Re: Just for Triesje Hermawan !
Bung Gunawan: Bisa anda klarifikasi tentang e-mail ini? Terus terang, gaya bahasa seperti ini sangat tidak patut dikeluarkan di muka umum, belum lagi tuduhan yang benar-benar serius. Lebih lagi, anda mengatasnamakan General Chairman Permias (ketua Permias SF?) - berarti ini sikap organisasi Permias San Francisco? Saya harap anda dan Permias San Francisco memberikan klarifikasi karena ini sudah merupakan tindakan pencemaran nama baik. Tambahan: jika anda memang memiliki masalah pribadi dengan Ms. Hermawan, sebaiknya diselesaikan secara pribadi. Selain itu, di mohon para rekan mengikuti tata krama dalam berdiskusi di milis. YS ** Yohanes Sulaiman Department of Political Science The Ohio State University 2043 Derby Hall, 154 North Oval Mall Columbus, OH 43210-1373 Phone: Office: (614) 292-3627 Home: (614) 268-4480 http://psweb.sbs.ohio-state.edu/grads/ysulaimn/ ICQ: #27640045 In Italy for 30 years under the Borgias they had warfare, terror, murder, and bloodshed, but they produced Michelangelo, Leonardo da Vinci, and the Renaissance. In Switzerland they had brotherly love - they had 500 years of democracy and peace, and what did that produce? The cuckoo clock. Orson Welles The Third Man (1950)
FYI: IMPORTANT INS ADDRESS REPORTING REQUIREMENTS
Hallo Permias-permias lain, apa kalian sudah menerima pemberitahuan seperti ini dari sekolah? YS --- Subject: IMPORTANT INS ADDRESS REPORTING REQUIREMENTS The INS has announced that it will begin strictly enforcing the requirement that ALL non citizens keep the INS updated about the address at which they reside in the U.S. Failure to do so can result in a $200 fine and 30 days in jail. It is also grounds for deportation. This rule affects all nonimmigrants, including students and scholars in F, J, H, TN, and O statuses. BEGINNING IMMEDIATELY, NOTIFY THE INS OF ANY ADDRESS CHANGES. The INS already has the address you listed when you filled out your I-94 form upon your most recent entry to the U.S. Notify them of your most recent address if you are currently living at a different address than the one you listed on the I-94 form. To notify the INS about a change in address, go to http://www.ins.usdoj.gov/graphics/formsfee/forms/ar-11.htm. Download Form AR-11 (Alien's Change of Address Card.) Send your address change to the address on the bottom of the form. Send the form via certified mail or some other method providing proof of delivery. Keep a copy of the AR-11 form you submitted and a copy of the proof of delivery. Each member of a family must submit an individual form. ** Yohanes Sulaiman Department of Political Science The Ohio State University 2043 Derby Hall, 154 North Oval Mall Columbus, OH 43210-1373 Phone: Office: (614) 292-3627 Home: (614) 268-4480 http://psweb.sbs.ohio-state.edu/grads/ysulaimn/ ICQ: #27640045 Pessimum facinus auderent pauci, plures vellent, omnes paterentur. (The worst crime was dared by a few, willed by more and tolerated by all) Tacitus
Tokoh HAM HJC Princen Meninggal Dunia
Tokoh HAM HJC Princen Meninggal Dunia Reporter : Suwarjono detikcom - Jakarta, Tokoh Hak Azazi Manusia (HAM) yang juga merupakan anggota Dewan penyantun YLBHI HJC Prinsen (76) meninggal dunia. Prinsen yang dalam penampilannya selalu berada di atas kursi roda itu, meningal dunia setelah lama menderita penyakit stroke. Menurut pihak keluarga yang ditemui detikcom Jumat (22/2/2002), Ketua Lembaga penegak HAM (LPHAM) itu meninggal dunia sekitar pukul 05.00 WIB di kediamannya. Saat ini jenazah anggota Dewan Penyantun YLBHI ini berada di kediamannya Jl. Arjuna, Utan Kayu, Jakarta Timur. Rencana almarhum akan dimakamkan usai sholat Jumat di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Pondok Kelapa. Untuk diketahui pemenang hadiah Yap Thiam Him ini diusianya yang lanjut ini, sudah bebrapa kali terserang stroke. Penyakit stroke itu sendiri telah membuat bagian tubuhnya baik kanan maupun kiri tidak lagi dapat digerakan. Meskipun dalam penampilannya selalu berada diatas kursi Roda, namun princen masih terlihat aktih mengikuti perkembangan hukum terutama maslah-masalah HAM. Bahkan, sebelum penyakitnya semakin parah dia masih sering terlihat sekali-sekali di mengunjungi gedung YLBHI.(djo) ** Yohanes Sulaiman Department of Political Science The Ohio State University 2043 Derby Hall, 154 North Oval Mall Columbus, OH 43210-1373 Phone: Office: (614) 292-3627 Home: (614) 268-4480 http://psweb.sbs.ohio-state.edu/grads/ ICQ: #27640045 Pessimum facinus auderent pauci, plures vellent, omnes paterentur. (The worst crime was dared by a few, willed by more and tolerated by all) Tacitus
Re: Ada apa dengan Poso?
http://europe.cnn.com/2001/WORLD/asiapcf/southeast/12/01/indonesia.burning.ap/index.html http://www.nytimes.com/2001/12/02/international/asia/02INDO.html?ex=1007960400en=5c7b0ecc2a018000ei=5040partner=MOREOVER At 09:19 AM 12/3/2001 +0700, you wrote: Saya setuju dengan Ali. Berita-berita seperti ini masih sangat 'buram' keabsahannya. Sekitar 6 bulan yang lalu memang ada kejadian 'perang-perangan' di Poso and I don't know how it is now. Anyway, let's keep things cool. thanks, [EMAIL PROTECTED] ** Yohanes Sulaiman Department of Political Science The Ohio State University 2043 Derby Hall, 154 North Oval Mall Columbus, OH 43210-1373 Phone: Office: (614) 292-3627 Home: (614) 268-4480 http://psweb.sbs.ohio-state.edu/grads/ ICQ: #27640045 Pessimum facinus auderent pauci, plures vellent, omnes paterentur. (The worst crime was dared by a few, willed by more and tolerated by all) Tacitus
Re: Ada apa dengan Poso?
Dear all: Saya yakin bahwa e-mail ini bisa menyinggung perasaan para pembaca, karena itu saya terlebih dulu minta maaf. Menyimak beberapa pendapat diskusi di milis ini, saya rasa yang terjadi adalah kita dibutakan oleh nama dan agama. Setiap kali kita mendengar kata Jihad, Laskar Merah, dsb, yang langsung terbentuk di kepala kita adalah image bahwa ini perang agama. Karena itu tak heran, beberapa anggota milis yang beragama Kristen (termasuk saya) akan langsung bereaksi begitu mendengar berita yang memburuk-burukkan Kristen, dan yang beragama Islam langsung bereaksi jika mendengar berita yang memburuk-burukkan Islam. Maaf jika saya salah, tapi saya rasa para peserta milis yang beragama Islam tentu cukup peka kalau mendengar atau membaca berita yang menyudutkan Laskar Jihad. Begitu juga kalau peserta milis yang Kristen membaca berita yang menyudutkan Laskar Kristen di Maluku. Karena itu para peserta milis akan cenderung sangat kritikal atau skeptik jika membaca berita seperti itu. Saya yakin bukan karena semua mendukung Laskar Jihad, Laskar Merah ataupun gerakan yang menggunakan kekerasan, melainkan ada defense mechanism di dalam diri masing-masing yang berusaha membela agama-nya dan menganggap tak mungkin berita-berita yang menyudutkan agama masing-masing benar. Tapi untuk yang namanya Laskar Jihad ataupun Laskar Merah, apapun namanya, sebetulnya kita perlu sangat kritis. Saya berharap agar para pembaca membongkar nama-nama itu dan melihat apa yang terjadi di lapangan. Yang saya lihat terjadi di Indonesia, baik di kalangan Laskar Jihad, Laskar Kristen, dsb adalah yang pertama: agama digunakan sebagai pembenaran bagi perbuatan biadab yang mengakibatkan penderitaan rakyat. Silahkan serbu saya sebagai provokator, tapi ada satu term yang saya gunakan untuk makhluk sejenis mereka: Thugs atau bandit. Mengapa saya katakan bandit? Tidak lain karena perbuatan laskar-laskar tersebut yang menyatakan diri mereka sebagai pembela agama tak berbeda jauh dari perbuatan kriminil yang mengorbankan rakyat yang tak berdosa. Coba kalau kita belah kerusuhan di Maluku tahun 1999, apa awalnya? Keributan antara gang kriminal Islam lawan Kristen yang memperebutkan daerah kekuasaan yang menjalar karena provokasi dari Jakarta menjadi perang agama. Kenapa menjalar? Karena polisi dan militer yang tak becus menjaga keadaan, sehingga kriminal-kriminal tersebut bebas bertindak tanpa takut akan dilempar ke bui akibat perbuatan mereka. Rakyat tentunya yang menjadi korban, terpaksa memilih untuk lebih baik di bawah ganglord yang mana. Tapi apakah ini sebetulnya perang agama atau seperti kata Huntington Clash of Civilization? Tidak. Karena yang terjadi adalah perang antara kriminal. Saya memandang bahwa pasukan-pasukan milisi dari semua agama termasuk Laskar Jihad yang masuk di tahun 2000 semakin memperkeruh suasana. Pasukan-pasukan tersebut tidak lain adalah kaki tangan politikus ekstrimis yang gila kuasa dan digunakan sebagai alat teror kepada lawan-lawan politik lain. Saya menuduh bahwa laskar-laskar baik di Maluku, Poso, Jawa Timur, ataupun Kalimantan sebagai kaum fanatik yang sebetulnya kalau di alam demokrasi yang sempurna adalah orang-orang di pinggir jalan yang berteriak-teriak tanpa diacuhkan orang-orang yang lalu lalang. Di jaman berantakan ini, mereka bisa tampil di pentas karena dengan kekerasan yang menjadi sarana untuk mereka agar bisa didengar oleh pemerintah pusat dan bisa menekan pemerintah. Apalagi dengan angka pengangguran yang tinggi, yakni sekitar 20 juta orang, merupakan sumber daya yang cukup sebagai tentara bayaran. Kriminal-kriminal itu beraksi sesuai dengan naluri mereka: merampok, menjarah, memperkosa, dan menghancurkan. Tapi saya jamin, begitu kaum kriminal ini dihadapkan dengan tentara yang berdisiplin, mereka akan kocar-kacir, karena pada dasarnya memang mereka pengecut yang hanya ingin easy gain dengan rampok. Ngapain mengorbankan nyawa? Karena itu, saya yakin pasti ada semacam doa restu dari Jakarta yang memberikan garansi agar perbuatan biadab mereka tak akan dibawa ke pengadilan. Karena itu, satu jalan yang dibutuhkan: pasukan yang kuat, terlatih, berdisiplin, serta bersenjata lengkap. Laskar Jihad, Laskar merah, dsb merupakan paramilitary unit, yang mutunya setingkat diatas kriminal, tapi tetap bukan merupakan pasukan militer betulan. Dengan pasukan disiplin dan kepastian hukum, maka saya jamin kerusuhan etnis di Indonesia akan lenyap dengan sendirinya. Beberapa informasi tambahan: http://www.intl-crisis-group.org/ http://www.humanrightswatch.org/asia/indonesia.php Salam, YS ** Yohanes Sulaiman Department of Political Science The Ohio State University 2043 Derby Hall, 154 North Oval Mall Columbus, OH 43210-1373 Phone: Office: (614) 292-3627 Home: (614) 268-4480 http://psweb.sbs.ohio-state.edu/grads/ ICQ: #27640045 Pessimum facinus auderent pauci, plures vellent, omnes paterentur. (The worst crime was dared by a few, willed by more and tolerated by all
Minta bantuan: sikap2 organisasi Indonesia.
Dear all: Baru-baru ini kita melihat banyak organisasi di Indonesia seperti PGI, MUI, FPI, dsb mengeluarkan kecaman kepada serangan Amerika Serikat ke Afghanistan. Apakah ada diantara para netter yang memiliki dokumen/surat tentang kecaman organisasi MUI, FPI, dsb? Wawancara juga tak ada masalah. Jika ada, saya sangat berterima kasih kalau ada yang bersedia mem-forward dokumen-dokumen tersebut ke e-mail saja JAPRI. Terima kasih. YS ** Yohanes Sulaiman Department of Political Science The Ohio State University 2043 Derby Hall, 154 North Oval Mall Columbus, OH 43210-1373 Phone: Office: (614) 292-3627 Home: (614) 268-4480 http://psweb.sbs.ohio-state.edu/grads/ ICQ: #27640045 Pessimum facinus auderent pauci, plures vellent, omnes paterentur. (The worst crime was dared by a few, willed by more and tolerated by all) Tacitus
Exploiting Chaos, Osama Bin Laden Establishes Indonesian Base
Apakah Indonesia juga akan ditekan? -- http://www.latimes.com/news/nationworld/world/la-091401indo.story LA TIMES 4:53 PM PDT,September 13, 2001 Exploiting Chaos, Osama Bin Laden Establishes Indonesian Base By RICHARD C. PADDOCK, Times Staff Writer JAKARTA, Indonesia -- Osama bin Laden, suspected of masterminding Tuesday's attacks in New York and at the Pentagon, has begun operating in Indonesia where social chaos and rising Islamic fundamentalism provide a rich recruiting ground, authorities said. Bin Laden, sought by the United States for his alleged role in the 1998 bombing of two embassies in Africa, is believed to be planning a terrorist attack in Indonesia, possibly against the U.S. Embassy in Jakarta, officials said. The embassy has been on high alert for the past month. Intelligence officials also believe the bin Laden organization might seek to use the vast, unruly Indonesian archipelago as a staging area for attacks in other countries. We have known for quite some time that the bin Laden group has established itself in Indonesia, said a senior Western diplomat said this week. I think they see real opportunities in the world's biggest Muslim country and one in which there are no effective controls. Islamic fundamentalism has found many new supporters in Indonesia since 1998, when the downfall of Suharto ended more than three decades of military dictatorship. Government restrictions that once kept Muslim extremists in check have disappeared. However, no effective law enforcement system has been established to replace authoritarian rule, creating a state of lawlessness. Indonesian officials said U.S. Trade Representative Robert Zoellick raised the issue of bin Laden with President Megawati Sukarnoputri when he visited last month. They expect the matter to come up again when Megawati meets President Bush in Washington. A meeting between the two is scheduled for next week, but could be postponed because of Tuesday's attacks. Lt. Gen. Kiki Syahnakri, deputy chief of the Indonesian army, warned recently that international terrorist activity is likely to escalate in Indonesia, a sprawling country of 17,000 islands. The chances are very high that in the next three years we will fight terrorism, specifically international terrorism that enters Indonesia, the general told The Australian newspaper. We also received information from America, as well as other parties, of Osama bin Laden's presence in Indonesia. During the 1990s, bin Laden is believed to have funneled money to the Moro Islamic Liberation Front in the southern Philippines and trained some Indonesians there along with Filipinos. Over the past year, fighters from Afghanistan with alleged links to bin Laden have traveled to Indonesia's Maluku islands to join forces with Laskar Jihad, an extremist Indonesian Islamic group that is seeking to drive Christians from the region. Western officials say that Laskar Jihad has adopted methods similar to other groups connected to bin Laden, including using the same kind of detonator for their bombs. Nearly 90 percent of Indonesia's population is Muslim and many officials find it difficult to take firm action against Islamic extremists, including Laskar Jihad, which has sent more than 4,000 fighters to the Malukus and operates there virtually unchecked. U.S. Ambassador Robert Gelbard said he once appealed to Indonesian police chief Suroyo Bimantoro to curb the group's activities. According to his account, Bimantoro declined, saying: You must understand. The police cannot look anti-Islamic. ** Yohanes Sulaiman Department of Political Science The Ohio State University 2043 Derby Hall, 154 North Oval Mall Columbus, OH 43210-1373 Phone: Office: (614) 292-3627 Home: (614) 268-4480 http://psweb.sbs.ohio-state.edu/grads/ ICQ: #27640045 Unlimited power is apt to corrupt the minds of those who possess it; and this I know, that where law ends, tyranny begins! William Pitt, Earl of Chatham (1708-78)
Anarchu Indonesia
Kejatuhan Suharto pada bulan Mei 1998 adalah tragedi! Mengapa sebuah tragedi? Bukankah kejatuhannya merupakan akhir dari pemerintahan otoriter yang berkuasa selama tiga puluh tahun-an? Tragedi untuk Indonesia adalah Indonesia saat itu kehilangan pegangan setelah selama tiga puluh sembilan tahun dipaksa 'berpegangan' kepada sistem otoriter. Pemerintahan Presiden Abdulrahman Wahid sudah berumur hampir dua tahun, dan sementara ini rasa percaya masyarakat kepada pemerintah justru terlihat semakin berkurang. Apakah ini merupakan salah Gus Dur? Saya rasa mungkin Gus Dur sebagai manusia memiliki banyak kesalahan, namun saya terus terang sangsi bahwa hilangnya kepercayaan rakyat kepada pemerintah merupakan kesalahan Gus Dur. Justru hilangnya kepercayaan rakyat merupakan suatu proses yang memang sejak dulu sudah terjadi, dan Gus Dur kalau saya gambarkan sebetulnya adalah 'flight instructor' yang mendadak mendapat posisi sebagai pilot Boeing 747 yang 'out of control,' habis bensin, dan sementara beberapa kilometer di depannya ada gunung dan dibawah tak ada apa-apa selain hutan rimba sehingga sulit sekali mendaratkan kapal. 'Mission Impossible'-nya Gus Dur adalah berusaha mendaratkan kapal tersebut sementara dibelakangnya para penumpang berusaha mendobrak pintu kokpit karena mereka merasa mereka adalah pilot yang lebih baik, walaupun mereka tak memiliki sertifikat, let alone ijin terbang. Melihat gambaran di atas, saya sebetulnya argue bahwa Presiden Suharto-lah yang membawa kapal dalam posisi tersebut dengan KKN-nya dan karena ia tak melakukan perombakan politik/transisi selama ia masih berkuasa. Akibatnya, pegangan yang rakyat Indonesia tahu sampai sekarang adalah pemerintahan yang otoriter, di mana rakyat tak bisa memilih yang terbaik, dan akhirnya kita mendirikan 'Republik Beo' karena rakyat hanya menuruti mereka yang di atas, mudah dihasut, dan tak bisa mengeritik pemerintah dengan baik. Rakyat akhirnya hanya mengetahui sistem kekerasan yang memang ditanamkan oleh rezim yang lama; karena rakyat belajar bahwa dengan power kamu bisa mendapatkan segalanya. Akhirnya, rakyat Indonesia merupakan cermin dari pemerintahan yang lama yang otoriter, dan inilah yang diinginkan penguasa lama: rakyat yang memang membeo dan bergantung kepada dia yang di atas. Begitu pemerintah lama jatuh, rakyat tak lagi punya jaminan dan pegangan, dan timbul kerusuhan sosial. Di jaman Suharto, walau aparat bertindak sewenang-wenang, tapi at least masih ada sedikit jaminan hukum, akibat rezim otoriter yang memang memberikan rasa aman kepada mereka yang tak menentangnya (atau tepatnya rasa takut kepada rakyat). Namun, di era 'reformasi,' aparat tak lagi memiliki 'aura of invicibility' seperti di masa lalu, sehingga rakyat tak lagi memiliki rasa takut (let alone rasa percaya) kepada aparat negara. Hasilnya adalah Indonesia kehilangan jaminan keamanan atau bisa dikatakan sebagai anarki/anarchy. Dapat dikatakan bahwa ini sebetulnya akar masalah pertikaian SARA di Indonesia. Apakah anarchy itu? Anarchy adalah kurangnya keteraturan dalam masyarakat, dimana secara intinya tak ada satu unit yang bisa menjadi tempat bertumpu dalam masalah keamanan dan ketertiban. Pada jaman Suharto, tempat bertumpu masyarakat adalah rezimnya dan juga kredibilitas yang dimiliki sang mantan presiden. Mengapa pada jaman Suharto sedikit sekali terjadi konflik SARA? Hal ini bukan hanya karena kediktatoran Suharto menekan rasa benci antar suku, bukan juga karena perusuh takut atas kekuatan TNI. Namun di masa Suharto, kelompok-kelompok yang bertikai memiliki 'arbiter' yakni pemerintah Suharto, sehingga walaupun sering kali keputusan sang arbiter kontroversial, tapi setiap itikad kelompok mendapatkan kredibilitas karena 'digaransi' pemerintah. (Ditambah lagi rekonsiliasi paksaan). Kejatuhan Suharto merusak sistem 'arbiter' dari pemerintahan Suharto. Keadaan anarkis di Indonesia menyebabkan rasa 'uncertainty' diantara rakyatnya, sehingga tak ada yang bisa memberikan komitmen yang kredible karena tak adanya lagi 'guarantator' yakni pemerintah. Hobbes menyatakan 'homo homini lupus,' manusia adalah serigala bagi sesamanya, dan karena itu orang-orang untuk mencari keamanan dan keselamatan bersedia menyerahkan sebagian haknya kepada pemerintah, dan pemerintah wajib melindungi rakyatnya. Jadi menurut definisi ini, kewajiban utama pemerintah adalah memberikan jaminan keamanan bagi rakyatnya. Karena itu rakyatpun dengan senang hati akan menyerahkan haknya di segi hukum dan pajak untuk negara. Namun faktanya adalah Indonesia tak sanggup memberikan jaminan keamanan bagi warga negaranya. Dengan mengikuti definisi di atas, maka sebetulnya dapat dikatakan walaupun Indonesia sebetulnya memiliki negara (walau skeptik akan menyatakan ini pemerintahan buta-bisu-tuli), tapi secara realitas Indonesia sendiri sebetulnya tak memiliki pemerintah, karena pemerintahnya tak bisa memenuhi kewajibannya yakni memberikan jaminan keamanan bagi rakyatnya. Fakta lapangannya sendiri adalah
Indonesia Court Says Suharto Too Ill to Face Corruption Trial
Indonesia Court Says Suharto Too Ill to Face Corruption Trial By CALVIN SIMS JAKARTA, Indonesia, Sept. 28 An Indonesian court dismissed the Government's landmark corruption case against former President Suharto today, after an independent team of doctors declared him medically unfit to stand trial. The ruling was a major setback for Indonesia's democratically elected government, which sought to bring the ailing, 79-year-old, former dictator to justice for human rights abuses and other crimes committed during his brutal reign of three decades. While prosecutors said they would appeal the decision, they acknowledged that Mr. Suharto's poor physical condition would make it extremely difficult to prevail. A five-judge panel ruled that Mr. Suharto was too sick to face Government charges that he embezzled $590 million in state funds during his 32-year rule, which ended in 1998, amid economic despair and civil unrest. Court-appointed doctors testified today that Mr. Suharto had suffered three strokes last year that left him unable to understand or answer complex questions. One doctor said that Mr. Suharto had the communications skills of " kindergartner" and took up to a minute to answer basic inquiries. "We declare Suharto is unfit to stand trial," said Zakaria, the head of the team of 24 doctors who examined Mr. Suharto over the weekend. "Physically and mentally, he is not in the proper condition to be tried in the court." Indonesia's Attorney General Marzuki Darusman expressed deep disappointment with the court's ruling, saying that the justice system had failed the people. "The thing that we aimed for, which was to truly obtain justice for the people, was not achieved," said Mr. Marzuki, who had insisted that Mr. Suharto was well enough to stand trial. The case, which was the first serious attempt to prosecute Mr. Suharto for corruption, was widely viewed here and abroad as far more than just punishing the former strongman and his cronies for enriching themselves at public expense. It was seen as a litmus test for restoring the rule of law and a sense of equality to Indonesia, where corruption permeated nearly every aspect of society under Mr. Suharto's government. Mr. Suharto, along with his six children, is believed to have stolen billions of dollars from Indonesia through a broad network of deals in which his family made money from almost every sector of the economy. The court ruling set off violent clashes between hundreds of Suharto supporters and detractors who protested outside the auditorium where the trial was being conducted. The detractors called on authorities to arrest Mr. Suharto and forcibly bring him to court. As two busloads of Suharto supporters arrived at the trial venue, a mob of anti-Suharto student demonstrators pelted them with rocks. Police said the students beat to death one pro-Suharto supporter, severely injured two others, and set one of their buses on fire. As word of the court ruling spread, hundreds of student protesters converged on Mr. Suharto's house in central Jakarta where they were met by dozens of riot police who fired tear gas and plastic bullets into the stone-throwing crowds. The situation remained tense Thursday evening as large numbers of police were brought into the capital to retain order. "Suharto we're coming in there to get you," screamed an engineering student who identified himself as Ryacudu. `He's not sick at all, the student said of Mr. Suharto. "He's pretending just like Pinochet did." Indeed, the Suharto case showed similarities to that of Gen. Augusto Pinochet, the former Chilean dictator, who also was deemed medically unfit to stand trial in Spain, where he was wanted on charges of torture and other crimes dating to the years when he ruled Chile. The general was placed under house arrest during a visit to Britain, which later released him after doctors determined he was too sick to go on trial. However, when the general returned to a hero's welcome in Santiago, Chile, he appeared strong and in good health as he rose from his wheelchair to greet his supporters.
