Gimana kalo fungsinya yang diperjelas.

Kalo saya pikir sih lebih kepada memperbaiki mental dan kemampuan 
orang2 didalam departemen itu sendiri.

Misalkanpun haji diurus Dep. luar Negeri, Pesantren di Depdiknas, 
dan Kerukunan urusan polisi...tapi kalo orang di Dept Luar Negerinya 
doyan korup, Depdiknas orang2nya can-lin-hay, polisinyapun rasis dan 
katro'???

Ya orang2 yang di kepemerintahan itu yang harus punya kapabilitias, 
integritas, dan tas2 lainnya yang diperlukan.

Diluar itu semua, segala nama yang diembel-embelkan dengan agama 
menjadikan agama itu rusak (namanya) ketika faktanya kerusakan yang 
ditemukan dalam instansi itu atau kelakuan orang2 beragama. Lalu 
dihubungkan dengan ketidakmampuan agama yang notabene sebagai ajaran 
moral dari Ilahi. Padahal kebenaran dalam agama itu tidak akan 
hilang hanya karena kelakuan rusak orang2 beragama.

Ketika kerusakan dilakukan oleh orang2 yang tak beragama atau 
instansi2 yang tidak membawa nama agama, maka logikanya agama tidak 
ter'salah'kan. 

Mungkin ini hal positif bagi pemikiran sekuler untuk memisahkan 
agama dari negara, yang artinya ingin mengembalikan fungsi 
(kesucian) agama sebagai pendidikan moral saja. Namun, ada pula yang 
meyakini agama bukan hanya sekedar pendidikan moral. Agama sebagai 
ilmu.

Jadi, bagi orang2 yang membawa agama ke ranah politik bersiap-
siaplah menerima segala akibatnya. Memikul sesuatu dipundak kita 
yang berhubungan dengan agama, sesungguhnya lebih berat. Maka bagi 
yang berani memikulnya dengan kesadaran penuh, saya pikir dia orang 
yang sangat 'kuat' daripada mengantongkan agama di sakunya atau 
disembunyikan dikamarnya.

Hal lainnya lagi yang berhubungan dengan perbedaan Idul FItri, saya 
masih berharap KEPADA Muhammadiyah sebagai ormas besar dan 
intelektual dapat melakukan hal sama ketika ada perbedaan antara 
sholat yang pake qunut dan tidak. 

wassalam,
orangygtidakbermazhab.
--- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, "Dan" <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
>
> Oleh karena itu bubarkan Dep Agama karena fungsinya tidak jelas. 
> Pesantren seharusnya urusan Depdiknas, urusan haji milik Dep Luar
> Negeri, urusan kerukunan antar agama urusan Polisi, jadi memang
> demikianlah suatu Departemen yg lebih menjadi sumber masalah 
daripada
> solusi.  Bubarkan saja.
> 
> --- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, "Kartono Mohamad" <kmjp47@>
> wrote:
> >
> > Pada tanggal 12 Oktober 2007 mereka yang merayakan 1 Syawal 
mengadakan
> > sholat ied mendapat perlakuan diskriminatif. Beberapa lapangan
> ditutup dan
> > dikunci pagarnya. Lapangan yang dapat dimasuki, misalnya lapangan
> Blok S,
> > hanya satu pintu yang kecil dibuka. Pintu depan baru beberapa 
saat
> kemudian
> > sesudah menjelang jam 7 dibuka. Nampaknya meski dibolehkan untuk 
sholat,
> > penggunaan pengeras suara dilarang. Sehingga khotbah tidak dapat
> terdengar
> > dari belakang. Di beberapa daerah terdapat perlakuan serupa.
> Sepertinya ada
> > instruksi dari pemerintah pusat (departemen agama?) untuk 
memperlakukan
> > seperti itu.
> > Rasanya baru sekali ini perlakukan seperti itu terjadi. Di jaman
> > pemerintahan Presiden Sukarno pernah juga ada perbedaan hari 
dalam
> merayakan
> > 1 Syawal. Demikian pula di jaman pemerintahan Soegharto, 
perbedaan
> serupa
> > pernah terjadi.Tetapi tidak pernah terjadi perlakuan yang 
diskriminatif
> > apapula pembatasan-pembatasan untuk orang melakukan sholat Ied. 
Anehnya
> > justru di jaman pemerintahan reformasi terdapat perlakuan serupa 
itu.
> > Pemerintah sekarang, entah inisiatif Menteri Agama atau atas ijin
> Presiden
> > telah melakukan diksriminasi terhadap sesama umat Islam yang 
secara
> formal
> > katanya diakui.
> > Diktator dalam beragama nampaknya mulai dilakukan. Apa sikap 
ICMI,
> > Muhammadyah, dan kelompok Islam lainnya? Termasuk yang tidak
> memperingati 1
> > Syawal tanggal 12 Oktober? Jangan lupa, sekali hal ini 
dibiarkan, bukan
> > tidak mungkin lain kali giliran mereka juga akan diperlakukan 
serupa
> kalau
> > kebetulan tidak sejalan dengan sikap pemerintah.
> > KM
> >
>


Kirim email ke