Jadi...diskriminasi itu adanya di pikiran sendiri 'kan? Ditambah  
dengan 'kebutuhan' akan duit, ato nama besar, ato gengsi' ato sebagai  
'trade mark'... pokoknya 'kepentingan pribadi'lah.......problem tambah  
'rumit en ruwet' kalo 'pribadi' ini berubah menjadi 'golongan  
masyarakat' ato 'birokrasi' ato 'organisasi' tertentu........pada  
hakekatnya orang gak bisa milih 'aku mau jadi cina' ato 'jadi jawa'  
ato 'jadi sunda'....ato lainnya, iya gak? Ato juga karena tugas, apa  
bisa menolak tanpa konsekuensi kalo, katakan, orang Jawa ditempatkan  
di Sumatera ato tempat lainnya di luar Jawa?.....cuma dengan adanya  
kesadaran bersama akan 'kepentingan' bersama, yaitu kepentingan Negara  
ato bangsa secara utuh maka 'diskriminasi' bisa  
diminimalkan.....hehehe...sayangnya pendidikan en wawasan tiap orang  
berbeda, iya gak?......dalam hal ini Pemerintah saja ya gak bakal  
berhasil lah kalo tidak 'didukung' oleh seluruh anggota masyarakat  
yang 'pinter en bijak'.....sayangnya sampe sekarang nyang pinter en  
bijak ini masih 'hobi' keblinger....justru 'memakai' issue ini sebagai  
'alat' untuk menyamankan diri sendiri beserta kelompoknya......dan ini  
merupakan 'tugas en beban' generasi ke generasi untuk lebih  
disempurnakan....perlu disadari pula bahwa sejak bayi diberi nama dia  
sudah di'diskriminasi'kan dari yang laen, iya nggak?
hewan peliharaan aza dikasih nama masa orok manusia kagak, oya nggak?  
Cuma perkembangan selanjutnya, hewan mah gak kenal itu  
diskriminasi....kantaran cuex bebek sama segala atribut nama asal usul  
dsb tapi manusia justru sangat peduli
....jadinya 'kalah' ama hewan dong.....!-)

salam damai,
tda

Quoting thongshampah <[EMAIL PROTECTED]>:

> Bung Bud,s yg baik.
>
> Thongshampah, lahir di Jakarta tetapi besar di Medan.
> Tahun 70 an ketika SMA, Thongshampah bergabung dgn anak Cardova
> dan juga dengan anak anak Pondok Seng.
> Kita sering kumpul kumpul
> di Jln Sudirman, Babura, S Parman, Imam Bonjol dll
> dan setiap sore, apalagi malam minggu kerjanya cuma kebut kebutan,
> apalagi dulu Thongshampah dikenal sebagai anak maen
> yang naik nya Yamaha RD 125 Twin.
> kami nyaris tiap hari naek ke Sembahe - Bandar Baru,
> Dan pulangnya, tiap malam minggu,
> pasti banyak sekali undangan untuk pesta pesta Disco.
> Pokoknya nostalgia Medan 75an yang indah sekali.
>
> Dan seingat Thongshampah dulu,
> kalau lagi berantem antar gank,
> bukan Thongshampah si cina ini yg takut dengan mereka
> tetapi justru mereka yg mikir lawan anak Cardova dan Pondok Seng.
>
> Diskriminasi justru dialami Thongshampah bukan dari teman teman
> pribumi, melainkan oleh teman teman cina totok.
> Bisa dibayangin, anak cina kelahiran Jakarta
> yang gak bisa omong Hokkien tetapi sekolah di sekolah Tionghoa.
> Maka sebutan cina padang, kiau seng, bhak thau kak, phoa tang coan,
> bak kia lo dll dll dll selalu diejekkan ke Thongshampah.
> Dan setelah sekali dua kali kaki naik ke kepala
> baru ejekan itu berhenti.
>
> Dan mereka mereka yang totok ini justru sangat rasis
> memandang orang yang sama sama cina
> tetapi tidak bisa dialek Hokkien.
> Totally inferior, nista dan outsider.
>
> Berangkat dari hal ini, bagaimana pula cara pandang mereka
> terhadap orang yang mereka sebut Huana, Fan Kui, inijen
> dapat dibayangkan.
> Jadi soal diskriminasi, tergantung cara kita mengalaminya.
> Itulah yg menyebabkan kemudian
> Thongshampah mati matian belajar dialek Hokkien
> Supaya tidak disisihkan oleh mereka.
>
> Medan adalah wild wild west nya Indonesia
> semua suku ada disana, dalam komposisi yang berimbang.
> Dan itulah penyebab utama mengapa kerusuhan sosial
> jarang terjadi disana, walau semua maen dengan gayanya
> sebab inter dependensi yang sangat tinggi.
>
> Beberapa tahun terakhir ini ada fenomena menarik di sana
> Poldasu menurunkan Team Pemburu Preman,
> yang mengejar preman preman pengompas cina itu
> sampai ke sudut sudut kota.
>
> Metode represive ini, sesaat mungkin bisa menekan angka kriminalitas
> tetapi for the long run,
> akan menimbulkan benih benih kebencian yg dalam
> dimana seolah olah polisi kerjanya hanya membacking cina.
> dan bagi cina cina bebal tertentu,
> hanya membuat dia makin besar kepala
> yang memperdalam dan memperbesar social descrepancy itu.
>
> Istilah istilah "kapan dia tidak berak malam",
> selalu sampai ketelinga Thongshampah
> ketika ngobrol dengan teman teman OKP di Gedung Putih
> saat kunjungan ke Medan setiap tahun nya.
> So, marilah kita sama sama mawas diri.
> It takes two to Tango.
>
> --- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, "BUD'S 1" <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
>>
>> Saya juga setuju, Hukum harus ditegakan. untuk mendapatkan SIM harus
> melalui
>> prosedur yang benar dan benar2 lulus. kalau tidak tentunya Nyawa
> orang lain
>> yang dimakan ( nyawa dia sendiri masih ngak apa2 ).
>>
>> Kalau untuk urus SIM, dijakarta dah gampang kok. ngak usah pakai
> calo2an.
>> Malah ada SIM keliling. Beberapa waktu lalu saya baru perpanjang SIM
> saya,
>> 1.5 jam beres semua dan tanpa ada keluar uang extra. tidak seperti
> beberapa
>> tahun yang lalu. malah semasa saya kuliah pernah seharian untuk yang
> urusan
>> ini di Komdak. Pernah juga 1/2 jam selesai karena pakai MEMO DINAS. Tapi
>> dengan melihat kondisi terakhir, sudah tidak perlulah pakai MEMO2 AN
> lagi,
>> Tidak perlu pakai calo lagi. Semoga kinerja ini bisa dipertahankan
> dan bisa
>> menular ke Medan / POLDASU.
>>
>>
>
>
>


Kirim email ke