Re: BUAT BANG DHARMA DAN REKAN PERMIAS
Dear M. Anjasmara: Saya sebetulnya enggak terlalu tertarik terjun ke dalam keributan ini. Tapi rasanya anda yang perlu lebih dulu menjawab pertanyaan yang telah banyak diajukan: Siapa yang anda tuduh sebagai oknum di Permias ini. Jika memang dari Permias di Los Angeles, anda wajib menuliskannya dan kalau ada bukti-bukti yang cukup, agar sang oknum bisa membela diri. Kalau kita mengikuti hukum di US, terus terang anda bisa dituntut dengan tuduhan pencemaran nama baik Permias di Los Angeles. Jika anda memang bertekad M. Datubara menjawab pertanyaan anda, sebaiknya anda dulu yang lebih dulu menjawab pertanyaannya dan pertanyaan-pertanyaan anggota-anggota yang lain. BTW: incidentally, karena anda menyatakan M. Moko sebagai 'establishment,' apakah anda menuduh M. Moko sebagai oknum? Mohon dijawab kepada yang bersangkutan. You never reply my email mon ami:) Sudah kali ketiga saya kirim tuh. Dengan demikian anda yg memang nggak pernah punya maksud baik dari dulu memang tak pernah berubah. Mungkin pola kerja komplotan hendaknya diganti saja. Dulu yg anggotanya lebih banyak saja nggak berhasil tuh. Apalagi setelah Blucer pulang, kerja komplotan Marianus-Irwan-Mardhika-Ida jadi agak slopy. Minta bantuan Moko (sebagai kaum establihment) untuk nolongin dong.
Maluku, Permias, komplotan, antek, intel: who cares?
Terus terang saja, saya setuju sekali dengan M. Arya: sangat mengecewakan melihat kondisi Permias seperti ini dimana dari usaha berkomitment akhirnya jadi ajang tuduhan antek, dst. Saya sebetulnya ada juga segudang kritik yang ingin ikut dibanjurkan kepada 'Sang Prov..' tapi saya tak ingin mengeruhkan suasana yang memang sudah keruh ini. Hanya satu yang saya ingin masukkan: memang ada Permias Berkeley dan ada juga BISA (Berkeley Indonesia Student Association). Permias Berkeley kalau tak salah mulai muncul 4 tahun yang lalu setelah melalui ketegangan yang waktu itu cukup menghawatirkan. Saya rasa waktu itu ketua BISA adalah M. Agus Heri Pramana. Rasanya juga dulu Mas Bambang dari Permias sempat ribut dengan beberapa anggota BISA, tapi akhirnya sekarang biasa-biasa saja dan masalahnya selesai dengan sendirinya. Tapi tak ada itu yang namanya Permias Bay Area, mungkin ada juga karena Berkeley dan SF pernah 'bergabung' untuk ikut PORMIKA di Los Angeles. Tapi forget about that. Sekarang saya rasa yang jadi masalah besar di Indonesia bukan pasukan asing, Timor Timur, antek-antek di Permias, komplotan tetek bengek jungkir balik di Permias, Intel (tiap komputer juga punya kecuali yang pakai AMD), ataupun debat kusir tentang Maluku. Tapi yang menjadi masalah besar justru generasi muda Indonesia sekarang. Kebetulan saya sekarang berada di tanah air untuk mengurusi gigi, dan saya melihat sendiri jumlah anak-anak yang menjadi pengemis banyak sekali. Mereka tak ada kesempatan untuk masuk SD. Kalaupun mereka bisa, mereka memilih tak bersekolah karena untuk mereka mengemis lebih jauh menguntungkan. Bayangkan, sehari saja mereka bisa mendapat Rp. 60,000; jauh di atas upah harian pegawai. Siapa coba anak-anak yang tak tergiur? Selain mengemis, siswa-siswi sekolah juga bukannya tanpa kesulitan dan cobaan. Kemarin di koran PR disebutkan 15% anak-anak SMU di Bandung menggunakan Narkoba secara aktif. Itu baru yang terlihat. Berapa lagi yang tidak terlihat? Selain itu juga di Jakarta siswa- siswi SD sudah mulai ketagihan obat terlarang yang cara pakainya seperti pakai koyo. Selain itu anak umur 5 tahun sudah belajar merokok dan mengerikannya ada yang sudah memperkosa dan diperkosa. Generasi macam apakah yang dibentuk di Indonesia sekarang? Kemarin saya ketemu guru sejarah saya yang juga merupakan dosen di IKIP. Dia sekarang berhenti mengajar di satu SMU karena sudah beban fisik dan mental. Baru hari Sabtu dia menasihati seorang siswa untuk berhenti menggunakan Narkoba, hari Senin siswa yang bersangkutan sudah masuk halaman berduka cita karena over dosis. Tak heran guru saya itu sampai terpukul mendengar berita itu, dan dia berulang-ulang menyatakan kepada saya bahwa sangat mudah untuk mengajar, tapi sangat sulit untuk mendidik. Sekarang percuma kita berdebat tentang pro kontra pasukan asing, apakah laskar Jihad memperbaiki suasana, apakah perlu perang suci di Maluku, dsb. Fakta yang tak terlihat di lapangan lebih mengerikan daripada intervensi asing: hancurnya generasi muda di Indonesia. Justru hal ini yang menurut saya lebih perlu menjadi prioritas daripada so-called 'harga diri.' Buat apa harga diri kalau seluruh rakyat menjadi pencandu obat terlarang? Jadi daripada berdebat yang enggak karuan dan selalu diwarnai SARA dan sebelah pihak, lebih baik sebagai so-called intelectual di Amerika, jangan selalu memprovokasi atau berteriak 'antek!' Tapi pikirkan bagaimana membereskan generasi muda Indonesia. YS
Re: Maluku:200 Kristen dibakar di Gereja ?
I really hate to say this, but congratulations, everyone. Sekali lagi, Indonesia masuk the New York Times, yang jeleknya tentunya Tak tahu berapa persen penurunan jumlah turis tahun ini -- June 20, 2000 At Least 116 Dead After Religious Clash in Indonesia By THE ASSOCIATED PRESS JAKARTA, Indonesia -- Muslim fighters attacked a Christian village, leaving at least 116 people dead, in what Christians said Tuesday was a massacre on a remote island in eastern Indonesia. Police said 108 Christians and eight Muslims died in the fighting Monday in the village of Duma, on Halmahera island about 1,600 miles northeast of Jakarta. Unconfirmed claims by church workers said as many as 160 people, including 152 Christians and eight Muslims, were killed, making the carnage one of the worst incidents on record in a long-running sectarian conflict in the Maluku islands. The Muslim fighters were armed with military-style weapons, police said, as well as bows and arrows. Christian residents fought back with homemade guns or fled into a forest. The clash lasted for about one hour, they said. The official Antara news agency said 150 people were wounded and 292 homes and a church were burned. It was the latest outbreak in an 18-month religious feud on the Maluku islands, also known as the Moluccas -- or, during Dutch colonial times, as the Spice Islands -- in which more than 2,500 people have been killed. "It was a massacre by Muslims," said Father Hadi, a Protestant clergyman, based in the nearby town of Tobelo. Sartje Wasapapuling, an official at the Evangelical Christian Church in Tobelo, cited local clergy as saying the Christian death toll was 152. She said there were fears for the safety of some Christian women and children who had been taken away by Muslims. Maj. Puguh, an army officer based in the North Maluku provincial capital, Ternate, said soldiers and marines dispersed the warring gangs, Antara reported. However, the situation on Halmahera remained tense Tuesday. Wounded victims had been evacuated to Tobelo, about 21 miles north of Duma, said Puguh, who like many Indonesians uses only one name. At least two soldiers had been wounded, witnesses said. Hadi said fleeing villagers from Duma had told him that about 500 Muslim fighters in black and white uniforms descended upon their homes. "It was a very quick attack. They had automatic rifles but the Christians only had homemade weapons," he said. Hadi said about 1,000 mainly Christians live permanently in Duma, but its population during recent weeks swelled by 2,000 as people fled continued violence in the surrounding countryside. Hadi said there were only about 30 soldiers on duty in the village and they were unable to stop the violence until the military reinforcements arrived. Local Muslim groups were not immediately available for comment. The violence shows no sign of abating in the Maluku islands despite repeated peace efforts by Indonesian President Abdurrahman Wahid, a respected Muslim cleric who espouses religious tolerance. Earlier this month, Pope John Paul II urged Indonesia's leaders to do more to stop the carnage. About 90 percent of Indonesia's 210 million people are Muslim, making it the world's most populous Islamic country. Christians, however, are a majority in the Maluku islands, which had been renowned for its religious tolerance before sectarian violence broke out in January 1999. Some blame the conflict on economic and social pressure from an increasing numbers of Muslim settlers from other parts of the sprawling Southeast Asian nation. Several months ago an Islamic group, calling itself Laskar Jihad, or "Holy War Force," was accused of dispatching more than 2,000 Islamic paramilitary troops into Maluku. It was not immediately clear whether any of it members were involved in Monday's violence.
Re: Maluku: 200 Kristen dibakar di Gereja ?
M.Anjasmara: Point saya bukan untuk membela agama siapa-siapa. Namun, saya hanya memperlihatkan kepada rekan-rekan bahwa apakah citra Indonesia di kalangan internasional sekarang. Tiap kali masuk New York Times (salah satu koran terbesar di US) atau koran-koran lain, pasti isinya kerusuhan agama. Tak heran investor enggak ada berani yang masuk. Tapi kalau anda menuduh saya sebagai partisan, saya juga bisa berbalik menyatakan anda partisan, tak perlu membongkar bagasi-bagasi lama yang sudah enggak karuan, yang ini dulu saja, yakni dengan tulisan ini. Di sini semua konsesi yang anda minta harus dari pihak Kristen, dari keinginan untuk menghentikan keributan kek. Bagaimana dengan dari yang pihak Muslim? Bagaimana dengan Laskar Jihad yang mengeruhkan suasana? Anda secara partisan menyatakan pihak Kristen yang salah. Face the fact: kedua pihak memang ribut melulu di Maluku atau di tempat lain, dan harusnya KEDUANYA berusaha menahan diri, bukan hanya dari satu pihak saja. Lihat kasus Korea beberapa hari yang lalu, keduanya memiliki the most heavily fortified border in the world, yet keduanya berjabat tangan karena memang keduanya berinisiatif untuk unifikasi. Sekarang kalau hanya dari satu pihak, tak akan ada yang damai seumur hidup juga. Anda benar bahwa umat Kristen harus menekan agar berhenti menyerang, tapi on the other side of the coin, orang Islam juga harus menekankan bahwa Laskar Jihad itu proyek gagal dan orang- orang Islam juga wajib menyerukan untuk berhenti menyerang. Jika tiap orang merasa dirinya sebagai victim, tak akan ada yang berhenti berperang. Frankly I hate this kind of debate, and hopefully this is my final e-mail about this matter. Satu lagi, saya enggak pernah lagi baca barang-barang Australia, sejak kasus Timor Timur. Olympiade Sydney ini saja saya enggak akan sudi menontonnya sedetik pun. YS Sudahlah, apa nggak capek ngebela-belain kelompok agamanya masing-masing. Nih buat yang merasa Kristen, buktinya kan orang-orang Muslim banyak yang tersingkir dari Ambon, Poso, Kalbar. Itu saja buktinya. Kok sibuk amat sampai-sampai Amien Rais mau dituntut untuk di-impeach. Bener-bener nggak ada hubungannya. Buat Bung YS, kok nggak di-forward sih 200 orang warga pesantren yng dibantai dan dihanyutkan di sungai? Kalau nggak salah sempat ada di Sidney Morning Herard deh. Just curious saja..:) Nah, kalau mau kita objektif dan berorientasi pada penyelesaian masalah, mestinya semuanya nggak didukung. Justru yang perlu dicari oleh kita semua adalah orang-orang yang mempersenjatai dan memanas-manasi. Kalau susah mencarinya masih ada cara lain. Tapi memang perlu ada pengorbanan ya:) Memang ini jelas aneh bin ajaib. Semua wilayah yang mempunyai proporsi penduduk Islam terhadap Kristen kira-kira 50%-50% kok tiba-tiba pada bertengkar. Lihat saja Ambon dan Maluku Utara, Poso, dan terakhir di Sumut (Medan). Apa nggak aneh? Makanya saya kan sempat memprediksi bahwa sasaran berikutnya adalah Mataram atau NTT. Kalau mau hitung-hitungan kota per kota adalah Solo, Jogja, Salatiga, dan mungkin Tangerang (yg ini kata orang). Nah, Ambon dan Maluku sudah terlanjur besar. Sudah terlalu kompleks untuk ditelusuri. Bukannya lalu pasrah sih. Untuk Poso, nah, ini masih dapat diselesaikan. Kita mungkin bisa lihat ketidakberhasilan untuk menjadikan Medan sebagai Ambon kedua. Caranya apa? Caranya adalah para pendeta di Ambon, eh, Medan sepakat tidak akan terprovokasi. Caranya orang-orang pentolan Kristen di Jakarta lalu justru meminta orang Kristen di Medan untuk berdiam diri. Padahal ada korban Kristen yang mati kan? Baca saja sendiri, ada beberapa kan. Yang terlanjur mati ya sudah. Yang penting nggak ada serangan kepada umat Muslim di sana kan? Akhirnya aman kan? Akhirnya sang provokator saking kesalnya malah ngebom restoran kan? Akhirnya terlihat hasilnya bahwa bukan orang Islam di Medan yg ngebom kan? Nah, kayak di Poso ini asal usulnya kebalik dikit. Yang dikorbankan dulu yang Muslim. Dibunuhlah beberapa. Lalu gantian membalas. Akhirnya makin gede. Herannya yg Kristen lalu punya senapan otomatis M16, dan yang Islam punya granat made in Belgia. Kan aneh? Untuk kasus Poso ini yang jadi provokator memang orang Kristen. Mungkin dibayar orang Aussie kali. Jadi biar nggak berkembang pesat, silakan para pengurus PERMIAS terutama yang Kristen untuk unjuk rasa menangkap provokator ini, yang beragama Kristen. Kalau yang unjuk rasa orang Muslim nanti dituduh ngebelain kan? Nah, make sense nggak? Hitung-hitung ngalah untuk kepentingan bersama. Memang kalau ngotot-ngototan lalu bisa membunuh misalkan orang Muslim sebanyak 2 kali lipat orang Kristen yg terbunuh lalu apa untungnya? Nggak ada kan? Untuk kasus di Ambon juga dimulai oleh orang-orang "Kristen" yang dibayar. Saya bukannya mau menunjuk atau mau menang sendiri. Tapi coba deh anda melihat dari sisi provokator. Mana lebih memberi hasil untuk membayar orang "Islam" menyulut api SARA di Ambon ataukah membayar orang "Kristen" untuk bakar-bakaran?
Menjawab Tantangan Masa Reformasi
Jumat, 9 Juni 2000 Menjawab Tantangan Masa Reformasi Oleh R William Liddle TUNTUTAN komunitas yang tidak mengandung unsur separatis, yang terdapat di banyak propinsi, tidak membutuhkan perlakuan khusus melainkan perlakuan umum. Kebutuhan pertama adalah undang-undang dan peraturan-peraturan yang akan menciptakan sebuah kerangka administrasi dan pembagian kekuasaan yang baru di tingkat propinsi. Kedua, sumber daya keuangan dan pembenahan administrasi harus diperoleh untuk meningkatkan mutu birokrasi daerah (yang masih jauh di bawah standar pusat) dan mencegah maraknya korupsi (yang pasti akan memburuk kalau anggaran belanja daerah otonom membengkak) sedini mungkin. Pendekatan pemerintahan Abdurrahman Wahid, yang membebaskan kabupaten dan kotamadya tetapi masih mengekang propinsi, sulit berhasil sebab sasarannya kurang lengkap atau mungkin salah sama sekali. Kebijakan itu diciptakan di Departemen Dalam Negeri sewaktu Rudini berkuasa. Ia merupakan jawaban yang, meskipun maksimal bagi zamannya, terlalu hati-hati dan parsial bagi kondisi sekarang. Lagipula, pelaksanaan program desentralisasi di ratusan kabupaten dan kotamadya jauh lebih mahal dan sulit ketimbang pelaksanaannya di puluhan propinsi. Di tingkat propinsi pun, seandainya dilaksanakan dengan baik, ongkos program ini sulit dibiayai oleh pemerintah pusat pascakrismon, karena anggarannya sangat terbatas. Mudah-mudahan ada donor asing yang mencintai demokrasi dan mengerti betapa eratnya hubungan antara desentralisasi jangka pendek dan keberhasilan demokrasi jangka panjang. Konflik antargolongan berdasarkan perbedaan agama, subtipe ketiga, menurut pendapat saya tidak terlalu serius. Obat yang paling mujarab untuk penyakit ini adalah kesabaran, bukan kebijakan baru. Saya tahu bahwa dalam hal ini saya melawan arus pendapat umum, baik domestik maupun internasional. Di Indonesia, banyak pengamat dan pemain khawatir kalau para pemimpin partai-partai yang berdasarkan agama (termasuk PDI-P yang mewakili antara lain orang abangan dan orang non-Islam) kurang bersedia berkompromi atau bersikap akomodatif terhadap partai lain. Di luar, umat Kristen sedunia suka menggigil setiap kali teriakan Allahu Akbar kedengaran di Indonesia. Saya sendiri bersikap lebih lega antara lain oleh karena hasil Pemilu 1999. Kaum Islamis, yaitu para aktivis politik yang ingin menggantikan Pancasila dengan Islam sebagai dasar negara, tidak mendapat dukungan dari masyarakat. Partai Bulan Bintang dan Partai Keadilan, partai Islam yang paling radikal pun (terus terang, saya meragukan apakah mereka benar-benar Islamis), hanya mendapat tiga persen dari seluruh suara. Keputusan Amien Rais, yang diambil sebelum Pemilu 1999, untuk bergabung dengan Partai Amanat Nasional dan bukan dengan salah satu partai Islam, mencerminkan sikap dia yang sama dengan saya mengenai hal ini. Selain itu, ada alasan yang lebih pokok untuk tidak terlalu membesarkan masalah perlawanan agama di Indonesia. Dalam kenyataannya, penganut salah satu agama tidak mengancam kepentingan, cara hidup, atau identitas penganut agama lain. Sebagai pengamat kawakan, yang berpengalaman di Indonesia (khususnya Sumatera dan Jawa) selama hampir 40 tahun, saya jarang ketemu seorang Islam atau seorang Kristen/Katolik yang ingin memaksakan kehendaknya pada penganut agama lain. Yang sering saya ketemu adalah ketakutan dalam dua versi. Versi pertama adalah ketakutan orang Islam pada tujuan terselubung umat Kristen/Katolik (misalnya, ketika Benny Moerdani memimpin ABRI). Versi kedua adalah ketakutan orang Kristen/Katolik pada tujuan terselubung umat Islam (misalnya, pada masa jayanya Masyumi atau ketika Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia mulai bangkit). Kesimpulan saya mudah-mudahan tidak terlalu optimis. Kalau dua belah pihak diberi kesempatan untuk berpolitik secara sehat, dalam alam demokratis dengan pemilu bebas, ketakutan mereka yang berlebihan akan layu dengan sendirinya. Gejolak antargolongan yang berdasarkan kesenjangan ekonomi, subtipe yang keempat dan terakhir, menurut pendapat saya lebih memprihatinkan dari yang lain-lain, termasuk ancaman separatis. Kebijakan ekonomi pemerintah berdampak langsung pada tingkat kemakmuran 210 juta orang Indonesia. Selama Orde Baru, jumlah orang miskin berkurang terus dan jumlah anggota kelas menengah bertambah terus. Saya sendiri menyaksikan kemajuan itu di beberapa desa dan kota kecil yang sering saya kunjungi selama tiga dasawarsa. Hal itu merupakan suatu prestasi yang ingin ditiru oleh setiap pemerintah modern di seantero dunia. Lagipula, kemajuan atau kemunduran ekonomi akan berdampak besar pada kestabilan rezim demokrasi yang baru mulai dibangun di masa reformasi ini. Jenderal Soeharto memang berkuasa selama 32 tahun antara lain sebab dia bersedia menggunakan kekerasan. Akan tetapi, biasanya kekerasan adalah kebijakan terakhir, policy of last resort, yang hanya dipakai kalau musuhnya sudah terlalu banyak dan tidak bisa diisolasi lagi. Kebijakan politik pokoknya adalah
Indonesia's Military Grows Impatient with Wahid
Stratfor.com's Global Intelligence Update - 14 June 2000 Indonesia's Military Grows Impatient with Wahid Summary Indonesia's armed forces are purging their ranks, removing generals loyal to President Abdurrahman Wahid. The military has reasserted itself, emphasizing its concerns about Indonesia's instability and the threat of separatism. For the moment, the generals are still behind Wahid, but he needs to resolve Indonesia's problems - or the military will do it for him. Analysis After several months, Indonesia's military is re-emerging from the shadows. On June 13, the head of Indonesia's armed forces (TNI), Admiral Widodo Adisucipto, warned that the country was sliding further into chaos and that the government's first concern was to prevent the nation's disintegration. Widodo's statement typifies the military's concern about Indonesia's territorial integrity and its dissatisfaction with President Abdurrahman Wahid's efforts to solve the problem. The armed forces are still backing Wahid - he is still the best of a number of bad choices - but his options are severely constrained if he wants to stay in power. The military high command appears to be bracing itself in preparation for a conflict with President Wahid. A TNI spokesman told Antara news agency June 9 that a reshuffle of the top echelons was in the works. Considering that Wahid has already inserted his own loyalists into the top ranks, further reshuffling suggests that the military wants to undo the damage. The process has already begun; the Straits Times reported that Lt. Gen. Agus Wirahadikusumah will lose his post as the chief of the army's Strategic Reserve Command (Kostrad). Agus was installed on March 29 and is regarded as a close aide of Wahid and a vocal military reformer. This reshuffling comes on the heels of a series of very public warnings from the armed forces. Since the middle of May, military figures have continually expressed impatience about resolving the economic turmoil, social instability and rampant separatism that is tearing the archipelago nation apart. Hinting at solutions, the army has begun referring to the People's Consultative Assembly (MPR) as the highest power in the land - rather than the president. Lt. Gen. Agus Widjojo, the chief of territorial affairs of the Indonesian Defense Force, brought up the idea of continued, and perhaps increased, military representation in the People's Consultative Assembly - quite startling in light of the fact that recent military reforms mandate the military withdraw from politics by 2004. Most threatening were the General's references to the "democratization failure" in Pakistan, and the military takeover that rectified the problem, according to Agence France Presse. This rhetoric represents a major shift from statements made as recently as April 20, when military leaders emerged from their annual meeting declaring their desire to stay out of politics. The trigger for this change most likely occurred during the May 12 cease-fire agreement between the government and separatists in the province of Aceh. The cease-fire was a breakthrough in the decades-long conflict, but it gave the rebels a hint of legitimacy. Most of the military virulently opposes any accommodation of the separatists - seeing it as encouragement for other separatists and the beginning of the end of Indonesian unity. In fact, some observers blame the military for a recent series of assassinations of the Acehnese leadership. Another reason for this newfound assertiveness is that the armed forces may have finally organized themselves after being politically routed by Wahid early in his term. Not long after taking office, the president brought in a number of new commanders and reshuffled many of the old. He replaced the head of the armed forces, a position traditionally held by the army, with an admiral and directed resources toward the navy. This exacerbated tensions between army officers - mostly those loyal to ex-president Suharto - and the navy, which maintains an institutional unity and outlook rooted in the populist nationalist agenda of the late president Sukarno. But inter-service rivalries appear to have taken a back seat to greater concerns about the state of the nation. The armed forces still back Wahid, more by default than by his own virtues. The military has few favorable options. A military takeover could stabilize Indonesia - after a period of massive bloodshed and anarchy. The military would not only need to suppress communal fighting in the Spice Islands and separatists in Aceh and Irian Jaya, it would have to fight in the heart of Indonesia, as student demonstrators and pro-democracy activists would inevitably take to the streets. This would stretch the army to its limits, with 250,000 regular troops trying to control a country of 200 million. In the meantime, the economy would collapse to near subsistence levels as the last remaining foreign investors fled. The alternative, however, is
