Re: [budaya_tionghua] 100 SBY dan KIB II - dari Sisi Lain

2010-01-28 Terurut Topik Angusm
Rekans,

Mohon dikritisi, apa relevansi artikel yg dikirim oleh relan Petrus Paryono ini 
dgn grup BT ini? Apa ada yg berniat menyerey2 grup ini ke ranah politik?

Salam 
*

-Original Message-
From: Petrus Paryono petruspary...@yahoo.com
Date: Wed, 27 Jan 2010 19:55:32 
To: Budaya Tionghoa Grupbudaya_tionghua@yahoogroups.com
Subject: [budaya_tionghua] 100 SBY dan KIB II - dari Sisi Lain

Ini ada tulisan 3 bulan lalu di kabarindonesia.com. Kita coba melihat dari sisi 
lain.
---

Ketidakcocokan SBY dan Para Menteri di KIB II
Oleh : Petrus Paryono | 24-Okt-2009, 16:18:47 WIB 

KabarIndonesia - Sepertiga anggota Kabinet Indonesia Bersatu II yang baru 
diumumkan Rabu (21/10) malam, ternyata chemistry-nya tidak cocok dengan 
Presiden SBY.

Menurut perhitungan numerologi, ada 12 orang dari 37 Menteri dan Pejabat 
setingkat menteri, masuk kategori tidak cocok dengan SBY. Yang masuk kategori 
cukup ada 22 orang dan ini yang terbanyak (59%). Hanya 3 orang yang masuk 
kategori cocok, sedangkan yang masuk kategori sangat cocok tidak ada.

Dari banyak pemberitaan dan kritik-kritik terhadap pemilihan para menteri, 
tampaknya Presiden SBY memang menghadapi kendala dalam menentukan para 
pembantunya. Selain tekanan politik dari partai-partai pendukung, ternyata 
orang-orang yang disodorkan pun tidak banyak yang cocok. Tapi karena terdesak 
waktu dan keterpaksaan maka terbentuklah KIB II seperti yang telah diumumkan. 
Dengan wapresnya pun tingkat kecocokannya juga hanya pada level cukup, 
padahal waktu itu SBY masih sangat pede dan bebas menentukan pendampingnya.

Perhitungan numerologi untuk tingkat kecocokan dan ketidakcocokan para menteri 
dan Presiden SBY ini hanyalah sebagai dasar hubungan antar manusia. Dalam 
perjalanan waktu, angka bulan, angka tahun, termasuk angka perjalanan hidup 
seseorang yang dilalui juga akan berpengaruh. Meskipun dasarnya cocok tapi 
suatu ketika bisa berubah menjadi tidak cocok. Yang saat-saat ini kebetulan 
cocok, tapi kalau dasarnya tidak cocok kemungkinan besar akan muncul 
ketidakcocokan itu di kemudian hari. Itulah fluktuasi hubungan antar personal 
yang selalu dinamis. Mudah-mudahan Presiden SBY dapat bekerja sama dengan para 
pembantunya dalam melaksanakan pemerintahannya beberapa tahun ke depan. 

Percaya ndak percaya, yang penting rakyat bisa berharap dapat menikmati hidup 
sejahtera dan makmur merata.


  


Re: [budaya_tionghua] Re: (butuh info) potehi(tulisan tangan huruf mandari)

2010-01-28 Terurut Topik beng mazmuri
   Salam,

   Tgl 2 - 4 Febuari memang ada pertunjukan wayang Potehi oleh group dari 
Sidoarjo pimpinan Ki dalang Subur. ( di Citra Land, Mall Ciputra ) , , Tgl 29 
Januari Ki Subur ada di Klenteng Pasar Baru Dalam.  Info ini saya dapatkan 
langsung dari Ki Subur.

   Salam

  
 beng mazmuri

--- On Thu, 1/28/10, pempekd9 pempe...@yahoo.com wrote:

From: pempekd9 pempe...@yahoo.com
Subject: [budaya_tionghua] Re: (butuh info) potehi(tulisan tangan huruf mandari)
To: budaya_tionghua@yahoogroups.com
Date: Thursday, January 28, 2010, 2:03 PM







 



  



  
  
  Saya baru saja dari MallCiputra/ Citraland, Jakarta Barat. Tampak ada 
sebuah panggung wayang potehi dan satu panggung besar, entah untuk pertunjukan 
apa. Tampak semuanya sudah rapih tapi belum ada kegiatan disana.



Salam,

Anton W






 





 



  






  

Re: [budaya_tionghua] AYO SUMBANG ANJUNGAN BUDAYA TIONGHOA

2010-01-28 Terurut Topik agoeng_set
Main buildingnya apa? Rumah abu? Atau klenteng? Atau ballroom? Jika dibangun 
semacam sacret place dimana masalah2 antara tionghoa bisa diselesaikan disana 
tentu sangat bagus, drpd sekedar objek wisata doank.
-Original Message-
From: Tjandra Ghozalli ghozalli2...@yahoo.com
Date: Wed, 27 Jan 2010 23:22:22 
To: budaya_tionghua@yahoogroups.com
Subject: [budaya_tionghua] AYO SUMBANG ANJUNGAN BUDAYA TIONGHOA

Dear members,
Saya percaya banyak member yang belum tahu kalau di Taman Mini Indonesia Indah 
ada anjungan Budaya Tionghoa Indonesia.  Hebatnya anjungan ini luasnya 4,5 ha 
padahal anjungan lain paling besar 2 ha.  Kita sebagai member millis ini patut 
bangga akan anjungan Budaya Tionghoa Indonesia.  Sayangnya di atas tanah 
tersebut belum dibangun main building yang dibangun baru sub building yang 
kecil kecil (sumbangan beragam komunitas Tionghoa) mengelilingi main building 
yg belum dibangun.  Seperti yang dikatakan oleh ketua umum PSMTI, pak Rachmat, 
semua itu terbentur biaya. Agak miris juga kalau di kalangan warga Tionghoa 
banyak yg jadi konglomerat, malah anjungannya melarat  Oleh karena itu saya 
kepikiran untuk membantu pembangunan anjungan Tionghoa tersebut melalui dompet 
pedulli Anjungan Budaya Tionghoa Indonesia yang akan dimuat daftar 
penyumbangnya di majalah POST Media.  Untuk dompet peduli, saya dan pak Tedy 
Yusuf sudah buka account bersama di
 Bank Mandiri.No. rekening 125-00-0997473-4 an Tedy Yusuf  Tjandra Ghozalli.  
Diharapkan para member millis ini bersedia membantu pembangunan anjungan kita 
itu.  Perlu diketahui bahwa anjungan tersebut bukan milik PSMTI tetapi milik 
warga Tionghoa yg diserahkan oleh pak Harto (alm) kepada pak Tedy Yusuf.  
RGDS.Tjandra G


  


[budaya_tionghua] Pelurusan Indonesia Media

2010-01-28 Terurut Topik drirawan1
Pelurusan Indonesia Media

Bapak Tjandra Ghozali dan kawan2 yb,

Pertama, terimakasih atas perhatian anda terhadap Indonesia Media, dan 
aktivitas masyarakat Indonesia di Los Angeles dan sekitarnya.

Ada banyak hal yang Bapak beritakan rupanya masih kurang tepat , untuk itu saya 
rasa sebaiknya diluruskan agar tidak terjadi penafsiran yang berbeda, dan 
mengurangi kemungkinan salah kaprah dikemudian hari.

Mengenai majalah IM yang terbit dwiminggu bisa diambil gratis ditempat2 yg anda 
sebut itu betul adanya, hanya majalah yang kami cetak sebanyak 15.000 copies 
setiap kali terbitnya tidak dicetak di Indonesia.  Dari akal sehat hal itu 
tidak mungkin karena masa proses kami dipercetakan adalah 11 jam paling lama , 
yang berarti file kami sejak masuk di kamar pengolahan data ke Plat cetak , 
sampai majalah itu selesai dicetak , di bundel dan di ikat diatas pallet , dan 
siap diedarkan adalah 11 jam.
Sedangkan transportasi tercepat dari Indonesia ke LAX adalah 19 jam . Disamping 
itu forwarding pesawat dengan cargo 1,8 ton , itu ongkosnya berapa ? Seandainya 
di Indonesia cetaknya gratis juga tidak mungkin punya, belum lagi ketepatan 
waktunya .

Jadi kalau langganan dari Indonesia itu harusnya murah, jelas tidak mungkin, 
karena perangkonya memang sudah mahal mendekati $ 4, kalau dikalikan 24 saja 
jadi $96 , padahal ongkos berlangganannya saja masih $90. Berarti masih di 
subsidi.
Mungkin saja kalau ada majalah yang terbit hanya sebulan sekali dan mencetak 
dalam jumlah sedikit , itu mungkin lebih ekonomis cetak di Indonesia . Tapi 
untuk Indonesia Media yang telah terbit tanpa tersendat selama 12 tahun , dari 
pertama kali terbitnya selalu dicetak di percetakan besar di Amerika.

Mengenai kalau dahulu isinya agak miring , tapi sekarang setelah CW pulang ke 
Indo jadi pujian2 , itu juga tidak benar adanya. Mengapa ?? Karena kami semua 
memang dulu tidak terbiasa dengan bicara terus terang pada zaman ORBA, jadi 
sekali ada keluhan mengenai HAM , dan kritik kepada pemerintah, lalu itu 
dianggap miring. Padahal sekarang lebih banyak lagi kritikan kepada Presiden, 
dan pembongkaran kasus korupsi. Itu hanya perlu waktu beradaptasi dalam 
paradigma memandang permasalahan politik dari masayarakat Indonesia . Jadi 
bukan materi dari publikasi yang berubah tapi secara sublimasi otak kita yang 
berubah, dan memandang yang dulunya miring sekarang tidak lagi karena sudah 
terbiasa.

Hati2 dalam menyatakan tentang KBRI. pertama di California tidak ada KBRI, yang 
ada itu KJRI (Konsulat) , sedangkan KBRI adanya di Washington D.C.  Dan tidak 
pernah fasilitas ICAA (Indonesian Chinese American Association) yang di Duarte 
Inn (bukan El Duardo) , mau menyamakan diri sebagai kantor perwakilan RI. Kami 
malah ikut membantu KJRI dalam banyak hal untuk pelayanan kepada Masyarakat 
indonesia.

Betul Pemilik hotel Duarte Inn adalah orang yang sosial Namanya DR. Frits Hong 
, beliau adalah ketua umum ICAA. Tapi beliau tidak mengatur penyebaran dari IM. 
IM dan ICAA adalah badan hukum yang terdaftar di Amerika secara terpisah , 
namun saling bersinergi (istilah Tan Swie Ling nya).

Kalau rombongan Indonesia dari LA mau tour kenegara bagian lainnya kenapa harus 
kumpul di KBRI , atau Duarte Inn. Ini terlalu berlebihan agaknya.

Bazaar tidak diadakan setiap bulan , melainkan setahun sekali yaitu pada waktu 
menyambut tahun baru IMLEK . biasanya diadakan di Hacienda Heights , oleh ICAA 
bekerja sama dengan IM.

ICAA mempunyai Food Court yang diadakan setiap hari Sabtu (jadi setiap minggu) 
dari jam 8:30 pagi sampai jam 2:00 sore, Ada Taichi , dan  sekolah bahasa 
Mandarin Gratis. semua kegiatan ini diadakan di Duarte Inn. Kota Duarte dengan 
alamat 1200 E. Huntington Drive , Duarte . California 91010.

Sedangkan Indonesia Media berkantor di : 505 East . Arrow Highway . Suite C , 
Glendora, California 91740

Mudah2an kawan2 menjadi maklum adanya dan jangan sampai salah kaprah.

Dengan tidak mengurangi rasa hormat saya kepada Bapak Tjandra Ghozali yang 
telah berusaha menceritakan tentang Indonesia Media dan kegiatan ICAA, saya 
ucapkan terimakasih. 

salam,
Dr.Irawan
Editor In Chief
Indonesia Media
 



2010/1/27 Tjandra Ghozalli ghozalli2...@yahoo.com
- Show quoted text -

 

Yth members,
Saban kali saya jenguk anak yang lagi sekolah di LA, saya suka iseng ambil 
majalah Indonesia Media yang ditumpuk di pintu masuk restoran Indonesia, 
Chinese, dan Thailand. Majalah ini boleh ambil zonder bayar. Formatnya mirip 
Tempo jadul, kertasnya koran, cetakannya campur BW dan color HVS.  Isinya 
sebagian iklan keimigrasian, plumbing, properti, dan bank. Artikelnya menarik 
ada cerita wisata, politik Indo, politik Amrik, kegiatan KBRI Amrik, dan lain 
lain. Konon Indonesia Media dicetak di Indo lalu dikirim ke Amrik, semestinya 
bagi yg mau langganan di sini tidak perlu bayar mahal. Isi artikelnya banyak 
yang menarik. Dahulu sewaktu Bread Talk lagi puncaknya, ada artikel yang kira 
kira berbunyi gila cuma roti aja ngantrinya 

[budaya_tionghua] Re: AYO SUMBANG ANJUNGAN BUDAYA TIONGHOA

2010-01-28 Terurut Topik dkhkwa
Pak Tjandra,

Menurut owe, hal itu belum miris. Sebenarnya, kalau mau dibilang miris, yang 
miris seharusnya ya kita-kita ini, yang harus menyaksikan satu per satu 
bangunan heritage Tionghoa, yang tua, indah, dan bersejarah, harus menerima 
kenyataan sangat pahit, satu per satu dihancurkan oleh tangan-tangan 
konglomerat (Tionghoa?) yang begitu rakus mengincar nilai ekonomis tanahnya, 
untuk dijadikan hotel-apartemen, dlsb. Rasanya belum pudar dari ingatan kita 
bagaimana “ramainya” dimuat di koran-koran (baca a.l. berita-berita di 
Kompas dan Warta Kota) mengenai kasus pembongkaran bangunan samping dan 
belakang (side and back buildings) bekas Gedung Kediaman Mayor Tionghoa Batavia 
Khouw Kim An, yang kemudian dijadikan gedung perkumpulan (clubgebouw) Sin Ming 
Hui (selanjutnya menjadi Candra Naya), disamping juga pernah menampung korban 
Kerusuhan Tangerang 1946, di Jl. Gajah Mada 188. Apalagi saat itu pak Tedy 
Yusuf selaku ketua salah satu PSMTI ternyata bukannya melindungi, sebagaimana 
diharapkan, sebaliknya malah turut mendukung pembongkaran. Dengan kapasitas 
beliau sebagai ketua umum PSMTI waktu, tentunya beliau punya pengaruh di 
kalangan Tionghoa untuk menyelamatkan Sin Ming Hui dari kehancuran. Meski ada 
suara-suara protes dari pihak pecinta heritage, namun tetap hal itu tidak mampu 
membuat yang bersangkutan bergeming.

Belum lagi, yang terakhir, penghancuran sama sekali hingga rata dengan tanah 
bekas Gedung Kapitan Tionghoa Oey Djie San di Karawaci, Tangerang. Lagi-lagi, 
ketika berbagai pihak, termasuk non-Tionghoa pecinta heritage, berteriak-teriak 
agar bangunan bersejarah tempat penampungan korban Kerusuhan Tangerang 1946 itu 
diselamatkan, pihak Tionghoanya sendiri, termasuk pak Tedy Yusuf, tetap tidak 
bereaksi. Padahal bangunan itu merupakan yang termegah di kawasan Tangerang, 
dengan arsitektur Indisch sekaligus Tionghoanya.

