Coba Bapak riset ke wilayah bekasi, kebetulan saya tinggal di Bekasi. 1
rumah bisa memiliki 2-3 mobil, dan 3-4 motor (diatas 150 cc) sedangkan orang
yang tinggal disana hanya 4 laki-laki dan 2 perempuan. Usut punya usut,
ternyata semuanya kredit ^_^.

Bahkan untuk rumah yang terlihat gubug, memiliki 2-3 motor dan selalu
ganti-ganti. Usut punya usut, mereka pakai motor tersebut untuk ngojeg,
kalau setoran ngojek ngga cukup untuk bayar angsuran, ya tinggal suruh
leasing tarik dan mereka ngambil leasing lain. WOW, apa ngga sayang sama
DP-nya, dan usut punya usut, mereka suka minjam uang dengan rentenir untuk
DP motornya dengan jaminan surat rumahnya.

Saya juga bikers koq Pak Arian, tapi bukan musuhnya Pak Poltak, mudah-2an
saya belum pernah nyenggol mobil Pak Poltak. Terima kasih buat Pak Arianro
karena menyatakan bahwa membeli sepeda motor adalah kegiatan investing
mengingat pemerintah memang ngga punya gigi sama organda. Karena dengan
tambahan 1 orang berpola pikir seperti Pak Arianro, berarti sudah ada
tambahan 1 orang yang memandang dari sudut ekonomis, lumayan bisa bantu
menyikapi krisis global saat ini, mengingat banyaknya pernyataan ancaman PHK
dari pengusaha-pengusaha.

Menteri itu sepupu saya Pak. Dan sampai sekarang pun pola hidupnya sangat
hemat. Era 80-an di China, pejabat yang korupsi akan masuk sidang koe etik
yang dipimpin presiden, keputusan akhirnya diketahui semua orang adalah mati
di tiang gantungan. Konyolnya kalau korupsinya sampai memakan uang yang
seharusnya buat rakyat, maka yang digantung adalah termasuk keluarganya.
Aneh yah tapi nyata Pak, oleh karena itu semasa mereka memakai faham
sosialis, mereka sangat takut kepada presiden mereka, terlihat seperti
tangan besi ya, namun hal itu mendidik rakyatnya (yang sekarang telah
menjadi generasi tua) menjadi lebih prihatin dan sangat ekonomis. Buntutnya,
generasi muda mereka sekarang menjadi buas korupsi. Ada hitam, ada putih.

Fair sich, tapi kehidupan dengan ketakutan????? saya rasa ngga deeehhhhh.