Re: Mencermati Sasaran Komunis Indonesia
Menanggapi ajakan M. Arya dan forward dari M. Anjasmara; --- Mencermati tulisan dari M. Abdul Qadir Djaelani, walaupun tujuan utama M. Djaelani adalah baik, yakni memperingatkan kita terhadap bahaya laten komunisme. Sayangnya dalam keinginannya untuk menghantam Marxism, M. Djaelani menyerang ideologi 'Liberation Theology' yang sebetulnya sudah berkembang sejak pertengahan abad ke-20. Salah satu kelemahan terbesar tulisannya terletak pada apa itu 'Liberation Theology.' Liberation Theology pertama kali diungkapkan oleh Gustavo Gutierrez, seorang pendeta di Amerika Selatan, yang cemas atas kekurangdekatan gereja Katolik dengan jemaatnya, dan bertambah besarnya jurang kemiskinan di Amerika Selatan. Dia juga melihat bahwa kebanyakan doktrin gereja berasal dari 'the First World' yang memang jauh lebih kaya dan berkuasa sehingga 'lost-in-touch' dengan masyarakat di negara-negara berkembang. Untuk itu, dia berpendapat bahwa jurang seperti itu perlu ditutup, dan cara terbaiknya adalah mendidik masyarakat dan berusaha mencapai sosialisme. Walau ide diatas mirip dengan ide Marxism, namun Gutierrez berusaha untuk 'keep his distance' from Marxism. In fact, dia menyatakan bahwa walau ada beberapa bagian di dalam Marxism sebetulnya baik, namun kelemahan terbesar Marxism adalah '(Marxism) does not allow the poor to speak for themselves, about both their situation and about their belief in God True solidarity with the poor must begin by listening to what they themselves have to say. The poor must become the subjects of their own society and culture, and this emphasis on subjectivity precludes the use of positivistic forms of Marxist material analysis.' Karena itu, Gutierrez hanya mengambil beberapa bagian dari Marxism dan juga menekankan bahwa atheisme itu ditolak oleh gereja, dan salah satu langkah untuk membuat orang-orang miskin bisa 'speak for themselves.' Pada akhirnya, tujuan Liberation Theology adalah agar gereja bisa lebih dekat dengan masyarakat dan berusaha mendidik masyarakat miskin agar bisa membaca-menulis dan berpikir sendiri. Apalagi, mengingat Paus Yohanes Paulus II sendiri merupakan 'staunch anti-communist,' maka tulisan M. Djaelani sebetulnya bisa dianggap sebagai 'libel.' Mengingat salah satu bagian dari 'Liberation Theology' adalah seperti yang saya ungkapkan diatas, terus terang saya menyayangkan atas 'attitude' M. Djaelani yang mengasumsikan gerakan sosialisme Gereja Katolik sebagai gerakan Komunisme. Saya rasa salah sekali kalau kita menyamakan semua gerakan yang bertujuan membantu masyarakat miskin dengan paham komunisme. Masih banyak kelemahan lain dalam tulisan M. Djaelani, namun saya rasa kelemahan terbesarnya adalah untuk asumsi yang sudah saya kupas di atas. Saya harap juga M. Anjasmara bisa lebih berhati-hati dalam memforward artikel seperti ini. Yohanes Sulaiman Mencermati Sasaran Komunis Indonesia Abdul Qadir Djaelani Rektor Perguruan Tinggi Dakwah Islamiyah Jakarta Mencermati situasi akhir-akhir ini -- antara lain dengan pelepasan napol/tapol PKI, diperlonggarnya ketentuan bagi pelarian G30S/PKI di luar negeri untuk pulang ke Indonesia, usul pencabutan TAP No XXV/1966 tentang pelajaran ajaran Marxisme dan Leninisme/Komunisme -- maka kita perlu mengetahui beberapa hal mengenai ajaran tersebut dan kemungkinan yang akan terjadi di Indonesia jika ajaran komunisme/PKI dibebaskan berkembang. Sumberdaya manusia Kaum Marxis-Leninis/Komunis Indonesia berasal dari dua potensi masyarakat yaitu pertama, kader-kader muda revolusioner binaan sisa-sisa G30S/PKI di bawah tanah, yang berjalan selama 35 tahun semenjak pembubaran PKI dengan segala organisasi pendukungnya seperti SOBSI, BTI, GERWANI, Pemuda Rakyat, CGMI, IPPI, HIS, LEKRA, SBKA, BAPERKI (komunis Cina di Indonesia). Kader-kader muda revolusioner Marxis/Leninis/Komunis ini, sesuai dengan doktrin Komunisme membuat organisasi-organisasi cover -- seperti LSM-LSM baik yang bersifat lokal maupun nasional -- dan melakukan infiltrasi (penyusupan) ke berbagai birokrasi militer (TNI), polisi, sipil, dan organisasi massa dan partai politik. Kedua, kader-kader intelektual Katolik-Yesuit, yang semenjak tahun delapan puluhan telah mengembangkan doktrin 'Theologi Pembebasan' di seluruh dunia, yang intinya: 'To learn and to adopt Marxism without being Communism' (belajar dan melaksanakan Marxisme tanpa menyatakan menjadi Komunis). Jadi Marxisme-Leninisme/Komunisme dibungkus dengan baju Katolik-Yesuit. Kader-kader intelektual Katolik-Yesuit -- seperti Peter Beek, Romo Mangunwijaya, Sofyan Wanandi (Liem Bian Kun), mantan Ketua Umum Pergerakan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) -- yang merupakan pendiri CSIS (lembaga yang menjadi otak pemikir (think-tank) penguasa Orde Baru). Di Kalangan militer (TNI), tokoh sentral Katolik-Yesuit adalah Jenderal (Purnawirawan) LB Moerdani, yang selama 25 tahun menjadi tokoh utama ABRI (TNI), dari mulai kepala Gabungan Intelejen Hankam sampai dengan Panglima ABRI dan Menhankam. Kekuatan
Apakah komunisme merupakan permasalahan besar bagi Indonesia?
Sewaktu saya membaca ulang tulisan M. Arya, terasa oleh saya bahwa saya sebetulnya belum menjawab pertanyaan beliau. Karena itu di tulisan kedua ini, saya akan berusaha menjawab tantangan M. Arya: -- Apakah komunisme merupakan permasalahan besar bagi Indonesia? Sebetulnya saya sendiri menganggap bahwa komunisme bukan masalah. Namun, saya menganggap orang-orang yang menyatakan komunisme merupakan permasalahan besar bagi Indonesia adalah orang-orang yang bisa melihat pohon, tapi tak bisa melihat hutannya. Pertama-tama kita perlu mengerti kenapa pahan komunisme itu bisa muncul. Paham komunisme sebetulnya adalah reaksi kepada social injustice yang terjadi di abad ke-19 di dunia. Saat itu, Karl Marx melihat bahwa buruh pabrik semua bekerja keras tanpa henti, menghasilkan produk, tapi digaji rendah. Semua yang mereka kerjakan menjadi hak milik pengusaha. Di era itu juga, buruh tak memiliki kekuatan politik, alias tertindas oleh kaum kapitalis. Untuk itu, Karl Marx mengumumkan idenya tentang komunis internasional. Jadi sebetulnya komunisme sendiri adalah reaksi dari keadaan sosial. Permasalahan terbesar bagi kaum intelektual mental Orde Baru di Indonesia adalah mereka hanya memandang reaksi dari masalah itu, yakni komunisme, bukan masalahnya itu sendiri, yakni kondisi sosial yang diwarnai jurang kemiskinan. Tak seperti Jerman di masa Bismark yang melihat komunisme adalah sebagai reaksi dari kondisi sosial dan karena itu Bismark berusaha memikat hati kaum buruh, penguasa Orde Baru lebih banyak melihat komunisme dari segi pemberontakannya, atau PKI-nya. Di jaman reformasi pun, tulisan-tulisan dari Republika kebanyakan anti komunisme hanya atas dasar atheismenya atau karena ide Gus Dur. Pada akhirnya, tak ada yang berusaha membedah apa itu komunisme, apa itu yang membuat komunisme populer, dan ke inti masalahnya: yakni eksploitasi kaum buruh dan jurang kemiskinan. Ide Marxisme yang merupakan dasar komunisme sebetulnya banyak sisi baiknya yang sebetulnya perlu di-extract, terutama di bidang social justice dan persamaan derajat manusia. Maka tak heran presiden pertama kita tertarik sekali sehingga memasukkan Marxisme dalam ide Marhaenismenya. Sayang sekali sisi positif dari Marxisme ini tak dilihat oleh M. Abdul Qadir Djaelani. Saya rasa M. Djaelani terlalu memandang dunia dari segi kaca mata konspirasi yang hendak menjatuhkan umat Islam. Ia berusaha memperingati kita atas bahaya komunisme dengan sistem 'boogeyman,' atau kalau di budaya Indonesiakan adalah 'kalau kamu ke hutan, entar dimakan gendrowo atau pocong.' Hasilnya adalah bukan anatomi atas komunisme yang persuasif, melainkan 'if scenario and conspiracy theories.' Saya sendiri tak setuju paham komunisme karena saya menganggap paham itu terlalu atheistis dan naive, memandang the 'commune' bisa terbentuk dimana semua orang sama rata, sama rasa. Tapi ada ide-idenya tentang social justice yang layak dipelajari dan dikupas lebih dalam. Sayang sekali kalau hanya karena kita takut atas pocong yang namanya komunisme, kita tak berani masuk hutan dan mempelajari komunisme dan mengambil bagian-bagian yang berguna dan bisa digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan sosial di negara kita. YS
Re: Apakah komunisme merupakan permasalahan besar bagi Indonesia?
kalo saya sih mikirnya gini. komunisme memang tidak seluruhnya jelek. mungkin (mungkin..) ada beberapa yang memang baik untuk rakyat. tapi susahnya (dan khawatirnya). sejarah mencatat bahwa komunisme yang dulu pernah muncul di indonesia telah melakukan pengrusakan. nah kalo memang komunisme diperbolehkan, secara logika maka pelaku2-nya tentu saja adalah orang2 lama (komunis th 60an) yang akan aktif. efeknya kemungkinan besar adalah pengulangan lagi tragedi tersebut. so. daripa mengulang kembali sejarah, kan lebih baik menciptakan sejarah yang lebih baik dan sejahtera untuk rakyat dan tentu saja keturunan2 kita. Dear M. Faran: Benar bahwa kita perlu mengingat sejarah, namun kita juga PERLU belajar dari sejarah. Saya mengumpamakan paham komunisme seperti api. Kalau kita bisa mengontrol api itu, kita bisa menggunakan- nya untuk memasak, menghangatkan badan, dsb. Tapi kalau tak terkendalikan, bisa menghancurkan seisi kota. Walau kita tahu resikonya, tapi tetap kita masih menggunakan api. Mungkin analogi ini tak terlalu mengena, tapi intinya sama: ada bagian-bagian tertentu dalam komunisme yang berguna dan kita perlu pelajari lebih lanjut dan terapkan untuk kemakmuran seluruh rakyat. Contohnya seperti Eropa dan US, mereka tahu bahaya laten komunisme, tapi mereka tetap mempelajari komunisme dan diterapkan sebagian, seperti healthcare, good working condition, living wage, dsb. Tapi jangan lupa juga kita sudah lihat bagaimana PKI Muso-Aidit mengobrak-abrikkan Indonesia (walau, masalah PKI-Aidit sekarang menjadi agak mentah lagi), karena itu kita juga perlu belajar mengendalikan paham itu. Jangan karena kita takut, maka kita buang semuanya. Ketakutan itu datang karena kita tidak mengerti. Karena itu kita perlu mengerti dulu tentang komunisme sebelum memvonis lebih lanjut. YS
Re: Apakah komunisme merupakan permasalahan besar bagi Indonesia?
Kalo begitu menurut anda, pertanyaan saya akan singkat sekali. menurut M. Sulaiman apakah yang dapat kita lakukan untuk meng-control komunis di Indonesia? Saya yakin dulu (jaman bung karno)komunis sudah di/ada yang meng-control. at least melalui jalur2 religius (agama). nah apakah yang terjadi lebih dahulu ? yah mr. komunis secara logika akan menghancurkan control2 tersebut. saya pikir ini yang terjadi di indonesia. M. Faransyah Jaya: Sebetulnya ada cara yang sangat mudah untuk mengontrolnya tapi sangat sulit dilaksanakan, yakni perbaiki martabat rakyat. Tak usah bikin Indonesia semakmur US (yang penting lumayan), hentikan korupsi, bantu petani dan rakyat kecil, jaminan kesehatan untuk buruh, serta didik rakyat. Itu cara terbaik untuk mengontrol komunisme. Yang penting, perhatikan rakyat kecil. Bagaimana cara prakteknya dengan sempurna? Saya tak akan bisa memberi jawaban yang 100% tepat untuk ini, soalnya kalau saya bisa menjawabnya sempurna, lebih baik Gus Dur mengundang saya, instead of Henry Kissinger sebagai penasihat... :-) Tapi intinya, seperti ikan perlu air, komunisme tumbuh subur di tempat yang rakyatnya sudah frustrasi, ingin berubah, dan miskin. Jadi yang penting jangan buat rakyat frustrasi, marah, dan jangan menghilangkan kepercayaan rakyat kepada pemerintah. YS
Re: Apakah komunisme merupakan permasalahan besar bagi Indonesia?
M. Anjasmara: Sebelumnya saya menyatakan ketidaksetujuan saya untuk berhati-hati menforward artikel dari Jaelani. Itu terserah anda kalau anda tak mau berhati-hati dalam memforward artikel. Saya sudah kritik di tulisan sebelumnya bahwa artikel ini juga bersikap menjelek-jelekkan 'Liberation Theology'-nya kaum Katolik dan beberapa tokoh lain di Indonesia, sehingga intinya, objektifitas dari opini ini sangat dipertanyakan dan terus terang kredibilitas penulisnya sendiri berkurang. Kan justru terbukti ada atau muncul pendapat dari anda yang justru dapat memberi penjelasan. Don't flatter yourself Yang kurang ditampilkan oleh M. Yohannes adalah pelaksanaan dari prinsip-prinsip komunisme itu dalam bentuk cetak birunya. Kalau cita-cita komunis sih jelas amat sangat bagus sekali. Siapa sih yang tidak mau kalau semua orang kaya, semua orang sama hak dan kewajibannya. Tapi lihatlah apa kertas cetak biru mereka. Lihatlah bagaimana mereka mengubah suatu cita-cita menjadi suatu langkah-langkah kongkrit untuk mengimplementasikannya. Dari situ kita paham bahwa dari proses pembuatan blue-print saja para komunis ini sudah bikin kesalahan fatal. Hal di atas belum termasuk kesalahan-kesalahan operasional dalam menerapkan paham tadi menjadi suatu tatanan sosial dan tatanan pemerintahan atau politik. M. Anjasmara: Tak ada satu ide pun yang sempurna, karena manusia yang menciptakannya sendiri tak sempurna. Semua orang punya dream, dan paham komunis memiliki dream untuk social equality. Mereka ada prinsip-prinsipnya yang menarik yang bisa kita ambil untuk memperkaya pengetahuan kita, dan banyak juga yang perlu kita tentang. Ditambah lagi, pelaksanaan ide mereka terletak pada manusia sendiri yang memang tak sempurna. Anda benar bahwa Karl Marx banyak memiliki kesalahan fatal dalam proses pembuatan blue print. Tapi apakah tak ada dari blue printnya yang berguna yang bisa kita ambil? Atau anda bisa memikirkan blue print baru yang mengalahkan paham komunisme? Jika kita menganggap sesuatu sebagai failure dan langsung 'mendiscount' ide itu tanpa mempelajari lebih lanjut, manusia tak akan bisa terus berkembang. Kalau M. Yohannes memandang persoalan bahwa penyebab penolakan komunisme di Indonesia disebabkan oleh pemberontakan PKI Muso dan 1965, wah, mending mari kita belajar lagi. Mengapa terjadi pembunuhan bermotif balas dendam terhadap orang-orang PKI apakah karena pemberontakan 1965? Wah, bukan. Itu sih titik kulminasi saja. Harusnya perlu dipelajari bagaimana pergulatan sosial di masa itu. Yang saya nyatakan adalah kebanyakan orang merasa trauma terhadap komunis bukan karena pahamnya, melainkan kepada pemberontakannya. Mengapa terjadi pembunuhan motif balas dendam dsb, itu ada penyebab lain-lain juga. Orang mana sih yang tidak senang diajak baris berbaris, diberi pertunjukkan wayang gratis, dikasih hiburan ludruk gratis, dikasih seragam. Itu lah akal-akalan kaum komunis dalam menjejalkan pahamnya. Setelah mereka berkumpul baru dicekoki dengan pahamnya. Apakah mereka diajari paham komunis ala ilmiah? Wah jelas tidak. Nah, pertanyaannya adalah, kalau memang biasa kayak begitu, kenapa organisasi lain tak lakukan juga? Justru kita harus melihat kunci keberhasilan kaum PKI adalah karena 'closeness to the earth.' Mereka mau masuk ke desa, mendekati rakyat, menanyakan problematika rakyat, singkatnya menarik hati rakyat. Kenapa partai-partai lain tak ada yang melakukannya? Justru kita harus belajar bahwa memang rakyat senang diperhatikan dan mereka akan mendukung orang-orang yang terlihat memperhatikan kepentingan rakyat. Karena kita sudah tahu semuanya, pertanyaannya, kenapa kita tak melaksanakannya? Kenapa tak ada partai atau golongan yang benar-benar membantu rakyat kecil, dsb? Bahasa yang dipakai tentunya bahasa gaya provokasi macam gaya kontestan pemilu. Bahasa yg dipakai adalah bahasa tinju. Saya tak mengerti istilah ini. Nah, buat apa sih mengembangkan atau membiarkan ajaran komunis kalau ujungnya kita sudah tahu apa yang akal terjadi? Kita ini nggak ada ajaran komunis saja sudah muncul Poso dan Ambon. Makanya perlu lihat diri kita sendiri dulu lah. Sanggup nggak kita membiarkan masyarakat kita yg masih gampang diprovokasi untuk menerima kaum komunis sang raja provokasi? Tak ada ditulisan saya yang mengkampanyekan untuk mengembangkan ajaran komunis. Yang ada adalah mempelajarinya dan mengambil yang dianggap bagus. TOlong jangan samakan mempelajari ajaran komunis dengan mempraktekkan negara komunisme atau mengembangkan ajaran komunisme. Sampai sekarang yang sering saya lihat adalah seseorang memaki-maki satu ajaran, dan kalau ditanya apakah dia tahu ajaran itu, pengetahuannya nol besar. Oya, saya tidak paham apa yg dimaksud dengan anatomi komunisme. Apanya yang mau dibedah? Mau membedah ajaran komunisme sebagai bagian dari ilmu sosekpol ataukah mau mengikutkan strategi mereka? Yang repot kan mereka datang dalam satu paket. Biarpun mereka datang dari satu paket,
$7 Mil. Offered for Math Solutions
May 24, 2000 $7 Mil. Offered for Math Solutions By The Associated Press PARIS (AP) -- If square-root signs and algebraic theorems never looked appealing before, consider this: A group of the world's top mathematicians is offering $7 million for solutions to some of the world's hardest equations. After puzzling for years over seven unsolved math problems, a U.S.-based mathematics foundation put the ``Millennium Prize Problems''challenge to the world via the Internet on Wednesday. Experts say solving the problems could lead to breakthroughs in encryption and aerospace -- and open areas of mathematics as yet unimagined. The Clay Mathematics Institute posted the problems on its Web site, http://www.claymath.org at the same time it unveiled the contest in Paris at its annual meeting. ``The seven mathematical problems stand out as great unresolved problems of the 20th century,'' said Andrew Wiles, a Princeton University math professor known for cracking a 350-year-old conjecture known as ``Fermat's Last Theorem'' in 1995. ``We hope that by attaching prizes to them, it will incite and inspire future generations of mathematicians,'' said Wiles, 45, who told a news conference that he first came across Fermat's puzzle in a comic book at the age of 10. The group has posted a $1 million prize for each of the seven problems. Few expect a winner to come forward anytime soon. ``There's no time limit,'' said Arthur Jaffe, a Harvard University math professor and president of the Clay institute, a private, nonprofit foundation based in Cambridge, Mass. According to contest rules, solutions must be published in a renowned math journal and undergo a two-year waiting period to allow time for independent review. If the mathematics community accepts the solution, the Clay institute will then open its own review before awarding any money. Mathematicians are quick to note that a few decades, or even a century, is not a long wait to unravel the world's toughest puzzles. The list of problems -- like the choice of Paris for launching the group's challenge -- was inspired by a list presented 100 years ago by German mathematician David Hilbert to the International Congress of Mathematicians meeting in Paris. Hilbert's list of 23 equations -- of which three remain unsolved -- served as a road map for 20th century math and led to modern-day breakthroughs in medicine, technology and safety. Members of the Clay institute say their list is a worthy successor. It includes the following equations, named for the mathematicians who postulated them: the Riemann Hypothesis, the Poincare Conjecture, the Hodge Conjecture, the Birch and Swinnerton-Dyer Conjecture, Navier-Stokes Equations, the Yang-Mills Theory and the P versus NP Problem. The Riemann Hypothesis -- the oldest and best-known of the seven -- dates to 1859 and was included on Hilbert's list in 1900. If solved, it could revolutionize encryption, which is used to secure information sent through a forum like the Internet. Consumer credit card numbers, medical records, financial records and Internet shopping could be made safer from Cyber-snoops as a result, experts say. Cracking the Navier-Stokes Equations -- which deal with turbulence, hydrodynamics and fluid flow -- could help build better airplanes and ships. Mathematicians from outside the Clay institute say the foundation may never have to part with its millions. However, the million-dollar challenge is sure to tempt bright young minds, said Keith Devlin, dean of science at St. Mary's College in Moraga, Calif., and author of several popular math books. Even if the seven equations, which Devlin calls the ``Mount Everest'' of math problems, remain unsolved, the research could produce important side effects. ``Only a few people actually manage to reach the summit of Mount Everest,'' said Devlin. ``But millions benefit from the survival equipment developed in pursuit of the lofty goal. So, too, with the big problems of mathematics.''