Dengan hancurnya bangunan-bangunan tersebut, yang terjadi adalah penghancuran 
aset-aset budaya Tionghoa. Masyarakat menjadi lupa akan sejarah dan budaya. 
Masyarakat tidak tahu, misalnya, bahwa atap Ekor Walet itu bukan hanya dipakai 
di kelenteng, tapi juga pada kediaman para pejabat Tionghoa yang diangkat 
Belanda, yakni para mayor, kapitan, dan letnan Tionghoa tadi. Sungguh miris, 
ketika di negara tetangga kita Singapura dan Malaysia bangunan-bangunan 
bersejarah dibeli dan dikembalikan ke kejayaannya semula, lalu dijadikan museum 
(bekas rumah Cheong Fatt Tze, bekas rumah Kapitan China Chung Keng Kwee di 
Penang, bekas rumah Tun Tan Cheng Lock di Melaka, misalnya), maka yang terjadi 
di kita adalah penghancuran demi penghancuran.

Ironisnya, setelah berbagai aset budaya dihancurkan, didirikanlah berbagai 
bangunan baru oleh beragam komunitas Tionghoa, tentunya dengan dana yang tidak 
sedikit. Apakah tidak terbalik, menyelamatkan apa yang bisa diselamatkan 
terlebih dahulu, baru kemudian membangun yang baru? Bukankah itu yang 
seharusnya dilakukan oleh beragam komunitas Tionghoa yang mampu membangun di 
Taman Mininya babe ato yang menindas Tionghoa semasa berkuasa?

Jadi, kalau sekarang diharapkan sumbangan dari para member milis, owe rasa 
lebih baik dana yang ada dimanfaatkan untuk menyelamatkan berbagai aset budaya 
Tionghoa berupa beragam bangunan tua di berbagai kota di seluruh Indonesia 
sebelum tinggal cerita. Seperti yang dilakukan terhadap bekas Kediaman Mayor 
Tionghoa Tjong A Fie di Kesawan, Medan. Owe rasa di seluruh Indonesia masih 
banyak bangunan-bangunan tua Tionghoa, yang bagus-bagus tapi kondisinya 
memprihatinkan, yang menanti uluran tangan para penyelamat Tionghoa dan 
non-Tionghoa, seperti, owe dengar, bekas kediaman Kapitan Cina Palembang yang 
memprihatinkan. Atau orang Tionghoa sama sekali sudah tidak peduli akan aset 
budayanya sendiri? Yang ada hancurkan saja, yang belum ada bikin baru, 
begitu!!! Paduli teuing!!!

Muhun maap seandeh owe punya kata-kata ada yang sala.

Kiongchiu,
DK

--- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, Tjandra Ghozalli ghozalli2...@... 
wrote:

Dear members,
Saya percaya banyak member yang belum tahu kalau di Taman Mini Indonesia Indah 
ada anjungan Budaya Tionghoa Indonesia.  Hebatnya anjungan ini luasnya 4,5 ha 
padahal anjungan lain paling besar 2 ha.  Kita sebagai member millis ini patut 
bangga akan anjungan Budaya Tionghoa Indonesia.  Sayangnya di atas tanah 
tersebut belum dibangun main building yang dibangun baru sub building yang 
kecil kecil (sumbangan beragam komunitas Tionghoa) mengelilingi main building 
yg belum dibangun.  Seperti yang dikatakan oleh ketua umum PSMTI, pak Rachmat, 
semua itu terbentur biaya. Agak miris juga kalau di kalangan warga Tionghoa 
banyak yg jadi konglomerat, malah anjungannya melarat  Oleh karena itu saya 
kepikiran untuk membantu pembangunan anjungan Tionghoa tersebut melalui dompet 
pedulli Anjungan Budaya Tionghoa Indonesia yang akan dimuat daftar 
penyumbangnya di majalah POST Media.  Untuk dompet peduli, saya dan pak Tedy 
Yusuf sudah buka account bersama di 

Re:Apa relevansinya (Re: [budaya_tionghua] OOT: Sinar Harapan, Rabu -- Mohon Maaf..

2010-01-28 Terurut Topik Dharmawan Ronodipuro
Mohon maaf bila ada yang tidak berkenan dengan posting tentang Auditorium
Jusuf Ronodipuro.  Maksud saya adalah untuk share perkembangan budaya di
negara kita yang juga termasuk budaya Tionghua.

Sekali lagi mohon maaf.



Re: [budaya_tionghua] Pelurusan Indonesia Media

2010-01-28 Terurut Topik Tjandra Ghozalli
Yth Dr.Irawan,
Thanks atas pencerahannya. Dalam artikel saya - saya gunakan kata konon 
karena saya sendiri masih sangsi atas info seorang kawan bahwa majalah 
Indonesia Media di cetak di Indonesia satu grup dengan koran chinese Harian 
Indonesia, ternyata tidak demikian.  Sekali lagi terima kasih atas 
pelurusannya.  RGDS.TG  

--- On Thu, 1/28/10, drirawan1 drira...@indonesiamedia.com wrote:


From: drirawan1 drira...@indonesiamedia.com
Subject: [budaya_tionghua] Pelurusan Indonesia Media
To: budaya_tionghua@yahoogroups.com
Date: Thursday, January 28, 2010, 3:54 PM


  



Pelurusan Indonesia Media

Bapak Tjandra Ghozali dan kawan2 yb,

Pertama, terimakasih atas perhatian anda terhadap Indonesia Media, dan 
aktivitas masyarakat Indonesia di Los Angeles dan sekitarnya.

Ada banyak hal yang Bapak beritakan rupanya masih kurang tepat , untuk itu saya 
rasa sebaiknya diluruskan agar tidak terjadi penafsiran yang berbeda, dan 
mengurangi kemungkinan salah kaprah dikemudian hari.

Mengenai majalah IM yang terbit dwiminggu bisa diambil gratis ditempat2 yg anda 
sebut itu betul adanya, hanya majalah yang kami cetak sebanyak 15.000 copies 
setiap kali terbitnya tidak dicetak di Indonesia. Dari akal sehat hal itu tidak 
mungkin karena masa proses kami dipercetakan adalah 11 jam paling lama , yang 
berarti file kami sejak masuk di kamar pengolahan data ke Plat cetak , sampai 
majalah itu selesai dicetak , di bundel dan di ikat diatas pallet , dan siap 
diedarkan adalah 11 jam.
Sedangkan transportasi tercepat dari Indonesia ke LAX adalah 19 jam . Disamping 
itu forwarding pesawat dengan cargo 1,8 ton , itu ongkosnya berapa ? Seandainya 
di Indonesia cetaknya gratis juga tidak mungkin punya, belum lagi ketepatan 
waktunya .

Jadi kalau langganan dari Indonesia itu harusnya murah, jelas tidak mungkin, 
karena perangkonya memang sudah mahal mendekati $ 4, kalau dikalikan 24 saja 
jadi $96 , padahal ongkos berlangganannya saja masih $90. Berarti masih di 
subsidi.
Mungkin saja kalau ada majalah yang terbit hanya sebulan sekali dan mencetak 
dalam jumlah sedikit , itu mungkin lebih ekonomis cetak di Indonesia . Tapi 
untuk Indonesia Media yang telah terbit tanpa tersendat selama 12 tahun , dari 
pertama kali terbitnya selalu dicetak di percetakan besar di Amerika.

Mengenai kalau dahulu isinya agak miring , tapi sekarang setelah CW pulang ke 
Indo jadi pujian2 , itu juga tidak benar adanya. Mengapa ?? Karena kami semua 
memang dulu tidak terbiasa dengan bicara terus terang pada zaman ORBA, jadi 
sekali ada keluhan mengenai HAM , dan kritik kepada pemerintah, lalu itu 
dianggap miring. Padahal sekarang lebih banyak lagi kritikan kepada Presiden, 
dan pembongkaran kasus korupsi. Itu hanya perlu waktu beradaptasi dalam 
paradigma memandang permasalahan politik dari masayarakat Indonesia . Jadi 
bukan materi dari publikasi yang berubah tapi secara sublimasi otak kita yang 
berubah, dan memandang yang dulunya miring sekarang tidak lagi karena sudah 
terbiasa.

Hati2 dalam menyatakan tentang KBRI. pertama di California tidak ada KBRI, yang 
ada itu KJRI (Konsulat) , sedangkan KBRI adanya di Washington D.C. Dan tidak 
pernah fasilitas ICAA (Indonesian Chinese American Association) yang di Duarte 
Inn (bukan El Duardo) , mau menyamakan diri sebagai kantor perwakilan RI. Kami 
malah ikut membantu KJRI dalam banyak hal untuk pelayanan kepada Masyarakat 
indonesia.

Betul Pemilik hotel Duarte Inn adalah orang yang sosial Namanya DR. Frits Hong 
, beliau adalah ketua umum ICAA. Tapi beliau tidak mengatur penyebaran dari IM. 
IM dan ICAA adalah badan hukum yang terdaftar di Amerika secara terpisah , 
namun saling bersinergi (istilah Tan Swie Ling nya).

Kalau rombongan Indonesia dari LA mau tour kenegara bagian lainnya kenapa harus 
kumpul di KBRI , atau Duarte Inn. Ini terlalu berlebihan agaknya.

Bazaar tidak diadakan setiap bulan , melainkan setahun sekali yaitu pada waktu 
menyambut tahun baru IMLEK . biasanya diadakan di Hacienda Heights , oleh ICAA 
bekerja sama dengan IM.

ICAA mempunyai Food Court yang diadakan setiap hari Sabtu (jadi setiap minggu) 
dari jam 8:30 pagi sampai jam 2:00 sore, Ada Taichi , dan sekolah bahasa 
Mandarin Gratis. semua kegiatan ini diadakan di Duarte Inn. Kota Duarte dengan 
alamat 1200 E. Huntington Drive , Duarte . California 91010.

Sedangkan Indonesia Media berkantor di : 505 East . Arrow Highway . Suite C , 
Glendora, California 91740

Mudah2an kawan2 menjadi maklum adanya dan jangan sampai salah kaprah.

Dengan tidak mengurangi rasa hormat saya kepada Bapak Tjandra Ghozali yang 
telah berusaha menceritakan tentang Indonesia Media dan kegiatan ICAA, saya 
ucapkan terimakasih. 

salam,
Dr.Irawan
Editor In Chief
Indonesia Media


2010/1/27 Tjandra Ghozalli ghozalli2002@ yahoo.com
- Show quoted text -

Yth members,
Saban kali saya jenguk anak yang lagi sekolah di LA, saya suka iseng ambil 
majalah Indonesia Media yang ditumpuk di pintu masuk restoran Indonesia, 
Chinese, dan Thailand. Majalah ini 

Re: [budaya_tionghua] Informasi Ciong thn 2010 (Thn macan logam. macan kayu)

2010-01-28 Terurut Topik Ong Bun
usia di sini biasanya usia imlek/lunar calendar pak..
biasanya di jaman dahulu, usia bayi ketika lahir adalah umur 1, bukan umur 0

sedangkan yang kita pakai sekarang ini gaya romawi/barat yang mana bayi
lahir umurnya 0, bukan 1..

jadi memang kalau versi kalender romawi umur 41, tapi versi imlek umur
42.. begitu pak.. biasanya daftar ciong Tay Sui ini menggunakan usia
imlek, bukan usia gaya barat/romawi yang kita pakai secara internasional

ciong di sini pun sebetulnya artinya bertemu bukan sial, namun
pertemuan ini kadang menimbulkan ketidakharmonisan dikarenakan
unsur-unsur kimia yang dikandung tubuh sesuai shio dan unsur ada yang
bertabrakan dengan unsur-unsur kimiawi alam yang dihitung dari siklus

namun hal2 ini mungkin perlu dikaji ulang karena perhitungan Thung Shu
pada jaman dahulu belum ada makanan instant atau fast food seperti di
jaman sekarang, sehingga unsur kimiawi masing-masing shio makin
bertambah variabelnya.. belum lagi konsumsi obat-obatan kimia, minuman
suplemen, polusi udara, dan macam-macam lainnya di dunia modern ini yang
jaman dahulu belum bisa dihitung (diperkirakan) secara matematika siklus



H3R1'5 wrote:
 
 
 Dengan hormat,
  
 Sesuai penjelasan dari eastroad sianseng, ada tertulis :  
  
 Untuk Chiong Macan putih
 
 - Shio Anjing umur 17, 29, *42*, 53, 65, 77.
 
 Mohon bantuannya, untuk umur 42 apakah tidak masuk shio Monyet ?
 
 Sedangkan untuk shio Anjing seharusnya umur 41.
 
 Terima kasih.
 
  
 
  
 
  
 
 
 :BCA:
 
 
 
 


Apa relevansinya (Re: [budaya_tionghua] OOT: Sinar Harapan, Rabu

2010-01-28 Terurut Topik Eva Yulianti
Akhmad Bukhari Saleh :

Mas Dharmawan, sejujurnya senang juga saya melihat foto Pakde saya terpampang 
di berita Sinar Harapan ini.
Tetapi maaf, saya koq samasekali tidak melihat relevansinya posting ini dengan 
budaya tionghoa?
 
Eva :

Sungguh aneh sekali tanggapan saudara ABS ini, sempit sekali wawasan anda dalam 
menanggapi sebuah berita mengenai Putra Terbaik Bangsa ini yang menjadi pembaca 
Teks Proklamasi kemerdekaan di RRI.

Sungguh sempit wawasan kebangsaan anda, apakah seseorang berbudaya seperti anda 
?? lantas merasa terganggu dengan berita tentang kisah seorang Putra terbaik 
Bangsa ini ???

Ironis sekali...

Salam,
Eva.



  


Apa relevansinya (Re: [budaya_tionghua] OOT: Sinar Harapan, Rabu

2010-01-28 Terurut Topik Dipo
Apakah Eva ini mengetahui, mengapa sebuah milis di beri nama ? 

Jika saya ingin membaca berita, saya akan ke web CNN, detik.com atau 
kompas.com. Jika saya ingin mengetahui tentang tempat2 makan enak, saya akan 
ikut milis jalansutra. Kalau ingin berdiskusi menganai sejarah, ikut milis 
sejarah. 

Begitu lho, mudah2an bisa dipahami.

--- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, Eva Yulianti beran...@... wrote:

 Akhmad Bukhari Saleh :
 
 Mas Dharmawan, sejujurnya senang juga saya melihat foto Pakde saya terpampang 
 di berita Sinar Harapan ini.
 Tetapi maaf, saya koq samasekali tidak melihat relevansinya posting ini 
 dengan budaya tionghoa?
  
 Eva :
 
 Sungguh aneh sekali tanggapan saudara ABS ini, sempit sekali wawasan anda 
 dalam menanggapi sebuah berita mengenai Putra Terbaik Bangsa ini yang menjadi 
 pembaca Teks Proklamasi kemerdekaan di RRI.
 
 Sungguh sempit wawasan kebangsaan anda, apakah seseorang berbudaya seperti 
 anda ?? lantas merasa terganggu dengan berita tentang kisah seorang Putra 
 terbaik Bangsa ini ???
 
 Ironis sekali...
 
 Salam,
 Eva.





[budaya_tionghua] Re: AYO SUMBANG ANJUNGAN BUDAYA TIONGHOA

2010-01-28 Terurut Topik Kawaii_no_Shogetsu
 Kalau begitu usul saja, bangun replika bangunan Kongkoan/Gongguan sebagai 
bangunan induknya.

 Bagaimana?



--- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, dkhkwa dkh...@... wrote:

 Pak Tjandra,
 
 Menurut owe, hal itu belum miris. Sebenarnya, kalau mau dibilang miris, yang 
 miris seharusnya ya kita-kita ini, yang harus menyaksikan satu per satu 
 bangunan heritage Tionghoa, yang tua, indah, dan bersejarah, harus menerima 
 kenyataan sangat pahit, satu per satu dihancurkan oleh tangan-tangan 
 konglomerat (Tionghoa?) yang begitu rakus mengincar nilai ekonomis tanahnya, 
 untuk dijadikan hotel-apartemen, dlsb. Rasanya belum pudar dari ingatan kita 
 bagaimana “ramainya” dimuat di koran-koran (baca a.l. berita-berita di 
 Kompas dan Warta Kota) mengenai kasus pembongkaran bangunan samping dan 
 belakang (side and back buildings) bekas Gedung Kediaman Mayor Tionghoa 
 Batavia Khouw Kim An, yang kemudian dijadikan gedung perkumpulan (clubgebouw) 
 Sin Ming Hui (selanjutnya menjadi Candra Naya), disamping juga pernah 
 menampung korban Kerusuhan Tangerang 1946, di Jl. Gajah Mada 188. Apalagi 
 saat itu pak Tedy Yusuf selaku ketua salah satu PSMTI ternyata bukannya 
 melindungi, sebagaimana diharapkan, sebaliknya malah turut mendukung 
 pembongkaran. Dengan kapasitas beliau sebagai ketua umum PSMTI waktu, 
 tentunya beliau punya pengaruh di kalangan Tionghoa untuk menyelamatkan Sin 
 Ming Hui dari kehancuran. Meski ada suara-suara protes dari pihak pecinta 
 heritage, namun tetap hal itu tidak mampu membuat yang bersangkutan bergeming.
 
 Belum lagi, yang terakhir, penghancuran sama sekali hingga rata dengan tanah 
 bekas Gedung Kapitan Tionghoa Oey Djie San di Karawaci, Tangerang. Lagi-lagi, 
 ketika berbagai pihak, termasuk non-Tionghoa pecinta heritage, 
 berteriak-teriak agar bangunan bersejarah tempat penampungan korban Kerusuhan 
 Tangerang 1946 itu diselamatkan, pihak Tionghoanya sendiri, termasuk pak Tedy 
 Yusuf, tetap tidak bereaksi. Padahal bangunan itu merupakan yang termegah di 
 kawasan Tangerang, dengan arsitektur Indisch sekaligus Tionghoanya.
 
 Dengan hancurnya bangunan-bangunan tersebut, yang terjadi adalah penghancuran 
 aset-aset budaya Tionghoa. Masyarakat menjadi lupa akan sejarah dan budaya. 
 Masyarakat tidak tahu, misalnya, bahwa atap Ekor Walet itu bukan hanya 
 dipakai di kelenteng, tapi juga pada kediaman para pejabat Tionghoa yang 
 diangkat Belanda, yakni para mayor, kapitan, dan letnan Tionghoa tadi. 
 Sungguh miris, ketika di negara tetangga kita Singapura dan Malaysia 
 bangunan-bangunan bersejarah dibeli dan dikembalikan ke kejayaannya semula, 
 lalu dijadikan museum (bekas rumah Cheong Fatt Tze, bekas rumah Kapitan China 
 Chung Keng Kwee di Penang, bekas rumah Tun Tan Cheng Lock di Melaka, 
 misalnya), maka yang terjadi di kita adalah penghancuran demi penghancuran.
 
 Ironisnya, setelah berbagai aset budaya dihancurkan, didirikanlah berbagai 
 bangunan baru oleh beragam komunitas Tionghoa, tentunya dengan dana yang 
 tidak sedikit. Apakah tidak terbalik, menyelamatkan apa yang bisa 
 diselamatkan terlebih dahulu, baru kemudian membangun yang baru? Bukankah itu 
 yang seharusnya dilakukan oleh beragam komunitas Tionghoa yang mampu 
 membangun di Taman Mininya babe ato yang menindas Tionghoa semasa berkuasa?
 
 Jadi, kalau sekarang diharapkan sumbangan dari para member milis, owe rasa 
 lebih baik dana yang ada dimanfaatkan untuk menyelamatkan berbagai aset 
 budaya Tionghoa berupa beragam bangunan tua di berbagai kota di seluruh 
 Indonesia sebelum tinggal cerita. Seperti yang dilakukan terhadap bekas 
 Kediaman Mayor Tionghoa Tjong A Fie di Kesawan, Medan. Owe rasa di seluruh 
 Indonesia masih banyak bangunan-bangunan tua Tionghoa, yang bagus-bagus tapi 
 kondisinya memprihatinkan, yang menanti uluran tangan para penyelamat 
 Tionghoa dan non-Tionghoa, seperti, owe dengar, bekas kediaman Kapitan Cina 
 Palembang yang memprihatinkan. Atau orang Tionghoa sama sekali sudah tidak 
 peduli akan aset budayanya sendiri? Yang ada hancurkan saja, yang belum ada 
 bikin baru, begitu!!! Paduli teuing!!!
 
 Muhun maap seandeh owe punya kata-kata ada yang sala.
 
 Kiongchiu,
 DK
 
 --- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, Tjandra Ghozalli ghozalli2002@ 
 wrote:
 
 Dear members,
 Saya percaya banyak member yang belum tahu kalau di Taman Mini Indonesia 
 Indah ada anjungan Budaya Tionghoa Indonesia.  Hebatnya anjungan ini luasnya 
 4,5 ha padahal anjungan lain paling besar 2 ha.  Kita sebagai member millis 
 ini patut bangga akan anjungan Budaya Tionghoa Indonesia.  Sayangnya di atas 
 tanah tersebut belum dibangun main building yang dibangun baru sub 
 building yang kecil kecil (sumbangan beragam komunitas Tionghoa) 
 mengelilingi main building yg belum dibangun.  Seperti yang dikatakan oleh 
 ketua umum PSMTI, pak Rachmat, semua itu terbentur biaya. Agak miris juga 
 kalau di kalangan warga Tionghoa banyak yg jadi konglomerat, malah 
 anjungannya melarat  Oleh karena itu saya kepikiran 

[budaya_tionghua] Re: AYO SUMBANG ANJUNGAN BUDAYA TIONGHOA

2010-01-28 Terurut Topik nreharto
Di Medan kalau tidak salah rumah kediaman konglomerat Tjong A Fie , sekarang 
sudah dijadikan mesium.
Saya kurang paham bagaimana keadaan dan kejadiannya bisa sampai begitu, tapi 
waktu ke Medan, saya dikasih tahu bahwa rumah beliau sudah jadi seperti itu.
Mohon maaf bila saya salah dan mungkin dari saudara-saudara bisa berikan 
pencerahan mengenai ini. Terima kasih

Salam hormat.
Andre Harto

--- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, dkhkwa dkh...@... wrote:

 Pak Tjandra,
 
 Menurut owe, hal itu belum miris. Sebenarnya, kalau mau dibilang miris, yang 
 miris seharusnya ya kita-kita ini, yang harus menyaksikan satu per satu 
 bangunan heritage Tionghoa, yang tua, indah, dan bersejarah, harus menerima 
 kenyataan sangat pahit, satu per satu dihancurkan oleh tangan-tangan 
 konglomerat (Tionghoa?) yang begitu rakus mengincar nilai ekonomis tanahnya, 
 untuk dijadikan hotel-apartemen, dlsb. Rasanya belum pudar dari ingatan kita 
 bagaimana “ramainya” dimuat di koran-koran (baca a.l. berita-berita di 
 Kompas dan Warta Kota) mengenai kasus pembongkaran bangunan samping dan 
 belakang (side and back buildings) bekas Gedung Kediaman Mayor Tionghoa 
 Batavia Khouw Kim An, yang kemudian dijadikan gedung perkumpulan (clubgebouw) 
 Sin Ming Hui (selanjutnya menjadi Candra Naya), disamping juga pernah 
 menampung korban Kerusuhan Tangerang 1946, di Jl. Gajah Mada 188. Apalagi 
 saat itu pak Tedy Yusuf selaku ketua salah satu PSMTI ternyata bukannya 
 melindungi, sebagaimana diharapkan, sebaliknya malah turut mendukung 
 pembongkaran. Dengan kapasitas beliau sebagai ketua umum PSMTI waktu, 
 tentunya beliau punya pengaruh di kalangan Tionghoa untuk menyelamatkan Sin 
 Ming Hui dari kehancuran. Meski ada suara-suara protes dari pihak pecinta 
 heritage, namun tetap hal itu tidak mampu membuat yang bersangkutan bergeming.
 
 Belum lagi, yang terakhir, penghancuran sama sekali hingga rata dengan tanah 
 bekas Gedung Kapitan Tionghoa Oey Djie San di Karawaci, Tangerang. Lagi-lagi, 
 ketika berbagai pihak, termasuk non-Tionghoa pecinta heritage, 
 berteriak-teriak agar bangunan bersejarah tempat penampungan korban Kerusuhan 
 Tangerang 1946 itu diselamatkan, pihak Tionghoanya sendiri, termasuk pak Tedy 
 Yusuf, tetap tidak bereaksi. Padahal bangunan itu merupakan yang termegah di 
 kawasan Tangerang, dengan arsitektur Indisch sekaligus Tionghoanya.
 
 Dengan hancurnya bangunan-bangunan tersebut, yang terjadi adalah penghancuran 
 aset-aset budaya Tionghoa. Masyarakat menjadi lupa akan sejarah dan budaya. 
 Masyarakat tidak tahu, misalnya, bahwa atap Ekor Walet itu bukan hanya 
 dipakai di kelenteng, tapi juga pada kediaman para pejabat Tionghoa yang 
 diangkat Belanda, yakni para mayor, kapitan, dan letnan Tionghoa tadi. 
 Sungguh miris, ketika di negara tetangga kita Singapura dan Malaysia 
 bangunan-bangunan bersejarah dibeli dan dikembalikan ke kejayaannya semula, 
 lalu dijadikan museum (bekas rumah Cheong Fatt Tze, bekas rumah Kapitan China 
 Chung Keng Kwee di Penang, bekas rumah Tun Tan Cheng Lock di Melaka, 
 misalnya), maka yang terjadi di kita adalah penghancuran demi penghancuran.
 
 Ironisnya, setelah berbagai aset budaya dihancurkan, didirikanlah berbagai 
 bangunan baru oleh beragam komunitas Tionghoa, tentunya dengan dana yang 
 tidak sedikit. Apakah tidak terbalik, menyelamatkan apa yang bisa 
 diselamatkan terlebih dahulu, baru kemudian membangun yang baru? Bukankah itu 
 yang seharusnya dilakukan oleh beragam komunitas Tionghoa yang mampu 
 membangun di Taman Mininya babe ato yang menindas Tionghoa semasa berkuasa?
 
 Jadi, kalau sekarang diharapkan sumbangan dari para member milis, owe rasa 
 lebih baik dana yang ada dimanfaatkan untuk menyelamatkan berbagai aset 
 budaya Tionghoa berupa beragam bangunan tua di berbagai kota di seluruh 
 Indonesia sebelum tinggal cerita. Seperti yang dilakukan terhadap bekas 
 Kediaman Mayor Tionghoa Tjong A Fie di Kesawan, Medan. Owe rasa di seluruh 
 Indonesia masih banyak bangunan-bangunan tua Tionghoa, yang bagus-bagus tapi 
 kondisinya memprihatinkan, yang menanti uluran tangan para penyelamat 
 Tionghoa dan non-Tionghoa, seperti, owe dengar, bekas kediaman Kapitan Cina 
 Palembang yang memprihatinkan. Atau orang Tionghoa sama sekali sudah tidak 
 peduli akan aset budayanya sendiri? Yang ada hancurkan saja, yang belum ada 
 bikin baru, begitu!!! Paduli teuing!!!
 
 Muhun maap seandeh owe punya kata-kata ada yang sala.
 
 Kiongchiu,
 DK
 
 --- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, Tjandra Ghozalli ghozalli2002@ 
 wrote:
 
 Dear members,
 Saya percaya banyak member yang belum tahu kalau di Taman Mini Indonesia 
 Indah ada anjungan Budaya Tionghoa Indonesia.  Hebatnya anjungan ini luasnya 
 4,5 ha padahal anjungan lain paling besar 2 ha.  Kita sebagai member millis 
 ini patut bangga akan anjungan Budaya Tionghoa Indonesia.  Sayangnya di atas 
 tanah tersebut belum dibangun main building yang dibangun baru sub 
 building yang kecil kecil (sumbangan beragam komunitas 

Apa relevansinya (Re: [budaya_tionghua] OOT: Sinar Harapan, Rabu

2010-01-28 Terurut Topik Eva Yulianti
Dipo :

Apakah Eva ini mengetahui, mengapa sebuah milis di beri nama ?

Jika saya ingin membaca berita, saya akan ke web CNN, detik.com atau kompas.com.
Jika saya ingin mengetahui tentang tempat2 makan enak, saya akan ikut milis
jalansutra. Kalau ingin berdiskusi menganai sejarah, ikut milis sejarah.

Begitu lho, mudah2an bisa dipahami.

Eva :

waduh saya baru tahu Milis ini budaya tionghua yaa..jadi seratus persen 
membahas budaya tionghua...

jadi memang harus membahas budaya tionghua yaa ? yang lain nggak boleh ?? 
padahal kemaren kok ada masalah jus wortel sama jus sirsak juga di sini..

ternyata saya sangat keliru sekali memprotes orang yang berbudaya, yang 
menghardik tulisan mengenai kisah seorang Putra Bangsa terbaik negeri ini, yang 
kalau di simak di sana tidak hanya menulis tentang kepahlawan Beliau tetapi 
juga mengenai pagelaran musik juga..

oh ya keliru lagi pagelaran musiknya bukan musik tionghua juga.. jadi nggak 
boleh masuk milis budaya tionghua ini yaaa..

Salam,
Eva.



  


Re: [budaya_tionghua] Re: AYO SUMBANG ANJUNGAN BUDAYA TIONGHOA

2010-01-28 Terurut Topik Fy Zhou
Ah!  bangsa ini ternyata sukanya replika dan miniatur, sukanya arsitektur ala 
theme park, tapi malah tak mau disuguhi bangunan kuno yang asli!

Se-hebat2nya repilika, tetap tak dapat menggantikan nilai sejarah bangunan asli.





From: Kawaii_no_Shogetsu fenghuan...@hotmail.com
To: budaya_tionghua@yahoogroups.com
Sent: Thu, January 28, 2010 8:53:00 PM
Subject: [budaya_tionghua] Re: AYO SUMBANG ANJUNGAN BUDAYA TIONGHOA

  
Kalau begitu usul saja, bangun replika bangunan Kongkoan/Gongguan sebagai 
bangunan induknya.

Bagaimana?

--- In budaya_tionghua@ yahoogroups. com, dkhkwa dkh...@... wrote:

 Pak Tjandra,
 
 Menurut owe, hal itu belum miris. Sebenarnya, kalau mau dibilang miris, yang 
 miris seharusnya ya kita-kita ini, yang harus menyaksikan satu per satu 
 bangunan heritage Tionghoa, yang tua, indah, dan bersejarah, harus menerima 
 kenyataan sangat pahit, satu per satu dihancurkan oleh tangan-tangan 
 konglomerat (Tionghoa?) yang begitu rakus mengincar nilai ekonomis tanahnya, 
 untuk dijadikan hotel-apartemen, dlsb. Rasanya belum pudar dari ingatan kita 
 bagaimana “ramainya” dimuat di koran-koran (baca a.l. berita-berita di Kompas 
 dan Warta Kota) mengenai kasus pembongkaran bangunan samping dan belakang 
 (side and back buildings) bekas Gedung Kediaman Mayor Tionghoa Batavia Khouw 
 Kim An, yang kemudian dijadikan gedung perkumpulan (clubgebouw) Sin Ming Hui 
 (selanjutnya menjadi Candra Naya), disamping juga pernah menampung korban 
 Kerusuhan Tangerang 1946, di Jl. Gajah Mada 188. Apalagi saat itu pak Tedy 
 Yusuf selaku ketua salah satu PSMTI ternyata bukannya
 melindungi, sebagaimana diharapkan, sebaliknya malah turut mendukung 
pembongkaran. Dengan kapasitas beliau sebagai ketua umum PSMTI waktu, tentunya 
beliau punya pengaruh di kalangan Tionghoa untuk menyelamatkan Sin Ming Hui 
dari kehancuran. Meski ada suara-suara protes dari pihak pecinta heritage, 
namun tetap hal itu tidak mampu membuat yang bersangkutan bergeming.
 
 Belum lagi, yang terakhir, penghancuran sama sekali hingga rata dengan tanah 
 bekas Gedung Kapitan Tionghoa Oey Djie San di Karawaci, Tangerang. Lagi-lagi, 
 ketika berbagai pihak, termasuk non-Tionghoa pecinta heritage, 
 berteriak-teriak agar bangunan bersejarah tempat penampungan korban Kerusuhan 
 Tangerang 1946 itu diselamatkan, pihak Tionghoanya sendiri, termasuk pak Tedy 
 Yusuf, tetap tidak bereaksi. Padahal bangunan itu merupakan yang termegah di 
 kawasan Tangerang, dengan arsitektur Indisch sekaligus Tionghoanya.
 
 Dengan hancurnya bangunan-bangunan tersebut, yang terjadi adalah penghancuran 
 aset-aset budaya Tionghoa. Masyarakat menjadi lupa akan sejarah dan budaya. 
 Masyarakat tidak tahu, misalnya, bahwa atap Ekor Walet itu bukan hanya 
 dipakai di kelenteng, tapi juga pada kediaman para pejabat Tionghoa yang 
 diangkat Belanda, yakni para mayor, kapitan, dan letnan Tionghoa tadi. 
 Sungguh miris, ketika di negara tetangga kita Singapura dan Malaysia 
 bangunan-bangunan bersejarah dibeli dan dikembalikan ke kejayaannya semula, 
 lalu dijadikan museum (bekas rumah Cheong Fatt Tze, bekas rumah Kapitan China 
 Chung Keng Kwee di Penang, bekas rumah Tun Tan Cheng Lock di Melaka, 
 misalnya), maka yang terjadi di kita adalah penghancuran demi penghancuran.
 
 Ironisnya, setelah berbagai aset budaya dihancurkan, didirikanlah berbagai 
 bangunan baru oleh beragam komunitas Tionghoa, tentunya dengan dana yang 
 tidak sedikit. Apakah tidak terbalik, menyelamatkan apa yang bisa 
 diselamatkan terlebih dahulu, baru kemudian membangun yang baru? Bukankah itu 
 yang seharusnya dilakukan oleh beragam komunitas Tionghoa yang mampu 
 membangun di Taman Mininya babe ato yang menindas Tionghoa semasa berkuasa?
 
 Jadi, kalau sekarang diharapkan sumbangan dari para member milis, owe rasa 
 lebih baik dana yang ada dimanfaatkan untuk menyelamatkan berbagai aset 
 budaya Tionghoa berupa beragam bangunan tua di berbagai kota di seluruh 
 Indonesia sebelum tinggal cerita. Seperti yang dilakukan terhadap bekas 
 Kediaman Mayor Tionghoa Tjong A Fie di Kesawan, Medan. Owe rasa di seluruh 
 Indonesia masih banyak bangunan-bangunan tua Tionghoa, yang bagus-bagus tapi 
 kondisinya memprihatinkan, yang menanti uluran tangan para penyelamat 
 Tionghoa dan non-Tionghoa, seperti, owe dengar, bekas kediaman Kapitan Cina 
 Palembang yang memprihatinkan. Atau orang Tionghoa sama sekali sudah tidak 
 peduli akan aset budayanya sendiri? Yang ada hancurkan saja, yang belum ada 
 bikin baru, begitu!!! Paduli teuing!!!
 
 Muhun maap seandeh owe punya kata-kata ada yang sala.
 
 Kiongchiu,
 DK
 
 --- In budaya_tionghua@ yahoogroups. com, Tjandra Ghozalli ghozalli2002@  
 wrote:
 
 Dear members,
 Saya percaya banyak member yang belum tahu kalau di Taman Mini Indonesia 
 Indah ada anjungan Budaya Tionghoa Indonesia.  Hebatnya anjungan ini luasnya 
 4,5 ha padahal anjungan lain paling besar 2 ha.  Kita sebagai member millis 
 ini patut bangga akan anjungan Budaya 

Re: [budaya_tionghua] Re: Informasi Ciong thn 2010 (Thn macan logam. macan kayu)

2010-01-28 Terurut Topik King Hian
Sebenarnya bukan dilebihkan satu tahun, tapi menurut orang Tionghoa umur kita 
dihitung sejak terjadinya pembuahan.
Masa kehamilan berlangsung sekitar 40-42 minggu, yang hampir setara dengan 10 
bulan lunar.
Karena itu kita dianggap sudah berusia satu tahun ketika dilahirkan.

kiongchiu,
KH

 




From: Kawaii_no_Shogetsu fenghuan...@hotmail.com
To: budaya_tionghua@yahoogroups.com
Sent: Thu, January 28, 2010 5:50:13 PM
Subject: [budaya_tionghua] Re: Informasi Ciong thn 2010 (Thn macan logam. macan 
kayu)

  
Jadi jangan sampai salah ya? Kalau mau hitung Shio, umur kita SELALU lebih tua 
satu tahun. Jangan sampai rancu.

--- In budaya_tionghua@ yahoogroups. com, Ong Bun ayam_o...@. .. wrote:

 usia di sini biasanya usia imlek/lunar calendar pak..
 biasanya di jaman dahulu, usia bayi ketika lahir adalah umur 1, bukan umur 0
 
 sedangkan yang kita pakai sekarang ini gaya romawi/barat yang mana bayi
 lahir umurnya 0, bukan 1..
 
 jadi memang kalau versi kalender romawi umur 41, tapi versi imlek umur
 42.. begitu pak.. biasanya daftar ciong Tay Sui ini menggunakan usia
 imlek, bukan usia gaya barat/romawi yang kita pakai secara internasional
 
 ciong di sini pun sebetulnya artinya bertemu bukan sial, namun
 pertemuan ini kadang menimbulkan ketidakharmonisan dikarenakan
 unsur-unsur kimia yang dikandung tubuh sesuai shio dan unsur ada yang
 bertabrakan dengan unsur-unsur kimiawi alam yang dihitung dari siklus
 
 namun hal2 ini mungkin perlu dikaji ulang karena perhitungan Thung Shu
 pada jaman dahulu belum ada makanan instant atau fast food seperti di
 jaman sekarang, sehingga unsur kimiawi masing-masing shio makin
 bertambah variabelnya. . belum lagi konsumsi obat-obatan kimia, minuman
 suplemen, polusi udara, dan macam-macam lainnya di dunia modern ini yang
 jaman dahulu belum bisa dihitung (diperkirakan) secara matematika siklus
 
 
 
 H3R1'5 wrote:
  
  
  Dengan hormat,
  
  Sesuai penjelasan dari eastroad sianseng, ada tertulis : 
  
  Untuk Chiong Macan putih
  
  - Shio Anjing umur 17, 29, *42*, 53, 65, 77.
  
  Mohon bantuannya, untuk umur 42 apakah tidak masuk shio Monyet ?
  
  Sedangkan untuk shio Anjing seharusnya umur 41.
  
  Terima kasih.
  
  
  
  
  
  
  
   - - - - - -
  :BCA:
  
  
  
 



 


  

Re: Apa relevansinya (Re: [budaya_tionghua] OOT: Sinar Harapan, Rabu

2010-01-28 Terurut Topik jackson_yahya
Biar aja sekali2 menyimpang dari topik biar ada variasi dikit. Gpp biar rame.


Sent from my BlackBerry® smartphone from Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...!

-Original Message-
From: Dipo dipod...@yahoo.com
Date: Thu, 28 Jan 2010 13:29:47 
To: budaya_tionghua@yahoogroups.com
Subject: Apa relevansinya (Re: [budaya_tionghua] OOT: Sinar Harapan, Rabu

Apakah Eva ini mengetahui, mengapa sebuah milis di beri nama ? 

Jika saya ingin membaca berita, saya akan ke web CNN, detik.com atau 
kompas.com. Jika saya ingin mengetahui tentang tempat2 makan enak, saya akan 
ikut milis jalansutra. Kalau ingin berdiskusi menganai sejarah, ikut milis 
sejarah. 

Begitu lho, mudah2an bisa dipahami.

--- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, Eva Yulianti beran...@... wrote:

 Akhmad Bukhari Saleh :
 
 Mas Dharmawan, sejujurnya senang juga saya melihat foto Pakde saya terpampang 
 di berita Sinar Harapan ini.
 Tetapi maaf, saya koq samasekali tidak melihat relevansinya posting ini 
 dengan budaya tionghoa?
  
 Eva :
 
 Sungguh aneh sekali tanggapan saudara ABS ini, sempit sekali wawasan anda 
 dalam menanggapi sebuah berita mengenai Putra Terbaik Bangsa ini yang menjadi 
 pembaca Teks Proklamasi kemerdekaan di RRI.
 
 Sungguh sempit wawasan kebangsaan anda, apakah seseorang berbudaya seperti 
 anda ?? lantas merasa terganggu dengan berita tentang kisah seorang Putra 
 terbaik Bangsa ini ???
 
 Ironis sekali...
 
 Salam,
 Eva.






[budaya_tionghua] Re: AYO SUMBANG ANJUNGAN BUDAYA TIONGHOA

2010-01-28 Terurut Topik Dipo
Mengapa gedung Candra Naya perlu dibuat replikanya di TMII, apakah karena 
gedung itu memiliki nilai penting untuk kelompok Tionghoa di Indonesia ? Jika 
penting, mengapa aslinya malah di trondoli gak keruan ?

Apa gunanya bikin replika gedung Kong Koan ? Gedung Kong Koan yang mana ya ? 
Apakah karena Kong Koan pernah meiliki peranan besar dalah kehidupan masyarakat 
Tionghoa ? Yang merawat arsipnya saja orang asing.

Dari pada buang uang bikin gedung tiruan, lebih baik yang ada saja di rawat 
baik baik.

Ada yang bilang : Masa lalu itu seperti buku pelajaran, jadi kita tidak 
mengulangi kesalahan yang sama, supaya bisa belajar dari pengalaman pendahulu 
kita. Kalau belajarnya dari replika dan miniatur, mudah2an tidak jadi bangsa 
replika dan miniatur juga.

Salam

--- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, Fy Zhou zho...@... wrote:

 Ah!  bangsa ini ternyata sukanya replika dan miniatur, sukanya arsitektur ala 
 theme park, tapi malah tak mau disuguhi bangunan kuno yang asli!
 
 Se-hebat2nya repilika, tetap tak dapat menggantikan nilai sejarah bangunan 
 asli.
 
 
 
 
 
 From: Kawaii_no_Shogetsu fenghuan...@...
 To: budaya_tionghua@yahoogroups.com
 Sent: Thu, January 28, 2010 8:53:00 PM
 Subject: [budaya_tionghua] Re: AYO SUMBANG ANJUNGAN BUDAYA TIONGHOA
 
   
 Kalau begitu usul saja, bangun replika bangunan Kongkoan/Gongguan sebagai 
 bangunan induknya.
 
 Bagaimana?
 
 --- In budaya_tionghua@ yahoogroups. com, dkhkwa dkhkwa@ wrote:
 
  Pak Tjandra,
  
  Menurut owe, hal itu belum miris. Sebenarnya, kalau mau dibilang miris, 
  yang miris seharusnya ya kita-kita ini, yang harus menyaksikan satu per 
  satu bangunan heritage Tionghoa, yang tua, indah, dan bersejarah, harus 
  menerima kenyataan sangat pahit, satu per satu dihancurkan oleh 
  tangan-tangan konglomerat (Tionghoa?) yang begitu rakus mengincar nilai 
  ekonomis tanahnya, untuk dijadikan hotel-apartemen, dlsb. Rasanya belum 
  pudar dari ingatan kita bagaimana “ramainya” dimuat di koran-koran 
  (baca a.l. berita-berita di Kompas dan Warta Kota) mengenai kasus 
  pembongkaran bangunan samping dan belakang (side and back buildings) bekas 
  Gedung Kediaman Mayor Tionghoa Batavia Khouw Kim An, yang kemudian 
  dijadikan gedung perkumpulan (clubgebouw) Sin Ming Hui (selanjutnya menjadi 
  Candra Naya), disamping juga pernah menampung korban Kerusuhan Tangerang 
  1946, di Jl. Gajah Mada 188. Apalagi saat itu pak Tedy Yusuf selaku ketua 
  salah satu PSMTI ternyata bukannya
  melindungi, sebagaimana diharapkan, sebaliknya malah turut mendukung 
 pembongkaran. Dengan kapasitas beliau sebagai ketua umum PSMTI waktu, 
 tentunya beliau punya pengaruh di kalangan Tionghoa untuk menyelamatkan Sin 
 Ming Hui dari kehancuran. Meski ada suara-suara protes dari pihak pecinta 
 heritage, namun tetap hal itu tidak mampu membuat yang bersangkutan bergeming.
  
  Belum lagi, yang terakhir, penghancuran sama sekali hingga rata dengan 
  tanah bekas Gedung Kapitan Tionghoa Oey Djie San di Karawaci, Tangerang. 
  Lagi-lagi, ketika berbagai pihak, termasuk non-Tionghoa pecinta heritage, 
  berteriak-teriak agar bangunan bersejarah tempat penampungan korban 
  Kerusuhan Tangerang 1946 itu diselamatkan, pihak Tionghoanya sendiri, 
  termasuk pak Tedy Yusuf, tetap tidak bereaksi. Padahal bangunan itu 
  merupakan yang termegah di kawasan Tangerang, dengan arsitektur Indisch 
  sekaligus Tionghoanya.
  
  Dengan hancurnya bangunan-bangunan tersebut, yang terjadi adalah 
  penghancuran aset-aset budaya Tionghoa. Masyarakat menjadi lupa akan 
  sejarah dan budaya. Masyarakat tidak tahu, misalnya, bahwa atap Ekor Walet 
  itu bukan hanya dipakai di kelenteng, tapi juga pada kediaman para pejabat 
  Tionghoa yang diangkat Belanda, yakni para mayor, kapitan, dan letnan 
  Tionghoa tadi. Sungguh miris, ketika di negara tetangga kita Singapura dan 
  Malaysia bangunan-bangunan bersejarah dibeli dan dikembalikan ke 
  kejayaannya semula, lalu dijadikan museum (bekas rumah Cheong Fatt Tze, 
  bekas rumah Kapitan China Chung Keng Kwee di Penang, bekas rumah Tun Tan 
  Cheng Lock di Melaka, misalnya), maka yang terjadi di kita adalah 
  penghancuran demi penghancuran.
  
  Ironisnya, setelah berbagai aset budaya dihancurkan, didirikanlah berbagai 
  bangunan baru oleh beragam komunitas Tionghoa, tentunya dengan dana yang 
  tidak sedikit. Apakah tidak terbalik, menyelamatkan apa yang bisa 
  diselamatkan terlebih dahulu, baru kemudian membangun yang baru? Bukankah 
  itu yang seharusnya dilakukan oleh beragam komunitas Tionghoa yang mampu 
  membangun di Taman Mininya babe ato yang menindas Tionghoa semasa berkuasa?
  
  Jadi, kalau sekarang diharapkan sumbangan dari para member milis, owe rasa 
  lebih baik dana yang ada dimanfaatkan untuk menyelamatkan berbagai aset 
  budaya Tionghoa berupa beragam bangunan tua di berbagai kota di seluruh 
  Indonesia sebelum tinggal cerita. Seperti yang dilakukan terhadap bekas 
  Kediaman Mayor Tionghoa 

[budaya_tionghua] Re: Tanya kelenteng daerah pancoran

2010-01-28 Terurut Topik sumamihardja
Yang dicari sebagai obyek fotografi itu apa? Apa keantikan kelenteng, keunikan 
umat, keunikan fungsi, kimsinnya, atau malah keanehan bentuk kelenteng? 
Apakah termasuk juga vihara yang benar-benar budhis meskipun memiliki ornamen 
Tionghoa? Klasifikasinya juga sangat banyak.

Di seputaran daerah kota ada sekitar 20 kelenteng (dengan berbagai namanya, 
semisal bio, i, si, kong, dsb, termasuk juga kelenteng pelindung marga, 
kelenteng sinci, kelenteng kwan im, hok tek cheng sin dan kelenteng-kelenteng 
khusus untuk tukang obat, tukang kayu, dsb). Yang saya maksud daerah kota 
kira-kira dari kotak imajiner sekitar beos menuju ke pinangsia, ke arah glodok 
pancoran, sampai ke mulut jembatan lima lalu ke arah angke ke Timur menuju 
pasar ikan dan kembali ke stasiun beos. 

Di Jakarta sendiri, ada beberapa kelompok daerah kelenteng (yang dibangun 
sebelum era orde baru, termasuk yang hancur atau dijarah di tahun 1967 dan 
1998). Saya kecualikan vihara (budhis) dengan model Tionghoa yang dibangun 
belakangan dan biasanya cirinya adalah bertingkat, modern dengan sedikit 
arsitektur Tionghoa dan adanya patung Kuan Im dan hiolo baru. Beberapa 
pengelompokan kelenteng yang cukup dekat dengan kota adalah daerah mangga besar 
hingga pasar baru (sekitar 20 kelenteng) yang terutama sekali memiliki pengaruh 
buddhis yang kuat, kemudian enklave daerah pluit-angke (sekitar 10 kelenteng, 
termasuk Toapekong Ancol) meskipun sebagian sudah agak modern, lalu enklave 
daerah jembatan lima hingga tanah abang (sekitar 10 kelenteng) yang juga 
gado-gado. Ada juga kelenteng yang akan misah seperti misalnya Hian Thian Siang 
Tee di Palmerah dan Kelenteng Hok Tek Cheng Sin di Karet dan Kwee Seng Ong di 
Senen yang dipindah ke Sunter serta kelenteng Hok Tek Cheng Sin Jatinegara.

Karena yang dimintakan hanya daerah kota saja, berikut ini daftarnya dan 
sedikit komentar saya:

1. Hongsan bio (Toase Bio) di Jl. Kemenangan III (dekat gereja samping sekolah 
Ricci, yang peninggalan kapiten yang menjadi Katolik, dengan arsitektur awal 
abad ke-20 yang cukup menarik meskipun ada beberapa perombakan di dalamnya 
untuk memfasilitasi gereja), nama sankritnya sudah dikembalikan ke Tionghoa, 
aktif dalam kegiatan gotong joli. Arsitekturnya lumayan, meski sudah difurnish 
modern dengan berbagai keramik dan beton baru.
2. Kim Tek I di Petak Sembilan, sebenarnya bergabung dengan tiga kelenteng 
tambahan lain di depannya, sehingga orang sering rancu. Di kompleks itu jadinya 
ada empat kelenteng dengan maksud, arsitektur dan juga pemaknaan yang 
sebenarnya agak berbeda. Ada yang semula untuk shen penjaga neraka (karena 
aslinya untuk menghormati shen penjaga daerah pemakaman), dsb (saya tidak bahas 
karena terlalu panjang). Kompleks ini suduah difurnish modern, termasuk hiolo 
di depan Kim Tek I sendiri dan bagian-bagian sampingnya. Arsitektur kayunya 
menarik, meskipun tidak serumit yang biasa ditemukan di daerah Jawa Tengah 
(Semarang dan Lasem). Nama sanskritnya masih terpampang di gerbang depan 
meskipun orang sudah terbiasa kembali ke nama asalnya.
3. Thian Hou Kiong (Maco Lim Bi Nio atau Thian Siang Seng Bo) di Bandengan 
Selatan. Arsitekturnya masih dipertahankan, namun sayangnya gara-gara orba 
dulu, diadakan penamaan dewi samudera dan dipagar sehingga ada kesan bahwa 
kelenteng itu diberi kerangkeng (karena bentuk pagar dalamnya yang tinggi dan 
seperti teralis penjara). Yang unik hanya bagian depan, karena bagian belakang 
nampaknya dibuat untuk mengesankan kebudhisan tambahan dengan menambahkan ruang 
bagi Kuan Im. Memang agak rancu, karena toh dalam beberapa hikayat, Lim Bi Nio 
sendiri digambarkan sebagai berciri budhis dan sama-sama berfungsi sebagai dewi 
penolong, meskipun lebih banyak dikenal kalangan nelayan.
4. Tan Seng Ong Bio (kelenteng pelindung marga Tan), di Jl. Blandongan. 
Kelenteng ini kelihatannya tidak pernah dipaksa memakai nama sanskrit karena 
lebih ke kelenteng marga. Arsitekturnya cukup baik, meskipun sekarang sedang 
direnovasi. Sayangnya ada beberapa renovasi sebelumnya di bagian kanan (dari 
tuan rumah) dan lagi-lagi penambahan ruang Kuan Im yang mempengaruhi makna 
kelenteng asalnya.
5. Lo Pan Kiong di Bandengan Selatan (dekat sekali, sebelah kelenteng Maco, 
namun kelihatannya sudah direnovasi habis dan karena berada di rumahan, sulit 
dilihat (tertutup dan kabarnya hanya dipakai saat kebaktian mingguan).
6. Li Ti Kuai Bio (salah satu dari delapan dewa) di Jl. Perniagaan Gg. Patike. 
Patungnya antik, namun gedungnya sudah dimodernkan dan menjadi vihara (Budhi 
Dharma).
7. Lam Ceng Bio (yang disebut arya marga, suatu nama sanskrit yang dipaksakan 
untuk mengesankan Kwan Kong sebagai seorang Patriot Pembela), di Gg. lamceng 
dan berfungsi rumahan (sebelumnya kompleks rumah kapiten marga The). Gedungnya 
sudah direnovasi abis dan bahkan ditambahi ruang yang berfungsi sebagai ruang 
titipan pengenang arwah meninggal (lilin di gelas). Ada abeberapa artefak yang 
unik namun arsitekturnya terlalu modern.
8. Sam Nyan 

[budaya_tionghua] Re: AYO SUMBANG ANJUNGAN BUDAYA TIONGHOA

2010-01-28 Terurut Topik sumamihardja
Sebenarnya gedung CN posisi historisnya tidak begitu jauh dibandingkan dengan 
satu dari saudara-saudara-nya. Gedung CN tadinya didirikan bersamaan dengan 
dua gedung lainnya di sepanjang jalan Gajah Mada (sekarang) sebagai milik dari 
keluarga besar Khouw. Khouw Kim An adalah penghuni gedung CN itu, sementara dua 
lainnya ditempati oleh saudara-saudaranya. Arsitekturnya bisa dikatakan sama 
dan menawan. Masalahnya, gedung yang satu yang sempat disewakan menjadi kedubes 
RRT, disikat tahun 1966 dan dinasionalisasi untuk kemudian dibongkar dan diubah 
fungsinya, yang lainnya juga kabarnya terkena perusakan dan kemudian dijual 
lalu menjadi pertokoan (atau SMA 2, salah satunya benar, cuma tertular dengan 
yang eks kedubes. Catatan saya belum ketemu dalam waktu singkat ini). Jadinya, 
tinggal CN itulah satu-satunya gedung lux Tionghoa era akhir abad ke-19 
selain rumah keluarga Souw di Perniagaan dan gereja Santa Maria de Fatima di 
dekat Petak Sembilan. Kalau dari sisi kualitas, gedung keluarga Khouw ini 
adalah nomor 1-nya di masa itu untuk wilayah Batavia baik dari sisi kualitas 
arsitektur, bahan penyusunnya, perangkat meubel, bangku batu, ubin batu, singa 
batu, kaligrafi dan ukiran yang dibuat di sana serta luas bangunannya. Kalau di 
Tangerang, rumah Oey Giok Koen adalah yang paling top, namun sepembandingan 
saya, masih sedikit kalah kelas dibandingkan milik keluarga Khouw ini.

Meski demikian, gedung CN ini memiliki sejarah kuat sebagai rumah dari Majoor 
der Chineezen terakhir di Batavia (1910-1942 karena Jepang dan tidak berlanjut 
setelah Proklamasi), yaitu Khouw Kim An yang meninggal dalam tawanan Jepang di 
Cimahi tahun 1945. Selain Majoor (jabatan tertinggi saat itu), KKA juga 
merupakan seorang pendiri THHK. Tahun 1910-19300 dia juga menjadi ketua Kong 
Koan Batavia dan tahun 1918 mendirikan Bataviaasche Bank. Tahun 1928 ia ikut 
mendirikan Chung Hwa Hui. KKA juga mendapatkan sejumlah bintang penghargaan 
dari Belanda. Rumahnya di CN itu digunakannya untuk mengadakan 
pertemuan-pertemuan baik dengan petinggi Tionghoa maupuun dengan kalangan 
pembesar lain (Belanda, Jawa, Sunda dan sebagainya), termasuk ketika didirikan 
klub olah raga dan seni budaya Sin Ming Hui.

Dari sisi historis, itulah rumah Majoor der Chineezen. Dari sisi selanjutnya, 
sepeninggal KKA, rumah itu dijadikan tempat pertemuan kalangan Tionghoa, 
apalagi pada masa bergejolak 1945-1947 lewat kejadian gedoran dan kerusuhan 
Tangerang. Kerusuhan ini ada beberapa gelombang, namun yang terbesar terjadi 
tahun 1946-1947, menyusul kejadian serupa di sejumlah daerah seperti Medan 
(1945-1946), Tasikmalaya, Garut, Kuningan, Cirebon dan sekitarnya (1946) dan di 
daerah-daerah lainnya di pulau Jawa (salah satunya direkam oleh Tjamboek 
Berdoeri di Malang). Tim yang berangkat ke Tangerang di bawah perintah Soekarno 
memintakan ijin untuk menampung pengungsi tersebut dengan kawalan tentara 
rakyat yang tunduk kepada Soekarno ke rumah alm. KKA ini.

Dengan demikian, rumah KKA ini menjadi saksi bagaimana pergolakan 
sosial-politik di Indonesia dari awal abad ke-20 (THHK) hingga masa kemerdekaan 
dan kemudian pemunculan orde baru, yang kesemuanya mempengaruhi kedudukan dan 
keamanan kalangan Tionghoa di Indonesia.

Masalahnya, seperti apa yang sudah saya tulis di thread yang dulu, gedung 
bersejarah ini justru dihancurkan oleh kalangan Tionghoa sendiri yang tidak 
memaknai arti kesejarahannya. Pertama, yang kabarnya menjualnya, kemudian 
kedua yang membelinya, ketiga yang melegitimasi penghancurannya, keempat yang 
mengarsiteki pengolongannya mayoritas adalah Tionghoa!!!

Makanya saya sampai sekarang tetap menuntut pertanggungjawaban tim arsitektur 
Untar yang ikut mempreteli dan menyimpan ornamen-ornamen dari sayap kiri-kanan 
dan paviliun belakang dari gedung CN tersebut. Saya kenal orang-orangnya, 
makanya saya terus ngledekin mereka, meskipun mereka dableg juga sampai 
sekarang dan sudah mendekati uzur. Kabarnya Untar sudah tidak bertanggung jawab 
lagi (sebelumnya sih sudah tidak bertanggung jawab atas legitimasi pembongkaran 
tersebut) dengan penyimpanan barang-barang itu. Yaa, tidak dikonservasi, jelas 
saja barang itu akan lapuk, hilang atau dipreteli. Itu dia, makanya ketika 
Untar mengklaim menyelamatkan CN, saya sih justru menertawakan klaim itu. Saya 
pernah sindir lebih keras lagi ketika saya putar film mengenai teknik renovasi 
yang benar (yang saya beri tema Rayahan dan Renovasi), cuma ya, karena dableg, 
susah juga, apalagi kalangan Tionghoa pada umumnya juga apatis dan yang peduli 
justru bo lui.

Oleh karena itu, baik pendirian museum Budaya Tionghoa di TMI, saya sih sangat 
apatis dan pernah mengutarakan penentangan saya terang-terangan kepada 
orang-orang PSMTI, namun tidak didengar juga. Saat perancangannya saja saya 
sudah tahu dan memberikan komentar saya, khususnya melihat arsitekturnya yang 
tidak mewakili keunikan tambahan dari Tionghoa Indonesia. Selain soal latar 
arsitekturnya yang tidak sesuai dengan daerah 

Re: [budaya_tionghua] Informasi Ciong thn 2010 (Thn macan logam. macan kayu)

2010-01-28 Terurut Topik Liana Nilasari
Tapi emang benarkan, pak. shio Anjing itu umur 41 (yg lahir thn 1970) nah kl 42 
ayam ( lahir 1969 bukan monyet, monyet lahir 1968 umur 43) tul kan. Soalny sy 
shio ayam, ciong gak ya?

Salam

Sent from my iPhone

On Jan 28, 2010, at 4:23 AM, Ong Bun ayam_o...@yahoo.com.sg wrote:

usia di sini biasanya usia imlek/lunar calendar pak..
biasanya di jaman dahulu, usia bayi ketika lahir adalah umur 1, bukan umur 0

sedangkan yang kita pakai sekarang ini gaya romawi/barat yang mana bayi
lahir umurnya 0, bukan 1..

jadi memang kalau versi kalender romawi umur 41, tapi versi imlek umur
42.. begitu pak.. biasanya daftar ciong Tay Sui ini menggunakan usia
imlek, bukan usia gaya barat/romawi yang kita pakai secara internasional

ciong di sini pun sebetulnya artinya bertemu bukan sial, namun
pertemuan ini kadang menimbulkan ketidakharmonisan dikarenakan
unsur-unsur kimia yang dikandung tubuh sesuai shio dan unsur ada yang
bertabrakan dengan unsur-unsur kimiawi alam yang dihitung dari siklus

namun hal2 ini mungkin perlu dikaji ulang karena perhitungan Thung Shu
pada jaman dahulu belum ada makanan instant atau fast food seperti di
jaman sekarang, sehingga unsur kimiawi masing-masing shio makin
bertambah variabelnya.. belum lagi konsumsi obat-obatan kimia, minuman
suplemen, polusi udara, dan macam-macam lainnya di dunia modern ini yang
jaman dahulu belum bisa dihitung (diperkirakan) secara matematika siklus

H3R1'5 wrote:
 
 
 Dengan hormat,
 
 Sesuai penjelasan dari eastroad sianseng, ada tertulis : 
 
 Untuk Chiong Macan putih
 
 - Shio Anjing umur 17, 29, *42*, 53, 65, 77.
 
