Syukur Alhamdulillah, pak Abraham,Alah ambo baco. Insya Allah ka ambo masuakkan 
ka dalam Draft 11 dari Keputusan KKMP, sasudah ambo baliak dari Solok.
Sumago info iko jadi amal ibadah bagi pak Abraham sarato sanak kito dari ITB tu 
handaknyo.
Wassalam,
Saafroedin Bahar(Laki-laki, masuk 73 th, Jakarta) 


--- On Tue, 2/23/10, Abraham Ilyas <abrahamil...@gmail.com> wrote:

From: Abraham Ilyas <abrahamil...@gmail.com>
Subject: Re: [...@ntau-net] Manga musti harus diubah?
To: rantaunet@googlegroups.com
Date: Tuesday, February 23, 2010, 1:45 PM

Pak Saaf Yth, iko tulisan dari seorang mahasiswa ITB nan tadi dihubuangkan 
dengan tanah ulayat (termasuk air !). 

Tulisan iko cuma bbrp kalimatnya nan dibold dan ditimpo warna merah lado, tanpa 
merubah isi. Bisa pulo diklik lansuang di:
http://mit-itb.blogspot.com/2009/06/syariat-islam-dalam-pengelolaan-sumber.html
 
Salam

Abraham Ilyas Lk. 64 th

==============================================================

Dalam pandangan 
Islam, hutan dan barang tambang adalah milik umum yang harus dikelola 
hanya oleh negara dan hasilnya harus dikembalikan kepada rakyat dalam 
bentuk barang yang murah atau subsidi untuk kebutuhan primer, seperti 
pendidikan, kesehatan, dan fasilitas umum. 
Paradigma pengelolaan sumber 
daya alam milik umum yang berbasis swasta atau (corporate based 
management) harus diubah menjadi: pengelolaan 
kepemilikan umum oleh negara (state based 
management) dengan tetap berorientasi pada kelestarian 
sumber daya (sustainable resources principle).


 Pendapat bahwa 
sumber daya alam milik umum harus dikelola negara untuk diberikan 
hasilnya kepada rakyat dikemukakan oleh An-Nabhani berdasarkan pada 
hadis riwayat Imam At-Tirmidzi dari Abyadh bin Hamal. 
Dalam hadis 
tersebut, Abyad diceritakan telah meminta kepada
 Rasul saw. untuk dapat mengelola sebuah tambang 
garam. Rasul saw. meluluskan permintaan itu, tapi segera diingatkan oleh
 seorang sahabat,   

 “Wahai Rasulullah, tahukah engkau, apa yang 
engkau berikan kepadanya? Sesungguhnya engkau telah memberikan sesuatu 
yang bagaikan air mengalir (ma’u al-‘iddu)” Rasulullah kemudian 
bersabda, “Tariklah tambang tersebut darinya”.  


 Ma’u al-‘iddu adalah air yang karena jumlahnya sangat 
banyak digambarkan mengalir terus 
menerus. 

Hadis tersebut 
menyerupakan tambang garam yang kandungannya sangat banyak dengan air 
yang mengalir. 

Sikap pertama 
Rasulullah saw. memberikan tambang garam kepada Abyadh menunjukkan 
kebolehan memberikan tambang garam atau tambang yang lain kepada 
seseorang. 
Akan tetapi, ketika Rasul saw. mengetahui bahwa tambang 
tersebut merupakan tambang yang cukup besar, digambarkan bagaikan air 
yang terus mengalir, Rasul mencabut pemberian 
itu. 
Hal ini karena dengan kandungannya yang sangat besar itu tambang 
tersebut dikategorikan milik umum. Adapun 
semua milik umum tidak boleh dikuasai oleh individu.
 Yang menjadi fokus 
dalam hadis tersebut tentu saja bukan 
“garam”, melainkan tambangnya. Terbukti, ketika Rasul saw. mengetahui 
bahwa tambang garam itu jumlahnya sangat banyak, ia menarik kembali 
pemberian itu. An-Nabhani mengutip ungkapan 
Abu Ubaid yang mengatakan:  

