Re: Just for Triesje Hermawan !

2005-03-16 Terurut Topik Yohanes Sulaiman
Bung Gunawan:
Bisa anda klarifikasi tentang e-mail ini? Terus terang, gaya bahasa seperti
ini sangat tidak patut dikeluarkan di muka umum, belum lagi tuduhan yang
benar-benar serius. Lebih lagi, anda mengatasnamakan General Chairman
Permias (ketua Permias SF?) - berarti ini sikap organisasi Permias San
Francisco? Saya harap anda dan Permias San Francisco memberikan klarifikasi
karena ini sudah merupakan tindakan pencemaran nama baik.
Tambahan: jika anda memang memiliki masalah pribadi dengan Ms. Hermawan,
sebaiknya diselesaikan secara pribadi. Selain itu, di mohon para rekan
mengikuti tata krama dalam berdiskusi di milis.
YS
**
Yohanes Sulaiman
Department of Political Science
The Ohio State University
2043 Derby Hall, 154 North Oval Mall
Columbus, OH 43210-1373
Phone:
Office: (614)  292-3627
Home: (614)  268-4480
http://psweb.sbs.ohio-state.edu/grads/ysulaimn/
ICQ: #27640045
In Italy for 30 years under the Borgias they had warfare, terror, murder,
and bloodshed, but they produced Michelangelo, Leonardo da Vinci, and the
Renaissance. In Switzerland they had brotherly love - they had 500 years of
democracy and peace, and what did that produce? The cuckoo clock.
Orson Welles
The Third Man (1950)


FYI: IMPORTANT INS ADDRESS REPORTING REQUIREMENTS

2002-07-23 Terurut Topik Yohanes Sulaiman

Hallo Permias-permias lain, apa kalian sudah menerima pemberitahuan seperti
ini dari sekolah?

YS
---

Subject: IMPORTANT INS ADDRESS REPORTING REQUIREMENTS

The INS has announced that it will begin strictly enforcing the
requirement that ALL non citizens keep the INS updated about the address
at which they reside in the U.S. Failure to do so can result in a $200
fine and 30 days in jail. It is also grounds for deportation. This rule
affects all nonimmigrants, including students and scholars in F, J, H,
TN, and O statuses. BEGINNING IMMEDIATELY, NOTIFY THE INS OF ANY ADDRESS
CHANGES. The INS already has the address you listed when you filled out
your I-94 form upon your most recent entry to the U.S. Notify them of
your most recent address if you are currently living at a different
address than the one you listed on the I-94 form. To notify the INS about
a change in address, go to
http://www.ins.usdoj.gov/graphics/formsfee/forms/ar-11.htm.
Download Form AR-11 (Alien's Change of Address Card.) Send your
address change to the address on the bottom of the form. Send the form via
certified mail or some other method providing proof of delivery. Keep a
copy of the AR-11 form you submitted and a copy of the proof of delivery.
Each member of a family must submit an individual form.




**
Yohanes Sulaiman
Department of Political Science
The Ohio State University
2043 Derby Hall, 154 North Oval Mall
Columbus, OH 43210-1373

Phone:
Office: (614)  292-3627
Home: (614)  268-4480

http://psweb.sbs.ohio-state.edu/grads/ysulaimn/

ICQ: #27640045


Pessimum facinus auderent pauci, plures vellent, omnes paterentur.
(The worst crime was dared by a few, willed by more and tolerated by all)

 Tacitus



Tokoh HAM HJC Princen Meninggal Dunia

2002-02-21 Terurut Topik Yohanes Sulaiman

Tokoh HAM HJC Princen Meninggal Dunia
Reporter : Suwarjono

detikcom - Jakarta, Tokoh Hak Azazi Manusia (HAM) yang juga merupakan
anggota Dewan penyantun YLBHI HJC Prinsen (76) meninggal dunia. Prinsen
yang dalam penampilannya selalu berada di atas kursi roda itu, meningal
dunia setelah lama menderita penyakit stroke.

Menurut pihak keluarga yang ditemui detikcom Jumat (22/2/2002), Ketua
Lembaga penegak HAM (LPHAM) itu meninggal dunia sekitar pukul 05.00 WIB di
kediamannya.

Saat ini jenazah anggota Dewan Penyantun YLBHI ini berada di kediamannya
Jl. Arjuna, Utan Kayu, Jakarta Timur. Rencana almarhum akan dimakamkan usai
sholat Jumat di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Pondok Kelapa.

Untuk diketahui pemenang hadiah Yap Thiam Him ini diusianya yang lanjut
ini, sudah bebrapa kali terserang stroke. Penyakit stroke itu sendiri telah
membuat bagian tubuhnya baik kanan maupun kiri tidak lagi dapat digerakan.

Meskipun dalam penampilannya selalu berada diatas kursi Roda, namun princen
masih terlihat aktih mengikuti perkembangan hukum terutama maslah-masalah
HAM. Bahkan, sebelum penyakitnya semakin parah dia masih sering terlihat
sekali-sekali di mengunjungi gedung YLBHI.(djo)


**
Yohanes Sulaiman
Department of Political Science
The Ohio State University
2043 Derby Hall, 154 North Oval Mall
Columbus, OH 43210-1373

Phone:
Office: (614)  292-3627
Home: (614)  268-4480

http://psweb.sbs.ohio-state.edu/grads/

ICQ: #27640045


Pessimum facinus auderent pauci, plures vellent, omnes paterentur.
(The worst crime was dared by a few, willed by more and tolerated by all)

 Tacitus



Re: Ada apa dengan Poso?

2001-12-03 Terurut Topik Yohanes Sulaiman

http://europe.cnn.com/2001/WORLD/asiapcf/southeast/12/01/indonesia.burning.ap/index.html

http://www.nytimes.com/2001/12/02/international/asia/02INDO.html?ex=1007960400en=5c7b0ecc2a018000ei=5040partner=MOREOVER


At 09:19 AM 12/3/2001 +0700, you wrote:
Saya setuju dengan Ali.  Berita-berita seperti ini masih sangat 'buram'
keabsahannya.  Sekitar 6 bulan yang lalu memang ada kejadian
'perang-perangan' di Poso and I don't know how it is now.  Anyway, let's
keep things cool.

thanks,
[EMAIL PROTECTED]





**
Yohanes Sulaiman
Department of Political Science
The Ohio State University
2043 Derby Hall, 154 North Oval Mall
Columbus, OH 43210-1373

Phone:
Office: (614)  292-3627
Home: (614)  268-4480

http://psweb.sbs.ohio-state.edu/grads/

ICQ: #27640045


Pessimum facinus auderent pauci, plures vellent, omnes paterentur.
(The worst crime was dared by a few, willed by more and tolerated by all)

 Tacitus



Re: Ada apa dengan Poso?

2001-12-02 Terurut Topik Yohanes Sulaiman

Dear all:

Saya yakin bahwa e-mail ini bisa menyinggung perasaan para pembaca, karena
itu saya terlebih dulu minta maaf.

Menyimak beberapa pendapat diskusi di milis ini, saya rasa yang terjadi adalah
kita dibutakan oleh nama dan agama.

Setiap kali kita mendengar kata Jihad, Laskar Merah, dsb, yang langsung
terbentuk
di kepala kita adalah image bahwa ini perang agama. Karena itu tak heran,
beberapa
anggota milis yang beragama Kristen (termasuk saya) akan langsung bereaksi
begitu
mendengar berita yang memburuk-burukkan Kristen, dan yang beragama Islam
langsung
bereaksi jika mendengar berita yang memburuk-burukkan Islam.

Maaf jika saya salah, tapi saya rasa para peserta milis yang beragama Islam
tentu cukup
peka kalau mendengar atau membaca berita yang menyudutkan Laskar Jihad.
Begitu juga
kalau peserta milis yang Kristen membaca berita yang menyudutkan Laskar Kristen
di Maluku. Karena itu para peserta milis akan cenderung sangat kritikal
atau skeptik jika
membaca berita seperti itu. Saya yakin bukan karena semua mendukung Laskar
Jihad,
Laskar Merah ataupun gerakan yang menggunakan kekerasan, melainkan ada defense
mechanism di dalam diri masing-masing yang berusaha membela agama-nya
dan menganggap
tak mungkin berita-berita yang menyudutkan agama masing-masing benar.

Tapi untuk yang namanya Laskar Jihad ataupun Laskar Merah, apapun namanya,
sebetulnya
kita perlu sangat kritis. Saya berharap agar para pembaca membongkar
nama-nama itu
dan melihat apa yang terjadi di lapangan.

Yang saya lihat terjadi di Indonesia, baik di kalangan Laskar Jihad, Laskar
Kristen,
dsb adalah yang pertama: agama digunakan sebagai pembenaran bagi perbuatan
biadab yang mengakibatkan penderitaan rakyat. Silahkan serbu saya sebagai
provokator, tapi ada satu term yang saya gunakan untuk makhluk sejenis mereka:
Thugs atau bandit.

Mengapa saya katakan bandit? Tidak lain karena perbuatan laskar-laskar tersebut
yang menyatakan diri mereka sebagai pembela agama tak berbeda jauh dari
perbuatan kriminil yang mengorbankan rakyat yang tak berdosa. Coba kalau kita
belah kerusuhan di Maluku tahun 1999, apa awalnya? Keributan antara gang
kriminal
Islam lawan Kristen yang memperebutkan daerah kekuasaan yang menjalar karena
provokasi dari Jakarta menjadi perang agama. Kenapa menjalar? Karena
polisi dan
militer yang tak becus menjaga keadaan, sehingga kriminal-kriminal tersebut
bebas
bertindak tanpa takut akan dilempar ke bui akibat perbuatan mereka. Rakyat
tentunya
yang menjadi korban, terpaksa memilih untuk lebih baik di bawah
ganglord yang mana.
Tapi apakah ini sebetulnya perang agama atau seperti kata Huntington Clash
of Civilization?
Tidak. Karena yang terjadi adalah perang antara kriminal.

Saya memandang bahwa pasukan-pasukan milisi dari semua agama termasuk
Laskar Jihad
yang masuk di tahun 2000 semakin memperkeruh suasana. Pasukan-pasukan tersebut
tidak lain adalah kaki tangan politikus ekstrimis yang gila kuasa dan
digunakan sebagai alat
teror kepada lawan-lawan politik lain. Saya menuduh bahwa laskar-laskar
baik di Maluku, Poso,
Jawa Timur, ataupun Kalimantan sebagai kaum fanatik yang sebetulnya
kalau di alam demokrasi yang sempurna adalah orang-orang di pinggir jalan yang
berteriak-teriak tanpa diacuhkan orang-orang yang lalu lalang. Di jaman
berantakan ini,
mereka bisa tampil di pentas karena dengan kekerasan yang menjadi sarana untuk
mereka agar bisa didengar oleh pemerintah pusat dan bisa menekan pemerintah.
Apalagi dengan angka pengangguran yang tinggi, yakni sekitar 20 juta orang,
merupakan sumber daya yang cukup sebagai tentara bayaran.

Kriminal-kriminal itu beraksi sesuai dengan naluri mereka: merampok, menjarah,
memperkosa, dan menghancurkan. Tapi saya jamin, begitu kaum kriminal ini
dihadapkan dengan tentara yang berdisiplin, mereka akan kocar-kacir, karena
pada
dasarnya memang mereka pengecut yang hanya ingin easy gain dengan rampok.
Ngapain mengorbankan nyawa? Karena itu, saya yakin pasti ada semacam doa restu
dari Jakarta yang memberikan garansi agar perbuatan biadab mereka tak akan
dibawa
ke pengadilan.

Karena itu, satu jalan yang dibutuhkan: pasukan yang kuat, terlatih,
berdisiplin, serta
bersenjata lengkap. Laskar Jihad, Laskar merah, dsb merupakan paramilitary
unit, yang
mutunya setingkat diatas kriminal, tapi tetap bukan merupakan pasukan
militer betulan.
Dengan pasukan disiplin dan kepastian hukum, maka saya jamin kerusuhan
etnis di
Indonesia akan lenyap dengan sendirinya.

Beberapa informasi tambahan:
http://www.intl-crisis-group.org/
http://www.humanrightswatch.org/asia/indonesia.php

Salam,

YS





**
Yohanes Sulaiman
Department of Political Science
The Ohio State University
2043 Derby Hall, 154 North Oval Mall
Columbus, OH 43210-1373

Phone:
Office: (614)  292-3627
Home: (614)  268-4480

http://psweb.sbs.ohio-state.edu/grads/

ICQ: #27640045


Pessimum facinus auderent pauci, plures vellent, omnes paterentur.
(The worst crime was dared by a few, willed by more and tolerated by all

Minta bantuan: sikap2 organisasi Indonesia.

2001-10-26 Terurut Topik Yohanes Sulaiman

Dear all:

Baru-baru ini kita melihat banyak organisasi di Indonesia seperti PGI, MUI,
FPI, dsb mengeluarkan
kecaman kepada serangan Amerika Serikat ke Afghanistan.

Apakah ada diantara para netter yang memiliki dokumen/surat tentang kecaman
organisasi MUI, FPI, dsb? Wawancara juga tak ada masalah.

Jika ada, saya sangat berterima kasih kalau ada yang bersedia mem-forward
dokumen-dokumen tersebut ke e-mail saja JAPRI.

Terima kasih.

YS



**
Yohanes Sulaiman
Department of Political Science
The Ohio State University
2043 Derby Hall, 154 North Oval Mall
Columbus, OH 43210-1373

Phone:
Office: (614)  292-3627
Home: (614)  268-4480

http://psweb.sbs.ohio-state.edu/grads/

ICQ: #27640045


Pessimum facinus auderent pauci, plures vellent, omnes paterentur.
(The worst crime was dared by a few, willed by more and tolerated by all)

 Tacitus



Exploiting Chaos, Osama Bin Laden Establishes Indonesian Base

2001-09-13 Terurut Topik Yohanes Sulaiman

Apakah Indonesia juga akan ditekan?

--

http://www.latimes.com/news/nationworld/world/la-091401indo.story

LA TIMES
4:53 PM PDT,September 13, 2001

Exploiting Chaos, Osama Bin Laden Establishes Indonesian Base
By RICHARD C. PADDOCK, Times Staff Writer

JAKARTA, Indonesia -- Osama bin Laden, suspected of masterminding Tuesday's
attacks in New York and at the Pentagon, has begun operating in Indonesia
where social chaos and rising Islamic fundamentalism provide a rich
recruiting ground, authorities said.

Bin Laden, sought by the United States for his alleged role in the 1998
bombing of two embassies in Africa, is believed to be planning a terrorist
attack in Indonesia, possibly against the U.S. Embassy in Jakarta,
officials said. The embassy has been on high alert for the past month.

Intelligence officials also believe the bin Laden organization might seek
to use the vast, unruly Indonesian archipelago as a staging area for
attacks in other countries.

We have known for quite some time that the bin Laden group has established
itself in Indonesia, said a senior Western diplomat said this week. I
think they see real opportunities in the world's biggest Muslim country and
one in which there are no effective controls.

Islamic fundamentalism has found many new supporters in Indonesia since
1998, when the downfall of Suharto ended more than three decades of
military dictatorship.

Government restrictions that once kept Muslim extremists in check have
disappeared. However, no effective law enforcement system has been
established to replace authoritarian rule, creating a state of lawlessness.

Indonesian officials said U.S. Trade Representative Robert Zoellick raised
the issue of bin Laden with President Megawati Sukarnoputri when he visited
last month.

They expect the matter to come up again when Megawati meets President Bush
in Washington. A meeting between the two is scheduled for next week, but
could be postponed because of Tuesday's attacks.

Lt. Gen. Kiki Syahnakri, deputy chief of the Indonesian army, warned
recently that international terrorist activity is likely to escalate in
Indonesia, a sprawling country of 17,000 islands.

The chances are very high that in the next three years we will fight
terrorism, specifically international terrorism that enters Indonesia, the
general told The Australian newspaper. We also received information from
America, as well as other parties, of Osama bin Laden's presence in Indonesia.

During the 1990s, bin Laden is believed to have funneled money to the Moro
Islamic Liberation Front in the southern Philippines and trained some
Indonesians there along with Filipinos.

Over the past year, fighters from Afghanistan with alleged links to bin
Laden have traveled to Indonesia's Maluku islands to join forces with
Laskar Jihad, an extremist Indonesian Islamic group that is seeking to
drive Christians from the region.

Western officials say that Laskar Jihad has adopted methods similar to
other groups connected to bin Laden, including using the same kind of
detonator for their bombs.

Nearly 90 percent of Indonesia's population is Muslim and many officials
find it difficult to take firm action against Islamic extremists, including
Laskar Jihad, which has sent more than 4,000 fighters to the Malukus and
operates there virtually unchecked.

U.S. Ambassador Robert Gelbard said he once appealed to Indonesian police
chief Suroyo Bimantoro to curb the group's activities. According to his
account, Bimantoro declined, saying: You must understand. The police
cannot look anti-Islamic.


**
Yohanes Sulaiman
Department of Political Science
The Ohio State University
2043 Derby Hall, 154 North Oval Mall
Columbus, OH 43210-1373

Phone:
Office: (614)  292-3627
Home: (614)  268-4480

http://psweb.sbs.ohio-state.edu/grads/

ICQ: #27640045


Unlimited power is apt to corrupt the minds of those who possess it;
and this I know, that where law ends, tyranny begins!
William Pitt, Earl of Chatham (1708-78)



Anarchu Indonesia

2000-10-05 Terurut Topik Yohanes Sulaiman

Kejatuhan Suharto pada bulan Mei 1998 adalah tragedi!

Mengapa sebuah tragedi? Bukankah kejatuhannya merupakan
akhir dari pemerintahan otoriter yang berkuasa selama tiga
puluh tahun-an?

Tragedi untuk Indonesia adalah Indonesia saat itu kehilangan
pegangan setelah selama tiga puluh sembilan tahun dipaksa
'berpegangan' kepada sistem otoriter.

Pemerintahan Presiden Abdulrahman Wahid sudah berumur
hampir dua tahun, dan sementara ini rasa percaya masyarakat
kepada pemerintah justru terlihat semakin berkurang. Apakah
ini merupakan salah Gus Dur? Saya rasa mungkin Gus Dur
sebagai manusia memiliki banyak kesalahan, namun saya
terus terang sangsi bahwa hilangnya kepercayaan rakyat
kepada pemerintah merupakan kesalahan Gus Dur. Justru
hilangnya kepercayaan rakyat merupakan suatu proses yang
memang sejak dulu sudah terjadi, dan Gus Dur kalau saya
gambarkan sebetulnya adalah 'flight instructor' yang
mendadak mendapat posisi sebagai pilot Boeing 747 yang
'out of control,' habis bensin, dan sementara beberapa
kilometer di depannya ada gunung dan dibawah tak ada
apa-apa selain hutan rimba sehingga sulit sekali mendaratkan
kapal. 'Mission Impossible'-nya Gus Dur adalah berusaha
mendaratkan kapal tersebut sementara dibelakangnya para
penumpang berusaha mendobrak pintu kokpit karena mereka
merasa mereka adalah pilot yang lebih baik, walaupun
mereka tak memiliki sertifikat, let alone ijin terbang.

Melihat gambaran di atas, saya sebetulnya argue bahwa
Presiden Suharto-lah yang membawa kapal dalam posisi
tersebut dengan KKN-nya dan karena ia tak melakukan
perombakan politik/transisi selama ia masih berkuasa.
Akibatnya, pegangan yang rakyat Indonesia tahu sampai
sekarang adalah pemerintahan yang otoriter, di mana
rakyat tak bisa memilih yang terbaik, dan akhirnya
kita mendirikan 'Republik Beo' karena rakyat hanya
menuruti mereka yang di atas, mudah dihasut, dan
tak bisa mengeritik pemerintah dengan baik. Rakyat
akhirnya hanya mengetahui sistem kekerasan yang
memang ditanamkan oleh rezim yang lama; karena rakyat
belajar bahwa dengan power kamu bisa mendapatkan
segalanya. Akhirnya, rakyat Indonesia merupakan cermin
dari pemerintahan yang lama yang otoriter, dan inilah
yang diinginkan penguasa lama: rakyat yang memang
membeo dan bergantung kepada dia yang di atas. Begitu
pemerintah lama jatuh, rakyat tak lagi punya jaminan
dan pegangan, dan timbul kerusuhan sosial.

Di jaman Suharto, walau aparat bertindak sewenang-wenang,
tapi at least masih ada sedikit jaminan hukum, akibat rezim
otoriter yang memang memberikan rasa aman kepada mereka
yang tak menentangnya (atau tepatnya rasa takut kepada
rakyat). Namun, di era 'reformasi,' aparat tak lagi memiliki 'aura
of invicibility' seperti di masa lalu, sehingga rakyat tak lagi
memiliki rasa takut (let alone rasa percaya) kepada aparat
negara. Hasilnya adalah Indonesia kehilangan jaminan keamanan
atau bisa dikatakan sebagai anarki/anarchy. Dapat dikatakan bahwa
ini sebetulnya akar masalah pertikaian SARA di Indonesia.

Apakah anarchy itu? Anarchy adalah kurangnya keteraturan dalam
masyarakat, dimana secara intinya tak ada satu unit yang
bisa menjadi tempat bertumpu dalam masalah keamanan dan
ketertiban. Pada jaman Suharto, tempat bertumpu masyarakat
adalah rezimnya dan juga kredibilitas yang dimiliki sang
mantan presiden.

Mengapa pada jaman Suharto sedikit sekali terjadi konflik
SARA? Hal ini bukan hanya karena kediktatoran Suharto menekan
rasa benci antar suku, bukan juga karena perusuh takut atas
kekuatan TNI. Namun di masa Suharto, kelompok-kelompok yang
bertikai memiliki 'arbiter' yakni pemerintah Suharto, sehingga
walaupun sering kali keputusan sang arbiter kontroversial,
tapi setiap itikad kelompok mendapatkan kredibilitas karena
'digaransi' pemerintah. (Ditambah lagi rekonsiliasi paksaan).

Kejatuhan Suharto merusak sistem 'arbiter' dari pemerintahan
Suharto. Keadaan anarkis di Indonesia menyebabkan rasa
'uncertainty' diantara rakyatnya, sehingga tak ada yang bisa
memberikan komitmen yang kredible karena tak adanya lagi
'guarantator' yakni pemerintah.

Hobbes menyatakan 'homo homini lupus,' manusia adalah
serigala bagi sesamanya, dan karena itu orang-orang untuk
mencari keamanan dan keselamatan bersedia menyerahkan
sebagian haknya kepada pemerintah, dan pemerintah wajib
melindungi rakyatnya. Jadi menurut definisi ini, kewajiban
utama pemerintah adalah memberikan jaminan keamanan
bagi rakyatnya. Karena itu rakyatpun dengan senang hati
akan menyerahkan haknya di segi hukum dan pajak untuk
negara. Namun faktanya adalah Indonesia tak sanggup
memberikan jaminan keamanan bagi warga negaranya.

Dengan mengikuti definisi di atas, maka sebetulnya dapat
dikatakan walaupun Indonesia sebetulnya memiliki negara
(walau skeptik akan menyatakan ini pemerintahan buta-bisu-tuli),
tapi secara realitas Indonesia sendiri sebetulnya tak memiliki
pemerintah, karena pemerintahnya tak bisa memenuhi
kewajibannya yakni memberikan jaminan keamanan bagi
rakyatnya.

Fakta lapangannya sendiri adalah 

Indonesia Court Says Suharto Too Ill to Face Corruption Trial

2000-09-28 Terurut Topik Yohanes Sulaiman

Indonesia Court Says Suharto Too Ill to Face Corruption Trial

By CALVIN SIMS

JAKARTA, Indonesia, Sept. 28 — An Indonesian court dismissed the
Government's landmark corruption case against former President
Suharto today, after an independent team of doctors declared him
medically unfit to stand trial.

The ruling was a major setback for Indonesia's democratically elected
government, which sought to bring the ailing, 79-year-old, former dictator
to justice for human rights abuses and other crimes committed during his
brutal reign of three decades.

While prosecutors said they would appeal the decision, they acknowledged
that Mr. Suharto's poor physical condition would make it extremely difficult

to prevail. A five-judge panel ruled that Mr. Suharto was too sick to face
Government charges that he embezzled $590 million in state funds during
his 32-year rule, which ended in 1998, amid economic despair and civil
unrest.

Court-appointed doctors testified today that Mr. Suharto had suffered three

strokes last year that left him unable to understand or answer complex
questions. One doctor said that Mr. Suharto had the communications skills
of " kindergartner" and took up to a minute to answer basic inquiries.

"We declare Suharto is unfit to stand trial," said Zakaria, the head of the

team of 24 doctors who examined Mr. Suharto over the weekend.
"Physically and mentally, he is not in the proper condition to be tried in the

court."

Indonesia's Attorney General Marzuki Darusman expressed deep
disappointment with the court's ruling, saying that the justice system had
failed the people.

"The thing that we aimed for, which was to truly obtain justice for the
people, was not achieved," said Mr. Marzuki, who had insisted that Mr.
Suharto was well enough to stand trial.

The case, which was the first serious attempt to prosecute Mr. Suharto for
corruption, was widely viewed here and abroad as far more than just
punishing the former strongman and his cronies for enriching themselves at
public expense. It was seen as a litmus test for restoring the rule of law
and a sense of equality to Indonesia, where corruption permeated nearly
every aspect of society under Mr. Suharto's government.

Mr. Suharto, along with his six children, is believed to have stolen billions
of
dollars from Indonesia through a broad network of deals in which his
family made money from almost every sector of the economy.

The court ruling set off violent clashes between hundreds of Suharto
supporters and detractors who protested outside the auditorium where the
trial was being conducted. The detractors called on authorities to arrest
Mr. Suharto and forcibly bring him to court.

As two busloads of Suharto supporters arrived at the trial venue, a mob of
anti-Suharto student demonstrators pelted them with rocks. Police said the
students beat to death one pro-Suharto supporter, severely injured two
others, and set one of their buses on fire.

As word of the court ruling spread, hundreds of student protesters
converged on Mr. Suharto's house in central Jakarta where they were met
by dozens of riot police who fired tear gas and plastic bullets into the
stone-throwing crowds.

The situation remained tense Thursday evening as large numbers of police
were brought into the capital to retain order.

"Suharto we're coming in there to get you," screamed an engineering
student who identified himself as Ryacudu. `He's not sick at all, the student

said of Mr. Suharto. "He's pretending just like Pinochet did."

Indeed, the Suharto case showed similarities to that of Gen. Augusto
Pinochet, the former Chilean dictator, who also was deemed medically
unfit to stand trial in Spain, where he was wanted on charges of torture
and other crimes dating to the years when he ruled Chile. The general was
placed under house arrest during a visit to Britain, which later released him

after doctors determined he was too sick to go on trial. However, when the
general returned to a hero's welcome in Santiago, Chile, he appeared
strong and in good health as he rose from his wheelchair to greet his
supporters.



Re: BUAT BANG DHARMA DAN REKAN PERMIAS

2000-07-27 Terurut Topik Yohanes Sulaiman

Dear M. Anjasmara:

Saya sebetulnya enggak terlalu tertarik terjun ke dalam keributan ini.
Tapi rasanya anda yang perlu lebih dulu menjawab pertanyaan yang
telah banyak diajukan: Siapa yang anda tuduh sebagai oknum di Permias
ini. Jika memang dari Permias di Los Angeles, anda wajib menuliskannya
dan kalau ada bukti-bukti yang cukup, agar sang oknum bisa membela
diri. Kalau kita mengikuti hukum di US, terus terang anda bisa dituntut
dengan tuduhan pencemaran nama baik Permias di Los Angeles.

Jika anda memang bertekad M. Datubara menjawab pertanyaan anda,
sebaiknya anda dulu yang lebih dulu menjawab pertanyaannya dan
pertanyaan-pertanyaan anggota-anggota yang lain.

BTW: incidentally, karena anda menyatakan M. Moko sebagai 'establishment,'
apakah anda menuduh M. Moko sebagai oknum? Mohon dijawab kepada yang
bersangkutan.


 You never reply my email mon ami:) Sudah kali ketiga saya kirim tuh.

 Dengan demikian anda yg memang nggak pernah punya maksud baik dari dulu
 memang tak pernah berubah. Mungkin pola kerja komplotan hendaknya diganti

 saja. Dulu yg anggotanya lebih banyak saja nggak berhasil tuh.  Apalagi
 setelah Blucer pulang, kerja komplotan Marianus-Irwan-Mardhika-Ida jadi agak

 slopy. Minta bantuan Moko (sebagai kaum establihment) untuk nolongin dong.





Maluku, Permias, komplotan, antek, intel: who cares?

2000-07-20 Terurut Topik Yohanes Sulaiman

Terus terang saja, saya setuju sekali dengan M. Arya: sangat mengecewakan melihat

kondisi Permias seperti ini dimana dari usaha berkomitment akhirnya jadi ajang
tuduhan
antek, dst.

Saya sebetulnya ada juga segudang kritik yang ingin ikut dibanjurkan kepada
'Sang Prov..'
tapi saya tak ingin mengeruhkan suasana yang memang sudah keruh ini. Hanya satu
yang
saya ingin masukkan: memang ada Permias Berkeley dan ada juga BISA (Berkeley
Indonesia
Student Association). Permias Berkeley kalau tak salah mulai muncul 4 tahun
yang lalu
setelah melalui ketegangan yang waktu itu cukup menghawatirkan. Saya rasa waktu
itu
ketua BISA adalah M. Agus Heri Pramana. Rasanya juga dulu Mas Bambang dari Permias

sempat ribut dengan beberapa anggota BISA, tapi akhirnya sekarang biasa-biasa
saja dan
masalahnya selesai dengan sendirinya. Tapi tak ada itu yang namanya Permias
Bay Area,
mungkin ada juga karena Berkeley dan SF pernah 'bergabung' untuk ikut PORMIKA
di
Los Angeles.

Tapi forget about that. Sekarang saya rasa yang jadi masalah besar di Indonesia
bukan pasukan
asing, Timor Timur, antek-antek di Permias, komplotan tetek bengek jungkir balik
di Permias,
Intel (tiap komputer juga punya kecuali yang pakai AMD), ataupun debat kusir
tentang
Maluku. Tapi yang menjadi masalah besar justru generasi muda Indonesia sekarang.

Kebetulan saya sekarang berada di tanah air untuk mengurusi gigi, dan saya melihat
sendiri
jumlah anak-anak yang menjadi pengemis banyak sekali. Mereka tak ada kesempatan
untuk
masuk SD. Kalaupun mereka bisa, mereka memilih tak bersekolah karena untuk mereka

mengemis lebih jauh menguntungkan. Bayangkan, sehari saja mereka bisa mendapat

Rp. 60,000; jauh di atas upah harian pegawai. Siapa coba anak-anak yang tak
tergiur?

Selain mengemis, siswa-siswi sekolah juga bukannya tanpa kesulitan dan cobaan.
Kemarin
di koran PR disebutkan 15% anak-anak SMU di Bandung menggunakan Narkoba secara

aktif. Itu baru yang terlihat. Berapa lagi yang tidak terlihat? Selain itu juga
di Jakarta siswa-
siswi SD sudah mulai ketagihan obat terlarang yang cara pakainya seperti pakai
koyo. Selain
itu anak umur 5 tahun sudah belajar merokok dan mengerikannya ada yang sudah

memperkosa dan diperkosa. Generasi macam apakah yang dibentuk di Indonesia sekarang?


Kemarin saya ketemu guru sejarah saya yang juga merupakan dosen di IKIP. Dia
sekarang
berhenti mengajar di satu SMU karena sudah beban fisik dan mental. Baru hari
Sabtu dia
menasihati seorang siswa untuk berhenti menggunakan Narkoba, hari Senin siswa
yang
bersangkutan sudah masuk halaman berduka cita karena over dosis. Tak heran guru
saya
itu sampai terpukul mendengar berita itu, dan dia berulang-ulang menyatakan
kepada saya
bahwa sangat mudah untuk mengajar, tapi sangat sulit untuk mendidik.

Sekarang percuma kita berdebat tentang pro kontra pasukan asing, apakah laskar
Jihad
memperbaiki suasana, apakah perlu perang suci di Maluku, dsb. Fakta yang tak
terlihat di
lapangan lebih mengerikan daripada intervensi asing: hancurnya generasi muda
di Indonesia.
Justru hal ini yang menurut saya lebih perlu menjadi prioritas daripada so-called
'harga diri.'
Buat apa harga diri kalau seluruh rakyat menjadi pencandu obat terlarang?

Jadi daripada berdebat yang enggak karuan dan selalu diwarnai SARA dan sebelah
pihak,
lebih baik sebagai so-called intelectual di Amerika, jangan selalu memprovokasi
atau berteriak
'antek!' Tapi pikirkan bagaimana membereskan generasi muda Indonesia.

YS



Re: Maluku:200 Kristen dibakar di Gereja ?

2000-06-20 Terurut Topik Yohanes Sulaiman

I really hate to say this, but congratulations, everyone.
Sekali lagi, Indonesia masuk the New York Times, yang
jeleknya tentunya Tak tahu berapa persen penurunan
jumlah turis tahun ini


--
June 20, 2000

At Least 116 Dead After Religious Clash in Indonesia
By THE ASSOCIATED PRESS


JAKARTA, Indonesia -- Muslim fighters attacked a Christian village,
leaving at least 116 people dead, in what Christians said Tuesday
was a massacre on a remote island in eastern Indonesia.

Police said 108 Christians and eight Muslims died in the fighting
Monday in the village of Duma, on Halmahera island about 1,600
miles northeast of Jakarta.

Unconfirmed claims by church workers said as many as 160 people,
including 152 Christians and eight Muslims, were killed, making the
carnage one of the worst incidents on record in a long-running
sectarian conflict in the Maluku islands.

The Muslim fighters were armed with military-style weapons, police
said, as well as bows and arrows. Christian residents fought back
with homemade guns or fled into a forest. The clash lasted for about
one hour, they said.

The official Antara news agency said 150 people were wounded and
292 homes and a church were burned.

It was the latest outbreak in an 18-month religious feud on the Maluku
islands, also known as the Moluccas -- or, during Dutch colonial times,
as the Spice Islands -- in which more than 2,500 people have been
killed.

"It was a massacre by Muslims," said Father Hadi, a Protestant
clergyman, based in the nearby town of Tobelo.

Sartje Wasapapuling, an official at the Evangelical Christian Church
in Tobelo, cited local clergy as saying the Christian death toll was 152.

She said there were fears for the safety of some Christian women and
children who had been taken away by Muslims.

Maj. Puguh, an army officer based in the North Maluku provincial capital,
Ternate, said soldiers and marines dispersed the warring gangs, Antara
reported. However, the situation on Halmahera remained tense Tuesday.

Wounded victims had been evacuated to Tobelo, about 21 miles north of
Duma, said Puguh, who like many Indonesians uses only one name. At
least two soldiers had been wounded, witnesses said.

Hadi said fleeing villagers from Duma had told him that about 500 Muslim
fighters in black and white uniforms descended upon their homes.

"It was a very quick attack. They had automatic rifles but the Christians
only had homemade weapons," he said.

Hadi said about 1,000 mainly Christians live permanently in Duma, but
its population during recent weeks swelled by 2,000 as people fled
continued violence in the surrounding countryside.

Hadi said there were only about 30 soldiers on duty in the village and
they were unable to stop the violence until the military reinforcements
arrived.

Local Muslim groups were not immediately available for comment.

The violence shows no sign of abating in the Maluku islands despite
repeated peace efforts by Indonesian President Abdurrahman Wahid,
a respected Muslim cleric who espouses religious tolerance.

Earlier this month, Pope John Paul II urged Indonesia's leaders to do
more to stop the carnage.

About 90 percent of Indonesia's 210 million people are Muslim, making
it the world's most populous Islamic country.

Christians, however, are a majority in the Maluku islands, which had
been renowned for its religious tolerance before sectarian violence
broke out in January 1999.

Some blame the conflict on economic and social pressure from an
increasing numbers of Muslim settlers from other parts of the sprawling
Southeast Asian nation.

Several months ago an Islamic group, calling itself Laskar Jihad, or
"Holy War Force," was accused of dispatching more than
2,000 Islamic paramilitary troops into Maluku.

It was not immediately clear whether any of it members were involved
in Monday's violence.



Re: Maluku: 200 Kristen dibakar di Gereja ?

2000-06-20 Terurut Topik Yohanes Sulaiman

M.Anjasmara:

Point saya bukan untuk membela agama siapa-siapa.
Namun, saya hanya memperlihatkan kepada rekan-rekan bahwa
apakah citra Indonesia di kalangan internasional sekarang.
Tiap kali masuk New York Times (salah satu koran terbesar di US)
atau koran-koran lain, pasti isinya kerusuhan agama. Tak heran
investor enggak ada berani yang masuk.

Tapi kalau anda menuduh saya sebagai partisan, saya juga bisa
berbalik menyatakan anda partisan, tak perlu membongkar
bagasi-bagasi lama yang sudah enggak karuan, yang ini dulu
saja, yakni dengan tulisan ini. Di sini semua konsesi yang anda
minta harus dari pihak Kristen, dari keinginan untuk
menghentikan keributan kek. Bagaimana dengan dari yang pihak
Muslim? Bagaimana dengan Laskar Jihad yang mengeruhkan suasana?
Anda secara partisan menyatakan pihak Kristen yang salah.

Face the fact: kedua pihak memang ribut melulu di Maluku atau
di tempat lain, dan harusnya KEDUANYA berusaha menahan diri,
bukan hanya dari satu pihak saja. Lihat kasus Korea beberapa
hari yang lalu, keduanya memiliki the most heavily fortified
border in the world, yet keduanya berjabat tangan karena
memang keduanya berinisiatif untuk unifikasi. Sekarang kalau
hanya dari satu pihak, tak akan ada yang damai seumur hidup
juga. Anda benar bahwa umat Kristen harus menekan agar berhenti
menyerang, tapi on the other side of the coin, orang Islam juga
harus menekankan bahwa Laskar Jihad itu proyek gagal dan orang-
orang Islam juga wajib menyerukan untuk berhenti menyerang.
Jika tiap orang merasa dirinya sebagai victim, tak akan ada
yang berhenti berperang.

Frankly I hate this kind of debate, and hopefully this is my
final e-mail about this matter.
Satu lagi, saya enggak pernah lagi baca barang-barang Australia,
sejak kasus Timor Timur. Olympiade Sydney ini saja saya enggak
akan sudi menontonnya sedetik pun.

YS


Sudahlah, apa nggak capek ngebela-belain kelompok agamanya masing-masing.
Nih buat yang merasa Kristen, buktinya kan orang-orang Muslim banyak yang
tersingkir dari Ambon, Poso, Kalbar. Itu saja buktinya. Kok sibuk amat
sampai-sampai Amien Rais mau dituntut untuk di-impeach. Bener-bener nggak
ada hubungannya.

Buat Bung YS, kok nggak di-forward sih 200 orang warga pesantren yng
dibantai dan dihanyutkan di sungai? Kalau nggak salah sempat ada di Sidney

Morning Herard deh. Just curious saja..:)

Nah, kalau mau kita objektif dan berorientasi pada penyelesaian masalah,
mestinya semuanya nggak didukung. Justru yang perlu dicari oleh kita semua

adalah orang-orang yang mempersenjatai dan memanas-manasi. Kalau susah
mencarinya masih ada cara lain. Tapi memang perlu ada pengorbanan ya:)

Memang ini jelas aneh bin ajaib. Semua wilayah yang mempunyai proporsi
penduduk Islam terhadap Kristen kira-kira 50%-50% kok tiba-tiba pada
bertengkar. Lihat saja Ambon dan Maluku Utara, Poso, dan terakhir di Sumut

(Medan). Apa nggak aneh? Makanya saya kan sempat memprediksi bahwa sasaran

berikutnya adalah Mataram atau NTT. Kalau mau hitung-hitungan kota per kota

adalah Solo, Jogja, Salatiga, dan mungkin Tangerang (yg ini kata orang).

Nah, Ambon dan Maluku sudah terlanjur besar. Sudah terlalu kompleks untuk
ditelusuri. Bukannya lalu pasrah sih.

