Di Brunei PSC-nya tidak dikenai cost recovery. Split dihitung berdasarkan produksinya saja. Tapi splitnya kalau ngga salah 50-50 ... nah kalau angka ini masuk ke DPR dibandingkan 85:15 (dengan cost recovery), tentunya orang akan dengan mudah melihat mendingan 85:15 utk Indonesia. Tapi banyak orang yang ngga ngerti bahwa ada yg tersembunyi di CR ini. Setahu saya beberapa negara lain yang menggunakan PSC dengan CR ada di Nigeria, Mongolia (maks CR 40%). Vietnam maks 50%. dst.
Sebagai pegawai sebenernya lebih enak kalau non CR. Karena tidak akan mendua dalam memutuskan. Maksudku antara membela perusahaan dengan membela negara ... (he he gue sok nasionalis :). Bagi yg tertarik flow cost di PSC Malay - Indonesia silahkan lihat di : http://www.ccop.or.th/epf/indonesia/indonesia_terms.html utk Indonesia silahkan dibandingkan dengan Malaysia : http://www.ccop.or.th/epf/malaysia/malay_terms.html rdp ----- Original Message ----- From: "Koesoema" <[EMAIL PROTECTED]> > Gaij temen Herman yang USD 1000/day itu di"cost-recovery"kan tidak? > > ----- Original Message ----- > From: "Rovicky Dwi Putrohari" <[EMAIL PROTECTED]> > To: <[EMAIL PROTECTED]> > Sent: Thursday, February 13, 2003 7:57 PM > Subject: Re: [iagi-net-l] sistem psc di indonesia-kebun mangga kita > > > > Apakah salah seandainya biaya seorang engineer bergaji 1000 USD/day > (billing > > charge) ? mohon dibaca jumlah ini adalah "billing charges" bukan gajinya > > looh, karena akan dipotong cem-macem. Katakanlah dia hanya mengantongi 500 > > USD/day, apakah ketinggian ? > > > > Cuman nambah dikit ajah. Semoga kita tidak menyalahkan mereka yg bergaji > > tinggi, barangkali gaji kita yang kerendahan. > > Aku juga tahu ada juga orang Indonesia yg kerja di BSP (temennya Herman) > > mendapatkan lebih dari 1000 USD/hari. Dan itu yang wajar ... > > > > rdp > > > > ----- Original Message ----- > > From: "sugeng.hartono" <[EMAIL PROTECTED]> > > To: <[EMAIL PROTECTED]> > > Sent: Friday, February 14, 2003 12:18 PM > > Subject: Re: [iagi-net-l] sistem psc di indonesia-kebun mangga kita > > > > > > > Pak Koesoema Yth, > > > Dulu sewaktu jadi mudlogger di Natuna, laut Jawa, Kaltim, Irja dll saya > > > terkagum-kagum akan 'kehebatan' Oil Co. Baru setelah bekerja di Oil Co. > > saya > > > prihatin. Ternyata semua 'kehebatan' itu masuk ke dalam biaya operasi, > > > istilah menterengnya: 'cost revovery', yang akhirnya ditanggung oleh > > > Republik. Saya lihat 'cost recovery' ini benar-benar 'dimanfaatkan' oleh > > > para Oil Co. (investor?). Dalam hati saya bertanya: bagaimana caranya > > > merubah PSC agar Oil Co. ini secara otomatis akan melakukan penghematan > > > (tanpa pengawasan) karena kalau tidak berhemat keuntungan mereka akan > > > mengecil. Konon PSC di Malysia ada istilah "revenue over cost" yang > > > berhubungan dengan split; kalau revenue/cost angkanya besar maka split > > bagus > > > (mungkin 80% dan 20% untuk Oil co.) tetapi kalau angkanya kecil (karena > > cost > > > tinggi=boros) maka splitnya lain, mungkin 90%-10%. Jadi Oil co. di sana > > akan > > > berusaha se-efisien mungkin. > > > Ada seorang manager expat mengundang dua rekannya dari USA, lalu diberi > > > titel 'advisor' lumpur pemboran di 'drilling rig' dengan honor yang > aduhai > > > (hampir $1000/hari). Padahal di situ sudah ada seorang 'drilling fluid > > > engineer' nasional yang handal dengan jam terbang lebih