Mbak,
Kalau hukum yang untuk masing-masing (tidak berimpact pada orang lain),
misalnya sholat, puasa dll saya rasa OK saja setiap agama untuk
menjalankan atau meng-govern-nya masing-masing untuk para pemeluknya. 

Kalau sudah ke hubungan antar manusia, atau aturan yang menyangkut lebih
dari satu orang, tentu perlu ada satu hukum yang dipakai (diadopt) untuk
diimplementasikan bersama-sama. Nah, untuk aturan seperti ini, ada 2
pilihan :
1/ Sekuler, yang pada dasarnya adalah terserah manusia, atau manusia
membuat hukum sesuai kemauannya, atau berdasarkan demokrasi.
2/ Islam, yaitu menggunakan hukum yang digali dari syariat Islam. Kenapa
bukan aturan agama lain ? Karena agama lain tidak memiliki aturan yang
menyeluruh seperti Islam. Islam itu ideologi, yang dari situ kita bisa
menggali hukum-hukum kemasyarakatan, sebagaimana pernah tegak dan
diterapkan di masa kekhalifahan dulu. Dan aturan-aturan itu applicable
dan membawa maslahat untuk orang Islam dan non-Islam, termasuk
perlindungan bagi orang-orang beragama lain untuk menjalankan ibadah
sesuai agamanya masing-masing, dan perlindungan atas keselamatan
orang-orang non muslim yang tidak memerangi Islam.

Sebagai orang Islam yang menginginkan untuk menjalankan hukum Islam
secara kaffah, seharusnya kita menginginkan pilihan ke-2: Islam sebagai
aturan. Saya rasa itu adalah keinginan yang sangat logis bagi umat
Islam. 

Bagaimana dengan Pancasila ? Inget ngga jaman Sukarno dulu. Kan pake-nya
Pancasila ya. Jaman pak Harto, sama juga pake Pancasila. Kenapa aturan
secara praktis (tataran implementasi)-nya berbeda ? Ya karena Pancasila
bisa diinterpretasikan secara berbeda. Pada jaman pak Karno, Pancasila
diinterpretasikan dengan kacamata orla. Jaman pak Harto, dengan kacamata
orba. Ya kalau mbak tanya apa yang mesti diubah, mungkin : Hayu kita
interpretasikan Pancasila dengan kacamata Islam. Bukankah mayoritas
penduduk di Indonesia juga Islam? Kenapa ragu mengambil sumber hukum
dari Islam ?

Mungkin itu dari saya, mbak. Prof DP kemungkinan akan menganjurkan untuk
ambil pilihan pertama (sekuler). Kalau memang demikian, memang saya dan
beliau memiliki pendapat dan pandangan yang berseberangan. 

Wallahu'alam
Wassalaam,
-Ning

-----Original Message-----
From: wanita-muslimah@yahoogroups.com
[mailto:[EMAIL PROTECTED] On Behalf Of Mia
Sent: Friday, March 23, 2007 12:06 PM
To: wanita-muslimah@yahoogroups.com
Subject: [wanita-muslimah] Re: A women's right to wear, or not to wear,
the veil - Global Warming

Pak Dana, mba Ning negara plural Pancasila dengan parlemen sekarang dan
yang mengakui semua 'hukum agama', apakah cukup memadai?

Kalau nggak, apa yang mesti diubah?

