Pak Avi,

Siiip Pak Avi, cara yang Pak Avi usulkan lebih lazim dalam
mengimplementasikan "Indonesia First".

Hayoooo atuuh  nobar G&R, nanti aku ikut beli tiketnya kalau sudah kembali
ke Jakarta. Aku masih berada di Canada.


Salam,


On Friday, October 19, 2012, rakhmadi avianto <rakhmadi.avia...@gmail.com>
wrote:
> Pak Lutfi
>
> Untuk kali ini saya ga sependapat dg anda.
>
> Kalo kontraknya habis di 2017 kenapa Pertamina harus right to match yg
lain "CRL" sound hanya cara pembenaran harus dg cara tender.Padahal udah
kasat mata Blok Mahakam pasti bagus secara G&G dan Bisnis.
> Yg model Blok Mahakam kalo di Petronas, Norway dan Angola pasti diambil
oleh Government Oil Company.
>
> Case yg diberikan pak Luthfi adalah kontrak yg masih jalan jadi prosesnya
memang through TENDER karena operator mau memaksimalkan monetizing proses.
Tapi kalo kontraknya habis ya up to Gov.yg bersangkutan untuk memberikan
pengelolaannya. Dalam hal ini kalo blok Mahakam di serahkan ke non
Pertamina berarti GOI ga tau kemampuan anaknya sendiri.
>
> Saya bilang di email saya terdahulu PT.Suma Sarana aja bisa mengelola
kalo di berikan apalagi Pertamina, PASTI BISA ituloh maksud saya
>
> Ya udah aku mau beli tiket Gun and Roses (GNR) dulu via online
>
> Avi
> Bendahara IAGI
> Merangkap Director PT SS
>
> On Oct 19, 2012 4:38 PM, "Achmad Luthfi" <aluthfi...@gmail.com> wrote:
>
> Pak Ong Yth,
>
> Terima kasih atas pencerahannya, teoritis sangat bagus apa yang
dikemukakan Pak Ong, kalau kita berpikir "Indonesia First", bukan hanya
Pendapatan Negara saja, tetapi termasuk melindungi Bangsanya, melindungi
Sumberdaya alamnya (Tanah Airnya), mencerdaskan Bangsanya (Termasuk dalam
mengelola lapangan Migas raksasa). Kalau konsep yang dipaparkan Pak Ong itu
diterapkan di Blok Mahakam, maka kita kalah jauh dengan Negara seperti
Angola dalam melindungi Sonangol untuk mendidik mencerdaskan Bangsa Angola
berkiprah dalam Industri Perminyakan. Pengalaman Pertamina mengikuti tender
(farm in) salah satu lapangan offshore di Angola yang dioperasikan oleh BP,
lapangan ini dalam development phase dengan cadangan yang menarik, partner
BP berniat dispose  sebagian interest share-nya, proses farm-out ini
dilaksanakan melalui tender. Pertamina mengikuti tender ini, ternyata
penawaran Pertamina paling menarik (paling tinggi dibanding competitornya).
Apa yang terjadi setelah operator (BP) menyampaikan rekomendasi mitranya
kepada Pemerintah Angola untuk memenangkan Pertamina, ternyata Pemerintah
Angola memberikan "Right to Match" kepada Sonangol, dan Sonangol
mengeksekusi dengan me-match tawaran Pertamina dalam bidding tersebut,
finally Sonangol yang diputuskan farm-in di lapangan tersebut. Padahal
Pertamina sudah menyiapkan dana untuk keperluan tersebut. Alangkah indahnya
keputusan tersebut bagi Bangsa Angola, karena jelas sudah ada huge
discovery dan sedang dikembangkan. Apa kita tidak bisa melakukan seperti
Angola yang konon sosial-ekonominya lebih dibelakang Indonesia posisinya.
