Pak Koesoema Yth,
Dulu sewaktu jadi mudlogger di Natuna, laut Jawa, Kaltim, Irja dll saya
terkagum-kagum akan 'kehebatan' Oil Co. Baru setelah bekerja di Oil Co. saya
prihatin. Ternyata semua 'kehebatan' itu masuk ke dalam biaya operasi,
istilah menterengnya: 'cost revovery', yang akhirnya ditanggung oleh
Republik. Saya lihat 'cost recovery' ini benar-benar 'dimanfaatkan' oleh
para Oil Co. (investor?). Dalam hati saya bertanya: bagaimana caranya
merubah PSC agar Oil Co. ini secara otomatis akan melakukan penghematan
(tanpa pengawasan) karena kalau tidak berhemat keuntungan mereka akan
mengecil. Konon PSC di Malysia ada istilah "revenue over cost" yang
berhubungan dengan split; kalau revenue/cost angkanya besar maka split bagus
(mungkin 80% dan 20% untuk Oil co.) tetapi kalau angkanya kecil (karena cost
tinggi=boros) maka splitnya lain, mungkin 90%-10%. Jadi Oil co. di sana akan
berusaha se-efisien mungkin.
Ada seorang manager expat mengundang dua rekannya dari USA, lalu diberi
titel 'advisor' lumpur pemboran di 'drilling rig' dengan honor yang aduhai
(hampir $1000/hari). Padahal di situ sudah ada seorang 'drilling fluid
engineer' nasional yang handal dengan jam terbang lebih dari 15 tahu
(kenyataannya advisor tidak bekerja, hanya check-check, mengobrol dan
lihat-lihat laporan, saya lihat karena saya wellsite geologistnya). Advisor
ini bekerja 28 hari di Indonesia (kantor/rigsite), lalu cuti 28 hari di
kampungnya. Kalau dua "advisor" ini sempat bekerja selama dua tahun, berapa
ribu dolar uang yang harus dikeluarkan Oil co. untuk membiayai mereka.
Tetapi karena masuk 'cost recovery', masuk ke biaya sumur, akhirnya Republik
lah yang menanggung. Kita tidak bisa menyalahkan advisor tersebut karena
mereka sudah 'mengantongi' ijin kerja yang dikeluarkan oleh BPPKA (waktu
itu), Ditjen Migas dan Depnaker. Masih banyak contoh lainnya yang
berhubungan dengan 'pemanfaatan' cost recovery.
Kalau melihat potensi migas kita begitu besar, mulai dari Aceh, sepanjang
Sumatra bagian timur, laut Jawa, Madura-Kangean, Kaltim, Irja-Salawati,
Natuna dll tentunya kita (segenap Rakyat Indonesia) bisa hidup sejahtera,
tetapi kenyataannya sangat berbeda. Adakah yang salah dalam pengelolaan
migas kita?
Kalau lapangan migas kita ibaratkan kebun mangga yang dikelola oleh Oil co.
pada akhir panen mangga dibagi sesuai dengan perjanjian: Kita mendapat satu
keranjang buah mangga (85%), pemanen/penebas (Oil co.) hanya mendapat satu
bakul (15%), tetapi di atas truk pemanen ada tiga keranjang buah mangga,
pengganti biaya memanen (cost recovery). Tulisan "bagi hasil pertambangan"
di TEMPO 7 Desember 1998 terlampir. Tulisan ini mendapat beberapa tanggapan.
Wassalam,
S.H.

----- Original Message -----
From: Koesoema <[EMAIL PROTECTED]>
To: iagi-net <[EMAIL PROTECTED]>
Sent: Friday, February 14, 2003 7:57 AM
Subject: Re: [iagi-net-l] sistem psc di indonesia