Salam,


Winarto Sugondo

2009/3/27 arianro pantun daud <arianro...@gmail.com>

>   Saya tidak setuju kalau membeli sepeda motor adalah konsumtif. Banyak
> yang
> dilandasi karena penghematan biaya transportasi, waktu tempuh, kegesitan
> dalam bermanuver, dan lainnya. Kalau semuanya adalah dasar penghematan,
> maka
> sebenarnya mereka itu investing daripada consuming.
>
> Saya tidak percaya seorang menteri kebudayaan di era 80-an hidupnya seperti
> itu baik di Indonesia maupun di China. Natura yang diterima seorang menteri
> di Indonesia setidaknya cukup utk membeli sebuah rumah mewah dan memiliki
> mobil mewah. Menteri di Chinapun demikian, setidaknya kendaraan dinasnya
> bukan sepeda ontel. Kalaupun dia tinggal hanya di rumah 5x4, itu lebih
> kepada pilihan dibanding kemampuan.
>
> Rgds,
> Arianro
>
>
> On 3/27/09, winarto sugondo 
> <sugondo.wina...@gmail.com<sugondo.winarto%40gmail.com>>
> wrote:
> Hmmmm, Korupsi.........
>
> Bang Poltak, kalau saya bisa jadi anggota legislatif saat ini, saya pasti
> korupsi.
>
> Kalau gaji saya naik 20% saja, saya pasti akan ambil kredit kepemilikan
> rumah dan mobil.
>
> Kata kasarnya, untuk mem"boikot" sebuah produk kadang kala tidak memerlukan
> ongkos. Karena sebenarnya tinggal mengacu kepada penggunanya.
>
> Dari sekian pembahasan, saya menemukan kalimat pertanyaan tingkat
> konsumtifitas di Indonesia, masyarakat Indonesia SANGAT konsumtif. Mau
> contohnya : berapa jumlah sepeda motor di Jakarta saat ini, nilainya :
> berbanding lurus dengan jumlah persentase peredaran usaha produsen-2 motor.
> Berapa besaran konsumtifitas di Indonesia, nilainya : berbanding lurus
> dengan persentase peredaran usaha perusahaan-2 leasing.
>
> Amerika adalah negara maju, sampai-sampai tingkat konsumtifitas
> masyarakatnya jauh lebih tinggi dari masyarakat-2 di negara maju lainnya
> seperti Inggris. Dan Mmmmm, untuk China, Sebenarnya dia Sosialis atau
> Komunis ya?
> PHK mereka besar, padahal sektor perdagangan mereka ditopang juga oleh
> perdagangan illegal,
> Kenapa? Karena mereka masih memiliki ketergantungan juga dengan USD, namun
> diselaraskan dengan penjualan dalam asia pada sektor illegal.
> Mereka kaya karena tirai yang mereka tutup beberapa tahun lalu, mereka
> tidak
> terima orang asing, apalagi ekonomi asing. Sama rata, sama rasa, mereka
> seperti menabung untuk hari tua, sehingga kalau istilah gampangnya, mereka
> mempunyai banyak sumber daya yang tersisa. Segi pemikiran rakyatnya pun
> masih seputar "Yang penting bisa makan dan hidup", itulah yang menjadi
> sumber daya yang efektif.
>
> Saya punya kenalan seorang menteri kebudayaan di era 80-an,pada saat
> menjabatnya dulu rumahnya hanya berukuran 5x4, kendaraan dinasnya adalah
> sepeda ontel. Bahkan untuk jam tangannya, dia harus bikin laporan keuangan
> asal muasal penghasilan untuk beli jam tangan tersebut. Dia itu menteri
> loh,
> bukan staf menteri, coba bandingkan dengan pejabat era 80-an kita.
>
> Hal yang bisa dipetik adalah Uang dipadukan Keserakahan dan Kekuasaan tanpa
> pengendalian, menyebabkan dampak yang berpengaruh kepada negara. Untuk
> itulah timbul banyak faham yang dipakai oleh negara-negara. Pengendalian
> dalam sebuah negara adalah wajib, lha wong dalam komunitas preman aja ada
> pimpinan preman, apalagi dalam sebuah negara, presiden dan/atau kepala
> negara adalah wajib lebih garang dari kepala preman.
>
> Produsen-produsen dalam negeri terutama dalam bidang textile mengalami
> kemunduran karena orientasi mereka adalah ekspor mengacu kepada USD,
> sehingga pada saat tingkat konsumtif negara luar hancur, mereka juga
> mengalami kehancuran. Sama halnya dengan jumlah mobil toyota yang nongkrong
> dan kongkow di pelabuhan di Amerika meyebabkan toyota jepang meminta bail
> out kepada negaranya. Sehingga dapat saya simpulkan, kehancuran itu timbul
> dari ketergantung bidang usaha tertentu pada jenis mata uang tertentu.
> Ujung-ujungnya ngga lebih dari ketamakan mencari laba combo, baik dari
> selisih kurs maupun nilai tukar dalam negeri.
>
> Jadinya sebenarnya kalau saya boleh bicara, ongkosnya ada di dalam hati
> kita
> sendiri, maukah kita menahan hati beli motor, mobil dan kebutuhan secondary
> lainnya untuk kesejahteraan bersama, hal ini bukan tidak berhubungan, coba
> deh dipikirkan, dengan konsumtifitas yang tinggi, kebutuhan untuk mencari
> barang pengganti yang memiliki kisaran sama dengan harga miring pasti akan
> lebih besar dibanding dengan konsumtifitas rendah dengan hidup ekonomis.
> Hidup ekonomis akan cenderung mengarahkan seseorang mencari barang
> berkualitas dan bersifat primary untuk jangka waktu panjang dalam kehidupan
> sehari-hari.
>
> Hal-hal diatas hanya sekedar permohonan pencerahan, mohon maaf kalau ada
> kata-kata yang kurang berkenan dan menyinggung rekan-rekan.
>
> Salam,
>
> Winarto Sugondo
>
> [Non-text portions of this message have been removed]
>
>  
>


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke