Asaalamu'alaikum wr. wb.

Etika dengan hukum positif, cocok sekali, masalahnya batasan etika yang
mana, oke kalau etik yang manusiawi. Islam yang awalnya sangat manusiawi,
kemudian berubah jadi beringas, silahkan lihat penerapan syariah yang selalu
dimahkotai oleh pemaksaan mode (jilbab), ini contoh etik dalam wacana, nggak
mungkinlah semua orang mau dipaksa berselera sama. Itu kan namanya melebihi
Allah SWT sendiri.

From: Darul Makmur
Apa masih mungkin kini mengharapkan orang Islam beretika, tanpa ada dorongan
yang positif dengan hukum yang jelas dan penuh toleransi? Ingat Islam
Indonesia mungkin cuma atau tidak sampai 10% yang berdasar ilmu, yang lain
hanya karena, keturunan atau lingkungan dan hanya Islam KTP.

<SBN>  Sangat mungkin, karena itu nilai-nilai etik Islam harus digali terus
dan dikembangkan dengan contoh (imamah), bukan dengan paksaan.

Anak kalau tidak dengan nyinyia menyuruh sholat, mungkin mereka tidak
sholat, jadi nyinyia itu juga perlu.
<SBN> Yes, untuak anak-anak.

Saya ingat dikampuang saya dulu, sewaktu habis G30S PKI, indo karuah nan
indak pernah tau surau, ikut sholat di surau, takut dituduh PKI. Kan
terbukti banyak orang baru bisa melaksanakan sesuatu karena ada yang
ditakuti, paling tidak kalau tidak melaksanakan ada sanksi. Allah swt saja
memperkenalkan sanksi ini, terhadap suruhan dan larangannya.

<SBN> Hasilnya kan semua sudah tahu, stigmatisasi PKI tidak menjadikan ummat
Islam lebih baik, dan malahan negara menjadi amburadul dan hampir koit.

Jadi sebaiknya ya ada hukum positif yang merujuk ke syara', yang dapat
mengarahkan kita untuk mengikuti syara' tersebut. Kalau dibiarkan saja pasar
bebas dengan mengatakan semua agama adalah sama, dan membiarkan orang Islam
seenak - e dewe. Sedang dipihak lain misionarist gencar dengan program
pemurtadan, saya pribadi ya khawatir, nanti cucu atau malah anak kita bisa
salah satu yang tidak dapat mendoakan kita, krn berlainan kepercayaan.

<SBN> Merujuk kepada syarak, no problem. Berlainan dengan memaksakan syarak.
Gampangnya kenapa tidak mencontoh Singapore saja

Menurut saya, juga menurut syara', setiap muslim itu wajib mengikuti syara',
saya sangat percaya itu dan selalu berusaha, walau ngak pernah sukses, untuk
mencapainya. Sekarang jadi pertanyaan, kenapa kita sebagai seorang muslim
menolak kata-kata itu dicantumkan dalam hukum positif negara? Mungkin ada
udang dibalik batu.

<SBN> Syarak itukan multi interpretasi alias warna warni, contohnya syarak
syiah (anda mengakui syiah bagian dari Islam bukan?). Pergolakan dan
perubahan dikalangan syiah perlu dijadikan bandingan.

Kenapa harus menjadi motivasi merebut kekuasaan? Disini Islamlah yang
mayoritas, logis kalau Islam yang berkuasa, malah kalau yang berkuasa bukan
Islam itu yang aneh (Tirani Minoritas). Disamping itu Islam mengajarkan
supaya orang Islam mengambil orang Islam sebagai penguasanya (Q: 2:28)

<SBN> Mayoritas dalam pluralitas, tafsiran bisa berbeda dari orang keorang,
dan perlu dilihat ayat lain yang menafikan, matrix memang, tafsiran textual
hanya menghasilkan para teroris sekelas Amrozi dkk. Kalau sudah begitu masih
diklaim Islami?