Re: Apabila Presiden Berhalangan
M. Siregar: Terima kasih atas balasan anda. Anda benar bahwa sering sekali kita men-simplifikasi sejarah karena peristiwa tersebut memang sudah lama berlalu. Saya juga mengaku bahwa saya terlalu mensimplifikasikan sejarah Amerika. Namun, saya tetap berpendapat bahwa US memang sejak dulu relatif lebih stabil daripada Indonesia karena politikusnya sadar atas bahaya perpecahan dan pemerintah bisa membereskan masalah- masalahnya satu persatu. Perpecahan di US pada awal-awal kemerdekaannya lebih banyak antara pro atau kontra perbudakan. Negara-negara Utara kebanyakan anti perbudakan dan Selatan pro perbudakan. Pemerintah US waktu itu tapi sudah sadar bahwa jika mereka langsung membuat amendment anti atau pro perbudakan, disintegrasi pasti akan berlangsung dengan cepat. Karena itu, mereka berhati-hati sekali dalam membuat kompromi; contohnya Missouri compromise yang menyatakan Missouri yang pro perbudakan boleh menjadi negara bagian baru, tapi Maine menjadi negara bagian terpisah dari Massachussets. Keputusan-keputusan kontroversial itu dilakukan tanpa berusaha membuat amendment baru atau mengubah UUD US. Anda benar bahwa pada tahun 1860, waktu Perang Saudara dimulai, waktu itu tak ada yang tahu bahwa Utara pasti menang. Tapi kita bisa membuat perbandingan antara Perang Saudara dengan pemeritah Indonesia sekarang. Waktu perang Saudara, Utara memiliki penduduk 4 kali lipat Selatan. Pada waktu itu, GDP utara yang sudah fully industrialized sudah jauh melebihi GDP selatan, yang masih mengandalkan ekspor perkebunan. Walaupun dengan perbandingan kekuatan begitu jauh, tapi tetap Civil War berlangsung 5 tahun, dan Utara sendiri habis banyak biaya dan korban untuk menjaga keutuhan US- dan ini hanya merupakan satu konflik. US memang tak stabil waktu tahun 1860-1865, tapi konfliknya hanya dari satu sisi: states' rights for slavery. Sedangkan Indonesia konfliknya dari segala bidang. Sekarang kita bandingkan dengan Indonesia yang seperti telah saya katakan baru keluar dari ICU. Jika terjadi perpecahan lagi, memang ada kemungkinan bahwa pemerintah Indonesia bisa menanggulanginya. Contohnya saja sekarang ini Aceh. Namun, jika pergolakannya sudah bersifat nasional maka akan sulit sekali bagi pemerintah kita untuk membereskannya. Selain itu masalah yang datang bukan hanya keributan berdasarkan UUD'45, tapi juga dari sisi SARA, disintegrasi, dsb. Kita sekarang saja sudah kewalahan menghadapi GAM-Aceh dan keributan SARA di segala tempat; belum lagi ekonomi yang masih hancur. Tambahan lagi, Presiden Gus Dur baru mengeluarkan peringatan bahwa ada jendral yang berusaha menjatuhkan dia. Dengan kondisi seperti ini, siapa yang butuh musuh? Jika kita mau menambah lagi dengan krisis konstitusi, saya rasa sekarang bukan saat yang tepat. Mengenai pemimpin kharismatis, terus terang saya setuju dengan anda. Namun saya sendiri dalam tulisan saya tak menyatakan bahwa kita butuh pemimpin kharismatis. Yang kita butuhkan adalah pemerintahan yang stabil. Kharismatis tak kharismatis, kalau dia bisa memerintah dengan beres, itu sudah cukup. Anda juga benar bahwa situasi sekarang ini bagus untuk bertumbuhnya demokrasi. Namun, pertanyaannya adalah apakah kebanyakan demokrasi bagus-apalagi jika aktor-aktrisnya tak tahu bagaimana cara berpolitik yang benar? Walau kita menentang keras kekerasan fisik dan kita menghormati aturan main, namun sayangnya tak semua orang bisa melakukan hal yang sama plus provokator masih merajalela di Indonesia. Sampai sekarang tak ada yang bisa menjamin demonstrasi tak berdisintegrasi menjadi kerusuhan. Ingat peristiwa Mei 1998 dimana demonstrasi damai mahasiswa mendadak menjadi kerusuhan 2 hari penuh. Tabliq Akbar di Jogjakarta yang digaransi pasti aman mendadak menjadi kerusuhan SARA. Faktor lain yang sudah saya singgung adalah kabinet tambal sulam sekarang yang kita miliki juga tak bisa menggaransi bahwa pemerintah sekarang pasti stabil. Jika UUD'45 diubah dan pada saat itu terjadi kembali demonstrasi-demonstrasi massal di Indonesia, siapakah yang bisa menggaransi bahwa kondisi tak akan bertambah buruk? Apa tak mungkin pemerintah akan tumbang? Saya setuju bahwa rakyat Indonesia perlu dididik berpolitik dan berdemokrasi yang baik, tapi saya tak percaya ada 'crash course' yang bisa membereskan kondisi dalam jangka waktu singkat. Perubahan UUD'45 mungkin bisa menjadi alat bantu, tapi dengan kondisi sekarang terus terang saya tetap meragukan feasibilitasnya. Senang berdiskusi dengan anda. Mengenai kurangnya ikut campur anggota-anggota Permias yang lain, saya rasa sekarang berhubung sedang Spring Break dan mungkin memang sedikit yang tertarik topik ini. :-) YS Bung Yohanes, Perbedaan paling mencolok dalam sejarah demokratisasi US dan Indonesia sebenarnya hanya satu saja. US sudah melewati sebagian besar dari pergolakan yang harus mereka hadapi, dan berhasil melewatinya dengan baik. Sedangkan Indonesia justru masih harus berjuang untuk menjalaninya. Saya kurang setuju kalau anda mengatakan bhw kondisi US pada
Indonesia's President Accuses General of Plotting Against Him
March 17, 2000 Indonesia's President Accuses General of Plotting Against Him By THE ASSOCIATED PRESS JAKARTA, Indonesia -- Indonesian President Abdurrahman Wahid said today that a senior military officer has been plotting against him in an attempt to undermine his administration. Wahid said he had evidence that a regional army commander was "gathering strength to use against me." He did not identify the person but said he would fire him unless he stopped scheming against the government. "I am serious about this," he said after customary Friday prayers at a mosque in south Jakarta. It was the second time this week that Wahid, who took office last October, has said factions of the armed forces are trying to undermine his efforts to implement democratic reform. Similar comments Tuesday left the nation guessing as to the identity of the plotters. Even Wahid's closest aides and national military commanders said they had no idea whom the president was referring to. In Aceh, local leaders expressed hope that the 25-year civil war in the western province may be coming to an end. The comments came a day after a surprise meeting between a presidential envoy and a rebel commander. Acehnese guerrilla commander Abdullah Syafi'ie and State Secretary Bondan Gunawan, a close associate of Wahid, discussed federal security forces' ongoing campaign to stamp out the insurgency. Neither side has yet commented publicly on the results of the meeting in the town of Sigli, about 70 miles east of the provincial capital, Banda Aceh. "We welcome the meeting of the two," Teuku Maulida, another rebel leader, said Thursday. "We hope it paves the way for negotiations and for a peaceful settlement." Maulida said the rebels of the Free Aceh Movement have enough weapons and ammunition for a protracted guerrilla war. "But if they really offer a cease-fire, it can begin today," he said in a telephone interview. Aceh, a province of 4.1 million people, is located on the northern tip of Sumatra island. Last week, Wahid said the fighting there -- which has cost more than 5,000 lives in the past decade -- is no longer a major problem for his administration as the rebels "are in a losing position." He predicted the civil war in the oil-rich province would soon be over. Human rights activists, however, say violence in the region is as bad as ever, with torture and murder common occurrences. They have accused the Indonesian army of running death squads in the province and committing numerous human rights abuses.
Re: Apabila Presiden Berhalangan
M. Siregar: Terima kasih atas email balasan anda yang sangat menarik ini. Walau anda benar bahwa terobosan-terobosan dalam politik itu diperlukan apalagi untuk menyempurnakan UUD'45, namun saya tetap kurang setuju terutama karena waktunya yang kurang tepat. Saya mengerti mengenai keinginan anda untuk mengubah UUD untuk membuat rakyat lebih dewasa dalam politik dan saya setuju bahwa pendapat anda bahwa 'mengail di air keruh' sangatlah 'common' di dunia, bahkan di Amerika. Namun kita perlu melihat kondisi geopolitik Indinesia dibandingkan Amerika Serikat untuk saat ini. Di Amerika, kondisi politiknya relatif sudah stabil dan Amerika tak mengalami bahaya perpecahan atau perang saudara. Karena itu, sekontroversial apapun 'bill'-nya, tetap tak akan menimbulkan bahaya disintegrasi seperti di Indonesia. Di Indonesia seperti kita ketahui banyak gerakan separatisme sangat banyak dan sudah sulit sekali di kontrol. Untuk segi keamanan sekarang saja pemerintah sudah pontang-panting. Contohnya, teman saya baru saja sehari pulang di Indonesia, dan waktu jalan-jalan sudah 2 kali ditodong di hari yang sama dan hanya berbeda blok, padahal dia bukan type orang yang suka jalan-jalan di daerah rawan. Ini dari segi kriminalitas, belum lagi dari pemberontakan kaum- kaum separatis. Saya terus terang menganggap pemerintah tak akan mampu untuk mengatasi keadaan jika kita ingin menambah lagi bebannya di segi legalitas. Apalagi kalau ditambah 'aksi-reaksi dan over-reaction,' saya terus terang pemerintah bisa jatuh. Rakyat memang perlu terlibat politik, tapi dalam masa-masa sekarang ini, saya rasa rakyat lebih memikirkan nafkahnya dan lebih menginginkan kestabilan politik dibandingkan 'petualangan' di politik. Saya selalu ingat artikel di New York Times, dimana waktu wartawan US menanyakan arti reformasi kepada rakyat desa, jawaban pertamanya: reformasi itu paceklik! Karena itu, kalaupun UUD'45 diubah, yang peduli hanya orang-orang yang berkepentingan, bukan seluruh rakyat karena rakyat sudah pusing menghadapi pengangguran yang berkisar 20-30%. Indonesia memang perlu berubah ke arah negara yang lebih dewasa, namun kita juga harus tahu saat-saat yang tepat karena waktu bukan sesuatu yang banyak kita miliki sekarang. UUD'45 perlu untuk diubah, tapi sekarang saya ragu kalau merupakan waktu yang tepat berhubung situasi dan kondisinya yang sangat tak stabil. YS P.S: Sekedar tambahan juga: kita juga perlu kasihan kepada murid-murid SD yang sudah capek menghapal 37 pasal UUD'45 dan aturan-aturan peralihan, sekarang pasalnya mau ditambah-tambah lagi. :-) Pertama-tama saya minta maaf karena menulis nama anda dengan salah. Tentu saja tidak ada kesengajaan dalam kesalahan itu, it's just my clumsiness. Tidak apa-apa. Seperti kata Shakespeare: 'What's in the name?' :-) Saya rasa dari segi substansi, pendapat anda dan saya tidak berbeda. Perbedaan terjadi pada tingkat perundang-undangan yang perlu diubah. Saya mengusulkan agar amandemen itu dilakukan pada tingkat Undang Undang Dasar, sedangkan anda pada tingkat Tap MPR mengingat situasi politik (baca: politicking) pada saat ini. Saya sendiri justru melihat situasi politik saat ini membutuhkan terobosan-terobosan yang besar dalam kehidupan ketatanegaraan kita, supaya kita semua dapat mengambil hikmah dalam hidup berbangsa dan bernegara secara benar dari pengalaman itu. Amandemen UUD 1945 mau-tidak mau akan menarik keterlibatan luas rakyat Indonesia, dalam bentuk aksi-reaksi dan mungkin over-reaction. Disamping untuk menyempurnakan UUD 1945 yang banyak kelemahannya itu, proses itu sendiri akan merupakan suatu "civic education" yang efektif bagi kita semua. Sebaliknya, perubahan Tap MPR akan cenderung teracuhkan dan dianggap kurang penting, sehingga nilai tambahnya terhadap proses pembelajaran politik itu sendiri sangat kecil. Berdasarkan pertimbangan di atas, saya justru sangat mendukung penyesuaian terhadap UUD 1945 kita, bukan sekedar pada tingkat Tap MPR saja. Kalau memang ada resiko dalam menempuh langkah itu, mari kita antisipasi resiko itu, tapi jangan lari dari resiko itu justru dengan menunda persoalan yang sebenarnya. Mengenai terdapatnya kepentingan-kepentingan parpol atau tokoh tertentu yang ingin mengail di air keruh, saya berpendapat bahwa hal itu terdapat dimanapun di dunia ini. Tidak usah jauh-jauh, silakan lihat di AS ini. Semua perbincangan mengenai gun control bill misalnya, tidak pernah terlepas dari kepentingan sempit masing-masing parpol dan tokoh politik yang berbicara. Tanggapan saya kepada keprihatinan Pak Ramadhan dan teman-teman lainnya mengenai perilaku insan politik di Indonesia adalah: Welcome to democracy. It might not be the most ideal political system in the world, but the other alternatives are simply much worst.
Re: BE ALERT OF KISSINGER!!!!!
ng berbeda; walau dasarnya tetap sama: ide Marxism. Tapi pemerintahan Allende waktu itu lebih mengarah ke arah Castro. Itu yang dikuatirkan US; adanya Cuba II di Amerika Selatan. Lagipula Alende waktu itu sudah mulai menasionalisasi perusahaan-perusahaan Internasional. (Rasanya juga ATT melobby pemerintah US untuk Mendongkel Alende). :) First of all, anda lebih tahu tentang philosophy socialism and communism. You make me sounds like a commie ;-) Let me assure you I am not a commie :-D Tapi seriously, saya rasa pengetahuan saya tak melebihi anda untuk segi ini. Lagipula saya mempelajari philosophy ini for fun dan saya memang diajarkan juga sewaktu mengambil kelas-kelas tentang Eastern Europe dan Russia. Second, anda tahu bahwa sosialisme and komunisme tidak berasal dari Marxism only. Setuju. :-) Third, nasionalisasi tidak berarti komunis. Indonesia misalnya, struktur ekonominya adalah publik or nasional. US misalnya, supply basic needs adalah publik/state. Saya rasa sangatlah berbeda antara nasionalisasi dan struktur ekonomi/suppy basic needs yang anda tulis diatas. Nasionalisasi adalah usaha dari pemerintah satu negara untuk mengambil alih perusahaan-perusahaan internasional/golongan di negara tersebut. Sedangkan US tak mengambil alih perusahaan-perusahaan publicnya. Memang dari dulu pemerintah US sudah membuat sendiri perusahaan- perusahaan tersebut. Indonesia sendiri, saya rasa perumnya seperti Damri bukan hasil sitaan dari perusahaan asing. Fourth, nasionalisasi international companies terjadi hampir disetiap negara berdasarkan kontrak. Itu juga yang terjadi di Chile. Seingat saya yang di Chile itu adalah nasionalisasi dari satu pihak, yakni dari pemerintah sosialis Allende sajalah. Quote dari Allende: "Cuba in the Crribean and a socialist Chile in the Southern Cone will make the revolution in Lation America." Election 1970 Allende's interview with Regis Debray: Question: who was using whom: Allende the democratic structure or vice versa. Reply: "The answer is the proletariat. If it wasn't so I wouldn't be here. As for the bourgeois state, at the present moment, we are seeking to overcome it. To overthrow it." Kissinger's memoir: "...The absence of a United States role in the coup was confirmed by Senate's Church Committee." May 15, 1973: National Assembly of the Christian Democratic Party accused Allende of "seeking totality of power, which meant Communist tyrany disguised as the dictatorship of the proletariat." President Frei greeted Pinochet's coup: "The military have saved Chile A civil war was being well prepared by the Marxists." (Interview with Madred Newspaper ABC, October 10, 1973). Tapi terus terang saja, untuk soal Chile, saya rasa lebih baik ditutup di sini. Soalnya anda pasti tetap akan menyatakan bahwa dia sosialis, sedangkan saya menyatakan dia komunis. Yang paling saya ingat dari dia adalah Malvinas, politik TINA dan kejadian sewaktu dia di sidang Eropa, ia mengayun-ayunkan tas tangannya dan berteriak 'Give me my Money back!' (seingat saya itu yang dia katakan) . Rasanya 'Commanding Height' cukup bagus untuk mendiskusikan soal Politik-ekonomi TINA-nya Thatcher. Anda punya ide juga? :) Setahu saya, mungkin Mrs. Iron Lady lebih ganas dari itu. Saya punya beberapa catatan tentang beliau. Well, if you do not mind, kita diskusikan setelah Spring Break -- March 23? Ok, kalau anda memang tertarik. Berarti saya harus 'brush up my English History' :-) Cukup waktu untuk belajar sebelum anda tes :-D Ok, tanggapan ini terakhir dari saya untuk masalah Kissinger, kecuali kalau anda mau menambah lagi =) Saatnya saya beristirahat dulu. Tak ada e-mail untuk seminggu. Kecuali mungkin nulis puisi. Saya akan jalan-jalan, drive ke Indiana dan Ohio. Safe journey. Setuju. Tapi rasanya setiap kali kita berdua berdiskusi, hasilnya pasti Berat-berat semua . : -) :) Mari kita menulis, bagaimana berat ringannya bukan urusan kita...:) Setuju!! :-) Menulis dulu, pusing belakangan :-) Well, I really hope to hear from you after the break. Sincerely, Yohanes Sulaiman
Indonesia's President Reduces the Power of the Military
March 8, 2000 Indonesia's President Reduces the Power of the Military By THE ASSOCIATED PRESS JAKARTA, Indonesia -- Indonesia's reformist President Abdurrahman Wahid revoked two laws today that for decades gave the military sweeping powers to carry out checks on senior politicians and bureaucrats. The intelligence body within the military and a law that gave it power to investigate the background of all parliamentarians and other senior government officials were no longer needed, Cabinet Secretary Marsilam Simanjuntak said. Speaking after the weekly Cabinet meeting, Marsilam said the president believes the agency and the law just led to complications. The laws were set up by former dictator President Suharto, who used them to keep tabs on other politicians, said military analyst Salim Said. Anybody who applied for a senior job within the government or as a politician was forced to undergo questioning. "The main thing they wanted to see was whether you were pro-Communist," he said. Also today, the U.S. assistant secretary of state for East Asian affairs discounted fears that the once all-powerful armed forces might move against Wahid's civilian administration. Indonesia's military now acknowledges the legitimacy of the country's new government and realizes that a coup attempt would trigger a bloodbath, Stanley Roth said. "They are acutely aware ... that this is a popularly run and elected government and that any efforts to overthrow this government by force would bring the people out onto the streets and require the type of bloodbath that the military in Indonesia is simply not willing to do," he said. During a tense standoff last month between Wahid and former armed forces chief Gen. Wiranto, U.S. Ambassador to the United Nations Richard Holbrooke sparked fears that a coup was imminent when he publicly warned the military not to move against Wahid. Roth today accused the media of overstating Holbrooke's remarks. However, he warned that Indonesia was still at a "vulnerable stage" and its stability was threatened by its ailing economy. Indonesia's economy collapsed in 1997, plunging the world's fourth most populous nation into its worst economic crisis in a generation. Wahid, who took office last October, has promised to reform the country's economy and boost investment. Wahid paid an unprecedented visit today to Suharto, who has so far stymied a government corruption probe by claiming he is too sick to be questioned. Suharto, who is 78 and suffered two strokes last year, is suspected of misusing funds belonging to several charitable foundations during his 32-year reign. Looking healthy and walking unaided, the former autocrat smiled to dozens of waiting reporters before greeting Wahid with a hug in front of his mansion in the capital, Jakarta. The two met for an hour.
No Subject
March 8, 2000 Indonesia's President Reduces the Power of the Military By THE ASSOCIATED PRESS JAKARTA, Indonesia -- Indonesia's reformist President Abdurrahman Wahid revoked two laws today that for decades gave the military sweeping powers to carry out checks on senior politicians and bureaucrats. The intelligence body within the military and a law that gave it power to investigate the background of all parliamentarians and other senior government officials were no longer needed, Cabinet Secretary Marsilam Simanjuntak said. Speaking after the weekly Cabinet meeting, Marsilam said the president believes the agency and the law just led to complications. The laws were set up by former dictator President Suharto, who used them to keep tabs on other politicians, said military analyst Salim Said. Anybody who applied for a senior job within the government or as a politician was forced to undergo questioning. "The main thing they wanted to see was whether you were pro-Communist," he said. Also today, the U.S. assistant secretary of state for East Asian affairs discounted fears that the once all-powerful armed forces might move against Wahid's civilian administration. Indonesia's military now acknowledges the legitimacy of the country's new government and realizes that a coup attempt would trigger a bloodbath, Stanley Roth said. "They are acutely aware ... that this is a popularly run and elected government and that any efforts to overthrow this government by force would bring the people out onto the streets and require the type of bloodbath that the military in Indonesia is simply not willing to do," he said. During a tense standoff last month between Wahid and former armed forces chief Gen. Wiranto, U.S. Ambassador to the United Nations Richard Holbrooke sparked fears that a coup was imminent when he publicly warned the military not to move against Wahid. Roth today accused the media of overstating Holbrooke's remarks. However, he warned that Indonesia was still at a "vulnerable stage" and its stability was threatened by its ailing economy. Indonesia's economy collapsed in 1997, plunging the world's fourth most populous nation into its worst economic crisis in a generation. Wahid, who took office last October, has promised to reform the country's economy and boost investment. Wahid paid an unprecedented visit today to Suharto, who has so far stymied a government corruption probe by claiming he is too sick to be questioned. Suharto, who is 78 and suffered two strokes last year, is suspected of misusing funds belonging to several charitable foundations during his 32-year reign. Looking healthy and walking unaided, the former autocrat smiled to dozens of waiting reporters before greeting Wahid with a hug in front of his mansion in the capital, Jakarta. The two met for an hour.
Re: BE ALERT OF KISSINGER!!!!!