Untuk Poso, nah, ini masih dapat diselesaikan. Kita mungkin bisa lihat
ketidakberhasilan untuk menjadikan Medan sebagai Ambon kedua. Caranya apa?

Caranya adalah para pendeta di Ambon, eh, Medan sepakat tidak akan
terprovokasi. Caranya orang-orang pentolan Kristen di Jakarta lalu justru
meminta orang Kristen di Medan untuk berdiam diri. Padahal ada korban
Kristen yang mati kan? Baca saja sendiri, ada beberapa kan. Yang terlanjur

mati ya sudah. Yang penting nggak ada serangan kepada umat Muslim di sana
kan? Akhirnya aman kan? Akhirnya sang provokator saking kesalnya malah
ngebom restoran kan? Akhirnya terlihat hasilnya bahwa bukan orang Islam di

Medan yg ngebom kan?

Nah, kayak di Poso ini asal usulnya kebalik dikit. Yang dikorbankan dulu
yang Muslim. Dibunuhlah beberapa. Lalu gantian membalas. Akhirnya makin
gede. Herannya yg Kristen lalu punya senapan otomatis M16, dan yang Islam
punya granat made in Belgia. Kan aneh?

Untuk kasus Poso ini yang jadi provokator memang orang Kristen. Mungkin
dibayar orang Aussie kali. Jadi biar nggak berkembang pesat, silakan para
pengurus PERMIAS terutama yang Kristen untuk unjuk rasa menangkap provokator

ini, yang beragama Kristen. Kalau yang unjuk rasa orang Muslim nanti dituduh

ngebelain kan? Nah, make sense nggak? Hitung-hitung ngalah untuk kepentingan

bersama. Memang kalau ngotot-ngototan lalu bisa membunuh misalkan orang
Muslim sebanyak 2 kali lipat orang Kristen yg terbunuh lalu apa untungnya?

Nggak ada kan?

Untuk kasus di Ambon juga dimulai oleh orang-orang "Kristen" yang dibayar.

Saya bukannya mau menunjuk atau mau menang sendiri. Tapi coba deh anda
melihat dari sisi provokator. Mana lebih memberi hasil untuk membayar orang

"Islam" menyulut api SARA di Ambon ataukah membayar orang "Kristen" untuk
bakar-bakaran? 

Menjawab Tantangan Masa Reformasi

2000-06-15 Terurut Topik Yohanes Sulaiman

Jumat, 9 Juni 2000

Menjawab Tantangan Masa Reformasi
Oleh R William Liddle


TUNTUTAN komunitas yang tidak mengandung unsur separatis,
yang terdapat di banyak propinsi, tidak membutuhkan perlakuan
khusus melainkan perlakuan umum.

Kebutuhan pertama adalah undang-undang dan peraturan-peraturan
yang akan menciptakan sebuah kerangka administrasi dan
pembagian kekuasaan yang baru di tingkat propinsi.

Kedua, sumber daya keuangan dan pembenahan administrasi harus
diperoleh untuk meningkatkan mutu birokrasi daerah (yang masih
jauh di bawah standar pusat) dan mencegah maraknya korupsi
(yang pasti akan memburuk kalau anggaran belanja daerah otonom
membengkak) sedini mungkin.

Pendekatan pemerintahan Abdurrahman Wahid, yang membebaskan
kabupaten dan kotamadya tetapi masih mengekang propinsi, sulit
berhasil sebab sasarannya kurang lengkap atau mungkin salah
sama sekali. Kebijakan itu diciptakan di Departemen Dalam Negeri
sewaktu Rudini berkuasa. Ia merupakan jawaban yang, meskipun
maksimal bagi zamannya, terlalu hati-hati dan parsial bagi kondisi
sekarang.

Lagipula, pelaksanaan program desentralisasi di ratusan kabupaten
dan kotamadya jauh lebih mahal dan sulit ketimbang pelaksanaannya
di puluhan propinsi. Di tingkat propinsi pun, seandainya dilaksanakan
dengan baik, ongkos program ini sulit dibiayai oleh pemerintah pusat
pascakrismon, karena anggarannya sangat terbatas. Mudah-mudahan
ada donor asing yang mencintai demokrasi dan mengerti betapa
eratnya hubungan antara desentralisasi jangka pendek dan keberhasilan
demokrasi jangka panjang.

Konflik antargolongan berdasarkan perbedaan agama, subtipe ketiga,
menurut pendapat saya tidak terlalu serius. Obat yang paling mujarab
untuk penyakit ini adalah kesabaran, bukan kebijakan baru. Saya tahu
bahwa dalam hal ini saya melawan arus pendapat umum, baik domestik
maupun internasional. Di Indonesia, banyak pengamat dan pemain
khawatir kalau para pemimpin partai-partai yang berdasarkan agama
(termasuk PDI-P yang mewakili antara lain orang abangan dan orang
non-Islam) kurang bersedia berkompromi atau bersikap akomodatif
terhadap partai lain. Di luar, umat Kristen sedunia suka menggigil
setiap kali teriakan Allahu Akbar kedengaran di Indonesia.

Saya sendiri bersikap lebih lega antara lain oleh karena hasil
Pemilu 1999. Kaum Islamis, yaitu para aktivis politik yang ingin
menggantikan Pancasila dengan Islam sebagai dasar negara, tidak
mendapat dukungan dari masyarakat. Partai Bulan Bintang dan Partai
Keadilan, partai Islam yang paling radikal pun (terus terang, saya
meragukan apakah mereka benar-benar Islamis), hanya mendapat
tiga persen dari seluruh suara. Keputusan Amien Rais, yang diambil
sebelum Pemilu 1999, untuk bergabung dengan Partai Amanat
Nasional dan bukan dengan salah satu partai Islam, mencerminkan
sikap dia yang sama dengan saya mengenai hal ini.

Selain itu, ada alasan yang lebih pokok untuk tidak terlalu
membesarkan masalah perlawanan agama di Indonesia.
Dalam kenyataannya, penganut salah satu agama tidak
mengancam kepentingan, cara hidup, atau identitas penganut
agama lain. Sebagai pengamat kawakan, yang berpengalaman
di Indonesia (khususnya Sumatera dan Jawa) selama hampir
40 tahun, saya jarang ketemu seorang Islam atau seorang
Kristen/Katolik yang ingin memaksakan kehendaknya pada
penganut agama lain.

Yang sering saya ketemu adalah ketakutan dalam dua versi.
Versi pertama adalah ketakutan orang Islam pada tujuan
  terselubung umat Kristen/Katolik (misalnya, ketika Benny
Moerdani memimpin ABRI). Versi kedua adalah ketakutan
orang Kristen/Katolik pada tujuan terselubung umat Islam
(misalnya, pada masa jayanya Masyumi atau ketika Ikatan
Cendekiawan Muslim se-Indonesia mulai bangkit). Kesimpulan
saya mudah-mudahan tidak terlalu optimis. Kalau dua belah
pihak diberi kesempatan untuk berpolitik secara sehat, dalam
alam demokratis dengan pemilu bebas, ketakutan mereka
yang berlebihan akan layu dengan sendirinya.

Gejolak antargolongan yang berdasarkan kesenjangan ekonomi,
subtipe yang keempat dan terakhir, menurut pendapat saya lebih
memprihatinkan dari yang lain-lain, termasuk ancaman separatis.
Kebijakan ekonomi pemerintah berdampak langsung pada tingkat
kemakmuran 210 juta orang Indonesia. Selama Orde Baru, jumlah
orang miskin berkurang terus dan jumlah anggota kelas menengah
bertambah terus. Saya sendiri menyaksikan kemajuan itu di
beberapa desa dan kota kecil yang sering saya kunjungi selama
tiga dasawarsa. Hal itu merupakan suatu prestasi yang ingin ditiru
oleh setiap pemerintah modern di seantero dunia.

Lagipula, kemajuan atau kemunduran ekonomi akan berdampak
besar pada kestabilan rezim demokrasi yang baru mulai dibangun
di masa reformasi ini. Jenderal Soeharto memang berkuasa
selama 32 tahun antara lain sebab dia bersedia menggunakan
kekerasan. Akan tetapi, biasanya kekerasan adalah kebijakan
terakhir, policy of last resort, yang hanya dipakai kalau musuhnya
sudah terlalu banyak dan tidak bisa diisolasi lagi.

Kebijakan politik pokoknya adalah 

Indonesia's Military Grows Impatient with Wahid

2000-06-14 Terurut Topik Yohanes Sulaiman

Stratfor.com's Global Intelligence Update - 14 June 2000

Indonesia's Military Grows Impatient with Wahid


Summary

Indonesia's armed forces are purging their ranks, removing generals
loyal to President Abdurrahman Wahid. The military has reasserted
itself, emphasizing its concerns about Indonesia's instability and
the threat of separatism. For the moment, the generals are still
behind Wahid, but he needs to resolve Indonesia's problems - or the
military will do it for him.


Analysis

After several months, Indonesia's military is re-emerging from the
shadows. On June 13, the head of Indonesia's armed forces (TNI),
Admiral Widodo Adisucipto, warned that the country was sliding
further into chaos and that the government's first concern was to
prevent the nation's disintegration. Widodo's statement typifies
the military's concern about Indonesia's territorial integrity and
its dissatisfaction with President Abdurrahman Wahid's efforts to
solve the problem. The armed forces are still backing Wahid - he is
still the best of a number of bad choices - but his options are
severely constrained if he wants to stay in power.

The military high command appears to be bracing itself in
preparation for a conflict with President Wahid. A TNI spokesman
told Antara news agency June 9 that a reshuffle of the top echelons
was in the works. Considering that Wahid has already inserted his
own loyalists into the top ranks, further reshuffling suggests that
the military wants to undo the damage. The process has already
begun; the Straits Times reported that Lt. Gen. Agus
Wirahadikusumah will lose his post as the chief of the army's
Strategic Reserve Command (Kostrad). Agus was installed on March 29
and is regarded as a close aide of Wahid and a vocal military
reformer.

This reshuffling comes on the heels of a series of very public
warnings from the armed forces. Since the middle of May, military
figures have continually expressed impatience about resolving the
economic turmoil, social instability and rampant separatism that is
tearing the archipelago nation apart. Hinting at solutions, the
army has begun referring to the People's Consultative Assembly
(MPR) as the highest power in the land - rather than the president.

Lt. Gen. Agus Widjojo, the chief of territorial affairs of the
Indonesian Defense Force, brought up the idea of continued, and
perhaps increased, military representation in the People's
Consultative Assembly - quite startling in light of the fact that
recent military reforms mandate the military withdraw from politics
by 2004. Most threatening were the General's references to the
"democratization failure" in Pakistan, and the military takeover
that rectified the problem, according to Agence France Presse.
This rhetoric represents a major shift from statements made as
recently as April 20, when military leaders emerged from their
annual meeting declaring their desire to stay out of politics. The
trigger for this change most likely occurred during the May 12
cease-fire agreement between the government and separatists in the
province of Aceh.

The cease-fire was a breakthrough in the decades-long conflict, but
it gave the rebels a hint of legitimacy. Most of the military
virulently opposes any accommodation of the separatists - seeing it
as encouragement for other separatists and the beginning of the end
of Indonesian unity. In fact, some observers blame the military for
a recent series of assassinations of the Acehnese leadership.

Another reason for this newfound assertiveness is that the armed
forces may have finally organized themselves after being
politically routed by Wahid early in his term. Not long after
taking office, the president brought in a number of new commanders
and reshuffled many of the old. He replaced the head of the armed
forces, a position traditionally held by the army, with an admiral
and directed resources toward the navy.

This exacerbated tensions between army officers - mostly those
loyal to ex-president Suharto - and the navy, which maintains an
institutional unity and outlook rooted in the populist nationalist
agenda of the late president Sukarno. But inter-service rivalries
appear to have taken a back seat to greater concerns about the
state of the nation.

The armed forces still back Wahid, more by default than by his own
virtues. The military has few favorable options. A military
takeover could stabilize Indonesia - after a period of massive
bloodshed and anarchy. The military would not only need to suppress
communal fighting in the Spice Islands and separatists in Aceh and
Irian Jaya, it would have to fight in the heart of Indonesia, as
student demonstrators and pro-democracy activists would inevitably
take to the streets. This would stretch the army to its limits,
with 250,000 regular troops trying to control a country of 200
million. In the meantime, the economy would collapse to near
subsistence levels as the last remaining foreign investors fled.
The alternative, however, is 

Re: Mencermati Sasaran Komunis Indonesia

2000-06-08 Terurut Topik Yohanes Sulaiman

Menanggapi ajakan M. Arya dan forward dari M. Anjasmara;
---


Mencermati tulisan dari M. Abdul Qadir Djaelani, walaupun tujuan utama
M. Djaelani adalah baik, yakni memperingatkan kita terhadap bahaya laten
komunisme. Sayangnya dalam keinginannya untuk menghantam Marxism,
M. Djaelani menyerang ideologi 'Liberation Theology' yang sebetulnya
sudah berkembang sejak pertengahan abad ke-20.

Salah satu kelemahan terbesar tulisannya terletak pada apa itu
'Liberation Theology.' Liberation Theology pertama kali diungkapkan oleh
Gustavo Gutierrez, seorang pendeta di Amerika Selatan, yang cemas atas
kekurangdekatan gereja Katolik dengan jemaatnya, dan bertambah besarnya
jurang kemiskinan di Amerika Selatan. Dia juga melihat bahwa kebanyakan
doktrin gereja berasal dari 'the First World' yang memang jauh lebih kaya
dan berkuasa sehingga 'lost-in-touch' dengan masyarakat di negara-negara
berkembang. Untuk itu, dia berpendapat bahwa jurang seperti itu perlu
ditutup, dan cara terbaiknya adalah mendidik masyarakat dan berusaha
mencapai sosialisme.

Walau ide diatas mirip dengan ide Marxism, namun Gutierrez berusaha
untuk 'keep his distance' from Marxism. In fact, dia menyatakan bahwa
walau ada beberapa bagian di dalam Marxism sebetulnya baik, namun
kelemahan terbesar Marxism adalah

'(Marxism) does not allow the poor to speak for themselves, about both
their situation and about their belief in God True solidarity with the poor
must begin by listening to what they themselves have to say. The poor
must become the subjects of their own society and culture, and this
emphasis on subjectivity precludes the use of positivistic forms of Marxist
material analysis.'

Karena itu, Gutierrez hanya mengambil beberapa bagian dari Marxism
dan juga menekankan bahwa atheisme itu ditolak oleh gereja, dan salah
satu langkah untuk membuat orang-orang miskin bisa 'speak for themselves.'
Pada akhirnya, tujuan Liberation Theology adalah agar gereja bisa lebih
dekat dengan masyarakat dan berusaha mendidik masyarakat miskin
agar bisa membaca-menulis dan berpikir sendiri. Apalagi, mengingat
Paus Yohanes Paulus II sendiri merupakan 'staunch anti-communist,'
maka tulisan M. Djaelani sebetulnya bisa dianggap sebagai 'libel.'

Mengingat salah satu bagian dari 'Liberation Theology' adalah seperti
yang saya ungkapkan diatas, terus terang saya menyayangkan atas
'attitude' M. Djaelani yang mengasumsikan gerakan sosialisme Gereja
Katolik sebagai gerakan Komunisme. Saya rasa salah sekali kalau
kita menyamakan semua gerakan yang bertujuan membantu masyarakat
miskin dengan paham komunisme.

Masih banyak kelemahan lain dalam tulisan M. Djaelani, namun saya
rasa kelemahan terbesarnya adalah untuk asumsi yang sudah saya
kupas di atas. Saya harap juga M. Anjasmara bisa lebih berhati-hati
dalam memforward artikel seperti ini.


Yohanes Sulaiman




Mencermati Sasaran Komunis Indonesia
Abdul Qadir Djaelani
Rektor Perguruan Tinggi Dakwah Islamiyah Jakarta

Mencermati situasi akhir-akhir ini -- antara lain dengan pelepasan
napol/tapol PKI, diperlonggarnya ketentuan bagi pelarian G30S/PKI di luar
negeri untuk pulang ke Indonesia, usul pencabutan TAP No XXV/1966 tentang
pelajaran ajaran Marxisme dan Leninisme/Komunisme -- maka kita perlu
mengetahui beberapa hal mengenai ajaran tersebut dan kemungkinan yang akan
terjadi di Indonesia jika ajaran komunisme/PKI dibebaskan berkembang.

Sumberdaya manusia

Kaum Marxis-Leninis/Komunis Indonesia berasal dari dua potensi masyarakat
yaitu pertama, kader-kader muda revolusioner binaan sisa-sisa G30S/PKI di
bawah tanah, yang berjalan selama 35 tahun semenjak pembubaran PKI dengan
segala organisasi pendukungnya seperti SOBSI, BTI, GERWANI, Pemuda Rakyat,
CGMI, IPPI, HIS, LEKRA, SBKA, BAPERKI (komunis Cina di Indonesia).
Kader-kader muda revolusioner Marxis/Leninis/Komunis ini, sesuai dengan
doktrin Komunisme membuat organisasi-organisasi cover -- seperti LSM-LSM
baik yang bersifat lokal maupun nasional -- dan melakukan infiltrasi
(penyusupan) ke berbagai birokrasi militer (TNI), polisi, sipil, dan
organisasi massa dan partai politik.

Kedua, kader-kader intelektual Katolik-Yesuit, yang semenjak tahun delapan
puluhan telah mengembangkan doktrin 'Theologi Pembebasan' di seluruh dunia,
yang intinya: 'To learn and to adopt Marxism without being Communism'
(belajar dan melaksanakan Marxisme tanpa menyatakan menjadi Komunis). Jadi
Marxisme-Leninisme/Komunisme dibungkus dengan baju Katolik-Yesuit.

Kader-kader intelektual Katolik-Yesuit -- seperti Peter Beek, Romo
Mangunwijaya, Sofyan Wanandi (Liem Bian Kun), mantan Ketua Umum Pergerakan
Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) -- yang merupakan pendiri CSIS
(lembaga yang menjadi otak pemikir (think-tank) penguasa Orde Baru). Di
Kalangan militer (TNI), tokoh sentral Katolik-Yesuit adalah Jenderal
(Purnawirawan) LB Moerdani, yang selama 25 tahun menjadi tokoh utama ABRI
(TNI), dari mulai kepala Gabungan Intelejen Hankam sampai dengan Panglima
ABRI dan Menhankam.


Kekuatan

Apakah komunisme merupakan permasalahan besar bagi Indonesia?

2000-06-08 Terurut Topik Yohanes Sulaiman

Sewaktu saya membaca ulang tulisan M. Arya, terasa oleh saya
bahwa saya sebetulnya belum menjawab pertanyaan beliau.
Karena itu di tulisan kedua ini, saya akan berusaha menjawab
tantangan M. Arya:
--

Apakah komunisme merupakan permasalahan besar bagi Indonesia?
Sebetulnya saya sendiri menganggap bahwa komunisme bukan
masalah. Namun, saya menganggap orang-orang yang menyatakan
komunisme merupakan permasalahan besar bagi Indonesia adalah
orang-orang yang bisa melihat pohon, tapi tak bisa melihat
hutannya.

Pertama-tama kita perlu mengerti kenapa pahan komunisme itu
bisa muncul. Paham komunisme sebetulnya adalah reaksi kepada
social injustice yang terjadi di abad ke-19 di dunia. Saat itu,
Karl Marx melihat bahwa buruh pabrik semua bekerja keras tanpa
henti, menghasilkan produk, tapi digaji rendah. Semua yang
mereka kerjakan menjadi hak milik pengusaha. Di era itu juga,
buruh tak memiliki kekuatan politik, alias tertindas oleh
kaum kapitalis. Untuk itu, Karl Marx mengumumkan idenya tentang
komunis internasional. Jadi sebetulnya komunisme sendiri adalah
reaksi dari keadaan sosial.

Permasalahan terbesar bagi kaum intelektual mental Orde Baru di
Indonesia adalah mereka hanya memandang reaksi dari masalah
itu, yakni komunisme, bukan masalahnya itu sendiri, yakni
kondisi sosial yang diwarnai jurang kemiskinan. Tak seperti
Jerman di masa Bismark yang melihat komunisme adalah sebagai
reaksi dari kondisi sosial dan karena itu Bismark berusaha
memikat hati kaum buruh, penguasa Orde Baru lebih banyak melihat
komunisme dari segi pemberontakannya, atau PKI-nya. Di jaman
reformasi pun, tulisan-tulisan dari Republika kebanyakan
anti komunisme hanya atas dasar atheismenya atau karena ide
Gus Dur. Pada akhirnya, tak ada yang berusaha membedah apa itu komunisme, apa
itu yang membuat komunisme populer, dan ke inti masalahnya: yakni eksploitasi
kaum buruh dan jurang kemiskinan.
Ide Marxisme yang merupakan dasar komunisme sebetulnya banyak sisi baiknya yang
sebetulnya perlu di-extract, terutama di
bidang social justice dan persamaan derajat manusia. Maka tak
heran presiden pertama kita tertarik sekali sehingga memasukkan
Marxisme dalam ide Marhaenismenya.

Sayang sekali sisi positif dari Marxisme ini tak dilihat
oleh M. Abdul Qadir Djaelani. Saya rasa M. Djaelani terlalu
memandang dunia dari segi kaca mata konspirasi yang hendak
menjatuhkan umat Islam. Ia berusaha memperingati kita atas
bahaya komunisme dengan sistem 'boogeyman,' atau kalau di
budaya Indonesiakan adalah 'kalau kamu ke hutan, entar dimakan
gendrowo atau pocong.' Hasilnya adalah bukan anatomi atas
komunisme yang persuasif, melainkan 'if scenario and conspiracy
theories.'

Saya sendiri tak setuju paham komunisme karena saya menganggap
paham itu terlalu atheistis dan naive, memandang the 'commune'
bisa terbentuk dimana semua orang sama rata, sama rasa. Tapi
ada ide-idenya tentang social justice yang layak dipelajari dan
dikupas lebih dalam. Sayang sekali kalau hanya karena kita takut
atas pocong yang namanya komunisme, kita tak berani masuk hutan
dan mempelajari komunisme dan mengambil bagian-bagian yang
berguna dan bisa digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan
sosial di negara kita.

YS



Re: Apakah komunisme merupakan permasalahan besar bagi Indonesia?

2000-06-08 Terurut Topik Yohanes Sulaiman

kalo saya sih mikirnya gini.
komunisme memang tidak seluruhnya jelek. mungkin (mungkin..) ada beberapa yang
memang baik untuk rakyat.

tapi susahnya (dan khawatirnya). sejarah mencatat bahwa komunisme yang dulu
pernah muncul di indonesia telah melakukan pengrusakan.
nah kalo memang komunisme diperbolehkan, secara logika maka pelaku2-nya tentu
saja adalah orang2 lama (komunis th 60an) yang akan aktif. efeknya kemungkinan
besar adalah pengulangan lagi tragedi tersebut.

so. daripa mengulang kembali sejarah, kan lebih baik menciptakan sejarah yang
lebih baik dan sejahtera untuk rakyat dan tentu saja keturunan2 kita.


Dear M. Faran:

Benar bahwa kita perlu mengingat sejarah, namun kita juga PERLU
belajar dari sejarah. Saya mengumpamakan paham komunisme seperti
api. Kalau kita bisa mengontrol api itu, kita bisa menggunakan-
nya untuk memasak, menghangatkan badan, dsb. Tapi kalau tak
terkendalikan, bisa menghancurkan seisi kota. Walau kita tahu
resikonya, tapi tetap kita masih menggunakan api.

Mungkin analogi ini tak terlalu mengena, tapi intinya sama: ada
bagian-bagian tertentu dalam komunisme yang berguna dan kita
perlu pelajari lebih lanjut dan terapkan untuk kemakmuran
seluruh rakyat. Contohnya seperti Eropa dan US, mereka tahu
bahaya laten komunisme, tapi mereka tetap mempelajari komunisme
dan diterapkan sebagian, seperti healthcare, good working
condition, living wage, dsb.

Tapi jangan lupa juga kita sudah lihat bagaimana PKI Muso-Aidit
mengobrak-abrikkan Indonesia (walau, masalah PKI-Aidit sekarang menjadi agak
mentah lagi), karena itu kita juga perlu belajar
mengendalikan paham itu. Jangan karena kita takut, maka kita
buang semuanya. Ketakutan itu datang karena kita tidak mengerti.
Karena itu kita perlu mengerti dulu tentang komunisme sebelum
memvonis lebih lanjut.

YS



Re: Apakah komunisme merupakan permasalahan besar bagi Indonesia?

2000-06-08 Terurut Topik Yohanes Sulaiman

Kalo begitu menurut anda, pertanyaan saya akan singkat sekali.
menurut M. Sulaiman apakah yang dapat kita lakukan untuk meng-control komunis
di Indonesia?

Saya yakin dulu (jaman bung karno)komunis sudah di/ada yang meng-control. at
least melalui jalur2 religius (agama). nah apakah yang terjadi lebih dahulu
? yah mr. komunis secara logika akan menghancurkan control2 tersebut. saya pikir
ini yang terjadi di indonesia.


M. Faransyah Jaya:

Sebetulnya ada cara yang sangat mudah untuk mengontrolnya tapi
sangat sulit dilaksanakan, yakni perbaiki martabat rakyat.
Tak usah bikin Indonesia semakmur US (yang penting lumayan),
hentikan korupsi, bantu petani dan rakyat kecil, jaminan
kesehatan untuk buruh, serta didik rakyat. Itu cara terbaik
untuk mengontrol komunisme. Yang penting, perhatikan rakyat
kecil.

Bagaimana cara prakteknya dengan sempurna?
Saya tak akan bisa memberi jawaban yang 100% tepat untuk ini,
soalnya kalau saya bisa menjawabnya sempurna, lebih baik
Gus Dur mengundang saya, instead of Henry Kissinger sebagai
penasihat... :-)

Tapi intinya, seperti ikan perlu air, komunisme tumbuh subur di
tempat yang rakyatnya sudah frustrasi, ingin berubah, dan
miskin. Jadi yang penting jangan buat rakyat frustrasi, marah,
dan jangan menghilangkan kepercayaan rakyat kepada pemerintah.

YS



Re: Apakah komunisme merupakan permasalahan besar bagi Indonesia?

2000-06-08 Terurut Topik Yohanes Sulaiman

M. Anjasmara:

Sebelumnya saya menyatakan ketidaksetujuan saya untuk berhati-hati
menforward artikel dari Jaelani.

Itu terserah anda kalau anda tak mau berhati-hati dalam memforward
artikel. Saya sudah kritik di tulisan sebelumnya bahwa artikel ini
juga bersikap menjelek-jelekkan 'Liberation Theology'-nya kaum
Katolik dan beberapa tokoh lain di Indonesia, sehingga intinya,
objektifitas dari opini ini sangat dipertanyakan dan terus terang
kredibilitas penulisnya sendiri berkurang.

Kan justru terbukti ada atau muncul
pendapat dari anda yang justru dapat memberi penjelasan.

Don't flatter yourself


Yang kurang ditampilkan oleh M. Yohannes adalah pelaksanaan dari
prinsip-prinsip komunisme itu dalam bentuk cetak birunya. Kalau cita-cita
komunis sih jelas amat sangat bagus sekali. Siapa sih yang tidak mau kalau

semua orang kaya, semua orang sama hak dan kewajibannya. Tapi lihatlah apa

kertas cetak biru mereka. Lihatlah bagaimana mereka mengubah suatu cita-cita

menjadi suatu langkah-langkah kongkrit untuk mengimplementasikannya. Dari
situ kita paham bahwa dari proses pembuatan blue-print saja para komunis ini

sudah bikin kesalahan fatal.

Hal di atas belum termasuk kesalahan-kesalahan operasional dalam menerapkan

paham tadi menjadi suatu tatanan sosial dan tatanan pemerintahan atau
politik.


M. Anjasmara:
Tak ada satu ide pun yang sempurna, karena manusia yang menciptakannya sendiri

tak sempurna. Semua orang punya dream, dan paham komunis memiliki dream untuk

social equality. Mereka ada prinsip-prinsipnya yang menarik yang bisa kita
ambil untuk memperkaya pengetahuan kita, dan banyak juga yang perlu kita tentang.

Ditambah lagi, pelaksanaan ide mereka terletak pada manusia sendiri yang memang
tak
sempurna. Anda benar bahwa Karl Marx banyak memiliki kesalahan fatal dalam
proses pembuatan blue print. Tapi apakah tak ada dari blue printnya yang berguna

yang bisa kita ambil? Atau anda bisa memikirkan blue print baru yang mengalahkan

paham komunisme?  Jika kita menganggap sesuatu sebagai failure dan langsung

'mendiscount' ide itu tanpa mempelajari lebih lanjut, manusia tak akan bisa

terus berkembang.



Kalau M. Yohannes memandang persoalan bahwa penyebab penolakan komunisme di

Indonesia disebabkan oleh pemberontakan PKI Muso dan 1965, wah, mending mari

kita belajar lagi. Mengapa terjadi pembunuhan bermotif balas dendam terhadap

orang-orang PKI apakah karena pemberontakan 1965? Wah, bukan. Itu sih titik

kulminasi saja. Harusnya perlu dipelajari bagaimana pergulatan sosial di
masa itu.


Yang saya nyatakan adalah kebanyakan orang merasa trauma terhadap komunis bukan

karena pahamnya, melainkan kepada pemberontakannya. Mengapa terjadi pembunuhan

motif balas dendam dsb, itu ada penyebab lain-lain juga.


Orang mana sih yang tidak senang diajak baris berbaris, diberi pertunjukkan

wayang gratis, dikasih hiburan ludruk gratis, dikasih seragam. Itu lah
akal-akalan kaum komunis dalam menjejalkan pahamnya. Setelah mereka
berkumpul baru dicekoki dengan pahamnya. Apakah mereka diajari paham komunis

ala ilmiah? Wah jelas tidak.

Nah, pertanyaannya adalah, kalau memang biasa kayak begitu, kenapa organisasi
lain
tak lakukan juga? Justru kita harus melihat kunci keberhasilan kaum PKI adalah

karena 'closeness to the earth.' Mereka mau masuk ke desa, mendekati rakyat,

menanyakan problematika rakyat, singkatnya menarik hati rakyat. Kenapa partai-partai

lain tak ada yang melakukannya? Justru kita harus belajar bahwa memang rakyat
senang
diperhatikan dan mereka akan mendukung orang-orang yang terlihat memperhatikan

kepentingan rakyat. Karena kita sudah tahu semuanya, pertanyaannya, kenapa kita

tak melaksanakannya? Kenapa tak ada partai atau golongan yang benar-benar membantu

rakyat kecil, dsb?


Bahasa yang dipakai tentunya bahasa gaya
provokasi macam gaya kontestan pemilu. Bahasa yg dipakai adalah bahasa
tinju.

Saya tak mengerti istilah ini.



Nah, buat apa sih mengembangkan atau membiarkan ajaran komunis kalau
ujungnya kita sudah tahu apa yang akal terjadi? Kita ini nggak ada ajaran
komunis saja sudah muncul Poso dan Ambon. Makanya perlu lihat diri kita
sendiri dulu lah. Sanggup nggak kita membiarkan masyarakat  kita yg masih
gampang diprovokasi untuk menerima kaum komunis sang raja provokasi?


Tak ada ditulisan saya yang mengkampanyekan untuk mengembangkan ajaran komunis.

Yang ada adalah mempelajarinya dan mengambil yang dianggap bagus. TOlong jangan

samakan mempelajari ajaran komunis dengan mempraktekkan negara komunisme atau

mengembangkan ajaran komunisme. Sampai sekarang yang sering saya lihat adalah

seseorang memaki-maki satu ajaran, dan kalau ditanya apakah dia tahu ajaran

itu, pengetahuannya nol besar.




Oya, saya tidak paham apa yg dimaksud dengan anatomi komunisme. Apanya yang

mau dibedah? Mau membedah ajaran komunisme sebagai bagian dari ilmu sosekpol

ataukah mau mengikutkan strategi mereka? Yang repot kan mereka datang dalam

satu paket.

Biarpun mereka datang dari satu paket, 

$7 Mil. Offered for Math Solutions

2000-05-24 Terurut Topik Yohanes Sulaiman

May 24, 2000

$7 Mil. Offered for Math Solutions

By The Associated Press

PARIS (AP) -- If square-root signs and algebraic theorems never
looked appealing before, consider this: A group of the world's
top mathematicians is offering $7 million for solutions to some
of the world's hardest equations.

After puzzling for years over seven unsolved math problems, a
U.S.-based mathematics foundation put the ``Millennium Prize
Problems''challenge to the world via the Internet on Wednesday.

Experts say solving the problems could lead to breakthroughs in
encryption and aerospace -- and open areas of mathematics as yet
unimagined.

The Clay Mathematics Institute posted the problems on its Web
site, http://www.claymath.org at the same time it unveiled the
contest in Paris at its annual meeting.

``The seven mathematical problems stand out as great unresolved
problems of the 20th century,'' said Andrew Wiles, a Princeton
University math professor known for cracking a 350-year-old
conjecture known as ``Fermat's Last Theorem'' in 1995.

``We hope that by attaching prizes to them, it will incite and
inspire future generations of mathematicians,'' said Wiles, 45,
who told a news conference that he first came across Fermat's
puzzle in a comic book at the age of 10.

The group has posted a $1 million prize for each of the seven
problems.

Few expect a winner to come forward anytime soon.

``There's no time limit,'' said Arthur Jaffe, a Harvard
University math professor and president of the Clay institute,
a private, nonprofit foundation based in Cambridge, Mass.

According to contest rules, solutions must be published in a
renowned math journal and undergo a two-year waiting period to
allow time for independent review. If the mathematics community
accepts the solution, the Clay institute will then open its own
review before awarding any money.

Mathematicians are quick to note that a few decades, or even a
century, is not a long wait to unravel the world's toughest
puzzles.

The list of problems -- like the choice of Paris for launching
the group's challenge -- was inspired by a list presented 100
years ago by German mathematician David Hilbert to the
International Congress of Mathematicians meeting in Paris.

Hilbert's list of 23 equations -- of which three remain unsolved
-- served as a road map for 20th century math and led to
modern-day breakthroughs in medicine, technology and safety.

Members of the Clay institute say their list is a worthy
successor.

It includes the following equations, named for the
mathematicians who postulated them: the Riemann Hypothesis, the
Poincare Conjecture, the Hodge Conjecture, the Birch and
Swinnerton-Dyer Conjecture, Navier-Stokes Equations, the
Yang-Mills Theory and the P versus NP Problem.

The Riemann Hypothesis -- the oldest and best-known of the seven
-- dates to 1859 and was included on Hilbert's list in 1900.

If solved, it could revolutionize encryption, which is used to
secure information sent through a forum like the Internet.
Consumer credit card numbers, medical records, financial records
and Internet shopping could be made safer from Cyber-snoops as
a result, experts say.

Cracking the Navier-Stokes Equations -- which deal with
turbulence, hydrodynamics and fluid flow -- could help build
better airplanes and ships.

Mathematicians from outside the Clay institute say the
foundation may never have to part with its millions.

However, the million-dollar challenge is sure to tempt bright
young minds, said Keith Devlin, dean of science at St. Mary's
College in Moraga, Calif., and author of several popular math
books.

Even if the seven equations, which Devlin calls the ``Mount
Everest'' of math problems, remain unsolved, the research could
produce important side effects.

``Only a few people actually manage to reach the summit of Mount
Everest,'' said Devlin. ``But millions benefit from the survival
equipment developed in pursuit of the lofty goal. So, too, with
the big problems of mathematics.''



Re: Apabila Presiden Berhalangan

2000-03-17 Terurut Topik Yohanes Sulaiman

M. Siregar:

Terima kasih atas balasan anda.

Anda benar bahwa sering sekali kita men-simplifikasi sejarah karena peristiwa
tersebut memang sudah lama berlalu. Saya juga mengaku bahwa saya terlalu
mensimplifikasikan sejarah Amerika. Namun, saya tetap berpendapat bahwa
US memang sejak dulu relatif lebih stabil daripada Indonesia karena
politikusnya
sadar atas bahaya perpecahan dan pemerintah bisa membereskan masalah-
masalahnya satu persatu.

Perpecahan di US pada awal-awal kemerdekaannya lebih banyak antara
pro atau kontra perbudakan. Negara-negara Utara kebanyakan anti perbudakan
dan Selatan pro perbudakan. Pemerintah US waktu itu tapi sudah sadar bahwa
jika mereka langsung membuat amendment anti atau pro perbudakan, disintegrasi
pasti akan berlangsung dengan cepat. Karena itu, mereka berhati-hati sekali
dalam membuat kompromi; contohnya Missouri compromise yang menyatakan
Missouri yang pro perbudakan boleh menjadi negara bagian baru, tapi Maine
menjadi negara bagian terpisah dari Massachussets. Keputusan-keputusan
kontroversial itu dilakukan tanpa berusaha membuat amendment baru atau
mengubah UUD US.

Anda benar bahwa pada tahun 1860, waktu Perang Saudara dimulai, waktu itu
tak ada yang tahu bahwa Utara pasti menang. Tapi kita bisa membuat
perbandingan antara Perang Saudara dengan pemeritah Indonesia sekarang.
Waktu perang Saudara, Utara memiliki penduduk 4 kali lipat Selatan. Pada waktu
itu, GDP utara yang sudah fully industrialized sudah jauh melebihi GDP
selatan,
yang masih mengandalkan ekspor perkebunan. Walaupun dengan perbandingan
kekuatan begitu jauh, tapi tetap Civil War berlangsung 5 tahun, dan Utara
sendiri
habis banyak biaya dan korban untuk menjaga keutuhan US- dan ini hanya
merupakan satu konflik. US memang tak stabil waktu tahun 1860-1865, tapi
konfliknya hanya dari satu sisi: states' rights for slavery. Sedangkan
Indonesia
konfliknya dari segala bidang.

Sekarang kita bandingkan dengan Indonesia yang seperti telah saya katakan
baru keluar dari ICU. Jika terjadi perpecahan lagi, memang ada kemungkinan
bahwa pemerintah Indonesia bisa menanggulanginya. Contohnya saja sekarang
ini Aceh. Namun, jika pergolakannya sudah bersifat nasional maka akan sulit
sekali bagi pemerintah kita untuk membereskannya. Selain itu masalah yang
datang bukan hanya keributan berdasarkan UUD'45, tapi juga dari sisi SARA,
disintegrasi, dsb. Kita sekarang saja sudah kewalahan menghadapi GAM-Aceh
dan keributan SARA di segala tempat; belum lagi ekonomi yang masih hancur.
Tambahan lagi, Presiden Gus Dur baru mengeluarkan peringatan bahwa ada
jendral yang berusaha menjatuhkan dia. Dengan kondisi seperti ini, siapa
yang butuh musuh? Jika kita mau menambah lagi dengan krisis konstitusi,
saya rasa sekarang bukan saat yang tepat.

Mengenai pemimpin kharismatis, terus terang saya setuju dengan anda. Namun
saya sendiri dalam tulisan saya tak menyatakan bahwa kita butuh pemimpin
kharismatis. Yang kita butuhkan adalah pemerintahan yang stabil. Kharismatis
tak kharismatis, kalau dia bisa memerintah dengan beres, itu sudah cukup.
Anda juga benar bahwa situasi sekarang ini bagus untuk bertumbuhnya
demokrasi. Namun, pertanyaannya adalah apakah kebanyakan demokrasi
bagus-apalagi jika aktor-aktrisnya tak tahu bagaimana cara berpolitik yang
benar?

Walau kita menentang keras kekerasan fisik dan kita menghormati aturan main,
namun sayangnya tak semua orang bisa melakukan hal yang sama plus provokator
masih merajalela di Indonesia. Sampai sekarang tak ada yang bisa menjamin
demonstrasi tak berdisintegrasi menjadi kerusuhan. Ingat peristiwa Mei 1998
dimana
demonstrasi damai mahasiswa mendadak menjadi kerusuhan 2 hari penuh. Tabliq
Akbar di Jogjakarta yang digaransi pasti aman mendadak menjadi kerusuhan SARA.
Faktor lain yang sudah saya singgung adalah kabinet tambal sulam sekarang yang
kita miliki juga tak bisa menggaransi bahwa pemerintah sekarang pasti stabil.
Jika UUD'45 diubah dan pada saat itu terjadi kembali demonstrasi-demonstrasi
massal di Indonesia, siapakah yang bisa menggaransi bahwa kondisi tak akan
bertambah buruk? Apa tak mungkin pemerintah akan tumbang?