Salam

SBN

Silahkan ditelaah;

Islamisme dan Krisis

Secara historis, generasi yang paling awal tergugah kesadarannya akan krisis
yang menimpa dan menghimpit umat Islam adalah kalangan terdidik muslim yang
nota bene cukup mendalami legasi Islam, sekaligus berkesempatan mengintip
peradaban lain (Barat). Di antara mereka itu, sebutlah nama-nama semisal
Al-Afghani (pada lapangan politik) yang mengusung jargon "muwajahat al-isti'
mâr min al-khârij wa al-istibdâd fi al-dâkhil" (menentang imprealisme dari
luar dan depotisme di dalam); Muhammad Abduh (di lapangan pendidikan Islam)
dengan gagasan pembaruan pendidikan Islam (tathwîr al-Azhar) dan penyegaran
pemikiran keislaman; dan Al-Thahtâwi yang disebut-sebut sebagai representasi
liberal Islam yang banyak berkiprah memperkenalkan gagasan-gagasan modern
Barat di penghujung abad ke-19. Mereka-mereka ini penting disebut, karena
peran mereka sebagai pelecut kesadaran umat paling awal, ditambah lagi
banyaknya gagasan-gagasan mereka yang diadopsi dunia muslim umumnya.

Dari merekalah tersimpul suatu pertanyaan mendasar: limâdzâ taakkhara
al-muslimûn wa taqaddama ghairuhum, mengapa umat Islam mundur dan Barat
maju?

Kesadaran akan krisis dunia Islam dan pemikiran Islam menjadi penting
setelah mereka. Sejak saat itu, kita mengenal fase keterbangunan ('asr
al-nahdlah). Kesadaran akan krisis telah merangsang timbulnya
gagasan-gagasan tentang reformasi pemikiran keagamaan, bahkan reformasi
agama itu sendiri. Ini disebabkan, selain faktor agama dan pemikiran
keagamaan disinyalir ikut berperan memperkukuh krisis, juga diyakini mampu
dipergunakan untuk menanggulanginya. Masalahnya terletak pada bagaimana
peran dan fungsi agama diposisikan.

Jika generasi awal yang tercerahkan itu menyoroti krisis pada bagian-bagian
parsialnya, kalangan Islamisme yang datang belakangan justeru memandang
krisis secara lebih total dan menyeluruh. Al-Afghani menyoroti krisis secara
spesifik dari sudut tatanan politik yang ada; Abduh menitikberatkan
pendidikan; dan Al-Tahtawi memandang perlunya mengadopsi beberapa sistim
Barat yang diperlukan untuk mengejar ketertinggalan dunia muslim. Tapi,
ideolog Islamisme semisal Sayyid Qutb, lebih jauh dari mereka, menganggap
semua tatanan sudah salah dan semuanya serba krisis. Dia menyoroti krisis
pada semua dimensinya (azmat al-jism kakull). Menurut Sayyid Qutb dan
kalangan Islamisme lainnya, krisis yang sedang terjadi bukan sekedar
pelencengan dari jalur Islam, tapi sudah merupakan kudeta yang menimpa
sendi-sendi kehidupan umat dalam semua aspeknya: budaya, politik, ekonomi,
seni, hukum, pola pikir dan lain-lain. Dengan begitu, kalangan Islamisme
yang belakangn ini, bahkan sampai menyimpulkan bahwa umat Islam masih berada
pada fase Mekkah atau sedang menjalani era jahiliyyah modern, seperti judul
buku Muhammad Qutb, Jâhiliyyat al-Qarn al-Isyrîn (Al-Jursyi, 2000: 35-36).

Pemahaman serupa ini sedikit banyak juga diadopsi beberapa penganut
Islamisme di tanah air. Hizbut Tahrir (partai liberal?) misalnya, dalam
booklet bertajuk "Selamatkan Indonesia dengan Syariat Islam", menyoroti
totalitas krisis yang sedang dialami Indonesia kini. Mereka menanggapi
krisis secara multidimensional, menyeluruh sejak dari krisis ekonomi,
identitas, moral, politik, pendidikan dan lain sebagainya. Pendek kata,
nyaris tak ada tatanan yang masih bisa dibenarkan menurut perspektif Hizbut
Tahrir. Oleh sebab itu, mereka mengajukan solusi yang fundamental dan
integral: menegakkan kembali seluruh tatanan kehidupan masyarakat dengan
syariat Islam. Bisa diprediksi, bahwa Hizbut Tahrir berasumsi bahwa
"ketidakberislaman" itulah pangkal semua krisis.