 Mohon bantuannya, untuk umur 42 apakah tidak masuk shio Monyet ?
 
 Sedangkan untuk shio Anjing seharusnya umur 41.
 
 Terima kasih.
 
 
 
 
 
 
 
 --
 :BCA:
 
 
 
 




  

Re: [budaya_tionghua] Pelurusan Indonesia Media

2010-01-28 Terurut Topik Dr. Irawan
Bapak Tjandra Ghozalli yb,

Nggak apa2 koq , kita'kan satu kolega dibidang itu. Tentang koran lainnya ,
memang kami banyak sekali berafiliasi dan bersindikasi. seperti IDN
(International Daily News) yang kalau bahasa mandarinnya disebut Guo Zi Re
Bao, Indopos, Jawa Pos group dan lainnya , termasuk majalah di Australia
yang dulunya bernama Gamelan , lalu jadi Ozindo, dan banyak lagi. Tapi nama
Harian Indonesia saya belum pernah dengar lagi (dulu itu 'kan punya
Bakin). IDN mempunyai printing Plant di LA juga, namun kami tidak nyetak
disana.

Saya senang sekali kalau ada kawan2 yang mengadakan media cetak atau siar,
Karena banyak aspirasi yang tidak tertampung oleh koran yang lain, mungkin
kami bisa bantu. Demikianlah seharusnya dalam implementasi kehidupan
demokrasi. Dulu waktu Pak Mochtar Ryadi datang ke LA kita sempat berbincang
dan dia cukup kagum terhadap Indonesia Media , saya katakan kalau mau
memperjuangkan kesetaraan maka kita harus punya media, jangan hanya dagang
saja. Sepulangnya dia dari AS , langsung Suara Pembaruan dibelinya dan
berkembang terus dengan koran bahasa Inggerisnya juga. Pak Tjiputra juga
pernah menemui saya untuk tukar pikiran, beliau juga dari Tempo ternyata.
Pak Gunawan Mohamad juga pernah saya temui untuk minta masukan , ketika itu
saya jumpai beliau di apartementnya di daerah Santa Monica. Beliau bilang
bahwa sebagai media cetak harus memberitakan secara seimbang, dan
mendengarkan suara hati rakyat banyak.

Mendirikan media cetak , sebenarnya tidak terlalu sulit, yang sulit adalah
memeliharanya supaya langgeng terus. Untuk itu kita harus banyak mendengar
dari pada bicara .

Saya kagum dan senang kalau Pak Tjandra bisa membantu PSMTI pada proyek
Anjungan Budaya Tionghoa di TMII, saya juga pernah berkunjung kesana dan
meliput . Bahkan BrigJen Purn Teddy Jusuf dan isteri waktu ke LA juga titip
untuk membantu project ini. Project itu bukan kecil, namun donatur masih
sulit di motivasi. Harus cari terobosan baru, dan itu harus dipikirkan .

Saya mencontoh dengan project Pa Hoa , yang dibangun oleh Sumarecon dengan
para donatur. Mengapa Pa Hoa dalam waktu singkat dapat mengetuk hati donatur
? Tentu ada banyak perbedaan. Maka harus dicari common groundnya .

Mudah2an lancar. Salam kepada Pak Teddy.

salam,
Dr.Irawan.
2010/1/28 Tjandra Ghozalli ghozalli2...@yahoo.com



 Yth Dr.Irawan,
 Thanks atas pencerahannya. Dalam artikel saya - saya gunakan kata konon
 karena saya sendiri masih sangsi atas info seorang kawan bahwa majalah
 Indonesia Media di cetak di Indonesia satu grup dengan koran chinese Harian
 Indonesia, ternyata tidak demikian.  Sekali lagi terima kasih atas
 pelurusannya.  RGDS.TG

 --- On *Thu, 1/28/10, drirawan1 drira...@indonesiamedia.com* wrote:


 From: drirawan1 drira...@indonesiamedia.com
 Subject: [budaya_tionghua] Pelurusan Indonesia Media
 To: budaya_tionghua@yahoogroups.com
 Date: Thursday, January 28, 2010, 3:54 PM



 Pelurusan Indonesia Media

 Bapak Tjandra Ghozali dan kawan2 yb,

 Pertama, terimakasih atas perhatian anda terhadap Indonesia Media, dan
 aktivitas masyarakat Indonesia di Los Angeles dan sekitarnya.

 Ada banyak hal yang Bapak beritakan rupanya masih kurang tepat , untuk itu
 saya rasa sebaiknya diluruskan agar tidak terjadi penafsiran yang berbeda,
 dan mengurangi kemungkinan salah kaprah dikemudian hari.

 Mengenai majalah IM yang terbit dwiminggu bisa diambil gratis ditempat2 yg
 anda sebut itu betul adanya, hanya majalah yang kami cetak sebanyak 15.000
 copies setiap kali terbitnya tidak dicetak di Indonesia. Dari akal sehat hal
 itu tidak mungkin karena masa proses kami dipercetakan adalah 11 jam paling
 lama , yang berarti file kami sejak masuk di kamar pengolahan data ke Plat
 cetak , sampai majalah itu selesai dicetak , di bundel dan di ikat diatas
 pallet , dan siap diedarkan adalah 11 jam.
 Sedangkan transportasi tercepat dari Indonesia ke LAX adalah 19 jam .
 Disamping itu forwarding pesawat dengan cargo 1,8 ton , itu ongkosnya berapa
 ? Seandainya di Indonesia cetaknya gratis juga tidak mungkin punya, belum
 lagi ketepatan waktunya .

 Jadi kalau langganan dari Indonesia itu harusnya murah, jelas tidak
 mungkin, karena perangkonya memang sudah mahal mendekati $ 4, kalau
 dikalikan 24 saja jadi $96 , padahal ongkos berlangganannya saja masih $90.
 Berarti masih di subsidi.
 Mungkin saja kalau ada majalah yang terbit hanya sebulan sekali dan
 mencetak dalam jumlah sedikit , itu mungkin lebih ekonomis cetak di
 Indonesia . Tapi untuk Indonesia Media yang telah terbit tanpa tersendat
 selama 12 tahun , dari pertama kali terbitnya selalu dicetak di percetakan
 besar di Amerika.

 Mengenai kalau dahulu isinya agak miring , tapi sekarang setelah CW pulang
 ke Indo jadi pujian2 , itu juga tidak benar adanya. Mengapa ?? Karena kami
 semua memang dulu tidak terbiasa dengan bicara terus terang pada zaman ORBA,
 jadi sekali ada keluhan mengenai HAM , dan kritik kepada pemerintah, lalu
 itu dianggap miring. Padahal sekarang lebih banyak lagi 

Re: [budaya_tionghua] Re: AYO SUMBANG ANJUNGAN BUDAYA TIONGHOA

2010-01-28 Terurut Topik Dr. Irawan
Pak David Kwa yb,

Saya sangat mengerti kegemasan Pak David , juga mungkin banyak kawan2
lainnya macam Ir. Hendra Lukito  dari UNTAR , jadi agaknya penyandang dana
atau donatur harus tampil dari para konglomerat dari pada rakyat umum
kebanyakan kalau begitu, agar pembangunan Anjungan BT itu bisa cepat
selesai.
Terimakasih atas keterusterangan dari Pak David Kwa, sehingga pimpro bisa
mengatur strategi yang tepat dalam pencarian dana untuk ABT tsb.
salam,
Dr.Irawan

2010/1/28 dkhkwa dkh...@yahoo.com



 Pak Tjandra,

 Menurut owe, hal itu belum miris. Sebenarnya, kalau mau dibilang miris,
 yang miris seharusnya ya kita-kita ini, yang harus menyaksikan satu per satu
 bangunan heritage Tionghoa, yang tua, indah, dan bersejarah, harus menerima
 kenyataan sangat pahit, satu per satu dihancurkan oleh tangan-tangan
 konglomerat (Tionghoa?) yang begitu rakus mengincar nilai ekonomis tanahnya,
 untuk dijadikan hotel-apartemen, dlsb. Rasanya belum pudar dari ingatan kita
 bagaimana “ramainya†dimuat di koran-koran (baca a.l. berita-berita di
 Kompas dan Warta Kota) mengenai kasus pembongkaran bangunan samping dan
 belakang (side and back buildings) bekas Gedung Kediaman Mayor Tionghoa
 Batavia Khouw Kim An, yang kemudian dijadikan gedung perkumpulan
 (clubgebouw) Sin Ming Hui (selanjutnya menjadi Candra Naya), disamping juga
 pernah menampung korban Kerusuhan Tangerang 1946, di Jl. Gajah Mada 188.
 Apalagi saat itu pak Tedy Yusuf selaku ketua salah satu PSMTI ternyata
 bukannya melindungi, sebagaimana diharapkan, sebaliknya malah turut
 mendukung pembongkaran. Dengan kapasitas beliau sebagai ketua umum PSMTI
 waktu, tentunya beliau punya pengaruh di kalangan Tionghoa untuk
 menyelamatkan Sin Ming Hui dari kehancuran. Meski ada suara-suara protes
 dari pihak pecinta heritage, namun tetap hal itu tidak mampu membuat yang
 bersangkutan bergeming.

 Belum lagi, yang terakhir, penghancuran sama sekali hingga rata dengan
 tanah bekas Gedung Kapitan Tionghoa Oey Djie San di Karawaci, Tangerang.
 Lagi-lagi, ketika berbagai pihak, termasuk non-Tionghoa pecinta heritage,
 berteriak-teriak agar bangunan bersejarah tempat penampungan korban
 Kerusuhan Tangerang 1946 itu diselamatkan, pihak Tionghoanya sendiri,
 termasuk pak Tedy Yusuf, tetap tidak bereaksi. Padahal bangunan itu
 merupakan yang termegah di kawasan Tangerang, dengan arsitektur Indisch
 sekaligus Tionghoanya.

 Dengan hancurnya bangunan-bangunan tersebut, yang terjadi adalah
 penghancuran aset-aset budaya Tionghoa. Masyarakat menjadi lupa akan sejarah
 dan budaya. Masyarakat tidak tahu, misalnya, bahwa atap Ekor Walet itu bukan
 hanya dipakai di kelenteng, tapi juga pada kediaman para pejabat Tionghoa
 yang diangkat Belanda, yakni para mayor, kapitan, dan letnan Tionghoa tadi.
 Sungguh miris, ketika di negara tetangga kita Singapura dan Malaysia
 bangunan-bangunan bersejarah dibeli dan dikembalikan ke kejayaannya semula,
 lalu dijadikan museum (bekas rumah Cheong Fatt Tze, bekas rumah Kapitan
 China Chung Keng Kwee di Penang, bekas rumah Tun Tan Cheng Lock di Melaka,
 misalnya), maka yang terjadi di kita adalah penghancuran demi penghancuran.

 Ironisnya, setelah berbagai aset budaya dihancurkan, didirikanlah berbagai
 bangunan baru oleh beragam komunitas Tionghoa, tentunya dengan dana yang
 tidak sedikit. Apakah tidak terbalik, menyelamatkan apa yang bisa
 diselamatkan terlebih dahulu, baru kemudian membangun yang baru? Bukankah
 itu yang seharusnya dilakukan oleh beragam komunitas Tionghoa yang mampu
 membangun di Taman Mininya babe ato yang menindas Tionghoa semasa berkuasa?

 Jadi, kalau sekarang diharapkan sumbangan dari para member milis, owe rasa
 lebih baik dana yang ada dimanfaatkan untuk menyelamatkan berbagai aset
 budaya Tionghoa berupa beragam bangunan tua di berbagai kota di seluruh
 Indonesia sebelum tinggal cerita. Seperti yang dilakukan terhadap bekas
 Kediaman Mayor Tionghoa Tjong A Fie di Kesawan, Medan. Owe rasa di seluruh
 Indonesia masih banyak bangunan-bangunan tua Tionghoa, yang bagus-bagus tapi
 kondisinya memprihatinkan, yang menanti uluran tangan para penyelamat
 Tionghoa dan non-Tionghoa, seperti, owe dengar, bekas kediaman Kapitan Cina
 Palembang yang memprihatinkan. Atau orang Tionghoa sama sekali sudah tidak
 peduli akan aset budayanya sendiri? Yang ada hancurkan saja, yang belum ada
 bikin baru, begitu!!! Paduli teuing!!!

 Muhun maap seandeh owe punya kata-kata ada yang sala.

 Kiongchiu,
 DK


 --- In budaya_tionghua@yahoogroups.com budaya_tionghua%40yahoogroups.com,
 Tjandra Ghozalli ghozalli2...@... wrote:

 Dear members,
 Saya percaya banyak member yang belum tahu kalau di Taman Mini Indonesia
 Indah ada anjungan Budaya Tionghoa Indonesia. Hebatnya anjungan ini luasnya
 4,5 ha padahal anjungan lain paling besar 2 ha. Kita sebagai member millis
 ini patut bangga akan anjungan Budaya Tionghoa Indonesia. Sayangnya di atas
 tanah tersebut belum dibangun main building yang dibangun baru sub
 building yang kecil kecil (sumbangan 

[budaya_tionghua] Roh Bangunan Tua. (Was: AYO SUMBANG ANJUNGAN BUDAYA TIONGHOA)

2010-01-28 Terurut Topik Ophoeng
Bung Dipo, Bung Fy Zhou, Bung David K. dan TTM semuah,

Hai, apakabar? Sudah makan?

Ikut nimbrung barang sepatah dua kata saja ya

Benar juga, kalau dikatakan bahwa bangunan tua (yang kemudian dirobohkan) 
dibandingkan dengan replika-nya, walau mungkin bisa menggunakan batu-bata dan 
kusen-kusen lama untuk direkonstruksi di tempat lain, tentu sudah kehilangan 
roh-nya.

Roh bangunan tua [bukan 'roh' hantu yang katanya suka mendiami bangunan tua 
tidak terurus] tidak bisa di'cipta'kan, dibuat di tempat baru, apalagi kalau 
bangunan 'tua' itu baru dibangun sebagai replika-nya saja.

Memang dilema juga. Bangunan tua itu biasanya adalah warisan dari orang kaya 
jaman dulu. Orang kaya jaman dulu, seperti kita semua tahu, mestilah punya anak 
banyak (yang kemudian banyak ditiru oleh orang-orang yang merasa kaya). Atau 
bahkan isteri beberapa orang dengan anak-anaknya masing-masing. Jadi, ketika si 
kepala keluarga meninggal dunia, maka pembagian warisan terpaksa mesti 
menjadikan banguna tua itu dibagi rata, kalau ndak ya bisa saja jadi sengketa.

Kita sebagai 'pengamat' atau 'pemerhati' tentu tidak kuasa berbuat apa-apa, 
kalau ahli warisnya lantas melego bangunan tua itu untuk mendapat manfaat 
ekonomi. Mungkin saja mereka (anak-cucu-cicit) ahli waris tidak merasa punya 
ikatan emosionil dengan bangunan tua itu, karena ada kebutuhan ekonomi yang 
lebih mendesak? Perut memang ndak bisa disuruh menunggu sih, jeh!

Kalau saja ada satu badan atau yayasan yang banyak duitnya, mungkin bisa punya 
dana cukup untuk membeli bangunan tua itu, lantas dijadikan entah apa terserah 
badan atau yayasan tsb. yang sudah menjadi pemiliknya. 

