Bang togar, saya yakin anda tentu lebih tahu,

Saya cumna kasih gambaran ... gembar gembor 3 KALI
LIPAT KEUNTUNGAN yang ditulis oleh para wartawan itu
perlu dilihat dalam "KONTEKS".

BUMI tentu bukan benchmark yg tepat ... resiko nya
beda, tapi IHSG menurut saya bisa, dengan beberapa
adjusment dan pertimbangan. 

Tentu saja saya yakin, TEMASEK punya benchmark sendiri
yang cuman mereka yang tahu. Yang saya tahu, dalam
CROSS-BORDER valuation, WACC TEMASEK harus di adjust
dengan beberapa resiko lain seperti: COUNTRY RISK,
EXCHANGE-RATE RISK, etc.

Dengan ilmu saya yg cetek ini, sebagai orang luar,
saya melihatnya secara simpel begini : 

INDEX IHSG sebagai broad index dapat digunakan acuan
karena sifat resikonya yang Systemic
Risk/undiversified dan ISAT berada didalamnya punya
individual risk. Sekarang yg kita perlu tahu
perbandingan MARKET RISK dengan
INDIVIDUAL/IDIOSYNCRETIC RISK nya ISAT.

Dengan BETA ISAT 0.9 s/d 1 ... artinya return ISAT
menurut garis SCL ISAT, harusnya mendekati garis
SML/return market. Kalau lebih dari SCL, berarti ada
ALPHA yg di dapat investor/creating value. kalau
kurang berarti investasi ini Destroying Value.

Yah .. seperti kalau kita menilai REKSADANA SAHAM
sajalah, kan kita lihat risk-adjusted return-nya.


Just my 2 cents,

--- Tigor Siagian <[EMAIL PROTECTED]> wrote:

> Rekans yg baik,
> 
> Setuju bahwa return harus dibandingkan dengan
> benchmark.
> 
> Namun, apakah return IHSG ataupun BUMI (seperti
> contoh) merupakan benchmark
> yang tepat buat STT maupun Temasek?
> 
> Mana yg lebih tepat: broad market index berbasis cap
> (seperti IHSG), single
> stock return (seperrti BUMI), WACC dari STT/Temasek,
> required return
> STT/Temasek, atau simply return dari benchmark
> investasi STT/Temasek yg
> diderive berdasarkan Strategic Asset Allocation
> STT/Temasek?
> Mohon pencerahan rekan2 yg ahli.
> 
> Salam,
> TS




      

Kirim email ke