Problem yang muncul di kalangan Islamisme, justeru terjadi ketika mereka
memandang Islam terpisah dengan realitas sejarah, dan realitas peradaban
kemanusiaan secara keseluruhan. Padahal, Islam tidak pernah memperkenalkan
dirinya dalam kerangka khusus sebagai sistim unik dalam kehidupan sosial
yang lebih unggul, sembari mempertentangkan dan memperbandingkannya dengan
sistim lain secara tegas (Al-Jabiri, 1992: 28-29). Persoalan tidak berhenti
di situ, ketika Islam dipandang sebagai sesuatu yang khas dan terpisah dari
realitas kekinian, dia tidak hanya dituntut untuk mampu menunjukkan tingkat
kecanggihan dan kemampuannya guna bersaing dengan sistim-sistim lainnya,
tapi juga dipaksakan untuk memberikan solusi-solusi kongkrit atas problem
yang tidak selamanya perlu didekati dengan pola pikir Islamisme.

Justeru ketika hendak mengajukan "jawaban" itulah Islamisme nampak tergagap,
meskipun mereka seringkali sangat yakin dengan gagasan-gagasan mereka.
Sayangnya, sampai kini kita belum menyaksikan proyek yang memberikan harapan
yang mampu membuat kita yakin akan gagasan-gagasan Islamisme. Akankah
Islamisme menjadi semacam "radikalisme pelipur lara" --meminjam istilah
Ignas Kleden- masih perlu dibuktikan oleh sejarah.

Gagasan tentang negara Islam, khilafah Islamiyyah, tathbiqus syariah, dan
Islamisasi struktural dan kultural yang disinyalir mampu menjadi solusi atas
krisis, walau sudah menjadi ideologi, masih sangat rapuh bila dipertanyakan
dan diperdebatkan landasan epistimologisnya. Nampaknya, mobilisasi massa
masih menjadi tumpuan kekuatan kalangan Islamisme. Hanya saja, ini dapat
dimengerti karena masyarakat pada umumnya segan berdebat perihal keagaaman,
terlebih bila sudah ditopang dengan teks-teks suci yang dikutip secara
harfiah. Ini juga ditunjang karena faktor masih banyaknya orang yang
memandang agama dan pemikiran keagamaan sebagai bagian yang harus diyakini
saja, bukan dinalar dan diperdebatkan. Dari persoalan pertama ini, kita
tergiring untuk membicarakan bagaimana kalangan Islamisme memandang
teks-teks keagamaan.

Islamisme dan Teks

Persoalan bagaimana memperlakukan teks-teks keagamaan --meminjam istilah dua
buku Al-Qardlâwiy: Kaifa Nataâmal Ma'a Al-Qur'ân dan Ma'a Al-Sunnah-- juga
menjadi permasalahan mendasar di kalangan Islamisme. Tak disangkal lagi,
kalangan Islamisme adalah orang-orang yang mempunyai gairah keislaman yang
tak diragukan lagi. Tingginya gairah keislaman ini, membuat mereka sangat
loyal terhadap teks-teks keagamaan (yang primer adalah Alqur'an, yang
sekunder adalah Sunnah), yang oleh nabi disebut sebagai penuntut agar
umatnya tidak tersesat (lan tadillû abadan). Dapat disaksikan, kalangan
Islamisme adalah kalangan yang sangat kuat berpegang pada teks-teks suci
agama. Secara kategorial, mereka dapat dikatakan sebagai generasi penerus
tradisi mazhab al-nushûshi (mazhab tekstual) dalam Islam, yang sangat
terkesima dan setia dengan teks-teks suci agama.

Kalangan Islamisme yakin bahwa Tuhan tidak mengalfakan satu perkarapun di
dalam teks, kecuali dia bertutur tentangnya (mâ farratnâ fi al-kitâb min
al-syai'). Baik Alquran maupun Sunnah, dianggap tidak hanya memuat
nilai-nilai moral universal, tapi --bagi kalangan ini- bisa menjadi buku
hukum, buku sains dan lain sebagainya. Maka tak heran, kalau kalangan ini
selalu memuat banyak teks suci untuk membahas permasalahan-permasalahan yang
tidak selamanya relevan ditanggapi dengan landasan normatif teks-teks suci
agama.

