Saya sempat beberapa kali volunteer jadi precinct officer, itu petugas di TPS, 
termasuk waktu 2016, jelas terlihat di kertas suara ada nama2 Hillary Clinton, 
Donald Trump, Gary Johnson, Jill Stein sebagai calon presiden.
Bahkan calon presiden dari Socialist Party juga ada.
Di US biarpun benar pada faktanya 2 partai itu yang dominan, tetapi sebenarnya 
tidak ada presidential threshold seperti Indonesia. Setiap partai boleh dan 
bisa saja mencalonkan presiden, senator, representative, bahkan tanpa 
partai-pun (independen) juga bisa. Perkara terpilih atau tidak lain cerita, 
tergantung pemilih.


---In GELORA45@yahoogroups.com, <ajegilelu@...> wrote :


Sebagai orang yang paham hukum tatanegara Mahfud ngerti juga politik praktis, 
apalagi pernah masuk kabinet. Jadi, dia menggalang dukungan (al. lewat PSI) dan 
lumayan berhasil, makanya di hari pengumuman itu bocoran sudah menyebar luas 
tapi berakhir antiklimaks.. 

Bisa jadi Chan memang tidak tahu berapa partai yang ikut pemilu di AS, karena 
klimaksnya tinggal partai gajah vs partai keledai lagi yang berebut kursi. 
Lumrah saja kalau orang tidak tahu ada berapa partai sebenarnya di AS. Sama 
juga orang tidak bisa dibilang ngaco hanya karena tidak tahu di RRC sebenarnya 
ada banyak partai selain PKC.


--- jonathangoeij@... wrote:
Apa benar Romo Magnis mengatakan "Pemilu bukan memilih yang terbaik, tapi untuk 
mencegah yang terjelek berkuasa!"  kok rasanya meragukan sekali.
Tentang pemilihan Ma'ruf dan kedepaknya Mahfud saya kira hal yg menunjukkan 
betapa pragmatis nya Jokowi dgn oerientasi mempertahankan kekuasaan selain itu 
si Mahfud tidak ada dukungan dari siapa2 shg dimata Jokowi dianggap tidak 
bermanfaat.
Maksud saya ngaco itu pandangan si Chan calon presiden di US hanya demokrat dan 
republik saja, th 2016 selain demokrat dan republik juga ada calon presiden 
dari Libertarian Party dan Green Party, th 2012 bahkan lebih banyak lagi selain 
ke 4 partai itu juga Constitution Party dan Justice Party. Calon presiden 
Communist Party pun juga  juga terkadang ikut kontes. Tanpa partai pun juga 
boleh mencalonkan diri.
--- ajegilelu@... wrote :
Frans Magnis itu nyontek pendukung Democrat yang panik lantaran Sanders mundur 
dari pencapresan. Pendukung takut ini bikin orang bergairah untuk 
abstain/golput. Makanya, Mahfud pun ikut-ikutan bilang jangan golput supaya 
lawan terjegal (seolah semua adalah kawan Joko).
Dan, terbukti, dia dijegal, didepak, dibuang, dari kursi cawapres.. 
Nasib tidak berpihak padanya.
--- jonathangoeij@... wrote:
Ngaco!!! th 2016 tempo hari AS ada 4 calon presiden:
---
2016 Presidential Election
| Candidate | Party | Popular Votes |
| Donald J. Trump | Republican | 62,980,160 |
| Hillary R. Clinton | Democratic | 65,845,063 |
| Gary Johnson | Libertarian | 4,488,931 |
| Jill Stein | Green | 1,457,050 |



