Menurut hemat saya kelemahan dari sistim PSC ini adalah adanya "cost recovery", karena ini adalah sumber korupsi, dan menjadikan perusahaan cenderung tidak efficient. Perusahaan PSC akan berusaha membebankan segala cost (bahkan mungkin cost yang pegawai mereka yang tidak secara langsung bekerja untuk contract area) pada cost recovery, walaupun ada kontrol dari Badan Migas (tapi kan bisa diajak jalan-jalan ke luar negeri). termasuk sumbangan, misalnya ke Perguruan Tinggi . Sehingga pada akhirnya sumbangan itu seolah-olah diberikan si oil company (dengan upacara dsb) tetapi sebetulnya pemerintah yang memberikan. Setiap kali diminta sumbangan untuk aktivitas ilmiah /research mereka bilang sih setuju saja kalau BPPK Pertamina (dulu Badan Pelaksana Migas, sekarang) setuju. Kalau tidak disetujui seolah-olah BPPK yang menghalang-halangi, kalau disetujui si PSC itu yang dapat nama menyumbang. Kalau saya boleh sedikit suudzon soal expat saja. Kalau tidak ada cost recovery mungkin PSC akan mengurangi mereka, karena tentu geologist lokal dengan kwalifikasi yang sama akan jauh lebih murah. Tetapi dengan adanya cost recovery mereka akan memasukkan konco-konco karena tokh akan dibebankan pada cost recovery, walaupun soal ini diatur oleh BP Migas, tapi kan bisa diatur. Ini suudzon saja. Suudzon lain adalah bahwa adanya sistim cost recovery akan mendorong pula sedikit mungkin dilakukannya investasi, segala sesuatu seperti mobil, peralatan, bahkan storage tank, lebih baik menyewa daripada membeli. Ini juga sumber KKN. Saya kira sebaiknya cost recovery itu dihilangkan saja seperti dulu zaman Ibnu Sutowo, tetapi splitnya dinaikkan seperti dulu 40-60, tetapi semua cost ditanggung oleh PSC, dan pemerintah terima 60% clean. Memang sebaiknya split ini dikaitkan dengan harga minyak international, sehingga mereka tidak mendapatkan wind-fall profit terlalu besar. Jadi misalnya kalau harga minyak naik sampai 30 USD/barrel, splitnya diturunkan menjadi 20-80. Adanya cost recovery itu dalihnya adalah supaya Pemerintah (dulu cq Pertamina) ikut dalam management, tetapi sebenarnya akibat adanya kenaikan minyak yang tiba-tiba pada tahun 1973, sehingga PSC mendapatkan windfall profit yang menurut Pemerintah (menteri pertambangan Sadli pada waktu) terlalu besar, sehingga kemudian Pemerintah secara sepihak merubah split menjadi 15-85. PSC kemudian protest semua karena merubah kontrak secara sepihak; dan pemerintah mundur dengan menawarkan adanya cost recovery ini yang diterima dengan baik oleh para PSC. Tetapi kemudian cost recovery ini dimanfaatkan betul oleh PSC, sehingga adakalanya cost recovery ini begitu besar menggerogoti bagian pemerintah yang 60%, bahkan pemeritah tidak dapat apa-apa. Makanya kemudian diakali dengan adanya FTP (First Trench Petroleum), sehingga pemerintah tidak kosong sama sekali. Saya kira split 15-85 ini sangat menyesatkan untuk orang di luar industri perminyakan. Misalnya Amien Rais pernah membandingkan split 15-85 sistim PSC dengan royalty yang diterima pemerintah dari Kontrak Karya dibidang pertambangan yang saya kira hanya sekitar 5%, tanpa menyadari adanya cost recovery yang selain bisa besar sekali juga menjadi sumber KKN. Saya kira sistim PSC itu dapat diperbaiki dengan menghilangkan adanya cost recovery, dan split-nya disesuaikan dengan harga minyak di pasaran. Akibatnya tentu BP Migas tidak akan terlalu memerlukan terlalu banyak kontrol. Tolong pendapat saya ini dikritik, karena kebanyakan pendapat ini bersifat suudzon saja, wallahu alam kebenarannya bagaimana. Wassalam RPK ----- Original Message ----- From: <[EMAIL PROTECTED]> To: <[EMAIL PROTECTED]> Sent: Wednesday, February 12, 2003 9:36 PM Subject: Re: [iagi-net-l] sistem psc di indonesia
> > kira2 kalau dilihat sistem yang ada sekarang.. > sebetulnya sistem psc kita itu lsudah baik atau masih kurang baik? (both > side loh) > utk expat.. penilaian kebutuhan akan mereka itu dilakukan oleh depnaker... > apakah depnaker yang menilai tersebut tau tentang batasan2 bahwa pekerjaan > itu tidak dapat dilakukan oleh orang indonesia?... > > Best Regards > Ujay > > > > --------------------------------------------------------------------- > To unsubscribe, e-mail: [EMAIL PROTECTED] > Visit IAGI Website: http://iagi.or.id > IAGI-net Archive 1: http://www.mail-archive.com/iagi-net%40iagi.or.id/ > IAGI-net Archive 2: http://groups.yahoo.com/group/iagi > > Komisi Sedimentologi (FOSI) : F. Hasan Sidi([EMAIL PROTECTED])-http://fosi.iagi.or.id > Komisi SDM/Pendidikan : Edy Sunardi([EMAIL PROTECTED]) > Komisi Karst : Hanang Samodra([EMAIL PROTECTED]) > Komisi Sertifikasi : M. Suryowibowo([EMAIL PROTECTED]) > Komisi OTODA : Ridwan Djamaluddin([EMAIL PROTECTED] atau [EMAIL PROTECTED]), Arif Zardi Dahlius([EMAIL PROTECTED]) > Komisi Database Geologi : Aria A. Mulhadiono([EMAIL PROTECTED]) > --------------------------------------------------------------------- > --------------------------------------------------------------------- To unsubscribe, e-mail: [EMAIL PROTECTED] Visit IAGI Website: http://iagi.or.id IAGI-net Archive 1: http://www.mail-archive.com/iagi-net%40iagi.or.id/ IAGI-net Archive 2: http://groups.yahoo.com/group/iagi Komisi Sedimentologi (FOSI) : F. Hasan Sidi([EMAIL PROTECTED])-http://fosi.iagi.or.id Komisi SDM/Pendidikan : Edy Sunardi([EMAIL PROTECTED]) Komisi Karst : Hanang Samodra([EMAIL PROTECTED]) Komisi Sertifikasi : M. Suryowibowo([EMAIL PROTECTED]) Komisi OTODA : Ridwan Djamaluddin([EMAIL PROTECTED] atau [EMAIL PROTECTED]), Arif Zardi Dahlius([EMAIL PROTECTED]) Komisi Database Geologi : Aria A. Mulhadiono([EMAIL PROTECTED]) ---------------------------------------------------------------------