 “Adapun pemberian Nabi saw. kepada Abyadh bin
 Hambal terhadap tambang garam yang terdapat di daerah Ma’rab, kemudian 
beliau mengambilnya kembali dari tangan Abyadh. Sesungguhnya beliau 
mencabutnya semata karena menurut beliau tambang tersebut merupakan 
tanah mati yang dihidupkan oleh Abyadh, lalu dia mengelolanya. Ketika 
Nabi saw. mengetahui bahwa tambang tersebut (laksana) air yang mengalir,
 yang berarti barang tambang tersebut merupakan benda yang tidak pernah 
habis, seperti mata air dan air bor, maka beliau mencabutnya kembali 
karena sunah Rasulullah saw. dalam masalah padang, api, dan air 
menyatakan bahwa semua manusia berserikat dalam masalah tersebut. Untuk 
itu, beliau melarang bagi seseorang untuk memilikinya, sementara yang 
lain tidak dapat memilikinya”.  

 Penarikan kembali 
pemberian Rasul saw. dari Abyadh adalah illat dari larangan sesuatu yang menjadi
 milik umum termasuk dalam hal ini barang tambang yang kandungannya 
sangat banyak untuk 
dimiliki individu. 
Dalam hadis dari  Amru bin Qais lebih 
jelas lagi disebutkan bahwa yang dimaksud 
dengan garam di sini adalah tambang garam atau “ma’danul milhi” (tambang 
garam). 

Adapun hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud, bahwa Rasulullah telah 
memberikan tambang kepada Bilal bin Haris Al-Muzni dari kabilahnya, 
serta hadis yang diriwayatkan oleh Abu Ubaid dalam kitab al-Amwal dari Abi 
Ikrimah 
yang mengatakan, “Rasulullah saw. memberikan sebidang tanah ini
 kepada Bilal dari tempat ini hingga sekian, berikut kandungan buminya, 
baik berupa gunung maupun tambang” sebenarnya tidak 
bertentangan dengan hadis Abyadh ini. 
Hadis di atas mengandung 
pengertian bahwa tambang yang diberikan oleh Rasulullah kepada Bilal 
kandungannya terbatas sehingga boleh diberikan. 
Hal ini sebagaimana 
Rasulullah pertama kali memberikan tambang garam tersebut kepada Abyadh.
 Akan tetapi, kebolehan pemberian barang tambang ini jangan diartikan secara 
mutlak, sebab
 jika diartikan demikian tentu bertentangan dengan pencabutan Rasul 
setelah diketahui bahwa tambang itu kandungannya besar bagaikan air yang
 terus mengalir. 

Jadi, 
jelaslah bahwa kandungan tambang yang diberikan Rasulullah tersebut 
bersifat terbatas. Menurut konsep kepemilikan 
dalam sistem ekonomi Islam, tambang yang jumlahnya sangat besar, baik yang 
tampak sehingga
 bisa didapat tanpa harus susah 
payah, seperti garam, batu bara, 
dan sebagainya; maupun tambang yang berada di dalam perut bumi yang 
tidak bisa diperoleh, kecuali dengan usaha keras, seperti tambang emas, perak,
 besi, tembaga, timah, dan sejenisnya, termasuk milik umum. Baik 
berbentuk padat, seperti kristal maupun berbentuk cair, seperti minyak, 
semuanya adalah barang tambang yang termasuk ke dalam pengertian hadis 
di atas. Benda-benda yang sifat pembentukannya 
mencegah untuk dimiliki oleh pribadi saja, maka benda tersebut 
termasuk milik umum. 
Namun, meski termasuk ke dalam kelompok pertama, 
karena merupakan fasilitas umum, benda-benda tersebut
 berbeda dengan kelompok yang pertama dari segi sifatnya. Oleh karena 
itu, benda tersebut tidak bisa dimiliki oleh individu. 
Berbeda dengan 
kelompok pertama, yang memang boleh dimiliki oleh individu. 
Air 
misalnya, mungkin saja dimiliki oleh individu, tapi bila suatu komunitas
 membutuhkannya, individu tidak boleh memilikinya. 
Berbeda dengan jalan,
 sebab jalan memang tidak mungkin dimiliki oleh individu.
 Oleh karena itu, 
sebenarnya, pembagian ini –meskipun dalilnya bisa diberlakukan illat syar’iyah, 
yaitu 
keberadaannya sebagai kepentingan umum— esensi faktanya menunjukkan 
bahwa benda-benda tersebut merupakan milik umum (collective property),  seperti 
jalan, sungai, laut,
 danau, tanah-tanah umum, teluk, selat, dan sebagainya. 
Yang juga bisa 
disetarakan dengan hal-hal tadi adalah masjid, sekolah milik negara, 
rumah sakit negara, lapangan, tempat-tempat penampungan, dan sebagainya.
 Al-‘Assal & 
Karim (1999: 72-73) 
mengutip pendapat Ibnu Qudamah dalam Kitabnya al-Mughni mengatakan:


