Rabu, 28 Juli 2010
Mahrani Rahma - Anak Tukang Tambal Ban Lulus UNP

PADANG - Mahrani Rahma, 19, nama anak itu. Ibunya tukang sterika kain
tetangga. Ayahnya tukang tambal ban. Ibunya, tak bisa bekerja kuat lagi,
karena tulang rusuk kanannya patah saat gempa tempo hari. Ibu dan anak,
kemarin tiba di Harian Singgalang, mengabarkan anak kesayangannya itu, lulus
di Universitas Negeri Padang (UNP).

Keluarga ini tinggal di Parak Karakah Nomor 8 RT 01/RW 12 Kelurahan Kubu
Dalam, Kecamatan Padang Timur. Di depan rumahnya itulah, sang ayah membuka
usaha tambal ban.

Beruntung dalam Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Nasional (SNMPTN)
lalu, anaknya lulus sebagai mahasiswa jurusan Pendidikan Seni Drama, Tari
dan Musik di Universitas Negeri Padang. Sayangnya, biaya untuk masuk ke PTN
tersebut tidak terjangkau kedua orangtuanya. Ia membutuhan biaya sekitar Rp5
juta biaya selama satu tahun pendidikan. Kemarin sudah dapat Rp1 juta.
Sang Bapak, Yusrizal hanya seorang penambal ban. Sedangkan ibunda, Ernita
hanya seorang tukang sterika di sekitar lingkungan rumah. Sungguh
menyedihkan ibunda merupakan salah satu korban gempa 30 September lalu.
Sehingga, tenaganya untuk menyeterika pakaian terbatas. Tentunya,
perekonomian keluarga hanya cukup untuk biaya makan sehari-hari. 
"Saat itu, saya sedang membawa seorang anak majikan di lantai V, Rocky
Hotel. Secara tiba-tiba bumi bergoyang. Sehingga, tubuhnya terhimpit balok.
Tulang rusuk sebelah kanan patah. Beruntung ada pengobatan gratis kapal
terapung yang didirikan pihak asing. Di sana saya dioperasi. Selama lima
bulan saya tidak bisa berjalan. Selama itu, perekomian keluarga terus
menipis," cerita Ernita kepada Singgalang, Selasa (27/7). 

Di tengah kesulitan perekonomian keluarga tersebut, Rani terus menuai
prestasi. Rani mendapat peringkat 10 besar di SMKN 7 Padang. Mengikuti
pergelaran tari yang diadakan di sekolah baik itu di Padang maupun luar
kota. 
"Saya bisa menari, seperti indang dan pasambahan," ungkapnya. 

Hasrat dan keinginannya untuk terus berjuang mengasah kemampuannya bergelora
di dada. Selepas ikut ujian nasional, Ia mendaftar masuk SNMPTN. Alhasil,
nomornya 31017170405018 masuk dalam list diterima sebagai mahasiswa jurusan
Pendidikan Seni Drama, Tari dan Musik Universitas Negeri Padang dengan Nomor
Induk Mahasiswa (NIM), 18316. 
"Awak ingin kuliah, sehingga dengan berkuliah ini saya bisa menjadi guru dan
membahagiakan kedua orangtua," harapannya. 

Terimakasih

Harian Singgalang terus mempublikasikan anak-anak yang membutuhkan biaya.
Tentunya dengan goresan tinta emas. Kelak anak-anak itu bisa mengkilap
sekemilau emas pula. 

Seperti halnya, Fia Anggrainy baru saja lulus di Universitas Padjadjaran
(Unpad) menerima bantuan dari Hamba Allah asal Sawahlunto Rp1 juta. Bantuan
terus mengalir untuk si cantik itu, tentunya dari Hamba Allah di Padang
Rp7,5 juta. Sedangkan si gesit Yetti, anak Kinali itu mendapat tambahan
rezeki lagi Rp500 ribu.