salam
Mia

--- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, "Dan" <[EMAIL PROTECTED]>
wrote:
>
> Asumsi di sini ialah bahwa agama itu terpisah dari negara.  Hukum 
> negara berkedudukan di atas hukum agama karena hukum negara itu
adalah
> hasil kontrak sosial warganegara tsb.  Hukum negara itu lebih
mengikat
> karena tidak membedakan agama dan perangkat penegakannya ada, resmi 
> dan berfungsi.
> 
> Hukum agama selama belum jadi hukum negara barulah kontrak antara
si
> individu dg Tuhan.  Kontrak ini tidak ada saksinya dan tidak ada
bukti
> hitam di atas putih.  Kontrak ini tidak ada perangkat penegakan yg 
> resmi.  Yg ada itu model FPI yg seenaknya saja melakukan vandalisme 
> atas nama agama.
> 
> Sumber hukum negara bisa dari Allah, bisa dari mana saja.  Tetapi
utk
> menjadi hukum harus melalui prosedur resmi dan mengikat bagi semua 
> warganegara, tanpa kecuali.
> 
> Agama itu bagi saya adalah pengalaman spiritual pribadi yg selain 
> tidak dapat diterapkan kpd orang lain karena sangat individu
apalagi
> tidak mungkin diterapkan oleh gerombolan anarkis yg bermodal cuma 
> jubah putih dan berlafaz Arab.  Ini bukan agama.
> 
> Agama itu bisa juga sbg way of life yg artinya bagian dari budaya. 
> Penegakan 'hukum' ini bisa melalui persuasi budaya.
> 
> Nah keduanya itu sebelum menjadi hukum positif suatu negara adalah 
> pilihan sesuka hati bagi penganutnya.  Selama tidak melanggar hukum 
> negara.
> 
> Selama hukum itu belum diratifikasi oleh DPR maka belum jadi hukum
yg
> dapat ditegakkan di Indonesia.  Inilah esensi dari NKRI, yaitu
negara
> sekuler modern.
> 
> --- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, "Tri Budi Lestyaningsih 
> \(Ning\)" <ninghdw@> wrote:
> >
> >  
> > Nimbrung, prof.
> >  
> > Saya tertarik dengan statement prof di bawah. "Konsumen berhak
memilih
> > apa yang DISUKAINYA selama TIDAK MELANGGAR HUKUM". 
> >  
> > Artinya :
> > 1/ Bila ada yang DIA SUKAI tapi MELANGGAR HUKUM --> Tidak bisa /
tidak
> > boleh dilakukan
> > 2/ Bila ada yang DIA TIDAK SUKAI tapi bila TIDAK DILAKUKAN akan 
> > MELANGGAR HUKUM --> Harus dilakukan (regardless dia suka atau
tidak)
> >  
> > Betul kan ?
> >  
> > Jadi Key word di sini adalah : MELANGGAR HUKUM atau TIDAK.
> >  
> > Artinya : Tidak ada lagi yang namanya KEBEBASAN itu. Karena kita
akan
> > DIPAKSA tidak melakukan apa yang kita sukai atau DIPAKSA
melakukan apa
> > yang tidak kita sukai, demi menaati HUKUM itu sendiri.
> >  
> > Sampai sini saya rasa saya masih aligned, Prof.
> >  
> > Selanjutnya, Hukum yang dimaksud itu hukum yang mana ? Apakah
hukum yang
> > menyenangkan orang banyak ? Atau hukum yang mana ? Nah, di sini
mungkin
> > kita berbeda pendapat. Saya berpendapat bahwa hukum yang
dimaksud di
> > atas, yang menjadi acuan bagi segala gerak-gerik kita itu,
haruslah
> > bersumber dari Allah SWT, dan bukan bersumber dari maunya orang
banyak
> > (based on democracy). Mengapa demikian ? Karena belum tentu
orang yang
> > banyak itu pasti benar. Kalau kebetulan maunya orang banyak
aligned
> > dengan hukum Allah, fine. Kalau tidak ? Gimana ?
> >  
> > Kalau kemudian kita sudah sepakat bahwa hukum yang harus ditaati
itu
> > adalah hukum dari Allah, mungkin diskusi bisa dilanjutkan
dengan :
> > Bagaimana kita mengetahui hukum yang mana yang bersumber dari
Allah itu,
> > bagaimana kriterianya, dan seterusnya. Saya rasa kalau kita mulai 
> > diskusinya dari point ini, mungkin akan lebih clear (setidaknya
buat
> > saya )
> >  
> > Wassalaam,
> > -Ning
> >  




=======================
Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com ARSIP DISKUSI :
http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:[EMAIL PROTECTED]
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com

This mailing list has a special spell casted to reject any attachment
.... 
Yahoo! Groups Links



Kirim email ke