SAD Pangkalan Ranjau, Jambi Desak Negara Menetapkan Hutan Adat
Agustus 22, 2016 100Suku Anak Dalam (SAD) Dusun Pangkalan Ranjau, Jambi 
menuntut negara mengakui keberadaan mereka dan megeluarkan wilayah adat mereka 
dari kawasan hutan Negara. Tuntutan tersebut disampaikan Jupri, Depati SAD 
Dusun Pangkalan Ranjau dalam pertemuan penyelesaian konflik SAD Dusun Pangkalan 
Ranjau dengan PT. Restorasi Ekosistem Indonesia (REKI), bertempat di ruang 
humas Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Rebuplik Indonesia, 
Senin (15/8).Pertemuan tersebut melibatkan Pimpinan PT. REKI, Pimpinan Lembaga 
Burung Indonesia, Kepala Dinas kehutanan Kabupaten Batanghari, beberapa staft 
Ditjen terkait, Direktur Scale-Up Riau, Koordinator AGRA Jambi, dan Pimpinan 
Pusat AGRA. Pertemuan dipimpin oleh Direktur Jenderal (Ditjen) Penanganan 
Konflik Tenurial, Tenurial dan Hutan Adat, Eka Widodo Soegiri.Eka menjelaskan 
bahwa pertemuan tersebut tidak terpisah dengan pertemuan pada akhir Juli yang 
lalu, bertempat di Kota Bogor, juga membahas topik yang sama.Saat diminta untuk 
bicara, Jupri menegaskan bahwa mereka tidak akan memilih jalan lain selain 
meminta Negara mengembalikan wilayah adat mereka yang dirampas oleh PT. REKI. 
“Kami, SAD di Pangkalan Ranjau, minta keluarkan wilayah adat kami. Itu saja,” 
tegas Jupri.Pauzan Fitrah, Koordinator AGRA Jambi menyatakan bahwa pihaknya 
mendukung penuh tuntutan tersebut. Penyelesaian konflik, kata Pauzan, harus 
berbasis pada pemenuhan hak. “Mereka berhak atas pengakuan dan pelepasan 
wilayah adat. Negara harus menjalankan itu,” teganya.Kendati sempat berjalan 
alot, tuntutan SAD akhirnya dimasukkan dalam agenda penyelesaian konflik yang 
akan ditangani KLHK, yakni segera akan menjalankan pemeriksaan wilayah adat SAD 
Pangkalan Ranjau, berikut menyiapkan syarat-syarat pengakuan dan pelepasan 
wilayah adat dari kawasan hutan negara. Implementasi kesepakatan tersebut akan 
dijalankan oleh pihak KLHK, melibatkan semua pihak yang hadir dalam pertemuan 
tersebut.Perampasan Wilayah adat SAD dan terjadinya KonflikKonflik ini, tidak 
lain merupakan buntut dari pengabdian negara pada kepentingan bisnis 
Internasional. Pada era 1970an, wilayah adat SAD Dusun Pangkalan Ranjau 
dikuasai oleh konsesi-konsesi bisnis kayu yang dibekali izin Hak Pengusahaan 
Hutan (HPH) oleh negara. Bisnis jenis ini marak terjadi di masa itu, mebabat 
habis jutaan hektar hutan lebat di Provinsi Jambi.SAD Pangkalan Ranjau, sebagai 
suku yang sejak ratusan tahun lalu mendiami wilayah tersebut, terpaksa 
dipinggirkan secara paksa, mulai dari keberadaan, hingga pencerabutan kearifan 
praktek ekonomi dan budaya yang mereka jalankan secara turun temurun. Negara 
dan pengusaha kayu ketika itu, juga mengisolasi kebebasan politik mereka melaui 
berbagai program, seperti Pembinaan Kesejahteraan Masyarakat Terasing (PKMT), 
HPH Bina Desa, dan program-program sejenisnya, yang secara esensial bertujuan 
mencerabut kebebasan mengelola dan hidup di dalam hutan.Pada era itu pula, 
mereka diperkenalkan dengan nilai ekonomi kayu, perilaku yang tidak pernah ada 
dalam praktek ekonomi generasi SAD sebelumnya.Pada perjalannya, praktek ladang 
berpindah, memelihara pohon madu atau biasa mereka sebut sialang, berbagai 
keahlian menangkap ikan, serta berburu binatang hutan tidak lagi dominan. 