Saya setuju bahwa rakyat Indonesia perlu dididik berpolitik dan
berdemokrasi yang
baik, tapi saya tak percaya ada 'crash course' yang bisa membereskan kondisi
dalam jangka waktu singkat. Perubahan UUD'45 mungkin bisa menjadi alat
bantu, tapi dengan kondisi sekarang terus terang saya tetap meragukan
feasibilitasnya.

Senang berdiskusi dengan anda. Mengenai kurangnya ikut campur anggota-anggota
Permias yang lain, saya rasa sekarang berhubung sedang Spring Break dan
mungkin
memang sedikit yang tertarik topik ini. :-)

YS







Bung Yohanes,

Perbedaan paling mencolok dalam sejarah demokratisasi US dan Indonesia
sebenarnya hanya satu saja. US sudah melewati sebagian besar dari pergolakan
yang harus mereka hadapi, dan berhasil melewatinya dengan baik. Sedangkan
Indonesia justru masih harus berjuang untuk menjalaninya. Saya kurang setuju
kalau anda mengatakan bhw kondisi US pada 

Indonesia's President Accuses General of Plotting Against Him

2000-03-17 Terurut Topik Yohanes Sulaiman

March 17, 2000
Indonesia's President Accuses General of Plotting Against Him

By THE ASSOCIATED PRESS

JAKARTA, Indonesia -- Indonesian President Abdurrahman Wahid said
today that a senior military officer has been plotting against him in an
attempt to undermine his administration.

Wahid said he had evidence that a regional army commander was
"gathering strength to use against me." He did not identify the person
but said he would fire him unless he stopped scheming against the
government.

"I am serious about this," he said after customary Friday prayers at
a mosque in south Jakarta.

It was the second time this week that Wahid, who took office last
October, has said factions of the armed forces are trying to undermine
his efforts to implement democratic reform. Similar comments Tuesday
left the nation guessing as to the identity of the plotters. Even Wahid's
closest aides and national military commanders said they had no idea
whom the president was referring to.

In Aceh, local leaders expressed hope that the 25-year civil war in
the western province may be coming to an end.

The comments came a day after a surprise meeting between
a presidential envoy and a rebel commander. Acehnese guerrilla
commander Abdullah Syafi'ie and State Secretary Bondan
Gunawan, a close associate of Wahid, discussed federal security
forces' ongoing campaign to stamp out the insurgency.

Neither side has yet commented publicly on the results of the
meeting in the town of Sigli, about 70 miles east of the provincial
capital, Banda Aceh.

"We welcome the meeting of the two," Teuku Maulida, another rebel
leader, said Thursday. "We hope it paves the way for negotiations and
for a peaceful settlement."

Maulida said the rebels of the Free Aceh Movement have enough
weapons and ammunition for a protracted guerrilla war. "But if they
really offer a cease-fire, it can begin today," he said in a telephone
interview.

Aceh, a province of 4.1 million people, is located on the northern tip
of Sumatra island. Last week, Wahid said the fighting there -- which
has cost more than 5,000 lives in the past decade -- is no longer
a major problem for his administration as the rebels "are in a losing
position." He predicted the civil war in the oil-rich province would
soon be over.

Human rights activists, however, say violence in the region is as
bad as ever, with torture and murder common occurrences. They
have accused the Indonesian army of running death squads in the
province and committing numerous human rights abuses.



Re: Apabila Presiden Berhalangan

2000-03-16 Terurut Topik Yohanes Sulaiman

M. Siregar:

Terima kasih atas email balasan anda yang sangat menarik ini.

Walau anda benar bahwa terobosan-terobosan dalam politik itu diperlukan apalagi
untuk menyempurnakan UUD'45, namun saya tetap kurang setuju terutama
karena waktunya yang kurang tepat.

Saya mengerti mengenai keinginan anda untuk mengubah UUD untuk membuat
rakyat lebih dewasa dalam politik dan saya setuju bahwa pendapat anda bahwa
'mengail di air keruh' sangatlah 'common' di dunia, bahkan di Amerika. Namun
kita perlu melihat kondisi geopolitik Indinesia dibandingkan Amerika
Serikat untuk
saat ini. Di Amerika, kondisi politiknya relatif sudah stabil dan Amerika tak
mengalami bahaya perpecahan atau perang saudara. Karena itu, sekontroversial
apapun 'bill'-nya, tetap tak akan menimbulkan bahaya disintegrasi seperti di
Indonesia. Di Indonesia seperti kita ketahui banyak gerakan separatisme sangat
banyak dan sudah sulit sekali di kontrol. Untuk segi keamanan sekarang saja
pemerintah sudah pontang-panting. Contohnya, teman saya baru saja sehari
pulang di Indonesia, dan waktu jalan-jalan sudah 2 kali ditodong di hari
yang sama
dan hanya berbeda blok, padahal dia bukan type orang yang suka jalan-jalan
di daerah rawan. Ini dari segi kriminalitas, belum lagi dari pemberontakan
kaum-
kaum separatis.

Saya terus terang menganggap pemerintah tak akan mampu untuk mengatasi
keadaan jika kita ingin menambah lagi bebannya di segi legalitas. Apalagi kalau
ditambah 'aksi-reaksi dan over-reaction,' saya terus terang pemerintah bisa
jatuh.
Rakyat memang perlu terlibat politik, tapi dalam masa-masa sekarang ini, saya
rasa rakyat lebih memikirkan nafkahnya dan lebih menginginkan kestabilan
politik dibandingkan 'petualangan' di politik. Saya selalu ingat artikel di
New York
Times, dimana waktu wartawan US menanyakan arti reformasi kepada rakyat
desa, jawaban pertamanya: reformasi itu paceklik! Karena itu, kalaupun UUD'45
diubah, yang peduli hanya orang-orang yang berkepentingan, bukan seluruh rakyat
karena rakyat sudah pusing menghadapi pengangguran yang berkisar 20-30%.

Indonesia memang perlu berubah ke arah negara yang lebih dewasa, namun kita
juga harus tahu saat-saat yang tepat karena waktu bukan sesuatu yang banyak
kita miliki sekarang. UUD'45 perlu untuk diubah, tapi sekarang saya ragu kalau
merupakan waktu yang tepat berhubung situasi dan kondisinya yang sangat tak
stabil.


YS



P.S:
Sekedar tambahan juga: kita juga perlu kasihan kepada murid-murid SD yang
sudah capek menghapal 37 pasal UUD'45  dan aturan-aturan peralihan, sekarang
pasalnya mau ditambah-tambah lagi. :-)



Pertama-tama saya minta maaf karena menulis nama anda dengan salah. Tentu
saja tidak ada kesengajaan dalam kesalahan itu, it's just my clumsiness.

Tidak apa-apa. Seperti kata Shakespeare: 'What's in the name?'  :-)

Saya rasa dari segi substansi, pendapat anda dan saya tidak berbeda.
Perbedaan terjadi pada tingkat perundang-undangan yang perlu diubah. Saya
mengusulkan agar amandemen itu dilakukan pada tingkat Undang Undang Dasar,
sedangkan anda pada tingkat Tap MPR mengingat situasi politik (baca:
politicking) pada saat ini.

Saya sendiri justru melihat situasi politik saat ini membutuhkan
terobosan-terobosan yang besar dalam kehidupan ketatanegaraan kita, supaya
kita semua dapat mengambil hikmah dalam hidup berbangsa dan bernegara secara
benar dari pengalaman itu. Amandemen UUD 1945 mau-tidak mau akan menarik
keterlibatan luas rakyat Indonesia, dalam bentuk aksi-reaksi dan mungkin
over-reaction. Disamping untuk menyempurnakan UUD 1945 yang banyak
kelemahannya itu, proses itu sendiri akan merupakan suatu "civic education"
yang efektif bagi kita semua. Sebaliknya, perubahan Tap MPR akan cenderung
teracuhkan dan dianggap kurang penting, sehingga nilai tambahnya terhadap
proses pembelajaran politik itu sendiri sangat kecil.

Berdasarkan pertimbangan di atas, saya justru sangat mendukung penyesuaian
terhadap UUD 1945 kita, bukan sekedar pada tingkat Tap MPR saja. Kalau
memang ada resiko dalam menempuh langkah itu, mari kita antisipasi resiko
itu, tapi jangan lari dari resiko itu justru dengan menunda persoalan yang
sebenarnya.

Mengenai terdapatnya kepentingan-kepentingan parpol atau tokoh tertentu yang
ingin mengail di air keruh, saya berpendapat bahwa hal itu terdapat
dimanapun di dunia ini. Tidak usah jauh-jauh, silakan lihat di AS ini. Semua
perbincangan mengenai gun control bill misalnya, tidak pernah terlepas dari
kepentingan sempit masing-masing parpol dan tokoh politik yang berbicara.
Tanggapan saya kepada keprihatinan Pak Ramadhan dan teman-teman lainnya
mengenai perilaku insan politik di Indonesia adalah:
Welcome to democracy. It might not be the most ideal political system in the
world, but the other alternatives are simply much worst.



Re: BE ALERT OF KISSINGER!!!!!

2000-03-13 Terurut Topik Yohanes Sulaiman
ng berbeda; walau dasarnya tetap sama: ide
Marxism. Tapi pemerintahan Allende waktu itu lebih mengarah ke arah
Castro. Itu yang dikuatirkan US; adanya Cuba II di Amerika Selatan.
Lagipula Alende waktu itu sudah mulai menasionalisasi
 perusahaan-perusahaan
Internasional. (Rasanya juga ATT melobby pemerintah US untuk
Mendongkel Alende).

:) First of all, anda lebih tahu tentang philosophy socialism and communism.

You make me sounds like a commie ;-)
Let me assure you I am not a commie :-D
Tapi seriously, saya rasa pengetahuan saya tak melebihi anda untuk segi ini.
Lagipula saya mempelajari philosophy ini for fun dan saya memang diajarkan
juga sewaktu mengambil kelas-kelas tentang Eastern Europe dan Russia.


Second, anda tahu bahwa sosialisme and komunisme tidak berasal dari Marxism
only.

Setuju. :-)



 Third, nasionalisasi tidak berarti komunis.  Indonesia misalnya, struktur
 ekonominya adalah publik or nasional.  US misalnya, supply basic needs
 adalah publik/state.

Saya rasa sangatlah berbeda antara nasionalisasi dan struktur ekonomi/suppy
basic needs yang anda tulis diatas. Nasionalisasi adalah usaha dari pemerintah
satu negara untuk mengambil alih perusahaan-perusahaan internasional/golongan
di negara tersebut. Sedangkan US tak mengambil alih perusahaan-perusahaan
publicnya. Memang dari dulu pemerintah US sudah membuat sendiri perusahaan-
perusahaan tersebut. Indonesia sendiri, saya rasa perumnya seperti Damri bukan
hasil sitaan dari perusahaan asing.


Fourth, nasionalisasi international companies terjadi hampir disetiap negara
berdasarkan kontrak. Itu juga yang terjadi di Chile.
Seingat saya yang di Chile itu adalah nasionalisasi dari satu pihak, yakni
dari pemerintah sosialis Allende sajalah.

Quote dari Allende:
"Cuba in the Crribean and a socialist Chile in the Southern Cone will make
the revolution in Lation America."
Election 1970

Allende's interview with Regis Debray:
Question: who was using whom: Allende the democratic structure or vice versa.
Reply:
"The answer is the proletariat. If it wasn't so I wouldn't be here. As 
for the bourgeois
state, at the present moment, we are seeking to overcome it. To overthrow it."

Kissinger's memoir:
"...The absence of a United States role in the coup was confirmed by 
Senate's Church
Committee."

May 15, 1973:
National Assembly of the Christian Democratic Party accused Allende of "seeking
totality of power, which meant Communist tyrany disguised as the dictatorship
of the proletariat."

President Frei greeted Pinochet's coup: "The military have saved Chile 
A civil
war was being well prepared by the Marxists."
(Interview with Madred Newspaper ABC, October 10, 1973).


Tapi terus terang saja, untuk soal Chile, saya rasa lebih baik ditutup di sini.
Soalnya anda pasti tetap akan menyatakan bahwa dia sosialis, sedangkan saya
menyatakan dia komunis.



Yang paling saya ingat dari dia adalah Malvinas, politik TINA dan kejadian
sewaktu dia di sidang Eropa, ia mengayun-ayunkan tas tangannya dan
berteriak 'Give me my Money back!' (seingat saya itu yang dia katakan)….
Rasanya 'Commanding Height' cukup bagus untuk mendiskusikan soal
Politik-ekonomi TINA-nya Thatcher. Anda punya ide juga?

:) Setahu saya, mungkin Mrs. Iron Lady lebih ganas dari itu. Saya punya
beberapa catatan tentang beliau. Well, if you do not mind, kita diskusikan
setelah Spring Break -- March 23?

Ok, kalau anda memang tertarik. Berarti saya harus 'brush up my English
History' :-)
Cukup waktu untuk belajar sebelum anda tes :-D
Ok, tanggapan ini terakhir dari saya untuk masalah Kissinger, kecuali
kalau anda mau menambah lagi =)


Saatnya saya beristirahat dulu. Tak ada e-mail untuk seminggu. Kecuali
mungkin nulis puisi. Saya akan jalan-jalan, drive ke Indiana dan Ohio.

Safe journey.


Setuju. Tapi rasanya setiap kali kita berdua berdiskusi, hasilnya pasti
Berat-berat semua…. : -)

:) Mari kita menulis, bagaimana berat ringannya bukan urusan kita...:)

Setuju!! :-)
Menulis dulu, pusing belakangan :-)

Well, I really hope to hear from you after the break.

Sincerely,

Yohanes Sulaiman



Indonesia's President Reduces the Power of the Military

2000-03-08 Terurut Topik Yohanes Sulaiman

March 8, 2000

Indonesia's President Reduces the Power of the Military

By THE ASSOCIATED PRESS
JAKARTA, Indonesia -- Indonesia's reformist President Abdurrahman Wahid revoked
two laws today that for decades gave
the military sweeping powers to carry out checks on senior
politicians and bureaucrats.

The intelligence body within the military and a law that gave it
power to investigate the background of all parliamentarians and
other senior government officials were no longer needed, Cabinet
Secretary Marsilam Simanjuntak said.

Speaking after the weekly Cabinet meeting, Marsilam said the
president believes the agency and the law just led to
complications.

The laws were set up by former dictator President Suharto, who
used them to keep tabs on other politicians, said military
analyst Salim Said. Anybody who applied for a senior job within
the government or as a politician was forced to undergo
questioning.

"The main thing they wanted to see was whether you were
pro-Communist," he said.

Also today, the U.S. assistant secretary of state for East Asian
affairs discounted fears that the once all-powerful armed forces
might move against Wahid's civilian administration. Indonesia's
military now acknowledges the legitimacy of the country's new
government and realizes that a coup attempt would trigger a
bloodbath, Stanley Roth said.

"They are acutely aware ... that this is a popularly run and
elected government and that any efforts to overthrow this
government by force would bring the people out onto the streets
and require the type of bloodbath that the military in Indonesia
is simply not willing to do," he said.

During a tense standoff last month between Wahid and former
armed forces chief Gen. Wiranto, U.S. Ambassador to the United
Nations Richard Holbrooke sparked fears that a coup was imminent
when he publicly warned the military not to move against Wahid.

Roth today accused the media of overstating Holbrooke's remarks.
However, he warned that Indonesia was still at a "vulnerable
stage" and its stability was threatened by its ailing economy.

Indonesia's economy collapsed in 1997, plunging the world's
fourth most populous nation into its worst economic crisis in a
generation. Wahid, who took office last October, has promised to
reform the country's economy and boost investment.

Wahid paid an unprecedented visit today to Suharto, who has so
far stymied a government corruption probe by claiming he is too
sick to be questioned. Suharto, who is 78 and suffered two
strokes last year, is suspected of misusing funds belonging to
several charitable foundations during his 32-year reign.

Looking healthy and walking unaided, the former autocrat smiled
to dozens of waiting reporters before greeting Wahid with a hug
in front of his mansion in the capital, Jakarta. The two met for
an hour.



No Subject

2000-03-08 Terurut Topik Yohanes Sulaiman

March 8, 2000


Indonesia's President Reduces the Power of the Military

By THE ASSOCIATED PRESS
JAKARTA, Indonesia -- Indonesia's reformist President Abdurrahman Wahid revoked
two laws today that for decades gave
the military sweeping powers to carry out checks on senior
politicians and bureaucrats.

The intelligence body within the military and a law that gave it
power to investigate the background of all parliamentarians and
other senior government officials were no longer needed, Cabinet
Secretary Marsilam Simanjuntak said.

Speaking after the weekly Cabinet meeting, Marsilam said the
president believes the agency and the law just led to
complications.

The laws were set up by former dictator President Suharto, who
used them to keep tabs on other politicians, said military
analyst Salim Said. Anybody who applied for a senior job within
the government or as a politician was forced to undergo
questioning.

"The main thing they wanted to see was whether you were
pro-Communist," he said.

Also today, the U.S. assistant secretary of state for East Asian
affairs discounted fears that the once all-powerful armed forces
might move against Wahid's civilian administration. Indonesia's
military now acknowledges the legitimacy of the country's new
government and realizes that a coup attempt would trigger a
bloodbath, Stanley Roth said.

"They are acutely aware ... that this is a popularly run and
elected government and that any efforts to overthrow this
government by force would bring the people out onto the streets
and require the type of bloodbath that the military in Indonesia
is simply not willing to do," he said.

During a tense standoff last month between Wahid and former
armed forces chief Gen. Wiranto, U.S. Ambassador to the United
Nations Richard Holbrooke sparked fears that a coup was imminent
when he publicly warned the military not to move against Wahid.

Roth today accused the media of overstating Holbrooke's remarks.
However, he warned that Indonesia was still at a "vulnerable
stage" and its stability was threatened by its ailing economy.

Indonesia's economy collapsed in 1997, plunging the world's
fourth most populous nation into its worst economic crisis in a
generation. Wahid, who took office last October, has promised to
reform the country's economy and boost investment.

Wahid paid an unprecedented visit today to Suharto, who has so
far stymied a government corruption probe by claiming he is too
sick to be questioned. Suharto, who is 78 and suffered two
strokes last year, is suspected of misusing funds belonging to
several charitable foundations during his 32-year reign.

Looking healthy and walking unaided, the former autocrat smiled
to dozens of waiting reporters before greeting Wahid with a hug
in front of his mansion in the capital, Jakarta. The two met for
an hour.



Re: BE ALERT OF KISSINGER!!!!!

2000-03-06 Terurut Topik Yohanes Sulaiman

Dear Mme. Ida:


Wah, sebetulnya saya yang cukup kewalahan melihat 'serbuan'
dari anda. Apalagi posisi saya yang di debat ini agak 'sulit'
soalnya saya terlihat seperti membela 'penjahat perang.' :-)

:) jangan meninjau pertukaran ide sebagai 'serbuan' yang hendak mematahkan.

Justru kita saling
membangun pemahaman pada issue yang mungkin di antara kita masih asing.
Jangan menganggap bahwa
saya memojokkan anda sebagai pembela 'penjahat perang.' Kita sedang
berdiskusi.  Pandangan kamu tidak harus sama dengan pandangan saya.
Demikian pula sebaliknya.   We are free to believe what we believe. No hand

and mind should bound to believe what they do not agree with. Am I right?

Setuju. Tapi kayaknya anda salah mengerti attitude saya. Saya memakai tanda

Kutip dan smiley dengan arti bahwa saya bercanda untuk bagian tulisan itu.
Saya tak pernah menganggap diskusi itu untuk saling mematahkan atau
Saling memojokkan. In fact, seperti yang kita ketahui bersama, diskusi itu
Berguna untuk melatih logika dan menukar pikiran sehingga lebih memperluas
Wawasan kita.


:) saya hanya berpandangan temporer bahwa hingga hari ini hanya US yang
dapat survive di
tengah goncangan international economy dan politics.  Mungkin ada
premis-premis berikut setelah evaluasi posisi US di percaturan
international.

US bisa bertahan selama kredibilitas pemerintahnya kuat dan orang-orang masih

Percaya dengan Wall Street. Masalahnya juga, tak ada alternatif lain seaman
US
Untuk menaruh modal di tengah keadaan yang tak menentu seperti sekarang.


 Kemungkinan besar sub action dari China akan mempengaruhi
objective
evaluasi kita.  We will see.

Beberapa akademia, termasuk Professor Emmerson (yang saya beruntung
Berkesempatan untuk mengikuti kelasnya) kuatir sekali mengenai kemungkinan
Devaluasi China karena bisa berakibat hancurnya keuangan dunia terutama saat

Di tengah krisis. Namun rasanya sekarang tak seberbahaya dulu ketika ditengah-

Tengah krismon.



However I still think that you need to put your context in that era. US
position
deleted
that some of my sources are from Kissinger's  Writings. However, I suggest

you to also read Kissinger's point of view.

:) I agree with  your analysis  about the US position in general context.

Unfortunately,

Unfortunately?

US can recover easily from the damage of Vietnam War.  God
knows how.

Saya rasa US sampai sekarang belum 100% bisa pulih dari perang Vietnam.
Sampai sekarang masih terjadi aversi anti korban perang di US. Contohnya
Saja dalam krisis Kosovo kemarin, pemerintah US benar-benar berusaha agar
Tak jatuh satu korban pun di sisi Amerika. Kalau pikiran ini berlaku waktu

PD II, mungkin sekarang kita sedang menulis dengan bahasa Jepang dan Jerman

Bukan Indonesia-Inggris.

Saya sendiri melihat kembalinya kredibilitas US setelah 'Vietnam debacle'
Disebabkan terutama oleh real-politik Nixon-Kissinger, yang kemudian
difortify Carter (melanjutkan Camp David dan opening to China), dan Reagan

tahun 1980-an dengan 'Star Wars'-nya.




:) Dalam process pembuatan Foreign Policy (FP), ada tiga theory yang paling

popular:
1. Presiden penentu FP (see Kanter)
deleted
Congress,
informal atau formal lobbies lebih seru lagi dari circumtances loby ini,

muncul lagi theory
tentang kelompok interest groups and US FP.

Tulisan anda berarti secara tak langsung mendukung bahwa Kissinger walaupun

Menganjurkan membom IndoChina, tapi keputusan terakhir bukan ditangan
Dia. Ini juga berlaku untuk perang Vietnamnya Kennedy, dsb.


I am sure about this.

:) Saya hanya heran saja pada pandangan realism yang sering menyamakan
pemahaman sosialis dengan
komunisme.  Sorry!  Mengapa ketika Aliande hendak menerapkan policy pro
rakyat dan sosial warfare akhirnya dia
dituduh hendak mengikuti  Castro?

Sosialisme dan komunisme memang berbeda; walau dasarnya tetap sama: ide
Marxism. Tapi pemerintahan Allende waktu itu lebih mengarah ke arah
Castro. Itu yang dikuatirkan US; adanya Cuba II di Amerika Selatan. Lagipula

Alende waktu itu sudah mulai menasionalisasi perusahaan-perusahaan
Internasional. (Rasanya juga ATT melobby pemerintah US untuk
Mendongkel Alende).


:) Kita bisa baca dulu baru kita diskusikan.  Saya juga tidak banyak tahu

tentang Thatcher.


Yang paling saya ingat dari dia adalah Malvinas, politik TINA dan kejadian
sewaktu dia di sidang Eropa, ia mengayun-ayunkan tas tangannya dan
berteriak 'Give me my Money back!' (seingat saya itu yang dia katakan)….
: -)

Rasanya 'Commanding Height' cukup bagus untuk mendiskusikan soal
Politik-ekonomi TINA-nya Thatcher. Anda punya ide juga?




:) kita ngomong saja yang ringan-ringan nanti.

Setuju. Tapi rasanya setiap kali kita berdua berdiskusi, hasilnya pasti
Berat-berat semua…. : -)


Senang berdiskusi dengan anda. Saya nantikan tanggapan berikutnya.

YS



Re: BE ALERT OF KISSINGER!!!!!

2000-03-03 Terurut Topik Yohanes Sulaiman

Mme. Ida:

Semakin seru nih.  Sorry, kalau pendapat saya terhadap idolamu berbeda.

Memang semakin seru juga ;-)
Tapi sayang idola saya bukan Henry Kissinger. Dia merupakan tokoh yang saya
kagumi, tapi bukan idola.



Kissinger's Diplomacy:
"What is new about the emerging world order is that, for the first time,
the United States can neither withdraw from the world nor dominate it."
Amerika memang besar, tapi ia tetap tak bisa mendikte negara-negara
bahkan kalau saya lihat pengaruh US sekarang tidak sekuat dulu pada
masa Perang Dingin. Saya rasa argumen saya yang ini bisa menimbulkan
perdebatan cukup sengit... :-)

:) He..he..., di mana-mana US masih tetap memegang hegemony politik dan
ekonomi.  Argument Europe? Masih berkutat membentuk the unity of Euro. Belum
apa-apa, Swizerland sudah memiliki pemerintahan Neo Nazi yang anti
immigrants.

Switzerland atau Austria?


Well, Japan? Kekuatan Asia itu akhirnya terjerembab sejak lima
tahun belakangan ini.  China? Masih perlu restrukturisasi pemerintahan dan
organizasi. India? Problem dengan poverty. Canada? Ancaman pada federation
French -English states.  Simplenya, Bank Dunia, IMF, UN, and WTO, NAFTA,
sekarang berada dalam 'genggaman US.' Meskipun WTO kemarin gagal di sini.

Di saat ini memang US merupakan sebuah hegemon, tapi bukan fully dominated
everything. Lain halnya waktu cold war, dimana dunia memang merupakan
dwipolar. Sekarang Eropa masih bisa menentang politik ekonomi US. China
sendiri bisa snub US. Russia masih bisa berteriak bahwa Bill Clinton lupa bahwa
Russia merupakan negara nuklir, dan India-Pakistan tak menghiraukan US dan
mentes bom nuklir mereka.

Economically, US is a dominant player and the economic prowess influence the
political situation. However, should the US economics begin to experience its
downturn, then all hell will break loose. Remember the lesson of the Great
Depression where there was no power strong enough to dominate the world; and
then the world only 'constitute' of Europe. (Thank goodness for
Greenspan... :-)  )
The problem with US now is that it still unable to define its position in
this new
paradigm. It has TONS of carrots but the stick is not reliable.




Ada satu lagi kelebihan Kissinger: experience.
Saya ragu kalau karena dia realis maka hubungan internasional Indonesia
melangkah 2 dekade ke belakang. Lagipula posisi dia sekarang ini  hanya
'advisor' sehingga tak mungkin dia bisa mengendalikan cara Indonesia
berdiplomasi.

:) Kissinger terkenal dengan pengalamannya 'meningkatkan perang.'
Pembunuhan 24 jam di Laos, Cambodia, Vietnam, adalah ide Kissinger untuk
menguatkan posisi US.  Tapi nyatanya, ide itu membangkitkan kemarahan dan
kekuatan negara-negara tertindas.

Pada masa Nixon, mereka menyadari posisi US sudah lemah sekali di Vietnam.
Mereka justru menginginkan policy 'Honorable withdrawal.'  Kissinger mengebom
Laos dengan alasan untuk menghentikan jalur Vietcong ke Vietnam Selatan
sehingga US bisa mundur dari Vietnam Selatan.


Betul bahwa Kissinger terkenal sebagai one of the most powerful statemen
karena kepiawaiannya berdiplomasi dan menyembunyikan 'borok' policynya. Yang
dibutuhkan Indonesia sebagai advisor international politik, menurut hemat
saya, bukan ahli perang tetapi ahli ekonomi dan sosial warfare. Masalahnya
sekarang dunia sudah berganti arah. Tidak lagi pada angle kekuatan politik
dan diplomasi kekuatan tetapi pada kekuatan ekonomi.
Ekonomi memang merupakan faktor terpenting pada abad baru ini. Tapi saya
terus terang tetap menyatakan bahwa state itself remains very important factor
and player in international relations.


Saya membaca buku yang sama dan juga Kissinger's response di memoir dia.
Inti dari pemboman itu adalah supaya US bisa 'withdraw with honor'  dari
South Vietnam sementara itu North Vietnam menggunakan jalur-jalur dari
Laos-Kamboja terus menyerbu Vietnam Selatan dengan Vietcongnya itu. Untuk
itu  mereka mendiskusikan cara untuk  menetralisir Vietnam Utara terlebih
dulu.  Perang Vietnam
sendiri sudah lama dimulai sejak tahun 1950-an di masa Prancis dan
digantikan US di tahun 1960-an.

:) Salah satu buku yang menguatkan implikasi policy Kissinger adalah Nuclear
Bom and Foreign Policy. Mungkin bisa jadi pertimbangan dalam meninjau policy
dia di sana.

Karangan siapa? Apakah anda yakin bahwa Kissinger membaca buku itu sewaktu
menjalankan politik luar negeri dia?



'Shuttle Diplomacy.'
Walau counter-argumennya itu juga untuk menjaga agar Russia tak terlalu
menyebar pengaruhnya di Arab. Policy Kissinger-Nixon waktu itu adalah
'Containment' Russia. Eropa dianggap vulnerable dan middle East merupakan
ladang subur untuk pengaruh Russia.

:) Selalu kembali ke konsep balance of power. Jangan lupa Kissinger's MAD
policy terhadap Russia.  Saran dia: "Jika berhadapan dengan Russia tunjukkan
sikap seakan-akan kita marah, gila, dan terkontrol untuk menakuti mereka."
Well, i do not know exactly where he goes with this.
Boleh tanya di buku mana anda mendapatkan sarannya seperti itu?
Kalau 

Austria: Marketing VS Ideology

2000-03-03 Terurut Topik Yohanes Sulaiman

Sedikit kontroversi
Apakah partai right-wing Austria sebetulnya partai kaum neo-Nazi
atau partai kaum marketing?
:-)



March 3, 2000

A Theory on Haider's Allure: No Ideology, More Marketing


By ROGER COHEN

BAD KLEINKIRCHHEIM, Austria -- Here in the midst of picture-postcard Austria
-- pine-clad slopes, sun glistening on the snow, rosy-cheeked families sipping
mulled wine -- it is something of a surprise to encounter Matthias Krenn and
his modern political theories.

"Political populism is just modern marketing," Mr. Krenn said casually as he
sat in the lobby of one of the hotels he owns. "In politics today, you have
to sell your services like any other product. So you listen carefully to what
each person wants and respond accordingly. That is why Jörg Haider is such a
successful political marketer."

Mr. Krenn, 40, is a hotelier from the southern province of Carinthia, the heartland
of Haiderism, and a representative figure of the young entrepreneurs who have
helped thrust Mr. Haider's catch-all Freedom Party to power. While the world
tends to see Mr. Haider, who has made -- and later apologized for -- statements
praising aspects of Hitler's rule, as a xenophobic rightist,

Mr. Krenn sees him as Austria's answer to Margaret Thatcher.

For him, Mr. Haider's message has less to do with Nazi revisionism or anti-immigrant
vitriol than with market reform. It is about less state. Deregulation. Sweeping
privatizations. Reduced bureaucracy. An end to the division of the spoils in
Austria among members of the long-dominant Social Democratic and conservative
People's parties.

Mr. Krenn's is a popular view in Austria. About one-third of the support that
took the Freedom Party into national government in February for the first time
comes from entrepreneurs, particularly in the small companies like the Krenn
hotel group that dominate the economy.

"To understand Mr. Haider, you must see that he's a late edition of the 
neo-conservative
wave that totally passed Austria by in the 1980's and 1990's," said Lothar Höbelt,
a historian sympathetic to him.

Certainly, Austria's political system was long distinguished by immobility.
During three decades of Social-Democratic-led rule, stability came before market
reform, and state jobs were useful to reward political loyalty. The state still
owns the national telephone company and main tobacco corporation; as such, it
is now a European anomaly.

But a look at how Mr. Haider operates in Carinthia, where he won 42 percent
of the vote in the regional election last year, suggests that promoting the
free market is merely one ingredient of his heady brew.

[Mr. Haider quit on Feb. 28 as leader of the Freedom Party but retained his
post as governor of Carinthia. The resignation was widely seen as a maneuver
to shield himself from any unpopularity the new government may encounter.]


Take Thatcherism, add a dose of Robin Hood, some designer labels, a touch of
Austria-first bigotry, a dollop of straight talk and fanatical physical fitness,
and the seductive magician of modern European politics emerges, a man who has
taken his party from 4 to 27 percent of the vote in the past 15 years.

In downtown Klagenfurt, seat of Mr. Haider's regional government, "Jörgs Treff"
is a popular meeting place. In this Freedom Party office, young people can surf
the Internet or play video games on computers provided by the governor. Posters
plastered on the windows show a baby brandishing a check for 5,700 Schillings,
about $407. It is a reference to Mr. Haider's promise to hand out monthly checks
to mothers in order to strengthen the family and boost Austria's falling birth
rate.

So, the prophet of leaner government, more individual responsibility and tighter
state budgets is also the proponent of an ambitious new program of state handouts?
Well, yes, if that is what brings in the votes.

"The children's check cannot be financed," said Franz Pacher, a businessman
who is president of the Carinthian Chamber of Commerce and who opposes Mr. Haider.
"It could cost as much as $175 million a year, or close to one-tenth of the
state budget. But of course the promise has won him a lot of popularity."

In an interview, Mr. Haider said that the program could be financed and that
the checks would be paid: "You see, on the one hand I am a kind of Margaret
Thatcher pushing lean government and the end of party influence. On the other,
I am a new Social Democrat, pushing family values and taking care of the smaller
people against the powerful."

He smiled and added: "That is why I like to say that I am not to the left or
the right of my opponents. I am simply ahead of them."

Just how long Mr. Haider can continue to appeal both to rising entrepreneurs
and to the less privileged, who like the look of his largesse, is the question
now posed by the Freedom Party's entry into government.

Karl-Heinz Grasser, the 31-year-old national finance minister and a 

Re: BE ALERT OF KISSINGER!!!!!

2000-03-03 Terurut Topik Yohanes Sulaiman

Dear Mme. Ida:


Wah saya kagum juga, literature anda kuat juga, saya malah kegalapan
berusaha mengingat sources dan para pengarangnya. Saya belajar banyak nih.

Terima kasih.

Wah, sebetulnya saya yang cukup kewalahan melihat 'serbuan'
dari anda. Apalagi posisi saya yang di debat ini agak 'sulit'
soalnya saya terlihat seperti membela 'penjahat perang.' :-)



Switzerland atau Austria?

:) Is it Austria? Mungkin anda benar. BTW, saya baca tulisan Mas Irwan,
ternyata Austria ya.  What is wrong with my memory?


Mungkin karena keduanya tetangga :-)



:) It is reality, as a posivitist would say.  The US is now in the big year

of economy. Although it is not unexpected to many.  That is why Greenspan
announced the need to slow down.

You may as well say that I am a pessimist realist…. :-D


About the US' position in the new world
order as far as I am concern is real; the most firm survival in the shaking

economic order.  We may have different opinions here.

Maaf, bisa anda lebih elaborate untuk point ini? Soalnya saya takut kalau saya

Salah menafsirkan maksud anda.




Pada masa Nixon, mereka menyadari posisi US sudah lemah sekali di Vietnam.

Mereka justru menginginkan policy 'Honorable withdrawal.'  Kissinger
mengebom Laos dengan alasan untuk menghentikan jalur Vietcong ke Vietnam

Selatan sehingga US bisa mundur dari Vietnam Selatan.

:) You can name any policy as polite you like, but the outcome is the
measurement. Deaths are the answer to his policy.  I am sorry to say that.

You may want to consider other sources rather than Kissinger's own writings.

  Documents on human rights, country reports (Vietnam, Laos, Cambodia), and

hearings in Congress showed that the first command to kill civilians in Indo

China come from Kissinger.  I do not think that his 'honorable withdrawal'

is an excuse. I defenitely disagree with this idea of justification.

However I still think that you need to put your context in that era. US position
had
Already been weakened drastically in the world. Europe was skeptical regarding
US'
Ability to come in their defense against USSR and in Middle East, US' mediation

On middle East conflict had been complicated as the nations watching the Vietnam's

Development began to show doubt on US' credibility. IN this case, what US had

To do was to show its resolve that it could not afford to be bullied by a small
nation.
In short, US global standings and credibility had been weakened by the Vietnam
War.

About the killing of civilians, Kissinger pointed out that he suggested bombardments

On area around the border, and he had already got implicit agreements from the

Governments in Laos and Cambodia.

You are correct however in pointing out that some of my sources are from Kissinger's

Writings. However, I suggest you to also read Kissinger's point of view.



Ekonomi memang merupakan faktor terpenting pada abad baru ini. Tapi saya
terus terang tetap menyatakan bahwa state itself remains very important
factor and player in international relations.

:) I agree with you. Logically, states are the place where  economic
activities happen. States should be strong of course in order to survive.
But their strenghts should not rely on political power prestige, rather
economic prestige.

Economic power is a tool for a political power. US has a huge dominance on
Economic thus it can wield the economy as a political power toward the world.



:) Salah satu buku yang menguatkan implikasi policy Kissinger adalah
NuclearBom and Foreign Policy.
Karangan siapa? Apakah anda yakin bahwa Kissinger membaca buku itu sewaktu

menjalankan politik luar negeri dia?

:) Nuclear Bom and Foreign Policy karangan Henry Kissinger.

Wah, sekarang giliran saya yang kegalapan soalnya saya sudah lupa Henry Kissinger

Pernah menulis buku ini. Kalau tak salah, di sini Kissinger menyatakan preference

Untuk tactical nuclear weapon daripada massive retaliation. Tapi saya sejujurnya

Saja sudah lupa.


Boleh tanya di buku mana anda mendapatkan sarannya seperti itu?
Kalau saya membaca 'Kissinger's Transcript,' lebih terlihat sikap
orang-orang yang cold blooded dan calculated bukan orang marah atau gila.

Ide MAD sudah ada jauh sebelum jaman Kissinger-Nixon dan sudah beredar di

kalangan political scientist yang mempelajari implikasi bom nuklir kepada

hubungan internasional.

:) Mudah-mudahan kita berbicara tentang MAD pada level yang sama.  MAD yang

saya maksud, literaly means upset, jengkel, marah, blow out, etc.

MAD di sini artinya 'Mutual Assured Destruction' di mana idenya adalah balance

Of power berdasarkan bom nuklir. Berapa pun bom yang ditembakkan sebetulnya

Enggak akan berpengaruh soalnya kedua pihak sudah pasti hancur. Perundingan

Kissinger-Brezhnev memang banyak diwarnai oleh ide ini.


Kalau buku
yang mana menulis itu, saya belum tahu, yang pasti ada pada
document-document tertulis pada Senate Hearings on Foreign affairs and
international relations. Lihat pada government documents: Hearings in

Re: BE ALERT OF KISSINGER!!!!!

2000-03-01 Terurut Topik Yohanes Sulaiman

Mme. Ida:

M. Henry Kissinger merupakan salah satu kaum 'Realist' dalam hubungan
internasional.
Realist di sini artinya seseorang yang memandang hubungan antar negara
berdasarkan
'power' dan 'legitimacy.' Cara berpikir dalam politik internasionalnya
tertuang di buku
'A World Restored: Metternich, Castlereagh, and the Problem of Peace.'


1. bukan Kissinger author Perang Vietnam

Untuk yang ini, doa anda terkabul.
Menarik sekali melihat betapa banyak orang menyamakan Kissinger dengan
Perang Vietnam, walau kenyataannya itu perang Vietnam justru mencapai
puncaknya waktu administrasi 'Democrats'-nya Kennedy dan Lyndon Johnson.
Anda bisa membaca McNamara's 'In Retrospects.'


2. bukan Kissinger pemrakarsa perang teluk

Boleh tanya: yang mana. Perang teluk 1980-1988 itu dimulai oleh Saddam
Hussein. Perang Teluk II dimulai setelah Iraq menyerbu Kuwait.


3. bukan Kissinger pendukung perang Bosnia-Herzegovina

Perang saudara ini dimulai setelah perpecahan Yugoslavia.


4. bukan Kissinger pendukung atomic/nuclear bom

Pada masa perang dingin, hampir semua 'establishment' di US
mendukung bom nuklir. USSR sendiri meningkatkan produksinya
di masa Brezhnev, dan sekarang pun India dan Pakistan memilikinya.
Politik bom nuklir lebih banyak dipengaruhi ide 'MAD' dan deterrence.


5. bukan Kissinger pendukung Nazi Jerman

Kissinger adalah Yahudi. Seperti anda ketahui, holocaust bukanlah
myth.


6. bukan Kissinger pendukung perang Kuwait

Perang Teluk II dimulai setelah Iraq menyerbu Kuwait.


7. bukan Kissinger conservative: War-Hunger

War and hunger have always been present with humanity since the
beginning of history. (Confucius)


8. bukan Kissinger pelindung silent killings by CIA

Pada masa perang dingin, hampir semua administrasi mendukung
silent killings oleh CIA. Salah satu buat diconsider: Bay of Pigs-nya
Kennedy.


9. bukan Kissinger anti sosial walfare
Kissinger lebih tertarik ke politik luar negeri dan dia tak pernah ikut campur
dengan domestic politics di US.


Semoga membantu.

YS



Report: Indonesian Military to Quit Parliament 2004

2000-02-25 Terurut Topik Yohanes Sulaiman

February 25, 2000
Report: Indonesian Military to Quit Parliament 2004
Filed at 9:14 a.m. ET

By Reuters
JAKARTA (Reuters) - Indonesia's powerful but discredited military, under
pressure to
retreat from politics, will give up its guaranteed parliamentary seats at
the 2004
election, the official Antara news agency said Friday.

Antara quoted armed forces commander Admiral Widodo telling a parliamentary
the
military would relinquish its 38 seats in the 500-seat chamber and quit
politics
altogether.

``At 2004, we will no longer play a role in practical politics,'' head of
the military's
armed forces faction Hari Sabarno told reporters later.

The move comes after widespread public demands for the armed forces to get out
of politics and back into the barracks.

And it will help reinforce civilian rule as the world's fourth largest
nation moves to
democracy after three decades of authoritarian, army-backed leadership by
former
president Suharto.

Indonesia's military, raised as a people's army in the war for independence
from
the Dutch, has traditionally played a major political role and underpinned
the rule
of autocratic former general Suharto, ousted amid social and economic
turmoil in
mid-1998.

But its support for Suharto and abuses committed under his rule, as well as
the
gunning down of pro-democracy activists has destroyed its credibility among
ordinary
Indonesians and triggered demands for it to return to a purely military role.



Indonesia Names Suharto a Corruption Suspect

2000-02-10 Terurut Topik Yohanes Sulaiman

February 10, 2000
Indonesia Names Suharto a Corruption Suspect

By SETH MYDANS


JAKARTA, Indonesia, Feb. 10 -- In what appeared to be a serious new
effort to prosecute Indonesia's former president, Suharto, the government
named him today as a suspect in a widening corruption investigation and
summoned him for questioning next week.

Mr. Suharto's lawyers immediately responded that he was too sick to
attend. The former president is 78 and was hospitalized twice last year
following a stroke. "He is physically and mentally unfit to appear for the
questioning," said one of the lawyers, Juan Felix Tampubolon.

Taking a less deferential tone than investigators in the past, who had
dropped a probe of Mr. Suharto, a spokesman for the attorney general's
office said illness was no excuse.

"Suharto is now named as a suspect and we hope he'll turn up for
questioning," the spokesman, Suhandoyo, told reporters. "We have also
looked at the state of Suharto's health, and it seems to be improving."

The renewed move to bring Mr. Suharto to account appeared to be part
of a broad policy by the new government of President Abdurrahman
Wahid to address past abuses and begin building a new society based
on civilian government and the rule of law.

The former president, who was forced to resign in May 1998, is widely
believed to have amassed billions of dollars in illegal wealth for himself,
his children and his associates. He has denied the accusation.

Despite public demands for an accounting, investigations under his
friend and immediate successor, B.J. Habibie, seemed half-hearted.

Mr. Suharto was treated with elaborate deference when he was called
to give evidence at the attorney general's office in late 1998. His
questioners were former members of his own administration.

Just before Mr. Habibie was voted out of office last October, those
investigators announced that they had not found enough evidence
to bring charges and closed the case. That highly unpopular move
was one of the last straws in Mr. Habibie's failed bid for election.

Days later, Mr. Wahid's new attorney general, Marzuki Darusman,
reopened the case, which involved allegations of the misuse of
millions of dollars in seven charitable organizations controlled by
Mr. Suharto.

"We will not tolerate any monkey business any more,"
Mr. Marzuki said at the time.

Softening the harshness of a the idea of putting a former president
on trial, Mr. Wahid later said that in the event Mr. Suharto is
convicted, he would be pardoned if he apologized and returned
any stolen funds.

Officials today said they now also wanted to question Mr. Suharto
regarding a failed national car project, in which he bent investment
rules to favor one of his sons, and about lucrative monopolies in
cloves and fruits that were run by his children.

Mr. Suharto's youngest son, Hutomo Mandala Putra, was
acquitted last year during Mr. Habibie's administration of
corruption charges involving a land deal. But he and other
family members and friends remain under investigation for
other deals.

Seeing Mr. Suharto investigated and put on trial was one of
the loudest demands made by the students and other opponents
whose demonstrations helped bring an end to his corrupt 32-year
rule.

While overturning much of Mr. Suharto's legacy with a range of
political reforms, Mr. Habibie appeared committed to protecting
the personal welfare of his longtime mentor.

Mr. Wahid's new administration is advancing on virtually every
front to reform the government and to clear the ledger of past
abuses that range from corruption to military killings.

The president is now engaged in a high-stakes standoff with
Indonesia's most prominent general, Wiranto, who has refused
his demand to resign as coordinating minister for security affairs.

The demand followed an accusation by a government commission
that the general was guilty of human rights abuses in the violence
that followed a vote for independence last August in the territory of
East Timor.

That commission is conducting just one of several investigations
into abuses by the military during the years it acted as Mr. Suharto's
enforcer.

Some analysts believe that Mr. Wahid is making a public example of
General Wiranto because he symbolizes the old order. Like
Mr. Habibie, he is a protégè of Mr. Suharto, having been appointed
defense minister after serving for years as his personal adjutant.

On the morning Mr. Suharto resigned, General Wiranto made a public
pledge to protect his interests.

Mr. Wahid is a contrast to Mr. Suharto in almost every way -- voluble
where Mr. Suharto was enigmatic, informal (and often barefoot) where
he was solemn, welcoming public discussion and dispute, committed
to democratic reforms.

Mr. Suharto gave only three news conferences in 32 years.
Mr. Wahid seems to have something to say every day, if not every
hour.

Now he seems almost to be taunting General Wiranto with new
statements at every stop on a 16-day foreign tour, which will end 

Anonymous remarks to ponder....

1999-12-29 Terurut Topik Yohanes Sulaiman

It is hard to understand how a cemetery raised its burial cost and
blamed it on the cost of living.

Just remember If the world didn't suck, we'd all fall off.

We are born naked, wet, and hungry. Then things get worse.

The 50-50-90 rule: Anytime you have a 50-50 chance of getting
something right, there's a 90% probability you'll get it wrong.

It is said that if you line up all the cars in the world end to end,
someone would be stupid enough to try and pass them.

Laughing stock -  cattle with a sense of humor.

You can't have everything, where would you put it?

Latest survey shows that 3 out of 4 people make up 75% of the
world's population.

If the shoe fits, get another one just like it.

Eat right. Stay fit. Die anyway.

The things that come to those that wait may be the things left
by those who got there first.

Give a man a fish and he will eat for a day. Teach a man to fish
and he will sit in a boat drinking beer all day.

Flashlight: A case for holding dead batteries.

Shin: A device for finding furniture in the dark.

As long as there are tests, there will be prayer in the public
schools.

When you're swimming in the creek, and an eel bites your cheek,
that's a moray!

A fine is a tax for doing wrong. A tax is a fine for doing well.

It was recently discovered that research causes cancer in rats.

The only cure for insomnia is to get more sleep.

Everybody lies, but it doesn't matter since nobody listens.

I wished the buck stopped here, as I could use a few.

I started out with nothing, and I still have most of it.

When you go into court, you are putting yourself in the hands of
12 people that weren't smart enough to get out of jury duty.

Light travels faster than sound. This is why some people appear
bright until you hear them speak.

It is a fact that you will always meet at least one idiot in one day.



Re: Hanya Islam Re: Musang berbulu Domba ?

1999-12-26 Terurut Topik Yohanes Sulaiman

Saya ingin tahu apa anda memang agamanya Islam, soalnya teman-teman
saya yang Islam rasanya tidak pernah serajin anda memprovokasi orang-
orang lain. Rekan-rekan Islam di milis ini sendiri tak pernah mengeluarkan
sesumbar seperti anda. Orang seperti anda yang memberikan nama jelek
buat agama Islam.

Tambahan lagi, saya benar-benar salut bahwa anda yang sudah tak
sanggup memenuhi janji (ingat diskusi Ambon) masih memiliki nyali
untuk memprovokasi milis ini. Memang sayang sekali rasa 'malu' belum
berkembang di Indonesia. Saya tak heran kalau anda sebetulnya anarkis
yang atheis yang senang sekali memecah belah umat Kristen dan Islam.
Terus terang saya kagum sekali dengan tetangga anda itu karena
kesabaran mereka dalam menghadapi anda.

Tak perlu anda memberi pertanyaan-pertanyaan yang pathetic yang
anda sendiri tak pernah berusaha mencari jawabannya. Kalaupun anda
serius, anda tak akan menjawab dengan tanpa rasa keseriusan itu.
Saya rasa percuma saya berdiskusi dengan anda juga karena itikad anda
yang sangat pathetic itu.

Anda boleh berbangga bahwa anda orang pertama dalam hidup saya yang
saya masukkan ke daftar 'blocked sender.'

Tambahan lagi: saya rasa anda belum tahu bahwa milis ini bukan disediakan
untuk provokator, tapi untuk kegiatan diskusi yang sehat. Untuk milis
provokator, saya rasa lebih baik anda mencari milis-milis yang lain.
Walaupun saya tak setuju bahwa milis ini hanya ekslusif untuk mahasiswa
di US, tapi untuk anda saya bisa memberi perkecualian.


YS



Re: [Renungan] Peace: It's A Beautiful Sight To See

1999-12-16 Terurut Topik Yohanes Sulaiman

Wah-wah, masak milis Permias@ takut dengan provokasi? Sejak kapan provokasi

jadi barang haram? Seharusnya semua issue dibahas, biarpun berbau provokasi

atau tidak. Kalau peserta milisnya cukup cerdas, bahan yg berbau provokasi

tetap saja dapat dimasak menjadi masakan yang tidak berbau provokasi, dan
bersifat problem solving.

Ada perbedaan besar antara bahan-bahan provokasi dan provokator.
Bahan-bahan provokasi contohnya literatur komunis, buku agama
lain, dsb yang perlu kita pelajari agar tak terjebak kaum
provokator yang berusaha memanipulasi semuanya demi kepentingan
pribadi. Namun provokatorlah yang perlu kita hindari.

YS



Re: Tema

1999-12-16 Terurut Topik Yohanes Sulaiman

YS, terimakasih untuk masukkannya.

Tapi itu tidak memuaskan, karena inti masalah tetap belum terlihat.
Pertanyaan saya sebenarnya lebih mengarah untuk me-list perbedaan (apa yang

dimau-i pihak satu terhadap pihak lainnya) yang menjadi sebab utama
perpecahan. Kalau perbedaan sudah ter list dengan rapi, masing - masing
pihak akan dapat bertoleransi dan bertanggung jawab untuk menjaganya.

M. Suhendri:

Untuk mencapai perdamaian, pertama-tama perlu ada itikad dulu.
Jika untuk hal seremeh itu saja tak bisa ditemukan titik temu,
maka percuma kita berunding. Malah hanya akan memperburuk
keadaan. Hal itu yang ditemui Henry Kissinger dalam 'Shuttle
Diplomacy'-nya yang terkenal itu. Jika persamaan sudah ditemui,
baru kita berdiskusi tentang perbedaan. Jika kita hanya mau
tulis perbedaan dan hanya mengandalkan 'toleransi' saja,
itu sama seperti api dalam sekam; sedikit tambahan saja langsung
akan menyala lagi. Karena itu paling pertama perlu dicari
titik temu sebelum mendiskusikan tetek bengek yang lain.

YS



Re: Tema

1999-12-15 Terurut Topik Yohanes Sulaiman

Menurut YS penyebabnya adalah Provokator.

Pertanyaannya adalah :
Provokator yang mana ya ?
Kira - kira tujuan Provokator itu apa ya ?
Koq ya hebat sekali "pekerjaan" Provokator itu hingga saat ini sampai pada

tahap perang antara orang Kristen lawan orang Muslim (sudah bukan parsial
lagi)



Wah, anda menarik sekali nih.
Semua pikiran positif yang harusnya dibina kok dibalikkan
begini hmmm. dibulan puasa lagi

Bukannya di bulan puasa ini kaum Muslim perlu menyingkirkan
segala pikiran yang penuh angkara murka dan berusaha mendekatkan
diri kepada Allah? Di bulan puasa juga bukannya merupakan saat
untuk menyucikan diri dan berhati-hati akibat godaan iblis?
Atau adakah makna puasa lain yang saya tak tahu?

Begitu juga di hari Natal umat Kristen mengingat kedatangan
Tuhan Yesus sebagai penyelamat dan berusaha menjadi terang
di dunia dan berusaha menjadi pendamai? (Mungkin saya paranoid,
tapi saya yakin M. Soehendri akan menjelek-jelekkan paragraf
ini).

Justru dengan hari keagamaan yang sama seperti ini, umat
Kristen dan Islam ditantang sebagai pendamai, tapi kok anda
memikirkannya perang terus? Dari gaya bahasa anda kok
terlihatnya anda senang sekali menjelek-jelekkan umat Kristen
di Maluku? Saya justru jadi berpikir apa anda yang sebetulnya
provokator?

Yang lebih aneh lagi, dari semua yang saya tulis, yang dibalas
itu hanya provokatornya. Tapi soal perdamaian itu ditolak
mentah-mentah.

Mungkin anda yang perlu memikirkan ulang tema Natal dan makna
puasa kepada diri anda pribadi.

Kalau memang kaum Kristen (sebagai mayoritas) menginginkan perdamain dan
persatuan, mestinya mudah saja perang di Ambon dan Maluku selesai.

Apa anda punya ide yang menarik? Tentunya yang tak bersifat
asbun atau menjelek-jelekkan kaum Muslim dan Kristen.

YS



Re: Tema

1999-12-15 Terurut Topik Yohanes Sulaiman

Wah, anda menarik sekali nih.
Semua pikiran positif yang harusnya dibina kok dibalikkan
begini hmmm. dibulan puasa lagi

Menurut YS penyebabnya adalah Provokator.

Pertanyaannya adalah :
Provokator yang mana ya ?
Kira - kira tujuan Provokator itu apa ya ?
Koq ya hebat sekali "pekerjaan" Provokator itu hingga saat ini sampai pada

tahap perang antara orang Kristen lawan orang Muslim (sudah bukan parsial
lagi)

Oh, pertanyaan yang penting justru: kenapa M. Soehendri senang
sekali memecah belah massa. Kok ya hebat sekali pekerjaam
M. Soehendri itu hingga saat ini tak pernah berhenti-berhenti
menjelek-jelekkan satu golongan yang dia tak sukai, tapi kalau
balok di mata fraksi yang dia dukung tak pernah diutik-utik.
Itulah definisi PROVOKATOR.

Bukannya di bulan puasa ini kaum Muslim perlu menyingkirkan
segala pikiran yang penuh angkara murka dan berusaha mendekatkan
diri kepada Allah? Di bulan puasa juga bukannya merupakan saat
untuk menyucikan diri dan berhati-hati akibat godaan iblis?
Atau adakah makna puasa lain yang saya tak tahu?

Begitu juga di hari Natal umat Kristen mengingat kedatangan
Tuhan Yesus sebagai penyelamat dan berusaha menjadi terang
di dunia dan berusaha menjadi pendamai? (Mungkin saya paranoid,
tapi saya yakin M. Soehendri akan menjelek-jelekkan paragraf
ini).

Justru dengan hari keagamaan yang sama seperti ini, umat
Kristen dan Islam ditantang sebagai pendamai, tapi kok anda
memikirkannya perang terus? Dari gaya bahasa anda kok
terlihatnya anda senang sekali menjelek-jelekkan umat Kristen
di Maluku?

Yang lebih aneh lagi, dari semua yang saya tulis, yang dibalas
itu hanya provokatornya dan terlihat menyudutkan satu pihak.

Mungkin anda yang perlu memikirkan ulang tema Natal dan makna
puasa kepada diri anda pribadi.



Kalau memang kaum Kristen (sebagai mayoritas) menginginkan perdamain dan
persatuan, mestinya mudah saja perang di Ambon dan Maluku selesai.

Apa anda punya ide yang menarik? Tentunya yang tak bersifat
asbun atau menjelek-jelekkan kaum Muslim dan Kristen.
Lagipula: apakah anda sekarang di Maluku? Apa anda tahu secara
total sebetulnya apa yang terjadi? Kaum Muslim yang saya kenal
menyatakan A dan kaum Nasrani menyatakan B, dan saya berusaha
mendengar dari keduanya. Apakah anda hanya mendengar dari satu
sisi dan itu cukup?

YS



Re: Tema

1999-12-15 Terurut Topik Yohanes Sulaiman

Maaf yang tadi versi awalnya belum selesai sudah terkirim.

YS



Re: Tema

1999-12-15 Terurut Topik Yohanes Sulaiman

Justru saya sedang berpikir sangat bersih dan berpikir positif, meskipun
kalau dibaca begitu saja tanpa pemahaman mendasar akan cenderung provokatif.



Justru saya sedang berpikir bersih dan positif juga dan karena
anda membaca tulisan saya yang pertama-tama begitu saja tanpa
pemahaman mendasar akan cenderung lebih menekankan kepada
provokatornya daripada kepada keinginan orang-orang untuk
hidup dalam damai.


Semua pemeluk agama, jika mendalami dan menjalani agama nya (kembali ke
Kitab Suci) masing - masing dengan DIBANTU oleh para pemimpin agamanya, akan

dengan mudah tercipta perdamaian dan kerukunan.
Meskipun seluruh setan dan iblis menjadi provokatornya.

Para pemeluk agama walaupun sangat berbakti, tapi sayangnya
bisa juga dipengaruhi pemimpin agamanya yang terkadang lebih
menekankan ambisi pribadi dan menggunakan agama sebagai alat
ambisinya itu. Atau pemimpin agamanya bisa dikerjai oleh
provokator tertentu.

Tolong beri perhatian penuh pada alinea saya diatas.

Tolong juga beri perhatian penuh kepada seluruh isi tulisan
saya. Juga tolong beri perhatian penuh kepada kejenuhan
massa akan SARA sebelum berusaha memecah belah lebih lanjut.
Soalnya saya enggak heran kalau banyak anggota Permias sudah
jenuh melihat perpecahan dari jaman Suharto serta isu-isu
SARA yang tak kunjung habis. Lebih baik anda gabung ke milis
SARA Pasti banyak teman di sana.


Jika masih terjadi juga perang dan bunuh membunuh, harus diperiksa lagi
Kitab Sucinya, Pemimpinnya, Umatnya.

Mari seluruh anggota permias sama-sama memeriksa Alkitab,
Qur'an, Veda, Tripitaka, Tibetan Book of Dead, Egyptian Book
of Dead, kitab Zoroaster, kitab Mani, kitab Confusius, buku
Taoisme, kitab-kitab Shinto, serta ratusan kitab agama lain di dunia. Soalnya
semua umatnya juga masih terus perang dan bunuh
membunuh sehingga artinya kita harus memeriksa semua kitab sucinya.

Kita periksa juga Bill Clinton, Boris Yeltsin, Saddam Hussein,
Raja Fahd, Sharif dari Pakistan, Jiang Zemin, Dalai Lama,
para Ayatollah di Iran, Paus Yohanes Paulus II, serta semua
pemimpin agama lain; dan jangan lupakan juga Gus Dur, serta
semua kiai di Arab atau di Indonesia soalnya semua pemuka agama.
Juga para pastor, pendeta, dsb. Soalnya tiap hari juga masih
ada yang tukang todong dan bunuh orang.

Masih tertarik untuk melakukan 'inquisition?'




Itulah intinya.

Itulah juga intinya.

YS



Re: Tema

1999-12-15 Terurut Topik Yohanes Sulaiman

Jadi benarkan apa yang saya tulis.

Ada yang SALAH,

Seperti anda tulis dibawah bahwa pemimpin agama bisa dikerjai oleh
provokator. Pemimpin agama menekankan ambisi pribadi dan menggunakan agama
sebagai alat ambisinya.

Sekarang pertanyaannya Mengapa bisa ? Mengapa ? Bisa tolong dijelaskan.

Sudah anda jawab sendiri diatas.





Jangan lah saya dianggap memprovokasi, justru saya sedang mencari akar
masalahnya.

M. Soe,
Maaf kalau menyinggung, tapi terus terang saya sangat skeptik mendengar
anda mau mencari akar masalahnya. Sejak anda masuk milis ini, yang
saya dengar dari anda hanya sepatah kata seperti 'goblok' dan tak ada
sedikitpun perkataan dari anda yang menuliskan pemikiran atau penyelesaian
masalah. Sejak dulu kalaupun anda menulis, pasti berat sebelah dan cenderung
menghina satu posisi dan menutup mata kepada kesalahan tokoh-tokoh yang
anda dukung.Penulis-penulis lain seperti M. Wisesa, M. Irwan, Mme. Ida, dan
M. Jeffrey memang kontroversial di milis ini, tapi mereka menulis apa posisi
mereka dan kenapa mereka tak setuju dan ada analisa-analisa. Walaupun
sering kontroversial, tapi saya bisa melihat memang itikad mereka mencari
penyelesaian dan juga ada rasa terbuka mau menerima pendapat. Tapi kalau anda?
Saya pertama kali mendengar anda mau mencari akar masalahnya. Karena
itu maafkan kalau saya terus terang sangsi bahwa anda memang tujuannya itu.
Kalau Mme. Ida yang bertanya, saya akan berani berdiskusi dengannya karena
saya tahu pasti niatnya bagus. Tapi sayang saya tak bisa menyatakan hal yang
sama kepada anda mengingat 'record' anda di milis ini sudah berbicara sendiri.



Pikiran logis saya bilang bahwa kendali utama penyelesaian
masalah Ambon dan Maluku terletak di tangan umat Nasrani, tidak lain tidak
bukan. Umat Islam di Ambon itu kecil jumlahnya, janganlah dihabisi dan
ditindas, apakah salah mereka itu ?

Anda yakin? Atau anda hanya baca koran Republika lalu menyatakan diri
pakar masalah Maluku? Beberapa yang saya kenal yang Muslim menyatakan
bahwa ada orang-orang tertentu dari pulau lain yang datang memanas-manasi.
Yang Kristen juga menyatakan yang sama. Yang lain menyatakan yang
berbeda. Lalu bagaimana anda bisa menyatakan bahwa Republika yang pasti
benar?

Coba di bulan puasa ini berusaha intropeksi diri. Saya sendiri melakukan
hal yang sama pada bulan menjelang Natal ini.

YS



Re: Tema

1999-12-15 Terurut Topik Yohanes Sulaiman

Kepada anggota Permias:

Ini merupakan balasan terakhir dari saya mengenai diskusi ini karena
terus terang saya tak tertarik membahas masalah SARA yang tak akan
ada ujungnya. Saya akan layani kalau M. Soe mau meneruskan, tapi
terus terang saya lebih suka kalau masalah ini dianggap selesai.

Masalah SARA sama seperti masalah duluan ayam atau telur.
Penyelesaiannya adalah siapa orang pertama yang akan mengulurkan
tangan untuk berkata 'Saya adalah Saudaramu walau berbeda SARA.'
Terus terang diskusi dibawah ini sudah sangat panas, dan saya pertama-
tama minta maaf dulu kalau menyinggung saudara-saudara Kristen atau
Muslim di Permias ini.






Terserah anda lah menilai saya, di sini didalam Permias ini ada 560 orang,
saya yakin juga ada yang berpikiran sama seperti saya. Yang anda tulis
mengenai saya tidak juga benar, itukan kata Anda :-)

Terserah anda. Tapi dari record anda saya bisa melihatnya dan terus terang
anda bukan type orang yang saya anggap bisa diajak berdiskusi dengan
terbuka atau dengan rasional.


Kalau ada yang berdiskusi menyelesaikan masalah dengan "jawaban", maka tipe
saya adalah menyelesaikan masalah dengan "pertanyaan".


Orang yang bertanya tentang alam semesta adalah filsuf dan mereka berusaha
mencari kebenaran serta belajar dari alam semesta. Namun ada juga yang hanya
bertanya tanpa ada itikad mencari kebenaran. Yang mana yang merupakan
type anda? Hanya bertanya tanpa ada itikad mencari kebenaran namanya
bukan menyelesaikan masalah, melainkan memperbanyak masalah.

Bertanya juga ada batasnya, sampai dimana pertanyaannya itu tetap relevan.
Kalau pertanyaannya sudah tak berguna, sudah saatnya menutup
mulut.


Saya yakin apa yang saya "pertanyakan" di sini banyak benarnya.  Jika ada
yang tidak suka dengan "pertanyaan" saya, berarti "pertanyaan" saya itu
mengandung KEBENARAN dan coba untuk diingkari.


Pertanyaan memang perlu dijawab, tapi jika jawaban yang diberi pasti
selalu dibantah tanpa diberi kesempatan untuk dipikirkan dan ditelaah dulu,
apa bedanya saya berbicara dengan gagak?



Kembali ke permasalahan yang saya angkat, saya tanyakan khusus untuk YS,
dengan menggunakan pikiran dan akal sehat Anda, permasalahan yang ada di
Ambon, terlepas dari semua isu, kata orang, kata media dll.  Siapakah
yang dapat menghentikan inti permasalahan yang ada di Ambon KALAU BUKAN umat
Nasrani Ambon ?

Yang bisa menghentikan masalahnya adalah UMAT NASRANI DAN UMAT
MUSLIM. Jika keduanya tak mau terbuka dan berusaha menjabat tangan
masing-masing, tak akan ada penyelesaian. Percuma kalau umat Nasrani
mau berdamai tapi kaum Muslim tak mau, dan juga sebaliknya. Masalahnya
juga banyak provokator dari daerah lain yang memperburuk suasana.
Provokator mana? Pasti itu pertanyaan anda nanti. Jika anda
memang care masalah ini, tak ada salahnya anda juga meminta pandangan
dari pihak Nasrani di Ambon, tak hanya berpihak kepada satu sisi saja.

Pertanyaan anda sendiri sebetulnya mencerminkan pribadi anda:
hanya ingin enaknya saja, tak ada inisiatif untuk memecahkan masalah,
dan hanya menunggu pihak lain memberikan konsesi saja.




Mengapa tidak melindungi umat Islam ?, (dari serbuan provokator seperti kata
Anda) ... mengapa tidak menjadi benteng untuk orang lemah ? mengapa tidak
memperlihatkan ajaran Kasih Sayang ? Mengapa ?


Tak salah? Kaum Kristen di Maluku juga banyak yang dihancurkan rumahnya
sementara tentara tak memberi perlindungan. Kalau begitu, siapa yang korban?
Jawabannya: keduanya adalah korban.

Selain itu, bagaimana kalau saya balikkan pertanyaan ini:
Di Jakarta terjadi pembakaran tempat rehabilitasi para pecandu obat terlarang
yang diasuh oleh gereja. Warga sekitar menyatakan bahwa tempat rehabilitasi
itu adalah tetangga yang bagus, dan yang membakar datang dari daerah lain.
Namun, kenapa sampai sekarang anda tak mengkoar-koarkan hal ini di Permias?
Apa yang anda lakukan waktu gereja-gereja dibakar di tempat yang mayoritas
Muslim?  Apakah anda mau menjadi benteng untuk gereja-gereja yang dibakar?
Kristen itu minoritas di Indonesia, hanya dibawah 10%.
Tak bisa menjawab khan? Makanya, jangan hanya memandang kutu di
seberang samudera.

Saya dari sini tak tertarik mencari-cari siapa yang salah atau benar;
apakah kaum Muslim yang salah atau Kristen yang salah; karena
terus terang tak ada yang namanya 100% benar dan 100% salah
dalam SARA. Apakah gereja pasti benar? Ada pendeta yang
yang korup, tapi ada juga kiai yang berengsek. Tapi banyak pendeta dan
kiai yang benar-benar beritikad baik dan berusaha menjaga kerukunan umat.
Karena itu kalau anda memandang penyelesaian maslaah hanya dari agama,
itu salah besar. Banyak faktor lain selain agama, dan agama hanyalah sebagai
topeng.

Sebagai anggota Permias, apalagi yang belajar di US, kita harus belajar
melihat masalah tidak hanya hitam atau putih contohnya kalau si anu agama gue
pasti dia benar. Sebagai yang punya kesempatan di US, kita harus berpikir
lebih kedepan dan berusaha menyelesaikan masalah secara rasional dan
objektif. Jika kita belajar di US 

Re: Tema

1999-12-15 Terurut Topik Yohanes Sulaiman

YS bilang bahwa yang bisa menghentikan masalahnya adalah Umat Nasrani dan
Umat Muslim. Untuk menghargai pendapat ini saya berinisiatif untuk memulai
"menyelesaikannya".

Harapan saya adalah kali ini anda berusaha untuk tidak memihak dan memang
beritikad untuk menyelesaikannya. Saya menanggapi usulan anda ini
DENGAN SERIUS. Jika anda bermain-main dengan saya atau tak serius dengan
masalah ini, atau asbun, saya akan minta dengan formil anda untuk meminta
maaf kepada semua peserta milis PERMIAS dan mengundurkan diri dari milis ini.
Jika anda keberatan dengan syarat ini, e-mail langsung japri atau jarum dan
diskusi langsung saya putuskan dan saya anggap masalah selesai. Tapi jika
diskusi ini sudah berjalan, dan anda melanggar syarat saya, maka anda harus
melakukan yang saya minta di atas.


Saya meminta anda YS untuk menulis apa saja yang anda mau dari Umat Muslim
Ambon untuk menyelesaikan masalah ini. Setiap permintaan anda harus
beralasan atas sesuatu (mis : saya minta ini karena )

Masukan anda akan saya kirim ke "teman" saya di Ambon, paling tidak sebagai
ide dari anda.

Silahkan memulai :


Permasalahan terbesar untuk saya adalah saya tak tahu banyak mengenai
situasi dan adat istiadat di Maluku sehingga saya ragu kalau saya bisa
memberikan proposisi yang bisa berguna. Saya sendiri tak menganggap
diri saya sebagai juru bicara dari golongan manapun juga karena tak ada
yang memberikan mandat kepada saya.

Namun saya memberikan beberapa point yang saya anggap berguna dan
karena memang ini semua berdasarkan akal sehat.

1. Penghentian keributan oleh kedua belah pihak. Tak ada alasan bahwa
pihak itu dulu yang harus mulai; pihak yang mendapat surat ini perlu
langsung memberi isyarat kepada pihak lain tentang itikad mereka untuk
berdamai.
2. Tak peduli siapa yang mulai, yang penting kedua pihak mau duduk di bangku
perundingan dengan itikad yang memang baik.
3. Tak ada unsur dari luar. Semua yang ikut perundingan merupakan orang
Ambon yang memang sudah tinggal di Ambon paling sedikit 10 tahun.
Hal ini untuk mencegah elemen-elemen yang bisa mengeruhkan suasana.

Sekarang saya sedang menghubungi rekan-rekan saya yang di Maluku
dan saya harap saya akan menerima jawaban dari mereka secepatnya.
Saya harap anda juga bisa menghubungi rekan-rekan anda di sana.


YS



Re: Tema

1999-12-14 Terurut Topik Yohanes Sulaiman

Ada yang tahu tema Natal untuk tahun ini di Ambon dan Maluku ?
Thanks
Soe

Saya rasa pasti thema dari kaum Kristen di Maluku adalah
 untuk perdamaian dan rasa persatuan serta penghentian keributan
SARA. Saya rasa harapan umat Muslim di Maluku juga adalah
harapan untuk perdamaian dan kerukunan yang telah hilang
akibat provokator yang senang memancing di air keruh.

Saya rasa di bulan puasa dan Natal ini, para umat beragama di Maluku
akan berusaha berpikir ke arah positif kepada orang lain dan ke umat
agama lain. Mereka juga pasti lebih berhati-hati karena banyaknya
godaan yang menanti di bulan puasa dan Natal yang disebabkan iblis
yang pasti terus berusaha menanamkan benih-benih perpecahan
kepada semua orang. Apalagi karena kita mendapat hari raya agama
yang bersamaan, pasti iblis bekerja jauh lebih keras dari biasa, karena
biasanya cuma mengganggu satu agama, sekarang harus sekaligus
keduanya.



Re: Berita Ngawur (Bila' dua Bill di KTM WTO Seattle

1999-12-07 Terurut Topik Yohanes Sulaiman

M. Anjasmara,

Perkenankan saya memberi sedikit kritik.

Mas Syamil, saya jelas sudah dengar Microsoft dipecah.  Cuma usaha
pengakuisisian perusahaan yg berhubungan dengan penguasaan informasi masih
jalan terus tuh. Hotmail aja sudah jadi milik MSN. Semua perusahaan kecil yg
bagus dan berpotensi sudah dibeli dengan gampang oleh sang raksasa.

Hotmail dibeli Microsoft sebelum keputusan anti-trust.
Namun, walaupun hakim sudah menyatakan bahwa Microsoft adalah sebuah
'trust', tapi keputusan untuk memecahnya belum keluar. In fact, pengadilan
justru sekarang sedang mempertimbangkan untuk menyelesaikan masalah
ini melalui moderator, jadi tak melalui jalur legal yang konventional.
Jadi sampai sekarang Microsoft secara de-facto belum dipecah. Pemecahan
Microsoft sendiri kalaupun dilakukan akan cukup menggoncang stock market
sehingga pemerintah US untuk hal ini sangat berhati-hati.


Basically, Bill Gates sekarang telah mampu menjadi seseorang yg menjadi
musuh James Bond di film-film 007 itu. Untuk menghancurkan suatu negara
tertentu saat ini sudah banyak sekali cara alternatif. Seperti penghancuran
Sovyet melalui Saudi dengan oversupply minyak (antara lain),

Selama saya mempelajari sejarah kehancuran USSR, saya tak pernah menemukan
teori ini. Kebanyakan para ahli berpendapat kehancuran USSR adalah akibat
stagnasi (Gregory Sunni), ineffisiensi (David Remnick), atau karena memang
sejak dulu sistem komunisme memang sudah 'ditakdirkan' untuk hancur karena
memang komunisme tidak mungkin bisa dilaksanakan (Martin Malia).
(Yang di dalam kurung adalah teoris tentang USSR).



atau yg
sekarang populer adalah IMF yg telah menjadi polisi dunia yg berhak menyuruh
negara tertentu untuk nungging, untuk meloncat, tanpa banyak cingcong akan
dituruti tuh. Apa Mas Syamil punya komentar mengenai komentar Camdensus
bahwa IMF yg ngerjain Suharto? Padahal Suharto sendiri dulu juga bilang
bahwa kekuatan asing yg menggusurnya, bukan mahasiswa. Apa ada yg mau bilang
Mahathir hanya seorang paranoid?

Bagaimana kalau teori ini:
M. Suharto tak mau mundur. Tapi ketika dia mau membentuk kabinet baru, dan
ternyata
menteri-menteri semua memilih bekerja dibawah M. Habibie, dia mengamuk,
tapi juga
sadar bahwa 'the game is up' dan mengundurkan diri.


Yah, kenapa AS membuat aturan monopoli apa hanya melihat dari segi ekonomi?
APa hanya agar perusahaan lain hidup? AS sangat sadar dengan potensi
pengusaha yg dapat mempunyai kemampuan lebih besar dari presiden AS sendiri.
Untuk itulah perusahaan yg terlalu besar juga perlu dipotong.

Dalam political science, hal ini memang banyak diperdebatkan, apakah satu
perusahaan
bisa memiliki power setinggi pemerintah dan akhirnya bisa mendongkel
pemerintah sendiri.
Contohnya saja waktu penggusuran presiden Chile tahun 1970-an yang diduga
didalangi
salah satu perusahaan multinasional di US. Tapi kebanyakan konsensusnya justru
menytakan bahwa perusahaan tetap tak bisa mengalahkan pemerintah.
Walaupun satu perusahaan sudah terlalu besar, tapi kalau pemerintah memutuskan
untuk menutup perusahaan itu, perusahan itu sendiri tak punya kekuasaan untuk
menentang pemerintah. Anti-Trust itu pada dasarnya adalah usaha pemerintah
untuk menyeimbangkan 'playing level' di bisnis dan memperjuangkan kompetisi
yang
akan terus memberikan kreativitas dan menjaga agar konsumen tak dimonopoli dan
akhirnya membayar harga yang mahal dan service yang ineficient.



Pertemuan WTO memang basically adalah pemasungan negara-negara berkembang.
Semua dirayu untuk masuk dengan berbagai bujuk rayu dan ancaman tersembunyi.

Hal ini masih diperdebatkan karena conflict of interest di US sendiri
memang tinggi.
Tapi tariff sendiri dipertanyakan efektivitasnya sebetulnya. Mungkin
ekonomist di
Permias bisa berkomentar lebih jauh?


Anyway, hanya segini komentar saya. Saya minta maaf kalau ada yang
menyinggung.
Terima kasih. BTW: sudah selesai buku 'Kisah Tiga Negara'nya? :-)

YS



Indonesia Generals To Avoid Charges

1999-12-07 Terurut Topik Yohanes Sulaiman

December 7, 1999


Indonesia Generals To Avoid Charges

Filed at 11:03 a.m. EDT

By The Associated Press

JAKARTA, Indonesia (AP) -- Indonesia's top generals will escape prosecution
for

murders, torture, rapes and other atrocities committed by their troops during
more
than three decades of authoritarian rule, the defense minister said today.

Juwono Sudarsono, Indonesia's first civilian defense minister in nearly half a
century,
also warned that the military could seize control of the world's fourth most
populous
nation, perhaps within months, if newfound democracy does not take hold
across
the sprawling archipelago.

``We can't go up into the high ranks as they were just carrying out state
policy,''
he said.

Sudarsono said the first trial of soldiers charged with atrocities in the
strife-torn Aceh
province would start within a week.

He said only five cases would be brought before a joint military-civil court,
despite
claims by state investigators that the military committed about 4,000
separate
incidents of human rights abuses during a 10-year campaign to suppress Aceh's
separatist insurgency.

``Only five cases would be enough to make the Aceh people believe there is
justice,''
Sudarsono declared.

Guerrillas in Aceh have waged a bitter, decade-long war against Indonesian
rule
in
which at least 5,000 people have died. Secessionist sentiments and demands for
an
independence referendum have increased dramatically since East Timor broke
away
from Indonesia in October.

Indonesian soldiers and police went on a rampage in Aceh today after an
unidentified
assailant killed a policeman and wounded another, witnesses said.

The two officers were stabbed while shopping in Peureulak, a district town
about
25 miles west of Langsa, the capital of East Aceh, said Nurmi M. Ali, a
student

volunteer helping refugees at a mosque in the town.

One policemen died instantly and the other was hospitalized, he said. A
police
spokesman, Maj. Said Hussein, confirmed the stabbings.

Soldiers and policemen who arrived on the scene after the stabbing rounded up
all men at a mosque, Nurmi said. They beat them and shot randomly at shops
and passing cars, he said.

Reports of Indonesian troops committing numerous atrocities have fueled
secessionist demands. The Acehnese also accuse the central government in
Jakarta of shortchanging the province of its fair share of the revenues from
the
lucrative oil and gas industry.

Many analysts believe that if Aceh breaks away, other disaffected regions and
islands in the far-flung archipelago could follow.

While Indonesia's new reformist government appears unwilling to take on the
powerful military directly, the United Nations is considering establishing a
war
crimes tribunal to try top generals for atrocities in East Timor.

The half-island territory was ravaged by Indonesian troops and their militia
proxies after the people voted overwhelmingly to secede from Indonesia in
a U.N.-sponsored referendum in August.

Sudarsono said he met Monday with Sonia Picado, head of the U.N.
human rights inquiry in East Timor. The panel will present its findings to
Secretary-General Kofi Annan, who must decide whether the scale of
atrocities warrants the creation of a war crimes tribunal similar to those
for Rwanda and the former Yugoslavia.

``I leave it to them to decide on the degree of culpability for alleged human
rights abuses before, during and after the referendum,'' he said.

Since seizing power after crushing what it claimed was a communist coup
in 1965, the Indonesian military has been a law unto itself and critics of
the
army were often imprisoned or killed.

Historians estimate that as many as 500,000 people died in an anti-Communist
purge in the late 1960s.

During the 32-year reign of former President Suharto -- himself a five-star
general --
several Indonesian provinces were run as virtual military fiefdoms and the
army

employed mass repression to control local populations.

In another development, Indonesia's attorney general has reopened an
investigation
into allegations that Suharto had illegally amassed a fortune for himself and
his
family.

Even so, new President Wahid has promised to pardon Suharto for any
wrongdoing.


Sudarsono said the government would try to reduce, but would not be able to
eliminate, corruption within the military, which operates hundreds of
commercial
businesses to bankroll its activities without government oversight.

``We cannot get rid of corruption,'' he said.

Sudarsono told a business conference that while there was talk of democracy
at
a national level, military representatives remained the highest and
unquestioned
authority in hundreds of thousands of villages across Indonesia.

He said civilian leaders must try to encourage democracy to take hold at
a grassroots level or ``sooner or later the military will come back in full
force
and take over from civilian control,'' Sudarsono warned.

He said this could happen ``within months or years.'' He also 

Fwd: EDF_Action_Network alert: Protect Non-Polluting Bicycle Rickshaws and Human Rights in Indonesia

1999-12-03 Terurut Topik Yohanes Sulaiman

Ini bahan pemikiran akhir minggu:
Kita setiap membaca koran pasti dibombardir bahwa becak itu jelek dan tak
berguna serta mengganggu tata tertib kota. Namun para environmentalists
di US tak berpikiran demikian. Mungkin ada yang mau berkomentar tentang
topik ini? Soalnya walaupun ini hanya soal 'becak' tapi saya rasa cukup
menarik untuk didiskusikan apalagi buat yang mau berusaha 'mengubah'
Indonesia dari cara berpikir orde lama. Apalagi buat yang akan pulang
dari Amerika: apakah sudah siap melihat becak kembali? :-)

YS


Here's what this alert is about:

Protect Non-Polluting Bicycle Rickshaws and Human Rights in Indonesia
--

TO: All Environmental Defense Activists
FROM: [EMAIL PROTECTED] and [EMAIL PROTECTED]
RE: Protect Non-Polluting Bicycle Rickshaws and Human Rights
in Indonesia

Dear Friends:

A tragedy is unfolding in Indonesia, threatening human
rights, the regional and global environment, and the poor. A
non-polluting transportation system that provides jobs for
low income people and safe travel options especially for
women is under threat in Jakarta. But you can act today to
help Indonesian workers and communities defend their city's
8,000 bicycle rickshaws, also called becaks.

Thanks to rising dependence on motor vehicles world-wide,
transportation is the fastest growing major source of
greenhouse gas emissions. The Netherlands and Japan have
demonstrated how -- by supporting alternatives to fossil-
fueled motor vehicles such as bicycles -- modern
transportation systems can boost equitable access to jobs
and curb pollution. But some countries, such as Indonesia
are choosing to suppress these poverty reducing and
environmentally friendly alternatives.

After the overthrow of Indonesia's  corrupt Suharto regime,
the past year saw a revival of the use of bicycle rickshaws
in Jakarta. Prior to the Suharto-era rickshaw ban in 1988,
there were over 100,000 cycle rickshaws operating in
Jakarta. Bicycle rickshaws provide jobs for poor people and
inexpensive non-polluting taxi services in low and moderate
income areas. Many women travelers favor cycle rickshaws
because they offer protection from being groped on buses. To
spur purchase of highly polluting motor vehicles made by
Suharto-owned factories, the government seized 40,000 cycle
rickshaws and dumped them into the sea to replace coral
reefs destroyed for construction fill. Many rickshaw drivers
were forced to relocate to cut and burn the Indonesian
rainforest for marginal farms and ranches as part of the
government's 'transmigration program.'

The recent changes in Indonesia's political climate over the
past year saw the declining enforcement of the rickshaw ban.
Estimated 8000 cycle rickshaws have now returned to
Jakarta's streets but their status remains officially
illegal under Bylaw 11/1988. Environmental and social
justice groups have rallied to repeal the ban. The new
Indonesian President was expected to ride in a cycle
rickshaw at a Jakarta rally last week of 5000 supporters of
the cycle rickshaws. Instead, he and the Governor of Jakarta
called on the City Council to maintain the ban on cycle
rickshaws and to begin a new crackdown at once.


International support is needed now to help restore non-
polluting, affordable travel options in Indonesia. Edit
the letter below into your own words and send it by
email to the special e-mail box ([EMAIL PROTECTED])
set up in Indonesia to deliver this message to the
Indonesian President and the Governor of Jakarta.
As you know, by simply replying to this message Action
Network delivers your letter to the right target.


--

INSTRUCTIONS TO RESPOND VIA THE WEB:
If you have access to a web browser, you can take action on this
alert by going to the following URL:

  http://actionnetwork.org/take-action.tcl?key=59116A3928B944218416C70443

You must include the whole letter in your response starting with
"-YOU MAY EDIT THE LETTER BELOW-" and ending with "-END OF LETTER-".

We STRONGLY encourage you to make edits directly to our sample letter
below, and put the alert talking points into your own words. An
individualized letter is worth ten computer generated letters. Of
course, hundreds of unedited letters will still create a large impact,
so please reply even if you don't have time to personalize the letter.

Your letter will be addressed and sent to:
President Abdurrachman Wahid


---YOU MAY EDIT THE LETTER BELOW-


We deeply appreciate your long-held concern for Indonesia's
poor and strongly support your efforts to bring about a more
democratic, free, and environmentally friendly Indonesia.
We are concerned, however, by your recent call for the
continuation of the ban on bicycle rickshaws or becak. This
ban causes great hardships for becak drivers and passengers
alike, many of whom are among Jakarta's urban poor.  The ban
not only harms the poor, abrogating their basic human
rights, but also contributes to national, regional, and
global environmental 

Re: [Re: Serius dulu ah...(Re: Federasi?)]

1999-11-13 Terurut Topik Yohanes Sulaiman

M. Rizal,

I:
Chamber of commerce yang ada di setiap kota/state bukannya untuk mengontrol
perdagangan setiap businessman yang ada disitu yah??. Dan bukannya kontrol
yang diberikan Chamber of Commerce di dasari oleh ketentuan dari Washington?
Jadi kalau yang saya pikir diatas itu benar, menjawab pertanyaan Jeffrey,
kalau negara2 bagian engga' bisa sembarangan dagang dengan negara
tetangganya,
sperti California dagang dengan Mexico atau Washington state, Oregon dagang
dengan Canada. Kalau kalau ini terjadi bisa di fine perusahaan dan state-nya
karena berdagang tanpa ijin pemerintah pusat.
atau mingkin di"boikot" dengan negara2 bagian lainnya...?.

Bukan hanya boikot, tapi perdagangan itu juga tidak memiliki legitimasi,
sehingga
kontrak yang terjadi pun kalau tak diikuti tak akan ada konsequensinya karena
ini sudah bersifat 'pasar gelap.'



I:
Mengenai pemerintah pusat hanya, tarik pajak untuk jaminan keamanan, itu juga
engga' sepenuhnya benar.

Saya tak menyatakan hal diatas yakni pajak hanya untuk jaminan keamanan.
Kalau begitu apa beda negara dengan mafia
Entar gubernur-gubernur perlu cium cincin presiden lagi :-)


Setahu saya uang2 hasil pajak itu khan dialokasikan oleh pemerintah pusat
untuk project2 federal (proyek militer, NASA, dll), untuk project state
(pembangunan Interstate Roads, rail track, maintain jails, dll), juga untuk
tempat yang di declare emergency (kebakaran, flood, dll), selain untuk
retirement plan (401K), Social Security Fund, Medicare, disability funds dan
social service-social sercive yang lain. Plus uang tersebut ak akan dipakai
untuk mengaji federal officer (FBI, CIA, Justice Court) dan untuk ngurusin
Federal cases (Microsoft, dll).

Yang anda katakan di atas itu benar, walau masih ada lagi sebetulnya. Tapi
overall ya memang itu. Kalau harus dituliskan semua, entar ini jadi milis
tata negara :-)



Dan untuk menaikan Federal Tax, kalau engga' salah(?), juga diadakan poll
national untuk mengetahui pendapat rakyat.

Referendum ini biasanya dilakukan di negara yang mengikuti azas demokrasi
langsung
seperti Swiss. Kalau US, senat dan reps sudah dianggap mewakili semua
rakyat, karena
itu keputusan mereka tak perlu lagi dihadapkan kepada referendum. Palingan
entar
kalau pemilu, kalau rakyat semua sebal sama senat, mereka akan diganti
semua... :-)


kalau salah maapin aje. Mohon koreksinya...

Tak ada yang 100% benar dan tak ada juga yang 100% salah. :-)
Tanggapan anda juga bagus dan saya sangat hargai. Terima kasih sekali
atas perhatian anda kepada tulisan saya.


YS



Re: Serius dulu ah...(Re: Federasi?)

1999-11-12 Terurut Topik Yohanes Sulaiman

At 04:56 PM 11/12/99 -0500, you wrote:
Mbak, sebelum berlanjut bisa nggak memberi tulisan singkat mengapa anda
menyebut Lenin mengkhianati Marx? Mengapa tulisan Lenin dibreidel oleh
Stalin yang sebetulnya malah anak emasnya? Lalu apa pula bedanya dengan
paham Trotsky yang akhirnya dibunuh Stalin itu? Sekalian mungkin anda bisa
tulis apa bedanya dengan Maoisme.

Mungkin diskusi ini sebagai awal dari diskusi paham kapitalisme yg
sebetulnya lumayan terbuka.

Mungkin Bung YS juga dapat menjawab. Oya, saya punya hutang buku tentang
Kisah Tiga Kerajaan itu. Buku sudah datang, baru 10 halaman membacanya tapi
sudah kehabisan tenaga dan waktu. Habis 500 halaman dan kecil bener ya
hurufnya.:)



M. Anjasmara,

Karena Mme. Mandica yang menulis bahwa Lenin menghianati Marx, maka saya
rasa ini pertanyaan untuk dia. :-)

Tapi untuk yang 'Mengapa tulisan Lenin dibreidel oleh Stalin yang
sebetulnya malah
anak emasnya?' itu sebetulnya kurang tepat. Soalnya Stalin bukan anak emas
Lenin;
diakhir hidupnya Lenin justru menulis untuk memperingatkan Trotsky agar
berhati-hati
kepada Stalin. Surat wahasiat Lenin juga dibaca di inner circle politbiro
dimana isinya
dia mengecam Stalin. Namun dalam wahasiatnya juga Lenin mengecam semua tokoh
partai yang lain, sehingga keputusannya adalah lebih baik surat itu tak
diedarkan.
Lagipula Lenin waktu itu kondisi pikirannya sudah sangat payah dan Stalin
sendiri
sudah sukses besar dalam membentuk lobby dia di politbiro.

Terus terang pertanyaan terakhir anda yakni 'Lalu apa pula bedanya dengan
paham Trotsky yang akhirnya dibunuh Stalin itu? Sekalian mungkin anda bisa
tulis apa bedanya dengan Maoisme' sangat panjang sekali jawabannya. Mungkin
bisa diringkas atau diarahkan sedikit? Tapi intinya untuk perbedaan komunisme
Russia dan China terletak pada fokusnya; Russia lebih ke arah buruh pabrik,
dan
China lebih menekankan revolusi dari perdesaan/agriculture.


YS



Re: Serius dulu ah...(Re: Federasi?)

1999-11-12 Terurut Topik Yohanes Sulaiman

M. Anjasmara,

Senang sekali saya bahwa anda berminat ikut dalam diskusi kita yang
menarik ini. Saya benar-benar menghargai pemasukan anda.


Point penting:
- pengelolaan SDA tidak harus semua di bawah state vs.
  semua dikelola state.

Point ini yang sudah saya tekankan di tulisan terakhir saya bahwa
faktor yang benar-benar strategis dan penting perlu dikuasai oleh pusat.


- pajak apa saja yg bisa ditarik oleh federal dan berapa persenkah?

Federal bisa menarik pajak yang besarnya ditentukan Congress. Hak ini
sudah diatur dalam US Constitution. State biasanya menarik pajak tambahan
lagi. Kalau anda bekerja di US, anda akan melihat di form W-2 anda tulisan:
federal income tax dan state tax. Beberapa wilayah memiliki city tax tapi
ini jarang sekali. Biasanya untuk bisnis. Selain itu ada juga federal tax buat
social security yang percentagenya fixed.


- bisa diperinci apa saja pajak yg dapat ditarik state?

Untuk perincian, saya rasa saya kurang berkualifikasi di bidang ini.
Tapi secara garis besar, biasanya  membeli barang (sales tax), tol,
gaji, homeowner, dsb.


- bila suatu state merasa mampu berdiri sendiri, apa konsekuensinya
  bagi bentuk federasi itu? Langsung putus begitu saja?

Untuk bisa berpisah dari federasi, perlu persetujuan dari pusat dan state.
Waktu peristiwa Civil War 1861-65, pemerintah federal menolak keras kepada
usaha state untuk memisahkan diri sehingga terjadi perang.


Point di atas penting mengingat kesan yg didapat bahwa federal hanya
memajaki saja, tanpa memberi servis lain kecuali pemberian rasa aman
(pertahanan, tentara). Dengan anggaran belanja pertahanan yg kecil, maka

pemberian rasa aman sebetulnya tidak pas. Tidak akan mampu menjaga dari
ancaman dari luar.

Untuk negara sebesar US atau India, federal gov't memiliki anggaran yang cukup
besar dan cukup untuk membiayai angkatan perang. Dalam keadaan darurat,
federal government berhak menjual US bonds (obligasi) untuk membiayai perang.
Hal ini contohnya di Perang Dunia II.

Apalagi kalau state itu lalu bertindak cerdik, lalu
membuat hubungan perjanjian damai dengan negara lain. Anda bilang hub LN
urusan pusat, tetapi kan lewat hubungan dagang secara langsung juga dapat
dipakai untuk membina hubungan keamanan?

State memang bisa menjalin hubungan dagang, contohnya California menjual
agricultural product ke China, tapi hubungan dagang ini ditentukan oleh
perundingan
yang sudah dilakukan oleh pemerintah pusat. Jadi state hanyalah mengikuti
guidelines
saja. Jadi dalam perdagangan internasional, biarpun anggur dari
Californiayang dijual
ke misalnya China, tapi tetap negara asalnya dari US.

Untuk hubungan politik seperti perjanjian damai, state tak berhak
melakukannya,
karena state tak memiliki pengakuan de-jure dari negara-negara lain. Karena
itu
state tak bisa menjain perjanjian damai dengan negara lain karena negara lain
tak akan merasa state memiliki legitimacy jadi otomatis illegal.



Disebutkan pula bahwa di AS state-state tersebut enggan untuk memisahkan
diri dari union karena sudah ada agreement dengan federal sehingga tidak ada
konflik interest. Masalahnya, SDA di AS lumayan terbagi rata. Semua punya
bahan untuk digali, dan juga hampir semua punya produk unggulan. Belum lagi

sifat dari perekonomian itu sendiri, di mana hubungan antar state bisa lebih
murah (dengan moda darat bisa dilakukan).

Faktor-faktor yang anda sebutkan diatas memang mendukung persatuan dalam
US. Tapi kalau soal pembagian sumber daya alam, US dan Indo sebetulnya juga
hampir
sama dari segi diversifikasinya. Texas memiliki banyak minyak, sedangkan
Iowa hanya
punya jagung dan Wisconsin hanya punya sapi. :-)
(Generalization of course).

Tapi perbedaan US dengan Indo terletak dari faktor check dan balance
seperti menurut
pendapat Mme. Ida, negara-negara bagian di US relatif memiliki posisi cukup
kuat dalam
federasi berhubung sistem senatnya. Dari sejarah juga, imigran US yang ke
barat
kebanyakan berasal dari Timur dan perlahan-lahan bergerak ke barat
sehinggak sampai
sekarang misalnya dosen saya yang di Wisconsin memiliki sanak saudara di
California
sedangkan yang di California memiliki sanak keluarga di Massachussets. Jadi
hubungan
tiap daerah cukup kuat.

Selain itu tak seperti di Indonesia dimana penduduk lokal merasa 'ditekan'
oleh pusat
(contohnya Timor Timur) karena sistem sentralisasinya; di US karena lokal
memiliki
perwakilan yang tak berdasarkan KKN, hubungan pusat dan daerah tidak parah.



Kalau di Indonesia, hubungan
dagang antara NTT dengan Kalbar misalnya, bisa jadi jauh lebih mahal (tidak
ekonomis), sehingga Kalbar lebih senang menyalurkan produksinya ke Malaysia.
Lalu apa yang terjadi dengan wilayah lain yang membutuhkan produk tersebut?
Belum lagi produknya yg rata-rata cuma produk pertanian, yang bisa didapat
lebih murah dari LN. Toh sama-sama harus lewat laut dan udara.

Soal ini mungkin lebih baik berdiskusi dengan M. Irwan, habis dia yang
ekonomis,
sedangkan saya dan Mme. Mandica khan political scientists... :-)

Tapi saya akan 

Re: Serius dulu ah...(Re: Federasi?)

1999-11-11 Terurut Topik Yohanes Sulaiman

Mme. Ida,

Maaf kalau menggangu, tapi saya ingin meluruskan sedikit tulisan anda yang
saya rasa agak kurang benar, terutama tentang sebagian detail-detailnya.
Walau secara keseluruhan, saya rasa tulisan federalisme ini sudah bagus.




Defenisi sederhana federalisme adalah paham pembagian kekuasaan antara
pemerintahan nasional, propinsi (state) dan lokal.  Pembagian kekuasaan ini
kemudian disebutkan sebagai sistem pemerintahan federasi or a federal
system. Ada dua karakteristik dalam sistem federasi.  Pertama:  masyarakat
memilih pegawai pemerintah untuk menjalankan tugas-tugas kenegaraan
ditingkat nasional, propinsi dan lokal, namun kewenangan dari setiap level

pemerintahan terletak pada masyarakat.  Kedua:  setiap level pemerintahan
mencari dan menciptakan sumber-sumber keuangan dengan koordinasi
pemerintahan nasional.

Jangan lupa: yang dipilih bukan semua pegawai, melainkan hanya pemimpinnya
seperti mayor, leutnant Gov't, Governor, assembly, dan akhirnya wakil ke
Senat.
Mengenai sumber keuangan, state memiliki kebebasan untuk menarik pajak
sendiri dsb, tapi federal gov't juga memiliki kewenangan untuk menarik pajak
sehingga ada state dan federal tax yang diurusi oleh biro yang berbeda.
Federal gov't diurus oleh 'notorious I.R.S' dan state diurus oleh
Department of
Revenue. Tak heran kalau di Wisconsin state tax hanya 5.5% kalau membeli
barang, sedangkan di California pajaknya 8.5%.


Idea pembagian tugas pemerintahan tiga level ini dengan dua karakteristik di
atas adalah untuk mencegah terjadinya konsentrasi pemerintahan satu tingkat
yakni nasional.  Hal ini juga dimaksukan untuk mencegah penindasan
pemerintahan tertinggi terhadap sub pemerintahan.  Di Amerika konsep
pembagian kekuasaan tiga level disebut juga sebagai sistem pemerintahan
"checks and balances"  Selanjutnya, untuk national level,  pemerintahannya
dibagi dalam tiga cabang: eksekutif, legeslatif, dan yudikatif.

Trias politika atau checks and balances lebih berfokus kepada pembagian
kekuasaan antara executive, legislative, dan Yudikatif bukan kepada pembagian
tugas. Federalism bukan check and balance.


Pembentukan negara federasi itu tidak dapat terjadi begitu saja.  Ada dua
theory yang berkembang sejak diajukannya konsep ini di abad ke 18.

Pertama: federasi yang terjadi melalui ratifikasi setiap propinsi atau
negara-negara bagian untuk masuk sebagai bagian dari negara federasi. Ketika
mereka mendaftarkan diri sebagai anggota, maka state itu menyatakan beberapa
peraturan yang akan mereka lakukan ditingkat propinsi dan lokal.  Ini
terjadi North America.  Proses terjadinya negara federasi di AS misalnya
memakan waktu bertahun-tahun.  Pertama kali dikumandangkan pada tahun 1776

oleh Virginia dan North Carolina dan baru terbentuk pada tahun 1784 dengan 8
negara anggota.  Kemudian pada 1790 menjadi 10 anggota.  President pertama
terpilih pada tahun 1987, George Washington.  Ibu kota sementara negara
federasi ini adalah New York. Bendera pertama dikibarkan pada tahun 1777.
Amerika Serikat menjadi 50 negara bagian setelah hampir setengah abad
berdirinya negara federasi.

Jangan melupakan faktor sejarah:
-George Washington sudah meninggal tahun 1987... :-)
-Ibukota pertama US di Philadelphia, bukan New York.
-Alaska dibeli US tahun 1860-an, US menjadi 50 negara bagian setelah Hawaii
bergabung
ke US tahun 1976 (kalau tak salah).
-Mengapa US pertama berdiri bukan 50 negara bagian? Ini karena alasan
sosial dan
politik juga, terutama karena perang. 13 negara bagian dulu tak cepat-cepat
menyatakan
merdeka karena pasukan Inggris yang masih bercokol. Louisiana (yang ini
dari New
Orleans sampai perbatasan Canada) dulu dimiliki Perancis sampai dijual ke
US untuk
membiayai perang Napoleon ditambah karena kemarahan Napoleon kepada
pemberontakan
di Haiti. Selain itu, wilayah barat US dan Florida dulu dikuasai
Mexico/Spanyol. Akuisasi
US kepada wilayah yang dibarat baru dilakukan setelah banyak imigran dari
timur yang
pindah ke barat sehingga feasible untuk dibentuk negara-negara bagian baru.

Congress menetapkan peraturan dimana negara-negara bagian baru ditentukan oleh
batas wilayah (yang sudah ditentukan kongres) dan banyak penduduk sebelum satu
wilayah berhak mengajukan diri sebagai calon 'negara bagian.' Karena sistem
'pengotakan'
ini maka kalau kita perhatikan peta US sekarang, banyak negara-negara
bagian di daerah
Mountain atau Midwest berbentuk kotak atau dibatasi sungai. Penggabungan
mereka juga
subject kepada persetujuan congress, yang kita lihat pengaruhnya tahun
1850-an ketika
congress memutuskan 'Missouri line' yakni semua negara bagian baru diatas
garis perbatasan
selatan Missouri menjadi 'non-slave' dan yang dibawah menjadi 'slave state'
untuk memberikan
perimbangan kepada pembagian kekuasaan antara negara bagian yang pro dan
anti slavery.

Argumen saya adalah: ratifikasi lebih banyak dengan persetujuan pemerintah
pusat dibandingkan
dari negara bagian sendiri. COntohnya sampai sekarang adalah Puerto Rico
yang statusnya
mengambang.


Kedua: 

Re: Serius dulu ah...(Re: Federasi?)

1999-11-11 Terurut Topik Yohanes Sulaiman

Mme. Ida,

Terima kasih atas tanggapan anda kepada tanggapan dari saya.
Terus terang, saya agak pangling soalnya tanggapan anda penuh
senyum

Tapi kembali ke diskusi kita yang menarik ini:


:) Thank you but you mixed your opinions.

Saya rasa tidak. Biarpun saya tak sependapat kepada semuanya,
tapi kalau tulisan anda memang bagus, saya terus terang akan
menyatakan bahwa itu bagus. Setiap orang memiliki ide dan
pandangan sendiri, dan siapa saya sehingga saya berhak
menyatakan satu pendapat itu salah total atau jelek sementara
saya sendiri masih perlu terus belajar?

Tapi terus terang memang banyak ide kita yang sama sehingga
saya hanya bisa memberi komentar sedikit.

 Tax
yang dialokasikan ke federal, ke state, county, and city.  Nah untuk tiga
tax terakhir ditentukan oleh state, sementara tax federal ditentukan oleh
wakil-wakil state and district bersama eksekutif di federal level.

Terima kasih untuk memperjelas tulisan anda. Saya rasa kita
memang sependapat di soal ini. Jadi tak ada argumen tambahan
dari saya.


:) Trias politika adalah micro defenisi dari the whole
government.  Trias politika oleh Montesque adalah "check and
balance" politik di tingkat federal, sementara konsep
federalism adalah "check and Balance" untuk pemerintahan di
tingkat National, State, dan Lokal. Bahwa state dan lokal
memiliki hak dan kewajiban dibatas jurisdiksinya yang tidak
diintervensi oleh pemerintah federal.

Jika kita mengikuti teori, sebetulnya pemerintah pusat sendiri
dibatasi bukan oleh state, melainkan oleh penduduk state yang
diwakili oleh anggota di senat dan representative. Jadi secara
otomatis trias politika di tingkat federal sendiri sudah
merupakan 'check and balance' dari state. Jika
mengikuti pendapat anda bahwa individual state yang mengadakan
check kepada pemerintah pusat, maka pertanyaannya adalah apakah
jika state tak setuju kepada pemerintah pusat, state bisa
melepaskan diri dari union?



Yohanes:
Jangan melupakan faktor sejarah:
-Ibukota pertama US di Philadelphia, bukan New York.

:) New York adalah ibukota sementara pertama (see the History of the US).

Terima kasih untuk mengingatkan saya. Soalnya seingat
saya tak pernah ibukota US ada di New York. Congress US
sejak dulu ada di Philadelphia sampai pindah akhirnya ke
Washington D.C.. Saya cek lagi ternyata memang NYC adalah
ibukota US dari 1785-1787, walau hanya untuk executive.
Untul legislative, sejak dulu memang di Philadelphia.



Mengenai
pro dan anti slavery, itu diatur lagi dalam act yang lain.


Saya memakai contoh pro dan anti slavery untuk menekankan bahwa
pada akhirnya congress (pemerintah pusat) yang menentukan apakah
satu wilayah bisa menjadi negara bagian US. Tapi kelihatannya
saya salah menangkap tulisan anda. Saya pikir ada menulis bahwa
wilayah baru yang menentukan batas wilayahnya atau syaratnya.
Tapi waktu saya baca lagi, intinya memang sama dengan yang
saya tulis yakni congress yang pada akhirnya yang memberi
keputusan akhir.


Rakyat dinyatakan bersatu dalam satu ideologi, komunisme. Maka
federasi SU dan Yugo adalah federasi nation, not state.  Namun
demikian, Soviet gagal sebab mereka memiliki pemerintahan pusat
yang sebenarnya tidak diinginkan dalam paham komunis.

Sebetulnya paham komunis sendiri menyetujui adanya pemerintah
pusat yang bersifat sementara untuk pada akhirnya mencapai
komunisme penuh. Soviet sendiri hancur karena diwarnai
inefisiensi, kehancuran lingkungan, dan KKN. Belum lagi era
stagnasi dibawah Leonid Brezhnev atau efek dari Stalinisme
dan collectivization.


(Kalau dipikir-pikir, bentuk ini sama persis yang dilakukan
Sukarno dan Suharto ya?)

Hampir sama, hanya dibawah Suharto, partai bukan
merupakan faktor terpenting. Kalau di Soviet, partai merupakan
tempat untuk mendapat kader pemerintah yang baru. Di jaman
Suharto, yang penting itu KKN-nya :-)



:) Betul, sebab pemikiran federalism itu dari Eropa. Tapi,
perlu diketahui bahwa interpretasi idiologi politik barat di
Indonesia itu banyak yang rancu.  Mungkin karena hendak
disesuaikan dengan kultur aktor politiknya. RIS itu gagal sebab
pemerintahan pusat tidak mau merubah UUD 45 pasal 33
bahwa bumi dan kekayaan alam dikuasai oleh negara dan
dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

Saya rasa perubahan pasal itu hanyalah satu faktor saja.
Seingat saya cukup banyak protes yang terjadi setelah KMB
berakhir yang pada akhirnya membatalkan sistem federalisme.
Waktu itu sudah ada UUD RIS yang katanya cukup bagus, tapi
akhirnya ditinggalkan dan membentuk UUDS 1950.


:) I do not think so.  Sebab prinsip dasar Republikan adalah
keseimbangan kekuasaan state, lokal dan federal.  Kalau
kebijaksaan ekonomi Reagan, ya memang beliau anjlok.

DI kelas sejarah saya, dosen saya mencaci maki kebijaksanaan
Reagan sebagai 'voodoo policy' yang hanya menguntungkan the
Big Business dan menginjak-injak badan seperti EPA. Maklum
dosen saya demokrat-sosialis... :-)
Tapi prinsip dasar tidak berarti actionnya... :-)




Yohanes:
Sampai sekarang saya rasa Clinton 

Re: Kerjasama Permias-KBRI/KJRI

1999-11-08 Terurut Topik Yohanes Sulaiman

Diwaktu yang lalu, Indonesia sering dikecam oleh berbagai pihak di AS
berkaitan dengan pelanggaran HAM atau Timtim. Walaupun masih banyak
pekerjaan rumah yang harus kita lakukan berkaitan dengan hal-hal itu,
namun "Indonesia Baru" sekarang sudah jauh berubah dan lebih baik
daripada sebelumnya. Sudah saatnya kita "strike back" ke berbagai pihak
di AS itu. Sudah saatnya pula Permias dan masyarakat Indonesia di AS
"mengarahkan" mata perjuangannya ke pihak AS, disamping terus bersikap
"correct" terhadap KBRI/KJRI. Mari kita kampanyekan di seluruh AS bahwa
Indonesia sekarang adalah negara demokrasi ketiga terbesar di dunia,
yang siap membangun kembali ekonominya bebas dari KKN.

Untuk tahap pertama, mungkin sesama anggota Permias dapat membahas
hal-hal seperti kegiatan apa yang dapat dilakukan Permias untuk dapat
ikut memperbaiki citra Indonesia di AS yg rusak selama ini. Program apa
yang perlu dilakukan Permias dalam membantu meyakinkan investor dan
pengusaha AS untuk segera kembali masuk ke Indonesia, dsb.


Saya tertarik membaca tulisan kerjasama Permias dan KBRI ini.

Posisi Indonesia memang agak sulit, soalnya sampai sekarang negara kita
dianggap sebagai negara 'pariah' bukan 'victim.' Agak sulit mendapatkan
simpati untuk negara besar seperti kita atau RRC (dibandingkan dengan
Palestina) dan juga karena status kita yang sering kali dianggap sebagai
agressor dengan petualangan kita di Aceh dan Timor Timur. Mengenai Aceh,
kita bisa argue tentang sejarah Aceh yang sama-sama menentang Belanda
atau pernyataan rakyat Aceh untuk bergabung dengan Indonesia di tahun

1945. Namun, tindak tanduk 'human right abuses' yang ditodongkan di Aceh
dan juga beberapa versi sejarah yang digembar gemborkan media massa di
US tidak menolong kita dalam memberikan legitimasi Indonesia di Aceh.

Jika kita mau 'strike back' ke berbagai pihak mengenai Indonesia, kita harus
'menyerang'-nya bukan hanya dari satu arah saja. Tapi juga harus dari beberapa
arah dan sekaligus perlu juga konsolidasi masyarakat.

Untuk membereskan citra Indonesia di mata internasional, ide kampanye
memang bisa merupakan salah satu 'arah penyerangan,' tapi sejauh mana
dan apa jenisnya, itu yang masih dipertanyakan. Lagipula, kampanye sendiri
tak akan efektif kalau tak dibarengi oleh gerakan lain dan juga jikalau tak
ada
wadah kerjasama seluruh masyarakat Indonesia di Amerika Serikat. Saya
rasa sudah tak perlu disangkal bahwa masyarakat Indonesia di US sering kali
kurang bersatu dan kebanyakan berkelompok; kecuali untuk beberapa kasus
dimana orang Indonesianya memang sangat sedikit. Lagipula, setiap gerakan
Indonesia sering kali sporadik tanpa dibarengi kebersamaan. Belum lagi
kurangnya
kesadaran politik masyarakat. Sering kali tujuan orang Indonesia yang di US
hanya untuk belajar dan bekerja. Titik. Politik merupakan barang haram
karena terlalu radikal artinya 'cekal,' dan lagipula tak adanya 'benefit'
tak banyak meningkatkan semangat. Aversi kepada politik tak perlu
lagi disangkal karena merupakan salah satu dampak Orde Baru.

Pemilu kemarin dan kejadian-kejadian yang terjadi di Indonesia akhir-akhir ini
juga bukan merupakan pendorong bagi massa Indonesia di US untuk lebih

berminat politik, bahkan saya kuatir bahwa pemilu kemarin agak membuat
massa Indonesia di US terfragmentasi. Seperti kita lihat di milis ini,
keributan
antara yang Pro VS Anti Mega sudah merupakan makanan sehari-hari, belum
lagi keributan yang menyangkut agama. Setiap kali ada kasus gereja atau
mesjid dibakar, pasti terjadi teriakan pro atau kontra, dan terjadi kasus
saling
menyalahkan. Setiap kali Mega atau Gus Dur terselandung, pasti terjadi
keributan yang tak diwarnai rasa kritis, namun penuh emosi ditambah lagi
teriakan 'anti Islam' atau 'anti Kristen' dsb. Sikap agamais ini terus terang
tidak akan menarik hati orang-orang Indonesia di US apalagi orang-orang
di US yang mau kita pengaruhi. Bagaimana bisa mempengaruhi orang-orang
US bahwa Indonesia sudah 'berubah' kalau setiap kali yang mereka baca
adalah gereja dibakar atau keributan pro/kontra satu partai politik?

Terkadang saya sering bertanya-tanya: apa tujuan seseorang hanya menulis '
ini si goblok' atau 'itu si pembual' tanpa ada tanggapan dari dia yang
sifatnya
memberikan kritik membangun. Tulisan seperti dari Mme. Mardhika, M. Jeffrey
atau M. Irwan atau M. Okki dan lain-lain justru lebih menyenangkan untuk
dibaca,
karena walaupun sering kali idenya itu super kontroversial, tapi at least
ada usaha
untuk memberikan masukan kepada satu masalah. Jadi tak menyatakan 'kalau
saya bilang salah ya salah,' atau 'anti Islam, ya,' tapi diwarnai oleh
argumen yang
mendukung fakta-faktanya. Argumen yang super emosional justru membuat orang-
orang lain menjadi malas berpendapat dalam politik, karena kesannya ide
mereka
tidak ditanggapi serius, tapi asal-asalan atau emosional atau lebih parah
lagi seperti
berbicara dengan tembok. Yang enak untuk diterima adalah fakta yang mendukung
argumen, bukan emosi yang mendukung fakta.

Kembali ke 

Indonesia Gets Clean, Inexperienced Cabinet

1999-10-26 Terurut Topik Yohanes Sulaiman

October 26, 1999

Indonesia Gets Clean, Inexperienced Cabinet

By Reuters

JAKARTA (Reuters) - Indonesia's new President Abdurrahman Wahid
Tuesday named a cabinet short on experience but long on skills
and integrity and with the fewest generals in the nation's
history.

He also put a civilian in charge of defense for the first time
in decades, pushing aside armed forces commander General Wiranto
following mounting criticism of the military for flagrant human
rights abuses at home.

``We have to make economic recovery our first goal, primary
goal, and the second to maintain our territorial integrity,''
Wahid told reporters after a nationally-televised announcement
of his new government.

Near-blind Wahid asked Vice-President Megawati Sukarnoputri to
read the names, which were largely as expected and represented
an almost complete cross-section of Indonesia's new political
spectrum.



WIRANTO GETS ANOTHER POST

Wiranto, who was defense minister and armed forces commander,
was edged out and made Coordinating Minister for Political and
Security Affairs, an influential post but with no direct control
over troops.

In his place as military commander, Wahid put Admiral Widodo Adi
Sutjipto, the first non-army man to hold the post.

Respected academic Juwono Sudarsono, and one of only four of the
32-member cabinet to have previously been a minister, became the
first civilian defense minister in well over a generation.

Wahid insisted Juwono had been outgoing Wiranto's choice.

``Don't think the military is crazy. They know the whole society
is changing... that the military has to change its attitude
toward society. Don't think like the international press,
judging the military in the wrong way,'' he said.

``We have a strong military and we need them and also they know
how to protect (society)... some of our generals are good some
are bad like in any other society.'' There are five generals in
the cabinet.



KWIK CHOICE PLEASES MARKET

To the delight of Jakarta's financial markets, Wahid picked
outspoken economist and Megawati confidant Kwik Kian Gie as his
chief economic minister, a post which carries with it the
crucial role of dealing with the International Monetary Fund.

``Kwik Kian Gie is one of the market's favorites. He is popular
for his sharp criticism of corruption in the old Suharto regime.
His appointment has been widely expected,'' said Ferry Yosia
Hartoyo, head of research at Vickers Ballas Tamara.

Other analysts also gave Wahid's selection high marks and the
rupiah immediately firmed on the announcement.

The new finance minister is Bambang Sudibyo, a U.S.-trained
academic, close to leading former opposition figure Amien Rais
who now heads the top legislative assembly.

A respected government is crucial if Wahid is to lure back the
foreign investment which has all but vanished over the last two
years as Indonesia ploughed deeper into economic and political
mire.

``I think this government has got the resolve to get a better
investment climate,'' one senior diplomat said.

But he warned: ``This government has got to deal with
expectations which are extremely high which, of course, they
can't meet.''



EAST TIMOR LEADER GUSMAO TO VISIT

In a signal to the outside world that he would not carry old
grudges into his rule, Wahid signaled he would invite East
Timorese independence leader Xanana Gusmao to Jakarta for talks.

Gusmao spent seven years in an Indonesian prison until his
release last month following an overwhelming independence vote
in the former Portuguese territory. Gusmao returned home to East
Timor last week.

Wahid was elected last week in the country's first contested
presidential election along with populist opposition figurehead
Megawati Sukarnoputri as his deputy.

He has to grapple with the worst economic recession in 30 years,
an archipelago increasingly splintered by separatist violence
and vested interests from discredited rulers Suharto and B.J.
Habibie who may be reluctant to let go quickly.

Wahid has put economic recovery at the top of his agenda,
pledging to improve the lot of his 200 million people, an
increasing number of them living in abject poverty.

The IMF, heading a $45 billion rescue fund for Indonesia, has
suspended loans until a domestic banking scandal is resolved.

Marzuki Darusman, a top reformist in the former ruling Golkar
party and head of the National Human Rights Commission, was
named the new attorney general, a key post if Wahid is to make
good his pledge to bring Indonesia under the rule of law rather
than the whim of presidents



Re: Orang Keturunan Ketiga

1999-10-20 Terurut Topik Yohanes Sulaiman

At 09:52 AM 10/20/99 -0400, you wrote:
Bung Sulaeman, sekarang saya jadi ingat. Saya membacanya di Jakarta, dan
juga membelinya kok. Berhubung dikemas dalam bentuk cergam, gambar-gambar yg
disajikan masih terbayang jelas. Sekali ini saya tidak akan selip ingatan
dengan mencampuradukkan cerita yg lain, apalagi cerita Koo Ping Hoo.
Berhubung Bung Hadi di Jkt, sempatkan saja melihat buku dimaksud (ciri
bukunya sudah saya sebutkan).

Bagian tersebut menceritakan peran selir dalam perebutan kekuasaan.
Diceritakan banyak contoh, dengan contoh akbarnya adalah yg saya tulis
kemarin. Jadi anak dari selir (yg sangat cantik  nasionalis ini) akhirnya
mendapatkan tahta kerajaan.


