Assalamu'alaikum wr. wb.
Salah satu hal menarik dalam Islam
dan kaum Muslim adalah pluralisme. Yakni keragaman pemahaman terhadap
teks-teks agama yang diakibatkan oleh cara menafsirkan teks tersebut.
Keragaman penafsiran muncul disebabkan oleh latar belakang memahami teks
yang bermacam-macam, misalnya disebabkan oleh kedalaman pengetahuan, kondisi
sosial budaya setempat, garis madzhab rujukan, jiwa dari teks itu sendiri dan
sebagainya. Di atas semuanya itu, hal yang perlu diacungi jempol adalah
manakala perbedaan-perbedaan ini direspon dengan kebesaran jiwa masing-masing
pihak dengan mengedepankan penghargaan terhadap pihak lain yang tak sejalan
dengan pemahaman pihaknya. Sesungguhnya isu pluralisme mengandung
pengertian yang merentang sejak pluralitas di kalangan kaum Muslim sendiri dalam
memahami Islam sampai pluralitas keragaman agama di dalam masyarakat luas.
Dalam tulisan ini, pluralisme lebih ditujukan kepada kondisi warna pelangi dalam
memahami Islam terutama pada kajian syari’ah oleh internal kaum Muslim
sendiri.
Bibit-bibit pluralisme dalam menerjemahkan Islam telah nampak
sejak zaman Nabi Muhammad SAW. Tak jarang dua orang atau lebih sahabat mempunyai
pandangan berbeda terhadap satu teks suci wahyu. Misalnya – seperti
diriwayatkan Imam Abu Dawud – dua orang sahabat mempunyai sikap berlainan
sehubungan dengan ibadah shalat saat didapatinya air padahal sebelumnya sudah
ditunaikan dengan bertayammum, karena ketiadaan air waktu itu. Pada
mulanya kedua sahabat tersebut sepakat bahwa pengganti wudlu adalah
bertayammum. Setelah selesai shalat ternyata mereka mendapati air,
perbedaan mulai muncul. Sahabat yang satu berwudlu dan mengulangi
shalatnya, tapi yang lainnya tidak melakukan hal serupa. Kemudian keduanya
melaporkan hal tersebut kepada Nabi SAW. Secara bijak beliau merespon
dengan sikap tidak menyalahkan salah satu pihak tidak pula menyanjung pihak
lainnya. Beliau malah menyebutkan kelebihan masing-masingnya. Yaitu, bagi
yang mengulangi shalat dikatakan telah memperoleh dua keutamaan sedang bagi yang
tidak mengulangi telah berpegang pada sunnah dan shalatnya telah
mencukupi. Di sini kelihatan bahwa tradisi berbeda paham dan saling
menghargai perbedaan tersebut telah demikian dijunjung tinggi sejak awal-awal
kelahiran Islam.
Demikian pula penafsiran bahwa negeri ini adalah
hanya punya kaum Muslimin yang "sepemikiran" saja, kenyataan bahwa orang-orang
PPUPKI itu adalah mereka yang mau kerjasama dengan Jepang yang fasis. Pandangan
Islam sendiri bisa berbeda dalam hal ini, kerjasama dengan kaum
penindas?
Agama kami yang mayoritas? Kami itu yang mana,
karena tidak semua Muslim sependapat syariah itu harus jadi formal legalistik,
banyak eskali yang berpendapat bahwa syariah/fiqih itu harusnya jadi etik Muslim
(yang kenyataan memang belum mampu menjadikan etiknya bicara). Kenapa
ketidakmampuan dalam etik lantas dijadikan motivasi merebut kuasa?
Salam
SBN
----- Original Message -----
Sent: Tuesday, June 24, 2003 3:53
PM
Subject: [RantauNet.Com] Syariah atau
Fiqih
Assalamu'alaikum Ww
Sulit saya berkomentar, tentang cerita dari orang yang sudah memandang
satu pihak negatif. Saya selama ini sudah sangat sedih, sejak 350 tahun
sebelum merdeka, sampai akhir orde baru negara saya sudah dikuasai oleh tirani
minoritas. Sampai suatu waktu, untuk bicara Islam saja orang dituduh fanatik
(yang berkonotasi negatif), bisa-bisa di Sukabumikan.
Kini kami yang mayoritas ingin bicara, ingin memperjuangkan hak, ingin
mengatakan bahwa agama kami adalah agama untuk dunia. Agama kami mengatur
seluruh segi kehidupan, jadi kami kurang setuju kalau negara dimana kami
berada dan ternyata kami mayoritas disini, diatur secara sekuler. Bagi kami
setiap tindak tanduk harus dimulai dengan bismilah dan itu adalah ibadah.