Sambil menunggu berdirinya badan atau yayasan tsb., mungkin untuk sementara 
kita 'terpaksa' menelan ludah mengurut dada menerima kenyataan bangunan tua-tua 
itu dirobohkan satu demi satu ya?

Mong-omong, mengapa yang disebut 'bangunan tua' itu mestilah merujuk ke 
bangunan peninggalan (bekas milik) tokoh orang Tionghua, entah mayor, kapiten 
atau apa-lah. Bagaimana dengan bangunan tua yang bukan pernah dimiliki oleh 
tokoh berpangkat begitu ya? 

Rasanya ada beberapa (atau mungkin masih banyak?) bangunan tua yang dimiliki 
oleh 'orang biasa' yang juga kuno dan tentu saja ada 'roh'-nya, seperti ada 
satu di Tangerang yang baru-baru ini saya lihat fotonya yang dibuat oleh Bung 
Dipo di sini: 

http://dipodipo.multiply.com/photos/album/22/

Kalau ada usulan mengumpulkan dana untuk mengisi ATM BT - Anjungan Taman Mini - 
Budaya Tionghua (semula saya mengira ini ada kaitannya dengan milis kita), 
apakah perlu digalang dana untuk membentuk BBT-BT - Badan Bangunan Tua - Budaya 
Tionghua [hehehe kalau BBT - umum tahunya akronim untuk Baba Tong, tukang 
mie ayam cukup 'kuno' di samping gereja Katolik di Mataraman itu lho] supaya 
bisa kita mulai untuk 'menyelamatkan' bangunan tua dari kehancuran lebih lanjut 
nih?

Begitu sajah sih ya.

Salam makan enak dan sehat,
Ophoeng
BSD City, Tangerang Selatan


--- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, Dipo dipod...@... wrote:

Mengapa gedung Candra Naya perlu dibuat replikanya di TMII, apakah karena 
gedung itu memiliki nilai penting untuk kelompok Tionghoa di Indonesia ? Jika 
penting, mengapa aslinya malah di trondoli gak keruan ?
 
Apa gunanya bikin replika gedung Kong Koan ? Gedung Kong Koan yang mana ya ? 
Apakah karena Kong Koan pernah meiliki peranan besar dalah kehidupan masyarakat 
Tionghoa ? Yang merawat arsipnya saja orang asing.
 
Dari pada buang uang bikin gedung tiruan, lebih baik yang ada saja di rawat 
baik baik.
 
Ada yang bilang : Masa lalu itu seperti buku pelajaran, jadi kita tidak 
mengulangi kesalahan yang sama, supaya bisa belajar dari pengalaman pendahulu 
kita. Kalau belajarnya dari replika dan miniatur, mudah2an tidak jadi bangsa 
replika dan miniatur juga.
 
Salam
 
--- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, Fy Zhou zhoufy@ wrote:

Ah!  bangsa ini ternyata sukanya replika dan miniatur, sukanya arsitektur ala 
theme park, tapi malah tak mau disuguhi bangunan kuno yang asli!
 
Se-hebat2nya repilika, tetap tak dapat menggantikan nilai sejarah bangunan asli.
 
 
 
 

From: Kawaii_no_Shogetsu fenghuang82@
To: budaya_tionghua@yahoogroups.com
Sent: Thu, January 28, 2010 8:53:00 PM
Subject: [budaya_tionghua] Re: AYO SUMBANG ANJUNGAN BUDAYA TIONGHOA
 
   
Kalau begitu usul saja, bangun replika bangunan Kongkoan/Gongguan sebagai 
bangunan induknya.
 
Bagaimana?
 



--- In budaya_tionghua@ yahoogroups. com, dkhkwa dkhkwa@ wrote:

Pak Tjandra,
 
Menurut owe, hal itu belum miris. Sebenarnya, kalau mau dibilang miris, yang 
miris seharusnya ya kita-kita ini, yang harus menyaksikan satu per satu 
bangunan heritage Tionghoa, yang tua, indah, dan bersejarah, harus menerima 
kenyataan sangat pahit, satu per satu dihancurkan oleh tangan-tangan 
konglomerat (Tionghoa?) yang begitu rakus mengincar nilai ekonomis tanahnya, 
untuk dijadikan hotel-apartemen, dlsb. Rasanya belum pudar dari ingatan kita 
bagaimana 

[budaya_tionghua] Re: (butuh info) potehi(tulisan tangan huruf mandari)

2010-01-28 Terurut Topik pempekd9
Kemarin saya coba cari jadwal pertunjukannya tapi tidak/belum ada. Juga di 
situs cipuramall.com tidak ada. Adanya satu stand penggalangan dana untuk satu 
daerah kumuh. Satu upaya yang baik, bukankah kita yang bisa 'bertahun baru' 
juga perlu mengingat yang lebih berkekurangan.

Apakah bisa didapatkan jadwal manggungnya ? Mungkin kita bisa berkumpul di 
Citraland atau di Pasar baru, nonton pertunjukan wayang potehi sambil minum teh 
?

Salam,
Anton W

--- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, beng mazmuri beng...@... wrote:

    Salam,
 
    Tgl 2 - 4 Febuari memang ada pertunjukan wayang Potehi oleh group dari 
 Sidoarjo pimpinan Ki dalang Subur. ( di Citra Land, Mall Ciputra ) , , Tgl 29 
 Januari Ki Subur ada di Klenteng Pasar Baru Dalam.  Info ini saya dapatkan 
 langsung dari Ki Subur.
 
    Salam
 
                                                                                       
  beng mazmuri
 



[budaya_tionghua] Suka Musik

2010-01-28 Terurut Topik Petrus Paryono
Sedikit hiburan dari kompasiana 29 Januari 2009

Suka Musik  
http://hiburan.kompasiana.com/2010/01/29/suka-musik/


(Kompasiana) Murid menemui Guru dan berkata: “Ketika saya menemui raja, baginda 
berkata kepada saya bahwa beliau suka musik. Saya tidak dapat memberi pandangan 
bagaimana bila raja suka musik?”
Guru menjawab: “Kalau benar-benar raja menyukai musik, ada harapan Negeri 
Impian sejahtera.”
Hari lain tatkala bertemu raja, Guru bertanya: “Benarkah baginda berkata kepada 
murid hamba bahwa baginda menyukai musik?” Raja malu dan berubah wajahnya, lalu 
berkata: “Aku tidak dapat menyukai musik raja-raja purba, melainkan hanya 
menyukai musik jaman sekarang ini.”
“Bila benar-benar baginda menyukai musik, Negeri Impian ada harapan beroleh 
sejahtera. Sesungguhnya sama saja musik jaman sekarang atau jaman kuno itu.”
“Bolehkah aku mendapat keterangan?” “Lebih menyenangkan manakah bermain musik 
seorang diri atau bersama-sama?” “Lebih menyenangkan bersama-sama.” “Lebih 
menyenangkan bersama-sama hanya dengan beberapa orang atau banyak orang?” 
“Tentu menyenangkan bersama-sama dengan banyak orang!”
“Kini perkenankanlah aku membicarakan hal musik. Umpama sekarang baginda 
menabuh musik dan rakyat yang mendengar suara tambur, lonceng, peluit dan 
seruling merasa pening dan dengan mengerutkan dahinya saling berkata ‘Raja kita 
sedang bergembira dengan tambur dan alat musik, mengapakah menyuruh kita dalam 
keadaan sesengsara ini Ayah dengan anak tak dapat bertemu; kakak, adik, isteri 
serta anak bercerai berai.’
Begitu pula kalau baginda sekarang berburu, rakyat yang mendengar suara kereta 
dan kuda serta melihat bendera dan panji-panji yang indah berkibar-kibar merasa 
pening dan dengan mengerutkan dahinya saling berkata ‘Raja kita dapat 
bersuka-suka berburu, mengapakah menyuruh kita dalam keadaan sesengsara ini? 
Ayah dengan anak tak dapat bertemu; kakak, adik, isteri serta anak bercerai 
berai.’
Ini tentulah karena sang raja tidak dapat bersama-sama rakyat merasakan 
kesenangan itu.
Sebaliknya, umpama sekarang baginda menabuh alat musik dan rakyat yang 
mendengar suara tambur, lonceng, peluit dan seruling merasa gembira dan dengan 
wajah berseri-seri saling berkata ‘Raja kita niscaya dalam keadaan sehat, kalau 
sakit bagaimanakah dapat menabuh musik?’
Begitu pula kalau sekarang baginda pergi berburu, rakyat yang mendengar suara 
kereta dan kuda serta melihat bendera dan panji-panji yang indah 
berkibar-kibar, merasa gembira dan dengan wajah berseri-seri saling berkata 
‘Raja kita niscaya dalam keadaan sehat, kalau sakit bagaimanakah dapat berburu?’
Ini tentulah karena sang raja dapat bersama-sama rakyat menikmati kesenangan 
itu.
Maka sekarang hendaklah baginda berusaha agar dapat merasakan kesenangan 
bersama-sama rakyat, dengan demikian baginda akan dapat menjadi raja besar.”



  

Re: [budaya_tionghua] Re: AYO SUMBANG ANJUNGAN BUDAYA TIONGHOA

2010-01-28 Terurut Topik Tjandra Ghozalli
Kepada Yth
Sianseng David Kwa,
Memang ada benernya sianseng punya pendapet untuk selametin itu bangunan tua. 
Cumah seperti sianseng Ophoeng bilang, selametin itu bangunan tua tida semudah 
membalik telapak tangan karena para ahli waris tentu mau itu kehwe jatuh di 
tangan mereka. Nah yang beli itu rumah kebanyakan para konglomerat yang punya 
pikiran ada beda sama kita orang pikir. Mereka mau uang yg ditanam sekarang, 
besok sudah berbuah.  Sedangkan di kita punya perkumpulan budaya rata rata 
orang cuma cinta seni budaya setengah mati tapi kantong ada kempes. Kita juga 
susah menyalahkan pak Tedy, karena sebagai purnawirawan ABRI, kantong pak Tedy 
tida bisa gemuk. Para konglomerat juga tida mau nyumbang karena bangunan budaya 
bukan hal yg bisa dijadikan pahala bila menghadap Giam Koen.  Mereka baru 
timbul sumanget menyumbang cuma untuk bangunan ibadah semacem vihara, 
kelenteng, gereja, dan masjid. Nah kalu bangunan ibadah mereka ada gesit sekali 
nyumbang. Mereka (juga kita) pengen hidup
 kaya raya di dunia dan hidup nyaman di akhirat.  Makanya dari pada mikir yg 
susah susah dan nyalahin orang kiri-kanan, kalau kita punya duit cebantun, 
silahkan donatur ke Taman Budaya Tionghoa. Diperkirakan ada 20 juta jiwa 
Tionghoa peranakan di ini kepulauan. Kalu 1% nya aja nyumbang sudah jadi 
bangunan utamanya. Itu kira kira owe punya pendapet, kalau ada salah kata mohon 
sianseng maafken. Soja, Tjandra G

--- On Thu, 1/28/10, dkhkwa dkh...@yahoo.com wrote:

From: dkhkwa dkh...@yahoo.com
Subject: [budaya_tionghua] Re: AYO SUMBANG ANJUNGAN BUDAYA TIONGHOA
To: budaya_tionghua@yahoogroups.com
Date: Thursday, January 28, 2010, 4:18 PM







 



  



  
  
  Pak Tjandra,



Menurut owe, hal itu belum miris. Sebenarnya, kalau mau dibilang miris, yang 
miris seharusnya ya kita-kita ini, yang harus menyaksikan satu per satu 
bangunan heritage Tionghoa, yang tua, indah, dan bersejarah, harus menerima 
kenyataan sangat pahit, satu per satu dihancurkan oleh tangan-tangan 
konglomerat (Tionghoa?) yang begitu rakus mengincar nilai ekonomis tanahnya, 
untuk dijadikan hotel-apartemen, dlsb. Rasanya belum pudar dari ingatan kita 
bagaimana “ramainya” dimuat di koran-koran (baca a.l. berita-berita di Kompas 
dan Warta Kota) mengenai kasus pembongkaran bangunan samping dan belakang (side 
and back buildings) bekas Gedung Kediaman Mayor Tionghoa Batavia Khouw Kim An, 
yang kemudian dijadikan gedung perkumpulan (clubgebouw) Sin Ming Hui 
(selanjutnya menjadi Candra Naya), disamping juga pernah menampung korban 
Kerusuhan Tangerang 1946, di Jl. Gajah Mada 188. Apalagi saat itu pak Tedy 
Yusuf selaku ketua salah satu PSMTI ternyata bukannya
 melindungi, sebagaimana diharapkan, sebaliknya malah turut mendukung 
pembongkaran. Dengan kapasitas beliau sebagai ketua umum PSMTI waktu, tentunya 
beliau punya pengaruh di kalangan Tionghoa untuk menyelamatkan Sin Ming Hui 
dari kehancuran. Meski ada suara-suara protes dari pihak pecinta heritage, 
namun tetap hal itu tidak mampu membuat yang bersangkutan bergeming.



Belum lagi, yang terakhir, penghancuran sama sekali hingga rata dengan tanah 
bekas Gedung Kapitan Tionghoa Oey Djie San di Karawaci, Tangerang. Lagi-lagi, 
ketika berbagai pihak, termasuk non-Tionghoa pecinta heritage, berteriak-teriak 
agar bangunan bersejarah tempat penampungan korban Kerusuhan Tangerang 1946 itu 
diselamatkan, pihak Tionghoanya sendiri, termasuk pak Tedy Yusuf, tetap tidak 
bereaksi. Padahal bangunan itu merupakan yang termegah di kawasan Tangerang, 
dengan arsitektur Indisch sekaligus Tionghoanya.



Dengan hancurnya bangunan-bangunan tersebut, yang terjadi adalah penghancuran 
aset-aset budaya Tionghoa. Masyarakat menjadi lupa akan sejarah dan budaya. 
Masyarakat tidak tahu, misalnya, bahwa atap Ekor Walet itu bukan hanya dipakai 
di kelenteng, tapi juga pada kediaman para pejabat Tionghoa yang diangkat 
Belanda, yakni para mayor, kapitan, dan letnan Tionghoa tadi. Sungguh miris, 
ketika di negara tetangga kita Singapura dan Malaysia bangunan-bangunan 
bersejarah dibeli dan dikembalikan ke kejayaannya semula, lalu dijadikan museum 
(bekas rumah Cheong Fatt Tze, bekas rumah Kapitan China Chung Keng Kwee di 
Penang, bekas rumah Tun Tan Cheng Lock di Melaka, misalnya), maka yang terjadi 
di kita adalah penghancuran demi penghancuran.



Ironisnya, setelah berbagai aset budaya dihancurkan, didirikanlah berbagai 
bangunan baru oleh beragam komunitas Tionghoa, tentunya dengan dana yang tidak 
sedikit. Apakah tidak terbalik, menyelamatkan apa yang bisa diselamatkan 
terlebih dahulu, baru kemudian membangun yang baru? Bukankah itu yang 
seharusnya dilakukan oleh beragam komunitas Tionghoa yang mampu membangun di 
Taman Mininya babe ato yang menindas Tionghoa semasa berkuasa?