--- SADAR@.... wrote :
Ooouuh, rupanya seruan Romo Magnis: "Pemilu bukan memilih yang terbaik, tapi 
untuk mencegah yang terjelek berkuasa!" dan pemikiran terbalik macam ini juga 
terjadi di pemilu AS, ... karena capres yang keluar sama-sama dianggap TIDAK 
memadai, bukan menjadi pilihan yang terbaik! Masalahnya pada sistem pencalonan 
atau memang tidak ada tokoh berkwalitas?
AS gunakan sistem pencalonan keluar dari 2 Partai yg ada, Republik dan 
Demokrat, dan kenyataan saling bergantian dan tidak banyak beda. Indonesia yang 
gunakan sistem multi partai, sampai belasan partai, agar tidak terlalu banyak 
capres yg keluar gunakan ambang-batas 20% dari jumlahn suara pemilih. Ternyata 
tidak satu parpol pun yg punya syarat mengajukan capresnya sendiri, jadi harus 
berkoalisi dengan parpol-parpol lain! Tak terhindar terjadi dagang-sapi untuk 
menggabungkan diri dalam menampilkan capres-cawapres yg bisa disetujui bersama. 
Dan karena setiap parpol mempunyai perhitungan kepentingan masing-masing, akan 
SULIT menampilkan capres yg betul-betul dari perhitungan paling baik, paling 
berkemampuan memimpin. Bahkan perhitungan elektabilitas seseorang lah yang 
diutamakan untuk bisa memenangkan pilpres! Dengan sendirinya jadi SULIT bisa 
dikatakan memilih yang terbaik, ...!
Belum lagi dilihat dari sudut kekuatan kiri, kekuatan rakyat yang masih sangat, 
sangat lemah dan belum bisa menampilkan capresnya sendiri, ... lebih-lebih 
jangan ikutan GOLPUT agar yang lebih jelek, yang lebih jahat berhasil berkuasa!
'nesare' 於 6/3/2019 3:44 寫道:
Iya lagi jalan2 sama temen dari eropa lihat2 negara besar yg namanya amerika. 
Sebagai negara demokratis amerika itu golputnya relatif gede juga. Kalau gak 
salah yg nyolok antara 50% - 63%, jadi golputnya ya antara 37% - 50%. Golput 
ini dari dulunya memang tinggi sekali sejak awal 1900an/abad 20.



Kalau dulu memang amerika belum maju kan, tetapi sekarang setelah PD2 kan sudah 
jadi satu2nya superpower golputnya juga tetap sekitar 40% an.



Yg lebih parah itu midterm election nya yaitu voting level state buat milih 
representative/anggota congress, gubernur, walikota, camat s/d county 
sheriff/polisi. Golputnya midterm election ini jauh lebih tinggi lagi. Sejak 
dulu awal 1900 an voters utk midterm election ini gak pernah menyentuh 50%, 
artinya golputnya melebihi 60%an.



Hanya saja 2018 midterm election luar biasa, yg nyolok naik parah hampir 50%. 
Ini jelas karena faktor Trump.



Diindonesia golput sekitar 30% utk 2014, ini termasuk orang2 yang gak masuk 
dalam DPT/pemilih tetap dan tidak mendapat undangan untuk memberi hak suara. 
Saya tdk mencari data tahun2 sebelumnya.



Kesimpulannya: negara yg katanya dedongkot demokrasi saja golputnya sejak awal 
1900an rata rata 50%an – jauh lebih tinggi drpd golput RI yg 30% utk 2014.



Bayangkan gimana susahnya rakyat Indonesia pergi ke TPS TPS dan bandingkan 
dengan rakyat amerika yg TPSnya paling jauh berjarak 5 km.



Akhir kata noam Chomsky yg dulunya paling suka absen/bolos sekolah tetapi kalau 
ngomong ttg voting/pemilu, saya rasa dia gak mau jadi golput. Dia pilih Green 
utk pemilu 2008 ketika masih di Massachusetts/blue state/partai democrat 
dominan. Tetapi dia bilang kalau dia di swing state, dia akan pilih Obama 
dengan alasan supaya yg jahat jangan menang. Inilah pendapat noam Chomsky 
sampai sekarang: tidak golput karena dengan golput dia beralasan yg jahat bisa 
menang. Ini sejalan dgn pendapat magnis Susilo juga begini.



Persoalan pemilu di Indonesia bukan golput yg saya lihat. Pemilih masih kurang 
mengerti, artinya pelajaran politik masih perlu digalakkan.

Masih banyak rakyat yg nyoblos ikut2an keluarga, temen, tetua adat, tetua agama 
dll.

Rakyat Indonesia itu belum melek matanya dengan arti: demokrasi, trias 
politika, HAM, civil society dll. Rakyat Indonesia masih sibuk ngurusin cari 
duit buat menjalankan dapur utk masak dan beli obat.



Nesare

From: Chan CT


Hahahaa, ... sudah cukup lama tidak bersuara, kemana saja bung Nesare?