dari 15 tahu > > > (kenyataannya advisor tidak bekerja, hanya check-check, mengobrol dan > > > lihat-lihat laporan, saya lihat karena saya wellsite geologistnya). > > Advisor > > > ini bekerja 28 hari di Indonesia (kantor/rigsite), lalu cuti 28 hari di > > > kampungnya. Kalau dua "advisor" ini sempat bekerja selama dua tahun, > > berapa > > > ribu dolar uang yang harus dikeluarkan Oil co. untuk membiayai mereka. > > > Tetapi karena masuk 'cost recovery', masuk ke biaya sumur, akhirnya > > Republik > > > lah yang menanggung. Kita tidak bisa menyalahkan advisor tersebut karena > > > mereka sudah 'mengantongi' ijin kerja yang dikeluarkan oleh BPPKA (waktu > > > itu), Ditjen Migas dan Depnaker. Masih banyak contoh lainnya yang > > > berhubungan dengan 'pemanfaatan' cost recovery. > > > Kalau melihat potensi migas kita begitu besar, mulai dari Aceh, > sepanjang > > > Sumatra bagian timur, laut Jawa, Madura-Kangean, Kaltim, Irja-Salawati, > > > Natuna dll tentunya kita (segenap Rakyat Indonesia) bisa hidup > sejahtera, > > > tetapi kenyataannya sangat berbeda. Adakah yang salah dalam pengelolaan > > > migas kita? > > > Kalau lapangan migas kita ibaratkan kebun mangga yang dikelola oleh Oil > > co. > > > pada akhir panen mangga dibagi sesuai dengan perjanjian: Kita mendapat > > satu > > > keranjang buah mangga (85%), pemanen/penebas (Oil co.) hanya mendapat > satu > > > bakul (15%), tetapi di atas truk pemanen ada tiga keranjang buah mangga, > > > pengganti biaya memanen (cost recovery). Tulisan "bagi hasil > pertambangan" > > > di TEMPO 7 Desember 1998 terlampir. Tulisan ini mendapat beberapa > > tanggapan. > > > Wassalam, > > > S.H. > > > > > > ----- Original Message ----- > > > From: Koesoema <[EMAIL PROTECTED]> > > > To: iagi-net <[EMAIL PROTECTED]> > > > Sent: Friday, February 14, 2003 7:57 AM > > > Subject: Re: [iagi-net-l] sistem psc di indonesia > > > > > > > > > > Menurut hemat saya kelemahan dari sistim PSC ini adalah adanya "cost > > > > recovery", karena ini adalah sumber korupsi, dan menjadikan perusahaan > > > > cenderung tidak efficient. Perusahaan PSC akan berusaha membebankan > > segala > > > > cost (bahkan mungkin cost yang pegawai mereka yang tidak secara > langsung > > > > bekerja untuk contract area) pada cost recovery, walaupun ada kontrol > > > dari > > > > Badan Migas (tapi kan bisa diajak jalan-jalan ke luar negeri). > termasuk > > > > sumbangan, misalnya ke Perguruan Tinggi . Sehingga pada akhirnya > > sumbangan > > > > itu seolah-olah diberikan si oil company (dengan upacara dsb) tetapi > > > > sebetulnya pemerintah yang memberikan. Setiap kali diminta sumbangan > > untuk > > > > aktivitas ilmiah /research mereka bilang sih setuju saja kalau BPPK > > > > Pertamina (dulu Badan Pelaksana Migas, sekarang) setuju. Kalau tidak > > > > disetujui > > > > seolah-olah BPPK yang menghalang-halangi, kalau disetujui si PSC itu > > yang > > > > dapat nama menyumbang. > > > > Kalau saya boleh sedikit suudzon soal expat saja. Kalau tidak ada cost > > > > recovery mungkin PSC akan mengurangi mereka, karena tentu geologist > > lokal > > > > dengan kwalifikasi yang sama akan jauh lebih murah. Tetapi dengan > adanya > > > > cost recovery mereka akan memasukkan konco-konco karena tokh akan > > > dibebankan > > > > pada cost recovery, walaupun soal ini diatur oleh BP Migas, tapi kan > > bisa > > > > diatur. Ini suudzon