Dear Mme. Ida: Wah, sebetulnya saya yang cukup kewalahan melihat 'serbuan' dari anda. Apalagi posisi saya yang di debat ini agak 'sulit' soalnya saya terlihat seperti membela 'penjahat perang.' :-) :) jangan meninjau pertukaran ide sebagai 'serbuan' yang hendak mematahkan. Justru kita saling membangun pemahaman pada issue yang mungkin di antara kita masih asing. Jangan menganggap bahwa saya memojokkan anda sebagai pembela 'penjahat perang.' Kita sedang berdiskusi. Pandangan kamu tidak harus sama dengan pandangan saya. Demikian pula sebaliknya. We are free to believe what we believe. No hand and mind should bound to believe what they do not agree with. Am I right? Setuju. Tapi kayaknya anda salah mengerti attitude saya. Saya memakai tanda Kutip dan smiley dengan arti bahwa saya bercanda untuk bagian tulisan itu. Saya tak pernah menganggap diskusi itu untuk saling mematahkan atau Saling memojokkan. In fact, seperti yang kita ketahui bersama, diskusi itu Berguna untuk melatih logika dan menukar pikiran sehingga lebih memperluas Wawasan kita. :) saya hanya berpandangan temporer bahwa hingga hari ini hanya US yang dapat survive di tengah goncangan international economy dan politics. Mungkin ada premis-premis berikut setelah evaluasi posisi US di percaturan international. US bisa bertahan selama kredibilitas pemerintahnya kuat dan orang-orang masih Percaya dengan Wall Street. Masalahnya juga, tak ada alternatif lain seaman US Untuk menaruh modal di tengah keadaan yang tak menentu seperti sekarang. Kemungkinan besar sub action dari China akan mempengaruhi objective evaluasi kita. We will see. Beberapa akademia, termasuk Professor Emmerson (yang saya beruntung Berkesempatan untuk mengikuti kelasnya) kuatir sekali mengenai kemungkinan Devaluasi China karena bisa berakibat hancurnya keuangan dunia terutama saat Di tengah krisis. Namun rasanya sekarang tak seberbahaya dulu ketika ditengah- Tengah krismon. However I still think that you need to put your context in that era. US position deleted that some of my sources are from Kissinger's Writings. However, I suggest you to also read Kissinger's point of view. :) I agree with your analysis about the US position in general context. Unfortunately, Unfortunately? US can recover easily from the damage of Vietnam War. God knows how. Saya rasa US sampai sekarang belum 100% bisa pulih dari perang Vietnam. Sampai sekarang masih terjadi aversi anti korban perang di US. Contohnya Saja dalam krisis Kosovo kemarin, pemerintah US benar-benar berusaha agar Tak jatuh satu korban pun di sisi Amerika. Kalau pikiran ini berlaku waktu PD II, mungkin sekarang kita sedang menulis dengan bahasa Jepang dan Jerman Bukan Indonesia-Inggris. Saya sendiri melihat kembalinya kredibilitas US setelah 'Vietnam debacle' Disebabkan terutama oleh real-politik Nixon-Kissinger, yang kemudian difortify Carter (melanjutkan Camp David dan opening to China), dan Reagan tahun 1980-an dengan 'Star Wars'-nya. :) Dalam process pembuatan Foreign Policy (FP), ada tiga theory yang paling popular: 1. Presiden penentu FP (see Kanter) deleted Congress, informal atau formal lobbies lebih seru lagi dari circumtances loby ini, muncul lagi theory tentang kelompok interest groups and US FP. Tulisan anda berarti secara tak langsung mendukung bahwa Kissinger walaupun Menganjurkan membom IndoChina, tapi keputusan terakhir bukan ditangan Dia. Ini juga berlaku untuk perang Vietnamnya Kennedy, dsb. I am sure about this. :) Saya hanya heran saja pada pandangan realism yang sering menyamakan pemahaman sosialis dengan komunisme. Sorry! Mengapa ketika Aliande hendak menerapkan policy pro rakyat dan sosial warfare akhirnya dia dituduh hendak mengikuti Castro? Sosialisme dan komunisme memang berbeda; walau dasarnya tetap sama: ide Marxism. Tapi pemerintahan Allende waktu itu lebih mengarah ke arah Castro. Itu yang dikuatirkan US; adanya Cuba II di Amerika Selatan. Lagipula Alende waktu itu sudah mulai menasionalisasi perusahaan-perusahaan Internasional. (Rasanya juga ATT melobby pemerintah US untuk Mendongkel Alende). :) Kita bisa baca dulu baru kita diskusikan. Saya juga tidak banyak tahu tentang Thatcher. Yang paling saya ingat dari dia adalah Malvinas, politik TINA dan kejadian sewaktu dia di sidang Eropa, ia mengayun-ayunkan tas tangannya dan berteriak 'Give me my Money back!' (seingat saya itu yang dia katakan) . : -) Rasanya 'Commanding Height' cukup bagus untuk mendiskusikan soal Politik-ekonomi TINA-nya Thatcher. Anda punya ide juga? :) kita ngomong saja yang ringan-ringan nanti. Setuju. Tapi rasanya setiap kali kita berdua berdiskusi, hasilnya pasti Berat-berat semua . : -) Senang berdiskusi dengan anda. Saya nantikan tanggapan berikutnya. YS
Re: BE ALERT OF KISSINGER!!!!!
Mme. Ida: Semakin seru nih. Sorry, kalau pendapat saya terhadap idolamu berbeda. Memang semakin seru juga ;-) Tapi sayang idola saya bukan Henry Kissinger. Dia merupakan tokoh yang saya kagumi, tapi bukan idola. Kissinger's Diplomacy: "What is new about the emerging world order is that, for the first time, the United States can neither withdraw from the world nor dominate it." Amerika memang besar, tapi ia tetap tak bisa mendikte negara-negara bahkan kalau saya lihat pengaruh US sekarang tidak sekuat dulu pada masa Perang Dingin. Saya rasa argumen saya yang ini bisa menimbulkan perdebatan cukup sengit... :-) :) He..he..., di mana-mana US masih tetap memegang hegemony politik dan ekonomi. Argument Europe? Masih berkutat membentuk the unity of Euro. Belum apa-apa, Swizerland sudah memiliki pemerintahan Neo Nazi yang anti immigrants. Switzerland atau Austria? Well, Japan? Kekuatan Asia itu akhirnya terjerembab sejak lima tahun belakangan ini. China? Masih perlu restrukturisasi pemerintahan dan organizasi. India? Problem dengan poverty. Canada? Ancaman pada federation French -English states. Simplenya, Bank Dunia, IMF, UN, and WTO, NAFTA, sekarang berada dalam 'genggaman US.' Meskipun WTO kemarin gagal di sini. Di saat ini memang US merupakan sebuah hegemon, tapi bukan fully dominated everything. Lain halnya waktu cold war, dimana dunia memang merupakan dwipolar. Sekarang Eropa masih bisa menentang politik ekonomi US. China sendiri bisa snub US. Russia masih bisa berteriak bahwa Bill Clinton lupa bahwa Russia merupakan negara nuklir, dan India-Pakistan tak menghiraukan US dan mentes bom nuklir mereka. Economically, US is a dominant player and the economic prowess influence the political situation. However, should the US economics begin to experience its downturn, then all hell will break loose. Remember the lesson of the Great Depression where there was no power strong enough to dominate the world; and then the world only 'constitute' of Europe. (Thank goodness for Greenspan... :-) ) The problem with US now is that it still unable to define its position in this new paradigm. It has TONS of carrots but the stick is not reliable. Ada satu lagi kelebihan Kissinger: experience. Saya ragu kalau karena dia realis maka hubungan internasional Indonesia melangkah 2 dekade ke belakang. Lagipula posisi dia sekarang ini hanya 'advisor' sehingga tak mungkin dia bisa mengendalikan cara Indonesia berdiplomasi. :) Kissinger terkenal dengan pengalamannya 'meningkatkan perang.' Pembunuhan 24 jam di Laos, Cambodia, Vietnam, adalah ide Kissinger untuk menguatkan posisi US. Tapi nyatanya, ide itu membangkitkan kemarahan dan kekuatan negara-negara tertindas. Pada masa Nixon, mereka menyadari posisi US sudah lemah sekali di Vietnam. Mereka justru menginginkan policy 'Honorable withdrawal.' Kissinger mengebom Laos dengan alasan untuk menghentikan jalur Vietcong ke Vietnam Selatan sehingga US bisa mundur dari Vietnam Selatan. Betul bahwa Kissinger terkenal sebagai one of the most powerful statemen karena kepiawaiannya berdiplomasi dan menyembunyikan 'borok' policynya. Yang dibutuhkan Indonesia sebagai advisor international politik, menurut hemat saya, bukan ahli perang tetapi ahli ekonomi dan sosial warfare. Masalahnya sekarang dunia sudah berganti arah. Tidak lagi pada angle kekuatan politik dan diplomasi kekuatan tetapi pada kekuatan ekonomi. Ekonomi memang merupakan faktor terpenting pada abad baru ini. Tapi saya terus terang tetap menyatakan bahwa state itself remains very important factor and player in international relations. Saya membaca buku yang sama dan juga Kissinger's response di memoir dia. Inti dari pemboman itu adalah supaya US bisa 'withdraw with honor' dari South Vietnam sementara itu North Vietnam menggunakan jalur-jalur dari Laos-Kamboja terus menyerbu Vietnam Selatan dengan Vietcongnya itu. Untuk itu mereka mendiskusikan cara untuk menetralisir Vietnam Utara terlebih dulu. Perang Vietnam sendiri sudah lama dimulai sejak tahun 1950-an di masa Prancis dan digantikan US di tahun 1960-an. :) Salah satu buku yang menguatkan implikasi policy Kissinger adalah Nuclear Bom and Foreign Policy. Mungkin bisa jadi pertimbangan dalam meninjau policy dia di sana. Karangan siapa? Apakah anda yakin bahwa Kissinger membaca buku itu sewaktu menjalankan politik luar negeri dia? 'Shuttle Diplomacy.' Walau counter-argumennya itu juga untuk menjaga agar Russia tak terlalu menyebar pengaruhnya di Arab. Policy Kissinger-Nixon waktu itu adalah 'Containment' Russia. Eropa dianggap vulnerable dan middle East merupakan ladang subur untuk pengaruh Russia. :) Selalu kembali ke konsep balance of power. Jangan lupa Kissinger's MAD policy terhadap Russia. Saran dia: "Jika berhadapan dengan Russia tunjukkan sikap seakan-akan kita marah, gila, dan terkontrol untuk menakuti mereka." Well, i do not know exactly where he goes with this. Boleh tanya di buku mana anda mendapatkan sarannya seperti itu? Kalau
Austria: Marketing VS Ideology
Sedikit kontroversi Apakah partai right-wing Austria sebetulnya partai kaum neo-Nazi atau partai kaum marketing? :-) March 3, 2000 A Theory on Haider's Allure: No Ideology, More Marketing By ROGER COHEN BAD KLEINKIRCHHEIM, Austria -- Here in the midst of picture-postcard Austria -- pine-clad slopes, sun glistening on the snow, rosy-cheeked families sipping mulled wine -- it is something of a surprise to encounter Matthias Krenn and his modern political theories. "Political populism is just modern marketing," Mr. Krenn said casually as he sat in the lobby of one of the hotels he owns. "In politics today, you have to sell your services like any other product. So you listen carefully to what each person wants and respond accordingly. That is why Jörg Haider is such a successful political marketer." Mr. Krenn, 40, is a hotelier from the southern province of Carinthia, the heartland of Haiderism, and a representative figure of the young entrepreneurs who have helped thrust Mr. Haider's catch-all Freedom Party to power. While the world tends to see Mr. Haider, who has made -- and later apologized for -- statements praising aspects of Hitler's rule, as a xenophobic rightist, Mr. Krenn sees him as Austria's answer to Margaret Thatcher. For him, Mr. Haider's message has less to do with Nazi revisionism or anti-immigrant vitriol than with market reform. It is about less state. Deregulation. Sweeping privatizations. Reduced bureaucracy. An end to the division of the spoils in Austria among members of the long-dominant Social Democratic and conservative People's parties. Mr. Krenn's is a popular view in Austria. About one-third of the support that took the Freedom Party into national government in February for the first time comes from entrepreneurs, particularly in the small companies like the Krenn hotel group that dominate the economy. "To understand Mr. Haider, you must see that he's a late edition of the neo-conservative wave that totally passed Austria by in the 1980's and 1990's," said Lothar Höbelt, a historian sympathetic to him. Certainly, Austria's political system was long distinguished by immobility. During three decades of Social-Democratic-led rule, stability came before market reform, and state jobs were useful to reward political loyalty. The state still owns the national telephone company and main tobacco corporation; as such, it is now a European anomaly. But a look at how Mr. Haider operates in Carinthia, where he won 42 percent of the vote in the regional election last year, suggests that promoting the free market is merely one ingredient of his heady brew. [Mr. Haider quit on Feb. 28 as leader of the Freedom Party but retained his post as governor of Carinthia. The resignation was widely seen as a maneuver to shield himself from any unpopularity the new government may encounter.] Take Thatcherism, add a dose of Robin Hood, some designer labels, a touch of Austria-first bigotry, a dollop of straight talk and fanatical physical fitness, and the seductive magician of modern European politics emerges, a man who has taken his party from 4 to 27 percent of the vote in the past 15 years. In downtown Klagenfurt, seat of Mr. Haider's regional government, "Jörgs Treff" is a popular meeting place. In this Freedom Party office, young people can surf the Internet or play video games on computers provided by the governor. Posters plastered on the windows show a baby brandishing a check for 5,700 Schillings, about $407. It is a reference to Mr. Haider's promise to hand out monthly checks to mothers in order to strengthen the family and boost Austria's falling birth rate. So, the prophet of leaner government, more individual responsibility and tighter state budgets is also the proponent of an ambitious new program of state handouts? Well, yes, if that is what brings in the votes. "The children's check cannot be financed," said Franz Pacher, a businessman who is president of the Carinthian Chamber of Commerce and who opposes Mr. Haider. "It could cost as much as $175 million a year, or close to one-tenth of the state budget. But of course the promise has won him a lot of popularity." In an interview, Mr. Haider said that the program could be financed and that the checks would be paid: "You see, on the one hand I am a kind of Margaret Thatcher pushing lean government and the end of party influence. On the other, I am a new Social Democrat, pushing family values and taking care of the smaller people against the powerful." He smiled and added: "That is why I like to say that I am not to the left or the right of my opponents. I am simply ahead of them." Just how long Mr. Haider can continue to appeal both to rising entrepreneurs and to the less privileged, who like the look of his largesse, is the question now posed by the Freedom Party's entry into government. Karl-Heinz Grasser, the 31-year-old national finance minister and a
Re: BE ALERT OF KISSINGER!!!!!
Dear Mme. Ida: Wah saya kagum juga, literature anda kuat juga, saya malah kegalapan berusaha mengingat sources dan para pengarangnya. Saya belajar banyak nih. Terima kasih. Wah, sebetulnya saya yang cukup kewalahan melihat 'serbuan' dari anda. Apalagi posisi saya yang di debat ini agak 'sulit' soalnya saya terlihat seperti membela 'penjahat perang.' :-) Switzerland atau Austria? :) Is it Austria? Mungkin anda benar. BTW, saya baca tulisan Mas Irwan, ternyata Austria ya. What is wrong with my memory? Mungkin karena keduanya tetangga :-) :) It is reality, as a posivitist would say. The US is now in the big year of economy. Although it is not unexpected to many. That is why Greenspan announced the need to slow down. You may as well say that I am a pessimist realist . :-D About the US' position in the new world order as far as I am concern is real; the most firm survival in the shaking economic order. We may have different opinions here. Maaf, bisa anda lebih elaborate untuk point ini? Soalnya saya takut kalau saya Salah menafsirkan maksud anda. Pada masa Nixon, mereka menyadari posisi US sudah lemah sekali di Vietnam. Mereka justru menginginkan policy 'Honorable withdrawal.' Kissinger mengebom Laos dengan alasan untuk menghentikan jalur Vietcong ke Vietnam Selatan sehingga US bisa mundur dari Vietnam Selatan. :) You can name any policy as polite you like, but the outcome is the measurement. Deaths are the answer to his policy. I am sorry to say that. You may want to consider other sources rather than Kissinger's own writings. Documents on human rights, country reports (Vietnam, Laos, Cambodia), and hearings in Congress showed that the first command to kill civilians in Indo China come from Kissinger. I do not think that his 'honorable withdrawal' is an excuse. I defenitely disagree with this idea of justification. However I still think that you need to put your context in that era. US position had Already been weakened drastically in the world. Europe was skeptical regarding US' Ability to come in their defense against USSR and in Middle East, US' mediation On middle East conflict had been complicated as the nations watching the Vietnam's Development began to show doubt on US' credibility. IN this case, what US had To do was to show its resolve that it could not afford to be bullied by a small nation. In short, US global standings and credibility had been weakened by the Vietnam War. About the killing of civilians, Kissinger pointed out that he suggested bombardments On area around the border, and he had already got implicit agreements from the Governments in Laos and Cambodia. You are correct however in pointing out that some of my sources are from Kissinger's Writings. However, I suggest you to also read Kissinger's point of view. Ekonomi memang merupakan faktor terpenting pada abad baru ini. Tapi saya terus terang tetap menyatakan bahwa state itself remains very important factor and player in international relations. :) I agree with you. Logically, states are the place where economic activities happen. States should be strong of course in order to survive. But their strenghts should not rely on political power prestige, rather economic prestige. Economic power is a tool for a political power. US has a huge dominance on Economic thus it can wield the economy as a political power toward the world. :) Salah satu buku yang menguatkan implikasi policy Kissinger adalah NuclearBom and Foreign Policy. Karangan siapa? Apakah anda yakin bahwa Kissinger membaca buku itu sewaktu menjalankan politik luar negeri dia? :) Nuclear Bom and Foreign Policy karangan Henry Kissinger. Wah, sekarang giliran saya yang kegalapan soalnya saya sudah lupa Henry Kissinger Pernah menulis buku ini. Kalau tak salah, di sini Kissinger menyatakan preference Untuk tactical nuclear weapon daripada massive retaliation. Tapi saya sejujurnya Saja sudah lupa. Boleh tanya di buku mana anda mendapatkan sarannya seperti itu? Kalau saya membaca 'Kissinger's Transcript,' lebih terlihat sikap orang-orang yang cold blooded dan calculated bukan orang marah atau gila. Ide MAD sudah ada jauh sebelum jaman Kissinger-Nixon dan sudah beredar di kalangan political scientist yang mempelajari implikasi bom nuklir kepada hubungan internasional. :) Mudah-mudahan kita berbicara tentang MAD pada level yang sama. MAD yang saya maksud, literaly means upset, jengkel, marah, blow out, etc. MAD di sini artinya 'Mutual Assured Destruction' di mana idenya adalah balance Of power berdasarkan bom nuklir. Berapa pun bom yang ditembakkan sebetulnya Enggak akan berpengaruh soalnya kedua pihak sudah pasti hancur. Perundingan Kissinger-Brezhnev memang banyak diwarnai oleh ide ini. Kalau buku yang mana menulis itu, saya belum tahu, yang pasti ada pada document-document tertulis pada Senate Hearings on Foreign affairs and international relations. Lihat pada government documents: Hearings in
Re: BE ALERT OF KISSINGER!!!!!
Mme. Ida: M. Henry Kissinger merupakan salah satu kaum 'Realist' dalam hubungan internasional. Realist di sini artinya seseorang yang memandang hubungan antar negara berdasarkan 'power' dan 'legitimacy.' Cara berpikir dalam politik internasionalnya tertuang di buku 'A World Restored: Metternich, Castlereagh, and the Problem of Peace.' 1. bukan Kissinger author Perang Vietnam Untuk yang ini, doa anda terkabul. Menarik sekali melihat betapa banyak orang menyamakan Kissinger dengan Perang Vietnam, walau kenyataannya itu perang Vietnam justru mencapai puncaknya waktu administrasi 'Democrats'-nya Kennedy dan Lyndon Johnson. Anda bisa membaca McNamara's 'In Retrospects.' 2. bukan Kissinger pemrakarsa perang teluk Boleh tanya: yang mana. Perang teluk 1980-1988 itu dimulai oleh Saddam Hussein. Perang Teluk II dimulai setelah Iraq menyerbu Kuwait. 3. bukan Kissinger pendukung perang Bosnia-Herzegovina Perang saudara ini dimulai setelah perpecahan Yugoslavia. 4. bukan Kissinger pendukung atomic/nuclear bom Pada masa perang dingin, hampir semua 'establishment' di US mendukung bom nuklir. USSR sendiri meningkatkan produksinya di masa Brezhnev, dan sekarang pun India dan Pakistan memilikinya. Politik bom nuklir lebih banyak dipengaruhi ide 'MAD' dan deterrence. 5. bukan Kissinger pendukung Nazi Jerman Kissinger adalah Yahudi. Seperti anda ketahui, holocaust bukanlah myth. 6. bukan Kissinger pendukung perang Kuwait Perang Teluk II dimulai setelah Iraq menyerbu Kuwait. 7. bukan Kissinger conservative: War-Hunger War and hunger have always been present with humanity since the beginning of history. (Confucius) 8. bukan Kissinger pelindung silent killings by CIA Pada masa perang dingin, hampir semua administrasi mendukung silent killings oleh CIA. Salah satu buat diconsider: Bay of Pigs-nya Kennedy. 9. bukan Kissinger anti sosial walfare Kissinger lebih tertarik ke politik luar negeri dan dia tak pernah ikut campur dengan domestic politics di US. Semoga membantu. YS
Report: Indonesian Military to Quit Parliament 2004
February 25, 2000 Report: Indonesian Military to Quit Parliament 2004 Filed at 9:14 a.m. ET By Reuters JAKARTA (Reuters) - Indonesia's powerful but discredited military, under pressure to retreat from politics, will give up its guaranteed parliamentary seats at the 2004 election, the official Antara news agency said Friday. Antara quoted armed forces commander Admiral Widodo telling a parliamentary the military would relinquish its 38 seats in the 500-seat chamber and quit politics altogether. ``At 2004, we will no longer play a role in practical politics,'' head of the military's armed forces faction Hari Sabarno told reporters later. The move comes after widespread public demands for the armed forces to get out of politics and back into the barracks. And it will help reinforce civilian rule as the world's fourth largest nation moves to democracy after three decades of authoritarian, army-backed leadership by former president Suharto. Indonesia's military, raised as a people's army in the war for independence from the Dutch, has traditionally played a major political role and underpinned the rule of autocratic former general Suharto, ousted amid social and economic turmoil in mid-1998. But its support for Suharto and abuses committed under his rule, as well as the gunning down of pro-democracy activists has destroyed its credibility among ordinary Indonesians and triggered demands for it to return to a purely military role.
Indonesia Names Suharto a Corruption Suspect
February 10, 2000 Indonesia Names Suharto a Corruption Suspect By SETH MYDANS JAKARTA, Indonesia, Feb. 10 -- In what appeared to be a serious new effort to prosecute Indonesia's former president, Suharto, the government named him today as a suspect in a widening corruption investigation and summoned him for questioning next week. Mr. Suharto's lawyers immediately responded that he was too sick to attend. The former president is 78 and was hospitalized twice last year following a stroke. "He is physically and mentally unfit to appear for the questioning," said one of the lawyers, Juan Felix Tampubolon. Taking a less deferential tone than investigators in the past, who had dropped a probe of Mr. Suharto, a spokesman for the attorney general's office said illness was no excuse. "Suharto is now named as a suspect and we hope he'll turn up for questioning," the spokesman, Suhandoyo, told reporters. "We have also looked at the state of Suharto's health, and it seems to be improving." The renewed move to bring Mr. Suharto to account appeared to be part of a broad policy by the new government of President Abdurrahman Wahid to address past abuses and begin building a new society based on civilian government and the rule of law. The former president, who was forced to resign in May 1998, is widely believed to have amassed billions of dollars in illegal wealth for himself, his children and his associates. He has denied the accusation. Despite public demands for an accounting, investigations under his friend and immediate successor, B.J. Habibie, seemed half-hearted. Mr. Suharto was treated with elaborate deference when he was called to give evidence at the attorney general's office in late 1998. His questioners were former members of his own administration. Just before Mr. Habibie was voted out of office last October, those investigators announced that they had not found enough evidence to bring charges and closed the case. That highly unpopular move was one of the last straws in Mr. Habibie's failed bid for election. Days later, Mr. Wahid's new attorney general, Marzuki Darusman, reopened the case, which involved allegations of the misuse of millions of dollars in seven charitable organizations controlled by Mr. Suharto. "We will not tolerate any monkey business any more," Mr. Marzuki said at the time. Softening the harshness of a the idea of putting a former president on trial, Mr. Wahid later said that in the event Mr. Suharto is convicted, he would be pardoned if he apologized and returned any stolen funds. Officials today said they now also wanted to question Mr. Suharto regarding a failed national car project, in which he bent investment rules to favor one of his sons, and about lucrative monopolies in cloves and fruits that were run by his children. Mr. Suharto's youngest son, Hutomo Mandala Putra, was acquitted last year during Mr. Habibie's administration of corruption charges involving a land deal. But he and other family members and friends remain under investigation for other deals. Seeing Mr. Suharto investigated and put on trial was one of the loudest demands made by the students and other opponents whose demonstrations helped bring an end to his corrupt 32-year rule. While overturning much of Mr. Suharto's legacy with a range of political reforms, Mr. Habibie appeared committed to protecting the personal welfare of his longtime mentor. Mr. Wahid's new administration is advancing on virtually every front to reform the government and to clear the ledger of past abuses that range from corruption to military killings. The president is now engaged in a high-stakes standoff with Indonesia's most prominent general, Wiranto, who has refused his demand to resign as coordinating minister for security affairs. The demand followed an accusation by a government commission that the general was guilty of human rights abuses in the violence that followed a vote for independence last August in the territory of East Timor. That commission is conducting just one of several investigations into abuses by the military during the years it acted as Mr. Suharto's enforcer. Some analysts believe that Mr. Wahid is making a public example of General Wiranto because he symbolizes the old order. Like Mr. Habibie, he is a protégè of Mr. Suharto, having been appointed defense minister after serving for years as his personal adjutant. On the morning Mr. Suharto resigned, General Wiranto made a public pledge to protect his interests. Mr. Wahid is a contrast to Mr. Suharto in almost every way -- voluble where Mr. Suharto was enigmatic, informal (and often barefoot) where he was solemn, welcoming public discussion and dispute, committed to democratic reforms. Mr. Suharto gave only three news conferences in 32 years. Mr. Wahid seems to have something to say every day, if not every hour. Now he seems almost to be taunting General Wiranto with new statements at every stop on a 16-day foreign tour, which will end
Anonymous remarks to ponder....
