Bung David dan TTM semuah,

Hai, apakabar? Sudah makan?

Hehehe...... kalau anda tidak menceritakan pengalaman masa-masa SD dengan 
guru-guru asal jawa (timur dan tengah), saya memang tidak 'ngeh' soal aksen 
mereka. Khususnya dalam soal akhiran 'K' ini.

Nymabung dikit, saya perhatikan, teman-teman saya yang Tionghua dari Jawa 
timur, kalau berbicara, kenapa ya aksen-nya justru lebih 'medhok' dari penduduk 
'asli' Serbejeh (Surabaya). Kalau kita bertemu mereka, akan dengan jelas 
terrasa bahwa mereka berasal dari jatim (Surabaya). 

Cara teman-teman Tionghoa kita yang berasal dari Jawa (timur dan tengah) 
berbicara dalam basa Tionghoa juga sama 'medhok'nya, terpengaruh oleh aksen 
Jawa mungkin ya? 

Kalau bicara tentang 'ng-ma' yang jadi 'ema', lalu mereka menyebutnya 'emak', 
mengapa lantas di Betawi ada sebutan 'emak' (dengan 'k' yang cetol, jelas) yang 
artinya adalah 'mama' (ibu) yang padanannya adalah 'babeh'. Apakah 'emak' (jadi 
'enyak'?) dan 'babeh', juga 'encing' dan 'encang' (kalau 'engkong' sih jelas 
toh) itu pengaruh dari basa Hok-kian tah?

Begitu saja sih ya.

Salam makan enak dan sehat,
Ophoeng
BSD City, Tangerang Selatan



--- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, "David" <dkh...@...> wrote:

Perkara lafal dan ejaan, owe jadi ingat pengalaman semasa SD dulu. Ketika ada 
mata pelajaran yang harus didiktekan oleh gurunya yang orang Jawa, maka dia, 
seperti umumnya orang Jawa, tidak bisa mengucapkan kata TITIK TITIK (¡­) dengan 
baik, melainkan jadi TITE¡¯ TITE¡¯. Tentu saja kami yang orang Jakarta langsung 
serentak berteriak mengoreksi, ¡°TITIK TITIK, bu, bukan TITE¡¯ TITE¡¯!¡± Sang 
guru diam saja, karena dia tahu maksudnya memang benar itu, hanya dia tidak 
bisa melafalkannya dengan benar.
 
Sebaliknya, pada kesempatan lain, dia selalu mengucapkan BANYAK ANAK-ANAK 
DUDUK-DUDUK sebagai BANYA¡¯ ANA¡¯-ANA¡¯ DUDO¡¯-DUDO¡¯ (dengan konsonan akhir K 
yang seharusnya dilafalkan jadi seperti ¡°ditelan¡±). 
 
Setelah dewasa, semua itu owe pikir memang bukan semata-mata kesalahan sang 
guru, tapi karena EJAAN SOEWANDI (1947). Ejaan itu TIDAK bisa membedakan antara 
mana yang konsonan akhir K betulan (yang harus diucapkan dengan jelas, seperti 
kasus TITIK TITIK dan BANYAK ANAK-ANAK di atas) dan mana yang hanya merupakan 
bunyi hamzah ¡® belaka (seperti dalam BAPA¡¯, KAKA¡¯, TIDA¡¯). Keduanya 
disamakan saja dengan konsonan akhir K, berbeda dengan ejaan Van Ophuijsen yang 
jelas-jelas MEMBEDAKAN antara keduanya. Maklum SOEWANDI kan orang Jawa, dan 
orang Jawa kita tahu tidak bisa membedakan antara keduanya. 
 
Akibatnya, karena kesalahan dalam ejaan itu, yang kemudian diwarisi oleh EYD 
(1972), saudara-saudara Tionghoa kita dari Jawa Tengah dan Jawa Timur cenderung 
mengeja EMA (¡®nenek¡¯) menjadi EMAK, dan TACI (¡®kakak perempuan¡¯) menjadi 
TACIK, padahal ejaan Hokkiannya NG-MA dan CI-CI (tanpa bunyi hamzah ¡®), 
sesuatu yang dihindari mereka yang dari Jakarta dan Jawa Barat. Karena mereka 
akan melafalkannya sebagai EMAK dan TACIK. Repot, bukan?
 
Kiongchiu,
DK
 


Kirim email ke