   “Barang-barang 
tambang yang oleh manusia didambakan dan dimanfaatkan tanpa biaya, 
seperti halnya garam, air, belerang, gas, mumia (semacam obat), 
petroleum, intan, dan lain-lain, tidak boleh dipertahankan (hak 
kepemilikan individualnya) selain oleh seluruh kaum muslim, sebab hal 
itu akan merugikan mereka”.  

 Maksud pendapat Ibnu Qudamah adalah bahwa 
barang-barang tambang adalah milik orang banyak meskipun diperoleh dari 
tanah hak milik khusus. Barang siapa menemukan barang tambang atau 
petroleum pada tanah miliknya tidak halal baginya untuk memilikinya dan 
harus diberikan kepada negara untuk mengelolanya.
  

 Pemasukan Negara 

 Dengan memahami 
ketentuan syariat Islam terhadap status sumber daya alam dan bagaimana 
sistem pengelolaannya, bisa didapat dua keuntungan sekaligus, yakni 
didapatnya sumber pemasukan 
bagi anggaran belanja negara yang cukup besar untuk mencukupi berbagai 
kebutuhan negara. 
Selain itu, negara diharapkan mampu melepaskan diri 
dari ketergantungan terhadap utang luar negeri dalam pembiayaan 
pembangunan negara.  Dalam sistem ekonomi Islam, menurut An-Nabhani (1990), 
negara 
mempunyai sumber-sumber pemasukan tertentu yang telah ditetapkan oleh 
syariat melalui Baitul Mal. Baitul Mal adalah kas negara untuk mengatur 
pemasukan dan pengeluaran harta yang dikelola oleh negara. Mekanisme 
pemasukan ataupun pengeluarannya semua ditentukan oleh syariat Islam. 
Sektor-sektor pemasukan dan pengeluaran Kas Baitul Mal adalah sebagai 
berikut.  1. Sektor kepemilikan 
individu  Pemasukan dari 
sektor kepemilikan individu ini berupa zakat, infaq, dan shadaqah. Untuk
 zakat, karena 
kekhususannya, harus masuk kas 
khusus dan tidak boleh dicampur dengan pemasukan dari sektor yang lain. 
Dalam pengeluarannya, khalifah (kepala negara dalam pemerintahan Islam) 
harus mengkhususkan dana zakat hanya untuk delapan pihak,
 sebagaimana yang telah ditetapkan oleh al-Quran (QS at-Taubah [9]: 60),
 yaitu: (1) Faqir, (2) Miskin, (3) Amil zakat, (4) Muallaf, (5) 
Memerdekakan budak, (6) Gharimin (terlilit utang), (7) Jihad fi 
sabilillah, dan (8) Ibnu sabil (yang kehabisan bekal dalam 
perjalanannya). Sementara itu, infaq dan shadaqah pendistribusiannya 
diserahkan kepada ijtihad khalifah yang semuanya ditujukan untuk 
kemashlahatan umat. 2. Sektor kepemilikan 
umum Tercakup dalam sektor ini adalah 
segala milik umum, yaitu yang berupa hasil tambang, minyak, gas, 
listrik, hasil hutan, dan sebagainya. Pemasukan dari sektor ini dapat 
digunakan untuk kepentingan: Biaya eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam, 
mulai dari biaya tenaga kerja, pembangunan infrastruktur, 
penyediaan perlengkapan, dan segala hal yang berhubungan dengan dua 
kegiatan pengelolaan sumber daya alam di atas. 
 Membagikan hasilnya secara langsung kepada 
masyarakat yang memang sebagai pemilik 
sumber daya alam itu. Mereka berhak untuk mendapatkan hasilnya. Khalifah
 boleh membagikannya dalam bentuk benda yang memang diperlukan, seperti 
air, gas, minyak, listrik secara gratis, atau dalam bentuk uang hasil 
penjualan. Sebagian kepemilikan
 umum ini dapat dialokasikan untuk biaya dakwah dan jihad.
 3. Sektor kepemilikan 
negara Sumber-sumber 
pemasukan dari sektor ini meliputi fa’i, ghanimah, 
kharaj, seperlima rikaz, 10% dari tanah ‘usyriyah, jizyah, waris yang
 tidak habis dibagi dan harta orang murtad. Untuk pengeluarannya 
diserahkan pada ijtihad khalifah untuk kepentingan negara dan 
kemashlahatan umat.  
 Khatimah  
Jelas sekali, 
pemerintah harus memanfaatkan seoptimal mungkin sumber daya alam negeri 
ini yang sesungguhnya sangat melimpah. Harus ada strategi 
baru dalam memanfaatkan sumber daya itu. Sudah saatnya, misalnya, hanya 
BUMN yang berhubungan dengan hutan saja yang mengelola hutan-hutan yang 
ada di negeri ini. 
Demikian pula dengan sumber daya lain. Eksplorasi 
emas oleh PT Freeport merupakan kesalahan besar. Sejak tahun 1973, sudah
 lebih dari Rp500 triliun hasil emas melayang ke luar negeri. 
Memang 
pemerintah mendapatkan pajak dan sebagainya. Akan tetapi, pasti angkanya
 jauh lebih kecil dari hasilnya itu sendiri. Andai itu sepenuhnya 
dikelola oleh negara, dana yang tidak sedikit itu tentu bisa 
diselamatkan untuk kesejahteraan rakyat. Begitu pula dengan barang 
tambang lain. Pemanfaatan seoptimal mungkin sumber daya 
alam itu hanya mungkin bila BUMN yang menangani semua kekayaan milik 
umum itu dikelola secara profesional dan amanah. 