It is hard to understand how a cemetery raised its burial cost and blamed it on the cost of living. Just remember If the world didn't suck, we'd all fall off. We are born naked, wet, and hungry. Then things get worse. The 50-50-90 rule: Anytime you have a 50-50 chance of getting something right, there's a 90% probability you'll get it wrong. It is said that if you line up all the cars in the world end to end, someone would be stupid enough to try and pass them. Laughing stock - cattle with a sense of humor. You can't have everything, where would you put it? Latest survey shows that 3 out of 4 people make up 75% of the world's population. If the shoe fits, get another one just like it. Eat right. Stay fit. Die anyway. The things that come to those that wait may be the things left by those who got there first. Give a man a fish and he will eat for a day. Teach a man to fish and he will sit in a boat drinking beer all day. Flashlight: A case for holding dead batteries. Shin: A device for finding furniture in the dark. As long as there are tests, there will be prayer in the public schools. When you're swimming in the creek, and an eel bites your cheek, that's a moray! A fine is a tax for doing wrong. A tax is a fine for doing well. It was recently discovered that research causes cancer in rats. The only cure for insomnia is to get more sleep. Everybody lies, but it doesn't matter since nobody listens. I wished the buck stopped here, as I could use a few. I started out with nothing, and I still have most of it. When you go into court, you are putting yourself in the hands of 12 people that weren't smart enough to get out of jury duty. Light travels faster than sound. This is why some people appear bright until you hear them speak. It is a fact that you will always meet at least one idiot in one day.
Re: Hanya Islam Re: Musang berbulu Domba ?
Saya ingin tahu apa anda memang agamanya Islam, soalnya teman-teman saya yang Islam rasanya tidak pernah serajin anda memprovokasi orang- orang lain. Rekan-rekan Islam di milis ini sendiri tak pernah mengeluarkan sesumbar seperti anda. Orang seperti anda yang memberikan nama jelek buat agama Islam. Tambahan lagi, saya benar-benar salut bahwa anda yang sudah tak sanggup memenuhi janji (ingat diskusi Ambon) masih memiliki nyali untuk memprovokasi milis ini. Memang sayang sekali rasa 'malu' belum berkembang di Indonesia. Saya tak heran kalau anda sebetulnya anarkis yang atheis yang senang sekali memecah belah umat Kristen dan Islam. Terus terang saya kagum sekali dengan tetangga anda itu karena kesabaran mereka dalam menghadapi anda. Tak perlu anda memberi pertanyaan-pertanyaan yang pathetic yang anda sendiri tak pernah berusaha mencari jawabannya. Kalaupun anda serius, anda tak akan menjawab dengan tanpa rasa keseriusan itu. Saya rasa percuma saya berdiskusi dengan anda juga karena itikad anda yang sangat pathetic itu. Anda boleh berbangga bahwa anda orang pertama dalam hidup saya yang saya masukkan ke daftar 'blocked sender.' Tambahan lagi: saya rasa anda belum tahu bahwa milis ini bukan disediakan untuk provokator, tapi untuk kegiatan diskusi yang sehat. Untuk milis provokator, saya rasa lebih baik anda mencari milis-milis yang lain. Walaupun saya tak setuju bahwa milis ini hanya ekslusif untuk mahasiswa di US, tapi untuk anda saya bisa memberi perkecualian. YS
Re: [Renungan] Peace: It's A Beautiful Sight To See
Wah-wah, masak milis Permias@ takut dengan provokasi? Sejak kapan provokasi jadi barang haram? Seharusnya semua issue dibahas, biarpun berbau provokasi atau tidak. Kalau peserta milisnya cukup cerdas, bahan yg berbau provokasi tetap saja dapat dimasak menjadi masakan yang tidak berbau provokasi, dan bersifat problem solving. Ada perbedaan besar antara bahan-bahan provokasi dan provokator. Bahan-bahan provokasi contohnya literatur komunis, buku agama lain, dsb yang perlu kita pelajari agar tak terjebak kaum provokator yang berusaha memanipulasi semuanya demi kepentingan pribadi. Namun provokatorlah yang perlu kita hindari. YS
Re: Tema
YS, terimakasih untuk masukkannya. Tapi itu tidak memuaskan, karena inti masalah tetap belum terlihat. Pertanyaan saya sebenarnya lebih mengarah untuk me-list perbedaan (apa yang dimau-i pihak satu terhadap pihak lainnya) yang menjadi sebab utama perpecahan. Kalau perbedaan sudah ter list dengan rapi, masing - masing pihak akan dapat bertoleransi dan bertanggung jawab untuk menjaganya. M. Suhendri: Untuk mencapai perdamaian, pertama-tama perlu ada itikad dulu. Jika untuk hal seremeh itu saja tak bisa ditemukan titik temu, maka percuma kita berunding. Malah hanya akan memperburuk keadaan. Hal itu yang ditemui Henry Kissinger dalam 'Shuttle Diplomacy'-nya yang terkenal itu. Jika persamaan sudah ditemui, baru kita berdiskusi tentang perbedaan. Jika kita hanya mau tulis perbedaan dan hanya mengandalkan 'toleransi' saja, itu sama seperti api dalam sekam; sedikit tambahan saja langsung akan menyala lagi. Karena itu paling pertama perlu dicari titik temu sebelum mendiskusikan tetek bengek yang lain. YS
Re: Tema
Menurut YS penyebabnya adalah Provokator. Pertanyaannya adalah : Provokator yang mana ya ? Kira - kira tujuan Provokator itu apa ya ? Koq ya hebat sekali "pekerjaan" Provokator itu hingga saat ini sampai pada tahap perang antara orang Kristen lawan orang Muslim (sudah bukan parsial lagi) Wah, anda menarik sekali nih. Semua pikiran positif yang harusnya dibina kok dibalikkan begini hmmm. dibulan puasa lagi Bukannya di bulan puasa ini kaum Muslim perlu menyingkirkan segala pikiran yang penuh angkara murka dan berusaha mendekatkan diri kepada Allah? Di bulan puasa juga bukannya merupakan saat untuk menyucikan diri dan berhati-hati akibat godaan iblis? Atau adakah makna puasa lain yang saya tak tahu? Begitu juga di hari Natal umat Kristen mengingat kedatangan Tuhan Yesus sebagai penyelamat dan berusaha menjadi terang di dunia dan berusaha menjadi pendamai? (Mungkin saya paranoid, tapi saya yakin M. Soehendri akan menjelek-jelekkan paragraf ini). Justru dengan hari keagamaan yang sama seperti ini, umat Kristen dan Islam ditantang sebagai pendamai, tapi kok anda memikirkannya perang terus? Dari gaya bahasa anda kok terlihatnya anda senang sekali menjelek-jelekkan umat Kristen di Maluku? Saya justru jadi berpikir apa anda yang sebetulnya provokator? Yang lebih aneh lagi, dari semua yang saya tulis, yang dibalas itu hanya provokatornya. Tapi soal perdamaian itu ditolak mentah-mentah. Mungkin anda yang perlu memikirkan ulang tema Natal dan makna puasa kepada diri anda pribadi. Kalau memang kaum Kristen (sebagai mayoritas) menginginkan perdamain dan persatuan, mestinya mudah saja perang di Ambon dan Maluku selesai. Apa anda punya ide yang menarik? Tentunya yang tak bersifat asbun atau menjelek-jelekkan kaum Muslim dan Kristen. YS
Re: Tema
Wah, anda menarik sekali nih. Semua pikiran positif yang harusnya dibina kok dibalikkan begini hmmm. dibulan puasa lagi Menurut YS penyebabnya adalah Provokator. Pertanyaannya adalah : Provokator yang mana ya ? Kira - kira tujuan Provokator itu apa ya ? Koq ya hebat sekali "pekerjaan" Provokator itu hingga saat ini sampai pada tahap perang antara orang Kristen lawan orang Muslim (sudah bukan parsial lagi) Oh, pertanyaan yang penting justru: kenapa M. Soehendri senang sekali memecah belah massa. Kok ya hebat sekali pekerjaam M. Soehendri itu hingga saat ini tak pernah berhenti-berhenti menjelek-jelekkan satu golongan yang dia tak sukai, tapi kalau balok di mata fraksi yang dia dukung tak pernah diutik-utik. Itulah definisi PROVOKATOR. Bukannya di bulan puasa ini kaum Muslim perlu menyingkirkan segala pikiran yang penuh angkara murka dan berusaha mendekatkan diri kepada Allah? Di bulan puasa juga bukannya merupakan saat untuk menyucikan diri dan berhati-hati akibat godaan iblis? Atau adakah makna puasa lain yang saya tak tahu? Begitu juga di hari Natal umat Kristen mengingat kedatangan Tuhan Yesus sebagai penyelamat dan berusaha menjadi terang di dunia dan berusaha menjadi pendamai? (Mungkin saya paranoid, tapi saya yakin M. Soehendri akan menjelek-jelekkan paragraf ini). Justru dengan hari keagamaan yang sama seperti ini, umat Kristen dan Islam ditantang sebagai pendamai, tapi kok anda memikirkannya perang terus? Dari gaya bahasa anda kok terlihatnya anda senang sekali menjelek-jelekkan umat Kristen di Maluku? Yang lebih aneh lagi, dari semua yang saya tulis, yang dibalas itu hanya provokatornya dan terlihat menyudutkan satu pihak. Mungkin anda yang perlu memikirkan ulang tema Natal dan makna puasa kepada diri anda pribadi. Kalau memang kaum Kristen (sebagai mayoritas) menginginkan perdamain dan persatuan, mestinya mudah saja perang di Ambon dan Maluku selesai. Apa anda punya ide yang menarik? Tentunya yang tak bersifat asbun atau menjelek-jelekkan kaum Muslim dan Kristen. Lagipula: apakah anda sekarang di Maluku? Apa anda tahu secara total sebetulnya apa yang terjadi? Kaum Muslim yang saya kenal menyatakan A dan kaum Nasrani menyatakan B, dan saya berusaha mendengar dari keduanya. Apakah anda hanya mendengar dari satu sisi dan itu cukup? YS
Re: Tema
Maaf yang tadi versi awalnya belum selesai sudah terkirim. YS
Re: Tema
Justru saya sedang berpikir sangat bersih dan berpikir positif, meskipun kalau dibaca begitu saja tanpa pemahaman mendasar akan cenderung provokatif. Justru saya sedang berpikir bersih dan positif juga dan karena anda membaca tulisan saya yang pertama-tama begitu saja tanpa pemahaman mendasar akan cenderung lebih menekankan kepada provokatornya daripada kepada keinginan orang-orang untuk hidup dalam damai. Semua pemeluk agama, jika mendalami dan menjalani agama nya (kembali ke Kitab Suci) masing - masing dengan DIBANTU oleh para pemimpin agamanya, akan dengan mudah tercipta perdamaian dan kerukunan. Meskipun seluruh setan dan iblis menjadi provokatornya. Para pemeluk agama walaupun sangat berbakti, tapi sayangnya bisa juga dipengaruhi pemimpin agamanya yang terkadang lebih menekankan ambisi pribadi dan menggunakan agama sebagai alat ambisinya itu. Atau pemimpin agamanya bisa dikerjai oleh provokator tertentu. Tolong beri perhatian penuh pada alinea saya diatas. Tolong juga beri perhatian penuh kepada seluruh isi tulisan saya. Juga tolong beri perhatian penuh kepada kejenuhan massa akan SARA sebelum berusaha memecah belah lebih lanjut. Soalnya saya enggak heran kalau banyak anggota Permias sudah jenuh melihat perpecahan dari jaman Suharto serta isu-isu SARA yang tak kunjung habis. Lebih baik anda gabung ke milis SARA Pasti banyak teman di sana. Jika masih terjadi juga perang dan bunuh membunuh, harus diperiksa lagi Kitab Sucinya, Pemimpinnya, Umatnya. Mari seluruh anggota permias sama-sama memeriksa Alkitab, Qur'an, Veda, Tripitaka, Tibetan Book of Dead, Egyptian Book of Dead, kitab Zoroaster, kitab Mani, kitab Confusius, buku Taoisme, kitab-kitab Shinto, serta ratusan kitab agama lain di dunia. Soalnya semua umatnya juga masih terus perang dan bunuh membunuh sehingga artinya kita harus memeriksa semua kitab sucinya. Kita periksa juga Bill Clinton, Boris Yeltsin, Saddam Hussein, Raja Fahd, Sharif dari Pakistan, Jiang Zemin, Dalai Lama, para Ayatollah di Iran, Paus Yohanes Paulus II, serta semua pemimpin agama lain; dan jangan lupakan juga Gus Dur, serta semua kiai di Arab atau di Indonesia soalnya semua pemuka agama. Juga para pastor, pendeta, dsb. Soalnya tiap hari juga masih ada yang tukang todong dan bunuh orang. Masih tertarik untuk melakukan 'inquisition?' Itulah intinya. Itulah juga intinya. YS
Re: Tema
Jadi benarkan apa yang saya tulis. Ada yang SALAH, Seperti anda tulis dibawah bahwa pemimpin agama bisa dikerjai oleh provokator. Pemimpin agama menekankan ambisi pribadi dan menggunakan agama sebagai alat ambisinya. Sekarang pertanyaannya Mengapa bisa ? Mengapa ? Bisa tolong dijelaskan. Sudah anda jawab sendiri diatas. Jangan lah saya dianggap memprovokasi, justru saya sedang mencari akar masalahnya. M. Soe, Maaf kalau menyinggung, tapi terus terang saya sangat skeptik mendengar anda mau mencari akar masalahnya. Sejak anda masuk milis ini, yang saya dengar dari anda hanya sepatah kata seperti 'goblok' dan tak ada sedikitpun perkataan dari anda yang menuliskan pemikiran atau penyelesaian masalah. Sejak dulu kalaupun anda menulis, pasti berat sebelah dan cenderung menghina satu posisi dan menutup mata kepada kesalahan tokoh-tokoh yang anda dukung.Penulis-penulis lain seperti M. Wisesa, M. Irwan, Mme. Ida, dan M. Jeffrey memang kontroversial di milis ini, tapi mereka menulis apa posisi mereka dan kenapa mereka tak setuju dan ada analisa-analisa. Walaupun sering kontroversial, tapi saya bisa melihat memang itikad mereka mencari penyelesaian dan juga ada rasa terbuka mau menerima pendapat. Tapi kalau anda? Saya pertama kali mendengar anda mau mencari akar masalahnya. Karena itu maafkan kalau saya terus terang sangsi bahwa anda memang tujuannya itu. Kalau Mme. Ida yang bertanya, saya akan berani berdiskusi dengannya karena saya tahu pasti niatnya bagus. Tapi sayang saya tak bisa menyatakan hal yang sama kepada anda mengingat 'record' anda di milis ini sudah berbicara sendiri. Pikiran logis saya bilang bahwa kendali utama penyelesaian masalah Ambon dan Maluku terletak di tangan umat Nasrani, tidak lain tidak bukan. Umat Islam di Ambon itu kecil jumlahnya, janganlah dihabisi dan ditindas, apakah salah mereka itu ? Anda yakin? Atau anda hanya baca koran Republika lalu menyatakan diri pakar masalah Maluku? Beberapa yang saya kenal yang Muslim menyatakan bahwa ada orang-orang tertentu dari pulau lain yang datang memanas-manasi. Yang Kristen juga menyatakan yang sama. Yang lain menyatakan yang berbeda. Lalu bagaimana anda bisa menyatakan bahwa Republika yang pasti benar? Coba di bulan puasa ini berusaha intropeksi diri. Saya sendiri melakukan hal yang sama pada bulan menjelang Natal ini. YS
Re: Tema
Kepada anggota Permias: Ini merupakan balasan terakhir dari saya mengenai diskusi ini karena terus terang saya tak tertarik membahas masalah SARA yang tak akan ada ujungnya. Saya akan layani kalau M. Soe mau meneruskan, tapi terus terang saya lebih suka kalau masalah ini dianggap selesai. Masalah SARA sama seperti masalah duluan ayam atau telur. Penyelesaiannya adalah siapa orang pertama yang akan mengulurkan tangan untuk berkata 'Saya adalah Saudaramu walau berbeda SARA.' Terus terang diskusi dibawah ini sudah sangat panas, dan saya pertama- tama minta maaf dulu kalau menyinggung saudara-saudara Kristen atau Muslim di Permias ini. Terserah anda lah menilai saya, di sini didalam Permias ini ada 560 orang, saya yakin juga ada yang berpikiran sama seperti saya. Yang anda tulis mengenai saya tidak juga benar, itukan kata Anda :-) Terserah anda. Tapi dari record anda saya bisa melihatnya dan terus terang anda bukan type orang yang saya anggap bisa diajak berdiskusi dengan terbuka atau dengan rasional. Kalau ada yang berdiskusi menyelesaikan masalah dengan "jawaban", maka tipe saya adalah menyelesaikan masalah dengan "pertanyaan". Orang yang bertanya tentang alam semesta adalah filsuf dan mereka berusaha mencari kebenaran serta belajar dari alam semesta. Namun ada juga yang hanya bertanya tanpa ada itikad mencari kebenaran. Yang mana yang merupakan type anda? Hanya bertanya tanpa ada itikad mencari kebenaran namanya bukan menyelesaikan masalah, melainkan memperbanyak masalah. Bertanya juga ada batasnya, sampai dimana pertanyaannya itu tetap relevan. Kalau pertanyaannya sudah tak berguna, sudah saatnya menutup mulut. Saya yakin apa yang saya "pertanyakan" di sini banyak benarnya. Jika ada yang tidak suka dengan "pertanyaan" saya, berarti "pertanyaan" saya itu mengandung KEBENARAN dan coba untuk diingkari. Pertanyaan memang perlu dijawab, tapi jika jawaban yang diberi pasti selalu dibantah tanpa diberi kesempatan untuk dipikirkan dan ditelaah dulu, apa bedanya saya berbicara dengan gagak? Kembali ke permasalahan yang saya angkat, saya tanyakan khusus untuk YS, dengan menggunakan pikiran dan akal sehat Anda, permasalahan yang ada di Ambon, terlepas dari semua isu, kata orang, kata media dll. Siapakah yang dapat menghentikan inti permasalahan yang ada di Ambon KALAU BUKAN umat Nasrani Ambon ? Yang bisa menghentikan masalahnya adalah UMAT NASRANI DAN UMAT MUSLIM. Jika keduanya tak mau terbuka dan berusaha menjabat tangan masing-masing, tak akan ada penyelesaian. Percuma kalau umat Nasrani mau berdamai tapi kaum Muslim tak mau, dan juga sebaliknya. Masalahnya juga banyak provokator dari daerah lain yang memperburuk suasana. Provokator mana? Pasti itu pertanyaan anda nanti. Jika anda memang care masalah ini, tak ada salahnya anda juga meminta pandangan dari pihak Nasrani di Ambon, tak hanya berpihak kepada satu sisi saja. Pertanyaan anda sendiri sebetulnya mencerminkan pribadi anda: hanya ingin enaknya saja, tak ada inisiatif untuk memecahkan masalah, dan hanya menunggu pihak lain memberikan konsesi saja. Mengapa tidak melindungi umat Islam ?, (dari serbuan provokator seperti kata Anda) ... mengapa tidak menjadi benteng untuk orang lemah ? mengapa tidak memperlihatkan ajaran Kasih Sayang ? Mengapa ? Tak salah? Kaum Kristen di Maluku juga banyak yang dihancurkan rumahnya sementara tentara tak memberi perlindungan. Kalau begitu, siapa yang korban? Jawabannya: keduanya adalah korban. Selain itu, bagaimana kalau saya balikkan pertanyaan ini: Di Jakarta terjadi pembakaran tempat rehabilitasi para pecandu obat terlarang yang diasuh oleh gereja. Warga sekitar menyatakan bahwa tempat rehabilitasi itu adalah tetangga yang bagus, dan yang membakar datang dari daerah lain. Namun, kenapa sampai sekarang anda tak mengkoar-koarkan hal ini di Permias? Apa yang anda lakukan waktu gereja-gereja dibakar di tempat yang mayoritas Muslim? Apakah anda mau menjadi benteng untuk gereja-gereja yang dibakar? Kristen itu minoritas di Indonesia, hanya dibawah 10%. Tak bisa menjawab khan? Makanya, jangan hanya memandang kutu di seberang samudera. Saya dari sini tak tertarik mencari-cari siapa yang salah atau benar; apakah kaum Muslim yang salah atau Kristen yang salah; karena terus terang tak ada yang namanya 100% benar dan 100% salah dalam SARA. Apakah gereja pasti benar? Ada pendeta yang yang korup, tapi ada juga kiai yang berengsek. Tapi banyak pendeta dan kiai yang benar-benar beritikad baik dan berusaha menjaga kerukunan umat. Karena itu kalau anda memandang penyelesaian maslaah hanya dari agama, itu salah besar. Banyak faktor lain selain agama, dan agama hanyalah sebagai topeng. Sebagai anggota Permias, apalagi yang belajar di US, kita harus belajar melihat masalah tidak hanya hitam atau putih contohnya kalau si anu agama gue pasti dia benar. Sebagai yang punya kesempatan di US, kita harus berpikir lebih kedepan dan berusaha menyelesaikan masalah secara rasional dan objektif. Jika kita belajar di US
Re: Tema
YS bilang bahwa yang bisa menghentikan masalahnya adalah Umat Nasrani dan Umat Muslim. Untuk menghargai pendapat ini saya berinisiatif untuk memulai "menyelesaikannya". Harapan saya adalah kali ini anda berusaha untuk tidak memihak dan memang beritikad untuk menyelesaikannya. Saya menanggapi usulan anda ini DENGAN SERIUS. Jika anda bermain-main dengan saya atau tak serius dengan masalah ini, atau asbun, saya akan minta dengan formil anda untuk meminta maaf kepada semua peserta milis PERMIAS dan mengundurkan diri dari milis ini. Jika anda keberatan dengan syarat ini, e-mail langsung japri atau jarum dan diskusi langsung saya putuskan dan saya anggap masalah selesai. Tapi jika diskusi ini sudah berjalan, dan anda melanggar syarat saya, maka anda harus melakukan yang saya minta di atas. Saya meminta anda YS untuk menulis apa saja yang anda mau dari Umat Muslim Ambon untuk menyelesaikan masalah ini. Setiap permintaan anda harus beralasan atas sesuatu (mis : saya minta ini karena ) Masukan anda akan saya kirim ke "teman" saya di Ambon, paling tidak sebagai ide dari anda. Silahkan memulai : Permasalahan terbesar untuk saya adalah saya tak tahu banyak mengenai situasi dan adat istiadat di Maluku sehingga saya ragu kalau saya bisa memberikan proposisi yang bisa berguna. Saya sendiri tak menganggap diri saya sebagai juru bicara dari golongan manapun juga karena tak ada yang memberikan mandat kepada saya. Namun saya memberikan beberapa point yang saya anggap berguna dan karena memang ini semua berdasarkan akal sehat. 1. Penghentian keributan oleh kedua belah pihak. Tak ada alasan bahwa pihak itu dulu yang harus mulai; pihak yang mendapat surat ini perlu langsung memberi isyarat kepada pihak lain tentang itikad mereka untuk berdamai. 2. Tak peduli siapa yang mulai, yang penting kedua pihak mau duduk di bangku perundingan dengan itikad yang memang baik. 3. Tak ada unsur dari luar. Semua yang ikut perundingan merupakan orang Ambon yang memang sudah tinggal di Ambon paling sedikit 10 tahun. Hal ini untuk mencegah elemen-elemen yang bisa mengeruhkan suasana. Sekarang saya sedang menghubungi rekan-rekan saya yang di Maluku dan saya harap saya akan menerima jawaban dari mereka secepatnya. Saya harap anda juga bisa menghubungi rekan-rekan anda di sana. YS
Re: Tema
Ada yang tahu tema Natal untuk tahun ini di Ambon dan Maluku ? Thanks Soe Saya rasa pasti thema dari kaum Kristen di Maluku adalah untuk perdamaian dan rasa persatuan serta penghentian keributan SARA. Saya rasa harapan umat Muslim di Maluku juga adalah harapan untuk perdamaian dan kerukunan yang telah hilang akibat provokator yang senang memancing di air keruh. Saya rasa di bulan puasa dan Natal ini, para umat beragama di Maluku akan berusaha berpikir ke arah positif kepada orang lain dan ke umat agama lain. Mereka juga pasti lebih berhati-hati karena banyaknya godaan yang menanti di bulan puasa dan Natal yang disebabkan iblis yang pasti terus berusaha menanamkan benih-benih perpecahan kepada semua orang. Apalagi karena kita mendapat hari raya agama yang bersamaan, pasti iblis bekerja jauh lebih keras dari biasa, karena biasanya cuma mengganggu satu agama, sekarang harus sekaligus keduanya.