Laki-laki SAD yang bertubuh tegap, pada umumnya memilih menjalankan praktek 
ekonomi kayu, baik yang terintegrasi dalam aktivitas perusahaan HPH maupun di 
luar HPH. Kelihaian mereka menjelajah hutan tidak jarang dimanfaatkan dengan 
menjadikan mereka sebagai penunjuk arah. Tidak jarang pula mereka diminta 
menjadi juru tebang.Pada era tahun 2000an, setelah Pemerintah Orde Baru jatuh 
dari kekuasaannya, penyingkiran SAD dari hutan belum menemui ujung. Negara 
bukannya mengembalikan hak mereka atas wilayah adat, tapi justru menyerahkan 
kepada perusahaan baru dengan jenis pengelolaan hutan yang baru: pada tahun 
2010, wilayah adat SAD Dusun Pangkalan Ranjau diserahkan pada PT. REKI, 
perusahaan yang bergerak di bidang pemulihan hutan kembali atau umum dikenal 
dengan istilah restorasi ekosistePT. REKI diinisiasi oleh beberapa Lembaga 
Swadaya Masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang konservasi hutan dan hewan, 
yakni Lembaga Burung Indonesia, The Royal Society Protection of Bird (RSPB) 
yang berkedudukan di Inggris, dan Bird Life International. Perusahaan patungan 
ini memiliki izin konsesi hampir 100.000 hektar. Seluas 46.000 hektar berada di 
Provinsi Jambi dan selebihnya berada di Provinsi Sumatera Selatan, terletak di 
Kabupaten Musi Banyuasin.Perusahaan ini mengandalkan dana sumbangan 
internasional dalam menjalankan perusahannya. Dana yang mereka gunakan sebagian 
besar berasal dari dana publik, seperti Bank Centra Jerman (KfW), Bank 
Pembangunan Denmark (DANIDA), dan penyandang dana lainnya.Perusahaan ini 
mengklaim telah melakukan penghormatan terhadap hak azazi manusia, menghormati 
hak pekerja, serta menghormati hak masyarakat adat setempat. Namun 
kenyataannya, tidak ada satu buktipun yang dapat mendasari ungkapan tersebut. 
Dalam catatan AGRA Jambi, belum sekalipun perusahaan ini menjalankan prinsip 
Free, Prior, Informed, Consent (FPIC), sebuah prinsip pembangunan yang 
mengedepankan hak masyarakat setempat untuk menentukan persetujuan secara bebas 
atas keberadaan perusahaan tersebut.SAD diisolasi oleh aturan perusahaan yang 
melarang membuka ladang secara bebas sesuai tradisi. Masyarakat dari berbagai 
suku bangsa yang hidup rukun dan menerima aturan adat SAD, di-cap sebagai 
perambah dan perusak hutan. Tidak jarang mereka menggerakkan aparat keamanan 
negara untuk melakukan pengusiran, penyelidikan, serta penangkapan terhadap 
masyarakat yang mereka sebut perambah.Persatuan Untuk Merebut Kembali Wilayah 
Adat Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Republik Indonesia No. 35 tahun 2012 
akhirnya terbit pada Bulan Mei 2013. Putusan itu merevisi beberapa pasal dalam 
Undang-Undang No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. Dinyatakan dalam putusan 
tersebut bahwa hutan adat bukan lagi menjadi bagian dari hutan negara. 
Dinyatakan pula bahwa negara harus segera mengakui keberadaan masyarakat hukum 
adat, termasuk SAD, serta menyerahkan hutan dan wilayah adat mereka melalui 
penetapan hutan adat.Hingga kini, SAD di Pangkalan Ranjau, melalui berbagai 
kegiatan kampung, gencar malakukan pendidikan dan saling menguatkan untuk 
menuntut hak mereka atas wilayah adat. Selain pendidikan, mulai membangun 
ladang-ladang ubi, pisang, dan tanaman jangka pendek lainnya. Mereka berencana 
akan membangun organisasi yang demokratis, di bawah arahan pemerintahan adat.

Kirim email ke