Wassalamualaikum Ww.
 
Betul sekali tidak semua ingin jadi hukum positif. Tapi dapat diingat bahwa diharapkan jadi etika baru, baru diformalkan, apa mungkin? Coba kita melihat sebentar kenegara tetangga yang tadinya juga penuh ke tidak teraturan dan kejorokkan. Tapi kini menampakkan hasilnya. Yaitu Singapora, baa bung Muhamadzen Junaidi. Disana banyak tertulis " menyepah sampah fine $500 ". Juga merokok tidak ditempat yang dibolehkan bisa denda $500. Terakhir, makan permen karet dilarang, melanggar bayar $500. Karena mereka percaya teori 'X-Y" nya Taylor, dimana hanya 5~15% orang yang dapat self driven, dan yang 85~95%nya harus dipaksa atau diawasi.
 
Kalau boleh keutara lagi, Malaysia, yang membuat aturan untuk menyamakan kedudukan dan kemampuan Melayu dalam bersaing. Nyatanya bgm. Alah maju urang tu kini, kenapa? Orang Indonesia sibuk menggali Pancasila sdg orang Malaysia menggali tanah untuk menanam sawit, menggali ilmu spy pintar.
 
Apa masih mungkin kini mengharapkan orang Islam beretika, tanpa ada dorongan yang positif dengan hukum yang jelas dan penuh toleransi? Ingat Islam Indonesia mungkin cuma atau tidak sampai 10% yang berdasar ilmu, yang lain hanya karena, keturunan atau lingkungan dan hanya Islam KTP.
 
Anak kalau tidak dengan nyinyia menyuruh sholat, mungkin mereka tidak sholat, jadi nyinyia itu juga perlu.
 
Saya ingat dikampuang saya dulu, sewaktu habis G30S PKI, indo karuah nan indak pernah tau surau, ikut sholat di surau, takut dituduh PKI. Kan terbukti banyak orang baru bisa melaksanakan sesuatu karena ada yang ditakuti, paling tidak kalau tidak melaksanakan ada sanksi. Allah swt saja memperkenalkan sanksi ini, terhadap suruhan dan larangannya.
 
Jadi sebaiknya ya ada hukum positif yang merujuk ke syara', yang dapat mengarahkan kita untuk mengikuti syara' tersebut. Kalau dibiarkan saja pasar bebas dengan mengatakan semua agama adalah sama, dan membiarkan orang Islam seenak - e dewe. Sedang dipihak lain misionarist gencar dengan program pemurtadan, saya pribadi ya khawatir, nanti cucu atau malah anak kita bisa salah satu yang tidak dapat mendoakan kita, krn berlainan kepercayaan.
 
Menurut saya, juga menurut syara', setiap muslim itu wajib mengikuti syara', saya sangat percaya itu dan selalu berusaha, walau ngak pernah sukses, untuk mencapainya. Sekarang jadi pertanyaan, kenapa kita sebagai seorang muslim menolak kata-kata itu dicantumkan dalam hukum positif negara? Mungkin ada udang dibalik batu.
 
Kenapa harus menjadi motivasi merebut kekuasaan? Disini Islamlah yang mayoritas, logis kalau Islam yang berkuasa, malah kalau yang berkuasa bukan Islam itu yang aneh (Tirani Minoritas). Disamping itu Islam mengajarkan supaya orang Islam mengambil orang Islam sebagai penguasanya (Q: 2:28)
 
Wass. Ww
Nan Pilon

SBN <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
 
Agama kami yang mayoritas? Kami itu yang mana, karena tidak semua Muslim sependapat syariah itu harus jadi formal legalistik, banyak eskali yang berpendapat bahwa syariah/fiqih itu harusnya jadi etik Muslim (yang kenyataan memang belum mampu menjadikan etiknya bicara). Kenapa ketidakmampuan dalam etik lantas dijadikan motivasi merebut kuasa?
 
Salam
 
SBN
 


Do you Yahoo!?
SBC Yahoo! DSL - Now only $29.95 per month!

Kirim email ke