Re: Berita Ngawur (Bila' dua Bill di KTM WTO Seattle
M. Anjasmara, Perkenankan saya memberi sedikit kritik. Mas Syamil, saya jelas sudah dengar Microsoft dipecah. Cuma usaha pengakuisisian perusahaan yg berhubungan dengan penguasaan informasi masih jalan terus tuh. Hotmail aja sudah jadi milik MSN. Semua perusahaan kecil yg bagus dan berpotensi sudah dibeli dengan gampang oleh sang raksasa. Hotmail dibeli Microsoft sebelum keputusan anti-trust. Namun, walaupun hakim sudah menyatakan bahwa Microsoft adalah sebuah 'trust', tapi keputusan untuk memecahnya belum keluar. In fact, pengadilan justru sekarang sedang mempertimbangkan untuk menyelesaikan masalah ini melalui moderator, jadi tak melalui jalur legal yang konventional. Jadi sampai sekarang Microsoft secara de-facto belum dipecah. Pemecahan Microsoft sendiri kalaupun dilakukan akan cukup menggoncang stock market sehingga pemerintah US untuk hal ini sangat berhati-hati. Basically, Bill Gates sekarang telah mampu menjadi seseorang yg menjadi musuh James Bond di film-film 007 itu. Untuk menghancurkan suatu negara tertentu saat ini sudah banyak sekali cara alternatif. Seperti penghancuran Sovyet melalui Saudi dengan oversupply minyak (antara lain), Selama saya mempelajari sejarah kehancuran USSR, saya tak pernah menemukan teori ini. Kebanyakan para ahli berpendapat kehancuran USSR adalah akibat stagnasi (Gregory Sunni), ineffisiensi (David Remnick), atau karena memang sejak dulu sistem komunisme memang sudah 'ditakdirkan' untuk hancur karena memang komunisme tidak mungkin bisa dilaksanakan (Martin Malia). (Yang di dalam kurung adalah teoris tentang USSR). atau yg sekarang populer adalah IMF yg telah menjadi polisi dunia yg berhak menyuruh negara tertentu untuk nungging, untuk meloncat, tanpa banyak cingcong akan dituruti tuh. Apa Mas Syamil punya komentar mengenai komentar Camdensus bahwa IMF yg ngerjain Suharto? Padahal Suharto sendiri dulu juga bilang bahwa kekuatan asing yg menggusurnya, bukan mahasiswa. Apa ada yg mau bilang Mahathir hanya seorang paranoid? Bagaimana kalau teori ini: M. Suharto tak mau mundur. Tapi ketika dia mau membentuk kabinet baru, dan ternyata menteri-menteri semua memilih bekerja dibawah M. Habibie, dia mengamuk, tapi juga sadar bahwa 'the game is up' dan mengundurkan diri. Yah, kenapa AS membuat aturan monopoli apa hanya melihat dari segi ekonomi? APa hanya agar perusahaan lain hidup? AS sangat sadar dengan potensi pengusaha yg dapat mempunyai kemampuan lebih besar dari presiden AS sendiri. Untuk itulah perusahaan yg terlalu besar juga perlu dipotong. Dalam political science, hal ini memang banyak diperdebatkan, apakah satu perusahaan bisa memiliki power setinggi pemerintah dan akhirnya bisa mendongkel pemerintah sendiri. Contohnya saja waktu penggusuran presiden Chile tahun 1970-an yang diduga didalangi salah satu perusahaan multinasional di US. Tapi kebanyakan konsensusnya justru menytakan bahwa perusahaan tetap tak bisa mengalahkan pemerintah. Walaupun satu perusahaan sudah terlalu besar, tapi kalau pemerintah memutuskan untuk menutup perusahaan itu, perusahan itu sendiri tak punya kekuasaan untuk menentang pemerintah. Anti-Trust itu pada dasarnya adalah usaha pemerintah untuk menyeimbangkan 'playing level' di bisnis dan memperjuangkan kompetisi yang akan terus memberikan kreativitas dan menjaga agar konsumen tak dimonopoli dan akhirnya membayar harga yang mahal dan service yang ineficient. Pertemuan WTO memang basically adalah pemasungan negara-negara berkembang. Semua dirayu untuk masuk dengan berbagai bujuk rayu dan ancaman tersembunyi. Hal ini masih diperdebatkan karena conflict of interest di US sendiri memang tinggi. Tapi tariff sendiri dipertanyakan efektivitasnya sebetulnya. Mungkin ekonomist di Permias bisa berkomentar lebih jauh? Anyway, hanya segini komentar saya. Saya minta maaf kalau ada yang menyinggung. Terima kasih. BTW: sudah selesai buku 'Kisah Tiga Negara'nya? :-) YS
Indonesia Generals To Avoid Charges
December 7, 1999 Indonesia Generals To Avoid Charges Filed at 11:03 a.m. EDT By The Associated Press JAKARTA, Indonesia (AP) -- Indonesia's top generals will escape prosecution for murders, torture, rapes and other atrocities committed by their troops during more than three decades of authoritarian rule, the defense minister said today. Juwono Sudarsono, Indonesia's first civilian defense minister in nearly half a century, also warned that the military could seize control of the world's fourth most populous nation, perhaps within months, if newfound democracy does not take hold across the sprawling archipelago. ``We can't go up into the high ranks as they were just carrying out state policy,'' he said. Sudarsono said the first trial of soldiers charged with atrocities in the strife-torn Aceh province would start within a week. He said only five cases would be brought before a joint military-civil court, despite claims by state investigators that the military committed about 4,000 separate incidents of human rights abuses during a 10-year campaign to suppress Aceh's separatist insurgency. ``Only five cases would be enough to make the Aceh people believe there is justice,'' Sudarsono declared. Guerrillas in Aceh have waged a bitter, decade-long war against Indonesian rule in which at least 5,000 people have died. Secessionist sentiments and demands for an independence referendum have increased dramatically since East Timor broke away from Indonesia in October. Indonesian soldiers and police went on a rampage in Aceh today after an unidentified assailant killed a policeman and wounded another, witnesses said. The two officers were stabbed while shopping in Peureulak, a district town about 25 miles west of Langsa, the capital of East Aceh, said Nurmi M. Ali, a student volunteer helping refugees at a mosque in the town. One policemen died instantly and the other was hospitalized, he said. A police spokesman, Maj. Said Hussein, confirmed the stabbings. Soldiers and policemen who arrived on the scene after the stabbing rounded up all men at a mosque, Nurmi said. They beat them and shot randomly at shops and passing cars, he said. Reports of Indonesian troops committing numerous atrocities have fueled secessionist demands. The Acehnese also accuse the central government in Jakarta of shortchanging the province of its fair share of the revenues from the lucrative oil and gas industry. Many analysts believe that if Aceh breaks away, other disaffected regions and islands in the far-flung archipelago could follow. While Indonesia's new reformist government appears unwilling to take on the powerful military directly, the United Nations is considering establishing a war crimes tribunal to try top generals for atrocities in East Timor. The half-island territory was ravaged by Indonesian troops and their militia proxies after the people voted overwhelmingly to secede from Indonesia in a U.N.-sponsored referendum in August. Sudarsono said he met Monday with Sonia Picado, head of the U.N. human rights inquiry in East Timor. The panel will present its findings to Secretary-General Kofi Annan, who must decide whether the scale of atrocities warrants the creation of a war crimes tribunal similar to those for Rwanda and the former Yugoslavia. ``I leave it to them to decide on the degree of culpability for alleged human rights abuses before, during and after the referendum,'' he said. Since seizing power after crushing what it claimed was a communist coup in 1965, the Indonesian military has been a law unto itself and critics of the army were often imprisoned or killed. Historians estimate that as many as 500,000 people died in an anti-Communist purge in the late 1960s. During the 32-year reign of former President Suharto -- himself a five-star general -- several Indonesian provinces were run as virtual military fiefdoms and the army employed mass repression to control local populations. In another development, Indonesia's attorney general has reopened an investigation into allegations that Suharto had illegally amassed a fortune for himself and his family. Even so, new President Wahid has promised to pardon Suharto for any wrongdoing. Sudarsono said the government would try to reduce, but would not be able to eliminate, corruption within the military, which operates hundreds of commercial businesses to bankroll its activities without government oversight. ``We cannot get rid of corruption,'' he said. Sudarsono told a business conference that while there was talk of democracy at a national level, military representatives remained the highest and unquestioned authority in hundreds of thousands of villages across Indonesia. He said civilian leaders must try to encourage democracy to take hold at a grassroots level or ``sooner or later the military will come back in full force and take over from civilian control,'' Sudarsono warned. He said this could happen ``within months or years.'' He also
Fwd: EDF_Action_Network alert: Protect Non-Polluting Bicycle Rickshaws and Human Rights in Indonesia
Ini bahan pemikiran akhir minggu: Kita setiap membaca koran pasti dibombardir bahwa becak itu jelek dan tak berguna serta mengganggu tata tertib kota. Namun para environmentalists di US tak berpikiran demikian. Mungkin ada yang mau berkomentar tentang topik ini? Soalnya walaupun ini hanya soal 'becak' tapi saya rasa cukup menarik untuk didiskusikan apalagi buat yang mau berusaha 'mengubah' Indonesia dari cara berpikir orde lama. Apalagi buat yang akan pulang dari Amerika: apakah sudah siap melihat becak kembali? :-) YS Here's what this alert is about: Protect Non-Polluting Bicycle Rickshaws and Human Rights in Indonesia -- TO: All Environmental Defense Activists FROM: [EMAIL PROTECTED] and [EMAIL PROTECTED] RE: Protect Non-Polluting Bicycle Rickshaws and Human Rights in Indonesia Dear Friends: A tragedy is unfolding in Indonesia, threatening human rights, the regional and global environment, and the poor. A non-polluting transportation system that provides jobs for low income people and safe travel options especially for women is under threat in Jakarta. But you can act today to help Indonesian workers and communities defend their city's 8,000 bicycle rickshaws, also called becaks. Thanks to rising dependence on motor vehicles world-wide, transportation is the fastest growing major source of greenhouse gas emissions. The Netherlands and Japan have demonstrated how -- by supporting alternatives to fossil- fueled motor vehicles such as bicycles -- modern transportation systems can boost equitable access to jobs and curb pollution. But some countries, such as Indonesia are choosing to suppress these poverty reducing and environmentally friendly alternatives. After the overthrow of Indonesia's corrupt Suharto regime, the past year saw a revival of the use of bicycle rickshaws in Jakarta. Prior to the Suharto-era rickshaw ban in 1988, there were over 100,000 cycle rickshaws operating in Jakarta. Bicycle rickshaws provide jobs for poor people and inexpensive non-polluting taxi services in low and moderate income areas. Many women travelers favor cycle rickshaws because they offer protection from being groped on buses. To spur purchase of highly polluting motor vehicles made by Suharto-owned factories, the government seized 40,000 cycle rickshaws and dumped them into the sea to replace coral reefs destroyed for construction fill. Many rickshaw drivers were forced to relocate to cut and burn the Indonesian rainforest for marginal farms and ranches as part of the government's 'transmigration program.' The recent changes in Indonesia's political climate over the past year saw the declining enforcement of the rickshaw ban. Estimated 8000 cycle rickshaws have now returned to Jakarta's streets but their status remains officially illegal under Bylaw 11/1988. Environmental and social justice groups have rallied to repeal the ban. The new Indonesian President was expected to ride in a cycle rickshaw at a Jakarta rally last week of 5000 supporters of the cycle rickshaws. Instead, he and the Governor of Jakarta called on the City Council to maintain the ban on cycle rickshaws and to begin a new crackdown at once. International support is needed now to help restore non- polluting, affordable travel options in Indonesia. Edit the letter below into your own words and send it by email to the special e-mail box ([EMAIL PROTECTED]) set up in Indonesia to deliver this message to the Indonesian President and the Governor of Jakarta. As you know, by simply replying to this message Action Network delivers your letter to the right target. -- INSTRUCTIONS TO RESPOND VIA THE WEB: If you have access to a web browser, you can take action on this alert by going to the following URL: http://actionnetwork.org/take-action.tcl?key=59116A3928B944218416C70443 You must include the whole letter in your response starting with "-YOU MAY EDIT THE LETTER BELOW-" and ending with "-END OF LETTER-". We STRONGLY encourage you to make edits directly to our sample letter below, and put the alert talking points into your own words. An individualized letter is worth ten computer generated letters. Of course, hundreds of unedited letters will still create a large impact, so please reply even if you don't have time to personalize the letter. Your letter will be addressed and sent to: President Abdurrachman Wahid ---YOU MAY EDIT THE LETTER BELOW- We deeply appreciate your long-held concern for Indonesia's poor and strongly support your efforts to bring about a more democratic, free, and environmentally friendly Indonesia. We are concerned, however, by your recent call for the continuation of the ban on bicycle rickshaws or becak. This ban causes great hardships for becak drivers and passengers alike, many of whom are among Jakarta's urban poor. The ban not only harms the poor, abrogating their basic human rights, but also contributes to national, regional, and global environmental
Re: [Re: Serius dulu ah...(Re: Federasi?)]
M. Rizal, I: Chamber of commerce yang ada di setiap kota/state bukannya untuk mengontrol perdagangan setiap businessman yang ada disitu yah??. Dan bukannya kontrol yang diberikan Chamber of Commerce di dasari oleh ketentuan dari Washington? Jadi kalau yang saya pikir diatas itu benar, menjawab pertanyaan Jeffrey, kalau negara2 bagian engga' bisa sembarangan dagang dengan negara tetangganya, sperti California dagang dengan Mexico atau Washington state, Oregon dagang dengan Canada. Kalau kalau ini terjadi bisa di fine perusahaan dan state-nya karena berdagang tanpa ijin pemerintah pusat. atau mingkin di"boikot" dengan negara2 bagian lainnya...?. Bukan hanya boikot, tapi perdagangan itu juga tidak memiliki legitimasi, sehingga kontrak yang terjadi pun kalau tak diikuti tak akan ada konsequensinya karena ini sudah bersifat 'pasar gelap.' I: Mengenai pemerintah pusat hanya, tarik pajak untuk jaminan keamanan, itu juga engga' sepenuhnya benar. Saya tak menyatakan hal diatas yakni pajak hanya untuk jaminan keamanan. Kalau begitu apa beda negara dengan mafia Entar gubernur-gubernur perlu cium cincin presiden lagi :-) Setahu saya uang2 hasil pajak itu khan dialokasikan oleh pemerintah pusat untuk project2 federal (proyek militer, NASA, dll), untuk project state (pembangunan Interstate Roads, rail track, maintain jails, dll), juga untuk tempat yang di declare emergency (kebakaran, flood, dll), selain untuk retirement plan (401K), Social Security Fund, Medicare, disability funds dan social service-social sercive yang lain. Plus uang tersebut ak akan dipakai untuk mengaji federal officer (FBI, CIA, Justice Court) dan untuk ngurusin Federal cases (Microsoft, dll). Yang anda katakan di atas itu benar, walau masih ada lagi sebetulnya. Tapi overall ya memang itu. Kalau harus dituliskan semua, entar ini jadi milis tata negara :-) Dan untuk menaikan Federal Tax, kalau engga' salah(?), juga diadakan poll national untuk mengetahui pendapat rakyat. Referendum ini biasanya dilakukan di negara yang mengikuti azas demokrasi langsung seperti Swiss. Kalau US, senat dan reps sudah dianggap mewakili semua rakyat, karena itu keputusan mereka tak perlu lagi dihadapkan kepada referendum. Palingan entar kalau pemilu, kalau rakyat semua sebal sama senat, mereka akan diganti semua... :-) kalau salah maapin aje. Mohon koreksinya... Tak ada yang 100% benar dan tak ada juga yang 100% salah. :-) Tanggapan anda juga bagus dan saya sangat hargai. Terima kasih sekali atas perhatian anda kepada tulisan saya. YS
Re: Serius dulu ah...(Re: Federasi?)
At 04:56 PM 11/12/99 -0500, you wrote: Mbak, sebelum berlanjut bisa nggak memberi tulisan singkat mengapa anda menyebut Lenin mengkhianati Marx? Mengapa tulisan Lenin dibreidel oleh Stalin yang sebetulnya malah anak emasnya? Lalu apa pula bedanya dengan paham Trotsky yang akhirnya dibunuh Stalin itu? Sekalian mungkin anda bisa tulis apa bedanya dengan Maoisme. Mungkin diskusi ini sebagai awal dari diskusi paham kapitalisme yg sebetulnya lumayan terbuka. Mungkin Bung YS juga dapat menjawab. Oya, saya punya hutang buku tentang Kisah Tiga Kerajaan itu. Buku sudah datang, baru 10 halaman membacanya tapi sudah kehabisan tenaga dan waktu. Habis 500 halaman dan kecil bener ya hurufnya.:) M. Anjasmara, Karena Mme. Mandica yang menulis bahwa Lenin menghianati Marx, maka saya rasa ini pertanyaan untuk dia. :-) Tapi untuk yang 'Mengapa tulisan Lenin dibreidel oleh Stalin yang sebetulnya malah anak emasnya?' itu sebetulnya kurang tepat. Soalnya Stalin bukan anak emas Lenin; diakhir hidupnya Lenin justru menulis untuk memperingatkan Trotsky agar berhati-hati kepada Stalin. Surat wahasiat Lenin juga dibaca di inner circle politbiro dimana isinya dia mengecam Stalin. Namun dalam wahasiatnya juga Lenin mengecam semua tokoh partai yang lain, sehingga keputusannya adalah lebih baik surat itu tak diedarkan. Lagipula Lenin waktu itu kondisi pikirannya sudah sangat payah dan Stalin sendiri sudah sukses besar dalam membentuk lobby dia di politbiro. Terus terang pertanyaan terakhir anda yakni 'Lalu apa pula bedanya dengan paham Trotsky yang akhirnya dibunuh Stalin itu? Sekalian mungkin anda bisa tulis apa bedanya dengan Maoisme' sangat panjang sekali jawabannya. Mungkin bisa diringkas atau diarahkan sedikit? Tapi intinya untuk perbedaan komunisme Russia dan China terletak pada fokusnya; Russia lebih ke arah buruh pabrik, dan China lebih menekankan revolusi dari perdesaan/agriculture. YS
Re: Serius dulu ah...(Re: Federasi?)
M. Anjasmara, Senang sekali saya bahwa anda berminat ikut dalam diskusi kita yang menarik ini. Saya benar-benar menghargai pemasukan anda. Point penting: - pengelolaan SDA tidak harus semua di bawah state vs. semua dikelola state. Point ini yang sudah saya tekankan di tulisan terakhir saya bahwa faktor yang benar-benar strategis dan penting perlu dikuasai oleh pusat. - pajak apa saja yg bisa ditarik oleh federal dan berapa persenkah? Federal bisa menarik pajak yang besarnya ditentukan Congress. Hak ini sudah diatur dalam US Constitution. State biasanya menarik pajak tambahan lagi. Kalau anda bekerja di US, anda akan melihat di form W-2 anda tulisan: federal income tax dan state tax. Beberapa wilayah memiliki city tax tapi ini jarang sekali. Biasanya untuk bisnis. Selain itu ada juga federal tax buat social security yang percentagenya fixed. - bisa diperinci apa saja pajak yg dapat ditarik state? Untuk perincian, saya rasa saya kurang berkualifikasi di bidang ini. Tapi secara garis besar, biasanya membeli barang (sales tax), tol, gaji, homeowner, dsb. - bila suatu state merasa mampu berdiri sendiri, apa konsekuensinya bagi bentuk federasi itu? Langsung putus begitu saja? Untuk bisa berpisah dari federasi, perlu persetujuan dari pusat dan state. Waktu peristiwa Civil War 1861-65, pemerintah federal menolak keras kepada usaha state untuk memisahkan diri sehingga terjadi perang. Point di atas penting mengingat kesan yg didapat bahwa federal hanya memajaki saja, tanpa memberi servis lain kecuali pemberian rasa aman (pertahanan, tentara). Dengan anggaran belanja pertahanan yg kecil, maka pemberian rasa aman sebetulnya tidak pas. Tidak akan mampu menjaga dari ancaman dari luar. Untuk negara sebesar US atau India, federal gov't memiliki anggaran yang cukup besar dan cukup untuk membiayai angkatan perang. Dalam keadaan darurat, federal government berhak menjual US bonds (obligasi) untuk membiayai perang. Hal ini contohnya di Perang Dunia II. Apalagi kalau state itu lalu bertindak cerdik, lalu membuat hubungan perjanjian damai dengan negara lain. Anda bilang hub LN urusan pusat, tetapi kan lewat hubungan dagang secara langsung juga dapat dipakai untuk membina hubungan keamanan? State memang bisa menjalin hubungan dagang, contohnya California menjual agricultural product ke China, tapi hubungan dagang ini ditentukan oleh perundingan yang sudah dilakukan oleh pemerintah pusat. Jadi state hanyalah mengikuti guidelines saja. Jadi dalam perdagangan internasional, biarpun anggur dari Californiayang dijual ke misalnya China, tapi tetap negara asalnya dari US. Untuk hubungan politik seperti perjanjian damai, state tak berhak melakukannya, karena state tak memiliki pengakuan de-jure dari negara-negara lain. Karena itu state tak bisa menjain perjanjian damai dengan negara lain karena negara lain tak akan merasa state memiliki legitimacy jadi otomatis illegal. Disebutkan pula bahwa di AS state-state tersebut enggan untuk memisahkan diri dari union karena sudah ada agreement dengan federal sehingga tidak ada konflik interest. Masalahnya, SDA di AS lumayan terbagi rata. Semua punya bahan untuk digali, dan juga hampir semua punya produk unggulan. Belum lagi sifat dari perekonomian itu sendiri, di mana hubungan antar state bisa lebih murah (dengan moda darat bisa dilakukan). Faktor-faktor yang anda sebutkan diatas memang mendukung persatuan dalam US. Tapi kalau soal pembagian sumber daya alam, US dan Indo sebetulnya juga hampir sama dari segi diversifikasinya. Texas memiliki banyak minyak, sedangkan Iowa hanya punya jagung dan Wisconsin hanya punya sapi. :-) (Generalization of course). Tapi perbedaan US dengan Indo terletak dari faktor check dan balance seperti menurut pendapat Mme. Ida, negara-negara bagian di US relatif memiliki posisi cukup kuat dalam federasi berhubung sistem senatnya. Dari sejarah juga, imigran US yang ke barat kebanyakan berasal dari Timur dan perlahan-lahan bergerak ke barat sehinggak sampai sekarang misalnya dosen saya yang di Wisconsin memiliki sanak saudara di California sedangkan yang di California memiliki sanak keluarga di Massachussets. Jadi hubungan tiap daerah cukup kuat. Selain itu tak seperti di Indonesia dimana penduduk lokal merasa 'ditekan' oleh pusat (contohnya Timor Timur) karena sistem sentralisasinya; di US karena lokal memiliki perwakilan yang tak berdasarkan KKN, hubungan pusat dan daerah tidak parah. Kalau di Indonesia, hubungan dagang antara NTT dengan Kalbar misalnya, bisa jadi jauh lebih mahal (tidak ekonomis), sehingga Kalbar lebih senang menyalurkan produksinya ke Malaysia. Lalu apa yang terjadi dengan wilayah lain yang membutuhkan produk tersebut? Belum lagi produknya yg rata-rata cuma produk pertanian, yang bisa didapat lebih murah dari LN. Toh sama-sama harus lewat laut dan udara. Soal ini mungkin lebih baik berdiskusi dengan M. Irwan, habis dia yang ekonomis, sedangkan saya dan Mme. Mandica khan political scientists... :-) Tapi saya akan
Re: Serius dulu ah...(Re: Federasi?)