M. Anjasmara,

Apakah yang ini merupakan bagian dimana terjadi perebutan kekuasaan
dalam istana yang karena dipanasi intrik kaum kebiri? Seingat saya
kejadiannya itu sang selir minta bantuan saudaranya yang jendral, dan
sang jendral memang mau membabat habis semua kaum kebiri; tapi
si jendral ditipu masuk ibukota dan dibunuh kaum kebiri. Akhirnya
dilanjutkan dengan penyerbuan Yuan Shao ke istana dan masuknya
Dong Zhou ke ibukota Kalau betul bagian yang ini, anak selirnya akhirnya
jadi kaisar karena kaisar yang asli didepak oleh Dong Zhou. Kalau dari
contoh anda, kayaknya yang ini yang paling dekat. Tapi tetap tak
terlihat adegan yang anda sebutkan dimana anak kaisarnya dididik
untuk membenci ayah tirinya itu atau dimana selir itu dihamili.

Kisah selir yang lain salah satunya juga perebutan kekuasaan antara
2 anak Liu Biau dimana anak pertamanya, Liu Qi, ditentang oleh
sang selir, dan sang selir akhirnya minta bantuan Cao Cao, tapi
Cao Cao memutuskan membunuh keduanya. Kalau kisah perebutan
kekuasaan di keluarga Yuan Shao, itu rasanya tak ada sama
sekali keributan antar selir.

Mohon diperjelas.


YS



Re: Selamat untuk Gus Dur

1999-10-20 Terurut Topik Yohanes Sulaiman

At 10:04 AM 10/20/99 -0400, you wrote:
Sorry baru bangun.
Baru baca koran, walaupun sedikit kecewa.
Selamat buat Gus Dur. Moga-moga nggak ada ribut-ribut di Jalanan.
igg

Maaf mengecewakan, tapi menurut Detik.com, Solo terbakar dan
Jakarta sendiri sangat panas.

YS



Re: Tanggapan atas komentar KKG (was: Re: [cakit peut])

1999-10-19 Terurut Topik Yohanes Sulaiman

Gimana kalau kita sewa saja Clinton yg kebetulan sebentar
lagi akan pensiun dari White House:)


Jangan ah, entar Lewinskinya dibawa-bawa lagi. Sudah enek tiap
hari denger soal dia Mendingan bawa si Ventura, gantikan
Prez kita sekalian; jadi kita bisa bentuk dinasti badut Indonesia.
Mending ketawa melulu, daripada pusing tiap hari



Re: Orang Keturunan Ketiga

1999-10-19 Terurut Topik Yohanes Sulaiman

At 02:04 AM 10/20/99 -0400, you wrote:
Wah, saya paling suka baca gratisan. Paling baca di Barnes  Nobble. Yang
jelas saya selalu ingat yang kayak ginian. Berhubung anda sudah baca secara
lengkap, anda bisa sebutkan bahwa ada enggak cerita itu? Saya rasa jauh
lebih gampang deh. Kan enak dan jauh lebih simple.

Setelah ada klaim dari anda bahwa cerita saya tidak benar, maka akan saya
perlukan lagi untuk mencari cerita-cerita itu. Nah, bagaimana? Anda di mana
sih? Kalau di Indonesia ada buku-buku kisah tiga kerajaan berujud cergam.
Layoutnya dibuat bagus, sampulnya putih, berukuran saku (rada
gede...tanggung deh), dan berjilid. Mungkin terbitan Gramedia. Sudah lupa
mas, sudah bertahun yg lalu. Biasanya dijajarkan bareng-bareng buku teorinya
Sun Tzu. Pokoke berani taruhan deh pasti ada! Coba baca lagi dengan
teliti:).


Jeffrey Anjasmara.

'
From: Hadi Wijaja [EMAIL PROTECTED]
Reply-To: Indonesian Students in the US [EMAIL PROTECTED]
To: [EMAIL PROTECTED]
Subject: Re: Orang Keturunan Ketiga
Date: Wed, 20 Oct 1999 01:06:17 +0700

  Kalau anda baca Kisah Tiga Kerajaan, cara menguasai suatu negara adalah
  dengan menyusupkan keturunannya ke kerajaan musuh. Berhubung jaman dulu,
  caranya norak sekali, yaitu menghamili seorang putri jelita, lalu sang
putri
  ini dihadiahkan kepada negara musuh. Setelah lahir, anak ini dididik
oleh
  sang putri dengan doktrin-doktrin untuk menghancurkan ayah tirinya
(yaitu
si
  raja musuhnya itu). Berapa waktu yg dibutuhkan? Bisa lebih dari 30
tahun!
--
kebetulan saya juga baca secara lengkap kisah tiga kerajaan, bisa anda
sebutkan nama tokoh yang berbuat seperti hal yang anda sebut tersebut ?
Hal ini penting, karena saya sering membaca tulisan anda dan karena anda
memberikan referensi, maka perlu di-check. Jangan sampai referensi itu,
diada-adakan untuk mendukung pendapat anda.

Trims

regards

M. Hadi,
Kayaknya M. Anjasmara ini membaca Sam Kok bersamaan dengan
bandit-bandit Liang San Bo atau mungkin buku-buku yang lain,
jadi tercampur-campur. Soalnya saya sendiri belum
pernah membaca ada adegan seperti yang dia sebutkan.
Adegan yang mungkin paling mirip juga adalah Dong Zhou yang rebutan wanita
dengan Lu Bu, tapi di sana tak ada tulisan bahwa Dong Zhou menghamili
Dian Chao.

M. Anjasmara,
Maaf kalau saya mendadak ikut campur begini, tapi saya tak pernah
dengar adegan yang anda sebutkan itu. Yang paling mirip sekali mungkin
adalah legenda Manchu, dimana ada satu suku yang dihancurkan Manchu,
dan pemimpin terakhir suku itu mengutuk kaisar Manchu bahwa entar
keturunannya akan menjatuhkan Manchu melalui perkawinan. Keturunannya
adalah Empress Dowager Cixi. Tapi kalau soal anak, itu mungkin anda
tercampur legenda Chin Shih Huang Ti, yang katanya sang Kaisar itu
bukan anak dari raja Chin, tapi anak seorang pedagang dan gundiknya
dan gundiknya itu dinikahi Kaisar Chin, padahal sudah hamil.
Mungkin yang saya duga itu benar?


YS



Tommy Soeharto dan Ricardo Gelael Divonis Bebas

1999-10-14 Terurut Topik Yohanes Sulaiman

...tidak cukup bukti untuk menyatakan putra mantan Presiden Soeharto
tersebut melakukan tindak pidana korupsi.
...
Dalam amar putusan majelis hakim itu dinyatakan, dengan adanya
putusan
bebas bagi kedua terdakwa, maka nama baik kedua terdakwa
harus
direhabilitasi.*

--
Kenyataan yang sangat menyedihkan. Apakah hukum di Indonesia bisa
terpuruk lebih rendah lagi? Siapapun pemerintah Indonesia yang baru,
saya rasa prioritas pertama adalah mereformasi lembaga hukum. Tanpa
hukum yang baik, tak akan ada keberesan. MPRlah yang harus
menyetujui para hakim dan kita juga perlu meningkatkan mutu
hakim-hakim di Indonesia. Wibawa hukum sudah sangat perlu diperbaiki.





Kamis, 14 Oktober 1999, 18:51 WIB

Tommy Soeharto dan Ricardo Gelael
Divonis Bebas
Jakarta, Antara
Dua terdakwa dalam kasus dugaan korupsi ruislag gedung Bulog dengan
pertokoan Goro di Kelapa Gading, Jakarta Timur, yakni Tommy Soeharto
dan Ricardo Gelael, dibebaskan dari tuduhan karena tidak ditemukan
bukti-bukti kuat keterlibatan mereka.

Dalam sidang terpisah di Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan, Kamis, yang
berjalan secara maraton sejak pukul 10:00 WIB hingga pukul 17:45 WIB,
majelis hakim yang diketuai R Soenarto SH, berpendapat, tidak cukup bukti
untuk menyatakan putra mantan Presiden Soeharto tersebut melakukan
tindak pidana korupsi.

Dinyatakan, dalam kasus ruislag Bulog itu, yang
terjadi adalah
hubungan hukum keperdataan, dimana baik Tommy maupun
Ricardo Gelael
melakukan kegiatan bisnis untuk kepentingan perseroan.

Demikian juga
majelis hakim yang mengadili Ricardo Gelael, dalam
amar putusannya
menyatakan bahwa terdakwa tidak terbukti terlibat melakukan
tindak pidana korupsi dalam kasus ruislag gedung Bulog dengan Goro
tersebut.

Terhadap putusan majelis hakim tersebut, baik jaksa penuntut
umum dalam
perkara Tommy Soeharto, yakni Fachmi SH, maupun jaksa penuntut umum
dalam perkara Ricardo Gelael, yakni D Munthe SH, menyatakan mengajukan
kasasi.

Alasan keduanya yaitu dalam kasus itu telah terjadi penyelewengan
penggunaan
keuangan negara karena PT Goro Batara Sakti --dimana Tommy selaku Komisaris
Utama punya saham 80 persen dan Ricardo Gelael selaku Direktur Utama punya
saham 20 persen-- seharusnya mengeluarkan dana untuk pembebasan lahan.


Kenyataannya, justru yang membayar seluruh dana pembebasan lahan di
Marunda sebagai ganti komplek pertokoan Goro di Kelapa Gading adalah
pihak Bulog, bukan pihak PT Goro Batara Sakti yang mendapat lahan dari
Bulog.

Majelis hakim menyatakan, dari 35 saksi yang diperiksa tidak

satupun yang menyebut adanya kerugian negara bahkan dari Kepala
Bulog
sendiri, Rahardi Ramelan.

Dalam amar putusan majelis hakim itu
dinyatakan, dengan adanya
putusan bebas bagi kedua terdakwa, maka nama
baik kedua terdakwa
harus direhabilitasi.*



Re: [Tommy Soeharto dan Ricardo Gelael Divonis Bebas]

1999-10-14 Terurut Topik Yohanes Sulaiman

Kayaknya sedang melenong, mungkin mau meneruskan lenong rumpi.
Sayangnya yang nonton bukannya ketawa, malah nangis frustrasi.

Jaksanya beneran atau sedang main sinetron ?

At 12:44 PM 10/14/99 EDT, Jeffrey Anjasmara wrote:
Jaksanya katanya nggak terima Tommy dibebaskan kok.


jeals engga' bisa di tuduh korupsi, orang dia yang punya perusahaan sendiri

kok. Kalau yang Kolusi dan Nepotisme-nya yang harusnya di bantai.
dasar jaksa goblok, penakut, masih aja nurut.

ichal

Yohanes Sulaiman [EMAIL PROTECTED] wrote:
...tidak cukup bukti untuk menyatakan putra mantan Presiden Soeharto
tersebut melakukan tindak pidana korupsi.
...
Dalam amar putusan majelis hakim itu dinyatakan, dengan adanya
putusan
bebas bagi kedua terdakwa, maka nama baik kedua terdakwa
harus
direhabilitasi.*

--
Kenyataan yang sangat menyedihkan. Apakah hukum di Indonesia bisa
terpuruk lebih rendah lagi? Siapapun pemerintah Indonesia yang baru,
saya rasa prioritas pertama adalah mereformasi lembaga hukum. Tanpa
hukum yang baik, tak akan ada keberesan. MPRlah yang harus
menyetujui para hakim dan kita juga perlu meningkatkan mutu
hakim-hakim di Indonesia. Wibawa hukum sudah sangat perlu diperbaiki.





Kamis, 14 Oktober 1999, 18:51 WIB

Tommy Soeharto dan Ricardo Gelael
Divonis Bebas
Jakarta, Antara
Dua terdakwa dalam kasus dugaan korupsi ruislag gedung Bulog dengan
pertokoan Goro di Kelapa Gading, Jakarta Timur, yakni Tommy Soeharto
dan Ricardo Gelael, dibebaskan dari tuduhan karena tidak ditemukan
bukti-bukti kuat keterlibatan mereka.

Dalam sidang terpisah di Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan, Kamis, yang
berjalan secara maraton sejak pukul 10:00 WIB hingga pukul 17:45 WIB,
majelis hakim yang diketuai R Soenarto SH, berpendapat, tidak cukup bukti

untuk menyatakan putra mantan Presiden Soeharto tersebut melakukan
tindak pidana korupsi.

Dinyatakan, dalam kasus ruislag Bulog itu, yang
terjadi adalah
hubungan hukum keperdataan, dimana baik Tommy maupun
Ricardo Gelael
melakukan kegiatan bisnis untuk kepentingan perseroan.

Demikian juga
majelis hakim yang mengadili Ricardo Gelael, dalam
amar putusannya
menyatakan bahwa terdakwa tidak terbukti terlibat melakukan
tindak pidana korupsi dalam kasus ruislag gedung Bulog dengan Goro
tersebut.

Terhadap putusan majelis hakim tersebut, baik jaksa penuntut
umum dalam
perkara Tommy Soeharto, yakni Fachmi SH, maupun jaksa penuntut umum
dalam perkara Ricardo Gelael, yakni D Munthe SH, menyatakan mengajukan
kasasi.

Alasan keduanya yaitu dalam kasus itu telah terjadi penyelewengan
penggunaan
keuangan negara karena PT Goro Batara Sakti --dimana Tommy selaku Komisaris

Utama punya saham 80 persen dan Ricardo Gelael selaku Direktur Utama punya

saham 20 persen-- seharusnya mengeluarkan dana untuk pembebasan lahan.


Kenyataannya, justru yang membayar seluruh dana pembebasan lahan di
Marunda sebagai ganti komplek pertokoan Goro di Kelapa Gading adalah
pihak Bulog, bukan pihak PT Goro Batara Sakti yang mendapat lahan dari
Bulog.

Majelis hakim menyatakan, dari 35 saksi yang diperiksa tidak

satupun yang menyebut adanya kerugian negara bahkan dari Kepala
Bulog
sendiri, Rahardi Ramelan.

Dalam amar putusan majelis hakim itu
dinyatakan, dengan adanya
putusan bebas bagi kedua terdakwa, maka nama
baik kedua terdakwa
harus direhabilitasi.*



Get your own FREE, personal Netscape WebMail account today at
http://webmail.netscape.com.

__
Get Your Private, Free Email at http://www.hotmail.com







Re: Tommy Soeharto dan Ricardo Gelael Divonis Bebas

1999-10-14 Terurut Topik Yohanes Sulaiman

Pernah ada yang menanyakan apakah di-Indonesia ada 'HUKUM',
dijawab : ada ! Ternyata memang ada koq:)



Hukum harusnya ada, cuma karena enggak ada yang menegakkannya,
jadinya
Oh, tapi enggak juga ya. Hukum khan dibuat untuk dilanggar

YS



Re: Tolak laporan pertanggung jawaban Habibie.

1999-10-14 Terurut Topik Yohanes Sulaiman

Maksudnya 'Orang lama' yang gentayangan itu, yang masih di atas
tanah atau yang sudah di bawah tanah? Kayaknya yang sudah di
bawah tanah enggak terlalu merugikan, malah bisa jadi komoditas
obrolan seru di malam Jumat. Kalau yang masih di atas tanah
malah menyebarkan benih KKN melulu

YS


Lae Irwan,
Sejak tahun lalu, kita (atau saya) selalu mempermasalahkan
kesalahan dan tanggung jawab Golkar, yang indentik dengan
Orde Baru. Itu sebabnya saya selalu dengan enteng membawa
slogan : ASAL BUKAN ORANG LAMA .

Ternyata Orang Lama masih banyak yang bergentayangan.:(


Salam,
bRidWaN

At 09:44 AM 10/14/99 EDT, Irwan Ariston Napitupulu wrote:
In a message dated 10/14/99 9:39:23 AM Eastern Daylight Time,
[EMAIL PROTECTED] writes:

 Bung Irwan, malam ini TVRI dan semua stasiun TV swasta menyiarkan bentrokan

  ribuan mahasiswa yang demo di seputar Senayan dengan Pasukan Anti
Huru-hara.
  Mereka sepakat dengan anda, menolak pertanggunganjawab Habibie, malam ini.

 Saya
  juga sepakat dengan anda kok


Inilah yg saya takutkan terjadi, Habibie menggunakan Wiranto
sebagai tamengnya. Saya tidak ingin melihat TNI jadi berpihak
kepada penguasa dan bukan yg seharusnya yaitu ke rakyat.

Mudah2an Wiranto tidak sedang mabuk kekuasaan.
Akan sangat berbahaya bila dia cukup bernafsu dengan posisi
wapres sehingga TNI yg ada dibawahnya bisa salah arah dan
menjadi berdiri berseberangan dengan rakyat.

Saya masih percaya, sebagian TNI yg masih punya hati nurani
dan ingin kembali mendukung dan berdiri bersama rakyat.


jabat erat,
Irwan Ariston Napitupulu







Re: Nilai Strategis Perbatasan Indonesia

1999-10-10 Terurut Topik Yohanes Sulaiman

At 11:43 AM 10/10/99 -0400, you wrote:
Garis perbatasan kita memang lumayan menguntungkan. Di atas berbatasan
dengan Malaysia. Rasanya karena sama-sama serumpun, kita tak perlu terlalu
deleted
nanahpun berwarna putih. Rasanya semua berpulang kepada niat Aussie. Bila
saat ini mereka berkali-kali melukai perasaan RI, bukan tak mungkin nanahlah
yg akan mereka peroleh.



Pendapat M. Anjasmara betul. Kita harus memikirkan juga bagaimana sistem
perbatasan kita yang baru. Apakah kita mau membentuk 'Tembok Timor' atau
apa lagi, tapi yang pasti kita tak bisa membiarkan pasukan asing merambah-
rambah wilayah kita. Sekarang sudah kasus dibawah ini, bagaimana nanti?
Siapa yang bisa menjamin bahwa tak akan terjadi gerakan mempersatukan
seluruh pulau Timor yang didalangi Australia?



October 10, 1999

U.N. Timor Troops Say They Fired On Indonesian Forces

Filed at 10:30 a.m. EDT

By Reuters

DILI, East Timor (Reuters) - Members of a U.N.-backed intervention force in
East Timor said they had exchanged fire with members of Indonesia's security
forces during a border clash Sunday.

But Major David Kilcullen said an Indonesian officer had acknowledged that a
convoy from the U.N. force was on the eastern side of the poorly marked
border
with Indonesia's West Timor when the clash occurred.

``He admitted...that we were still on our side of the border when his troops
opened fire,'' Kilcullen said.

It is the first time the force has exchanged fire directly with Indonesian
security
forces since it arrived last month.

Another officer said the force had gone into the area after reports of
collusion
between Indonesian forces (TNI) and pro-Jakarta militiamen in the area. The
officer said militiamen had fired first, prompting the U.N. troops to
return fire.

``When we started to notice that there were people in TNI uniforms amongst
those in civilians that we were firing at, that's when we gave the word,
Hold fire!
Hold fire!'' said the officer, speaking on condition of anonymity.



Power politics di Indonesia atau kesalahan besar PDI-P

1999-10-09 Terurut Topik Yohanes Sulaiman
 kecil, tapi
nama itu juga akan menjadi 'liability' kalau Megawati menjadi presiden
karena rakyat akan membandingkan apa yang Megawati lakukan
dengan ayahnya, Sukarno. Suara 'Sukarno' juga akan membuat
kuatir partai-partai lain, dan yang bisa terjadi adalah keributan
antara MPR dan presiden jikalau PDI-P memaksakan suaranya
karena dianggap memegang mandat akibat pendapatan suaranya
yang sekitar 35% itu.

Megawati harus berusaha membebaskan dirinya dari bayang-bayang
nama Sukarno - juga perlu mencari dukungan yang cukup stabil dari
partai-partai lain. Walaupun PDI-P meraih suara terbesar dalam pemilu
lalu, tapi kemenangan ini bukan kemenangan mutlak karena PDI-P
gagal bahkan untuk meraih mayoritas. Berhubung sekarang Indonesia
mulai mengikuti sistem voting, PDI-P justru akan mengalami kerugian
besar jika menganggap bahwa ukuran suaranya bisa mempengaruhi
hasil pemilihan presiden, karena 60% suara bisa mengganjal PDI-P.
JIka PDI-P meraih 50.1% dalam pemilu kemarin, mungkin PDI-P tak
perlu kuatir tentang sikap partai lain. Namun sayangnya PDI-P tidak
memiliki suara mayoritas.

PDI-P harus sadar akan kelemahan posisinya serta 'balance of
power' di Indonesia. Walaupun waktunya hanya singkat karena
pemilihan presiden tinggallah sebentar lagi, tapi jikalau PDI-P
tanggap menghadapi perkembangan situasi politik belakangan
ini dan juga berusaha bekerja sama dengan partai lain dalam
membentuk pemerintahan reformasi yang bersih dan dinamis,
maka Megawati belum tentu gagal menjadi presiden.
SU kemarin perlulah menjadi pelajaran pahit bagi PDI-P bahwa
peraih suara terbesar di pemilu bukan berarti pemenang pemilu.
Jika PDI-P tak bisa belajar dari kenyataan ini, maka PDI-P tidak
memiliki qualifikasi sebagai pemerintah yang baik.


Yohanes Sulaiman



Re: Mahasiswa Bodoh

1999-10-06 Terurut Topik Yohanes Sulaiman

Mana nich Forkot, Famred, Farbes dan apalah namanya yang lain itu dari para
mahasiswa yang getol demo menyokong reformasi dan menolak status quo.

Tuch lihat, PDI - P mendukung Golkar untuk ketua DPR, tapi nggak ada yang
demo.

Ha...ha...mahasiswa. Forkot, Famred, Farbes dll nya itu benar-benar
mahasiswa yang payah dan bodoh.
Mengatasnamakan diri mahasiswa, mengatasnamakan berjuang demi rakyat.
Sama aja ternyata, mahasiswa "dagang sapi"



Mmesle. Suhendri,

Menarik membaca komentar-komentar anda akhir-akhir ini yang cukup pendek
namun tajam dan kritikal terhadap satu partai tertentu.

Karena anda sering menyatakan bahwa semua yang anda kritik itu bodoh
dan payah dan anda sendiri menyatakan: "Kesadaran intelektualitas saya
mengatakan bahwa tidak rela saya dipimpin oleh orang yang mempunyai
kemampuan lebih rendah dari saya," bolehkah saya mendengar siapa calon
yang sebetulnya anda anggap super cocok untuk Indonesia; dan kalau bisa
tolong memberikan sedikit pandangan politik, apa ide anda untuk Indonesia,
apa yang anda sampai sekarang lakukan, peran anda dalam reformasi,
dan apa alternatif yang bisa diterima oleh semua golongan yang ada? Partai
mana yang benar-benar anda setujui dan pandang sebagai partai yang benar-
benar bersifat reformasi dan tanpa sedikitpun noda dari Orde Baru?  Siapakah
orang-orang yang memang bersih dan 100% reformir tanpa adanya politik
'Ken Arok' (mengutip dari Christianto Wibisono).

Terus terang membaca tulisan-tulisan anda yang menyenangkan itu membuat
saya sangat penasaran mengenai apa ide-ide bagus dan 'tokcer' anda yang bisa
menyelesaikan masalah Indonesia dalam 'satu jurus.' Saya yakin, dengan sikap
anda itu, anda pasti seorang yang memiliki kemampuan tinggi didukung oleh
otak cemerlang serta dipenuhi ide-ide yang sangat hebat yang bisa
menyelesaikan
semua masalah Indonesia di era reformasi ini dan siapa tahu membawa Indonesia
menjadi negara superpower di abad berikut.

Saya ingin sekali mendengar ide-ide anda, tentunya kalau anda tak merasa
bahwa saya terlalu bodoh untuk diajak diskusi atau para tokoh di forum ini
anda
anggap cukup intelektual untuk berdiskusi secara intelektual, sopan, serta
terbuka.


Sincerely,

YS



Re: Mahasiswa Bodoh

1999-10-06 Terurut Topik Yohanes Sulaiman

At 02:22 PM 10/6/99 +0700, you wrote:
Komentator sepak bola memang bisa main bola ?

Kita di milist ini kan semuanya komentator. Jadi ya focus saja sebagai
komentator.
Memang nya anda pernah melakukan hal - hal yang anda minta ke saya seperti
dibawah ? Belum pernah juga kan.

So, shoud I  ?

Mmesle Suhendri,

Jika anda menyaksikan pertandingan sepak bola di Indonesia, seorang komentator
amatir memang hanya bisa menyatakan 'bola ditendang ke anu, ke siapa, dsb.'
Tapi
jika anda melihat komentator profesional seperti di US, komentator bukan
hanya bisa
mengomentari, melainkan juga memberikan saran atau kritik yang memang
membangun.

Contohnya di NBA (yang rasanya anda mungkin tahu),  reputasi seorang
komentator
itu sangat diperlukan karena itu TV network di sini hanya meminta yang
profesional
yang bisa merasakan apakah beban pemain, bagaimana sang pemain bermain,
dan apa kritik yang bisa membangun, bukan hanya komentar asal-asalan. Karena
itu mereka merecruit mantan pemain seperti Isaah Thomas (NY Knicks) dengan
gaji yang sangat tinggi, karena dia bisa memberikan komentar yang bagus
dan mengerti hambatan para pemain di lapangan basket sehingga komentarnya
juga sangatlah dihargai.

Kalau sekarang contohnya si Phoenix Suns mendadak melawan Chicago
Bulls yang masih lengkap 'dream teamnya' (Jordan-Pipen), apakah komentatornya
terus berteriak wah, si Suns goblok, masak bisa dibabat terus oleh Bulls?
Melainkan komentator melihat struktur tim Suns dan juga Bulls, memberikan
perbandingan kekuatan dan karena memang 'Dream Team' jauh lebih kuat,
masak dia terus berkata bahwa Suns harus terus serang atau defend? Apa
bedanya dia dengan penonton? Malahan orang-orang akan jadi muak nontonnya.
Sudah tahu tim Bulls super kuat, kok komentatornya kayak enggak tahu medan.
Jadi komentatornya juga harus tahu perbandingan kekuatan, dan memberikan
taktik-taktik yang dianggap bisa relevan; mungkin seperti 2 pemain kepung
Jordan atau gimana.

Jika TV di sini hanya mengupah komentator murahan, wah kredibilitas mereka
akan dipertaruhkan. Jadi seorang komentator juga perlu setidaknya mengetahui
permainan, apa yang menjadi penghambat, penghalang, dan karena itu bisa
memberikan kritik yang membangun, jadi tidak hanya bisa asbun saja.

Apakah saya pernah melakukan hal-hal yang saya minta ke anda? Hmm
Sudah berapa lama anda menjadi anggota milis ini? Akhir-akhir ini terus terang
saja saya memang sudah tidak pernah memberikan tulisan akibat kesibukan saya.
Tapi saya bisa assure anda bahwa ada period di milis ini dulu dimana saya
pernah
memberikan beberapa masukan yang sederhana yang mungkin diwarnai banyak
kelemahan. Tapi setidaknya saya pernah mencoba.


YS



Re: Nggak ada logikanya

1999-10-06 Terurut Topik Yohanes Sulaiman

- Buat Mbak Ida : Terimakasih Geblek nya
- Buat Yohanes Sulaiman : Saya nggak pernah nonton NBA :-(

Oh, kalau enggak tahu NBA, ganti saja NBA dengan Manchester United
atau Olympiade atau olah raga lain. Tak apa kok. Saya ngerti kalau anda
memang terlalu pintar sehingga tak bisa menyempatkan waktu nonton
begituan. Saya sendiri jarang nonton NBA. Yang penting anda ngerti
penjelasan saya, itu saja.


YS



Re: Nggak ada logikanya

1999-10-06 Terurut Topik Yohanes Sulaiman

Terlepas dari soal bahwa pengamat olahraga itu orang Indonesia atau orang
luar, tetapi akan sangat menarik kalau komentator memang orang yang bukan
bekas olahragawan, akan tetapi mempunyai pengetahuan dan wawasan yang luas
tentang olahraga tersebut.
Komentator yang berasal dari mantan olahragawan biasanya terbatas hanya
mengomentari masalah teknis permainan, padahal yang diinginkan oleh penonton
mungkin lebih kepada hal-hal non teknis sekitar permainan tersebut.
Coba perhatikan mana yang lebih enak didengar komentar dari bung Kusnaeni
atau bung Ronny Pattinasarany bila sedang mengomentari liga Italia serie A.
Tentu banyak penonton yang lebih setuju bahwa komentar dari bung Kusnaeni
lebih "berisi" dibanding komentar bung Ronny.
Dan perhatikan juga bila menonton siaran tinju profesional,
komentar-komentar dari bung M. Niagara akan menarik dibanding komentar
teknisnya bung Syamsul Anwar.
Apakah bila seorang Ananda Mikola memberikan komentarnya akan seenak
komentarnya bung Hendra Noor Saleh (wartawan Otomatif) ?  Tentu saja masih
enak didengar komentar-komentar dari bung Hendra.
Jadi saya kira komentar dari orang yang bukan mantan olahragawan untuk
mengomentari masalah olahraga masih lebih enak didengar dibanding
komentarnya dari mantan olahragawan.

M. Yumartono,

Walau pendapat anda valid dan terus terang pada dasarnya saya setuju
(walau sejujurnya saya kurang tahu nama-nama komentator kawakan
Indonesia), tapi konteks yang kita bicarakan adalah mengenai bagaimana
seorang komentator bisa memberikan komentar yang baik dan membangun.
Saya hanya mengambil contoh olah raga ini agar argumen saya bisa
dimengerti oleh semua orang.

Namun saya ingin kembali ke ide saya yang semula yang saya tambah
dengan argumen anda: walau penonton menginginkan hal yang lebih
bersifat non teknis, tapi juga penonton tak mau kalau hanya mendengar
komentar yang sepatah-patah dan isinya hanya mengeritik tanpa
memberikan saran atau melihat situasi.

Kita ambil contoh favorit anda, tinju. Sekarang kalau tinju pro misalnya
Tyson VS. Spinx. Apa anda suka kalau mendengar komentatornya cuma
bilang 'Ah, Spinx payah. Ayo maju, serbu si Tyson.' Wong sekali gebuk
aja sudah langsung terkapar begitu. Komentator yang baik kalau saya
lihat justru memperhitungkan berapa besar kemungkinan Spinx bisa
mengalahkan Tyson dan kalaupun kecil, kira-kira bagaimana Spinx
bisa berusaha untuk membuat strategi yang akhirnya bisa membuat
si Spinx paling dikit di-KO di ronde ke-3. Terus terang kalau saya
dengar komentatornya cuma bilang 'ah, Spinx payah. Ah, Spinx
goblok, ah ayo serbu, serbu sana.' Mendingan saya cuma lihat
gambarnya saja, enggak dengar komentatornya.

Kalau saya tak salah, komentator-komentator yang anda sebutkan
diatas, selain memberikan komentar yang menarik, juga mereka
bisa memberikan saran atau kritik yang membangun. Contohnya kalau
di Liga A (terakhir kali saya nonton sekitar 5 tahun lalu, sorry kalau sudah
enggak relevan), komentatornya waktu dulu itu bisa memberikan perbandingan
kekuatan antara 2 pihak dan bisa memberikan strategi bahwa tim anu itu
kekuatannya di penyerangan atau defensive, sehingga tim musuh harusnya
gimana. Jadi walaupun tidak teknikal, tapi at least komentarnya itu relevan
dan bisa diterima serta bisa membangun. Kalau komentarnya cuma
'Tim ini goblok, wah pemainnya tolol beneran, wah yang ini otaknya
didengkul,'  terus terang saya enggak akan sudi banget dengarnya
juga (belum lagi bisa dijewer orang tua soalnya mendengarkan acara yang
diwarnai bahasa yang kurang pantas) :-)
Lagian kalau memang cuma segitu kualifikasinya, yakni jago bahasa
kasar, tiap orang bisa saja jadi komentator olah raga. Jeger-jeger di Tanah
Abang juga bisa semua, kok. Cuma apakah anda mau mendengarnya?

Tapi anda benar bahwa komentator dari mantan olah ragawan belum tentu
bisa seenak komentator yang bukan mantan. Hanya kalau menurut saya,
biasanya mereka yang mantan lebih tahu detail dan tekniknya sehingga
komentarnya bisa jauh lebih membangun.



YS



Re: Nggak ada logikanya

1999-10-06 Terurut Topik Yohanes Sulaiman

Saya memang nggak hobi nonton NBA ataupun Liga ataupun tinju.
Saya lebih suka nonton Discovery Channel, atau Elegant Solution, atau Wild
Life, atau Beyond 2000, biar tambah pinter. :-)

Bukan masalah penting atau tidak penting mengerti penjelasan Anda, tapi Anda
bisa nggak menjelaskan kelakukan "Mahasiswa Dagang Sapi" dari Forkot dan
turunannya.


Wah, kalau saya lihat, kayaknya mahasiswa enggak mungkin jual beli jabatan.
Wong power aja enggak punya. Yang bisa jual beli jabatan justru yang sudah
diatas, yang sudah punya kekuasaan. Kalau mahasiswa, siapa coba yang mau beli
jabatan jadi menwa atau ketua senat mahasiswa selain mahasiswa sendiri.

Tapi kok jadi membalik begini Saya khan yang tanya duluan kepada anda,
bahwa apa yang sebetulnya mahasiswa perlu lakukan, apa yang diperlukan
negara kita untuk bisa menyelesaikan masalah serta apa ide-ide anda.
Kok belum anda jawab sudah suruh saya jawabnya pertanyaan anda nih
Saya terus terang jadi sungkan kok jadi dikasih giliran pertama begini.

Soalnya terus terang saya tertarik sekali dengan ide-ide anda dan
kalau membaca dari gaya tulisan anda, kayaknya kemampuan intelektual anda
juga jauh sekali diatas saya, apalagi melihat channel-channel intelektual yang
selalu anda tonton; sehingga saya rasa justru saya perlu banyak
belajar dari anda dan karena itu dengan rendah hati saya meminta sedikit
wangsit dari orang pintar seperti anda.



YS



Re: Nggak ada logikanya

1999-10-06 Terurut Topik Yohanes Sulaiman

Bung Yohanes ini sudah berkontribusikah? Kontribusinya berapa tahun sekali?
Pertanyaan selanjutnya, sudah cukup membangunkah?

Pertanyaan ini perlu diajukan ke diri sendiri sebelum menuding ke orang
lain.

M. Anjasmara,

Terus terang saya justru merasa kontribusi saya kepada era reformasi
ini masih sedikit sekali. Kaena itu saya makanya enggak berani terlalu
banyak berbicara atau berkoar-koar. Biarlah saya hanya jadi pengamat
saja dari pinggiran, dan saya justru senang sekali kalau ada yang menulis
panjang lebar jadi saya juga bisa terus belajar. Soalnya hidup adalah
penuh belajar. Saya terus terang salut melihat banyak sekali kontribusi
anda di milis ini, yang walaupun kontroversial tapi beremosi serta
penuh rasa percaya diri.



Atau begini saja deh, berhubung yang diinginkan Bung Yohanes adalah
para mantan, bagaimana kalau mantan-mantan itu anda ajak ke milis ini?
Rasanya jauh lebih pas deh. Atau Bung Yohanes termasuk golongan mantan juga?


Kalau soal mantan itu, maksud saya adalah olahragawan yang karena
pernah dilapangan jadi lebih tahu seluk beluk medan dan karena itu mereka
kalau bicara juga tahu apa yang mereka bicarakan serta mengerti hambatan
dan situasi sehingga tak pernah asbun. Saya sendiri tak pernah menyatakan
bahwa seluruh anggota milis ini perlu menjadi mantan agar kita bisa mengeritik
orang.

Yang menjadi inti tulisan saya adalah kita hanya berteriak mengeritik orang
dari
pinggir, tapi apakah kita sendiri pernah menempatkan diri kita di posisi
mereka?

Kalau apakah saya termasuk golongan mantan hmm Mendingan jadi
rahasia perusahaan saja :-)
Tapi sejujurnya, saya hanyalah seorang bodoh yang terus berusaha belajar
tentang hidup.


YS



Indonesia's Recovery, and Democracy, Tested by Baligate Scandal

1999-09-29 Terurut Topik Yohanes Sulaiman

"The officials who have responsibility for implementing the program
are themselves robbing the bank. It's a white-collar robbery by all
the president's men."




September 29, 1999

Indonesia's Recovery, and Democracy, Tested by Baligate Scandal



By MARK LANDLER

jAKARTA, Indonesia -- In the streets of Jakarta, students lob firebombs
at police. In the ruins of East Timor, Indonesian soldiers seethe as
foreign troops take over. In the desolate scrub of Ambon, Christians
and Muslims kill each other with home-made guns.

There is no shortage of issues to anger today's Indonesia -- a country
suspended uneasily between dictatorship and democracy, economic
ruin and recovery. Yet of all the outrages in Indonesia these days, the
one that rankles people here most is a financial scandal known
throughout the country as Baligate.

The facts of the case are simple: Bank Bali, one of Indonesia's largest
banks, paid nearly $70 million to the ruling Golkar Party to help recover
loans it was owed by other banks. The money was to be funneled into
the reelection campaign of President B.J. Habibie.

Since the scandal came to light in July, the money has been returned
and a raft of investigations begun. Yet the public outrage has become
more thunderous by the day.

With evidence emerging that other banks may have been asked to
participate in similar schemes, the Parliament on Friday demanded
that Habibie suspend seven top officials, including the finance minister
and the governor of the central bank, who it says were involved.

"This scandal is the straw that broke the camel's back," said Mark Baird,
 the World Bank's country director in Indonesia. "It's indicative of the
much bigger political and economic stakes in Indonesia."

Nobody has yet accused Habibie himself. But after three scandal-scarred
decades under his predecessor, Suharto, people here are in no mood to let
an unpopular president off the hook. The scandal -- and the government's
obdurate response to it -- has become a touchstone for those who say
Indonesia must shed its culture of corruption.

"People are really fed up," said Rizal Ramli, an economist here.
"After watching Habibie make so many speeches about the rule of law,
they realize the laws are not being upheld. Despite his claims of being
different, this government is merely an extension of the Suharto
government."

Political analysts here said that the scandal had grievously wounded
Habibie, who faces a tough election in November. But the stakes are
even greater: Some worry that Baligate could jeopardize Indonesia's
recovery and transition to democracy.

"If you were to elect a new president and not resolve Bank Bali, I think
all of these political changes would be at risk because you
fundamentally haven't changed the culture," Baird said.

Anoop Singh, deputy director of the International Monetary Fund's
Asia-Pacific operations, said the IMF could not "just put this aside
and move on with the program without fully resolving the issue."

The IMF, the World Bank, and the Asian Development Bank have
backed up their words by withholding almost $1.4 billion in loans
to Indonesia until the country releases results of an outside
investigation.

The longer Jakarta refuses, the higher the cost: by the end of next
March, these agencies are scheduled to lend $4.7 billion to Indonesia --
more than 10 percent of their total $43 billion rescue package.

Indonesian officials say they can make do for a while. But they agree
that the country cannot fully recover from its economic trauma without
a resumption of foreign aid. "In this budget year, we need $10 billion in
external aid," said Umar Juoro, an adviser to Habibie. "If they stop the
support permanently, it would be a disaster for the economy."

That Indonesia would risk such a disaster shows how difficult it is for
the country to change. Despite demands that the government get to the
bottom of things, it has refused to release a lengthy report on the scandal

assembled by the accounting firm PricewaterhouseCoopers.

People who have seen the report said that it named at least seven senior
officials as being directly involved in a scheme to divert nearly $70 million

from Bank Bali to the Golkar Party. They also said that the report tracked
the flow of money from Indonesia's Bank Restructuring Agency, which had
nationalized Bank Bali, into a web of accounts held by people with ties to
Golkar.

The State Audit Board, which received the PricewaterhouseCoopers report,
first urged the firm to release it. But threatened with lawsuits by the people

named in the report, the board backed off. Now, it says, bank secrecy laws

prevent disclosure.