Doa dan harapan kami menyertai mereka untuk menimba ilmu mengapai harapan
menjadi genarasi penerus kebanggan orangtua, teman, sanak saudara hingga
bangsa dan negara. (Lenggogeni)

==========

AHMAD FAUZI TAK PUNYA BIAYA KULIAH - Jadi Pesuruh, Lulus di IPB
WAITLEM 

SOLOK - Ahmad Fauzi merasakan langit gelap dan semua jalan seakan tertutup
ketika ia akan melangkahkan kaki ke IPB (Institut Pertanian Bogor). 

Mantan Ketua OSIS SMA Negeri 2 Gunung Talang, Kabupaten Solok ini lulus di
IPB melalui Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) pada
jurusan Ilmu Ekonomi Syariah. Pada 3 Agustus 2010, ia sudah harus berada di
Bogor, namun di sinilah ia rasakan mendung kian pekat, dan jalan semakin
gelap.

"Saya harus membayar uang masuk Rp3,5 juta," ujarnya kepada Singgalang,
Senin (26/7) di Solok. Itu uang pangkal yang harus dilunasi pada awal
Agustus 2010, sementara ongkos berangkat, biaya hidup, biaya selanjutnya
belum terpikirkan. Karena untuk mendapatkan uang Rp3,5 juta saja ia masih
bingung, ke mana harus mengadu.

Kelahiran 13 Februari 1991 ini terpisah jauh dari orangtuanya. Keinginannya
untuk mendapatkan pendidikan layak membuatnya 'nekad' meninggalkan kedua
orangtuanya sejak SMP. Sejak kelas II SD hingga kelas II SMP, ia bisa
merasakan bahagianya hidup bersama keluarga. Namun ketika kasih sayang ia
butuhkan, biaya sekolah ia harapkan, orangtuanya yang hanya sebagai buruh
serabutan 'angkat tangan', tidak mampu lagi membiayainya sekolah.

"Saya mencari bapak angkat hingga bisa menyelesaikan SMP," ujarnya. Selama
di SMP, Ahmad Fauzi membantu bapak angkatnya. Beragam pekerjaan yang
diberikan kepadanya ia kerjakan dengan sepenuh hati. Saat bapak angkatnya
berdagang beras, ia pun ikut membantu. Begitu juga ketika ia diminta untuk
mengerjakan pekerjaan rumah tangga, ia kerjakan dengan tulus ikhlas. Seberat
apapun pekerjaan yang ia lakukan, selelah apapun ia sepulang bekerja, ibadah
dan belajar tetap dilakukannya. Karena itulah, gelar juara tidak pernah
lepas dari genggamannya.

Selesai SMP, Ahmad Fauzi bukannya bisa bernafas lega. Yang ia miliki hanya
kemauan keras, sementara biaya tidak ada. Bahkan biaya masuk pun ia tidak
punya. Karena itulah ketika diterima di SMA Negeri 2 Gunung Talang, ia
justru bingung, dengan apa pendidikannya akan dibiayai. Namun ada sebuah
keyakinan dalam dirinya, di mana ada kemauan di sana ada jalan. Manjada
wajada
Ketika sekolah mengetahui dirinya sebatang kara, karena kedua orangtuanya
yang buruh serabutan menetap di Medan mencari penghidupan, Ahmad Fauzi
diminta untuk menjadi pesuruh sekolah. Ia tidak keberatan. Baginya, ini
sebuah berkah. Jadilah sejak masuk ke SMA tiga tahun lalu ia tinggal di
sekolah. Belajar dan tidur di sekolah. Menyapu, mengepel, mengunci dan
membuka sekolah, memasak air untuk para guru dan pegawai sekolah
dilakukannya, asal ia tetap bersekolah. Sesibuk apapun ia, belajar tetap
lebih utama baginya. Karena itulah sejak masuk SMA hingga menyelesaikan
pendidikan, ia tetap menjadi juara. Bukan hanya juara kelas, ia juga pernah
meraih juara umum.

