Jitu sekali pak Koesoema (pengalaman pribadi waktu di Humpuss pak?).
Hal lain yang harus diwaspadai adalah proyek TSA (Technical Service from
Abroad). Biayanya biasanya besar sekali, sangat kolusif nuansanya, data kita
dikerjakan di pusat riset mereka, atau mereka datangkan konsultan seabreg ke
Indonesia.Seakan-akan  di Indonesia tak ada ahlinya atau fasilitas utk
mengerjakan proyek tsb.Bayangkan berapa banyak devisa negara kita yg pindah
ke negara mereka.
Belum lagi kalau perusahaan tsb punya PSC area yg sudah produksi dan yang
masih eksporasi, biasanya beban biaya di PSC eksplorasi secara terselubung
dimasukan ke biaya PSC yg sudah tahap produksi karena adanya mekanisme cost
recovery tadi. Sehingga kalau eksplorasinya gagal sebagian cost nya masih
bisa diselamatkan.
Masalah pekerja expat /RPTKmemang kadang2 bikin geram, diawal tahun 80an
sering sekali pekerja Indonesia di hire hanya untuk mengimbangi jumlah expat
yg didatangkan. Setelah itu jenjang karir diperpanjang,misalnya tadinya dari
Jr. Geologist - Geologist-Sr Geologist dirubah jadi Geologist IV,Geologists
III,II,I, baru ke level Sr Geologist, dengan memasukan 2 level tambahan tsb
jelas memperlambat orang Indonesia menggantikan expat. Di level yg lebih
atas sama saja, anda naik jadi chief geologist diatas anda ada expat manager
geology, anda diangkat jadi exploration manager diatas ada expat sbg VP
exploration. pokoknya diatas langit ada langit.
Dengan dibentuknya BP Migas saya mempunyai optimisme yg besar terhadap
teman2 kita disana utk lebih ketat lagi mengadakan pengawasan dan menelaah
kembali peraturan2 yg akan merugikan negara kita.

wass
Witan
----- Original Message -----
From: "Koesoema" <[EMAIL PROTECTED]>
To: "iagi-net" <[EMAIL PROTECTED]>
Sent: Friday, February 14, 2003 7:57 AM
Subject: Re: [iagi-net-l] sistem psc di indonesia