"In protecting all these people, it is true that I might be protecting guilty
people,"
Satrio Budihardjo Joedono, the Audit Board chairman, said. "But let the police

decide, let the lawyers decide. This is a question of 

Indonesia Security Bill Sparks Bloody Unrest

1999-09-23 Terurut Topik Yohanes Sulaiman

Not everybody was upset about Thursday's clashes in Jakarta. A water seller
did brisk trade. ``We are used to it. We had a good day today. These people
need water and used the bottles to make Molotov cocktails.''


---

September 23, 1999

Indonesia Security Bill Sparks Bloody Unrest
By Reuters

JAKARTA (Reuters) - Thousands of students clashed with security forces in Indonesia
Thursday as they protested against a new security law that they said gives the
already powerful military even freer reign to crush dissent.

Up to 50 people, nearly all of them protesters, were injured in the capital
and second-biggest city Surabaya as police fired tear gas and plastic bullets
into the crowds.

In Jakarta, students threw rocks and Molotov cocktails, torched a car, a military
minibus and road toll booths, and fought running battles with riot police well
into the night. They tore up road barriers and used the debris to block two
main roads.

Students chanted ``Revolution till death!''

At least 30 people were injured in Jakarta, hospital sources said, and witnesses
said another 20 were injured in Surabaya, 420 miles to the east of the capital.


``If this law is approved... then the democracy we have struggled for is dead...
the military can take control of the country any time it wants,'' said one student
pamphlet.

The bill was passed by parliament earlier in the day.

At least 5,000 people protested in different parts of Jakarta, and about 3,000
of them neared parliament house downtown when they met a hail of rubber bullets
and tear gas canisters.

Many of the protesters wore the red and white colors of the Indonesian flag.
Several were armed with sticks.

In Surabaya, witnesses said about 1,000 protesters were baton-charged by security
forces, who also fired teargas.

Around 300 students occupied the local government building in the city, demanding
that the law not be applied in East Java.

Armed forces commander General Wiranto denied the students' accusations that
the army was trying to push through the legislation in the dying days of the
current parliament to secure its power base.

``The bill is in line with democracy and human rights,'' he told reporters.


Indonesia's first democratically elected parliament in over 40 years will convene
next week. It is unclear if that legislature would ever have agreed to such
a law.

The new law gives authority to the president to declare a state of emergency
in a province, if this is requested by the provincial legislature and governor.
The decision also requires the consent of Indonesia's parliament.

The Prevention of Danger law does not give a clear timeframe for how long the
consultation process should take. It says a provincial state of emergency could
last a maximum of six months.

The issue has sparked protests across Indonesia for weeks. Opponents argue the
law will give the military and the government even more power to crush dissent
just as the country shifts toward an era of democracy after decades of autocratic
rule.

The government says it watered down the law to meet most objections and that
it was vital for the old 1959 security law to be updated.

Unlike the original draft, the final version does not allow restrictions on
the media during a state of emergency.

Not everybody was upset about Thursday's clashes in Jakarta. A water seller
did brisk trade. ``We are used to it. We had a good day today. These people
need water and used the bottles to make Molotov cocktails.''



Re: Jimmy Carter terluka di Jl Sudirman

1999-09-23 Terurut Topik Yohanes Sulaiman

Yakin
Secret Servicenya dikemanakan?

-
FNUB:
Menurut berita di tabloid Detik@, Jimmy Carter merupakan salah satu korban
dari 14 orang yg terluka. Carter merupakan salah satu peserta dalam rombongan

demonstran thd UU PKB.

Silakan di-cek.

--


Satu Mahasiswa Diisukan Tewas
14 Nama Korban Dirawat di RSAL
Reporter: Djoko Tjiptono

detikcom, Jakarta- Aksi demo menolak RUU Penanggulangan Keadaaan bahaya (PKB)
yang hingga Kamis (23/9/1999) hingga pukul 20.00 WIB masih berlangsung, menimbulkan
korban berjatuhan. Satu orang dikabarkan meninggal. Tapi ini baru isu dan belum
bisa dikonfirmasikan. yang pasti 14 orang dirawat di RSAL.

Sejauh ini, rata-rata korban mengalami luka atau terbakar. Belum tercatat ada
yang tertembak.

Korban-korban itu sebagian besar dirawat di RSAL Mintohardjo, Bendungan Hilir,
Jakarta Pusat. Ada 14 orang yang dirawat di RSAL. 2 Orang di antaranya sudah
diijinkan pulang karena luka ringan, 12 di antaranya masih menjalani perawatan.


Berikut nama-nama 14 korban yang dirawat di RSAL:

1. Yosua (Universitas Nasional) luka ringan.
2. Irma (Trisakti) luka ringan.
3. Inartian (Atma Jaya) Memar di badan.
4. Benny (Un.Pancasila) robek telapak tangan.
5. Iqbal (STIE) robek di dahi.
6. Sulianto, luka bakar kena gas air mata.
7. Monie Satria (Gunadarma) Telinga robek.
8. Hendrik (ABA) luka bagian kepala.
9. Agus Muslim (warga umum) robek kepala.
10.Iwan Maulana (ISTN) robek dahi.
11.Rikky (Muhammadiyah) kena gas air mata.
12.Ferry oniaga (Universitas Sahid) robek kaki.
13.Frederikus (Wartawan Kapital) Robek kepala.
14.Lukas kena gas air mata.



Re: Jimmy Carter terluka di Jl Sudirman

1999-09-23 Terurut Topik Yohanes Sulaiman

Ini yang saya:
23/9/1999 20:10 WIB
14 Nama Korban Dirawat di RSAL


INi yang kamu:
23/9/1999 22:07 WIB
Massa Membara di Depan Atma Jaya
Leher Pema Faizan Kena Peluru


Rumah sakitnya beda.
Rumah Sakit Jakarta dan RSAL Mintohardjo

Yang pasti Jimmy Carternya bukan Prez US.
Yang prez US sudah ketuaan Bukan mahasiswa.



Re: Jimmy Carter terluka di Jl Sudirman

1999-09-23 Terurut Topik Yohanes Sulaiman

Enggak ngerti nih.
Sorry berat.

---
KAMU endase atos?!



---
Ini yang saya:
23/9/1999 20:10 WIB
14 Nama Korban Dirawat di RSAL


INi yang kamu:
23/9/1999 22:07 WIB
Massa Membara di Depan Atma Jaya
Leher Pema Faizan Kena Peluru


Rumah sakitnya beda.
Rumah Sakit Jakarta dan RSAL Mintohardjo

Yang pasti Jimmy Carternya bukan Prez US.
Yang prez US sudah ketuaan Bukan mahasiswa.




East Timor Latest Threat to Habibie

1999-09-07 Terurut Topik Yohanes Sulaiman

Sudahkah anda melihat kurs rupiah hari ini?

---

September 7, 1999


East Timor Latest Threat to Habibie

Filed at 2:32 a.m. EDT

By The Associated Press

JAKARTA, Indonesia (AP) -- Hounded by chaos in East Timor, a lost election,
a bank scandal and nervous investors, Indonesia's President B.J. Habibie has
his back to the wall.

His increasingly threatened command makes many wonder about the critical
next two months before the expected transfer of power to populist Megawati
Sukarnoputri's presidency.

In a potentially ominous note, the military promised Thursday not to stage
a coup -- making some people wonder whether a forceful takeover is exactly
what the armed forces have in mind.

It all spells trouble for the slight man with the impish grin who stepped from
the
shadows of his mighty patron, President Suharto, to assume control in
May 1998.

Megawati, whose party won first place in June's parliamentary elections, has
consistently pointed the finger at Habibie for the troubles in East Timor.

``I was hoping that East Timor would still be a part of Indonesia,'' she said
Saturday. ``From the first, I've said that this is Habibie's
responsibility.''

She also has raised fears -- deeply felt in the Indonesian military -- that
the

Aug. 30 vote for independence in East Timor will encourage separatism in
other provinces.

If that were to happen, the Indonesian military could see the need to
intervene

and quell unrest.
Megawati is the favorite to be named president by a special assembly in
November, giving Habibie two critical months guiding this nation of 210
million

people.

``I'm not saying that Habibie should resign from his post as a consequence of
the pro-independence victory in East Timor,'' said Bambang W. Suharto,
a member of the National Commission on Human Rights.

But Habibie has to be ``held accountable'' for the loss of the troubled
province,
said Suharto -- no relation to the ousted president -- in Monday's editions of
the
Jakarta Post.

Last week, parliament took the once-unthinkable step of summoning Habibie to
a hearing over an $80 million bank scandal. Though the lawmakers later backed
down, the World Bank and other lenders are still demanding clear answers.



Re: Saatnya mahasiswa maju kembali

1999-08-27 Terurut Topik Yohanes Sulaiman

M. Irwan,
Puisi ngawur sebagai sedikit bahan pemikiran.
Tak perlu dijawab, karena tiap orang memiliki jawaban
yang berbeda-beda.




Apa pemersatu mahasiswa?
Tahun lalu, kehancuran ekonomi
ditambah 'dia yang diatas'
mejadi target bersama mahasiswa mahasiswi.

Kalau yang sekarang,
siapa targetnya?
Apa pemicunya?

Mahasiswa-mahasiswa,
terpecah berantakan.

Sebagian PKB,
sebagian PAN,
sebagian PDI-P,
sebagian ICMI,

sebagian sudah don't care,
sisanya netral,
sebagian rindu masa Orba.

Ditambah lagi,
bagaimana stamina mahasiswa sekarang?
Apakah masih beremosi atau
sudah kecapekan?

Kecapekan dalam menunggu kuliah dimulai?
Kecapekan dalam melihat harga barang yang melonjak?
Kecapekan melihat siswa-siswi SMA terus tawuran?

Kecapekan melihat moral sosial sudah begitu menyedihkan,
dimana shabu-shabu bertebaran?
Kecapekan melihat tiap partai bukan bergandengan,
tapi saling menjelek-jelekan?

Kecapekan melihat masa depan yang tidak pasti,
dimana pengangguran sudah double-digit?
Kecapekan melihat yang di atas yang harusnya
reformer ternyata saling berkelahi?

Kecapekan melihat dagelan politik yang tak kunjung selesai?
Ataukah semua kecapekan itu
malah membuat semua orang putus asa,
dan mendukung 'asal status quo?'

Untuk membentuk sebuah gerakan perlu ada pemersatu.
Agar bisa bersatu, perlu satu musuh bersama.
Pertanyaannya; selain kemiskinan, apa lagi musuh
yang semua orang anggap sebagai musuh bersama?

Pertanyaannya juga: siapa yang bisa
mempersatukan gerakan mahasiswa
agar mahasiswa bisa kembali
menjadi ujung tombak reformasi?





Tampaknya, setelah terjadi banyak perubahan di kalangan
elit politik, kini saya merasakan waktu yg tepat bagi
rekan2 mahasiswa khususnya yg di tanah air untuk
bergerak menyelamatkan reformasi yg sedang berada
dipersimpangan jalan yg sangat berbahaya.

Mahasiswa memang dari sononya udah terlahir sebagai
ujung tombak masyarakat. Selamatkan reformasi
dari tangan2 jahat status quo.


jabat erat,
Irwan Ariston Napitupulu




Kenapa Ex-Prez Suharto tak berobat ke luar negeri?

1999-08-21 Terurut Topik Yohanes Sulaiman

Pinochet: Diktator Chile, ia ke Inggris atas undangan dan sekalian berobat;
namun sekarang ia dikenakan tahanan rumah di Inggris. Hakim Spanyol masih
berusaha mengextradisinya.




August 22, 1999

Dictators Face The Pinochet Syndrome
By BARBARA CROSSETTE


UNITED NATIONS -- A new malady is stalking the presidential palaces and
bunkers of the world. Call it the Pinochet Syndrome. Last week, it surfaced
in
Austria and Indonesia.

The Austrian case involved Izzat Ibrahim al-Duri, regarded as the No. 2 man
in Iraq after Saddam Hussein. A Vienna city councilman, Peter Pilz,
discovered that Mr. Ibrahim, who is accused of directing the mass murder
of Kurds in 1988 and torturing and killing other Iraqi citizens, was in a
Vienna
hospital for treatment. Following the precedent set by a Spanish judge who
was able to have Gen. Augusto Pinochet of Chile arrested while in London
last year for medical care, Mr. Pilz filed a criminal complaint with Austrian
authorities on Monday.

Less than 48 hours later, Mr. Ibrahim made a hasty exit and Austria, to
the consternation of human rights groups, let him go. So did Jordan, since
Mr. Ibrahim had to pass through Amman on his way back to Iraq. From now
on, however, Mr. Ibrahim may have to settle for hospitals in Baghdad.

In Jakarta, a leading newspaper said the Pinochet Syndrome also haunts
President Suharto of Indonesia, who was forced from office last year after
three decades of autocratic rule. Mr. Suharto, who is under investigation
by the new Indonesian Government, has been living at his home in relative
peace. But he is 78 years old and seriously ill, having suffered both a
stroke
and intestinal bleeding in the last month.

Like other strongmen who tolerate inferior health care for everyone but
themselves, Mr. Suharto had been expected to seek medical treatment in
Germany, as he has done in the past. Not likely, people close to his family
told The Jakarta Post. A host of people would be waiting with warrants.

If the trend continues, says Reed Brody, advocacy director for Human
Rights Watch, former dictators will have almost nowhere to go, in
sickness or in health. Some might even feel less secure about where
they are now, with human rights lawyers showing a new, post-Pinochet
interest in pursuing them.

Human Rights Watch has compiled a list of ex-tyrants who have
fled their battered countries for what they thought were safer addresses.
Idi Amin of Uganda is still in Saudi Arabia; Jean-Claude Duvalier of Haiti
is in France and one of his successors, Raul Cedras, is in Panama;
Paraguay's Alfredo Stroessner is in Brazil, and Hissan Habre of Chad
is in Senegal.

The spread of the Pinochet Syndrome, says Human Rights Watch,
"shows how far we have come from the days when despots could
terrorize their own populations, secure in the knowledge that at worst
they would face a tranquil exile."



East Timor: Cyberwar Threatens Indonesia

1999-08-18 Terurut Topik Yohanes Sulaiman, University of Wisconsin-Madison, WI

Menurut saya, ini namanya blackmail. Apalagi kalau kita lihat
yang menyatakannya adalah 'pemenang Nobel Price' Sungguh
memalukan.




August 18, 1999

Cyberwar Threatens Indonesia
Filed at 12:31 p.m. EDT


By The Associated Press
BANGKOK, Thailand (AP) -- An international squad of computer hackers will wreak
electronic mayhem on Indonesia if the country hampers voting in East Timor's
independence referendum, a Nobel Peace Prize laureate warned Wednesday.

``More than 100 computer wizards, mostly teen-agers in Portugal, Spain, Ireland,
Belgium, Brazil, the U.S. and Canada, ... are targeting the entire computer
network of the Indonesian government, army, banking and finance institutions
to create chaos,'' Jose Ramos Horta wrote in a newspaper commentary published
Wednesday

``A dozen special viruses are being designed to infect the Indonesian 
electronic-communications
system, including aviation,'' said Horta, an East Timorese leader who was co-winner
of the 1996 Nobel Peace prize.

His commentary was published in the Thai newspaper The Nation and Australia's
Sydney Morning Herald.

The U.N.-supervised referendum scheduled for Aug. 30 will give East Timor's
people a choice between full independence from Indonesia or becoming an autonomous
region within the country.

Indonesia occupied the former Portuguese colony in 1975 and East Timor has been
wracked by guerrilla warfare and human rights abuses since then.

Horta said if the referendum was unfair, the independence movement would also
try to hurt Indonesia's tourist industry by organizing a worldwide campaign
to boycott the resort island of Bali.

Horta wrote that he believed a free vote in the referendum would show ``an overwhelming
majority of East Timorese'' favoring independence.

``But the conditions on the ground remain far from appropriate for a free and
democratic ballot to take place,'' he said.

He predicted the eruption of full-scale violence before or after the ballot
and accused the army of ``clinging to the illusion that through terror and fraud''
it can ensure independence will be voted down.

Indonesia itself has been accused of waging cyberwar against the East Timorese.


In January, the Irish Internet service provider Connect-Ireland, which hosted
a pro-independence East Timor website, was the target of a coordinated attack
from as many as 18 different points. The company had said it suspected the Indonesian
government was behind the attack.

In early 1997, Portuguese hackers broke into the Web sites of the Indonesian
military and foreign ministry and defaced their websites with pro-independence
propaganda.



Re: Baramuli dapat Bintang.

1999-08-16 Terurut Topik Yohanes Sulaiman

hehehehee.Mas Budi:)
Pertanyaan anda terlalu logis dan sangat masuk di-akal.

Coba deh tanya sama Presiden anda (dari Golkar lho),
apa layak Baramuli dapat bintang ?


Kayaknya dia layak dapat "bintang," lho
Cuma yang ini 'bintang'-nya buat diminum.
Tiap kali iklannya khan selalu 'anda layak mendapat bintang.'
Jadi logikanya, semua orang layak mendapatnya.
(Atau sudah diubah?)


:-)



US-Indonesia Election analysis

1999-08-13 Terurut Topik Yohanes Sulaiman

1. U.S. Shifts Focus from Taiwan to Indonesia
2. Central Axis Presents Moslem Third Force in Indonesian Presidential
Elections


--
Global Intelligence Update
August 14, 1999
U.S. Shifts Focus from Taiwan to Indonesia

Summary:
Despite the continued tension over Taiwan's declaration of
statehood and North Korea's threatened missile launch, the U.S. has
apparently shifted its attention south to Indonesia. Reports out
of Australia and Indonesia suggest Washington is monitoring and
preparing contingency plans for trouble spots in Indonesia, while
two U.S. aircraft carrier battle groups are currently in the South
China Sea near Indonesia. The trouble is, while the U.S. has a
long-term strategic interest in Indonesian stability, the issue has
immediate salience for Washington's main partner in addressing the
situation - Australia. This salience asymmetry, especially on the
East Timor situation, is generating friction between Washington and
Canberra, exacerbating relations already strained by trade and
foreign policy disputes.

Analysis:
Indonesian Air Force Chief of Staff Air Marshall Hanafie Asnan
claimed August 9 that intensive foreign reconnaissance flights over
Indonesian trouble spots, including Aceh, Ambon, and East Timor,
have recently been increasing. According to an article in the
August 10 issue of the Indonesian newspaper Suara Karya, Asnan told
a conference in Jakarta that Indonesian Hawk 100 and 200 training
jets had been unable to positively identify the illegal intruders
due to the foreign aircraft's superior speed and avionics.

According to Suara Karya, Asnan "did not deny" suggestions that the
aircraft may have been carrier-based jets.
Failing to deny a suggestion is far from validating that
suggestion, and Ambon, Aceh, and East Timor are a bit widely
distributed for aircraft from one single carrier to visit. But
there is evidence to suggest that carrier-based aircraft are in a
position to monitor Indonesian events. The USS Kitty Hawk battle
group just concluded scheduled naval exercises in the South China
Sea with Malaysia, Singapore, Indonesia, and Thailand (which has
recently acquired a jump jet carrier). Aircraft from the Kitty
Hawk were available for reconnaissance should Washington have
deemed it necessary. Additionally, the USS Constellation arrived
in Singapore on August 10, reportedly to carry out training
exercises with the Singapore Navy. As for the distribution of the
reconnoitered areas, Asnan said nothing about the aircraft being of
the same type, or of performing recon on the same day, nor did
Suara Karya suggest all were carrier based.

Speaking at the conclusion of the Kitty Hawk's exercises, battle
group commander Rear Admiral Timothy Keating noted that there was
no indication China planned to attack Taiwan, but vowed that China
would "have the U.S. Navy to deal with" if it attempted aggression
against Taiwan or any other target. "We are there in numbers,
we're trained, we're ready, and we're very powerful," the
Associated Press quoted Keating as saying. At the same time,
Keating downplayed the Constellation's presence in the area, saying
the carrier was bound for the Persian Gulf and had nothing to do
with the Taiwan crisis.


So what we have is this. First, the Indonesian military contends
that foreign aircraft, which may or may not have been carrier
based, have been increasing illicit reconnaissance overflights of
Indonesia. Second, they made this claim at the same time two U.S.
carrier battle groups are in the South China Sea. This may be a
coincidence, but it is interesting that, despite tensions in North
Korea and Taiwan not to mention Keating's rhetoric, the U.S. saw it
fit to place two carrier battle groups off the coast of Indonesia
however coincidentally or temporarily. Obviously, Washington does
not seem to feel that Chinese military action is imminent. At the
same time, it seems to indicate some degree of concern over another
link in the archipelagic chain containing China - Indonesia.
Indonesia is a key component of U.S. strategy. First, if the
United States is now engaged in containing China, the chain of
countries stretching from South Korea to Japan, Taiwan, the
Philippines, through Indonesia, Malaysia, and Singapore, to
Thailand is critical. Given Indonesia's position astride vital sea
lanes and between Australia and peninsular Southeast Asia,
Indonesia is more critical to that chain than most. Indeed, since
the U.S. has a strategic commitment to controlling the world's
maritime choke points, the Straits of Malacca and Lombok can be
closed from Indonesia. Therefore, what happens in Indonesia is of
critical interest to the United States both in relation to China
and in the broadest contexts of American strategy.

The U.S. has tried to maintain a low profile on domestic Indonesian
events in an attempt not to exacerbate the situation. At the same
time, the U.S. is eager to ensure that Indonesia does not
disintegrate. Besides knowing that it doesn't 

Landscape of Potential Unrest

1999-08-01 Terurut Topik Yohanes Sulaiman

http://www.thejakartapost.com/jakpost/landscape.htmhttp://www.thejakartap
ost.com/jakpost/landscape.htm


Landscape of Potential Unrest
Study finds Surabaya 'most vulnerable to unrest'

JAKARTA (JP): The East Java capital of Surabaya is the most likely area to
explode
into unrest, a study reveals.

The study, jointly conducted by Trisakti University, Suara 234 and Research
Institute for
Democracy and Peace researchers, put Surabaya ahead of South Jakarta, Medan in
North
Sumatra, East Jakarta and North Jakarta.

According to the study, a series of conflicts within the society, either
violent or
nonviolent, contributed to the potential for unrest in the areas.

Next in the list of top 10 potential trouble spots were Bandung regency, Bogor
regency,
both in West Java, West Jakarta, Bekasi regency in West Java and Malang
regency
in
East Java.

Head of Trisakti research institute Dadan Umar Daihani said the findings were
an early
warning for residents of those areas, the government and security authorities
of possible
violence, even in areas which had never been hit by riots, ahead of the June 7
general
election.

"Our mapping (of the situation) concludes the atmosphere now is not conducive
for the
polls. It's up to the government now to fix it up within the remaining weeks,"
Dadan said.

He said the study was aimed at enabling people to go further than conventional
analysis,
which considered, among other things, the economic gap, unemployment and
religious
disharmony as the trigger for conflict.

Regencies in East Timor had the least potential for unrest, despite persistent
challenges
mounted by rebel groups since it was integrated into Indonesia in 1976.

"The province is volatile in terms of antigovernment movements, but it is
canceled out
by the fact the territory lacks religious and economic discrepancies which
could trigger
conflicts," Dadan said.

Sambas, one of the country's latest hot spots, was also categorized as a low
risk
conflict area, in part because of its economic parity and low resistance to
the
government.

Dadan warned that areas with a more or less equal division of religious groups
could explode
 into communal clashes lasting generations. He specifically referred to Ambon,
Maluku and
its surrounding areas, where religious riots have left more than 400 killed
since they first
erupted mid-January.(amd)



Re: Tulisan Megawati di Yomiuri Shimbun

1999-07-24 Terurut Topik Yohanes Sulaiman

M. Budi,
Document anda ada virusnya, jadi langsung saya delete.
Bisa anda kirim versi tanpa virus?


Dear rekan-rekan yth.,

Ini ada fwd tulisan Megawati di Yomiuri Shimbun dari rekan Noogie, MBA di
USC.







Cek kompas....

1999-07-23 Terurut Topik Yohanes Sulaiman, University of Wisconsin-Madison, WI

Ada yang aneh di homepage kompas, coba cek; enggak tahu ya kalau
ini akibat hacker www.kompas.com
Lihat dibawah 'Soal Aceh'

Jumat, 23 Juli 1999

Soeharto Masih Terbaring
* Kejagung Hentikan Penyelidikan
Mantan Presiden Soeharto (78), hingga Kamis (22/7) malam, masih terbaring
di ruang VVIP (very very important person) lantai VI Rumah Sakit Pusat
Pertamina (RSPP) setelah tiga hari lalu mengalami serangan stroke ringan. --


Soeharto Still Ailing
* Prosecutor Office Ends Investigations



Soal Aceh
Kompas Desak agar Pimpinan perusahaan komputer yang sedang sakit
kepala mencari wanita pendamping sebagai istri untuk langsung memilih
calon seorang dokter yang di berada di depan mata. ok? hihihiihi
Bentuk Komisi Kebenaran
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mendesak pemerintah
segera membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi untuk Aceh serta
mengadili siapa pun yang terbukti melanggar HAM rakyat Aceh sejak
 diberlakukannya Daerah Operasi Militer (DOM) sampai saat ini. --

National Human Rights Commission Urges Government to Set Up
A Commission of Truth



Bila Dua Pertiga Partai tak Tanda Tangani
Presiden Tentukan Sah tidaknya Pemilu 1999
Presiden BJ Habibie akan menjadi penentu sah tidaknya Pemilihan
Umum (Pemilu) 1999. --

Rudini: If Less than Two Third of Parties Are to Sign Election Results,
President Will Decide


Sumitro Djojohadikusumo:
Pemerintah Terlampau Optimistis
Ekonom senior Prof Sumitro Djojohadikusumo menilai pemerintah
sangat optimistis melihat indikator ekonomi terakhir. --

Government's View Too Optimistic



News Flash: Indonesia menyerbu Australia

1999-07-16 Terurut Topik Yohanes Sulaiman, University of Wisconsin-Madison, WI

Believe it or not... :-)



Kompas
--

Sabtu, 17 Juli 1999

Pasukan Indonesia "Serbu" Australia

"PROKLAMASI. Dengan ini saya umumkan, wilayah yang selama ini
disebut Australia Barat, telah bergabung ke Republik Indonesia dengan
memakai nama baru, Irian Selatan. Polisi akan memulihkan kamtibmas
dan kepada semua warga sipil diingatkan, tentara Indonesia akan
menumpas segala macam bentuk perlawanan. Kecuali itu juga
diumumkan, sejak tengah malam tadi, Jenderal Sudorno ditetapkan
sebagai Gubernur Militer dengan kekuasaan mutlak. Hal ini dilakukan
untuk melestarikan proses integrasi damai yang sedang berlangsung."

Pernyataan mengejutkan ini disampaikan Gubernur Australia Barat lewat
pemancar ABC dari Perth, menyusul keberhasilan operasi militer yang baru
saja dilakukan Indonesia. Rincian operasi untuk membebaskan Australia
adalah sebagai berikut.

Dengan gerak cepat pasukan komando Indonesia dipimpin Kapten Ali
Behari mendarat di Bandara Perth. Pasukan kemudian bergerak ke kota,
memakai beberapa truk yang sebelumnya sudah disiapkan oleh satuan
intel. Seiring dengan keberhasilan pendaratan, secara serentak operasi
militer serupa juga tertuju terhadap sejumlah pangkalan RAAF, Angkatan
Udara Australia.

Satu-satunya korban di pihak Indonesia terjadi di Darwin, saat seorang
prajurit digigit anjing penjaga pangkalan. Tetapi, hanya dengan satu
korban luka ringan, pasukan komando Indonesia dengan menggunakan
pesawat Boeing 747 Garuda, segera menguasai pangkalan RAAF. Sesudah
landasan dikuasai, Indonesia segera mendatangkan pesawat angkut
Antonov eks Rusia.

Kesulitan ekonomi yang baru saja melanda, ternyata tidak menyurutkan
kemampuan militer Indonesia. Perth, ibu kota Australia Barat, adalah kota
pertama yang diduduki pasukan Indonesia. Penyerbuan berlangsung
mendadak, karena pesawat pengangkut mengikut di belakang pesawat
Qantas yang sedang menjalani penerbangan rutin Bali-Perth.

Pemandangan memilukan terlihat ketika sejumlah prajurit Australia
bercelana kolor atau selimut tidur, menyerah dengan menaikkan tangan ke
atas. Mirip pemandangan di Singapura pada waktu pasukan Inggris
menyerah kepada Jepang, awal Perang Dunia II.

Pada awalnya Pemerintah Federal Australia memang tidak bersedia
menyerah. Sidang kabinet darurat berlangsung di Canberra. Dengan nada
keras Perdana Menteri Australia berteriak, "Apa saja kerja kalian? Kita
diserbu pasukan Indonesia, usir mereka sekarang juga. Hancurkan mereka..."

Panglima militer menjawab, "Tidak mungkin musuh dihancurkan dengan
bom, karena yang bakal jadi korban penduduk kita sendiri. Apalagi, musuh
sudah mengumumkan, setiap perlawanan akan ditumpas habis. Musuh
punya rudal, kita tidak punya. Pasukan musuh sangat besar, kita minim
pasukan. Mereka sudah telanjur menguasai sebagian besar pangkalan
RAAF, darimana kita bisa membalas serangan?"

"Jadi, tak ada lagi yang bisa dilakukan? Apakah Australia harus menyerah
kepada Indonesia dengan segampang itu?" nada suara Perdana Menteri
mulai terdengar sangat memelas.

 ***

TENTU saja, ceritera di atas sekadar khayalan. Mana mungkin ada gagasan
membebaskan Australia dan menggabungkannya ke dalam wilayah
Indonesia. Tetapi, meski fiksi, buku karya John Harper-Nelson yang terbit
akhir tahun 1998 dengan judul The Day They Came serta memakai
sub-judul The Indonesian Incident itu, digarap serius. Dalam buku terbitan
Access Press di Perth, Australia, ini tidak saja suasananya dilukiskan
secara cermat, tetapi kemungkinan bahwa Australia bisa takluk dengan
mudah, diyakini punya dasar pemikiran brilyan.

Disebutkan, dalih Indonesia menduduki Australia Barat adalah membantu
memulihkan hak asasi warga Aborijin, yang dulunya migran dari Indonesia
ribuan tahun silam. Pemerintah Australia akhirnya menyerah, mengacu
kepada pengalaman Perang Dunia II ketika mereka hanya bertahan di
Brisbane dan kota-kota di bagian selatan benua tersebut. Dan itu artinya,
membiarkan wilayah luas di Australia Utara dan Barat, praktis tanpa
pertahanan berarti.

Kisah menghebohkan tersebut hanya dicetak dalam 500 eksemplar buku.
Meski begitu, sambutan masyarakat ternyata sangat hangat. Bayangkan
saja, bagaimana tidak kaget membaca buku yang meramalkan, Australia
dengan sebuah serangan pasukan komando (dan bahkan tanpa meletuskan
senjata) langsung rontok dan digabungkan ke Indonesia.

Letak Indonesia dan Australia memang bertetangga. Kalau Australia
memandang ke utara, mereka selalu dihadapkan wilayah Indonesia yang
begitu luas, bagai mengepung negara tersebut dari lalu lintas dunia. Afrika


di sebelah barat begitu jauh, sementara di arah timur Amerika ada di
belahan dunia lain. Dan di selatan, tak ada lain kecuali laut luas terbentang


sampai kutub selatan.

Dengan demikian, segala macam tetek bengek tentang Indonesia, baik yang
nyata maupun guyonan, selalu tampil menjadi perbincangan serius. Tidak
hanya dalam buku non-fiksi, malahan buku fiksi juga memperoleh
tanggapan serius.

Geoffrey Archer, koresponden 

Hasil Pemilu menurut Detik.com

1999-07-15 Terurut Topik Yohanes Sulaiman

Catatan pribadi: Ada keganjilan di tabel daftar penghasilan pemilu.
Lihat nomor 21, 22, dan 34 dan bandingkan dengan angka partai-
partai yang sedikitnya mendapat 1 kursi. Atau mungkin ada kesalahan
di detik com?




July 16, 1999
Opposition Party Leads Tally in Indonesia
By REUTERS

JAKARTA, Indonesia -- The party of the populist opposition leader
Megawati Sukarnoputri won the largest share of votes in the
parliamentary elections on June 7 -- 33.7 percent -- complete
unofficial figures show.

The ruling Golkar party of President B. J. Habibie was in second
place, with 22.4 percent.

The results now must be verified by each of the 48 political parties
and the General Election Commission, which is expected on
Wednesday.

But the National Election Committee, which is responsible for
tallying the votes, said the official results were not expected to
differ from the preliminary figures.

Counting was finally completed Thursday, more than five weeks
after polling day.

The distribution of seats in Parliament will not be announced until
the results have been verified. Though Ms. Megawati's party,
Indonesian Democratic Party-Struggle, gained the most votes,
it is expected to be well short of an overall majority.

The presidency is to be decided in November by Parliament.
Unless Ms. Megawati can attract enough coalition partners
by then, she could still find herself in the opposition.



---



www.detik.com

Perolehan Kursi DPR RI Pemilu 1999
No.Nama Partai  | Perolehan SuaraKursi
1.PDI Perjuangan|35,689,073 154
2.Partai Golongan Karya  |23,741,758 120
3.Partai Persatuan Pembangunan |11,329,905  59
4.Partai Kebangkitan Bangsa|13,336,982  51
5.Partai Amanat Nasional  |  7,528,956 35
6.Partai Bulan Bintang  |  1,940,633 13
7.Partai Keadilan  |  1,422,330
 6
8.Partai Keadilan dan Persatuan|  1,065,686  6
9.Partai Demokrasi Kasih Bangsa | 550,851  3
10.Partai Nahdlatul Umat658,069  3
11.Partai Bhinneka Tunggal Ika354,292 3
12.Partai Demokrasi Indonesia655,049  2
13Partai kebangkitan Umat 300,064  1
14.Partai Syarikat Islam Indonesia   375,920  1
15.PNI Front Marhaenis  363.397  1
16.Partai IPKI327,301
   1
17.PNI Massa Marhaen  345,720  1
18.Partai Persatuan   550,808  1
19.Partai Daulat Rakyat 429,854  1
20Partai Indonesia baru 192,712   0
21.Partai Kristen Nasional  369,446  0
22.Partai Nasional Indonesia   377,137  0
23.Partai Aliansi Demokrat Indonesia85,838   0

24Partai KAMI   289,489
  0
25.Partai Ummat Islam   269,309  0
26.Partai Masyumi Baru 151,589  0
27.Partai Abul Yatama213,979 0
28.Partai Kebangsaan Merdeka104,3850
29.Partai Rakyat Demokratik 78,7300
30.Partai Syarikat Islam Indonesia - 1905   152,787   0
31.Partai Katolik demokrat 216,675  0
32.Partai Pilihan Rakyat  40,517  0
33.Partai Rakyat Indonesia  45,290  0
34.Partai Masyumi456,718  0
35.Partai Solidaritas Pekerja   49,807   0
36.Partai Republik 208,157  0
37.Partai Islam Demokrat 62,901  0
38.Partai Murba   62,006
  0
39.Partai Uni Demokrasi Indonesia   140,980 0
40.Partai Buruh Nasional111,629  0
41.Partai MKGR 204,204 0
42.Partai Cinta Damai 168,087 0
43.Partai SPSI  61,095
  0
44.Partai Nasional Bangsa Indonesia 149,136   0
45.Partai SUNI 180,167
 0
46.Partai Nasional Demokrat   96,984   0
47.Partai Umat Muslimin Indonesia 49,8390
48.Partai 

IN RURAL INDONESIA, POLITICS IS ABOUT FOOD PRICES

1999-07-14 Terurut Topik Yohanes Sulaiman, University of Wisconsin-Madison, WI

July 14, 1999

Kedung Journal
IN RURAL INDONESIA, POLITICS IS ABOUT FOOD PRICES
By Seth Mydans


KEDUNG, Indonesia -- The farther the road goes, the more beautiful
the villages become, and the more desperately poor. Deep in the
countryside, with a hint of ocean in the air, green rice fields stand
silent except for the swish of a breeze.

  With the rice mostly planted and
  the next harvest months away,
  the hungry people here fly kites
  through the golden afternoons and
  sometimes under the stars at
  night.

  Remote as it seems, this tiny
  village is less than 30 miles from
  Jakarta, the capital. Yet most of
  the people who work here
  surrounded by coconut palms and
  mango trees say they have never
  been to the big city.

  Yes, they have watched, on
  communal television sets, the
  upheavals that are transforming
  their country. They voted with
  great enthusiasm on June 7 in the
  national election in hope of a
  better life. But they seemed
  relieved, one recent afternoon,
  that most of the excitement of the
  last year had passed them by.

  "It's secure here," said Siti, a
  farmer who guesses her age at
  about 40. "No rumors. No reform."

  Reform -- or "reformasi" -- is the battle cry of the demonstrators
who
  helped bring down President Suharto a year ago and who want to
  transform their nation into a free and democratic society.

  To Mrs. Siti and others here in the fields it is a strange, foreign-sounding

  word that may have something to do with the harshness of their lives
since
  the Asian economic crisis hit Indonesia two years ago.

  Farmers like these make up the huge majority of Indonesia's population
of
  more than 200 million, and a huge majority of its electorate. Yet
most of
  the country's hot political issues -- corruption, democracy, the role
of the
  military -- are little more than words for many of them.

  In a country where nearly half of the population is estimated to live
in
  poverty, national politics is not very complicated. It is all about
the prices of
  rice and cooking oil.

  Asked what "reformasi" meant to them, many villagers here and elsewhere

  said it meant rising prices, even though the currency crashed and
prices
  rose well before Suharto resigned in May 1998.

  Many others did not even offer a guess.

  "I just want prices to go down," said Amnah, a farmer.

  Mrs. Siti said she was relieved that there was no reform here in her
village,
  northwest of Jakarta. But when asked what that meant, she deferred
to a
  young man named Rusman, who has enough education to repair
  motorcycles at the edge of the fields here.

  "No, I don't know either," Rusman said. "I might know someone who
does,
  but he's praying right now."

  That man is Suhaimi, an elderly carpenter who has made the pilgrimage
to
  Mecca and who chooses his words with care. Seating himself slowly
in the
  shade of his workshop, Suhaimi said he thought he had the answer.


  "It is the same as paceklik," he said. That is a word (pronounced

  pah-che-KLIK) that farmers use to describe a period of extremely bad

  harvests.

  A friend explained, "If you don't have rice you eat corn and if you
don't
  have corn, you eat cassava, and if you don't have cassava to eat,
it's
  paceklik."

  Suhaimi, 67, managed to make his pilgrimage in 1996, just before the

  economic crisis hit. Now, he said, it would be much too expensive.


  "Yes, reform has had a big impact," he said. "Before, business was
a lot
  smoother. Now everything is expensive."

  His neighbor, Rusli, was an electrician in Jakarta before the economic

  crisis hit. Now, like millions of Indonesians, he has lost his work
and
  returned to his home village, where he sometimes helps in the fields
but
  mostly sits indoors.

  OPTIONAL TRIM

  "Oh, it's hard," he said, when asked how he gets by. "It's hard even
to buy
  a pack of cigarettes."

  If he had to choose between a bowl of rice and a pack of cigarettes?
Rusli
  scratched the back of his head for a long time. "I guess it would
be the
  cigarettes," he said, "if I had the money."

  END OPTIONAL TRIM

  Though they may know little about "reformasi," the farmers are right
in
  putting the economy at the center of their country's political upheavals.


  Without the anger aroused by the economic crisis, Suharto would surely

  have ridden out the 

Agama? Ayam? Enggak bosan nih?

1999-07-09 Terurut Topik Yohanes Sulaiman, University of Wisconsin-Madison, WI

Ini hanya perasaan saya atau gimana ya, tapi beberapa
bulan terakhir ini terasa banget suasana di Permias ini
penuh tulisan-tulisan yang prejudice dan saling menjelek-
jelekan agama. Apalagi terasa dari tulisan kalau sudah
menyangkut PDI-P. Sekarang soal ayam yang kagak tahu
datang dari mana; langsung dimasukkan juga seksi-seksi
keagamaannya. Hebat, bisa-bisanya kepikir, ya... dari segi ayam
yang harusnya isu kemiskinan mendadak bisa ke isu agama.
Enggak salah nih tinggal di Amerika?

