Re: [budaya_tionghua] 100 SBY dan KIB II - dari Sisi Lain
Rekans, Mohon dikritisi, apa relevansi artikel yg dikirim oleh relan Petrus Paryono ini dgn grup BT ini? Apa ada yg berniat menyerey2 grup ini ke ranah politik? Salam * -Original Message- From: Petrus Paryono petruspary...@yahoo.com Date: Wed, 27 Jan 2010 19:55:32 To: Budaya Tionghoa Grupbudaya_tionghua@yahoogroups.com Subject: [budaya_tionghua] 100 SBY dan KIB II - dari Sisi Lain Ini ada tulisan 3 bulan lalu di kabarindonesia.com. Kita coba melihat dari sisi lain. --- Ketidakcocokan SBY dan Para Menteri di KIB II Oleh : Petrus Paryono | 24-Okt-2009, 16:18:47 WIB KabarIndonesia - Sepertiga anggota Kabinet Indonesia Bersatu II yang baru diumumkan Rabu (21/10) malam, ternyata chemistry-nya tidak cocok dengan Presiden SBY. Menurut perhitungan numerologi, ada 12 orang dari 37 Menteri dan Pejabat setingkat menteri, masuk kategori tidak cocok dengan SBY. Yang masuk kategori cukup ada 22 orang dan ini yang terbanyak (59%). Hanya 3 orang yang masuk kategori cocok, sedangkan yang masuk kategori sangat cocok tidak ada. Dari banyak pemberitaan dan kritik-kritik terhadap pemilihan para menteri, tampaknya Presiden SBY memang menghadapi kendala dalam menentukan para pembantunya. Selain tekanan politik dari partai-partai pendukung, ternyata orang-orang yang disodorkan pun tidak banyak yang cocok. Tapi karena terdesak waktu dan keterpaksaan maka terbentuklah KIB II seperti yang telah diumumkan. Dengan wapresnya pun tingkat kecocokannya juga hanya pada level cukup, padahal waktu itu SBY masih sangat pede dan bebas menentukan pendampingnya. Perhitungan numerologi untuk tingkat kecocokan dan ketidakcocokan para menteri dan Presiden SBY ini hanyalah sebagai dasar hubungan antar manusia. Dalam perjalanan waktu, angka bulan, angka tahun, termasuk angka perjalanan hidup seseorang yang dilalui juga akan berpengaruh. Meskipun dasarnya cocok tapi suatu ketika bisa berubah menjadi tidak cocok. Yang saat-saat ini kebetulan cocok, tapi kalau dasarnya tidak cocok kemungkinan besar akan muncul ketidakcocokan itu di kemudian hari. Itulah fluktuasi hubungan antar personal yang selalu dinamis. Mudah-mudahan Presiden SBY dapat bekerja sama dengan para pembantunya dalam melaksanakan pemerintahannya beberapa tahun ke depan. Percaya ndak percaya, yang penting rakyat bisa berharap dapat menikmati hidup sejahtera dan makmur merata.
Re: [budaya_tionghua] Re: (butuh info) potehi(tulisan tangan huruf mandari)
Salam, Tgl 2 - 4 Febuari memang ada pertunjukan wayang Potehi oleh group dari Sidoarjo pimpinan Ki dalang Subur. ( di Citra Land, Mall Ciputra ) , , Tgl 29 Januari Ki Subur ada di Klenteng Pasar Baru Dalam. Info ini saya dapatkan langsung dari Ki Subur. Salam beng mazmuri --- On Thu, 1/28/10, pempekd9 pempe...@yahoo.com wrote: From: pempekd9 pempe...@yahoo.com Subject: [budaya_tionghua] Re: (butuh info) potehi(tulisan tangan huruf mandari) To: budaya_tionghua@yahoogroups.com Date: Thursday, January 28, 2010, 2:03 PM Saya baru saja dari MallCiputra/ Citraland, Jakarta Barat. Tampak ada sebuah panggung wayang potehi dan satu panggung besar, entah untuk pertunjukan apa. Tampak semuanya sudah rapih tapi belum ada kegiatan disana. Salam, Anton W
Re: [budaya_tionghua] AYO SUMBANG ANJUNGAN BUDAYA TIONGHOA
Main buildingnya apa? Rumah abu? Atau klenteng? Atau ballroom? Jika dibangun semacam sacret place dimana masalah2 antara tionghoa bisa diselesaikan disana tentu sangat bagus, drpd sekedar objek wisata doank. -Original Message- From: Tjandra Ghozalli ghozalli2...@yahoo.com Date: Wed, 27 Jan 2010 23:22:22 To: budaya_tionghua@yahoogroups.com Subject: [budaya_tionghua] AYO SUMBANG ANJUNGAN BUDAYA TIONGHOA Dear members, Saya percaya banyak member yang belum tahu kalau di Taman Mini Indonesia Indah ada anjungan Budaya Tionghoa Indonesia. Hebatnya anjungan ini luasnya 4,5 ha padahal anjungan lain paling besar 2 ha. Kita sebagai member millis ini patut bangga akan anjungan Budaya Tionghoa Indonesia. Sayangnya di atas tanah tersebut belum dibangun main building yang dibangun baru sub building yang kecil kecil (sumbangan beragam komunitas Tionghoa) mengelilingi main building yg belum dibangun. Seperti yang dikatakan oleh ketua umum PSMTI, pak Rachmat, semua itu terbentur biaya. Agak miris juga kalau di kalangan warga Tionghoa banyak yg jadi konglomerat, malah anjungannya melarat Oleh karena itu saya kepikiran untuk membantu pembangunan anjungan Tionghoa tersebut melalui dompet pedulli Anjungan Budaya Tionghoa Indonesia yang akan dimuat daftar penyumbangnya di majalah POST Media. Untuk dompet peduli, saya dan pak Tedy Yusuf sudah buka account bersama di Bank Mandiri.No. rekening 125-00-0997473-4 an Tedy Yusuf Tjandra Ghozalli. Diharapkan para member millis ini bersedia membantu pembangunan anjungan kita itu. Perlu diketahui bahwa anjungan tersebut bukan milik PSMTI tetapi milik warga Tionghoa yg diserahkan oleh pak Harto (alm) kepada pak Tedy Yusuf. RGDS.Tjandra G
[budaya_tionghua] Pelurusan Indonesia Media
Pelurusan Indonesia Media Bapak Tjandra Ghozali dan kawan2 yb, Pertama, terimakasih atas perhatian anda terhadap Indonesia Media, dan aktivitas masyarakat Indonesia di Los Angeles dan sekitarnya. Ada banyak hal yang Bapak beritakan rupanya masih kurang tepat , untuk itu saya rasa sebaiknya diluruskan agar tidak terjadi penafsiran yang berbeda, dan mengurangi kemungkinan salah kaprah dikemudian hari. Mengenai majalah IM yang terbit dwiminggu bisa diambil gratis ditempat2 yg anda sebut itu betul adanya, hanya majalah yang kami cetak sebanyak 15.000 copies setiap kali terbitnya tidak dicetak di Indonesia. Dari akal sehat hal itu tidak mungkin karena masa proses kami dipercetakan adalah 11 jam paling lama , yang berarti file kami sejak masuk di kamar pengolahan data ke Plat cetak , sampai majalah itu selesai dicetak , di bundel dan di ikat diatas pallet , dan siap diedarkan adalah 11 jam. Sedangkan transportasi tercepat dari Indonesia ke LAX adalah 19 jam . Disamping itu forwarding pesawat dengan cargo 1,8 ton , itu ongkosnya berapa ? Seandainya di Indonesia cetaknya gratis juga tidak mungkin punya, belum lagi ketepatan waktunya . Jadi kalau langganan dari Indonesia itu harusnya murah, jelas tidak mungkin, karena perangkonya memang sudah mahal mendekati $ 4, kalau dikalikan 24 saja jadi $96 , padahal ongkos berlangganannya saja masih $90. Berarti masih di subsidi. Mungkin saja kalau ada majalah yang terbit hanya sebulan sekali dan mencetak dalam jumlah sedikit , itu mungkin lebih ekonomis cetak di Indonesia . Tapi untuk Indonesia Media yang telah terbit tanpa tersendat selama 12 tahun , dari pertama kali terbitnya selalu dicetak di percetakan besar di Amerika. Mengenai kalau dahulu isinya agak miring , tapi sekarang setelah CW pulang ke Indo jadi pujian2 , itu juga tidak benar adanya. Mengapa ?? Karena kami semua memang dulu tidak terbiasa dengan bicara terus terang pada zaman ORBA, jadi sekali ada keluhan mengenai HAM , dan kritik kepada pemerintah, lalu itu dianggap miring. Padahal sekarang lebih banyak lagi kritikan kepada Presiden, dan pembongkaran kasus korupsi. Itu hanya perlu waktu beradaptasi dalam paradigma memandang permasalahan politik dari masayarakat Indonesia . Jadi bukan materi dari publikasi yang berubah tapi secara sublimasi otak kita yang berubah, dan memandang yang dulunya miring sekarang tidak lagi karena sudah terbiasa. Hati2 dalam menyatakan tentang KBRI. pertama di California tidak ada KBRI, yang ada itu KJRI (Konsulat) , sedangkan KBRI adanya di Washington D.C. Dan tidak pernah fasilitas ICAA (Indonesian Chinese American Association) yang di Duarte Inn (bukan El Duardo) , mau menyamakan diri sebagai kantor perwakilan RI. Kami malah ikut membantu KJRI dalam banyak hal untuk pelayanan kepada Masyarakat indonesia. Betul Pemilik hotel Duarte Inn adalah orang yang sosial Namanya DR. Frits Hong , beliau adalah ketua umum ICAA. Tapi beliau tidak mengatur penyebaran dari IM. IM dan ICAA adalah badan hukum yang terdaftar di Amerika secara terpisah , namun saling bersinergi (istilah Tan Swie Ling nya). Kalau rombongan Indonesia dari LA mau tour kenegara bagian lainnya kenapa harus kumpul di KBRI , atau Duarte Inn. Ini terlalu berlebihan agaknya. Bazaar tidak diadakan setiap bulan , melainkan setahun sekali yaitu pada waktu menyambut tahun baru IMLEK . biasanya diadakan di Hacienda Heights , oleh ICAA bekerja sama dengan IM. ICAA mempunyai Food Court yang diadakan setiap hari Sabtu (jadi setiap minggu) dari jam 8:30 pagi sampai jam 2:00 sore, Ada Taichi , dan sekolah bahasa Mandarin Gratis. semua kegiatan ini diadakan di Duarte Inn. Kota Duarte dengan alamat 1200 E. Huntington Drive , Duarte . California 91010. Sedangkan Indonesia Media berkantor di : 505 East . Arrow Highway . Suite C , Glendora, California 91740 Mudah2an kawan2 menjadi maklum adanya dan jangan sampai salah kaprah. Dengan tidak mengurangi rasa hormat saya kepada Bapak Tjandra Ghozali yang telah berusaha menceritakan tentang Indonesia Media dan kegiatan ICAA, saya ucapkan terimakasih. salam, Dr.Irawan Editor In Chief Indonesia Media 2010/1/27 Tjandra Ghozalli ghozalli2...@yahoo.com - Show quoted text - Yth members, Saban kali saya jenguk anak yang lagi sekolah di LA, saya suka iseng ambil majalah Indonesia Media yang ditumpuk di pintu masuk restoran Indonesia, Chinese, dan Thailand. Majalah ini boleh ambil zonder bayar. Formatnya mirip Tempo jadul, kertasnya koran, cetakannya campur BW dan color HVS. Isinya sebagian iklan keimigrasian, plumbing, properti, dan bank. Artikelnya menarik ada cerita wisata, politik Indo, politik Amrik, kegiatan KBRI Amrik, dan lain lain. Konon Indonesia Media dicetak di Indo lalu dikirim ke Amrik, semestinya bagi yg mau langganan di sini tidak perlu bayar mahal. Isi artikelnya banyak yang menarik. Dahulu sewaktu Bread Talk lagi puncaknya, ada artikel yang kira kira berbunyi gila cuma roti aja ngantrinya
[budaya_tionghua] Re: AYO SUMBANG ANJUNGAN BUDAYA TIONGHOA
Pak Tjandra, Menurut owe, hal itu belum miris. Sebenarnya, kalau mau dibilang miris, yang miris seharusnya ya kita-kita ini, yang harus menyaksikan satu per satu bangunan heritage Tionghoa, yang tua, indah, dan bersejarah, harus menerima kenyataan sangat pahit, satu per satu dihancurkan oleh tangan-tangan konglomerat (Tionghoa?) yang begitu rakus mengincar nilai ekonomis tanahnya, untuk dijadikan hotel-apartemen, dlsb. Rasanya belum pudar dari ingatan kita bagaimana âramainyaâ dimuat di koran-koran (baca a.l. berita-berita di Kompas dan Warta Kota) mengenai kasus pembongkaran bangunan samping dan belakang (side and back buildings) bekas Gedung Kediaman Mayor Tionghoa Batavia Khouw Kim An, yang kemudian dijadikan gedung perkumpulan (clubgebouw) Sin Ming Hui (selanjutnya menjadi Candra Naya), disamping juga pernah menampung korban Kerusuhan Tangerang 1946, di Jl. Gajah Mada 188. Apalagi saat itu pak Tedy Yusuf selaku ketua salah satu PSMTI ternyata bukannya melindungi, sebagaimana diharapkan, sebaliknya malah turut mendukung pembongkaran. Dengan kapasitas beliau sebagai ketua umum PSMTI waktu, tentunya beliau punya pengaruh di kalangan Tionghoa untuk menyelamatkan Sin Ming Hui dari kehancuran. Meski ada suara-suara protes dari pihak pecinta heritage, namun tetap hal itu tidak mampu membuat yang bersangkutan bergeming. Belum lagi, yang terakhir, penghancuran sama sekali hingga rata dengan tanah bekas Gedung Kapitan Tionghoa Oey Djie San di Karawaci, Tangerang. Lagi-lagi, ketika berbagai pihak, termasuk non-Tionghoa pecinta heritage, berteriak-teriak agar bangunan bersejarah tempat penampungan korban Kerusuhan Tangerang 1946 itu diselamatkan, pihak Tionghoanya sendiri, termasuk pak Tedy Yusuf, tetap tidak bereaksi. Padahal bangunan itu merupakan yang termegah di kawasan Tangerang, dengan arsitektur Indisch sekaligus Tionghoanya. Dengan hancurnya bangunan-bangunan tersebut, yang terjadi adalah penghancuran aset-aset budaya Tionghoa. Masyarakat menjadi lupa akan sejarah dan budaya. Masyarakat tidak tahu, misalnya, bahwa atap Ekor Walet itu bukan hanya dipakai di kelenteng, tapi juga pada kediaman para pejabat Tionghoa yang diangkat Belanda, yakni para mayor, kapitan, dan letnan Tionghoa tadi. Sungguh miris, ketika di negara tetangga kita Singapura dan Malaysia bangunan-bangunan bersejarah dibeli dan dikembalikan ke kejayaannya semula, lalu dijadikan museum (bekas rumah Cheong Fatt Tze, bekas rumah Kapitan China Chung Keng Kwee di Penang, bekas rumah Tun Tan Cheng Lock di Melaka, misalnya), maka yang terjadi di kita adalah penghancuran demi penghancuran. Ironisnya, setelah berbagai aset budaya dihancurkan, didirikanlah berbagai bangunan baru oleh beragam komunitas Tionghoa, tentunya dengan dana yang tidak sedikit. Apakah tidak terbalik, menyelamatkan apa yang bisa diselamatkan terlebih dahulu, baru kemudian membangun yang baru? Bukankah itu yang seharusnya dilakukan oleh beragam komunitas Tionghoa yang mampu membangun di Taman Mininya babe ato yang menindas Tionghoa semasa berkuasa? Jadi, kalau sekarang diharapkan sumbangan dari para member milis, owe rasa lebih baik dana yang ada dimanfaatkan untuk menyelamatkan berbagai aset budaya Tionghoa berupa beragam bangunan tua di berbagai kota di seluruh Indonesia sebelum tinggal cerita. Seperti yang dilakukan terhadap bekas Kediaman Mayor Tionghoa Tjong A Fie di Kesawan, Medan. Owe rasa di seluruh Indonesia masih banyak bangunan-bangunan tua Tionghoa, yang bagus-bagus tapi kondisinya memprihatinkan, yang menanti uluran tangan para penyelamat Tionghoa dan non-Tionghoa, seperti, owe dengar, bekas kediaman Kapitan Cina Palembang yang memprihatinkan. Atau orang Tionghoa sama sekali sudah tidak peduli akan aset budayanya sendiri? Yang ada hancurkan saja, yang belum ada bikin baru, begitu!!! Paduli teuing!!! Muhun maap seandeh owe punya kata-kata ada yang sala. Kiongchiu, DK --- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, Tjandra Ghozalli ghozalli2...@... wrote: Dear members, Saya percaya banyak member yang belum tahu kalau di Taman Mini Indonesia Indah ada anjungan Budaya Tionghoa Indonesia. Hebatnya anjungan ini luasnya 4,5 ha padahal anjungan lain paling besar 2 ha. Kita sebagai member millis ini patut bangga akan anjungan Budaya Tionghoa Indonesia. Sayangnya di atas tanah tersebut belum dibangun main building yang dibangun baru sub building yang kecil kecil (sumbangan beragam komunitas Tionghoa) mengelilingi main building yg belum dibangun. Seperti yang dikatakan oleh ketua umum PSMTI, pak Rachmat, semua itu terbentur biaya. Agak miris juga kalau di kalangan warga Tionghoa banyak yg jadi konglomerat, malah anjungannya melarat Oleh karena itu saya kepikiran untuk membantu pembangunan anjungan Tionghoa tersebut melalui dompet pedulli Anjungan Budaya Tionghoa Indonesia yang akan dimuat daftar penyumbangnya di majalah POST Media. Untuk dompet peduli, saya dan pak Tedy Yusuf sudah buka account bersama di
Re:Apa relevansinya (Re: [budaya_tionghua] OOT: Sinar Harapan, Rabu -- Mohon Maaf..