> Menurut hemat saya kelemahan dari sistim PSC ini adalah adanya "cost
> recovery", karena ini adalah sumber korupsi, dan menjadikan perusahaan
> cenderung tidak efficient. Perusahaan PSC akan berusaha membebankan segala
> cost (bahkan mungkin cost yang pegawai mereka yang tidak secara langsung
> bekerja untuk contract area)  pada cost recovery, walaupun ada kontrol
dari
> Badan Migas (tapi kan bisa diajak jalan-jalan ke luar negeri). termasuk
> sumbangan, misalnya ke Perguruan Tinggi . Sehingga pada akhirnya sumbangan
> itu seolah-olah diberikan si oil company (dengan upacara dsb) tetapi
> sebetulnya pemerintah yang memberikan. Setiap kali diminta sumbangan untuk
> aktivitas ilmiah /research mereka bilang sih setuju saja kalau  BPPK
> Pertamina (dulu Badan Pelaksana Migas, sekarang) setuju. Kalau tidak
> disetujui
> seolah-olah BPPK yang menghalang-halangi, kalau disetujui si PSC itu yang
> dapat nama menyumbang.
> Kalau saya boleh sedikit suudzon soal expat saja. Kalau tidak ada cost
> recovery mungkin PSC akan mengurangi mereka, karena tentu geologist lokal
> dengan kwalifikasi yang sama akan jauh lebih murah. Tetapi dengan adanya
> cost recovery mereka akan memasukkan konco-konco karena tokh akan
dibebankan
> pada cost recovery, walaupun soal ini diatur oleh BP Migas, tapi kan bisa
> diatur. Ini suudzon saja. Suudzon lain adalah bahwa adanya sistim cost
> recovery akan mendorong pula sedikit mungkin dilakukannya investasi,
segala
> sesuatu seperti mobil, peralatan, bahkan storage tank, lebih baik menyewa
> daripada membeli. Ini juga sumber KKN.
> Saya kira sebaiknya cost recovery itu dihilangkan saja seperti dulu zaman
> Ibnu Sutowo, tetapi splitnya dinaikkan seperti dulu 40-60, tetapi semua
cost
> ditanggung oleh PSC, dan pemerintah terima 60% clean. Memang sebaiknya
split
> ini dikaitkan dengan harga minyak international, sehingga mereka tidak
> mendapatkan wind-fall profit terlalu besar. Jadi misalnya kalau harga
minyak
> naik sampai 30 USD/barrel, splitnya diturunkan menjadi 20-80.
> Adanya cost recovery itu dalihnya adalah supaya Pemerintah (dulu cq
> Pertamina) ikut dalam management, tetapi sebenarnya akibat adanya kenaikan
> minyak yang tiba-tiba pada tahun 1973, sehingga PSC mendapatkan windfall
> profit yang menurut Pemerintah (menteri pertambangan Sadli pada waktu)
> terlalu besar, sehingga kemudian Pemerintah secara sepihak merubah split
> menjadi 15-85. PSC kemudian protest semua karena merubah kontrak secara
> sepihak; dan pemerintah mundur dengan menawarkan adanya cost recovery ini
> yang diterima dengan baik oleh para PSC. Tetapi kemudian cost recovery ini
> dimanfaatkan betul oleh PSC, sehingga adakalanya cost recovery ini begitu
> besar menggerogoti bagian pemerintah yang 60%, bahkan pemeritah tidak
dapat
> apa-apa. Makanya kemudian diakali dengan adanya FTP (First Trench
> Petroleum), sehingga pemerintah tidak kosong sama sekali.
> Saya kira split 15-85 ini sangat menyesatkan untuk orang di luar industri
> perminyakan. Misalnya Amien Rais pernah membandingkan split 15-85 sistim
PSC
> dengan royalty yang diterima pemerintah dari Kontrak Karya dibidang
> pertambangan yang saya kira hanya sekitar 5%, tanpa menyadari adanya cost
> recovery yang selain bisa besar sekali juga  menjadi sumber KKN.
> Saya kira sistim PSC itu dapat diperbaiki dengan menghilangkan adanya cost
> recovery, dan split-nya disesuaikan dengan harga minyak di pasaran.
> Akibatnya tentu BP Migas tidak akan terlalu memerlukan terlalu banyak
> kontrol.
> Tolong pendapat saya ini dikritik, karena kebanyakan pendapat ini bersifat
> suudzon saja, wallahu alam kebenarannya bagaimana.
> Wassalam
> RPK




---------------------------------------------------------------------
To unsubscribe, e-mail: [EMAIL PROTECTED]
Visit IAGI Website: http://iagi.or.id
IAGI-net Archive 1: http://www.mail-archive.com/iagi-net%40iagi.or.id/
IAGI-net Archive 2: http://groups.yahoo.com/group/iagi

Komisi Sedimentologi (FOSI) : F. Hasan Sidi([EMAIL PROTECTED])-http://fosi.iagi.or.id
Komisi SDM/Pendidikan : Edy Sunardi([EMAIL PROTECTED])
Komisi Karst : Hanang Samodra([EMAIL PROTECTED])
Komisi Sertifikasi : M. Suryowibowo([EMAIL PROTECTED])
Komisi OTODA : Ridwan Djamaluddin([EMAIL PROTECTED] atau [EMAIL PROTECTED]), Arif Zardi 
Dahlius([EMAIL PROTECTED])
Komisi Database Geologi : Aria A. Mulhadiono([EMAIL PROTECTED])
---------------------------------------------------------------------

Kirim email ke