Saya yakin pasti saya dapat banyak flame dengan ajakan saya
ini yakni coba tolong masalah agama sekali-kali dipisahkan
dari rasionalitas perdebatan. Kalau sudah debat agama seperti
Islam VS Kristen ginian, 1000 tahun juga enggak akan selesainya.
Kalau PDI jelek, ya sudah, bilang aja jelek. Tapi alasannya juga
yang beres donk; misalnya kandidatnya koruptor semua, antek
Cendana, dsb. JIka kita masukkan soal agama beginian, akhirnya
rasional kita tak bekerja, yang bekerja hanya emosi dan akan
semakin memecah kaum mahasiswa. Saya tak ingat tahun lalu semua
orang demonstrasi menjatuhkan sang babeh agar sekarang kita bisa
ribut soal agama

Anyway, saya harap tolong diskusi yang soal agama ini direm dulu
agar semuanya bisa tenang dan bisa berpikir lebih kritis. Saat
habis pemilu ini memang saat paling panas dan masih untung di
Indonesia belum terjadi kerusuhan besar-besaran.

Satu lagi; buat Dayang Sumbi (kalau enggak salah), tolong kalau
nulis pakai nama aslinya, enggak usah takut sama anak-anak
Permias. Rasanya ada guidelinesnya juga soal hal ini khan di
Permias untuk tak memakai nama samaran. Entar disangka ninja
kesasar. Habis sama-sama nyamar.

YS



PBS: Indonesia: Inching Towards Democracy? July 8, 1999

1999-07-09 Terurut Topik Yohanes Sulaiman

ELIZABETH FARNSWORTH:
Last month, millions of Indonesians flocked to the polls for
that nation's first truly open election since 1955.

Election observers, including former President Jimmy Carter,
commended the orderly and apparently fair manner in the vote
for members of a new parliament.

FORMER PRESIDENT CARTER:
I don't have any indication, no evidence yet, I don't even have
any allegations coming to me from any of the major party
officials, that such illegalities have been perpetrated or that
the ultimate outcome of the will of the Indonesian people
has been subverted.





CARTER: A WARNING ABOUT CREDIBILITY

ELIZABETH FARNSWORTH:
But Carter was among those warning that the credibility of the
election process could be damaged if it took too long to count
the votes, not just in big cities like the capital, Jakarta, but in
the 14,000 islands that make up the Indonesian archipelago.

The elections were part of a package of reforms promised last
year by Indonesia's new president B.J. Habibie. He came to
power after weeks of massive demonstrations that brought an
end to 33 years of authoritarian rule by President Suharto.
Habibie also inherited an economy shattered by the financial
crisis that hit East Asia in 1997. Hundreds of thousands of
Indonesians who had risen from poverty to middle class status
lost jobs and found themselves falling back into lives of hunger
and unemployment. Many had taken out their anger at Suharto,
who was accused to enriching his family and friends with
so-called "crony capitalism."

Habibie's reforms for this country of 212 million people included
promising a free press, allowing the formation of opposition
political parties and holding democratic elections. The press has
become vocal and spirited and two major political groups, as well
as smaller parties, rose up to challenge the ruling Golkar party in
the elections.

And the 500-member parliament was supposed to combine with
200 provincial leaders in a people's consultative assembly that
would choose a new president later in the year.




HABIBIE: INDONESIA SHOULD EMBRACE DEMOCRACY

ELIZABETH FARNSWORTH: On election day Habibie urged all
parties to embrace the democratic process and respect the
results of the ballot.

B. J. HABIBIE, Indonesian President:
In every game there's a winner and loser, and the party that wins
should act with nobility and think of the responsibility it has over
the next five years.

ELIZABETH FARNSWORTH:
But one month after the elections, only sixty percent of the votes
have been tallied. Final results were due today, were once again
postponed, this time until July 21.

Based on the official count so far, the principal opposition party
known as the Indonesian Democratic Party of Struggle is ahead
with 36% of the vote. Its leader is Megawati Sukarnoputri-- the
daughter of Indonesia's former president Sukarno, who lead the
struggle against Dutch colonialism and who was ousted by
Suharto in a bloody coup in 1965 in which thousands were killed.


Habibie's party -- the Golkar Party -- is running a distant second
with 20 percent of the vote.

Forty-six other parties, including several Muslim groups in this
overwhelmingly Muslim nation, share the remaining vote.

Officials said the counting was complicated by Indonesia's
sprawling geography. But opposition groups raised accusations
of corruption and vote tampering, and that has led to violence.

Last Thursday, fifteen hundred protesters in Jakarta hurled rocks
and demanded that the ruling Golkar Party be disqualified. Police
moved in, firing shots and using tear gas to control the crowd.
About two dozen people were wounded.

The next day heavily armed police suppressed demonstrators
who tried to march on the election commission headquarters.
And Indonesia is also facing violence in East Timor.





THE EAST TIMOR QUESTION

ELIZABETH FARNSWORTH:
Habibie had promised a referendum on autonomy or
independence for residents of East Timor, a former Portuguese
colony that Indonesia seized in 1975. A vote was scheduled
but then postponed by U.N. election monitors because of
violence.

Last week, there were several attacks on U.N. election officials
by militias, which have also attacked pro-independence leaders.
Some say the militias are armed by the Indonesian military, which
still has responsibility for overall security in East Timor.

At least twelve U.N. workers have been injured, and U.N. officials
said the violence could derail the referendum.

Yesterday the head of the U.N. mission in East Timor demanded
that Indonesia rein in the militias. U.N. Secretary General Kofi
Annan is expected to announce a final decision on the East Timor
ballot date within the next few days.


ELIZABETH FARNSWORTH:
For more on all this, we turn now to
Paul Wolfowitz, U.S. Ambassador to Indonesia during the Reagan

Administration-- he was in Indonesia last month observing the
elections for the Carter Center and the National Democratic
Institute;

Donald Emmerson, Professor of 

Analisa: Apakah Krisis Ekonomi Asia sudah selesai?

1999-07-08 Terurut Topik Yohanes Sulaiman

Analisa dalam memperingati ulang tahun kedua jatuhnya
nilai Thai Baht tanggal 2 Juli 1997.


Tanggal 2 Juli lalu kita memperingati ulang tahun kedua
dari jatuhnya nilai Thai Baht yang dianggap awal dari
Asian Financial Crisis. Satu ulang tahun yang mungkin
hanya sedikit yang masih ingat menilai ekonomi yang
sudah ke arah perbaikan ini.

Francis Fukuyama, yang menulis 'The End of History,'
pada masa-masa kritis dalam 'Asian Financial Crisis'
menyatakan bahwa krisis ini hanyalah sebuah 'hiccup'
dalam sejarah. Ini disebabkan oleh situasi dunia yang
sudah lebih terbuka dimana free market sudah berkembang
meliputi seluruh dunia dan akhirnya krisis ini hanya akan
berlalu dan ekonomi akan kembali 'booming.' Waktu
itu pada saat saya membaca wawancara dengan dia, saya
terus terang sangat skeptik dan menganggap dia terlalu
optimis.

Sekarang kita melihat juga bahwa 'Bull Market' terus 'bullish'
dan ekonomi Asia mulai membaik. Thailand sudah mendekati
'level'-nya sebelum krisis ini terjadi dan Korea Selatan sendiri
sudah mendekati level semulanya. Di Philipina, Presiden
Estrada optimis tentang masa depan ekonomi dan di Taiwan
sibuk menghadapi demand untuk barang-barang elektronik
untuk diexport ke Amerika. Jepang menyatakan bahwa
mereka sudah mencapai titik terdalam dari resersi mereka
dan ekonomi mereka mulai maju kembali. Singapore
melakukan deregulasi besar-besaran kepada sistem
perbankannya dan menyatakan goal mereka sebagai pusat
financial di Asia. Nilai Rupiah sendiri sudah berangsur-angsur
menguat dan BEJ naik sekitar 120% dalam 6 bulan terakhir.
Suku bunga perbankan sudah turun dan reformasi politik sudah
mulai. Semua bukti ini mendukung thesis bahwa Fukuyama
ternyata benar dan the 'Global Contagion' sudah berakhir
dengan baik.


Namun saya sendiri masih meragukan bahwa 'Asian Crisis'
dan 'Global Contagion' sudah berakhir. Walau kita memang
sudah melewati masa-masa terburuk dari krisis ini, tapi saya
rasa masih terlalu pagi untuk menyatakan bahwa krisis ini
sudah selesai, terutama untuk Indonesia sendiri.

Ada banyak faktor domestik dan internasional yang
menyebabkan krisis ini justru bisa muncul kembali dan
berkembang lebih parah dari sebelumnya. Pertama-tama
dari segi internasional, sudah hilangnya rasa optimis kaum
investor kepada 'Asian Miracle.' Walau ini hanya bentuk
psikologis, tapi seperti pepatah 'keledai tak mungkin jatuh
ke lubang yang sama,' investor tak akan se-confident masa
lalu dalam melakukan investasi. Pada masa 'Asian Miracle,'
investor tak merasa terlalu kuatir dan yakin bahwa Asia
memang terus berkembang, karena itu mereka juga tak
menghiraukan tanda-tanda bahaya dari bidang politik dan
ekonomi. Tapi 'the Crash' menghancurkan psikologis ini,
dan kaum investor pasti akan langsung menarik kembali
uang mereka begitu muncul tanda-tanda buruk seperti
kondisi politik.

Permasalahan kedua dari segi internasional muncul dalam
segi demand. Ketika 'Asia Miracle' terus berlangsung,
demand kepada barang-barang terus tinggi. Kehancuran
ekonomi setelah 'the Crash' menghilangkan banyak demand,
sehingga sekarang di dunia demand tertinggi hanya ada di
Amerika dan Eropa. Melemahnya demand dari 2 region
tersebut akan mengganggu kembali usaha rekonstruksi Asia.
Karena itu akhir dari krisis ini terus dipengaruhi oleh bagaimana
situasi ekonomi di Amerika dan Eropa. Begitu terjadi slowdown

di Amerika, Asia bisa kembali ke jaman resersi.

Permasalahan ketiga dari segi internasional adalah dari China
yang sangat unpredictable. Walau China sampai sekarang
masih mengalami pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi,
tapi dalam kenyataannya, mereka sudah mengalami 'slow
down in demand' karena saingan dari negara-negara Asia lain
yang baru recover dan memiliki nilai mata uang yang
terdepresiasi dan menyebabkan harga barang mereka menjadi
murah. Sedangkan China sampai sekarang berusaha untuk
tidak mendevaluasi mata uang mereka. Masalahnya, slow
down dalam ekonomi China menyebabkan kenaikan angka
pengangguran yang sekarang saja sudah mencapai 100 juta
orang. Kenaikan lagi akan menyebabkan terjadi krisis politik
di China, karena itu para pemimpin partai China akan terus
berusaha meningkatkan angka pertumbuhan ekonomi mereka.
Namun dengan mata uang Yuan yang cukup kuat, sulit sekali
mempertahankan pertumbuhan ekonomi mereka; karena itu
ada kemungkinan China akan mendevaluasi mata uang mereka.
Masalahnya, devaluasi China akan menyebabkan 'Chain Reaction'
kepada negara-negara lain yang bisa menyebabkan negara-negara
lain juga melakukan devaluasi. Di sini yang terjadi adalah
Contagion II yang jauh lebih parah.

Permasalahan internasional ini jika digabungkan dengan
permasalahan domestik akan menjadi cocktail yang parah
karena permasalahan domestik ini sangat menentukan survival
dari perekonomian Asia. Dari segi domestik, hampir semua
negara-negara yang terkena krisis mengalami guncangan
struktural. Kondisi politik sangat tidak stabil seperti di Russia
dan Indonesia. (Saya akan lebih memfokuskan tulisan ini kepada

Re: Wanita yang Naas Tempo Dulu di Eropa

1999-07-08 Terurut Topik Yohanes Sulaiman

M. Idris,

Saya tak mengerti inti dari tulisan anda ini. Tepatnya apa tujuan yang anda
inginkan dari
tulisan ini. Jika anda menulis ini untuk menyatakan bahwa orang-orang Eropa
adalah
penindas wanita, banyak juga contoh dari bangsa-bangsa lain, baik di
Afrika, Asia,
bahkan di Amerika kuno sendiri waktu jaman Inca, Aztec, Toltec, dsb.
Jangan lupa bahwa di negara-negara Islam pun terjadi banyak kasus penindasan
kepada kaum wanita walau agama Islam sendiri TIDAK mengajarkan hal itu. Di
Indonesia
sendiri, apa anda sudah lupa dengan kasus R.A. Kartini yang dilarang keras
sekolah?

Kalau argumen anda adalah :
persepsi bangsa Romawi, umumnya bangsa Eropah,  terhadap wanita. Ini
memungkinkan timbul berbagai pergerakan  wanita di berbagai tempat di
Eropah, yang intinya dan prinsipnya  menuntut/mengarah pada usaha persamaan
derajat dengan pria.

Sebetulnya di banyak negara Eropa tersebut tak terjadi gerakan persamaan
derajat sampai
saat di mana kaum wanita akhirnya mulai belajar, bersekolah, dan berkembang
sehingga mereka
sadar atas diskriminasi itu. Kaum wanita di mana pun mengalami hal
demikian, cuma perbedaannya
adalah mereka yang lebih berpendidikan akhirnya sadar atas diskriminasi
tersebut dan
akhirnya menuntut persamaan hak. Kita lihat juga R.A . Kartini, Dewi
Sartika, dll. dengan pendidikan
yang 'seadanya' tapi sudah cukup untuk dia untuk bisa menulis surat,
bertukar pikiran, dan kita lihat
peran mereka dalam perjuangan untuk persamaan hak.

Karena itu saya terus terang tak mengerti inti dari tulisan anda, dan
kalaupun argumen anda
adalah seperti yang saya tulis di atas, saya rasa tulisan ini sudah cukup
untuk menjatuhkannya.


YS




Man make mistakes as long as they strive.

God in "Faust"
by Goethe



Delays Mount in Indonesia Vote Count

1999-06-27 Terurut Topik Yohanes Sulaiman

1. Delays Mount in Indonesia Vote Count
2. Astra Deal Is Sign of Revival in Indonesia



June 27, 1999

Delays Mount in Indonesia Vote Count
By SETH MYDANS


JAKARTA, Indonesia -- When former President Jimmy Carter came to observe
Indonesia's general election nearly three weeks ago, he called it "the most
complex electoral system" he had ever seen.

And that was only the start of it.

Since Election Day on June 7, the counting of the 112 million votes has
slowed
to a near halt, bogged down in a morass of apparently unforeseen
difficulties.
A new, much extended deadline of July 8 for the final result is described by
some experts as desperately over optimistic.

Remarkably, voters have not exploded in frustration. Thorough news coverage,
generally restrained political parties and a daily avalanche of partial
results

seem to have helped keep the balance.

"People still see the process, despite its flaws, as essentially honest,"
a Western diplomat said.

And anyway, said Smita Notosusanto, who heads an electoral monitoring
group called Unfrel, "People already know what the result is going to be.
PDI is the winner and Golkar is the runner-up." She was referring to the
projected results for the Indonesian Democratic Party for Struggle, headed
by Megawati Sukarnoputri, and the incumbent party of President
B.J. Habibie.

Press coverage has also made it clear to the voters that these electoral
results --in the complex system to which Carter referred -- are just the
first
of several steps in choosing a new president later this year.

Voters cast ballots for just 462 seats in a partly appointed 700-member
electoral assembly where power will ultimately be determined by
a combination of coalition-building and bare-knuckle politics.

Having cast their ballots, Indonesians are now simply spectators as the
vote is counted and as the process then moves through its complex stages
 -- the convening of regional parliaments, then the national Parliament, then
the electoral assembly and finally the all-important choice of president.

But although Carter and others could see these complications coming, few
people imagined the tangle that the vote tabulators have gotten themselves
into.

Some officials had confidently predicted that a semiofficial "quick count,"
which has so far tallied fewer than 80 percent of the votes, would be
completed

within 24 hours.

An "official count" based on returns from the 27 provinces formed by
Indonesia's
13,000 islands had been delayed until this week, and then delayed again by
political infighting.

The explanations for the delays would seem to test credibility, but both
foreign and Indonesian electoral analysts generally accept them. Broadly,
officials say, Indonesia has not had a free election since 1955, and the new
process is hobbled by inexperience, incompetence and a flurry of mostly
minor protests.

There are a host of other problems: Vote tabulators who feel they have not
been paid enough refuse to forward their results. New computers are used
to send results by e-mail but the files cannot be read by the system used
in Jakarta. A herd of elephants terrorizes a convoy of ox carts delivering
ballot
boxes in Lampung province, forcing it to spend a night in the jungle.

Sticklers are also causing problems, election officials and outside analysts
said.

"One problem is the fastidiousness of election authorities, who do not want
the parties to come back and complain," a foreign election expert said, "and
so they dot every 'i' and cross every 't."'

In one example, there seems to be an overly rigid observance of a requirement
that all poll watchers from the 48 contesting parties sign off on local
results.
In many cases, the delays have meant that these people are no longer
available.
In others, members of small parties that were shut out in the vote are
refusing

to endorse it.

"Quite a number of small parties feel very, very disillusioned as a result of
the
outcome," said the election expert, who like all foreigners monitoring this
sensitive election spoke on condition of anonymity.

In addition, a foreign expert said, election authorities appear confused and
slow
in responding to thousands of protests, generally involving allegations of
local
vote-buying and intimidation rather than any systematic campaign to steal the
election.

"Probably what is happening is that the count is being put on hold pending
those
decisions," this expert said. "And consequently you see things now in a state
of
suspended animation."

But the real power blocs, the half-dozen leading parties, have been busy.
Already,
 the next stage of the electoral process is in full swing, with secret
meetings
and
enigmatic public statements.

"Behind the scenes, the ritual mating dance is under way as the bigger
parties
work on putting together some kind of understanding," the Western diplomat
said.
Once the final count is in, hard-nosed coalition-building can take place.




June 26, 1999

Astra Deal Is Sign of Revival in 

Rise of Indonesian NGO

1999-06-27 Terurut Topik Yohanes Sulaiman

June 28, 1999

Activists Thrust Agendas Into Post-Suharto Void
By SETH MYDANS


JAKARTA, Indonesia -- It was not a threat, said Wardah Hafidz, one of
Indonesia's toughest social activists; it was a simple statement of the
country's new balance of power.

"You can meet with 40 of us in your office," she told officials of
a government agency she was publicly accusing of misuse of funds,
"or you can have 4,000 of us in the street outside."

The agency, known as Bappenas, the national planning agency, chose
the private meeting. Also under pressure from Ms. Wardah, the World
Bank delayed a disbursement of welfare funds through Bappenas,
saying, "The level of leakage this year has been too much."

Ms. Wardah, a slight and surprisingly shy-looking woman in her 40s,
said, "This is the first time Bappenas has been challenged by the
people to be publicly accountable. Before, they were way up in the
clouds. Corruption, bad planning -- whatever they wanted to do, they just
did it. Under Suharto, it was a completely top-down system."

For better or worse, life was a lot simpler before President Suharto was
forced to resign a year ago by a surge of public anger, after having just
about everything his own way for 32 years.

Now it is not quite clear in which direction power flows. Government
ministers, fearing an angry reaction, quickly shuffle backward, smiling
and gesturing defensively, when people like Ms. Wardah advance on
them.

Ms. Wardah leads an independent group called the Urban Poor
Consortium, one of hundreds of nongovernmental organizations, called
NGOs for short, that have suddenly begun flexing their muscles now
that the dictator is gone.

They are pushing agendas that include human rights, environmental
protection, workers' protection, legal aid and political freedoms as
well as rights for the poor.

They are one building block of a new civil society that also includes
a noisy, take-no-prisoners free press; an always unsatisfied, always
demanding student movement, and a suddenly liberated array of
political parties that may not have clear programs but are in no
doubt that they want a share of the political spoils.

All these groups are part of a transformation of Indonesia that is not
quite a revolution. It is a banging, jostling realignment of the traffic
patterns of power, like a fairground arena of bumper cars.

For lack of a better word, this process is known as "reformasi,"
or reform. For the moment its chief characteristic is that the people
above now have to listen to what the people below are saying.
"It's a complete change in terms of political participation and political
awareness," Ms. Wardah said. "That means that for us, for all the NGOs,
it is a crucial moment to develop and become stronger."

In one of the most remarkable displays of this shifting power, another
group, Indonesian Corruption Watch, forced the suspension this month
of Attorney General Andi Ghalib by publicizing information that
indicated he was involved in large-scale corruption.

Ghalib was forced to step aside when it was revealed that businessmen
he was investigating on corruption charges had made huge donations
to the Indonesian Wrestling Foundation, of which he is honorary
chairman.

"It's wonderful to see, isn't it, how these freedoms are actually working,"
a Western diplomat said.

Even the men with guns -- the police officers and the army -- have
become cautious in the face of this newly empowered public. "Now the
police say, 'OK, you're having a rally. We'll be there but we won't harass
people,"' Ms. Wardah said.

"During Suharto's time, mass numbers of people were one thing they
were always afraid of and they never allowed," she said. "Now the
masses of people are in the open and those above are nervous about
it. They have no choice. They have to listen."

But the power struggle is not yet over. What Indonesians call the forces
of status quo are still fighting back against the forces of reform. And it is
possible that once a new government emerges from the election that was
held this month, new pressures will be brought against independent
groups like Ms. Wardah's.

"They are on the defensive," she said of the powers that be. "Unfortunately,
although they are on the defensive they are very strong."

They tried their old tactics against her recently, hauling her into a police
station when she helped organize a demonstration by workers who had
lost their jobs at a biscuit factory.

"They said, 'OK, let's start the interrogation,' and I said, 'No. Not without
my lawyer,' and they said, 'OK,"' Ms. Wardah recalled. "In Suharto's time
they would torture you and force you to agree with their version."

Soon the police station was crowded with about 20 lawyers, she said, and
after only one night in custody, she was released without charges.

Suharto allowed the formation of nongovernmental interest groups like hers,
but he kept them under tight control -- "quarantined in seminars, workshops
and hotel meeting rooms," as Ms. 

Menyongsong Indonesia baru

1999-06-14 Terurut Topik Yohanes Sulaiman

Selamat pagi.

Saya mengucapkan selamat pagi karena tak peduli apakah sekarang
malam di Jakarta atau di Berlin atau di Tokyo atau di Timbuktu; tapi
ucapan selamat pagi itu adalah untuk menyongsong merekahnya fajar
baru di bumi Indonesia yang harusnya dipenuhi aroma reformasi.

Sampai sekarang kita selalu mendengar tentang keributan antar partai
dan sayangnya juga antar ras, agama, golongan, dan suku. Walau
suasana SARA ini terus terasa (akibat hangover dari malam), tapi
setidaknya kita merasa bahwa angin reformasi memang bertiup.

DI masa awal reformasi ini, orang-orang bisa mengeluarkan ide dan kritik
kepada pemerintah melalui internet dan media massa. Kapan sebelum
kejatuhan ex-prez Suharto seseorang bisa mengeritik dengan santai
pejabat tinggi pemerintah seperti Ghalib tanpa ancaman bui? Kalau
sekarang saya membaca surat kabar, terus terang yang saya lihat
adalah justru presiden kita sendiri yang merupakan pendukung
reformasi terbesar. Kapan presiden kita sebelum yang sekarang berkata
di muka umum bahwa 'orang-orang bilang muka (Prez. Habibie) seperti
monyet?'

Tapi yang sangat disayangkan dari alam baru ini adalah kebebasan
berbicara yang tidak terarah. Sampai sekarang yang selalu kita dengar
dari surat kabar, milis, etc adalah tentang keributan antar partai, satu
partai menjelek-jelekkan partai lain, atau orang lain. Yang terburuk adalah
perdebatan yang didasarkan suku, ras dan golongan. Sama sekali tidak
terdengar suara 'apa yang akan kita lakukan BERSAMA setelah pemilu?'

Jika para partai mencoba melihat kesamping dari arah gumpalan debu
percekcokan antar partai, kita melihat bahwa keadaan Indonesia sungguh
menyedihkan. Kelaparan dan pengangguran di banyak tempat dan angin
separatisme berhembus di 4 propinsi atau mungkin bisa lebih. Apakah
semua partai mau melakukan hal yang sama, yakni 'fiddle' selagi seluruh
negara terbakar? Sampai sekarang semua partai yang saya lihat lebih
memfokuskan untuk mendapatkan suara sebanyak-banyaknya dengan
cara menjelek-jelekkan partai lain atau menggunakan kartu SARA. Jarang
sekali terdengar suara yang menginginkan terbentuk pemerintahan koalisi
atau tunggal yang bertanggung jawab. Tak terdengar usaha untuk
mengembalikan Indonesia ke posisi 'Asian Miracle.' Tak terdengar suara
untuk rekonsiliasi antar SARA. Atau apakah usaha ini dibatalkan karena
pembangunan dan SARA dianggap produk orde baru?

Era reformasi memang baru merekah, tapi apakah kita sudah mau mengotorkan
fajar dengan polusi keributan SARA dan partai? Lebih banyak pertanyaan penting
yang perlu dijawab. Misalnya hasil study di 'BusinessWeek' menunjukkan bahwa
Indonesia di posisi nomor 2 dalam hal negara terkorup di dunia. So what?
Data menunjukkan bahwa Thailand dan Korea sudah hampir kembali ke posisi
sebelum Asian Crisis. So what? Data menunjukkan bahwa China daratan
mencoba mereformasi diri dan meninggikan economic growth rate-nya untuk
menghindari krisis politik. Dari sedikit contoh yang saya berikan, terlihat
bahwa
negara-negara lain lebih memfokuskan ke stabilitas politik untuk memajukan
kesejahteraan masyarakat.

Karena itu kita lebih perlu memfokuskan diri untuk memikirkan apa yang perlu
dilakukan dalam era baru ini. Ini tantangan yang jauh lebih besar bagi para
partai
daripada menghitung suara hasil pemilu: yakni apakah yang perlu dilakukan
nanti? Bagaimana menyusun pemerintahan yang bersih dan berwibawa?
Bagaimana menjadi oposisi yang baik dan bertanggung jawab? Bagaimana
preserve reformasi ini dan usaha apa yang perlu dilakukan untuk mengembalikan
Indonesia ke kedudukan yang seharusnya di dunia.

Yohanes Sulaiman




We alone with no excuses. That is the idea... that man is condemned
to be free. Condemned, because he did not create himself yet in other
respects is free ... because he is responsible for everythng he does.
The existentialist does not believe in the power of passion. He will
never agree that a sweeping passion is a ravaging torrent which
fatally leads a man to certain acts and is therefore an excuse. He
thinks that man is responsible for his passion.

"Existentialism" by Jean Paul Sarte



Indonesia Leader Won't Claim Victory

1999-06-13 Terurut Topik Yohanes Sulaiman

Table of contents
1. Indonesia Leader Won't Claim Victory
2. Indonesia Changed, but Who Deserves the Credit?


---
1.
June 13, 1999

Indonesia Leader Won't Claim Victory

Filed at 1:51 p.m. EDT

By The Associated Press

JAKARTA, Indonesia (AP) -- Opposition leader Megawati Sukarnoputri,
the popular favorite to be the next president, has dropped from sight as
her party leads the vote count from Indonesia's historic parliamentary
elections a week ago.

Rival parties, including the long-ruling Golkar Party, have conceded
defeat, but Megawati has declined to claim victory for her Indonesian
Democratic Party for Struggle.

Even with the most votes, the party isn't expected to win a majority of
seats in Parliament, and it and Golkar are competing to put together a
governing coalition with smaller parties.

Aides for Megawati, the notoriously media-shy daughter of Indonesia's
late founding President Sukarno, said Sunday she had left Jakarta and
had no immediate plans to make a statement.

``We have confidence that we'll win. But we will not declare victory until
70 percent of the votes are counted,'' said Dimyati Hartono, the party's
deputy chairman and a law professor at the University of Indonesia.

Vote counting continued at a snail's pace Sunday due to complex
procedures and poor organization.

About 45.8 million votes had been counted, not quite 41 percent of an
estimated 113 million votes cast June 7. Authorities said at least 1 million
Indonesians would return to the polls over the next week because of
election rule violations in some districts.

Despite allegations of some irregularities, international observers say the
election was the most open and democratic ballot held in Indonesia in
44 years.

Megawati's party held 36 percent of the unofficial tally, followed by Golkar
at 20 percent.

Whether Megawati or Golkar succeeds in forming a governing coalition will
be a crucial factor in a complicated process to select a head of state by
year's end.

Newly elected legislators will join 38 lawmakers appointed by the powerful
military and 200 government appointees in a special assembly that is to
choose a president in November.

Opinion polls, a new and untested practice in Indonesia, make the
52-year-old Megawati the popular frontrunner in the competition to select
a president for a five-year term.

Golkar, which propped up the 32-year authoritarian rule of former President
Suharto, is backing his handpicked successor, President B.J. Habibie.
Habibie's popular support has been dogged by his close links to Suharto,
who was forced to quit amid riots and protests in May 1998.

Despite her party's lead in the vote count, Megawati's presidential candidacy
is far from a sure thing.

More than 90 percent of Indonesia's 210 million people are Muslim and some
conservative Islamic clerics have publicly opposed Megawati's bid for the
presidency on the grounds of gender.

Alwi Shibab, deputy leader of the National Awakening Party, which is a
crucial ally of Megawati's party, warned that some of its members might
refuse to support a woman for the top job, the Indonesian Observer reported
Saturday.


-
2.

June 13, 1999

Indonesia Changed, but Who Deserves the Credit?

By SETH MYDANS

JAKARTA, Indonesia -- "People say I look like a monkey," the president of
Indonesia, B.J. Habibie, told an audience of schoolteachers not long ago.
"But I don't care."

It was a strange moment of lese-majeste, described with a bemused shake
of the head by Habibie's minister of education, Juwono Sudarsono. But this
man, at once utterly un-self-conscious, effervescent, impulsive,
scatterbrained,
hyperactive and charming, is one of the most puzzling ever to rise to the
forefront of public life in Indonesia, and one of the least understood.

This is the man who in the short space of one year overturned much of the
repressive legacy of his predecessor and mentor, Suharto, and brought
Indonesia galloping toward free elections and a new era of democracy.

Or is he?

Is Habibie responsible for freeing the press, bringing new respect for human
rights and allowing dozens of political parties to compete on a newly open
electoral playing field?

Or was he simply running scared, a weak leader helpless before a tidal wave
of reform that swept all the country's politicians along with it?

Last Monday's parliamentary election was the capstone on a year of
far-reaching transition that followed Suharto's forced resignation in May
1998.

Already, people here seem to be taking their new freedoms for granted.

The outcome of Monday's vote is still unclear, with vote counting painfully
slow.
Whatever the result, Habibie is very likely to remain one of the leading
candidates for president in an electoral assembly that will meet later this
year,
although few people, even in his own party, are touting him as a great
reformer.

Most Indonesians seem rather to think that reform belongs to them, not to
Habibie -- that it is a huge national movement 

Re: RE : Anthony Robbins, siapa ?

1999-06-09 Terurut Topik Yohanes Sulaiman

http://www.tony-robbins.com/

http://www.guaranteedsuccess.com/


At 12:15 AM 6/10/99 +0700, you wrote:
Udah tuch...tapi kagak ketemu, mungkin Yahoo gue made in Sumedang,
jadi yang ketangkep si Kabayang mulu...

Aniwei thanks atas ketidaktahuannya...
Jangan minder, nggak apa-apa kok toh banyak yang nggak tau...



Re: Percakapan dengan Toer

1999-06-03 Terurut Topik Yohanes Sulaiman

FYI: waktu saya bertemu dia, saya tak melihat tanda orang yang hanya
pakai dengkul untuk berbicara. Ditambah lagi, seingat saya dulu dia adalah
dosen sejarah pada tahun 1950-an. Selain itu, saya rasa dia tak pernah masuk
PKI.

Taon kuda dimana chinese dipaksa bikin benteng
Batavia karena ndak ada orang laen nyang bisa disuruh. Semua pada nglawan.
Kalo gitu ngapain bikin benteng?
Bukankah kalau semua pada ngelawan mending bikin benteng biar kuat
pertahanannya? Tapi saya rasa ini bukan inti dari tulisan dia.

Tapi hanya satu penjelasan:
'Pada tahun 1912, SI di Solo ribut melawan orang Chinese. Menurut Toer,
keributan itu adalah SI dimanfaatkan Belanda untuk menekan Chinese karena
Belanda takut SI terlalu radikal dan menjadi anti Belanda'

Di sini yang dia tekankan itu adalah siasat adu domba yang digunakan Belanda
untuk semakin memecah Indonesia; bukan bahwa Belanda mengontrol SI.
Saya ragu kalau tokoh-tokoh SI bisa dikontrol Belanda dan saya rasa dia juga
percaya bahwa SI bukan antek Belanda. Tapi sejarah banyak membuktikan
bahwa di Indonesia sering sekali satu kelompok yang independen dimanfaatkan
untuk menekan kelompok lain atau juga dipecah dan diadu dombakan tanpa
kelompok-kelompok itu sadari. Buktinya? Coba saja lihat pemilu ini dan dari
partai-partai di Indonesia.

Anyway, senang sekali saya mendapat tanggapan dari anda.


Cya.


YS




Hehedasar PAT itu bagusnya bikin novel doang. Kalo nyang lain dengkulnya
nyang dipake untuk bicara. Taon kuda dimana chinese dipaksa bikin benteng
Batavia karena ndak ada orang laen nyang bisa disuruh. Semua pada nglawan.
Kalo gitu ngapain bikin benteng?

Taon 1740 memang Walanda ndak bisa ngontrol lagi komunitas chinese nyang
mereka bentuk jadi pedagang. Mangkane terjadi pemberontakan cina. Ndak ada
hubungane dengan dikerjai. Nyang dikerjai paling parah jelas orang pribumi
nyang
menjadi warga kelas tiga sesudah orang bule dan orang arab dan chinese.
Dasar PAT cuman punya dengkul doang.

PAT bikin komentar dogol lagi dengan menyatakan Belanda memanfaatkan SI.
Syarikat Islam (SI) adalah salah satu bentuk pertama usaha perlawanan thd
Belanda, sekarang PAT bilang Belanda bisa ngontrol SI lagidasar dengkul
komunis. Di buku pertama dari Trilogi-nya si dengkul ini memberi kesan
jelek
pada peranan Dokter Sutomo karena dia dokter dan dari keluarga bangsawan.
Sekarang mau njelek-njelekin Syarikat Islam lagi.

Hehe...ane lupa kalo dia komunis, jadi jelas nyang diarah sudah tentu nyang
berlawanan dengan golongan proletar, dan ngarah kaum beragama. Kayaknya
perlu dibentuk death squad. Ini sudah mulai ngarah kayak Salman Rusdi...
Pendukungnye ya pendukung Salman Rusdi.


--
Salam,
Jaya


History often repeats twice, the first time occurs as a tragedy,
the second time a farce.

  Karl Marx



The third time is a comedy
Unknown



Re: Percakapan dengan Toer

1999-06-03 Terurut Topik Yohanes Sulaiman

Ya betul, justru itu. Memang intinya PAT adalah mau menunjukkan bahwa chinese

sudah dibuat menderita sejak tahun 1600an. Hanya saja kita perlu lihat juga
situasinya.

Wah, anda tak melihat keseluruhan percakapan ini.
Inti dari PAT itu bukan bahwa kaum Chinese menderita dsb.
Namun, dia saya rasa menekankan bahwa kemalasan kita mempelajari
dan mengetahui sejarah membuat lingkaran setan yang sudah ditanamkan
sejak jaman Belanda dulu tidak lenyap. Malahan kita terus kembali
dalam konflik-konflik antar sesama bangsa Indonesia sendiri.
Sebetulnya semuanya sejak dulu senasib dan dikerjai oleh Belanda.
Tapi pola 'divide et impera' Belanda sampai sekarang tak bisa
dihilangkan bahkan terus disebar oleh pemerintahan Orde Baru.
Seperti contoh yang saya sertakan, Aceh sendiri yang sekarang
terkenal dengan 'separatisme'-nya itu sebetulnya tahun 1945
dengan senang hati bergabung dengan Indonesia-Sukarno. Tapi
kenapa sekarang bisa seperti ini? Akibat politik orde Baru yang
memecah belah Indonesia.

Karena itu menurut dia, tugas kita sebagai generasi baru juga
selain melakukan reformasi juga mempelajari sejarah agar
pengalaman yang dulu tak terulang kembali.



Bung YS jangan salah mengira bahwa saya berusaha mengecilkan arti penderitaan

deleted
sebagai petani dan kuli. Inilah proses pembodohan thd inlander agar mudah dikuasai.



Oh tidak. Tapi ini juga artinya bahwa kita perlu mempelajari
sejarah agar tak lagi bisa dibodohi.

Kalau mengenai unsur politisme dalam dia, saya tak memperhatikannya
waktu saya bertemu dia di San Francisco. Saya tak melihat dia
mengkampanyekan partai PRD baik secara terselubung. Semuanya
kebanyakan tentang promosi bukunya yang baru dan menjawab
pertanyaan-pertanyaan yang intinya sudah saya tulis. Kalau
tentang promosi partai PRD, justru kalau saya lihat, teman saya
di Madison itu yang menanyakan kepada dia tentang apa yang perlu
dia lakukan untuk contribute dalam reformasi ini. Jadi tak ada
'voluntary' suggestion saya rasa. Yang dia fokuskan itu tiap kali
tentang kejelekan Orde Baru dan dia menantang kaum intel untuk
mencatat semua yang dia katakan. (BTW: saya bukan intel :-)  )
Jadi itu saja intinya agar mencegah kesalahpahaman lebih lanjut.

Mengenai tulisan anda tentang orang Chinese yang tak mau berbaur,
saya rasa ada banyak perdebatan tentang hal ini di Permias ini
beberapa bulan lalu dan saya tak mau mengulanginya dan
memperpanas suasana di sini. Apalagi sudah menjelang pemilu di
mana kita justru perlu mendinginkan kepala.
Lagian saya sampai sekarang terus berpendapat bahwa meributkan
ini sama dengan meributkan duluan ayam atau telur.


Bung YS, tanpa bermaksud ngeyel, tetap terasa ada kejanggalan. Bila memang

deleted
Jadi alih-alih mendukung SI, apakah tidak lebih aman bagi Belanda untuk mem-

pergunakan chinese yang sudah berabad-abad diberi privilledge sebagai
pedagang untuk menekan SDI (Syarikat Dagang Islam, cikal SI) secara ekonomi?

Skenario lain adalah Belanda tidak campur tangan. SI dan chinese berantem rebutan

hegemoni ekonomi di wilayah Solo.


Jangan lupa bahwa Belanda sendiri memiliki beberapa industri
yang ingin dikembangkan. Salah satunya mungkin industri batik
dan kretek juga (terutama di Kudus). Saya tak ingat 100%
tentang yang ini, karena itu saya tak berani memasukkannya dalam
tulisan saya yang itu. Tapi berhubung anda tanya soal ini.

Tapi secara logika juga, tak ada jaminan bahwa perang SI
dan Chinese itu akan membuat SI kuat dan Chinese lemah. Bisa
juga yang terjadi justru SI menjadi lemah dan Chinese menjadi
lemah dan keduanya saling curiga. Kalau Chinese didukung dan
jadi kuat, siapa tahu bisa berbalik dan menekan Belanda secara
ekonomis. Sejak dulu juga kita sudah melihat taktik Belanda itu
membuat semua daerah menjadi lemah agar bisa dikuasai. Kalau
yang satu bertambah kuat, justru Belanda bingung. Ingat kasus
Amangkurat III dari Mataram dimana akhirnya oleh Belanda
dipecah jadi kraton Solo dan Jogja. (Tolong kalau salah dibetulkan).
Kedua kraton ini independent, tapi tak ada yang super kuat dan
mengganggu kedaulatan Belanda. Itu intinya kalau menurut saya.
Tapi pendapat anda juga valid dan sulit dibantah.

Anyway, senang berdiskusi dengan anda.

YS



--
Great leaders must have head, heart, and guts.
That is, smarts, compassion, and courage.
Without these, he cannot be truly great - maybe
great, but not good as well.
Richard Nixon



  1   2   >