Mohon maaf bila ada yang tidak berkenan dengan posting tentang Auditorium Jusuf Ronodipuro. Maksud saya adalah untuk share perkembangan budaya di negara kita yang juga termasuk budaya Tionghua. Sekali lagi mohon maaf.
Re: [budaya_tionghua] Pelurusan Indonesia Media
Yth Dr.Irawan, Thanks atas pencerahannya. Dalam artikel saya - saya gunakan kata konon karena saya sendiri masih sangsi atas info seorang kawan bahwa majalah Indonesia Media di cetak di Indonesia satu grup dengan koran chinese Harian Indonesia, ternyata tidak demikian. Sekali lagi terima kasih atas pelurusannya. RGDS.TG --- On Thu, 1/28/10, drirawan1 drira...@indonesiamedia.com wrote: From: drirawan1 drira...@indonesiamedia.com Subject: [budaya_tionghua] Pelurusan Indonesia Media To: budaya_tionghua@yahoogroups.com Date: Thursday, January 28, 2010, 3:54 PM Pelurusan Indonesia Media Bapak Tjandra Ghozali dan kawan2 yb, Pertama, terimakasih atas perhatian anda terhadap Indonesia Media, dan aktivitas masyarakat Indonesia di Los Angeles dan sekitarnya. Ada banyak hal yang Bapak beritakan rupanya masih kurang tepat , untuk itu saya rasa sebaiknya diluruskan agar tidak terjadi penafsiran yang berbeda, dan mengurangi kemungkinan salah kaprah dikemudian hari. Mengenai majalah IM yang terbit dwiminggu bisa diambil gratis ditempat2 yg anda sebut itu betul adanya, hanya majalah yang kami cetak sebanyak 15.000 copies setiap kali terbitnya tidak dicetak di Indonesia. Dari akal sehat hal itu tidak mungkin karena masa proses kami dipercetakan adalah 11 jam paling lama , yang berarti file kami sejak masuk di kamar pengolahan data ke Plat cetak , sampai majalah itu selesai dicetak , di bundel dan di ikat diatas pallet , dan siap diedarkan adalah 11 jam. Sedangkan transportasi tercepat dari Indonesia ke LAX adalah 19 jam . Disamping itu forwarding pesawat dengan cargo 1,8 ton , itu ongkosnya berapa ? Seandainya di Indonesia cetaknya gratis juga tidak mungkin punya, belum lagi ketepatan waktunya . Jadi kalau langganan dari Indonesia itu harusnya murah, jelas tidak mungkin, karena perangkonya memang sudah mahal mendekati $ 4, kalau dikalikan 24 saja jadi $96 , padahal ongkos berlangganannya saja masih $90. Berarti masih di subsidi. Mungkin saja kalau ada majalah yang terbit hanya sebulan sekali dan mencetak dalam jumlah sedikit , itu mungkin lebih ekonomis cetak di Indonesia . Tapi untuk Indonesia Media yang telah terbit tanpa tersendat selama 12 tahun , dari pertama kali terbitnya selalu dicetak di percetakan besar di Amerika. Mengenai kalau dahulu isinya agak miring , tapi sekarang setelah CW pulang ke Indo jadi pujian2 , itu juga tidak benar adanya. Mengapa ?? Karena kami semua memang dulu tidak terbiasa dengan bicara terus terang pada zaman ORBA, jadi sekali ada keluhan mengenai HAM , dan kritik kepada pemerintah, lalu itu dianggap miring. Padahal sekarang lebih banyak lagi kritikan kepada Presiden, dan pembongkaran kasus korupsi. Itu hanya perlu waktu beradaptasi dalam paradigma memandang permasalahan politik dari masayarakat Indonesia . Jadi bukan materi dari publikasi yang berubah tapi secara sublimasi otak kita yang berubah, dan memandang yang dulunya miring sekarang tidak lagi karena sudah terbiasa. Hati2 dalam menyatakan tentang KBRI. pertama di California tidak ada KBRI, yang ada itu KJRI (Konsulat) , sedangkan KBRI adanya di Washington D.C. Dan tidak pernah fasilitas ICAA (Indonesian Chinese American Association) yang di Duarte Inn (bukan El Duardo) , mau menyamakan diri sebagai kantor perwakilan RI. Kami malah ikut membantu KJRI dalam banyak hal untuk pelayanan kepada Masyarakat indonesia. Betul Pemilik hotel Duarte Inn adalah orang yang sosial Namanya DR. Frits Hong , beliau adalah ketua umum ICAA. Tapi beliau tidak mengatur penyebaran dari IM. IM dan ICAA adalah badan hukum yang terdaftar di Amerika secara terpisah , namun saling bersinergi (istilah Tan Swie Ling nya). Kalau rombongan Indonesia dari LA mau tour kenegara bagian lainnya kenapa harus kumpul di KBRI , atau Duarte Inn. Ini terlalu berlebihan agaknya. Bazaar tidak diadakan setiap bulan , melainkan setahun sekali yaitu pada waktu menyambut tahun baru IMLEK . biasanya diadakan di Hacienda Heights , oleh ICAA bekerja sama dengan IM. ICAA mempunyai Food Court yang diadakan setiap hari Sabtu (jadi setiap minggu) dari jam 8:30 pagi sampai jam 2:00 sore, Ada Taichi , dan sekolah bahasa Mandarin Gratis. semua kegiatan ini diadakan di Duarte Inn. Kota Duarte dengan alamat 1200 E. Huntington Drive , Duarte . California 91010. Sedangkan Indonesia Media berkantor di : 505 East . Arrow Highway . Suite C , Glendora, California 91740 Mudah2an kawan2 menjadi maklum adanya dan jangan sampai salah kaprah. Dengan tidak mengurangi rasa hormat saya kepada Bapak Tjandra Ghozali yang telah berusaha menceritakan tentang Indonesia Media dan kegiatan ICAA, saya ucapkan terimakasih. salam, Dr.Irawan Editor In Chief Indonesia Media 2010/1/27 Tjandra Ghozalli ghozalli2002@ yahoo.com - Show quoted text - Yth members, Saban kali saya jenguk anak yang lagi sekolah di LA, saya suka iseng ambil majalah Indonesia Media yang ditumpuk di pintu masuk restoran Indonesia, Chinese, dan Thailand. Majalah ini
Re: [budaya_tionghua] Informasi Ciong thn 2010 (Thn macan logam. macan kayu)
usia di sini biasanya usia imlek/lunar calendar pak.. biasanya di jaman dahulu, usia bayi ketika lahir adalah umur 1, bukan umur 0 sedangkan yang kita pakai sekarang ini gaya romawi/barat yang mana bayi lahir umurnya 0, bukan 1.. jadi memang kalau versi kalender romawi umur 41, tapi versi imlek umur 42.. begitu pak.. biasanya daftar ciong Tay Sui ini menggunakan usia imlek, bukan usia gaya barat/romawi yang kita pakai secara internasional ciong di sini pun sebetulnya artinya bertemu bukan sial, namun pertemuan ini kadang menimbulkan ketidakharmonisan dikarenakan unsur-unsur kimia yang dikandung tubuh sesuai shio dan unsur ada yang bertabrakan dengan unsur-unsur kimiawi alam yang dihitung dari siklus namun hal2 ini mungkin perlu dikaji ulang karena perhitungan Thung Shu pada jaman dahulu belum ada makanan instant atau fast food seperti di jaman sekarang, sehingga unsur kimiawi masing-masing shio makin bertambah variabelnya.. belum lagi konsumsi obat-obatan kimia, minuman suplemen, polusi udara, dan macam-macam lainnya di dunia modern ini yang jaman dahulu belum bisa dihitung (diperkirakan) secara matematika siklus H3R1'5 wrote:  Dengan hormat, Sesuai penjelasan dari eastroad sianseng, ada tertulis : Untuk Chiong Macan putih - Shio Anjing umur 17, 29, *42*, 53, 65, 77. Mohon bantuannya, untuk umur 42 apakah tidak masuk shio Monyet ? Sedangkan untuk shio Anjing seharusnya umur 41. Terima kasih. :BCA:
Apa relevansinya (Re: [budaya_tionghua] OOT: Sinar Harapan, Rabu
Akhmad Bukhari Saleh : Mas Dharmawan, sejujurnya senang juga saya melihat foto Pakde saya terpampang di berita Sinar Harapan ini. Tetapi maaf, saya koq samasekali tidak melihat relevansinya posting ini dengan budaya tionghoa? Eva : Sungguh aneh sekali tanggapan saudara ABS ini, sempit sekali wawasan anda dalam menanggapi sebuah berita mengenai Putra Terbaik Bangsa ini yang menjadi pembaca Teks Proklamasi kemerdekaan di RRI. Sungguh sempit wawasan kebangsaan anda, apakah seseorang berbudaya seperti anda ?? lantas merasa terganggu dengan berita tentang kisah seorang Putra terbaik Bangsa ini ??? Ironis sekali... Salam, Eva.
Apa relevansinya (Re: [budaya_tionghua] OOT: Sinar Harapan, Rabu
Apakah Eva ini mengetahui, mengapa sebuah milis di beri nama ? Jika saya ingin membaca berita, saya akan ke web CNN, detik.com atau kompas.com. Jika saya ingin mengetahui tentang tempat2 makan enak, saya akan ikut milis jalansutra. Kalau ingin berdiskusi menganai sejarah, ikut milis sejarah. Begitu lho, mudah2an bisa dipahami. --- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, Eva Yulianti beran...@... wrote: Akhmad Bukhari Saleh : Mas Dharmawan, sejujurnya senang juga saya melihat foto Pakde saya terpampang di berita Sinar Harapan ini. Tetapi maaf, saya koq samasekali tidak melihat relevansinya posting ini dengan budaya tionghoa? Eva : Sungguh aneh sekali tanggapan saudara ABS ini, sempit sekali wawasan anda dalam menanggapi sebuah berita mengenai Putra Terbaik Bangsa ini yang menjadi pembaca Teks Proklamasi kemerdekaan di RRI. Sungguh sempit wawasan kebangsaan anda, apakah seseorang berbudaya seperti anda ?? lantas merasa terganggu dengan berita tentang kisah seorang Putra terbaik Bangsa ini ??? Ironis sekali... Salam, Eva.
