bana tuh sutan. islam awak adalah ideologi awak, nan idak mamisahkan dunia jo akhirat. Dipakainya hukum Allah utk mengatur urusan publik bukanlah keinginan manusia, baik muhammad maupun (apalagi) kita, itu adalah kehendak Allah, bukankah dalam Al qur-an sangat banyak ayat yang qath`i mengatur urusan-urusan publik? Bukankah Muhammad yg telah dinyatakan Allah sebagai teladan telah banyak mengatur urusan publik? Islam bukan sekedar berisi ritualitas seperti agama lain. Sekularisasi adalah watak dari orang-orang kapitalis, yg dijejalkan ka awak agar semakin jauh awak dari Islam, sahinggo makin lamahlah awak nan Islam ko. Semakin lamah urang-urang Islam maka samakin bakuasolah ide-ide rang kapitalis.
 
-------Original Message-------
 
Date: 24 Juni 2003 17:51:55
Subject: [RantauNet.Com] Syariah atau Fiqih
 
Assalamu'alaikum Ww
 
Sulit saya berkomentar, tentang cerita dari orang yang sudah memandang satu pihak negatif. Saya selama ini sudah sangat sedih, sejak 350 tahun sebelum merdeka, sampai akhir orde baru negara saya sudah dikuasai oleh tirani minoritas. Sampai suatu waktu, untuk bicara Islam saja orang dituduh fanatik (yang berkonotasi negatif), bisa-bisa di Sukabumikan.
 
Kini kami yang mayoritas ingin bicara, ingin memperjuangkan hak, ingin mengatakan bahwa agama kami adalah agama untuk dunia. Agama kami mengatur seluruh segi kehidupan, jadi kami kurang setuju kalau negara dimana kami berada dan ternyata kami mayoritas disini, diatur secara sekuler. Bagi kami setiap tindak tanduk harus dimulai dengan bismilah dan itu adalah ibadah. Setiap detak jantung kami adalah untukNya, itu adalah ibadah kami. Bagaimana kami harus memilah ini urusan dunia, ini urusan akhirat. Ini urusan agama, ini urusan negara. Berat, sungguh berat, maka dengan itulah kami menginginkan negara ini juga diatur menurut perintah Tuhan kami, menurut ajaran kitab kami. Apakah keinginan kami ini salah, apakah keinginan kami ini melanggar HAM?
 
Menurut kami ini adalah hak kami, kami perjuangkan kemerdekaan negara ini dengan Allahu Akbar, berbekal semangat persamaan, untuk mengenyahkan penindasan. Malah pernah dulu di ultimatum, kesepakatan yang telah di ambil dalam sebuah rapat di PPUKI dengan alot, eh diulmatum untuk dianulir oleh kekuatan minoritas, dengan dada lapang para petinggi saat itu merelakan 7 kata "Piagam Jakarta" dibuang demi orang nan bagado saeto dan kalau indak di den aden indak sata.
 
Akankah negeri ini dikuasai terus oleh tirani minoritas, tidak ..... kami berhak bilang tidak. Sebab apa yang kami bilang perlu bagi kami tetap ditentang, termasuk hukum pengadilan agama dulunya.
 
Beginilah pandangan daku yang tipis agama ini, karena agamaku hanya dipelajari diatas buih samudra. Tapi bagi kami setiap tindakan adalah ibadah, jadi kami kurang setuju memisah-misahkan dunia dengan akhirat. Kata syariat kami "tiada akhirat tanpa dunia"
 
Wassalamulaikum Ww
St.P
 

Basri Hasan <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
Walaikumsalam wr. wb.
Mungkin ada baiknya kita renungkan dulu kutipan episode berikut:
-----------------------------------------------------------------------------------
Sepasang orangtua ingin menyekolahkan anaknya, Anto ke sebuah sekolah
favorit. Keluarga ini adalah keluarga Muslim, sedangkan sekolahnya adalah
SMU Kristen. Orangtua Anto dan Anto sendiri tidak keberatan untuk bersekolah
di sana, adanya pelajaran agama yg hanya mengajarkan agama Kristen, tidak
menyurut tekad mereka untuk menempuh pendidikan di situ. Karena mereka yakin
bahwa pelajaran agama Kristen itu, yang hanya ditempuh selama 2 jam
pelajaran (setara dng 90 menit) per minggu tidak akan mempengaruhi apa2
terhadap keimanan Islam anak mereka. Lagipula, kenyataannya memang tidak ada
semacam suatu dokrinisasi di sekolah2 Kristen dlm pelajaran agama tsb.
Materi pelajaran agama Kristen itu lebih berisi pelajaran ttg isi Alkitab,
bukan menyangkut keimanan Kristen selayaknya di sekolah2 seminari/theologia.

Maka berkatalah Anto dan orangtuanya: "Kami tidak keberatan kalau pun harus
ikut pelajaran agama Kristen."

Anehnya, pemerintah turun tangan dan berkata: "Tidak boleh! Anak kalian
harus diajar agama Islam oleh guru yg beragama Islam pula!"

Orangtua Anto: "Tetapi, kami sbg orangtuanya sama sekali tidak keberatan.
Kami pun tempo hari bersekolah di sekolah Kristen, dan kami tetap Islam
sampai detik ini!"

Pemerintah: "Kalau aku bilang, ngakk boleh itu tetap nggak boleh! Anak
kalian harus belajar agama Islam oleh guru yg beragama Islam. Untuk itu kami
akan menyediakan gurunya untuk anak Anda!"

Orangtua Anto: "Tetapi kami orangtuanya, kamilah yg berhak menentukan
pendidikan anak kami sendiri!"