M. Imarah dalam bukunya Al-Turâts fî Dlau Al-Aql, menyebutkan
tahapan-tahapan mazhab tekstual dalam menanggapi permasalahan-permasalahan
aktual. Pertama-tama mereka mencari rujukan teks-teks Alquran dan Sunnah.
Jika tak ada, mereka beranjak ke fatwa para sahabat. Kalau sahabat tidak
bersepakat dalam suatu perkara, mereka mengambil pendapat yang paling
mendekati isi Alquran dan Sunnnah dari mereka. Kalau "permata" mereka tak
juga ditemukan, mereka mengambil hadits mursal dan hadits dlaîf. Adapun
qiyâs yang menggunakan mekanisme nalar dalam operasionalisasinya, akan
mereka gunakan hanya dalam kondisi emergensi. Bagi kelompok ini, hadits
dlaîf lebih selamat sebagai pegangan ketimbang nalar (Emarah, 1980:
229-230).

Tak ada salahnya setia pada teks-teks suci agama. Hanya saja, kalangan
Islamisme nampaknya lupa, bahwa teks selalu terbatas, sementara kehidupan
manusia berjalan cepat tanpa dapat dikendalikan oleh teks-teks yang tidak
memadai itu. Diperlukan semacam --meminjam istilah Ulil Abshar-Abdalla-
wahyu perogressif untuk dapat menangggapi permasalahan-permasalah aktual dan
kontekstual yang sedang kita hadapi sekarang ini. Kebutuhan itu tidak dapat
terpenuhi sekiranya teks-teks agama dijadikan sesembahan, bukan sebagai
inspirasi yang mengandung nilai-nilai universal yang mungkin relevan untuk
menanggapi permasalahan kontekstual (Al-Baghdadi, 1999: 383).

Sedikit permisalan nampaknya perlu dikemukakan disini. Kalangan Islamisme,
masih saja sibuk membedah wacana-wacana kekinian --contohnya demokrasi dan
hak asasi manusia- dari sudut landasan-landasan normatif tektual agama.
Selalu saja muncul keragu-raguan apakah demokrasi itu halal, mubah, dan bisa
dibenarkan oleh Islam atau sebaliknya. Bahkan pada tingkat yang ekstrim,
kalangan Islamisme menyimpulkan bahwa demokrasi yang saat ini menjadi
dambaan banyak negara muslim, adalah sistim kafir yang tidak bisa dibenarkan
oleh landasan-landasan normatif Islam, sebab dia berasal dari Barat.
Akibatnya, wacana kita menjadi tidak naik kelas, hanya berkutat pada apakah
itu bisa dibenarkan agama atau tidak dengan landasan normatif teks-teks suci
yang terkadang berkesan dipaksakan bisa mengintervensi pembahasan-pembasahan
kekinian.

Adanya jurang pemisah antara teks dengan kenyataaan juga masalah lain yang
tidak disadari kalangan Islamisme. Perlu ditegaskan bahwa, dalam realitas
sejarah, tidak semua persoalan hidup manusia bisa dijawab teks-teks agama.
Persoalan umat manusia, sejak Adam sampai kini, tidak sepenuhnya berjalan
atas landasan tekstual agama. Para pengamat yang jeli melihat adanya
hubungan dialektikal antara teks dengan sejarah (realitas) yang tak jarang
dimenangkan sejarah (Abd. Rasul, 2000: 37).

Ambillah contoh untuk penjelas dialektika teks dan sejarah. Dalam teks-teks
primer dan sekunder Islam, perihal sistim politik tidak dijelaskan secara
terperinci. Diamnya teks ini tentu mempunyai maksud-maksud tertentu.
Sebagian pemikir memandang hal itu memang tidak perlu, karena baik Alquran
maupun nabi sendiri, sadar kalau hal sedemikian selalu tunduk pada realitas
manusia yang berkembang dinamis, progresif dan memerlukan inovasi tiada
henti. Pasca runtuhnya "sistim khilafah" tahun 1924, --sebetulnya
kesultanan-- umat Islam bangun, sadar akan adanya kebutuhan mendesak guna
mencari sistim yang lebih mungkin --sekali lagi, lebih mungkin-- memberikan
kehidupan kenegaraan yang lebih baik dan maju. Dari tumbuhnya kesadaran ini,
gap antara teks dengan konteks tampak semakin menganga.

Teks berbicara tentang negara yang tersusun atas dasar identitas agama
(pembagian muslim dan zimmi, misalnya), konteks menunjukkan negara bangsa
terbangun bukan atas fondasi identitas keagamaan. Teks, oleh kalangan
Islamisme disangka berbicara tentang "hukum Tuhan", "kedaulatan Tuhan",
sementara konteks membutuhkan adanya mekanisme sosial-politik yang lebih
demokratis untuk mewujudkan perangkat hukum yang mengatur kehidupan publik.