Jadi, kalau sekarang diharapkan sumbangan dari para member milis, owe rasa 
lebih baik dana yang ada dimanfaatkan untuk menyelamatkan berbagai aset budaya 
Tionghoa berupa beragam bangunan tua di berbagai kota di 

[budaya_tionghua] Pembahasan Gong Xie Fa chai ( tanggapan saya tentang Shi Jian Khiong Hie)

2010-01-28 Terurut Topik east_road
Bagi Teman -teman yang mau kirim kartu ucapan atau untuk mengucapkan imlek 
kepada orang kita hormati. ini beberepa kalimat yang sangat berguna bagi kalian.

Gong xi fa cai (Tulisan Cina Tradisional: #24685;#21916;#30332;#36001;; 
Tulisan Cina Ringkas: #24685;#21916;#21457;#36130;; pinyin: 
g#333;ngx#464; f#257;cái; Bahasa Kantonis (Yale): g#363;nghéi faatchòih; 
bahasa Hokkien (POJ): Kiong-hí hoat-châi; bahasa Hakka: Kung hei fat choi), 
yang diterjemah sebagai Tahniah dan semoga mendapat rezeki. Ungkapan ini yang 
sering tersalah angggap sebagai bersinonim dengan Selamat tahun baru mula 
digunakan berabad-abad lalu.

Belakangan ini Ada beberapa teman -teman Tionghoa lain ingin menganti Gong Si 
Fa Chai  dengan  Shi Chian Khiong Hie. Dikarenakan tidak enak didengar 
karena Beraggapan bahwa Orang Tionghoa itu seakan akan mencari materi atau 
mementing kan materi, karena bunyi  Gong Xie Fa Chai berarti kemakmuran.Dalam 
catatan padangan saya pribadi, justru saya mempertahankanya karena Pemikiran 
pemahaman sebenarnya kemakmuran itu bisa berupa materi, hasil pangan dan 
sebagainya. 

Saya teringat pada pesan Almarhum ayah saya, jadi orang itu tidak boleh 
pesimis, harus optimis, jangan karena kekurangan materi atau kesulitan 
mengatakan  susah uang , justru  harus mengatakan  Ada uang , Walau itu 
agak sulit dalam diri kesulitan keuangan, Tujuannya apa saya berfikir ternyata 
itu untuk membangkitkan optimisme kita. Lalu apa Huubungannya dengan  Gong Xie 
Fa chai  yang dalam pembahasan saya ini.

Kemakmuran itu tidak perlu ditakuti, Harus diungkap, kenapa harus takut, kenapa 
merasa pesimis, Justru ketika tahun baru Selalu harus bicara Kejayaan, 
Kemakmuran, Keberhasilan, Agar timbul rasa optimisme dalam diri, akan menyambut 
Tahun yang baru, Saya tidak setuju kalau diganti, bagi saya aneh. Kekawahtiran 
sesuatu hal negatif terjadi, Justru Siapa yang tidak mau kalo Negara itu 
Makmur, Rakyat sentosa, tidak ada kekurangan apapun, inilah makna dikandung 
dalam  Gong Xie FA Chai, yang Artinya kemakmuran Harus menyertai kita.


Ucapan lain sebgai tambahan kalimat dari Gong xi fa cai

Terdapat ucapan lain bagi Tahun Baru Cina, antaranya boleh dijerit dengan 
sekuatnya tanpa mengira penerima dalam situasi tertentu. Contohnya, memecah 
objek ketika tahun baru dianggap tidak bagus, dan jika berlakunya sedemikian 
Suìsuì píng'#257;n (Cina Tradisional: #27506;#27506;#24179;#23433;, Cina 
Ringkas: #23681;#23681;#24179;#23433;) diucapkan serta-merta, yang bermakna 
semoga keamanan berkekalan tahun demi tahun. #27506; (Suì, bermaksud usia) 
sama bunyi dengan #30862; (pecah), sebagai demonstrasi bagi kegemaran orang 
Cina bermain-main dengan perkataan dalam bahasa mereka.

Melalui cara yang sama, #24180;#24180;#26377;#39192; (Niánnián y#466;uyú), 
hajat penambahan hasil setiap tahun, memanipulasi suku kata yú yang juga 
ditulis #39770; (ikan), menjadikannya ungkapan utama bagi sajian tahun baru 
berikan dan juga lukisan dan grafik ikan yang digantung pada dinding atau 
dijadikan hadiah.

selain itu ada yang namanya Shien di Chien Kang; ini untuk mengucapkan semoga 
rejeki bertambah.

Wan She Rui yi semoga dapat terwujud.

 Ta Dji Dan  Ta Li besar rejeki dan besar keberuntungan.

Semoga ini bermanfaat

Bagi teman - teman yang memerlukan kartu ucapan melalui internet secara gratis 
dan dapat dibagi ke teman - teman kalian



[budaya_tionghua] AYO SUMBANG ANJUNGAN BUDAYA TIONGHOA

2010-01-28 Terurut Topik Tjandra Ghozalli
Kepada Yth
Sianseng David Kwa,
Memang ada benernya sianseng punya pendapet untuk selametin itu bangunan tua. 
Cumah seperti sianseng Ophoeng bilang, selametin itu bangunan tua tida semudah 
membalik telapak tangan karena para ahli waris tentu mau itu kehwe jatuh di 
tangan mereka. Nah yang beli itu rumah kebanyakan para konglomerat yang punya 
pikiran ada beda sama kita orang pikir. Mereka mau uang yg ditanam sekarang, 
besok sudah berbuah.  Sedangkan di kita punya perkumpulan budaya rata rata 
orang cuma cinta seni budaya setengah mati tapi kantong ada kempes. Kita juga 
susah menyalahkan pak Tedy, karena sebagai purnawirawan ABRI, kantong pak Tedy 
tida bisa gemuk. Para konglomerat juga tida mau nyumbang karena bangunan budaya 
bukan hal yg bisa dijadikan pahala bila menghadap Giam Koen.  Mereka baru 
timbul sumanget menyumbang cuma untuk bangunan ibadah semacem vihara, 
kelenteng, gereja, dan masjid. Nah kalu bangunan ibadah mereka ada gesit sekali 
nyumbang. Mereka (juga kita) pengen hidup
 kaya raya di dunia dan hidup nyaman di akhirat.  Makanya dari pada mikir yg 
susah susah dan nyalahin orang kiri-kanan, kalau kita punya duit cebantun, 
silahkan donatur ke Taman Budaya Tionghoa. Diperkirakan ada 20 juta jiwa 
Tionghoa peranakan di ini kepulauan. Kalu 1% nya aja nyumbang sudah jadi 
bangunan utamanya. Itu kira kira owe punya pendapet, kalau ada salah kata mohon 
sianseng maafken. Soja, Tjandra G




  

Re: [budaya_tionghua] Roh Bangunan Tua. (Was: AYO SUMBANG ANJUNGAN BUDAYA TIONGHOA)

2010-01-28 Terurut Topik zhoufy
Bung Opheng, rumah tua dijual juga tidak apa2, namanya milik pribadi masak tak 
boleh diuangkan. 
Si pembeli mau memanfaatkan utk berbagai keperluan juga ok2 saja, masak aset 
kok dibiarkan nganggur.
Yg jadi penekananr adalah, bangunan yg bernilai sejarah ini janganlah 
dihancurkan! Mau renovasi atau pengembangan juga hrs terkendali, diawasi oleh 
pemerintah. Lihat contoh pemanfaatan bangunan kantor pos tua menjadi hotel 
mewah oleh pemerintah singapore. Atau deretan ruko tua menjadi sebuah Shopping 
mall modern.

Semua ini hrs dipagari oleh peraturan pemerintah, pemerintah harus turun 
tangan, penyelamatan bangunan tua jangan menunggu kesadaran masyarakat, bukan 
berlandaskan atas kemauan keras LSM atau kebaikan hati konglomerat! Ini 
tanggungjawab pemerintah!



Sent from my BlackBerry®
powered by Sinyal Kuat INDOSAT

-Original Message-
From: Ophoeng opho...@yahoo.com
Date: Fri, 29 Jan 2010 01:58:23 
To: budaya_tionghua@yahoogroups.com
Subject: [budaya_tionghua] Roh Bangunan Tua. (Was: AYO SUMBANG ANJUNGAN BUDAYA 
TIONGHOA)

Bung Dipo, Bung Fy Zhou, Bung David K. dan TTM semuah,

Hai, apakabar? Sudah makan?

Ikut nimbrung barang sepatah dua kata saja ya

Benar juga, kalau dikatakan bahwa bangunan tua (yang kemudian dirobohkan) 
dibandingkan dengan replika-nya, walau mungkin bisa menggunakan batu-bata dan 
kusen-kusen lama untuk direkonstruksi di tempat lain, tentu sudah kehilangan 
roh-nya.

Roh bangunan tua [bukan 'roh' hantu yang katanya suka mendiami bangunan tua 
tidak terurus] tidak bisa di'cipta'kan, dibuat di tempat baru, apalagi kalau 
bangunan 'tua' itu baru dibangun sebagai replika-nya saja.

Memang dilema juga. Bangunan tua itu biasanya adalah warisan dari orang kaya 
jaman dulu. Orang kaya jaman dulu, seperti kita semua tahu, mestilah punya anak 
banyak (yang kemudian banyak ditiru oleh orang-orang yang merasa kaya). Atau 
bahkan isteri beberapa orang dengan anak-anaknya masing-masing. Jadi, ketika si 
kepala keluarga meninggal dunia, maka pembagian warisan terpaksa mesti 
menjadikan banguna tua itu dibagi rata, kalau ndak ya bisa saja jadi sengketa.

Kita sebagai 'pengamat' atau 'pemerhati' tentu tidak kuasa berbuat apa-apa, 
kalau ahli warisnya lantas melego bangunan tua itu untuk mendapat manfaat 
ekonomi. Mungkin saja mereka (anak-cucu-cicit) ahli waris tidak merasa punya 
ikatan emosionil dengan bangunan tua itu, karena ada kebutuhan ekonomi yang 
lebih mendesak? Perut memang ndak bisa disuruh menunggu sih, jeh!

Kalau saja ada satu badan atau yayasan yang banyak duitnya, mungkin bisa punya 
dana cukup untuk membeli bangunan tua itu, lantas dijadikan entah apa terserah 
badan atau yayasan tsb. yang sudah menjadi pemiliknya. 

Sambil menunggu berdirinya badan atau yayasan tsb., mungkin untuk sementara 
kita 'terpaksa' menelan ludah mengurut dada menerima kenyataan bangunan tua-tua 
itu dirobohkan satu demi satu ya?

Mong-omong, mengapa yang disebut 'bangunan tua' itu mestilah merujuk ke 
bangunan peninggalan (bekas milik) tokoh orang Tionghua, entah mayor, kapiten 
atau apa-lah. Bagaimana dengan bangunan tua yang bukan pernah dimiliki oleh 
tokoh berpangkat begitu ya? 

Rasanya ada beberapa (atau mungkin masih banyak?) bangunan tua yang dimiliki 
oleh 'orang biasa' yang juga kuno dan tentu saja ada 'roh'-nya, seperti ada 
satu di Tangerang yang baru-baru ini saya lihat fotonya yang dibuat oleh Bung 
Dipo di sini: 

http://dipodipo.multiply.com/photos/album/22/

Kalau ada usulan mengumpulkan dana untuk mengisi ATM BT - Anjungan Taman Mini - 
Budaya Tionghua (semula saya mengira ini ada kaitannya dengan milis kita), 
apakah perlu digalang dana untuk membentuk BBT-BT - Badan Bangunan Tua - Budaya 
Tionghua [hehehe kalau BBT - umum tahunya akronim untuk Baba Tong, tukang 
mie ayam cukup 'kuno' di samping gereja Katolik di Mataraman itu lho] supaya 
bisa kita mulai untuk 'menyelamatkan' bangunan tua dari kehancuran lebih lanjut 
nih?

Begitu sajah sih ya.

Salam makan enak dan sehat,
Ophoeng
BSD City, Tangerang Selatan


--- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, Dipo dipod...@... wrote:

Mengapa gedung Candra Naya perlu dibuat replikanya di TMII, apakah karena 
gedung itu memiliki nilai penting untuk kelompok Tionghoa di Indonesia ? Jika 
penting, mengapa aslinya malah di trondoli gak keruan ?
 
Apa gunanya bikin replika gedung Kong Koan ? Gedung Kong Koan yang mana ya ? 
Apakah karena Kong Koan pernah meiliki peranan besar dalah kehidupan masyarakat 
Tionghoa ? Yang merawat arsipnya saja orang asing.
 
Dari pada buang uang bikin gedung tiruan, lebih baik yang ada saja di rawat 
baik baik.
 
Ada yang bilang : Masa lalu itu seperti buku pelajaran, jadi kita tidak 
mengulangi kesalahan yang sama, supaya bisa belajar dari pengalaman pendahulu 
kita. Kalau belajarnya dari replika dan miniatur, mudah2an tidak jadi bangsa 
replika dan miniatur juga.
 
Salam
 
--- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, Fy Zhou zhoufy@ wrote:

Ah!  bangsa ini ternyata sukanya replika dan miniatur, sukanya 

Re: [budaya_tionghua] AYO SUMBANG ANJUNGAN BUDAYA TIONGHOA

2010-01-28 Terurut Topik zhoufy
Ini sedikit rancu:
Tugas utama tokoh2 masyartakat bukanlah menyisihkan uang utk menyelamatkan 
bangunan tua, tugas mereka adalah mendesak pemerintah utk menerbitkan peraturan 
melindungi bangunan tua, dan mengawasi penyimpangan2 aparat pemerintah dlm 
praktek pembangunan!


Sent from my BlackBerry®
powered by Sinyal Kuat INDOSAT

-Original Message-
From: Tjandra Ghozalli ghozalli2...@yahoo.com
Date: Thu, 28 Jan 2010 22:32:25 
To: budaya_tionghua@yahoogroups.com
Subject: [budaya_tionghua] AYO SUMBANG ANJUNGAN BUDAYA TIONGHOA

Kepada Yth
Sianseng David Kwa,
Memang ada benernya sianseng punya pendapet untuk selametin itu bangunan tua. 
Cumah seperti sianseng Ophoeng bilang, selametin itu bangunan tua tida semudah 
membalik telapak tangan karena para ahli waris tentu mau itu kehwe jatuh di 
tangan mereka. Nah yang beli itu rumah kebanyakan para konglomerat yang punya 
pikiran ada beda sama kita orang pikir. Mereka mau uang yg ditanam sekarang, 
besok sudah berbuah.  Sedangkan di kita punya perkumpulan budaya rata rata 
orang cuma cinta seni budaya setengah mati tapi kantong ada kempes. Kita juga 
susah menyalahkan pak Tedy, karena sebagai purnawirawan ABRI, kantong pak Tedy 
tida bisa gemuk. Para konglomerat juga tida mau nyumbang karena bangunan budaya 
bukan hal yg bisa dijadikan pahala bila menghadap Giam Koen.  Mereka baru 
timbul sumanget menyumbang cuma untuk bangunan ibadah semacem vihara, 
kelenteng, gereja, dan masjid. Nah kalu bangunan ibadah mereka ada gesit sekali 
nyumbang. Mereka (juga kita) pengen hidup
 kaya raya di dunia dan hidup nyaman di akhirat.  Makanya dari pada mikir yg 
susah susah dan nyalahin orang kiri-kanan, kalau kita punya duit cebantun, 
silahkan donatur ke Taman Budaya Tionghoa. Diperkirakan ada 20 juta jiwa 
Tionghoa peranakan di ini kepulauan. Kalu 1% nya aja nyumbang sudah jadi 
bangunan utamanya. Itu kira kira owe punya pendapet, kalau ada salah kata mohon 
sianseng maafken. Soja, Tjandra G