Tapi bung Nesare, apakah setiap pemilu di negara-negara maju, termasuk AS bisa 
dikatakan peserta pemilu bisa mencapai lebih 80%? Barangkali tidak pernah 
menyundul 70%, ya? Kalau benar begitu, artinya dalam kenyataan pemenang nya 
juga tidak pernah melebihi yg golput, ... apapun alasan jadi golput.

Jadi, .... setelah langsungkan pemilu, pilpres-pileg begitu rumit dan 
menghabiskan begitu banyak uang tetap TIDAK menjamin bisa keluarkan wakil 
RAKYAT yg dianggap paling baik, ideal dan berkemampuan! Atau setidaknya sesuai 
dengan harapan mayoritas rakyat, ... Dan, menjadi lebih konyol, pilpres 
langsung seperti inilah yg diagungkan sebagai DEMOKRATIS! Lalu?

Benar cara demokratis yg dijalankan Tiongkok sekarang ini. Demokrasi dijalankan 
lewat perwakilan saja, ... Presiden keluar melalui Kongres Rakyat Nasional dan 
Ketua Partai lewat Kongres Partai, hanya pemilihan LURAH didesa saja dilakukan 
pemilihan langsung oleh rakyat, ... memberi kesempatan rakyat memilih secara 
langsung pemimpinnya yg mereka kenal betul! Itupun dalam praktek, masih bisa 
terjadi politik-uang, terjadi lurah raja-perang yg merugikan warga desa! 
Biarlah warga desa itu merasakan akibat dari kesalahan dalam memilih 
pimpinannya dan harus bisa menggunakan mekanis yg berlaku untuk menggulingkan 
dan mengganti dengan pimpinan yg lebih baik, ...

Mungkin ini yang dimaksudkan kran demokrasi dibuka lebih besar seiring dengan 
tingkat kesadaran rakyat, ... dan penegakkan HUKUM yg baik saja. Kenyataan, 
demokrasi menjadi rusak dan sangat merugikan rakyat sendiri begitu dijalankan 
dimana kesadaran masyarakat masih terbelakang dan HUKUM belum ditegakkan baik, 
mudah berubah menjadi anarkis, brutal, ...

'nesare' nesare1@.... 於 5/3/2019 6:57 寫道:

Sudah dikasih tahu abstain itu belum tentu sama dengan golput.

Ada orang sengaja tidak memilih.

Ada orang tidak sengaja tidak memilih.

ada orang yg tidak pusing memilih atau tidak memilih.

Ente kan seakan2 hanya berpikiran 1 yaitu: golput = orang sengaja dan sadar utk 
tidak memilih.

Orang Indonesia itu tidak memilih krn gak pusing, gak ngerti politik, 
jauh/kurang transportasi serta sibuk cari duit utk mengurus perut. Ini golput 
Indonesia yg paling banyak.

Ente berasumsi rakyat Indonesia sudah melek politik shg golput adalah kesadaran 
politik mereka.

Sedangkan kenyataannya laen bahwa rakyat Indonesia gak pusing sama pemilu2an.

Nesare





From: ajeg 

Coba saja periksa mana ada kepala daerah maupun presiden yang perolehan 
suaranya melebihi jumlah "suara rusak" alias abstain bin golput. Tetapi suara 
golput sebanyak itu kan tidak dijadikan faktor dalam penghitungan. Suara golput 
adalah suara Rakyat juga, tapi tidak pernah diakui sebagai kekuatan perlawanan 
Rakyat. Beda dengan suara pemilih paslon yang disahkan secara legal sebagai 
kekuatan pendukung.

Itulah persoalan imperialis-liberal-feodal, kekuatan hanya diukur dari 
menang-menangan kuantitas dengan besaran jumlah yang diatur sedemikian rupa 
sehingga menguntungkan dirinya secara legal, secara de yure, bukan de facto. 
Makanya kaum liberal pun sesuka-sukanya melibas perintah junjungan untuk 
berpegang pada kebenaran sesuai fakta yang ada, hahaha....

--- SADAR@... wrote:

Juga TIDAK BEGITU!