Sudah menjadi 
rahasia umum betapa di dalam BUMN-BUMN itu selama ini terjadi 
inefisiensi luar biasa akibat praktik-praktik kolusi dan korupsi. 
Akibatnya, bukan hanya dana yang tidak sampai ke tangan rakyat, tetapi 
juga BUMN itu mengalami kerugian. 
Bagaimana mungkin PLN, misalnya, yang 
menjadi perusahaan tunggal dalam pengelolaan listrik bisa merugi?
 Padahal, tidak ada satu pun rakyat yang tidak menggunakan listrik. 
Di 
samping itu, tidak ada perusahaan lain yang menjadi saingan PLN. Itu 
semua terjadi karena mismanajemen dan korupsi. Dengan efisiensi, 
dana yang diperoleh bisa digunakan untuk kesejahteraan rakyat, selain 
BUMN itu juga bisa berjalan dengan baik. Rakyatnya makmur sejahtera, 
negara tidak perlu berutang ke sana kemari. Insya Allah.[]
  

 Wallahu a’lam bi ash-shawab.




-- 

.

Posting yg berasal dari Palanta RantauNet ini, jika dipublikasikan ditempat 
lain wajib mencantumkan sumbernya: ~dari Palanta r...@ntaunet 
http://groups.google.com/group/RantauNet/~

===========================================================

UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi:

- DILARANG:

  1. Email besar dari 200KB;

  2. Email attachment, tawarkan disini & kirim melalui jalur pribadi; 

  3. One Liner.

- Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet

- Tulis Nama, Umur & Lokasi pada setiap posting

- Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dalam melakukan reply

- Untuk topik/subjek baru buat email baru, tidak dengan mereply email lama 

===========================================================

Berhenti, bergabung kembali serta ingin merubah konfigurasi/settingan 
keanggotaan di: http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe




      

-- 
.
Posting yg berasal dari Palanta RantauNet ini, jika dipublikasikan ditempat 
lain wajib mencantumkan sumbernya: ~dari Palanta r...@ntaunet 
http://groups.google.com/group/RantauNet/~
===========================================================
UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi:
- DILARANG:
  1. Email besar dari 200KB;
  2. Email attachment, tawarkan disini & kirim melalui jalur pribadi; 
  3. One Liner.
- Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet
- Tulis Nama, Umur & Lokasi pada setiap posting
- Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dalam melakukan reply
- Untuk topik/subjek baru buat email baru, tidak dengan mereply email lama 
===========================================================
Berhenti, bergabung kembali serta ingin merubah konfigurasi/settingan 
keanggotaan di: http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe

Kirim email ke