Neng Rita... supaya jelas dan tidak menambah semrawut..
  Tolong dong buktinya kalo memang FPI itu dibayar dan jadi alat aparatur 
negara.
  Semuanya supaya clear dan tidak menjadi fitna, JAai sekali lagi tolong 
jelaskan dan apa buktinya......
   
  Sebenarnya FPI apa AKKBB sihh yang di bayar dan yang jadi alat??? 
  katanya kemaren di detik ada pendemo AKKBB yg dibayar Rp 35,000 unt ikut 
berdemo..
   
   
  JELASIN YAA.... Biar clear..
   
  VtR
   
  
ritajkt <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
          INi artikel Pak Tamrin Amal Tomagola hari ini di Kompas. Pak Tamrin 
ini salah satu orang yang berusaha mendamaikan konflik horizontal 
yang sangat parah di Poso.

FYI, konflik horizontal (antara sesama elemen masyarakan, rakyat vs 
rakyat, seperti FPI vs AKKBB tgl 1 juni lalu itu), ini ditiru dari 
politik devide et imperanya kumpeni, praktek ini mainan para 
petinggi militer jaman orba. Dengan begitu, mereka selalu 
bisa "mengendalikan" rakyat semau mereka!

Dulu sebelum FPI, adalah kelompoknya Yapto cs itu. Di jaman 
reformasi ada Wiranto yang ngelahirin Pam Swakarsa, Komando Laskar 
Jihad dan FPI. Buat Anda-anda fans FPI yang mengira dengan tulus 
bahwa Riziq Shihab dsb itu adalah pembela panji-panji keagungan 
agama Islam dan bukannya pembela siapa yang bayar, THINK AGAIN!!!

Selamat membaca!
------------------------------ 

Anak Macan yang "Keblinger"
Oleh Tamrin Amal Tomagola

Kepolisian RI telah terpuruk menjadi alat mainan kekuasaan. 
Serentetan peristiwa akhir-akhir ini semakin menguatkan kesimpulan 
itu. Mulai dari penyerbuan brutal kampus Universitas Nasional 25 Mei 
lalu hingga pembiaran penyerangan oleh kelompok beratribut KLI/FPI 
terhadap aksi damai Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan 
Berkeyakinan hari Minggu, 1 Juni lalu, di silang Monas benar-benar 
membuat publik terperangah.

Bagaimana mungkin kepolisian yang sudah dilengkapi satuan intelijen 
sampai kecolongan tidak mendeteksi gerakan kelompok penyerang yang 
sangat tidak beradab di depan Istana Negara? Kok bisa aparat 
kepolisian yang dibiayai dengan uang rakyat tidak berdaya melindungi 
warga negara yang sedang mewujudkan hak konstitusional mereka yang 
jelas-jelas terpatri baik dalam alinea keempat Mukadimah UUD 1945 
dan pada Pasal 28 dan 29? Mengapa aparat kepolisian ciut nyalinya 
berhadapan dengan organisasi yang sudah tersohor keberingasan dan 
kekerasannya selama ini?

Pada ujung sederet pertanyaan keheran- an ini, sebetulnya ada 
harapan besar warga masyarakat agar kepolisian RI dikembalikan 
kepada rakyat sebagai pengayom yang menyejukkan sekaligus menegakkan 
konstitusi dan sila-sila Pancasila.

Memelihara anak macan

Episode serbuan brutal ke kampus Unas dan penganiayaan perempuan, 
anak-anak, dan laki-laki peserta aksi damai di kawasan Monas kembali 
menyegarkan ingatan publik akan praktik zalim serupa pada masa Orde 
Baru. Pada masa itu, baik intelijen militer maupun kepolisian banyak 
yang memelihara kelompok "anak macan" sebagai perpanjangan tangan 
aparat keamanan. Pemeliharaan kelompok "anak- anak macan" ini 
menguntungkan semua yang terlibat. Warga masyarakat yang tergabung 
dalam berbagai organisasi "anak macan" ini bukan saja mendapatkan 
keuntungan material pada saat angka pengangguran di kalangan muda 
cukup tinggi, tetapi juga gengsi sosial di hadapan kelompok sebaya 
dan lingkungan masyarakat sekitarnya.

Bagi aparat keamanan yang memelihara organisasi "anak macan", resmi 
atau tidak resmi, juga bak sekali merengkuh dayung dua-tiga pulau 
keuntungan dilalui. Pertama, tidak perlu pengeluaran dana khusus 
untuk penjagaan keamanan karena berbagai organisasi "anak macan" 
dapat mencari dana sendiri dengan menakut-nakuti warga masyarakat 
sembari memamerkan bahwa mereka punya beking kuat di belakang mereka.