[budaya_tionghua] Re: AYO SUMBANG ANJUNGAN BUDAYA TIONGHOA
Kalau begitu usul saja, bangun replika bangunan Kongkoan/Gongguan sebagai bangunan induknya. Bagaimana? --- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, dkhkwa dkh...@... wrote: Pak Tjandra, Menurut owe, hal itu belum miris. Sebenarnya, kalau mau dibilang miris, yang miris seharusnya ya kita-kita ini, yang harus menyaksikan satu per satu bangunan heritage Tionghoa, yang tua, indah, dan bersejarah, harus menerima kenyataan sangat pahit, satu per satu dihancurkan oleh tangan-tangan konglomerat (Tionghoa?) yang begitu rakus mengincar nilai ekonomis tanahnya, untuk dijadikan hotel-apartemen, dlsb. Rasanya belum pudar dari ingatan kita bagaimana âramainyaâ dimuat di koran-koran (baca a.l. berita-berita di Kompas dan Warta Kota) mengenai kasus pembongkaran bangunan samping dan belakang (side and back buildings) bekas Gedung Kediaman Mayor Tionghoa Batavia Khouw Kim An, yang kemudian dijadikan gedung perkumpulan (clubgebouw) Sin Ming Hui (selanjutnya menjadi Candra Naya), disamping juga pernah menampung korban Kerusuhan Tangerang 1946, di Jl. Gajah Mada 188. Apalagi saat itu pak Tedy Yusuf selaku ketua salah satu PSMTI ternyata bukannya melindungi, sebagaimana diharapkan, sebaliknya malah turut mendukung pembongkaran. Dengan kapasitas beliau sebagai ketua umum PSMTI waktu, tentunya beliau punya pengaruh di kalangan Tionghoa untuk menyelamatkan Sin Ming Hui dari kehancuran. Meski ada suara-suara protes dari pihak pecinta heritage, namun tetap hal itu tidak mampu membuat yang bersangkutan bergeming. Belum lagi, yang terakhir, penghancuran sama sekali hingga rata dengan tanah bekas Gedung Kapitan Tionghoa Oey Djie San di Karawaci, Tangerang. Lagi-lagi, ketika berbagai pihak, termasuk non-Tionghoa pecinta heritage, berteriak-teriak agar bangunan bersejarah tempat penampungan korban Kerusuhan Tangerang 1946 itu diselamatkan, pihak Tionghoanya sendiri, termasuk pak Tedy Yusuf, tetap tidak bereaksi. Padahal bangunan itu merupakan yang termegah di kawasan Tangerang, dengan arsitektur Indisch sekaligus Tionghoanya. Dengan hancurnya bangunan-bangunan tersebut, yang terjadi adalah penghancuran aset-aset budaya Tionghoa. Masyarakat menjadi lupa akan sejarah dan budaya. Masyarakat tidak tahu, misalnya, bahwa atap Ekor Walet itu bukan hanya dipakai di kelenteng, tapi juga pada kediaman para pejabat Tionghoa yang diangkat Belanda, yakni para mayor, kapitan, dan letnan Tionghoa tadi. Sungguh miris, ketika di negara tetangga kita Singapura dan Malaysia bangunan-bangunan bersejarah dibeli dan dikembalikan ke kejayaannya semula, lalu dijadikan museum (bekas rumah Cheong Fatt Tze, bekas rumah Kapitan China Chung Keng Kwee di Penang, bekas rumah Tun Tan Cheng Lock di Melaka, misalnya), maka yang terjadi di kita adalah penghancuran demi penghancuran. Ironisnya, setelah berbagai aset budaya dihancurkan, didirikanlah berbagai bangunan baru oleh beragam komunitas Tionghoa, tentunya dengan dana yang tidak sedikit. Apakah tidak terbalik, menyelamatkan apa yang bisa diselamatkan terlebih dahulu, baru kemudian membangun yang baru? Bukankah itu yang seharusnya dilakukan oleh beragam komunitas Tionghoa yang mampu membangun di Taman Mininya babe ato yang menindas Tionghoa semasa berkuasa? Jadi, kalau sekarang diharapkan sumbangan dari para member milis, owe rasa lebih baik dana yang ada dimanfaatkan untuk menyelamatkan berbagai aset budaya Tionghoa berupa beragam bangunan tua di berbagai kota di seluruh Indonesia sebelum tinggal cerita. Seperti yang dilakukan terhadap bekas Kediaman Mayor Tionghoa Tjong A Fie di Kesawan, Medan. Owe rasa di seluruh Indonesia masih banyak bangunan-bangunan tua Tionghoa, yang bagus-bagus tapi kondisinya memprihatinkan, yang menanti uluran tangan para penyelamat Tionghoa dan non-Tionghoa, seperti, owe dengar, bekas kediaman Kapitan Cina Palembang yang memprihatinkan. Atau orang Tionghoa sama sekali sudah tidak peduli akan aset budayanya sendiri? Yang ada hancurkan saja, yang belum ada bikin baru, begitu!!! Paduli teuing!!! Muhun maap seandeh owe punya kata-kata ada yang sala. Kiongchiu, DK --- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, Tjandra Ghozalli ghozalli2002@ wrote: Dear members, Saya percaya banyak member yang belum tahu kalau di Taman Mini Indonesia Indah ada anjungan Budaya Tionghoa Indonesia. Hebatnya anjungan ini luasnya 4,5 ha padahal anjungan lain paling besar 2 ha. Kita sebagai member millis ini patut bangga akan anjungan Budaya Tionghoa Indonesia. Sayangnya di atas tanah tersebut belum dibangun main building yang dibangun baru sub building yang kecil kecil (sumbangan beragam komunitas Tionghoa) mengelilingi main building yg belum dibangun. Seperti yang dikatakan oleh ketua umum PSMTI, pak Rachmat, semua itu terbentur biaya. Agak miris juga kalau di kalangan warga Tionghoa banyak yg jadi konglomerat, malah anjungannya melarat Oleh karena itu saya kepikiran
[budaya_tionghua] Re: AYO SUMBANG ANJUNGAN BUDAYA TIONGHOA
Di Medan kalau tidak salah rumah kediaman konglomerat Tjong A Fie , sekarang sudah dijadikan mesium. Saya kurang paham bagaimana keadaan dan kejadiannya bisa sampai begitu, tapi waktu ke Medan, saya dikasih tahu bahwa rumah beliau sudah jadi seperti itu. Mohon maaf bila saya salah dan mungkin dari saudara-saudara bisa berikan pencerahan mengenai ini. Terima kasih Salam hormat. Andre Harto --- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, dkhkwa dkh...@... wrote: Pak Tjandra, Menurut owe, hal itu belum miris. Sebenarnya, kalau mau dibilang miris, yang miris seharusnya ya kita-kita ini, yang harus menyaksikan satu per satu bangunan heritage Tionghoa, yang tua, indah, dan bersejarah, harus menerima kenyataan sangat pahit, satu per satu dihancurkan oleh tangan-tangan konglomerat (Tionghoa?) yang begitu rakus mengincar nilai ekonomis tanahnya, untuk dijadikan hotel-apartemen, dlsb. Rasanya belum pudar dari ingatan kita bagaimana âramainyaâ dimuat di koran-koran (baca a.l. berita-berita di Kompas dan Warta Kota) mengenai kasus pembongkaran bangunan samping dan belakang (side and back buildings) bekas Gedung Kediaman Mayor Tionghoa Batavia Khouw Kim An, yang kemudian dijadikan gedung perkumpulan (clubgebouw) Sin Ming Hui (selanjutnya menjadi Candra Naya), disamping juga pernah menampung korban Kerusuhan Tangerang 1946, di Jl. Gajah Mada 188. Apalagi saat itu pak Tedy Yusuf selaku ketua salah satu PSMTI ternyata bukannya melindungi, sebagaimana diharapkan, sebaliknya malah turut mendukung pembongkaran. Dengan kapasitas beliau sebagai ketua umum PSMTI waktu, tentunya beliau punya pengaruh di kalangan Tionghoa untuk menyelamatkan Sin Ming Hui dari kehancuran. Meski ada suara-suara protes dari pihak pecinta heritage, namun tetap hal itu tidak mampu membuat yang bersangkutan bergeming. Belum lagi, yang terakhir, penghancuran sama sekali hingga rata dengan tanah bekas Gedung Kapitan Tionghoa Oey Djie San di Karawaci, Tangerang. Lagi-lagi, ketika berbagai pihak, termasuk non-Tionghoa pecinta heritage, berteriak-teriak agar bangunan bersejarah tempat penampungan korban Kerusuhan Tangerang 1946 itu diselamatkan, pihak Tionghoanya sendiri, termasuk pak Tedy Yusuf, tetap tidak bereaksi. Padahal bangunan itu merupakan yang termegah di kawasan Tangerang, dengan arsitektur Indisch sekaligus Tionghoanya. Dengan hancurnya bangunan-bangunan tersebut, yang terjadi adalah penghancuran aset-aset budaya Tionghoa. Masyarakat menjadi lupa akan sejarah dan budaya. Masyarakat tidak tahu, misalnya, bahwa atap Ekor Walet itu bukan hanya dipakai di kelenteng, tapi juga pada kediaman para pejabat Tionghoa yang diangkat Belanda, yakni para mayor, kapitan, dan letnan Tionghoa tadi. Sungguh miris, ketika di negara tetangga kita Singapura dan Malaysia bangunan-bangunan bersejarah dibeli dan dikembalikan ke kejayaannya semula, lalu dijadikan museum (bekas rumah Cheong Fatt Tze, bekas rumah Kapitan China Chung Keng Kwee di Penang, bekas rumah Tun Tan Cheng Lock di Melaka, misalnya), maka yang terjadi di kita adalah penghancuran demi penghancuran. Ironisnya, setelah berbagai aset budaya dihancurkan, didirikanlah berbagai bangunan baru oleh beragam komunitas Tionghoa, tentunya dengan dana yang tidak sedikit. Apakah tidak terbalik, menyelamatkan apa yang bisa diselamatkan terlebih dahulu, baru kemudian membangun yang baru? Bukankah itu yang seharusnya dilakukan oleh beragam komunitas Tionghoa yang mampu membangun di Taman Mininya babe ato yang menindas Tionghoa semasa berkuasa? Jadi, kalau sekarang diharapkan sumbangan dari para member milis, owe rasa lebih baik dana yang ada dimanfaatkan untuk menyelamatkan berbagai aset budaya Tionghoa berupa beragam bangunan tua di berbagai kota di seluruh Indonesia sebelum tinggal cerita. Seperti yang dilakukan terhadap bekas Kediaman Mayor Tionghoa Tjong A Fie di Kesawan, Medan. Owe rasa di seluruh Indonesia masih banyak bangunan-bangunan tua Tionghoa, yang bagus-bagus tapi kondisinya memprihatinkan, yang menanti uluran tangan para penyelamat Tionghoa dan non-Tionghoa, seperti, owe dengar, bekas kediaman Kapitan Cina Palembang yang memprihatinkan. Atau orang Tionghoa sama sekali sudah tidak peduli akan aset budayanya sendiri? Yang ada hancurkan saja, yang belum ada bikin baru, begitu!!! Paduli teuing!!! Muhun maap seandeh owe punya kata-kata ada yang sala. Kiongchiu, DK --- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, Tjandra Ghozalli ghozalli2002@ wrote: Dear members, Saya percaya banyak member yang belum tahu kalau di Taman Mini Indonesia Indah ada anjungan Budaya Tionghoa Indonesia. Hebatnya anjungan ini luasnya 4,5 ha padahal anjungan lain paling besar 2 ha. Kita sebagai member millis ini patut bangga akan anjungan Budaya Tionghoa Indonesia. Sayangnya di atas tanah tersebut belum dibangun main building yang dibangun baru sub building yang kecil kecil (sumbangan beragam komunitas
Apa relevansinya (Re: [budaya_tionghua] OOT: Sinar Harapan, Rabu
Dipo : Apakah Eva ini mengetahui, mengapa sebuah milis di beri nama ? Jika saya ingin membaca berita, saya akan ke web CNN, detik.com atau kompas.com. Jika saya ingin mengetahui tentang tempat2 makan enak, saya akan ikut milis jalansutra. Kalau ingin berdiskusi menganai sejarah, ikut milis sejarah. Begitu lho, mudah2an bisa dipahami. Eva : waduh saya baru tahu Milis ini budaya tionghua yaa..jadi seratus persen membahas budaya tionghua... jadi memang harus membahas budaya tionghua yaa ? yang lain nggak boleh ?? padahal kemaren kok ada masalah jus wortel sama jus sirsak juga di sini.. ternyata saya sangat keliru sekali memprotes orang yang berbudaya, yang menghardik tulisan mengenai kisah seorang Putra Bangsa terbaik negeri ini, yang kalau di simak di sana tidak hanya menulis tentang kepahlawan Beliau tetapi juga mengenai pagelaran musik juga.. oh ya keliru lagi pagelaran musiknya bukan musik tionghua juga.. jadi nggak boleh masuk milis budaya tionghua ini yaaa.. Salam, Eva.