> Menurut hemat saya kelemahan dari sistim PSC ini adalah adanya "cost
> recovery", karena ini adalah sumber korupsi, dan menjadikan perusahaan
> cenderung tidak efficient. Perusahaan PSC akan berusaha membebankan segala
> cost (bahkan mungkin cost yang pegawai mereka yang tidak secara langsung
> bekerja untuk contract area)  pada cost recovery, walaupun ada kontrol
dari
> Badan Migas (tapi kan bisa diajak jalan-jalan ke luar negeri). termasuk
> sumbangan, misalnya ke Perguruan Tinggi . Sehingga pada akhirnya sumbangan
> itu seolah-olah diberikan si oil company (dengan upacara dsb) tetapi
> sebetulnya pemerintah yang memberikan. Setiap kali diminta sumbangan untuk
> aktivitas ilmiah /research mereka bilang sih setuju saja kalau  BPPK
> Pertamina (dulu Badan Pelaksana Migas, sekarang) setuju. Kalau tidak
> disetujui
> seolah-olah BPPK yang menghalang-halangi, kalau disetujui si PSC itu yang
> dapat nama menyumbang.
> Kalau saya boleh sedikit suudzon soal expat saja. Kalau tidak ada cost
> recovery mungkin PSC akan mengurangi mereka, karena tentu geologist lokal
> dengan kwalifikasi yang sama akan jauh lebih murah. Tetapi dengan adanya
> cost recovery mereka akan memasukkan konco-konco karena tokh akan
dibebankan
> pada cost recovery, walaupun soal ini diatur oleh BP Migas, tapi kan bisa
> diatur. Ini suudzon saja. Suudzon lain adalah bahwa adanya sistim cost
> recovery akan mendorong pula sedikit mungkin dilakukannya investasi,
segala
> sesuatu seperti mobil, peralatan, bahkan storage tank, lebih baik menyewa
> daripada membeli. Ini juga sumber KKN.
> Saya kira sebaiknya cost recovery itu dihilangkan saja seperti dulu zaman
> Ibnu Sutowo, tetapi splitnya dinaikkan seperti dulu 40-60, tetapi semua
cost
> ditanggung oleh PSC, dan pemerintah terima 60% clean. Memang sebaiknya
split
> ini dikaitkan dengan harga minyak international, sehingga mereka tidak
> mendapatkan wind-fall profit terlalu besar. Jadi misalnya kalau harga
minyak
> naik sampai 30 USD/barrel, splitnya diturunkan menjadi 20-80.
> Adanya cost recovery itu dalihnya adalah supaya Pemerintah (dulu cq
> Pertamina) ikut dalam management, tetapi sebenarnya akibat adanya kenaikan
> minyak yang tiba-tiba pada tahun 1973, sehingga PSC mendapatkan windfall
> profit yang menurut Pemerintah (menteri pertambangan Sadli pada waktu)
> terlalu besar, sehingga kemudian Pemerintah secara sepihak merubah split
> menjadi 15-85. PSC kemudian protest semua karena merubah kontrak secara
> sepihak; dan pemerintah mundur dengan menawarkan adanya cost recovery ini
> yang diterima dengan baik oleh para PSC. Tetapi kemudian cost recovery ini
> dimanfaatkan betul oleh PSC, sehingga adakalanya cost recovery ini begitu
> besar menggerogoti bagian pemerintah yang 60%, bahkan pemeritah tidak
dapat
> apa-apa. Makanya kemudian diakali dengan adanya FTP (First Trench
> Petroleum), sehingga pemerintah tidak kosong sama sekali.
> Saya kira split 15-85 ini sangat menyesatkan untuk orang di luar industri
> perminyakan. Misalnya Amien Rais pernah membandingkan split 15-85 sistim
PSC
> dengan royalty yang diterima pemerintah dari Kontrak Karya dibidang
> pertambangan yang saya kira hanya sekitar 5%, tanpa menyadari adanya cost

> recovery yang selain bisa besar sekali juga  menjadi sumber KKN.
> Saya kira sistim PSC itu dapat diperbaiki dengan menghilangkan adanya cost
> recovery, dan split-nya disesuaikan dengan harga minyak di pasaran.
> Akibatnya tentu BP Migas tidak akan terlalu memerlukan terlalu banyak
> kontrol.
> Tolong pendapat saya ini dikritik, karena kebanyakan pendapat ini bersifat
> suudzon saja, wallahu alam kebenarannya bagaimana.
> Wassalam
> RPK


---------------------------------------------------------------------
To unsubscribe, e-mail: [EMAIL PROTECTED]
Visit IAGI Website: http://iagi.or.id
IAGI-net Archive 1: http://www.mail-archive.com/iagi-net%40iagi.or.id/
IAGI-net Archive 2: http://groups.yahoo.com/group/iagi

Komisi Sedimentologi (FOSI) : F. Hasan Sidi([EMAIL PROTECTED])-http://fosi.iagi.or.id
Komisi SDM/Pendidikan : Edy Sunardi([EMAIL PROTECTED])
Komisi Karst : Hanang Samodra([EMAIL PROTECTED])
Komisi Sertifikasi : M. Suryowibowo([EMAIL PROTECTED])
Komisi OTODA : Ridwan Djamaluddin([EMAIL PROTECTED] atau [EMAIL PROTECTED]), Arif Zardi 
Dahlius([EMAIL PROTECTED])
Komisi Database Geologi : Aria A. Mulhadiono([EMAIL PROTECTED])
---------------------------------------------------------------------

Kirim email ke