Pemerintah: "Kamu orangtuanya, tetapi kami ini pemerintahmu! Apa kamu mau
melawan pemerintahmu?!"

Anto: "Benar, Tuan Pemerintah, saya sendiri, tidak keberatan kok. Bahkan
saya ingin tau juga, sih macam bagaimana pelajaran agama Kristen itu!"

Pemerintah: "Ini pernyataan sangat berbahaya! Kamu sebagai anak muslim harus
diajar oleh guru yg seagama dgn kamu, dan ajarannya harus agama Islam!"

Anto: "Tetapi saya ini manusia, saya mempunyai hak asasi untuk menentukan
saya ingin belajar apa. Termasuk pelajaran agama!"

Pemerintah: "Mau melawan, ya!? Apakah kamu mau dikenakan sanksi seperti yg
termaktub dalam UU Sisdiknas!"


Seorang murid yg beragama Katholik, Markus, yg mendengar percakapan tsb,
menimpali, "Tuan pemerintah, saya ini Katholik saya tidak keberatan ikut
pelajaran agama Kristen Protestan di sekolah ini. Lagipula antara Katholik
dan protestan ajaran agamanya sebagian besar sama...."

Sambil mendelik matanya Tuan Pemerintah bilang, "Nggak bisa! Kamu itu
Katholik, maka kamu harus ikut pelajaran agama Katholik oleh guru yg seagama
dgn kamu! Mengerti!"

Markus: "Tapi, sama sama sekali tidak keberatan. Orangtua saya juga
sedikitpun tdk keberatan, dan ..."

Pemerintah: "Kamu dan orangtua kamu itu mau apa? Mau melawan pemerintah,
ya!?"


Kemudian datang lagi dua orang murid yg beragama Hindu dan Budha. Ketika
mengutarakan hal yg sama, mereka pun mendapat bentakan yg sama dari Tuan
pemerintah. Intinya dua orang murid ini pun harus diajar oleh guru2 yg
seagama dgn mereka. Tidak perduli mereka keberatan atau tidak.


Setelah didata, ternyata di sekolah Kristen (Protestan) tsb, terdapat 1 org
murid beragama Islam, 1 org murid beragama Katholik, 1 org murid beragama
Budha, dan 1 org murid beragama Hindu. Maka Tuan pemerintah terpaksa
menyediakan 4 orang guru khusus untuk itu. Kemudian datang permasalahan
lain: Pak kepala Sekolah bilang, "Sebelum permasalahan ini muncul saja,
kami, pihak sekolah, sudah kesulitan ruangan kelas. lalu, bagaimana kami
harus menyediakan dan menyesuaikan jadwal pelajaran dan ruang kelas yg
tersedia untuk keempat orang anak ini?"

Dengan enteng Tuan pemerintah bilang, "Itu urusan kamu! Bukan urusan
pemerintah ! Kami 'kan sudah berbaik hati menyediakan guru2 agama yg berbeda
buat sekolah kamu!"

Pak Kepala Sekolah menjawab, "Lho, tetapi yg bikin aturan seperti ini 'kan
Tuan Pemerintah? Bukan kami.!"

Pemerintah: "Ya, tetapi, setidaknya pemerintah telah mengatasi permasalahan
tenaga pengajar pelajaran agama itu, bukan? Mengapa harus ada keberatan
lagi?"

Kepala Sekolah: "Sebenarnya substansi keberatan pihak sekolah Kristen
terhadap RUU Sisdiknas itu bukan pada kemampuan menyediakan guru2 agama,
tetapi, lebih pada kekhawatiran kami bahwa ketentuan tsb akan menghilangkan
ciri khas sekolah kami sebagai sekolah Kristen (juga Katholik). Bukankah
kami tidak memaksa orang lain untuk bersekolah di sekolah kami? Kalau pun
akhirnya RUU menjadi UU, jangan salahkan kami, kalau kami nanti mempersulit
masuknya calon2 murid yg beragama lain di sekolah kami. UU Sisdiknas ini
telah memberi kesan pemerintah mengadu domba rakyatnya sendiri, pemerintah
te lah mengkotak-kotakkan rakyatnya berdasarkan agama. Mengapa kalau selama
ini semuanya sudah berjalan baik, lalu pemerintah muncul dgn UU tsb? Bahkan
kami melihat materi UU Sisdiknas ini malah tidak berusaha mengatur hal2 yg
sebenarnya lebih substansial. Misalnya, nasib guru yg selama ini sering
diabaikan, bagaimana memaksimalkan kualitas pelajaran2 yg diajarkan di
sekolah dan bukan mengutamakan kuantitas seperti selama ini terjadi. Kurang
diperhatikannya kualitas suatu mata pelajaran, dan seolah-olah lebih
mengedepankan kuantitas mata pelajaran, mengakibatkan lulusan2 sekolah2 kita
kebanyakan tak bermutu. Tidak bisa apa2 ketika di hadapkan pada dunia nyata.
Contoh saja, pelajaran bahasa Inggris yg diajarkan sejak SD sampai SMU,
hasilnya sebagian besar peserta didik itu setelah lulus, nggak bisa apa2.
Hanya bisa ngomong "yes - no." Apa yg didapat dari pelajaran bahasa Inggris
selama sekitar 12 tahun itu! Bisa dikatakan: NOL"

Pemerintah: "Lho, lho, kok malah memberi kuliah!? Apakah Anda juga mau
dituduh mau melawan pemerintah dan melanggar UU Sisdiknas!?"

Salam
 
SBN


Do you Yahoo!?
SBC Yahoo! DSL - Now only $29.95 per month!
 
____________________________________________________
  IncrediMail - Email has finally evolved - Click Here

Kirim email ke