Re: [budaya_tionghua] Re: AYO SUMBANG ANJUNGAN BUDAYA TIONGHOA
Ah! bangsa ini ternyata sukanya replika dan miniatur, sukanya arsitektur ala theme park, tapi malah tak mau disuguhi bangunan kuno yang asli! Se-hebat2nya repilika, tetap tak dapat menggantikan nilai sejarah bangunan asli. From: Kawaii_no_Shogetsu fenghuan...@hotmail.com To: budaya_tionghua@yahoogroups.com Sent: Thu, January 28, 2010 8:53:00 PM Subject: [budaya_tionghua] Re: AYO SUMBANG ANJUNGAN BUDAYA TIONGHOA Kalau begitu usul saja, bangun replika bangunan Kongkoan/Gongguan sebagai bangunan induknya. Bagaimana? --- In budaya_tionghua@ yahoogroups. com, dkhkwa dkh...@... wrote: Pak Tjandra, Menurut owe, hal itu belum miris. Sebenarnya, kalau mau dibilang miris, yang miris seharusnya ya kita-kita ini, yang harus menyaksikan satu per satu bangunan heritage Tionghoa, yang tua, indah, dan bersejarah, harus menerima kenyataan sangat pahit, satu per satu dihancurkan oleh tangan-tangan konglomerat (Tionghoa?) yang begitu rakus mengincar nilai ekonomis tanahnya, untuk dijadikan hotel-apartemen, dlsb. Rasanya belum pudar dari ingatan kita bagaimana “ramainya” dimuat di koran-koran (baca a.l. berita-berita di Kompas dan Warta Kota) mengenai kasus pembongkaran bangunan samping dan belakang (side and back buildings) bekas Gedung Kediaman Mayor Tionghoa Batavia Khouw Kim An, yang kemudian dijadikan gedung perkumpulan (clubgebouw) Sin Ming Hui (selanjutnya menjadi Candra Naya), disamping juga pernah menampung korban Kerusuhan Tangerang 1946, di Jl. Gajah Mada 188. Apalagi saat itu pak Tedy Yusuf selaku ketua salah satu PSMTI ternyata bukannya melindungi, sebagaimana diharapkan, sebaliknya malah turut mendukung pembongkaran. Dengan kapasitas beliau sebagai ketua umum PSMTI waktu, tentunya beliau punya pengaruh di kalangan Tionghoa untuk menyelamatkan Sin Ming Hui dari kehancuran. Meski ada suara-suara protes dari pihak pecinta heritage, namun tetap hal itu tidak mampu membuat yang bersangkutan bergeming. Belum lagi, yang terakhir, penghancuran sama sekali hingga rata dengan tanah bekas Gedung Kapitan Tionghoa Oey Djie San di Karawaci, Tangerang. Lagi-lagi, ketika berbagai pihak, termasuk non-Tionghoa pecinta heritage, berteriak-teriak agar bangunan bersejarah tempat penampungan korban Kerusuhan Tangerang 1946 itu diselamatkan, pihak Tionghoanya sendiri, termasuk pak Tedy Yusuf, tetap tidak bereaksi. Padahal bangunan itu merupakan yang termegah di kawasan Tangerang, dengan arsitektur Indisch sekaligus Tionghoanya. Dengan hancurnya bangunan-bangunan tersebut, yang terjadi adalah penghancuran aset-aset budaya Tionghoa. Masyarakat menjadi lupa akan sejarah dan budaya. Masyarakat tidak tahu, misalnya, bahwa atap Ekor Walet itu bukan hanya dipakai di kelenteng, tapi juga pada kediaman para pejabat Tionghoa yang diangkat Belanda, yakni para mayor, kapitan, dan letnan Tionghoa tadi. Sungguh miris, ketika di negara tetangga kita Singapura dan Malaysia bangunan-bangunan bersejarah dibeli dan dikembalikan ke kejayaannya semula, lalu dijadikan museum (bekas rumah Cheong Fatt Tze, bekas rumah Kapitan China Chung Keng Kwee di Penang, bekas rumah Tun Tan Cheng Lock di Melaka, misalnya), maka yang terjadi di kita adalah penghancuran demi penghancuran. Ironisnya, setelah berbagai aset budaya dihancurkan, didirikanlah berbagai bangunan baru oleh beragam komunitas Tionghoa, tentunya dengan dana yang tidak sedikit. Apakah tidak terbalik, menyelamatkan apa yang bisa diselamatkan terlebih dahulu, baru kemudian membangun yang baru? Bukankah itu yang seharusnya dilakukan oleh beragam komunitas Tionghoa yang mampu membangun di Taman Mininya babe ato yang menindas Tionghoa semasa berkuasa? Jadi, kalau sekarang diharapkan sumbangan dari para member milis, owe rasa lebih baik dana yang ada dimanfaatkan untuk menyelamatkan berbagai aset budaya Tionghoa berupa beragam bangunan tua di berbagai kota di seluruh Indonesia sebelum tinggal cerita. Seperti yang dilakukan terhadap bekas Kediaman Mayor Tionghoa Tjong A Fie di Kesawan, Medan. Owe rasa di seluruh Indonesia masih banyak bangunan-bangunan tua Tionghoa, yang bagus-bagus tapi kondisinya memprihatinkan, yang menanti uluran tangan para penyelamat Tionghoa dan non-Tionghoa, seperti, owe dengar, bekas kediaman Kapitan Cina Palembang yang memprihatinkan. Atau orang Tionghoa sama sekali sudah tidak peduli akan aset budayanya sendiri? Yang ada hancurkan saja, yang belum ada bikin baru, begitu!!! Paduli teuing!!! Muhun maap seandeh owe punya kata-kata ada yang sala. Kiongchiu, DK --- In budaya_tionghua@ yahoogroups. com, Tjandra Ghozalli ghozalli2002@ wrote: Dear members, Saya percaya banyak member yang belum tahu kalau di Taman Mini Indonesia Indah ada anjungan Budaya Tionghoa Indonesia. Hebatnya anjungan ini luasnya 4,5 ha padahal anjungan lain paling besar 2 ha. Kita sebagai member millis ini patut bangga akan anjungan Budaya
Re: [budaya_tionghua] Re: Informasi Ciong thn 2010 (Thn macan logam. macan kayu)
Sebenarnya bukan dilebihkan satu tahun, tapi menurut orang Tionghoa umur kita dihitung sejak terjadinya pembuahan. Masa kehamilan berlangsung sekitar 40-42 minggu, yang hampir setara dengan 10 bulan lunar. Karena itu kita dianggap sudah berusia satu tahun ketika dilahirkan. kiongchiu, KH From: Kawaii_no_Shogetsu fenghuan...@hotmail.com To: budaya_tionghua@yahoogroups.com Sent: Thu, January 28, 2010 5:50:13 PM Subject: [budaya_tionghua] Re: Informasi Ciong thn 2010 (Thn macan logam. macan kayu) Jadi jangan sampai salah ya? Kalau mau hitung Shio, umur kita SELALU lebih tua satu tahun. Jangan sampai rancu. --- In budaya_tionghua@ yahoogroups. com, Ong Bun ayam_o...@. .. wrote: usia di sini biasanya usia imlek/lunar calendar pak.. biasanya di jaman dahulu, usia bayi ketika lahir adalah umur 1, bukan umur 0 sedangkan yang kita pakai sekarang ini gaya romawi/barat yang mana bayi lahir umurnya 0, bukan 1.. jadi memang kalau versi kalender romawi umur 41, tapi versi imlek umur 42.. begitu pak.. biasanya daftar ciong Tay Sui ini menggunakan usia imlek, bukan usia gaya barat/romawi yang kita pakai secara internasional ciong di sini pun sebetulnya artinya bertemu bukan sial, namun pertemuan ini kadang menimbulkan ketidakharmonisan dikarenakan unsur-unsur kimia yang dikandung tubuh sesuai shio dan unsur ada yang bertabrakan dengan unsur-unsur kimiawi alam yang dihitung dari siklus namun hal2 ini mungkin perlu dikaji ulang karena perhitungan Thung Shu pada jaman dahulu belum ada makanan instant atau fast food seperti di jaman sekarang, sehingga unsur kimiawi masing-masing shio makin bertambah variabelnya. . belum lagi konsumsi obat-obatan kimia, minuman suplemen, polusi udara, dan macam-macam lainnya di dunia modern ini yang jaman dahulu belum bisa dihitung (diperkirakan) secara matematika siklus H3R1'5 wrote:  Dengan hormat, Sesuai penjelasan dari eastroad sianseng, ada tertulis : Untuk Chiong Macan putih - Shio Anjing umur 17, 29, *42*, 53, 65, 77. Mohon bantuannya, untuk umur 42 apakah tidak masuk shio Monyet ? Sedangkan untuk shio Anjing seharusnya umur 41. Terima kasih. - - - - - - :BCA:
Re: Apa relevansinya (Re: [budaya_tionghua] OOT: Sinar Harapan, Rabu
Biar aja sekali2 menyimpang dari topik biar ada variasi dikit. Gpp biar rame. Sent from my BlackBerry® smartphone from Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...! -Original Message- From: Dipo dipod...@yahoo.com Date: Thu, 28 Jan 2010 13:29:47 To: budaya_tionghua@yahoogroups.com Subject: Apa relevansinya (Re: [budaya_tionghua] OOT: Sinar Harapan, Rabu Apakah Eva ini mengetahui, mengapa sebuah milis di beri nama ? Jika saya ingin membaca berita, saya akan ke web CNN, detik.com atau kompas.com. Jika saya ingin mengetahui tentang tempat2 makan enak, saya akan ikut milis jalansutra. Kalau ingin berdiskusi menganai sejarah, ikut milis sejarah. Begitu lho, mudah2an bisa dipahami. --- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, Eva Yulianti beran...@... wrote: Akhmad Bukhari Saleh : Mas Dharmawan, sejujurnya senang juga saya melihat foto Pakde saya terpampang di berita Sinar Harapan ini. Tetapi maaf, saya koq samasekali tidak melihat relevansinya posting ini dengan budaya tionghoa? Eva : Sungguh aneh sekali tanggapan saudara ABS ini, sempit sekali wawasan anda dalam menanggapi sebuah berita mengenai Putra Terbaik Bangsa ini yang menjadi pembaca Teks Proklamasi kemerdekaan di RRI. Sungguh sempit wawasan kebangsaan anda, apakah seseorang berbudaya seperti anda ?? lantas merasa terganggu dengan berita tentang kisah seorang Putra terbaik Bangsa ini ??? Ironis sekali... Salam, Eva.
[budaya_tionghua] Re: AYO SUMBANG ANJUNGAN BUDAYA TIONGHOA
Mengapa gedung Candra Naya perlu dibuat replikanya di TMII, apakah karena gedung itu memiliki nilai penting untuk kelompok Tionghoa di Indonesia ? Jika penting, mengapa aslinya malah di trondoli gak keruan ? Apa gunanya bikin replika gedung Kong Koan ? Gedung Kong Koan yang mana ya ? Apakah karena Kong Koan pernah meiliki peranan besar dalah kehidupan masyarakat Tionghoa ? Yang merawat arsipnya saja orang asing. Dari pada buang uang bikin gedung tiruan, lebih baik yang ada saja di rawat baik baik. Ada yang bilang : Masa lalu itu seperti buku pelajaran, jadi kita tidak mengulangi kesalahan yang sama, supaya bisa belajar dari pengalaman pendahulu kita. Kalau belajarnya dari replika dan miniatur, mudah2an tidak jadi bangsa replika dan miniatur juga. Salam --- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, Fy Zhou zho...@... wrote: Ah! bangsa ini ternyata sukanya replika dan miniatur, sukanya arsitektur ala theme park, tapi malah tak mau disuguhi bangunan kuno yang asli! Se-hebat2nya repilika, tetap tak dapat menggantikan nilai sejarah bangunan asli. From: Kawaii_no_Shogetsu fenghuan...@... To: budaya_tionghua@yahoogroups.com Sent: Thu, January 28, 2010 8:53:00 PM Subject: [budaya_tionghua] Re: AYO SUMBANG ANJUNGAN BUDAYA TIONGHOA Kalau begitu usul saja, bangun replika bangunan Kongkoan/Gongguan sebagai bangunan induknya. Bagaimana? --- In budaya_tionghua@ yahoogroups. com, dkhkwa dkhkwa@ wrote: Pak Tjandra, Menurut owe, hal itu belum miris. Sebenarnya, kalau mau dibilang miris, yang miris seharusnya ya kita-kita ini, yang harus menyaksikan satu per satu bangunan heritage Tionghoa, yang tua, indah, dan bersejarah, harus menerima kenyataan sangat pahit, satu per satu dihancurkan oleh tangan-tangan konglomerat (Tionghoa?) yang begitu rakus mengincar nilai ekonomis tanahnya, untuk dijadikan hotel-apartemen, dlsb. Rasanya belum pudar dari ingatan kita bagaimana âramainyaâ dimuat di koran-koran (baca a.l. berita-berita di Kompas dan Warta Kota) mengenai kasus pembongkaran bangunan samping dan belakang (side and back buildings) bekas Gedung Kediaman Mayor Tionghoa Batavia Khouw Kim An, yang kemudian dijadikan gedung perkumpulan (clubgebouw) Sin Ming Hui (selanjutnya menjadi Candra Naya), disamping juga pernah menampung korban Kerusuhan Tangerang 1946, di Jl. Gajah Mada 188. Apalagi saat itu pak Tedy Yusuf selaku ketua salah satu PSMTI ternyata bukannya melindungi, sebagaimana diharapkan, sebaliknya malah turut mendukung pembongkaran. Dengan kapasitas beliau sebagai ketua umum PSMTI waktu, tentunya beliau punya pengaruh di kalangan Tionghoa untuk menyelamatkan Sin Ming Hui dari kehancuran. Meski ada suara-suara protes dari pihak pecinta heritage, namun tetap hal itu tidak mampu membuat yang bersangkutan bergeming. Belum lagi, yang terakhir, penghancuran sama sekali hingga rata dengan tanah bekas Gedung Kapitan Tionghoa Oey Djie San di Karawaci, Tangerang. Lagi-lagi, ketika berbagai pihak, termasuk non-Tionghoa pecinta heritage, berteriak-teriak agar bangunan bersejarah tempat penampungan korban Kerusuhan Tangerang 1946 itu diselamatkan, pihak Tionghoanya sendiri, termasuk pak Tedy Yusuf, tetap tidak bereaksi. Padahal bangunan itu merupakan yang termegah di kawasan Tangerang, dengan arsitektur Indisch sekaligus Tionghoanya. Dengan hancurnya bangunan-bangunan tersebut, yang terjadi adalah penghancuran aset-aset budaya Tionghoa. Masyarakat menjadi lupa akan sejarah dan budaya. Masyarakat tidak tahu, misalnya, bahwa atap Ekor Walet itu bukan hanya dipakai di kelenteng, tapi juga pada kediaman para pejabat Tionghoa yang diangkat Belanda, yakni para mayor, kapitan, dan letnan Tionghoa tadi. Sungguh miris, ketika di negara tetangga kita Singapura dan Malaysia bangunan-bangunan bersejarah dibeli dan dikembalikan ke kejayaannya semula, lalu dijadikan museum (bekas rumah Cheong Fatt Tze, bekas rumah Kapitan China Chung Keng Kwee di Penang, bekas rumah Tun Tan Cheng Lock di Melaka, misalnya), maka yang terjadi di kita adalah penghancuran demi penghancuran. Ironisnya, setelah berbagai aset budaya dihancurkan, didirikanlah berbagai bangunan baru oleh beragam komunitas Tionghoa, tentunya dengan dana yang tidak sedikit. Apakah tidak terbalik, menyelamatkan apa yang bisa diselamatkan terlebih dahulu, baru kemudian membangun yang baru? Bukankah itu yang seharusnya dilakukan oleh beragam komunitas Tionghoa yang mampu membangun di Taman Mininya babe ato yang menindas Tionghoa semasa berkuasa? Jadi, kalau sekarang diharapkan sumbangan dari para member milis, owe rasa lebih baik dana yang ada dimanfaatkan untuk menyelamatkan berbagai aset budaya Tionghoa berupa beragam bangunan tua di berbagai kota di seluruh Indonesia sebelum tinggal cerita. Seperti yang dilakukan terhadap bekas Kediaman Mayor Tionghoa
