sering kaget dan terpesona dgn 
istilah ini.

Andreas

--- On Wed, 1/6/10, Erik <rsn...@...> wrote:
 
 
From: Erik <rsn...@...>
Subject: [budaya_tionghua] Re: Tua-huan Goreng Garing Masak Kecap. (Was: Ayam 
Arak atau Ayam Wijen?)
To: budaya_tionghua@yahoogroups.com
Date: Wednesday, January 6, 2010, 10:25 PM
 
 
 
Bung King Hian, Bang Ophoeng! Hai, apa kabar! Sudah Minum? (Daripada
sapaannya "Sudah Makan" melulu, sekali-kali ganti pake "Sudah Minum"
boleh khan!!?)
 
Btw, warung Ko Aay yang nyediaan "Tuahuan Goreng Mentega" di Bogor
persisnya di mana? David tahu gak alamat itu??
 
 
 
Salam,
 
Erik
 
 ----------------------------------------------------------------------
----------------------------------------------
--- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, King Hian <king_hian@> wrote:

Bang Ophoeng,

Kalo tahu bang Ophoeng doyan tuahuan goreng, waktu itu saya ajak
cobain "tuahuan goreng mentega" di warungnya ko Aay di Bogor.

Ususnya garing seperti kerupuk, dan garingnya ini tahan sampai
keesokan harinya.

kiongchiu,
KH


Kirim email ke