Masalahnya, kekuatan rakyat masih sangat lemah sampai sekarang ini, jangankan 
membentuk pemerintah RAKYAT dalam arti sesungguhnya, lha sampai sekarang BELUM 
juga berkemampuan menampilkan capres nya SENDIRI, ...!





ajeg 於 3/3/2019 14:22 寫道:

Jadi, menurut Anda, karena Rakyat masih lemah maka penguasa cukup 
ongkang-ongkang saja nonton Rakyat memperjuangkan sendiri hak-haknya atas 
keadilan dan kehidupan layak. Gitu kan? Ibarat orangtua / pengasuh nontoni bayi 
meraung-raung dan membiarkannya mengatasi sendiri persoalan hidupnya (lapar, 
haus, popok basah dsb). Lantas, Rakyat yang kuat (bayi yang sudah dewasa) 
disuruh bekerja cari duit untuk membiayai keperluan penguasa (menjamin 
kehidupan ortu).


Dengan pendapat seperti itu saya kira posisi Anda semakin terang. Orang buta 
huruf juga tahu kekuasaan (ortu) macam apa yang hanya mau berpihak kepada yang 
berduit.




--- SADAR@... wrote:

Lho, .... nampaknya bung tidak mengikuti dengan baik diskusi saya dengan 
Tatiana ini! Yang saya analogikan "kekuatan rakyat" masih sangat kecil itu 
seperti bayi, yang kami persoalkan saat "kekuatan Rakyat" masih sangat kecil, 
bagaimana berjuang menuntut keadilan dan perbaiki kehidupannya, jadi yang 
dipermasalahkan bukan bagaimana menuntut pemerintah mengurus/merawat "bayi"!




ajeg 於 2/3/2019 15:22 寫道:

Jadi, seperti apa konkritnya perjuangan yang musti dilakukan pemerintah dalam 
mengurus/merawat sang "bayi" supaya tumbuh sehat dan cerdas (selain menyuruh 
berebut makan akar-akaran)?

Bagaimanapun, "lapar" pada bayi sudah pastilah bukan cuma seukuran perut, tapi 
juga kepala (pengetahuan) dan sekujur tubuh (gerak, aktivitas). Singkatnya, 
bagaimana pemerintah menjamin tercapainya "kenyang" yang bermanfaat bagi 
pertumbuhan dan perkembangan kognitif-psikomotorik sang "bayi"? Bolehlah si 
pemerintah berpegangan pada garis dimitrov misalnya, atau apalah terserah.

-------- 轉寄郵件 --------

從: ChanCT

Karena PERUT LAPAAAAR itulah PERJUANGAN harus diteruuuskan!!! Dan, bagi seorang 
CERDAS-PANDAI tentunya bisa menemukan dengan tepat apa kiranya yang BISA 
dicapai dalam kondisi sekarang. Sebelum bisa dapatkan sepiring nasi, kalau 
kemungkinan bisa dapatkan singkong, ubi-jalar pun harus direbut dahulu, ....!

Bangunlah dari mimpi-indahmu menyantap soto-ayam didalam tempurung itu!




Tatiana Lukman 於 1/3/2019 21:08 寫道:

Ya jelas goblok bikin analogi gerakan rakyat dengan bayi, dan yang lebih 
penting lagi dari pandangan remo yang selalu menjajakan kolaborasi kelas untuk 
cium pantat penguasa dan imperialis. Orang remo melihat kegagalan masa lalu 
sebagai alasan untuk menyerah dan tidak melawan penindasan dan penghisapan. 
Sebaliknya rakyat melihat kegagalan untuk membangun kembali kekuatan dengan 
mengatasi kesalahan dan kelemahan untuk tidak tersandung batu yang sama untuk 
kedua kalinya. Hanya rakyat yang tahu bagaimana membangun kekuatannya. 
Orang-orang Remo semacam Chan tidak akan pernah mengerti jalan yang diambli 
rakyat. Bisanya hanya mencibir dan menghina!! 

Siapa yang tidak tahu rakyat LAPAR!! Tapi rakyat yang sudah sadar, dengan perut 
lapar itulah mereka berjuang!! Kalau perut sudah kenyang, kantong gendut, hidup 
mapan, seperti tuan-tuan kapitalis temannya Chan, justru merekalah yang akan 
menghalangi perjuangannya orang-orang yang LAPAR!!!

Kirim email ke