[budaya_tionghua] Re: Tanya kelenteng daerah pancoran
Yang dicari sebagai obyek fotografi itu apa? Apa keantikan kelenteng, keunikan umat, keunikan fungsi, kimsinnya, atau malah keanehan bentuk kelenteng? Apakah termasuk juga vihara yang benar-benar budhis meskipun memiliki ornamen Tionghoa? Klasifikasinya juga sangat banyak. Di seputaran daerah kota ada sekitar 20 kelenteng (dengan berbagai namanya, semisal bio, i, si, kong, dsb, termasuk juga kelenteng pelindung marga, kelenteng sinci, kelenteng kwan im, hok tek cheng sin dan kelenteng-kelenteng khusus untuk tukang obat, tukang kayu, dsb). Yang saya maksud daerah kota kira-kira dari kotak imajiner sekitar beos menuju ke pinangsia, ke arah glodok pancoran, sampai ke mulut jembatan lima lalu ke arah angke ke Timur menuju pasar ikan dan kembali ke stasiun beos. Di Jakarta sendiri, ada beberapa kelompok daerah kelenteng (yang dibangun sebelum era orde baru, termasuk yang hancur atau dijarah di tahun 1967 dan 1998). Saya kecualikan vihara (budhis) dengan model Tionghoa yang dibangun belakangan dan biasanya cirinya adalah bertingkat, modern dengan sedikit arsitektur Tionghoa dan adanya patung Kuan Im dan hiolo baru. Beberapa pengelompokan kelenteng yang cukup dekat dengan kota adalah daerah mangga besar hingga pasar baru (sekitar 20 kelenteng) yang terutama sekali memiliki pengaruh buddhis yang kuat, kemudian enklave daerah pluit-angke (sekitar 10 kelenteng, termasuk Toapekong Ancol) meskipun sebagian sudah agak modern, lalu enklave daerah jembatan lima hingga tanah abang (sekitar 10 kelenteng) yang juga gado-gado. Ada juga kelenteng yang akan misah seperti misalnya Hian Thian Siang Tee di Palmerah dan Kelenteng Hok Tek Cheng Sin di Karet dan Kwee Seng Ong di Senen yang dipindah ke Sunter serta kelenteng Hok Tek Cheng Sin Jatinegara. Karena yang dimintakan hanya daerah kota saja, berikut ini daftarnya dan sedikit komentar saya: 1. Hongsan bio (Toase Bio) di Jl. Kemenangan III (dekat gereja samping sekolah Ricci, yang peninggalan kapiten yang menjadi Katolik, dengan arsitektur awal abad ke-20 yang cukup menarik meskipun ada beberapa perombakan di dalamnya untuk memfasilitasi gereja), nama sankritnya sudah dikembalikan ke Tionghoa, aktif dalam kegiatan gotong joli. Arsitekturnya lumayan, meski sudah difurnish modern dengan berbagai keramik dan beton baru. 2. Kim Tek I di Petak Sembilan, sebenarnya bergabung dengan tiga kelenteng tambahan lain di depannya, sehingga orang sering rancu. Di kompleks itu jadinya ada empat kelenteng dengan maksud, arsitektur dan juga pemaknaan yang sebenarnya agak berbeda. Ada yang semula untuk shen penjaga neraka (karena aslinya untuk menghormati shen penjaga daerah pemakaman), dsb (saya tidak bahas karena terlalu panjang). Kompleks ini suduah difurnish modern, termasuk hiolo di depan Kim Tek I sendiri dan bagian-bagian sampingnya. Arsitektur kayunya menarik, meskipun tidak serumit yang biasa ditemukan di daerah Jawa Tengah (Semarang dan Lasem). Nama sanskritnya masih terpampang di gerbang depan meskipun orang sudah terbiasa kembali ke nama asalnya. 3. Thian Hou Kiong (Maco Lim Bi Nio atau Thian Siang Seng Bo) di Bandengan Selatan. Arsitekturnya masih dipertahankan, namun sayangnya gara-gara orba dulu, diadakan penamaan dewi samudera dan dipagar sehingga ada kesan bahwa kelenteng itu diberi kerangkeng (karena bentuk pagar dalamnya yang tinggi dan seperti teralis penjara). Yang unik hanya bagian depan, karena bagian belakang nampaknya dibuat untuk mengesankan kebudhisan tambahan dengan menambahkan ruang bagi Kuan Im. Memang agak rancu, karena toh dalam beberapa hikayat, Lim Bi Nio sendiri digambarkan sebagai berciri budhis dan sama-sama berfungsi sebagai dewi penolong, meskipun lebih banyak dikenal kalangan nelayan. 4. Tan Seng Ong Bio (kelenteng pelindung marga Tan), di Jl. Blandongan. Kelenteng ini kelihatannya tidak pernah dipaksa memakai nama sanskrit karena lebih ke kelenteng marga. Arsitekturnya cukup baik, meskipun sekarang sedang direnovasi. Sayangnya ada beberapa renovasi sebelumnya di bagian kanan (dari tuan rumah) dan lagi-lagi penambahan ruang Kuan Im yang mempengaruhi makna kelenteng asalnya. 5. Lo Pan Kiong di Bandengan Selatan (dekat sekali, sebelah kelenteng Maco, namun kelihatannya sudah direnovasi habis dan karena berada di rumahan, sulit dilihat (tertutup dan kabarnya hanya dipakai saat kebaktian mingguan). 6. Li Ti Kuai Bio (salah satu dari delapan dewa) di Jl. Perniagaan Gg. Patike. Patungnya antik, namun gedungnya sudah dimodernkan dan menjadi vihara (Budhi Dharma). 7. Lam Ceng Bio (yang disebut arya marga, suatu nama sanskrit yang dipaksakan untuk mengesankan Kwan Kong sebagai seorang Patriot Pembela), di Gg. lamceng dan berfungsi rumahan (sebelumnya kompleks rumah kapiten marga The). Gedungnya sudah direnovasi abis dan bahkan ditambahi ruang yang berfungsi sebagai ruang titipan pengenang arwah meninggal (lilin di gelas). Ada abeberapa artefak yang unik namun arsitekturnya terlalu modern. 8. Sam Nyan
[budaya_tionghua] Re: AYO SUMBANG ANJUNGAN BUDAYA TIONGHOA
Sebenarnya gedung CN posisi historisnya tidak begitu jauh dibandingkan dengan satu dari saudara-saudara-nya. Gedung CN tadinya didirikan bersamaan dengan dua gedung lainnya di sepanjang jalan Gajah Mada (sekarang) sebagai milik dari keluarga besar Khouw. Khouw Kim An adalah penghuni gedung CN itu, sementara dua lainnya ditempati oleh saudara-saudaranya. Arsitekturnya bisa dikatakan sama dan menawan. Masalahnya, gedung yang satu yang sempat disewakan menjadi kedubes RRT, disikat tahun 1966 dan dinasionalisasi untuk kemudian dibongkar dan diubah fungsinya, yang lainnya juga kabarnya terkena perusakan dan kemudian dijual lalu menjadi pertokoan (atau SMA 2, salah satunya benar, cuma tertular dengan yang eks kedubes. Catatan saya belum ketemu dalam waktu singkat ini). Jadinya, tinggal CN itulah satu-satunya gedung lux Tionghoa era akhir abad ke-19 selain rumah keluarga Souw di Perniagaan dan gereja Santa Maria de Fatima di dekat Petak Sembilan. Kalau dari sisi kualitas, gedung keluarga Khouw ini adalah nomor 1-nya di masa itu untuk wilayah Batavia baik dari sisi kualitas arsitektur, bahan penyusunnya, perangkat meubel, bangku batu, ubin batu, singa batu, kaligrafi dan ukiran yang dibuat di sana serta luas bangunannya. Kalau di Tangerang, rumah Oey Giok Koen adalah yang paling top, namun sepembandingan saya, masih sedikit kalah kelas dibandingkan milik keluarga Khouw ini. Meski demikian, gedung CN ini memiliki sejarah kuat sebagai rumah dari Majoor der Chineezen terakhir di Batavia (1910-1942 karena Jepang dan tidak berlanjut setelah Proklamasi), yaitu Khouw Kim An yang meninggal dalam tawanan Jepang di Cimahi tahun 1945. Selain Majoor (jabatan tertinggi saat itu), KKA juga merupakan seorang pendiri THHK. Tahun 1910-19300 dia juga menjadi ketua Kong Koan Batavia dan tahun 1918 mendirikan Bataviaasche Bank. Tahun 1928 ia ikut mendirikan Chung Hwa Hui. KKA juga mendapatkan sejumlah bintang penghargaan dari Belanda. Rumahnya di CN itu digunakannya untuk mengadakan pertemuan-pertemuan baik dengan petinggi Tionghoa maupuun dengan kalangan pembesar lain (Belanda, Jawa, Sunda dan sebagainya), termasuk ketika didirikan klub olah raga dan seni budaya Sin Ming Hui. Dari sisi historis, itulah rumah Majoor der Chineezen. Dari sisi selanjutnya, sepeninggal KKA, rumah itu dijadikan tempat pertemuan kalangan Tionghoa, apalagi pada masa bergejolak 1945-1947 lewat kejadian gedoran dan kerusuhan Tangerang. Kerusuhan ini ada beberapa gelombang, namun yang terbesar terjadi tahun 1946-1947, menyusul kejadian serupa di sejumlah daerah seperti Medan (1945-1946), Tasikmalaya, Garut, Kuningan, Cirebon dan sekitarnya (1946) dan di daerah-daerah lainnya di pulau Jawa (salah satunya direkam oleh Tjamboek Berdoeri di Malang). Tim yang berangkat ke Tangerang di bawah perintah Soekarno memintakan ijin untuk menampung pengungsi tersebut dengan kawalan tentara rakyat yang tunduk kepada Soekarno ke rumah alm. KKA ini. Dengan demikian, rumah KKA ini menjadi saksi bagaimana pergolakan sosial-politik di Indonesia dari awal abad ke-20 (THHK) hingga masa kemerdekaan dan kemudian pemunculan orde baru, yang kesemuanya mempengaruhi kedudukan dan keamanan kalangan Tionghoa di Indonesia. Masalahnya, seperti apa yang sudah saya tulis di thread yang dulu, gedung bersejarah ini justru dihancurkan oleh kalangan Tionghoa sendiri yang tidak memaknai arti kesejarahannya. Pertama, yang kabarnya menjualnya, kemudian kedua yang membelinya, ketiga yang melegitimasi penghancurannya, keempat yang mengarsiteki pengolongannya mayoritas adalah Tionghoa!!! Makanya saya sampai sekarang tetap menuntut pertanggungjawaban tim arsitektur Untar yang ikut mempreteli dan menyimpan ornamen-ornamen dari sayap kiri-kanan dan paviliun belakang dari gedung CN tersebut. Saya kenal orang-orangnya, makanya saya terus ngledekin mereka, meskipun mereka dableg juga sampai sekarang dan sudah mendekati uzur. Kabarnya Untar sudah tidak bertanggung jawab lagi (sebelumnya sih sudah tidak bertanggung jawab atas legitimasi pembongkaran tersebut) dengan penyimpanan barang-barang itu. Yaa, tidak dikonservasi, jelas saja barang itu akan lapuk, hilang atau dipreteli. Itu dia, makanya ketika Untar mengklaim menyelamatkan CN, saya sih justru menertawakan klaim itu. Saya pernah sindir lebih keras lagi ketika saya putar film mengenai teknik renovasi yang benar (yang saya beri tema Rayahan dan Renovasi), cuma ya, karena dableg, susah juga, apalagi kalangan Tionghoa pada umumnya juga apatis dan yang peduli justru bo lui. Oleh karena itu, baik pendirian museum Budaya Tionghoa di TMI, saya sih sangat apatis dan pernah mengutarakan penentangan saya terang-terangan kepada orang-orang PSMTI, namun tidak didengar juga. Saat perancangannya saja saya sudah tahu dan memberikan komentar saya, khususnya melihat arsitekturnya yang tidak mewakili keunikan tambahan dari Tionghoa Indonesia. Selain soal latar arsitekturnya yang tidak sesuai dengan daerah
Re: [budaya_tionghua] Informasi Ciong thn 2010 (Thn macan logam. macan kayu)