saja. Suudzon lain adalah bahwa adanya sistim cost > > > > recovery akan mendorong pula sedikit mungkin dilakukannya investasi, > > > segala > > > > sesuatu seperti mobil, peralatan, bahkan storage tank, lebih baik > > menyewa > > > > daripada membeli. Ini juga sumber KKN. > > > > Saya kira sebaiknya cost recovery itu dihilangkan saja seperti dulu > > zaman > > > > Ibnu Sutowo, tetapi splitnya dinaikkan seperti dulu 40-60, tetapi > semua > > > cost > > > > ditanggung oleh PSC, dan pemerintah terima 60% clean. Memang sebaiknya > > > split > > > > ini dikaitkan dengan harga minyak international, sehingga mereka tidak > > > > mendapatkan wind-fall profit terlalu besar. Jadi misalnya kalau harga > > > minyak > > > > naik sampai 30 USD/barrel, splitnya diturunkan menjadi 20-80. > > > > Adanya cost recovery itu dalihnya adalah supaya Pemerintah (dulu cq > > > > Pertamina) ikut dalam management, tetapi sebenarnya akibat adanya > > kenaikan > > > > minyak yang tiba-tiba pada tahun 1973, sehingga PSC mendapatkan > windfall > > > > profit yang menurut Pemerintah (menteri pertambangan Sadli pada waktu) > > > > terlalu besar, sehingga kemudian Pemerintah secara sepihak merubah > split > > > > menjadi 15-85. PSC kemudian protest semua karena merubah kontrak > secara > > > > sepihak; dan pemerintah mundur dengan menawarkan adanya cost recovery > > ini > > > > yang diterima dengan baik oleh para PSC. Tetapi kemudian cost recovery > > ini > > > > dimanfaatkan betul oleh PSC, sehingga adakalanya cost recovery ini > > begitu > > > > besar menggerogoti bagian pemerintah yang 60%, bahkan pemeritah tidak > > > dapat > > > > apa-apa. Makanya kemudian diakali dengan adanya FTP (First Trench > > > > Petroleum), sehingga pemerintah tidak kosong sama sekali. > > > > Saya kira split 15-85 ini sangat menyesatkan untuk orang di luar > > industri > > > > perminyakan. Misalnya Amien Rais pernah membandingkan split 15-85 > sistim > > > PSC > > > > dengan royalty yang diterima pemerintah dari Kontrak Karya dibidang > > > > pertambangan yang saya kira hanya sekitar 5%, tanpa menyadari adanya > > cost > > > > > > > recovery yang selain bisa besar sekali juga menjadi sumber KKN. > > > > Saya kira sistim PSC itu dapat diperbaiki dengan menghilangkan adanya > > cost > > > > recovery, dan split-nya disesuaikan dengan harga minyak di pasaran. > > > > Akibatnya tentu BP Migas tidak akan terlalu memerlukan terlalu banyak > > > > kontrol. > > > > Tolong pendapat saya ini dikritik, karena kebanyakan pendapat ini > > bersifat > > > > suudzon saja, wallahu alam kebenarannya bagaimana. > > > > Wassalam > > > > RPK --------------------------------------------------------------------- To unsubscribe, e-mail: [EMAIL PROTECTED] Visit IAGI Website: http://iagi.or.id IAGI-net Archive 1: http://www.mail-archive.com/iagi-net%40iagi.or.id/ IAGI-net Archive 2: http://groups.yahoo.com/group/iagi Komisi Sedimentologi (FOSI) : F. Hasan Sidi([EMAIL PROTECTED])-http://fosi.iagi.or.id Komisi SDM/Pendidikan : Edy Sunardi([EMAIL PROTECTED]) Komisi Karst : Hanang Samodra([EMAIL PROTECTED]) Komisi Sertifikasi : M. Suryowibowo([EMAIL PROTECTED]) Komisi OTODA : Ridwan Djamaluddin([EMAIL PROTECTED] atau [EMAIL PROTECTED]), Arif Zardi Dahlius([EMAIL PROTECTED]) Komisi Database Geologi : Aria A. Mulhadiono([EMAIL PROTECTED]) ---------------------------------------------------------------------