Kedua, aparat keamanan, khususnya intelijen, dapat memperoleh banyak 
informasi berharga tentang gejolak dalam masyarakat dengan 
hanya "ongki", ongkang-ongkang kaki, saja. Ketiga, bila terjadi 
ekses yang berlebihan dan ada korban jiwa berjatuhan, aparat 
keamanan dapat cuci tangan dengan berdalih bahwa yang terjadi adalah 
perang antargang semata, seperti dalam kasus Petrus hampir dua 
dekade silam.

Terakhir yang tak kurang pentingnya, ulah berbagai organisasi 
kelompok "anak macan" peliharaan kepolisian ini dapat dijadikan alat 
penekan atas pengusaha tempat-tempat hiburan untuk menaikkan tarif 
upeti keamanan. Praktik-praktik ini sangat marak pada masa Orba dan 
bukan tidak mungkin tradisi "budidaya" kelompok "anak macan" ini 
terus berlangsung.

Semakin keblinger?

Warisan tradisi memelihara kelompok/ organisasi "anak macan" ini 
harus segera dihentikan mengingat beberapa pertimbangan berikut. 
Pertama, nama baik berbagai penguasa politik dan militer, baik yang 
sudah mantan maupun yang masih aktif, dapat dimanipulasi oleh 
berbagai kelompok "anak macan" yang sudah telanjur ikut dibesarkan 
itu. Beberapa mantan penguasa pada masa Orde Baru dari pihak militer 
dan kepolisian yang namanya telanjur tercantum, baik sebagai pendiri 
maupun dalam susunan pengurus FPI, perlu segera mengambil jarak dan 
menegaskan bahwa mereka tidak lagi menjadi pelindung FPI yang sering 
membuat onar dan kekerasan di berbagai tempat itu.

Kedua, rezim pemerintah yang sedang tersudut-panik kehabisan amunisi 
argumen akal sehat bisa saja dengan mudah mengalihkan perhatian 
masyarakat dari persoalan pokok yang meresahkan, menggilanya harga-
harga yang terpicu oleh kenaikan harga BBM, dengan memanfaatkan 
kelompok-kelompok "anak macan" ini sebagai pengalih perhatian. 
Konflik vertikal masyarakat/mahasiswa versus pemerintah dialihkan 
jadi konflik horizontal sesama elemen masyarakat. Upaya pengalihan 
perhatian dengan menciptakan konflik horizontal hanya akan merusak 
citra pemerintah dan kepolisian RI.

Ketiga, martabat negara, khususnya Presiden dan aparat kepolisian, 
bisa sangat kedodoran bila ada "anak macan" yang demikian lantang di 
depan kamera televisi menantang kepala negara ataupun aparatnya 
untuk menangkap mereka, dengan mengancam akan mempertahankan diri 
sampai titik darah penghabisan. Bahkan, ia tega menghina mantan 
presiden yang dikatakan cacat fisik dan buta hatinya. Bukan itu 
saja, para kelompok "anak macan" bahkan menganjurkan pembunuhan atas 
nama agama terhadap sesama anggota umatnya sendiri.

Sungguh terhina prestise seorang kepala negara dan aparat 
keamanannya bila sudah secara keblinger ditantang oleh 
kelompok "anak macan" yang telanjur dipe- lihara ini. Publik sangat 
mendukung pernyataan Presiden SBY bahwa negara tidak boleh kalah, 
apalagi mengalah, kepada kelompok "anak-anak macan" ini. Namun, 
masyarakat menunggu bukti, bukan janji atau rapat terus. Tidak 
mustahil rakyat dapat berprasangka aksi FPI justru sepengetahuan 
intelijen polisi dan negara!

Keempat, Presiden SBY seyogianya memulihkan martabatnya dan juga 
martabat negara dengan segera menangkap dan menyeret ke pengadilan 
para pelaku kekerasan di kampus Unas dan di silang Monas. Jangan 
pernah biarkan negara dilecehkan habis seperti sekarang ini.

Akhirnya, kelima, negara tidak perlu kikir lagi untuk menyediakan 
dana rutin dan pengembangan kepolisian semaksimal mungkin agar sama 
sekali tertutup celah alasan untuk meneruskan tradisi memelihara 
kelompok "anak macan" dalam wujud apa pun.

Semakin negara berdaya melindungi dan membela rakyatnya, rakyat pun 
tidak akan enggan membela negara. Bela negara dan bela rakyat harus 
diucapkan dan ditegakkan setarikan napas.

Tamrin Amal Tomagola Sosiolog
(sumber:http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/06/04/00340744/anak.mac
an.yang.keblinger)



                           

       

[Non-text portions of this message have been removed]

Reply via email to