Tapi emang benarkan, pak. shio Anjing itu umur 41 (yg lahir thn 1970) nah kl 42 ayam ( lahir 1969 bukan monyet, monyet lahir 1968 umur 43) tul kan. Soalny sy shio ayam, ciong gak ya? Salam Sent from my iPhone On Jan 28, 2010, at 4:23 AM, Ong Bun ayam_o...@yahoo.com.sg wrote: usia di sini biasanya usia imlek/lunar calendar pak.. biasanya di jaman dahulu, usia bayi ketika lahir adalah umur 1, bukan umur 0 sedangkan yang kita pakai sekarang ini gaya romawi/barat yang mana bayi lahir umurnya 0, bukan 1.. jadi memang kalau versi kalender romawi umur 41, tapi versi imlek umur 42.. begitu pak.. biasanya daftar ciong Tay Sui ini menggunakan usia imlek, bukan usia gaya barat/romawi yang kita pakai secara internasional ciong di sini pun sebetulnya artinya bertemu bukan sial, namun pertemuan ini kadang menimbulkan ketidakharmonisan dikarenakan unsur-unsur kimia yang dikandung tubuh sesuai shio dan unsur ada yang bertabrakan dengan unsur-unsur kimiawi alam yang dihitung dari siklus namun hal2 ini mungkin perlu dikaji ulang karena perhitungan Thung Shu pada jaman dahulu belum ada makanan instant atau fast food seperti di jaman sekarang, sehingga unsur kimiawi masing-masing shio makin bertambah variabelnya.. belum lagi konsumsi obat-obatan kimia, minuman suplemen, polusi udara, dan macam-macam lainnya di dunia modern ini yang jaman dahulu belum bisa dihitung (diperkirakan) secara matematika siklus H3R1'5 wrote:  Dengan hormat, Sesuai penjelasan dari eastroad sianseng, ada tertulis : Untuk Chiong Macan putih - Shio Anjing umur 17, 29, *42*, 53, 65, 77. Mohon bantuannya, untuk umur 42 apakah tidak masuk shio Monyet ? Sedangkan untuk shio Anjing seharusnya umur 41. Terima kasih. -- :BCA:
Re: [budaya_tionghua] Pelurusan Indonesia Media
Bapak Tjandra Ghozalli yb, Nggak apa2 koq , kita'kan satu kolega dibidang itu. Tentang koran lainnya , memang kami banyak sekali berafiliasi dan bersindikasi. seperti IDN (International Daily News) yang kalau bahasa mandarinnya disebut Guo Zi Re Bao, Indopos, Jawa Pos group dan lainnya , termasuk majalah di Australia yang dulunya bernama Gamelan , lalu jadi Ozindo, dan banyak lagi. Tapi nama Harian Indonesia saya belum pernah dengar lagi (dulu itu 'kan punya Bakin). IDN mempunyai printing Plant di LA juga, namun kami tidak nyetak disana. Saya senang sekali kalau ada kawan2 yang mengadakan media cetak atau siar, Karena banyak aspirasi yang tidak tertampung oleh koran yang lain, mungkin kami bisa bantu. Demikianlah seharusnya dalam implementasi kehidupan demokrasi. Dulu waktu Pak Mochtar Ryadi datang ke LA kita sempat berbincang dan dia cukup kagum terhadap Indonesia Media , saya katakan kalau mau memperjuangkan kesetaraan maka kita harus punya media, jangan hanya dagang saja. Sepulangnya dia dari AS , langsung Suara Pembaruan dibelinya dan berkembang terus dengan koran bahasa Inggerisnya juga. Pak Tjiputra juga pernah menemui saya untuk tukar pikiran, beliau juga dari Tempo ternyata. Pak Gunawan Mohamad juga pernah saya temui untuk minta masukan , ketika itu saya jumpai beliau di apartementnya di daerah Santa Monica. Beliau bilang bahwa sebagai media cetak harus memberitakan secara seimbang, dan mendengarkan suara hati rakyat banyak. Mendirikan media cetak , sebenarnya tidak terlalu sulit, yang sulit adalah memeliharanya supaya langgeng terus. Untuk itu kita harus banyak mendengar dari pada bicara . Saya kagum dan senang kalau Pak Tjandra bisa membantu PSMTI pada proyek Anjungan Budaya Tionghoa di TMII, saya juga pernah berkunjung kesana dan meliput . Bahkan BrigJen Purn Teddy Jusuf dan isteri waktu ke LA juga titip untuk membantu project ini. Project itu bukan kecil, namun donatur masih sulit di motivasi. Harus cari terobosan baru, dan itu harus dipikirkan . Saya mencontoh dengan project Pa Hoa , yang dibangun oleh Sumarecon dengan para donatur. Mengapa Pa Hoa dalam waktu singkat dapat mengetuk hati donatur ? Tentu ada banyak perbedaan. Maka harus dicari common groundnya . Mudah2an lancar. Salam kepada Pak Teddy. salam, Dr.Irawan. 2010/1/28 Tjandra Ghozalli ghozalli2...@yahoo.com Yth Dr.Irawan, Thanks atas pencerahannya. Dalam artikel saya - saya gunakan kata konon karena saya sendiri masih sangsi atas info seorang kawan bahwa majalah Indonesia Media di cetak di Indonesia satu grup dengan koran chinese Harian Indonesia, ternyata tidak demikian. Sekali lagi terima kasih atas pelurusannya. RGDS.TG --- On *Thu, 1/28/10, drirawan1 drira...@indonesiamedia.com* wrote: From: drirawan1 drira...@indonesiamedia.com Subject: [budaya_tionghua] Pelurusan Indonesia Media To: budaya_tionghua@yahoogroups.com Date: Thursday, January 28, 2010, 3:54 PM Pelurusan Indonesia Media Bapak Tjandra Ghozali dan kawan2 yb, Pertama, terimakasih atas perhatian anda terhadap Indonesia Media, dan aktivitas masyarakat Indonesia di Los Angeles dan sekitarnya. Ada banyak hal yang Bapak beritakan rupanya masih kurang tepat , untuk itu saya rasa sebaiknya diluruskan agar tidak terjadi penafsiran yang berbeda, dan mengurangi kemungkinan salah kaprah dikemudian hari. Mengenai majalah IM yang terbit dwiminggu bisa diambil gratis ditempat2 yg anda sebut itu betul adanya, hanya majalah yang kami cetak sebanyak 15.000 copies setiap kali terbitnya tidak dicetak di Indonesia. Dari akal sehat hal itu tidak mungkin karena masa proses kami dipercetakan adalah 11 jam paling lama , yang berarti file kami sejak masuk di kamar pengolahan data ke Plat cetak , sampai majalah itu selesai dicetak , di bundel dan di ikat diatas pallet , dan siap diedarkan adalah 11 jam. Sedangkan transportasi tercepat dari Indonesia ke LAX adalah 19 jam . Disamping itu forwarding pesawat dengan cargo 1,8 ton , itu ongkosnya berapa ? Seandainya di Indonesia cetaknya gratis juga tidak mungkin punya, belum lagi ketepatan waktunya . Jadi kalau langganan dari Indonesia itu harusnya murah, jelas tidak mungkin, karena perangkonya memang sudah mahal mendekati $ 4, kalau dikalikan 24 saja jadi $96 , padahal ongkos berlangganannya saja masih $90. Berarti masih di subsidi. Mungkin saja kalau ada majalah yang terbit hanya sebulan sekali dan mencetak dalam jumlah sedikit , itu mungkin lebih ekonomis cetak di Indonesia . Tapi untuk Indonesia Media yang telah terbit tanpa tersendat selama 12 tahun , dari pertama kali terbitnya selalu dicetak di percetakan besar di Amerika. Mengenai kalau dahulu isinya agak miring , tapi sekarang setelah CW pulang ke Indo jadi pujian2 , itu juga tidak benar adanya. Mengapa ?? Karena kami semua memang dulu tidak terbiasa dengan bicara terus terang pada zaman ORBA, jadi sekali ada keluhan mengenai HAM , dan kritik kepada pemerintah, lalu itu dianggap miring. Padahal sekarang lebih banyak lagi
Re: [budaya_tionghua] Re: AYO SUMBANG ANJUNGAN BUDAYA TIONGHOA
Pak David Kwa yb, Saya sangat mengerti kegemasan Pak David , juga mungkin banyak kawan2 lainnya macam Ir. Hendra Lukito dari UNTAR , jadi agaknya penyandang dana atau donatur harus tampil dari para konglomerat dari pada rakyat umum kebanyakan kalau begitu, agar pembangunan Anjungan BT itu bisa cepat selesai. Terimakasih atas keterusterangan dari Pak David Kwa, sehingga pimpro bisa mengatur strategi yang tepat dalam pencarian dana untuk ABT tsb. salam, Dr.Irawan 2010/1/28 dkhkwa dkh...@yahoo.com Pak Tjandra, Menurut owe, hal itu belum miris. Sebenarnya, kalau mau dibilang miris, yang miris seharusnya ya kita-kita ini, yang harus menyaksikan satu per satu bangunan heritage Tionghoa, yang tua, indah, dan bersejarah, harus menerima kenyataan sangat pahit, satu per satu dihancurkan oleh tangan-tangan konglomerat (Tionghoa?) yang begitu rakus mengincar nilai ekonomis tanahnya, untuk dijadikan hotel-apartemen, dlsb. Rasanya belum pudar dari ingatan kita bagaimana “ramainya†dimuat di koran-koran (baca a.l. berita-berita di Kompas dan Warta Kota) mengenai kasus pembongkaran bangunan samping dan belakang (side and back buildings) bekas Gedung Kediaman Mayor Tionghoa Batavia Khouw Kim An, yang kemudian dijadikan gedung perkumpulan (clubgebouw) Sin Ming Hui (selanjutnya menjadi Candra Naya), disamping juga pernah menampung korban Kerusuhan Tangerang 1946, di Jl. Gajah Mada 188. Apalagi saat itu pak Tedy Yusuf selaku ketua salah satu PSMTI ternyata bukannya melindungi, sebagaimana diharapkan, sebaliknya malah turut mendukung pembongkaran. Dengan kapasitas beliau sebagai ketua umum PSMTI waktu, tentunya beliau punya pengaruh di kalangan Tionghoa untuk menyelamatkan Sin Ming Hui dari kehancuran. Meski ada suara-suara protes dari pihak pecinta heritage, namun tetap hal itu tidak mampu membuat yang bersangkutan bergeming. Belum lagi, yang terakhir, penghancuran sama sekali hingga rata dengan tanah bekas Gedung Kapitan Tionghoa Oey Djie San di Karawaci, Tangerang. Lagi-lagi, ketika berbagai pihak, termasuk non-Tionghoa pecinta heritage, berteriak-teriak agar bangunan bersejarah tempat penampungan korban Kerusuhan Tangerang 1946 itu diselamatkan, pihak Tionghoanya sendiri, termasuk pak Tedy Yusuf, tetap tidak bereaksi. Padahal bangunan itu merupakan yang termegah di kawasan Tangerang, dengan arsitektur Indisch sekaligus Tionghoanya. Dengan hancurnya bangunan-bangunan tersebut, yang terjadi adalah penghancuran aset-aset budaya Tionghoa. Masyarakat menjadi lupa akan sejarah dan budaya. Masyarakat tidak tahu, misalnya, bahwa atap Ekor Walet itu bukan hanya dipakai di kelenteng, tapi juga pada kediaman para pejabat Tionghoa yang diangkat Belanda, yakni para mayor, kapitan, dan letnan Tionghoa tadi. Sungguh miris, ketika di negara tetangga kita Singapura dan Malaysia bangunan-bangunan bersejarah dibeli dan dikembalikan ke kejayaannya semula, lalu dijadikan museum (bekas rumah Cheong Fatt Tze, bekas rumah Kapitan China Chung Keng Kwee di Penang, bekas rumah Tun Tan Cheng Lock di Melaka, misalnya), maka yang terjadi di kita adalah penghancuran demi penghancuran. Ironisnya, setelah berbagai aset budaya dihancurkan, didirikanlah berbagai bangunan baru oleh beragam komunitas Tionghoa, tentunya dengan dana yang tidak sedikit. Apakah tidak terbalik, menyelamatkan apa yang bisa diselamatkan terlebih dahulu, baru kemudian membangun yang baru? Bukankah itu yang seharusnya dilakukan oleh beragam komunitas Tionghoa yang mampu membangun di Taman Mininya babe ato yang menindas Tionghoa semasa berkuasa? Jadi, kalau sekarang diharapkan sumbangan dari para member milis, owe rasa lebih baik dana yang ada dimanfaatkan untuk menyelamatkan berbagai aset budaya Tionghoa berupa beragam bangunan tua di berbagai kota di seluruh Indonesia sebelum tinggal cerita. Seperti yang dilakukan terhadap bekas Kediaman Mayor Tionghoa Tjong A Fie di Kesawan, Medan. Owe rasa di seluruh Indonesia masih banyak bangunan-bangunan tua Tionghoa, yang bagus-bagus tapi kondisinya memprihatinkan, yang menanti uluran tangan para penyelamat Tionghoa dan non-Tionghoa, seperti, owe dengar, bekas kediaman Kapitan Cina Palembang yang memprihatinkan. Atau orang Tionghoa sama sekali sudah tidak peduli akan aset budayanya sendiri? Yang ada hancurkan saja, yang belum ada bikin baru, begitu!!! Paduli teuing!!! Muhun maap seandeh owe punya kata-kata ada yang sala. Kiongchiu, DK --- In budaya_tionghua@yahoogroups.com budaya_tionghua%40yahoogroups.com, Tjandra Ghozalli ghozalli2...@... wrote: Dear members, Saya percaya banyak member yang belum tahu kalau di Taman Mini Indonesia Indah ada anjungan Budaya Tionghoa Indonesia. Hebatnya anjungan ini luasnya 4,5 ha padahal anjungan lain paling besar 2 ha. Kita sebagai member millis ini patut bangga akan anjungan Budaya Tionghoa Indonesia. Sayangnya di atas tanah tersebut belum dibangun main building yang dibangun baru sub building yang kecil kecil (sumbangan
[budaya_tionghua] Roh Bangunan Tua. (Was: AYO SUMBANG ANJUNGAN BUDAYA TIONGHOA)