Apa yang dilakukan oleh Angola dalam memproteksi sumberdaya alamnya juga
dilakukan oleh negara maju seperti Norwegia. Kebetulan saya pernah belajar
"Petroleum Policy and Administration" di Stavanger, Norwegia. Norwegia
adalah Negara berfaham Sosialis dengan Sistem Kerajaan, maka prinsip
liberal penerapannya paling buntut. MAAF KONSEP YANG DISAMPAIKAN PAK ONG
TERSEBUT CONDONG KE NEOLIBERAL PADAHAL DASAR NEGARA KITA BUKAN NEGARA
LIBERAL. Dalam sistim perminyakan Norwegia menggunakan "Tax and Royalty",
operatorshipnya menggunakan sistim join operatorship dan ada periode
transfer of operatorship. Norwegia tidak ingin hanya memetik Tax and
Royalty saja tetapi ingin menguasai Dan mendapatkan keuntungan yang besar
dari cadangan minyaknya. Caranya ? Disamping MEMPERKUAT STATOIL, NEGARA
MELALUI ANGGARANNYA JUGA MELAKUKAN INVESTASI YANG DISEBUT SDFI (STATE
DIRECT FINANCIAL INVESTMENT). MENTERI KEUANGAN NORWAY YANG MEMBERIKAN
KULIAH WAKTU ITU MENGATAKAN "PRINSIPNYA KEUNTUNGAN KEKAYAAN ALAM NORWAY
TERMASUK MINYAK BUMI TIDAK BOLEH DIBAWA LARI PIHAK ASING KE LUAR NORWAY,
KARENA ITU PERUSAHAAN NORWAY DAN INVESTASI NEGARA HARUS MENGUASAI SEBAGAIAN
BESAR LAPANGAN-LAPANGAN MINYAK YANG CADANGANNYA BAGUS. Sebagai Contoh
Lapangan Troll yang konon kabarnya produksi gas-nya bisa memenuhi separuh
kebutuhan Eropa Barat dan Utara selama 50 tahun, 76% dari kepemilikan
lapangan oleh Pemerintah Norway diberikan kepada Statoil dan SDFI, sisanya
yang 24% dimenangkan oleh Shell melalui tender.
> Kembali ke Blok Mahakam, cara Angola dalam memproteksi sumberdaya
migasnya Dan membesarkan Sonangol bisa diakomodasi. Untuk Blok Mahakam
setelah 2017 sepenuhnya menjadi hak Pemerintah, tenderkan saja Blok Mahakam
dengan Pertamina diberikan "Right to Match", saya koq punya keyakinan
Pertamina mampu melakukan "MATCHING" terhadap penawar tertinggi. Masak kita
kalah Sama Angola dalam berprinsip "Angola First", begitu juga Norwy dalam
mengimplementasikan "Norway First". Apakah kita mau berbeda dalam
menerapkan prinsip "INDONESIA FIRST".....?
> Maaf Pak Ong, kalau saya punya pendapat yang berbeda. Sedikitpun saya
tidak bermaksud menggurui terutama dalam "INDONESIA FIRST".
>
>
> Salam Hormat,
> A. Luthfi
>
> On Friday, October 19, 2012, Ong Han Ling <hl...@geoservices.co.id> wrote:
>> Pak Luthfi,
>>
>>
>>
>> Teman-teman IAGI harap jangan keliru, saya setuju extension Mahakam
diberikan kepada Pertamina. Saya juga tidak bisa lupakan jasa-jasa
Pertamina. Perusahaan dimana saya bekerja sebelumnya, PT Geoservices,
didirikan tahun 1971, bersama Durban Ardjo, dosen Tambang ITB, yang
sekarang menjadi Pres.Dir., dibesarkan oleh Pertamina. Siapa sih yang tidak
bangga kalau Pertamina bisa seperti Petronas, Petrobras, Pemex, SVPD,
StatOil, dsb.
>>
>>
>>
>> Tapi seperti yang pernah ditanyakan Pak Rovicky dan telah saya
terangkan, kita jangan berikan “at any price”. Kita jangan berikan blank
cek. Harus a

Reply via email to