Permaslahan yang paling krusial menyangkut teks adalah penggunaan teks-teks
keagamaan untuk mengutuk lawan diskusi mereka dalam tema-tema keagamaan. Ada
kesan, kelangan Islamisme memandang bahwa pandangan pribadinya tentang suatu
persoalan menjadi valid dengan sendirinya bila sudah ditunjang oleh berjibun
teks. Diskusi kemudian seakan digembok "kebenaran mutlak" teks. Kebenaran
mutlak teks ini, kemudian seolah memancarkan kebenaran pengguna teks.
Kebalikannya, yang tidak menggunakan teks, meski lebih masuk akal dalam
pandangan-pandangan keagamaannya, akhirnya berarti menentang teks itu
sendiri. Akal selalu dipertentangkan dengan naql.

Islamisme dan Realitas Kekinian

Kesenjangan antara realitas kekinian dengan masa lampau dalam retorika
keagamaan kalangan Islamisme juga dapat dicermati. Penganut Islamisme,
selalu saja mengidealisaikan masa lampau sembari menyumpah masa kini. Mereka
meletakkan masa lampau sebagai fundamen dan masa kini mesti menuruti masa
lampau itu. Bila masa kini melenceng dari gambaran ideal masa lampau yang
(terlalu) diidealisasikan itu, maka kesimpulannya adalah anomali (inhirâf),
kebodohan (jâhiliyyah) dan kekeliruan (al-dlalâl). Makanya retorika keagaaam
ala salafi ini, menginginkan rekonstruksi masa kini dengan menggunakan photo
copy masa lalu. Nasr Hamid menegaskan bahwa cara berpikir demikian adalah
sebuah mimpi yang mustahil berwujud (hilm mustahîl).

Agaknya, apa yang dikatakan Shorous juga menjadi relevan sebagai kritik atas
watak Islamisme yang terlalu mengidealisasi masa lampau ini. Bagi Shoroush,
keterperosok kita dalam problem keterpautan antara teori dan praktik
keagamaan dewasa ini, juga disebabkan karena secara gradual dan material
kita sudah beranjak menuju zaman modern, sedangkan pemikiran kita tertinggal
di belakang (Soroush, 2002: 77-78). Selain ketertinggalan itu,
ketidakmampuan menetapkan secara jeli prinsip-prinsip hubungan antara masa
kini dan masa lalu secara dialektikal, juga menyebabkan hubungan antar masa
lampau dengan kini seperti teka-teki ayam dan telur. (Abu Zaid, Naqd .,
1995: 157-162).

Pembedaan antara Islam ideal (al-islâm al-namûdzajiy) dengan Islam historis
(al-Islâm fi al-wâqi') bagi kalangan Islamisme menjadi tidak penting sebagai
kategorisasi konseptual guna memahami hakikat masyarakat. Pada akhirnya,
banyak pemikir heran, hanya umat Islam yang sangat bangga dengan masa
lampaunya. Karena kebanggaan yang berlebihan pada masa lampau itu, umat
Islam tidak memiliki masa kini, sekaligus gamang akan masa depan. Pendek
kata, mereka tidak mampu membedakan antara agama dalam kandungan-kandungan
teks orisinal dan fundamentalnya, dengan praktiknya sebagai produk pembumian
teks-teks kandungan wahyu ke dunia nyata dan sejarah.



Wass. Ww
Nan Pilon

SBN <[EMAIL PROTECTED]> wrote:

Agama kami yang mayoritas? Kami itu yang mana, karena tidak semua Muslim
sependapat syariah itu harus jadi formal legalistik, banyak eskali yang
berpendapat bahwa syariah/fiqih itu harusnya jadi etik Muslim (yang
kenyataan memang belum mampu menjadikan etiknya bicara). Kenapa
ketidakmampuan dalam etik lantas dijadikan motivasi merebut kuasa?

Salam

SBN


Do you Yahoo!?
SBC Yahoo! DSL - Now only $29.95 per month!


RantauNet http://www.rantaunet.com
Isikan data keanggotaan anda di http://www.rantaunet.com/daftar.php
-----------------------------------------------

Berhenti menerima RantauNet Mailing List, silahkan ke: 
http://www.rantaunet.com/unsubscribe.php
===============================================

Kirim email ke