Bung Dipo, Bung Fy Zhou, Bung David K. dan TTM semuah, Hai, apakabar? Sudah makan? Ikut nimbrung barang sepatah dua kata saja ya Benar juga, kalau dikatakan bahwa bangunan tua (yang kemudian dirobohkan) dibandingkan dengan replika-nya, walau mungkin bisa menggunakan batu-bata dan kusen-kusen lama untuk direkonstruksi di tempat lain, tentu sudah kehilangan roh-nya. Roh bangunan tua [bukan 'roh' hantu yang katanya suka mendiami bangunan tua tidak terurus] tidak bisa di'cipta'kan, dibuat di tempat baru, apalagi kalau bangunan 'tua' itu baru dibangun sebagai replika-nya saja. Memang dilema juga. Bangunan tua itu biasanya adalah warisan dari orang kaya jaman dulu. Orang kaya jaman dulu, seperti kita semua tahu, mestilah punya anak banyak (yang kemudian banyak ditiru oleh orang-orang yang merasa kaya). Atau bahkan isteri beberapa orang dengan anak-anaknya masing-masing. Jadi, ketika si kepala keluarga meninggal dunia, maka pembagian warisan terpaksa mesti menjadikan banguna tua itu dibagi rata, kalau ndak ya bisa saja jadi sengketa. Kita sebagai 'pengamat' atau 'pemerhati' tentu tidak kuasa berbuat apa-apa, kalau ahli warisnya lantas melego bangunan tua itu untuk mendapat manfaat ekonomi. Mungkin saja mereka (anak-cucu-cicit) ahli waris tidak merasa punya ikatan emosionil dengan bangunan tua itu, karena ada kebutuhan ekonomi yang lebih mendesak? Perut memang ndak bisa disuruh menunggu sih, jeh! Kalau saja ada satu badan atau yayasan yang banyak duitnya, mungkin bisa punya dana cukup untuk membeli bangunan tua itu, lantas dijadikan entah apa terserah badan atau yayasan tsb. yang sudah menjadi pemiliknya. Sambil menunggu berdirinya badan atau yayasan tsb., mungkin untuk sementara kita 'terpaksa' menelan ludah mengurut dada menerima kenyataan bangunan tua-tua itu dirobohkan satu demi satu ya? Mong-omong, mengapa yang disebut 'bangunan tua' itu mestilah merujuk ke bangunan peninggalan (bekas milik) tokoh orang Tionghua, entah mayor, kapiten atau apa-lah. Bagaimana dengan bangunan tua yang bukan pernah dimiliki oleh tokoh berpangkat begitu ya? Rasanya ada beberapa (atau mungkin masih banyak?) bangunan tua yang dimiliki oleh 'orang biasa' yang juga kuno dan tentu saja ada 'roh'-nya, seperti ada satu di Tangerang yang baru-baru ini saya lihat fotonya yang dibuat oleh Bung Dipo di sini: http://dipodipo.multiply.com/photos/album/22/ Kalau ada usulan mengumpulkan dana untuk mengisi ATM BT - Anjungan Taman Mini - Budaya Tionghua (semula saya mengira ini ada kaitannya dengan milis kita), apakah perlu digalang dana untuk membentuk BBT-BT - Badan Bangunan Tua - Budaya Tionghua [hehehe kalau BBT - umum tahunya akronim untuk Baba Tong, tukang mie ayam cukup 'kuno' di samping gereja Katolik di Mataraman itu lho] supaya bisa kita mulai untuk 'menyelamatkan' bangunan tua dari kehancuran lebih lanjut nih? Begitu sajah sih ya. Salam makan enak dan sehat, Ophoeng BSD City, Tangerang Selatan --- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, Dipo dipod...@... wrote: Mengapa gedung Candra Naya perlu dibuat replikanya di TMII, apakah karena gedung itu memiliki nilai penting untuk kelompok Tionghoa di Indonesia ? Jika penting, mengapa aslinya malah di trondoli gak keruan ? Apa gunanya bikin replika gedung Kong Koan ? Gedung Kong Koan yang mana ya ? Apakah karena Kong Koan pernah meiliki peranan besar dalah kehidupan masyarakat Tionghoa ? Yang merawat arsipnya saja orang asing. Dari pada buang uang bikin gedung tiruan, lebih baik yang ada saja di rawat baik baik. Ada yang bilang : Masa lalu itu seperti buku pelajaran, jadi kita tidak mengulangi kesalahan yang sama, supaya bisa belajar dari pengalaman pendahulu kita. Kalau belajarnya dari replika dan miniatur, mudah2an tidak jadi bangsa replika dan miniatur juga. Salam --- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, Fy Zhou zhoufy@ wrote: Ah! bangsa ini ternyata sukanya replika dan miniatur, sukanya arsitektur ala theme park, tapi malah tak mau disuguhi bangunan kuno yang asli! Se-hebat2nya repilika, tetap tak dapat menggantikan nilai sejarah bangunan asli. From: Kawaii_no_Shogetsu fenghuang82@ To: budaya_tionghua@yahoogroups.com Sent: Thu, January 28, 2010 8:53:00 PM Subject: [budaya_tionghua] Re: AYO SUMBANG ANJUNGAN BUDAYA TIONGHOA Kalau begitu usul saja, bangun replika bangunan Kongkoan/Gongguan sebagai bangunan induknya. Bagaimana? --- In budaya_tionghua@ yahoogroups. com, dkhkwa dkhkwa@ wrote: Pak Tjandra, Menurut owe, hal itu belum miris. Sebenarnya, kalau mau dibilang miris, yang miris seharusnya ya kita-kita ini, yang harus menyaksikan satu per satu bangunan heritage Tionghoa, yang tua, indah, dan bersejarah, harus menerima kenyataan sangat pahit, satu per satu dihancurkan oleh tangan-tangan konglomerat (Tionghoa?) yang begitu rakus mengincar nilai ekonomis tanahnya, untuk dijadikan hotel-apartemen, dlsb. Rasanya belum pudar dari ingatan kita bagaimana
[budaya_tionghua] Re: (butuh info) potehi(tulisan tangan huruf mandari)
Kemarin saya coba cari jadwal pertunjukannya tapi tidak/belum ada. Juga di situs cipuramall.com tidak ada. Adanya satu stand penggalangan dana untuk satu daerah kumuh. Satu upaya yang baik, bukankah kita yang bisa 'bertahun baru' juga perlu mengingat yang lebih berkekurangan. Apakah bisa didapatkan jadwal manggungnya ? Mungkin kita bisa berkumpul di Citraland atau di Pasar baru, nonton pertunjukan wayang potehi sambil minum teh ? Salam, Anton W --- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, beng mazmuri beng...@... wrote:   Salam,   Tgl 2 - 4 Febuari memang ada pertunjukan wayang Potehi oleh group dari Sidoarjo pimpinan Ki dalang Subur. ( di Citra Land, Mall Ciputra ) , , Tgl 29 Januari Ki Subur ada di Klenteng Pasar Baru Dalam. Info ini saya dapatkan langsung dari Ki Subur.   Salam                                                                                       beng mazmuri
[budaya_tionghua] Suka Musik
Sedikit hiburan dari kompasiana 29 Januari 2009 Suka Musik http://hiburan.kompasiana.com/2010/01/29/suka-musik/ (Kompasiana) Murid menemui Guru dan berkata: “Ketika saya menemui raja, baginda berkata kepada saya bahwa beliau suka musik. Saya tidak dapat memberi pandangan bagaimana bila raja suka musik?” Guru menjawab: “Kalau benar-benar raja menyukai musik, ada harapan Negeri Impian sejahtera.” Hari lain tatkala bertemu raja, Guru bertanya: “Benarkah baginda berkata kepada murid hamba bahwa baginda menyukai musik?” Raja malu dan berubah wajahnya, lalu berkata: “Aku tidak dapat menyukai musik raja-raja purba, melainkan hanya menyukai musik jaman sekarang ini.” “Bila benar-benar baginda menyukai musik, Negeri Impian ada harapan beroleh sejahtera. Sesungguhnya sama saja musik jaman sekarang atau jaman kuno itu.” “Bolehkah aku mendapat keterangan?” “Lebih menyenangkan manakah bermain musik seorang diri atau bersama-sama?” “Lebih menyenangkan bersama-sama.” “Lebih menyenangkan bersama-sama hanya dengan beberapa orang atau banyak orang?” “Tentu menyenangkan bersama-sama dengan banyak orang!” “Kini perkenankanlah aku membicarakan hal musik. Umpama sekarang baginda menabuh musik dan rakyat yang mendengar suara tambur, lonceng, peluit dan seruling merasa pening dan dengan mengerutkan dahinya saling berkata ‘Raja kita sedang bergembira dengan tambur dan alat musik, mengapakah menyuruh kita dalam keadaan sesengsara ini Ayah dengan anak tak dapat bertemu; kakak, adik, isteri serta anak bercerai berai.’ Begitu pula kalau baginda sekarang berburu, rakyat yang mendengar suara kereta dan kuda serta melihat bendera dan panji-panji yang indah berkibar-kibar merasa pening dan dengan mengerutkan dahinya saling berkata ‘Raja kita dapat bersuka-suka berburu, mengapakah menyuruh kita dalam keadaan sesengsara ini? Ayah dengan anak tak dapat bertemu; kakak, adik, isteri serta anak bercerai berai.’ Ini tentulah karena sang raja tidak dapat bersama-sama rakyat merasakan kesenangan itu. Sebaliknya, umpama sekarang baginda menabuh alat musik dan rakyat yang mendengar suara tambur, lonceng, peluit dan seruling merasa gembira dan dengan wajah berseri-seri saling berkata ‘Raja kita niscaya dalam keadaan sehat, kalau sakit bagaimanakah dapat menabuh musik?’ Begitu pula kalau sekarang baginda pergi berburu, rakyat yang mendengar suara kereta dan kuda serta melihat bendera dan panji-panji yang indah berkibar-kibar, merasa gembira dan dengan wajah berseri-seri saling berkata ‘Raja kita niscaya dalam keadaan sehat, kalau sakit bagaimanakah dapat berburu?’ Ini tentulah karena sang raja dapat bersama-sama rakyat menikmati kesenangan itu. Maka sekarang hendaklah baginda berusaha agar dapat merasakan kesenangan bersama-sama rakyat, dengan demikian baginda akan dapat menjadi raja besar.”
Re: [budaya_tionghua] Re: AYO SUMBANG ANJUNGAN BUDAYA TIONGHOA
Kepada Yth Sianseng David Kwa, Memang ada benernya sianseng punya pendapet untuk selametin itu bangunan tua. Cumah seperti sianseng Ophoeng bilang, selametin itu bangunan tua tida semudah membalik telapak tangan karena para ahli waris tentu mau itu kehwe jatuh di tangan mereka. Nah yang beli itu rumah kebanyakan para konglomerat yang punya pikiran ada beda sama kita orang pikir. Mereka mau uang yg ditanam sekarang, besok sudah berbuah. Sedangkan di kita punya perkumpulan budaya rata rata orang cuma cinta seni budaya setengah mati tapi kantong ada kempes. Kita juga susah menyalahkan pak Tedy, karena sebagai purnawirawan ABRI, kantong pak Tedy tida bisa gemuk. Para konglomerat juga tida mau nyumbang karena bangunan budaya bukan hal yg bisa dijadikan pahala bila menghadap Giam Koen. Mereka baru timbul sumanget menyumbang cuma untuk bangunan ibadah semacem vihara, kelenteng, gereja, dan masjid. Nah kalu bangunan ibadah mereka ada gesit sekali nyumbang. Mereka (juga kita) pengen hidup kaya raya di dunia dan hidup nyaman di akhirat. Makanya dari pada mikir yg susah susah dan nyalahin orang kiri-kanan, kalau kita punya duit cebantun, silahkan donatur ke Taman Budaya Tionghoa. Diperkirakan ada 20 juta jiwa Tionghoa peranakan di ini kepulauan. Kalu 1% nya aja nyumbang sudah jadi bangunan utamanya. Itu kira kira owe punya pendapet, kalau ada salah kata mohon sianseng maafken. Soja, Tjandra G --- On Thu, 1/28/10, dkhkwa dkh...@yahoo.com wrote: From: dkhkwa dkh...@yahoo.com Subject: [budaya_tionghua] Re: AYO SUMBANG ANJUNGAN BUDAYA TIONGHOA To: budaya_tionghua@yahoogroups.com Date: Thursday, January 28, 2010, 4:18 PM Pak Tjandra, Menurut owe, hal itu belum miris. Sebenarnya, kalau mau dibilang miris, yang miris seharusnya ya kita-kita ini, yang harus menyaksikan satu per satu bangunan heritage Tionghoa, yang tua, indah, dan bersejarah, harus menerima kenyataan sangat pahit, satu per satu dihancurkan oleh tangan-tangan konglomerat (Tionghoa?) yang begitu rakus mengincar nilai ekonomis tanahnya, untuk dijadikan hotel-apartemen, dlsb. Rasanya belum pudar dari ingatan kita bagaimana “ramainya” dimuat di koran-koran (baca a.l. berita-berita di Kompas dan Warta Kota) mengenai kasus pembongkaran bangunan samping dan belakang (side and back buildings) bekas Gedung Kediaman Mayor Tionghoa Batavia Khouw Kim An, yang kemudian dijadikan gedung perkumpulan (clubgebouw) Sin Ming Hui (selanjutnya menjadi Candra Naya), disamping juga pernah menampung korban Kerusuhan Tangerang 1946, di Jl. Gajah Mada 188. Apalagi saat itu pak Tedy Yusuf selaku ketua salah satu PSMTI ternyata bukannya melindungi, sebagaimana diharapkan, sebaliknya malah turut mendukung pembongkaran. Dengan kapasitas beliau sebagai ketua umum PSMTI waktu, tentunya beliau punya pengaruh di kalangan Tionghoa untuk menyelamatkan Sin Ming Hui dari kehancuran. Meski ada suara-suara protes dari pihak pecinta heritage, namun tetap hal itu tidak mampu membuat yang bersangkutan bergeming. Belum lagi, yang terakhir, penghancuran sama sekali hingga rata dengan tanah bekas Gedung Kapitan Tionghoa Oey Djie San di Karawaci, Tangerang. Lagi-lagi, ketika berbagai pihak, termasuk non-Tionghoa pecinta heritage, berteriak-teriak agar bangunan bersejarah tempat penampungan korban Kerusuhan Tangerang 1946 itu diselamatkan, pihak Tionghoanya sendiri, termasuk pak Tedy Yusuf, tetap tidak bereaksi. Padahal bangunan itu merupakan yang termegah di kawasan Tangerang, dengan arsitektur Indisch sekaligus Tionghoanya. Dengan hancurnya bangunan-bangunan tersebut, yang terjadi adalah penghancuran aset-aset budaya Tionghoa. Masyarakat menjadi lupa akan sejarah dan budaya. Masyarakat tidak tahu, misalnya, bahwa atap Ekor Walet itu bukan hanya dipakai di kelenteng, tapi juga pada kediaman para pejabat Tionghoa yang diangkat Belanda, yakni para mayor, kapitan, dan letnan Tionghoa tadi. Sungguh miris, ketika di negara tetangga kita Singapura dan Malaysia bangunan-bangunan bersejarah dibeli dan dikembalikan ke kejayaannya semula, lalu dijadikan museum (bekas rumah Cheong Fatt Tze, bekas rumah Kapitan China Chung Keng Kwee di Penang, bekas rumah Tun Tan Cheng Lock di Melaka, misalnya), maka yang terjadi di kita adalah penghancuran demi penghancuran. Ironisnya, setelah berbagai aset budaya dihancurkan, didirikanlah berbagai bangunan baru oleh beragam komunitas Tionghoa, tentunya dengan dana yang tidak sedikit. Apakah tidak terbalik, menyelamatkan apa yang bisa diselamatkan terlebih dahulu, baru kemudian membangun yang baru? Bukankah itu yang seharusnya dilakukan oleh beragam komunitas Tionghoa yang mampu membangun di Taman Mininya babe ato yang menindas Tionghoa semasa berkuasa? Jadi, kalau sekarang diharapkan sumbangan dari para member milis, owe rasa lebih baik dana yang ada dimanfaatkan untuk menyelamatkan berbagai aset budaya Tionghoa berupa beragam bangunan tua di berbagai kota di