Setiap detak jantung kami adalah untukNya, itu adalah ibadah kami. Bagaimana
kami harus memilah ini urusan dunia, ini urusan akhirat. Ini urusan agama, ini
urusan negara. Berat, sungguh berat, maka dengan itulah kami menginginkan
negara ini juga diatur menurut perintah Tuhan kami, menurut ajaran kitab kami.
Apakah keinginan kami ini salah, apakah keinginan kami ini melanggar
HAM?
Menurut kami ini adalah hak kami, kami perjuangkan kemerdekaan negara ini
dengan Allahu Akbar, berbekal semangat persamaan, untuk mengenyahkan
penindasan. Malah pernah dulu di ultimatum, kesepakatan yang telah di
ambil dalam sebuah rapat di PPUKI dengan alot, eh diulmatum untuk dianulir
oleh kekuatan minoritas, dengan dada lapang para petinggi saat itu merelakan 7
kata "Piagam Jakarta" dibuang demi orang nan bagado saeto dan kalau indak di
den aden indak sata.
Akankah negeri ini dikuasai terus oleh tirani minoritas, tidak ..... kami
berhak bilang tidak. Sebab apa yang kami bilang perlu bagi kami tetap
ditentang, termasuk hukum pengadilan agama dulunya.
Beginilah pandangan daku yang tipis agama ini, karena agamaku hanya
dipelajari diatas buih samudra. Tapi bagi kami setiap tindakan adalah ibadah,
jadi kami kurang setuju memisah-misahkan dunia dengan akhirat. Kata syariat
kami "tiada akhirat tanpa dunia"
Wassalamulaikum Ww
St.P
Basri Hasan <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
Walaikumsalam wr. wb.
Mungkin ada baiknya kita renungkan dulu kutipan
episode berikut:
-----------------------------------------------------------------------------------
Sepasang orangtua ingin menyekolahkan anaknya,
Anto ke sebuah sekolah favorit. Keluarga ini adalah keluarga Muslim,
sedangkan sekolahnya adalah SMU Kristen. Orangtua Anto dan Anto sendiri
tidak keberatan untuk bersekolah di sana, adanya pelajaran agama yg hanya
mengajarkan agama Kristen, tidak menyurut tekad mereka untuk menempuh
pendidikan di situ. Karena mereka yakin bahwa pelajaran agama Kristen
itu, yang hanya ditempuh selama 2 jam pelajaran (setara dng 90 menit) per
minggu tidak akan mempengaruhi apa2 terhadap keimanan Islam anak mereka.
Lagipula, kenyataannya memang tidak ada semacam suatu dokrinisasi di
sekolah2 Kristen dlm pelajaran agama tsb. Materi pelajaran agama Kristen
itu lebih berisi pelajaran ttg isi Alkitab, bukan menyangkut keimanan
Kristen selayaknya di sekolah2 seminari/theologia.
Maka berkatalah
Anto dan orangtuanya: "Kami tidak keberatan kalau pun harus ikut
pelajaran agama Kristen."
Anehnya, pemerintah turun tangan dan
berkata: "Tidak boleh! Anak kalian harus diajar agama Islam oleh guru yg
beragama Islam pula!"
Orangtua Anto: "Tetapi, kami sbg orangtuanya
sama sekali tidak keberatan. Kami pun tempo hari bersekolah di sekolah
Kristen, dan kami tetap Islam sampai detik ini!"
Pemerintah:
"Kalau aku bilang, ngakk boleh itu tetap nggak boleh! Anak kalian harus
belajar agama Islam oleh guru yg beragama Islam. Untuk itu kami akan
menyediakan gurunya untuk anak Anda!"
Orangtua Anto: "Tetapi kami
orangtuanya, kamilah yg berhak menentukan pendidikan anak kami
sendiri!"
Pemerintah: "Kamu orangtuanya, tetapi kami ini
pemerintahmu! Apa kamu mau melawan pemerintahmu?!"
Anto: "Benar,
Tuan Pemerintah, saya sendiri, tidak keberatan kok. Bahkan saya ingin tau
juga, sih macam bagaimana pelajaran agama Kristen itu!"
Pemerintah:
"Ini pernyataan sangat berbahaya! Kamu sebagai anak muslim harus diajar
oleh guru yg seagama dgn kamu, dan ajarannya harus agama
Islam!"
Anto: "Tetapi saya ini manusia, saya mempunyai hak asasi
untuk menentukan saya ingin belajar apa. Termasuk pelajaran
agama!"
Pemerintah: "Mau melawan, ya!? Apakah kamu mau dikenakan
sanksi seperti yg termaktub dalam UU Sisdiknas!"