Kesibukan sebagai pesuruh sekolah dan kesibukan dalam belajar tidak
mengurangi kemampuannya dalam berorganisasi di SMA tersebut. Ahmad Fauzi
juga aktif di OSIS. Bahkan ia dipercaya sebagai Ketua OSIS SMAN 2 Gunung
Talang. Kemampuannya dalam bidang akademik ternyata berjalan sama dengan
kemampuannya dalam bidang organisasi. Ia juga mengharumkan nama sekolah
lewat berbagai perlombaan. Ia pernah meraih juara scrable se-Kabupaten
Solok, menjadi juara lomba fisika dan menjadi juara Quis contest (Quis
berbahasa Inggris) se-Kabupaten Solok.

Anak kelima dari tujuh bersaudara, yang pintar berbahasa Inggris dan jago
fisika, serta mahir berorganisasi ini, kini justru melihat mendung
menggantung rendah. Ia berharap hujan dan badai tidak menghantam dirinya.
Keinginannya untuk meneruskan pendidikan ke IPB pada jurusan Ilmu Ekonomi
Syariah begitu kuat. Namun ketika keinginan itu semakin kuat, saat itu pula
ia merasakan langit semakin gelap.
"Uang yang saya miliki masih nol," akunya. Sementara waktu yang tersisa
tinggal seminggu lagi. Ia pun tidak lagi menjadi 'pesuruh sekolah' karena
sudah menyelesaikan pendidikan di sana. Untuk sementara ia ditampung oleh
salah seorang guru SMA-nya. Para guru berusaha mengumpulkan sumbangan untuk
dirinya agar bisa melanjutkan pendidikan ke IPB tersebut. Bagi guru, ini
juga sebuah kebanggaan karena Ahmad Fauzi mampu memperkenalkan SMA Negeri 2
Gunung Talang ke IPB. 

Menurut Kepala SMAN 2 Gunung Talang, Anwardin sebelum Ahmad Fauzi, belum ada
lulusan SMA Negeri 2 Gunung Talang yang diterima di IPB. Namun, rencana
badoncek para guru tersebut menunggu bulan baru, sementara ia butuh
kepastian, apakah akan bisa berangkat ke Bogor atau tidak karena pada 3
Agustus 2010 ia sudah harus berada di IPB tersebut.

Mengharapkan bantuan orangtua, bagi Ahmad Fauzi bagai mengharapkan hujan di
musim kemarau. Dari tujuh bersaudara, hanya dirinya yang bisa menembus
perguruan tinggi. Sementara saudaranya yang lain sudah meninggalkan bangku
sekolah. Sebagai buruh serabutan dan tidak berpenghasilan tetap, Ahmad Fauzi
menyadari tidak mungkin berharap pada orangtuanya. Apalagi saudaranya yang
lain pun bernasib hampir sama dengan orangtuanya, tidak memiliki pekerjaan
tetap. 

Dalam gelapnya langit dan kian rendahnya mendung menggantung, Ahmad Fauzi
masih berharap bisa menyibak kegelapan itu dan dirinya bisa menjadi
mahasiswa IPB pada 2010 ini. Remaja yang taat beribadah ini selalu berdoa,
agar Tuhan memberi jalan terbaik kepadanya. Walau masih gelap, tetapi ia
optimis di balik kegelapan itu masih ada cahaya, namun entah kapan dan dari
mana cahaya itu akan muncul. (*)

http://www.hariansinggalang.co.id/

-- 
.
Posting yang berasal dari Palanta RantauNet ini, jika dipublikasikan di tempat 
lain wajib mencantumkan sumbernya: ~dari Palanta r...@ntaunet 
http://groups.google.com/group/RantauNet/~
===========================================================
UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi:
- DILARANG:
  1. E-mail besar dari 200KB;
  2. E-mail attachment, tawarkan di sini dan kirim melalui jalur pribadi; 
  3. One Liner.
- Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet
- Tulis Nama, Umur dan Lokasi pada setiap posting
- Hapus footer dan seluruh bagian tidak perlu dalam melakukan reply
- Untuk topik/subjek baru buat e-mail baru, tidak me-reply e-mail lama dan 
mengganti subjeknya.
===========================================================
Berhenti, bergabung kembali serta ingin mengubah konfigurasi/setting-an 
keanggotaan di: http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe.

Kirim email ke