[budaya_tionghua] Pembahasan Gong Xie Fa chai ( tanggapan saya tentang Shi Jian Khiong Hie)
Bagi Teman -teman yang mau kirim kartu ucapan atau untuk mengucapkan imlek kepada orang kita hormati. ini beberepa kalimat yang sangat berguna bagi kalian. Gong xi fa cai (Tulisan Cina Tradisional: #24685;#21916;#30332;#36001;; Tulisan Cina Ringkas: #24685;#21916;#21457;#36130;; pinyin: g#333;ngx#464; f#257;cái; Bahasa Kantonis (Yale): g#363;nghéi faatchòih; bahasa Hokkien (POJ): Kiong-hí hoat-châi; bahasa Hakka: Kung hei fat choi), yang diterjemah sebagai Tahniah dan semoga mendapat rezeki. Ungkapan ini yang sering tersalah angggap sebagai bersinonim dengan Selamat tahun baru mula digunakan berabad-abad lalu. Belakangan ini Ada beberapa teman -teman Tionghoa lain ingin menganti Gong Si Fa Chai dengan Shi Chian Khiong Hie. Dikarenakan tidak enak didengar karena Beraggapan bahwa Orang Tionghoa itu seakan akan mencari materi atau mementing kan materi, karena bunyi Gong Xie Fa Chai berarti kemakmuran.Dalam catatan padangan saya pribadi, justru saya mempertahankanya karena Pemikiran pemahaman sebenarnya kemakmuran itu bisa berupa materi, hasil pangan dan sebagainya. Saya teringat pada pesan Almarhum ayah saya, jadi orang itu tidak boleh pesimis, harus optimis, jangan karena kekurangan materi atau kesulitan mengatakan susah uang , justru harus mengatakan Ada uang , Walau itu agak sulit dalam diri kesulitan keuangan, Tujuannya apa saya berfikir ternyata itu untuk membangkitkan optimisme kita. Lalu apa Huubungannya dengan Gong Xie Fa chai yang dalam pembahasan saya ini. Kemakmuran itu tidak perlu ditakuti, Harus diungkap, kenapa harus takut, kenapa merasa pesimis, Justru ketika tahun baru Selalu harus bicara Kejayaan, Kemakmuran, Keberhasilan, Agar timbul rasa optimisme dalam diri, akan menyambut Tahun yang baru, Saya tidak setuju kalau diganti, bagi saya aneh. Kekawahtiran sesuatu hal negatif terjadi, Justru Siapa yang tidak mau kalo Negara itu Makmur, Rakyat sentosa, tidak ada kekurangan apapun, inilah makna dikandung dalam Gong Xie FA Chai, yang Artinya kemakmuran Harus menyertai kita. Ucapan lain sebgai tambahan kalimat dari Gong xi fa cai Terdapat ucapan lain bagi Tahun Baru Cina, antaranya boleh dijerit dengan sekuatnya tanpa mengira penerima dalam situasi tertentu. Contohnya, memecah objek ketika tahun baru dianggap tidak bagus, dan jika berlakunya sedemikian Suìsuì píng'#257;n (Cina Tradisional: #27506;#27506;#24179;#23433;, Cina Ringkas: #23681;#23681;#24179;#23433;) diucapkan serta-merta, yang bermakna semoga keamanan berkekalan tahun demi tahun. #27506; (Suì, bermaksud usia) sama bunyi dengan #30862; (pecah), sebagai demonstrasi bagi kegemaran orang Cina bermain-main dengan perkataan dalam bahasa mereka. Melalui cara yang sama, #24180;#24180;#26377;#39192; (Niánnián y#466;uyú), hajat penambahan hasil setiap tahun, memanipulasi suku kata yú yang juga ditulis #39770; (ikan), menjadikannya ungkapan utama bagi sajian tahun baru berikan dan juga lukisan dan grafik ikan yang digantung pada dinding atau dijadikan hadiah. selain itu ada yang namanya Shien di Chien Kang; ini untuk mengucapkan semoga rejeki bertambah. Wan She Rui yi semoga dapat terwujud. Ta Dji Dan Ta Li besar rejeki dan besar keberuntungan. Semoga ini bermanfaat Bagi teman - teman yang memerlukan kartu ucapan melalui internet secara gratis dan dapat dibagi ke teman - teman kalian
[budaya_tionghua] AYO SUMBANG ANJUNGAN BUDAYA TIONGHOA
Kepada Yth Sianseng David Kwa, Memang ada benernya sianseng punya pendapet untuk selametin itu bangunan tua. Cumah seperti sianseng Ophoeng bilang, selametin itu bangunan tua tida semudah membalik telapak tangan karena para ahli waris tentu mau itu kehwe jatuh di tangan mereka. Nah yang beli itu rumah kebanyakan para konglomerat yang punya pikiran ada beda sama kita orang pikir. Mereka mau uang yg ditanam sekarang, besok sudah berbuah. Sedangkan di kita punya perkumpulan budaya rata rata orang cuma cinta seni budaya setengah mati tapi kantong ada kempes. Kita juga susah menyalahkan pak Tedy, karena sebagai purnawirawan ABRI, kantong pak Tedy tida bisa gemuk. Para konglomerat juga tida mau nyumbang karena bangunan budaya bukan hal yg bisa dijadikan pahala bila menghadap Giam Koen. Mereka baru timbul sumanget menyumbang cuma untuk bangunan ibadah semacem vihara, kelenteng, gereja, dan masjid. Nah kalu bangunan ibadah mereka ada gesit sekali nyumbang. Mereka (juga kita) pengen hidup kaya raya di dunia dan hidup nyaman di akhirat. Makanya dari pada mikir yg susah susah dan nyalahin orang kiri-kanan, kalau kita punya duit cebantun, silahkan donatur ke Taman Budaya Tionghoa. Diperkirakan ada 20 juta jiwa Tionghoa peranakan di ini kepulauan. Kalu 1% nya aja nyumbang sudah jadi bangunan utamanya. Itu kira kira owe punya pendapet, kalau ada salah kata mohon sianseng maafken. Soja, Tjandra G
Re: [budaya_tionghua] Roh Bangunan Tua. (Was: AYO SUMBANG ANJUNGAN BUDAYA TIONGHOA)
Bung Opheng, rumah tua dijual juga tidak apa2, namanya milik pribadi masak tak boleh diuangkan. Si pembeli mau memanfaatkan utk berbagai keperluan juga ok2 saja, masak aset kok dibiarkan nganggur. Yg jadi penekananr adalah, bangunan yg bernilai sejarah ini janganlah dihancurkan! Mau renovasi atau pengembangan juga hrs terkendali, diawasi oleh pemerintah. Lihat contoh pemanfaatan bangunan kantor pos tua menjadi hotel mewah oleh pemerintah singapore. Atau deretan ruko tua menjadi sebuah Shopping mall modern. Semua ini hrs dipagari oleh peraturan pemerintah, pemerintah harus turun tangan, penyelamatan bangunan tua jangan menunggu kesadaran masyarakat, bukan berlandaskan atas kemauan keras LSM atau kebaikan hati konglomerat! Ini tanggungjawab pemerintah! Sent from my BlackBerry® powered by Sinyal Kuat INDOSAT -Original Message- From: Ophoeng opho...@yahoo.com Date: Fri, 29 Jan 2010 01:58:23 To: budaya_tionghua@yahoogroups.com Subject: [budaya_tionghua] Roh Bangunan Tua. (Was: AYO SUMBANG ANJUNGAN BUDAYA TIONGHOA) Bung Dipo, Bung Fy Zhou, Bung David K. dan TTM semuah, Hai, apakabar? Sudah makan? Ikut nimbrung barang sepatah dua kata saja ya Benar juga, kalau dikatakan bahwa bangunan tua (yang kemudian dirobohkan) dibandingkan dengan replika-nya, walau mungkin bisa menggunakan batu-bata dan kusen-kusen lama untuk direkonstruksi di tempat lain, tentu sudah kehilangan roh-nya. Roh bangunan tua [bukan 'roh' hantu yang katanya suka mendiami bangunan tua tidak terurus] tidak bisa di'cipta'kan, dibuat di tempat baru, apalagi kalau bangunan 'tua' itu baru dibangun sebagai replika-nya saja. Memang dilema juga. Bangunan tua itu biasanya adalah warisan dari orang kaya jaman dulu. Orang kaya jaman dulu, seperti kita semua tahu, mestilah punya anak banyak (yang kemudian banyak ditiru oleh orang-orang yang merasa kaya). Atau bahkan isteri beberapa orang dengan anak-anaknya masing-masing. Jadi, ketika si kepala keluarga meninggal dunia, maka pembagian warisan terpaksa mesti menjadikan banguna tua itu dibagi rata, kalau ndak ya bisa saja jadi sengketa. Kita sebagai 'pengamat' atau 'pemerhati' tentu tidak kuasa berbuat apa-apa, kalau ahli warisnya lantas melego bangunan tua itu untuk mendapat manfaat ekonomi. Mungkin saja mereka (anak-cucu-cicit) ahli waris tidak merasa punya ikatan emosionil dengan bangunan tua itu, karena ada kebutuhan ekonomi yang lebih mendesak? Perut memang ndak bisa disuruh menunggu sih, jeh! Kalau saja ada satu badan atau yayasan yang banyak duitnya, mungkin bisa punya dana cukup untuk membeli bangunan tua itu, lantas dijadikan entah apa terserah badan atau yayasan tsb. yang sudah menjadi pemiliknya. Sambil menunggu berdirinya badan atau yayasan tsb., mungkin untuk sementara kita 'terpaksa' menelan ludah mengurut dada menerima kenyataan bangunan tua-tua itu dirobohkan satu demi satu ya? Mong-omong, mengapa yang disebut 'bangunan tua' itu mestilah merujuk ke bangunan peninggalan (bekas milik) tokoh orang Tionghua, entah mayor, kapiten atau apa-lah. Bagaimana dengan bangunan tua yang bukan pernah dimiliki oleh tokoh berpangkat begitu ya? Rasanya ada beberapa (atau mungkin masih banyak?) bangunan tua yang dimiliki oleh 'orang biasa' yang juga kuno dan tentu saja ada 'roh'-nya, seperti ada satu di Tangerang yang baru-baru ini saya lihat fotonya yang dibuat oleh Bung Dipo di sini: http://dipodipo.multiply.com/photos/album/22/ Kalau ada usulan mengumpulkan dana untuk mengisi ATM BT - Anjungan Taman Mini - Budaya Tionghua (semula saya mengira ini ada kaitannya dengan milis kita), apakah perlu digalang dana untuk membentuk BBT-BT - Badan Bangunan Tua - Budaya Tionghua [hehehe kalau BBT - umum tahunya akronim untuk Baba Tong, tukang mie ayam cukup 'kuno' di samping gereja Katolik di Mataraman itu lho] supaya bisa kita mulai untuk 'menyelamatkan' bangunan tua dari kehancuran lebih lanjut nih? Begitu sajah sih ya. Salam makan enak dan sehat, Ophoeng BSD City, Tangerang Selatan --- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, Dipo dipod...@... wrote: Mengapa gedung Candra Naya perlu dibuat replikanya di TMII, apakah karena gedung itu memiliki nilai penting untuk kelompok Tionghoa di Indonesia ? Jika penting, mengapa aslinya malah di trondoli gak keruan ? Apa gunanya bikin replika gedung Kong Koan ? Gedung Kong Koan yang mana ya ? Apakah karena Kong Koan pernah meiliki peranan besar dalah kehidupan masyarakat Tionghoa ? Yang merawat arsipnya saja orang asing. Dari pada buang uang bikin gedung tiruan, lebih baik yang ada saja di rawat baik baik. Ada yang bilang : Masa lalu itu seperti buku pelajaran, jadi kita tidak mengulangi kesalahan yang sama, supaya bisa belajar dari pengalaman pendahulu kita. Kalau belajarnya dari replika dan miniatur, mudah2an tidak jadi bangsa replika dan miniatur juga. Salam --- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, Fy Zhou zhoufy@ wrote: Ah! bangsa ini ternyata sukanya replika dan miniatur, sukanya
Re: [budaya_tionghua] AYO SUMBANG ANJUNGAN BUDAYA TIONGHOA
Ini sedikit rancu: Tugas utama tokoh2 masyartakat bukanlah menyisihkan uang utk menyelamatkan bangunan tua, tugas mereka adalah mendesak pemerintah utk menerbitkan peraturan melindungi bangunan tua, dan mengawasi penyimpangan2 aparat pemerintah dlm praktek pembangunan! Sent from my BlackBerry® powered by Sinyal Kuat INDOSAT -Original Message- From: Tjandra Ghozalli ghozalli2...@yahoo.com Date: Thu, 28 Jan 2010 22:32:25 To: budaya_tionghua@yahoogroups.com Subject: [budaya_tionghua] AYO SUMBANG ANJUNGAN BUDAYA TIONGHOA Kepada Yth Sianseng David Kwa, Memang ada benernya sianseng punya pendapet untuk selametin itu bangunan tua. Cumah seperti sianseng Ophoeng bilang, selametin itu bangunan tua tida semudah membalik telapak tangan karena para ahli waris tentu mau itu kehwe jatuh di tangan mereka. Nah yang beli itu rumah kebanyakan para konglomerat yang punya pikiran ada beda sama kita orang pikir. Mereka mau uang yg ditanam sekarang, besok sudah berbuah. Sedangkan di kita punya perkumpulan budaya rata rata orang cuma cinta seni budaya setengah mati tapi kantong ada kempes. Kita juga susah menyalahkan pak Tedy, karena sebagai purnawirawan ABRI, kantong pak Tedy tida bisa gemuk. Para konglomerat juga tida mau nyumbang karena bangunan budaya bukan hal yg bisa dijadikan pahala bila menghadap Giam Koen. Mereka baru timbul sumanget menyumbang cuma untuk bangunan ibadah semacem vihara, kelenteng, gereja, dan masjid. Nah kalu bangunan ibadah mereka ada gesit sekali nyumbang. Mereka (juga kita) pengen hidup kaya raya di dunia dan hidup nyaman di akhirat. Makanya dari pada mikir yg susah susah dan nyalahin orang kiri-kanan, kalau kita punya duit cebantun, silahkan donatur ke Taman Budaya Tionghoa. Diperkirakan ada 20 juta jiwa Tionghoa peranakan di ini kepulauan. Kalu 1% nya aja nyumbang sudah jadi bangunan utamanya. Itu kira kira owe punya pendapet, kalau ada salah kata mohon sianseng maafken. Soja, Tjandra G