Seorang murid
yg beragama Katholik, Markus, yg mendengar percakapan tsb, menimpali,
"Tuan pemerintah, saya ini Katholik saya tidak keberatan ikut pelajaran
agama Kristen Protestan di sekolah ini. Lagipula antara Katholik dan
protestan ajaran agamanya sebagian besar sama...."
Sambil mendelik
matanya Tuan Pemerintah bilang, "Nggak bisa! Kamu itu Katholik, maka kamu
harus ikut pelajaran agama Katholik oleh guru yg seagama dgn kamu!
Mengerti!"
Markus: "Tapi, sama sama sekali tidak keberatan. Orangtua
saya juga sedikitpun tdk keberatan, dan ..."
Pemerintah: "Kamu dan
orangtua kamu itu mau apa? Mau melawan
pemerintah, ya!?"
Kemudian datang lagi dua orang murid yg
beragama Hindu dan Budha. Ketika mengutarakan hal yg sama, mereka pun
mendapat bentakan yg sama dari Tuan pemerintah. Intinya dua orang murid
ini pun harus diajar oleh guru2 yg seagama dgn mereka. Tidak perduli
mereka keberatan atau tidak.
Setelah didata, ternyata di sekolah
Kristen (Protestan) tsb, terdapat 1 org murid beragama Islam, 1 org murid
beragama Katholik, 1 org murid beragama Budha, dan 1 org murid beragama
Hindu. Maka Tuan pemerintah terpaksa menyediakan 4 orang guru khusus
untuk itu. Kemudian datang permasalahan lain: Pak kepala Sekolah bilang,
"Sebelum permasalahan ini muncul saja, kami, pihak sekolah, sudah
kesulitan ruangan kelas. lalu, bagaimana kami harus menyediakan dan
menyesuaikan jadwal pelajaran dan ruang kelas yg tersedia untuk keempat
orang anak ini?"
Dengan enteng Tuan pemerintah bilang, "Itu urusan
kamu! Bukan urusan pemerintah! Kami 'kan sudah berbaik hati menyediakan
guru2 agama yg berbeda buat sekolah kamu!"
Pak Kepala Sekolah
menjawab, "Lho, tetapi yg bikin aturan seperti ini 'kan Tuan Pemerintah?
Bukan kami.!"
Pemerintah: "Ya, tetapi, setidaknya pemerintah telah
mengatasi permasalahan tenaga pengajar pelajaran agama itu, bukan?
Mengapa harus ada keberatan lagi?"
Kepala Sekolah: "Sebenarnya
substansi keberatan pihak sekolah Kristen terhadap RUU Sisdiknas itu
bukan pada kemampuan menyediakan guru2 agama, tetapi, lebih pada
kekhawatiran kami bahwa ketentuan tsb akan menghilangkan ciri khas
sekolah kami sebagai sekolah Kristen (juga Katholik). Bukankah kami tidak
memaksa orang lain untuk bersekolah di sekolah kami? Kalau pun akhirnya
RUU menjadi UU, jangan salahkan kami, kalau kami nanti
mempersulit masuknya calon2 murid yg beragama lain di sekolah kami. UU
Sisdiknas ini telah memberi kesan pemerintah mengadu domba rakyatnya
sendiri, pemerintah telah mengkotak-kotakkan rakyatnya berdasarkan agama.
Mengapa kalau selama ini semuanya sudah berjalan baik, lalu pemerintah
muncul dgn UU tsb? Bahkan kami melihat materi UU Sisdiknas ini malah
tidak berusaha mengatur hal2 yg sebenarnya lebih substansial. Misalnya,
nasib guru yg selama ini sering diabaikan, bagaimana memaksimalkan
kualitas pelajaran2 yg diajarkan di sekolah dan bukan mengutamakan
kuantitas seperti selama ini terjadi. Kurang diperhatikannya kualitas
suatu mata pelajaran, dan seolah-olah lebih mengedepankan kuantitas mata
pelajaran, mengakibatkan lulusan2 sekolah2 kita kebanyakan tak bermutu.
Tidak bisa apa2 ketika di hadapkan pada dunia nyata. Contoh saja,
pelajaran bahasa Inggris yg diajarkan sejak SD sampai SMU, hasilnya
sebagian besar peserta didik itu setelah lulus, nggak bisa apa2. Hanya
bisa ngomong "yes - no." Apa yg didapat dari pelajaran bahasa
Inggris selama sekitar 12 tahun itu! Bisa dikatakan:
NOL"
Pemerintah: "Lho, lho, kok malah memberi kuliah!? Apakah Anda
juga mau dituduh mau melawan pemerintah dan melanggar UU
Sisdiknas!?"
Salam
SBN
Do you Yahoo!? SBC
Yahoo! DSL - Now only $29.95 per month!
|