Mme. Ida, Maaf kalau menggangu, tapi saya ingin meluruskan sedikit tulisan anda yang saya rasa agak kurang benar, terutama tentang sebagian detail-detailnya. Walau secara keseluruhan, saya rasa tulisan federalisme ini sudah bagus. Defenisi sederhana federalisme adalah paham pembagian kekuasaan antara pemerintahan nasional, propinsi (state) dan lokal. Pembagian kekuasaan ini kemudian disebutkan sebagai sistem pemerintahan federasi or a federal system. Ada dua karakteristik dalam sistem federasi. Pertama: masyarakat memilih pegawai pemerintah untuk menjalankan tugas-tugas kenegaraan ditingkat nasional, propinsi dan lokal, namun kewenangan dari setiap level pemerintahan terletak pada masyarakat. Kedua: setiap level pemerintahan mencari dan menciptakan sumber-sumber keuangan dengan koordinasi pemerintahan nasional. Jangan lupa: yang dipilih bukan semua pegawai, melainkan hanya pemimpinnya seperti mayor, leutnant Gov't, Governor, assembly, dan akhirnya wakil ke Senat. Mengenai sumber keuangan, state memiliki kebebasan untuk menarik pajak sendiri dsb, tapi federal gov't juga memiliki kewenangan untuk menarik pajak sehingga ada state dan federal tax yang diurusi oleh biro yang berbeda. Federal gov't diurus oleh 'notorious I.R.S' dan state diurus oleh Department of Revenue. Tak heran kalau di Wisconsin state tax hanya 5.5% kalau membeli barang, sedangkan di California pajaknya 8.5%. Idea pembagian tugas pemerintahan tiga level ini dengan dua karakteristik di atas adalah untuk mencegah terjadinya konsentrasi pemerintahan satu tingkat yakni nasional. Hal ini juga dimaksukan untuk mencegah penindasan pemerintahan tertinggi terhadap sub pemerintahan. Di Amerika konsep pembagian kekuasaan tiga level disebut juga sebagai sistem pemerintahan "checks and balances" Selanjutnya, untuk national level, pemerintahannya dibagi dalam tiga cabang: eksekutif, legeslatif, dan yudikatif. Trias politika atau checks and balances lebih berfokus kepada pembagian kekuasaan antara executive, legislative, dan Yudikatif bukan kepada pembagian tugas. Federalism bukan check and balance. Pembentukan negara federasi itu tidak dapat terjadi begitu saja. Ada dua theory yang berkembang sejak diajukannya konsep ini di abad ke 18. Pertama: federasi yang terjadi melalui ratifikasi setiap propinsi atau negara-negara bagian untuk masuk sebagai bagian dari negara federasi. Ketika mereka mendaftarkan diri sebagai anggota, maka state itu menyatakan beberapa peraturan yang akan mereka lakukan ditingkat propinsi dan lokal. Ini terjadi North America. Proses terjadinya negara federasi di AS misalnya memakan waktu bertahun-tahun. Pertama kali dikumandangkan pada tahun 1776 oleh Virginia dan North Carolina dan baru terbentuk pada tahun 1784 dengan 8 negara anggota. Kemudian pada 1790 menjadi 10 anggota. President pertama terpilih pada tahun 1987, George Washington. Ibu kota sementara negara federasi ini adalah New York. Bendera pertama dikibarkan pada tahun 1777. Amerika Serikat menjadi 50 negara bagian setelah hampir setengah abad berdirinya negara federasi. Jangan melupakan faktor sejarah: -George Washington sudah meninggal tahun 1987... :-) -Ibukota pertama US di Philadelphia, bukan New York. -Alaska dibeli US tahun 1860-an, US menjadi 50 negara bagian setelah Hawaii bergabung ke US tahun 1976 (kalau tak salah). -Mengapa US pertama berdiri bukan 50 negara bagian? Ini karena alasan sosial dan politik juga, terutama karena perang. 13 negara bagian dulu tak cepat-cepat menyatakan merdeka karena pasukan Inggris yang masih bercokol. Louisiana (yang ini dari New Orleans sampai perbatasan Canada) dulu dimiliki Perancis sampai dijual ke US untuk membiayai perang Napoleon ditambah karena kemarahan Napoleon kepada pemberontakan di Haiti. Selain itu, wilayah barat US dan Florida dulu dikuasai Mexico/Spanyol. Akuisasi US kepada wilayah yang dibarat baru dilakukan setelah banyak imigran dari timur yang pindah ke barat sehingga feasible untuk dibentuk negara-negara bagian baru. Congress menetapkan peraturan dimana negara-negara bagian baru ditentukan oleh batas wilayah (yang sudah ditentukan kongres) dan banyak penduduk sebelum satu wilayah berhak mengajukan diri sebagai calon 'negara bagian.' Karena sistem 'pengotakan' ini maka kalau kita perhatikan peta US sekarang, banyak negara-negara bagian di daerah Mountain atau Midwest berbentuk kotak atau dibatasi sungai. Penggabungan mereka juga subject kepada persetujuan congress, yang kita lihat pengaruhnya tahun 1850-an ketika congress memutuskan 'Missouri line' yakni semua negara bagian baru diatas garis perbatasan selatan Missouri menjadi 'non-slave' dan yang dibawah menjadi 'slave state' untuk memberikan perimbangan kepada pembagian kekuasaan antara negara bagian yang pro dan anti slavery. Argumen saya adalah: ratifikasi lebih banyak dengan persetujuan pemerintah pusat dibandingkan dari negara bagian sendiri. COntohnya sampai sekarang adalah Puerto Rico yang statusnya mengambang. Kedua:
Re: Serius dulu ah...(Re: Federasi?)
Mme. Ida, Terima kasih atas tanggapan anda kepada tanggapan dari saya. Terus terang, saya agak pangling soalnya tanggapan anda penuh senyum Tapi kembali ke diskusi kita yang menarik ini: :) Thank you but you mixed your opinions. Saya rasa tidak. Biarpun saya tak sependapat kepada semuanya, tapi kalau tulisan anda memang bagus, saya terus terang akan menyatakan bahwa itu bagus. Setiap orang memiliki ide dan pandangan sendiri, dan siapa saya sehingga saya berhak menyatakan satu pendapat itu salah total atau jelek sementara saya sendiri masih perlu terus belajar? Tapi terus terang memang banyak ide kita yang sama sehingga saya hanya bisa memberi komentar sedikit. Tax yang dialokasikan ke federal, ke state, county, and city. Nah untuk tiga tax terakhir ditentukan oleh state, sementara tax federal ditentukan oleh wakil-wakil state and district bersama eksekutif di federal level. Terima kasih untuk memperjelas tulisan anda. Saya rasa kita memang sependapat di soal ini. Jadi tak ada argumen tambahan dari saya. :) Trias politika adalah micro defenisi dari the whole government. Trias politika oleh Montesque adalah "check and balance" politik di tingkat federal, sementara konsep federalism adalah "check and Balance" untuk pemerintahan di tingkat National, State, dan Lokal. Bahwa state dan lokal memiliki hak dan kewajiban dibatas jurisdiksinya yang tidak diintervensi oleh pemerintah federal. Jika kita mengikuti teori, sebetulnya pemerintah pusat sendiri dibatasi bukan oleh state, melainkan oleh penduduk state yang diwakili oleh anggota di senat dan representative. Jadi secara otomatis trias politika di tingkat federal sendiri sudah merupakan 'check and balance' dari state. Jika mengikuti pendapat anda bahwa individual state yang mengadakan check kepada pemerintah pusat, maka pertanyaannya adalah apakah jika state tak setuju kepada pemerintah pusat, state bisa melepaskan diri dari union? Yohanes: Jangan melupakan faktor sejarah: -Ibukota pertama US di Philadelphia, bukan New York. :) New York adalah ibukota sementara pertama (see the History of the US). Terima kasih untuk mengingatkan saya. Soalnya seingat saya tak pernah ibukota US ada di New York. Congress US sejak dulu ada di Philadelphia sampai pindah akhirnya ke Washington D.C.. Saya cek lagi ternyata memang NYC adalah ibukota US dari 1785-1787, walau hanya untuk executive. Untul legislative, sejak dulu memang di Philadelphia. Mengenai pro dan anti slavery, itu diatur lagi dalam act yang lain. Saya memakai contoh pro dan anti slavery untuk menekankan bahwa pada akhirnya congress (pemerintah pusat) yang menentukan apakah satu wilayah bisa menjadi negara bagian US. Tapi kelihatannya saya salah menangkap tulisan anda. Saya pikir ada menulis bahwa wilayah baru yang menentukan batas wilayahnya atau syaratnya. Tapi waktu saya baca lagi, intinya memang sama dengan yang saya tulis yakni congress yang pada akhirnya yang memberi keputusan akhir. Rakyat dinyatakan bersatu dalam satu ideologi, komunisme. Maka federasi SU dan Yugo adalah federasi nation, not state. Namun demikian, Soviet gagal sebab mereka memiliki pemerintahan pusat yang sebenarnya tidak diinginkan dalam paham komunis. Sebetulnya paham komunis sendiri menyetujui adanya pemerintah pusat yang bersifat sementara untuk pada akhirnya mencapai komunisme penuh. Soviet sendiri hancur karena diwarnai inefisiensi, kehancuran lingkungan, dan KKN. Belum lagi era stagnasi dibawah Leonid Brezhnev atau efek dari Stalinisme dan collectivization. (Kalau dipikir-pikir, bentuk ini sama persis yang dilakukan Sukarno dan Suharto ya?) Hampir sama, hanya dibawah Suharto, partai bukan merupakan faktor terpenting. Kalau di Soviet, partai merupakan tempat untuk mendapat kader pemerintah yang baru. Di jaman Suharto, yang penting itu KKN-nya :-) :) Betul, sebab pemikiran federalism itu dari Eropa. Tapi, perlu diketahui bahwa interpretasi idiologi politik barat di Indonesia itu banyak yang rancu. Mungkin karena hendak disesuaikan dengan kultur aktor politiknya. RIS itu gagal sebab pemerintahan pusat tidak mau merubah UUD 45 pasal 33 bahwa bumi dan kekayaan alam dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Saya rasa perubahan pasal itu hanyalah satu faktor saja. Seingat saya cukup banyak protes yang terjadi setelah KMB berakhir yang pada akhirnya membatalkan sistem federalisme. Waktu itu sudah ada UUD RIS yang katanya cukup bagus, tapi akhirnya ditinggalkan dan membentuk UUDS 1950. :) I do not think so. Sebab prinsip dasar Republikan adalah keseimbangan kekuasaan state, lokal dan federal. Kalau kebijaksaan ekonomi Reagan, ya memang beliau anjlok. DI kelas sejarah saya, dosen saya mencaci maki kebijaksanaan Reagan sebagai 'voodoo policy' yang hanya menguntungkan the Big Business dan menginjak-injak badan seperti EPA. Maklum dosen saya demokrat-sosialis... :-) Tapi prinsip dasar tidak berarti actionnya... :-) Yohanes: Sampai sekarang saya rasa Clinton
Re: Kerjasama Permias-KBRI/KJRI
Diwaktu yang lalu, Indonesia sering dikecam oleh berbagai pihak di AS berkaitan dengan pelanggaran HAM atau Timtim. Walaupun masih banyak pekerjaan rumah yang harus kita lakukan berkaitan dengan hal-hal itu, namun "Indonesia Baru" sekarang sudah jauh berubah dan lebih baik daripada sebelumnya. Sudah saatnya kita "strike back" ke berbagai pihak di AS itu. Sudah saatnya pula Permias dan masyarakat Indonesia di AS "mengarahkan" mata perjuangannya ke pihak AS, disamping terus bersikap "correct" terhadap KBRI/KJRI. Mari kita kampanyekan di seluruh AS bahwa Indonesia sekarang adalah negara demokrasi ketiga terbesar di dunia, yang siap membangun kembali ekonominya bebas dari KKN. Untuk tahap pertama, mungkin sesama anggota Permias dapat membahas hal-hal seperti kegiatan apa yang dapat dilakukan Permias untuk dapat ikut memperbaiki citra Indonesia di AS yg rusak selama ini. Program apa yang perlu dilakukan Permias dalam membantu meyakinkan investor dan pengusaha AS untuk segera kembali masuk ke Indonesia, dsb. Saya tertarik membaca tulisan kerjasama Permias dan KBRI ini. Posisi Indonesia memang agak sulit, soalnya sampai sekarang negara kita dianggap sebagai negara 'pariah' bukan 'victim.' Agak sulit mendapatkan simpati untuk negara besar seperti kita atau RRC (dibandingkan dengan Palestina) dan juga karena status kita yang sering kali dianggap sebagai agressor dengan petualangan kita di Aceh dan Timor Timur. Mengenai Aceh, kita bisa argue tentang sejarah Aceh yang sama-sama menentang Belanda atau pernyataan rakyat Aceh untuk bergabung dengan Indonesia di tahun 1945. Namun, tindak tanduk 'human right abuses' yang ditodongkan di Aceh dan juga beberapa versi sejarah yang digembar gemborkan media massa di US tidak menolong kita dalam memberikan legitimasi Indonesia di Aceh. Jika kita mau 'strike back' ke berbagai pihak mengenai Indonesia, kita harus 'menyerang'-nya bukan hanya dari satu arah saja. Tapi juga harus dari beberapa arah dan sekaligus perlu juga konsolidasi masyarakat. Untuk membereskan citra Indonesia di mata internasional, ide kampanye memang bisa merupakan salah satu 'arah penyerangan,' tapi sejauh mana dan apa jenisnya, itu yang masih dipertanyakan. Lagipula, kampanye sendiri tak akan efektif kalau tak dibarengi oleh gerakan lain dan juga jikalau tak ada wadah kerjasama seluruh masyarakat Indonesia di Amerika Serikat. Saya rasa sudah tak perlu disangkal bahwa masyarakat Indonesia di US sering kali kurang bersatu dan kebanyakan berkelompok; kecuali untuk beberapa kasus dimana orang Indonesianya memang sangat sedikit. Lagipula, setiap gerakan Indonesia sering kali sporadik tanpa dibarengi kebersamaan. Belum lagi kurangnya kesadaran politik masyarakat. Sering kali tujuan orang Indonesia yang di US hanya untuk belajar dan bekerja. Titik. Politik merupakan barang haram karena terlalu radikal artinya 'cekal,' dan lagipula tak adanya 'benefit' tak banyak meningkatkan semangat. Aversi kepada politik tak perlu lagi disangkal karena merupakan salah satu dampak Orde Baru. Pemilu kemarin dan kejadian-kejadian yang terjadi di Indonesia akhir-akhir ini juga bukan merupakan pendorong bagi massa Indonesia di US untuk lebih berminat politik, bahkan saya kuatir bahwa pemilu kemarin agak membuat massa Indonesia di US terfragmentasi. Seperti kita lihat di milis ini, keributan antara yang Pro VS Anti Mega sudah merupakan makanan sehari-hari, belum lagi keributan yang menyangkut agama. Setiap kali ada kasus gereja atau mesjid dibakar, pasti terjadi teriakan pro atau kontra, dan terjadi kasus saling menyalahkan. Setiap kali Mega atau Gus Dur terselandung, pasti terjadi keributan yang tak diwarnai rasa kritis, namun penuh emosi ditambah lagi teriakan 'anti Islam' atau 'anti Kristen' dsb. Sikap agamais ini terus terang tidak akan menarik hati orang-orang Indonesia di US apalagi orang-orang di US yang mau kita pengaruhi. Bagaimana bisa mempengaruhi orang-orang US bahwa Indonesia sudah 'berubah' kalau setiap kali yang mereka baca adalah gereja dibakar atau keributan pro/kontra satu partai politik? Terkadang saya sering bertanya-tanya: apa tujuan seseorang hanya menulis ' ini si goblok' atau 'itu si pembual' tanpa ada tanggapan dari dia yang sifatnya memberikan kritik membangun. Tulisan seperti dari Mme. Mardhika, M. Jeffrey atau M. Irwan atau M. Okki dan lain-lain justru lebih menyenangkan untuk dibaca, karena walaupun sering kali idenya itu super kontroversial, tapi at least ada usaha untuk memberikan masukan kepada satu masalah. Jadi tak menyatakan 'kalau saya bilang salah ya salah,' atau 'anti Islam, ya,' tapi diwarnai oleh argumen yang mendukung fakta-faktanya. Argumen yang super emosional justru membuat orang- orang lain menjadi malas berpendapat dalam politik, karena kesannya ide mereka tidak ditanggapi serius, tapi asal-asalan atau emosional atau lebih parah lagi seperti berbicara dengan tembok. Yang enak untuk diterima adalah fakta yang mendukung argumen, bukan emosi yang mendukung fakta. Kembali ke
Indonesia Gets Clean, Inexperienced Cabinet
October 26, 1999 Indonesia Gets Clean, Inexperienced Cabinet By Reuters JAKARTA (Reuters) - Indonesia's new President Abdurrahman Wahid Tuesday named a cabinet short on experience but long on skills and integrity and with the fewest generals in the nation's history. He also put a civilian in charge of defense for the first time in decades, pushing aside armed forces commander General Wiranto following mounting criticism of the military for flagrant human rights abuses at home. ``We have to make economic recovery our first goal, primary goal, and the second to maintain our territorial integrity,'' Wahid told reporters after a nationally-televised announcement of his new government. Near-blind Wahid asked Vice-President Megawati Sukarnoputri to read the names, which were largely as expected and represented an almost complete cross-section of Indonesia's new political spectrum. WIRANTO GETS ANOTHER POST Wiranto, who was defense minister and armed forces commander, was edged out and made Coordinating Minister for Political and Security Affairs, an influential post but with no direct control over troops. In his place as military commander, Wahid put Admiral Widodo Adi Sutjipto, the first non-army man to hold the post. Respected academic Juwono Sudarsono, and one of only four of the 32-member cabinet to have previously been a minister, became the first civilian defense minister in well over a generation. Wahid insisted Juwono had been outgoing Wiranto's choice. ``Don't think the military is crazy. They know the whole society is changing... that the military has to change its attitude toward society. Don't think like the international press, judging the military in the wrong way,'' he said. ``We have a strong military and we need them and also they know how to protect (society)... some of our generals are good some are bad like in any other society.'' There are five generals in the cabinet. KWIK CHOICE PLEASES MARKET To the delight of Jakarta's financial markets, Wahid picked outspoken economist and Megawati confidant Kwik Kian Gie as his chief economic minister, a post which carries with it the crucial role of dealing with the International Monetary Fund. ``Kwik Kian Gie is one of the market's favorites. He is popular for his sharp criticism of corruption in the old Suharto regime. His appointment has been widely expected,'' said Ferry Yosia Hartoyo, head of research at Vickers Ballas Tamara. Other analysts also gave Wahid's selection high marks and the rupiah immediately firmed on the announcement. The new finance minister is Bambang Sudibyo, a U.S.-trained academic, close to leading former opposition figure Amien Rais who now heads the top legislative assembly. A respected government is crucial if Wahid is to lure back the foreign investment which has all but vanished over the last two years as Indonesia ploughed deeper into economic and political mire. ``I think this government has got the resolve to get a better investment climate,'' one senior diplomat said. But he warned: ``This government has got to deal with expectations which are extremely high which, of course, they can't meet.'' EAST TIMOR LEADER GUSMAO TO VISIT In a signal to the outside world that he would not carry old grudges into his rule, Wahid signaled he would invite East Timorese independence leader Xanana Gusmao to Jakarta for talks. Gusmao spent seven years in an Indonesian prison until his release last month following an overwhelming independence vote in the former Portuguese territory. Gusmao returned home to East Timor last week. Wahid was elected last week in the country's first contested presidential election along with populist opposition figurehead Megawati Sukarnoputri as his deputy. He has to grapple with the worst economic recession in 30 years, an archipelago increasingly splintered by separatist violence and vested interests from discredited rulers Suharto and B.J. Habibie who may be reluctant to let go quickly. Wahid has put economic recovery at the top of his agenda, pledging to improve the lot of his 200 million people, an increasing number of them living in abject poverty. The IMF, heading a $45 billion rescue fund for Indonesia, has suspended loans until a domestic banking scandal is resolved. Marzuki Darusman, a top reformist in the former ruling Golkar party and head of the National Human Rights Commission, was named the new attorney general, a key post if Wahid is to make good his pledge to bring Indonesia under the rule of law rather than the whim of presidents
Re: Orang Keturunan Ketiga
At 09:52 AM 10/20/99 -0400, you wrote: Bung Sulaeman, sekarang saya jadi ingat. Saya membacanya di Jakarta, dan juga membelinya kok. Berhubung dikemas dalam bentuk cergam, gambar-gambar yg disajikan masih terbayang jelas. Sekali ini saya tidak akan selip ingatan dengan mencampuradukkan cerita yg lain, apalagi cerita Koo Ping Hoo. Berhubung Bung Hadi di Jkt, sempatkan saja melihat buku dimaksud (ciri bukunya sudah saya sebutkan). Bagian tersebut menceritakan peran selir dalam perebutan kekuasaan. Diceritakan banyak contoh, dengan contoh akbarnya adalah yg saya tulis kemarin. Jadi anak dari selir (yg sangat cantik nasionalis ini) akhirnya mendapatkan tahta kerajaan. M. Anjasmara, Apakah yang ini merupakan bagian dimana terjadi perebutan kekuasaan dalam istana yang karena dipanasi intrik kaum kebiri? Seingat saya kejadiannya itu sang selir minta bantuan saudaranya yang jendral, dan sang jendral memang mau membabat habis semua kaum kebiri; tapi si jendral ditipu masuk ibukota dan dibunuh kaum kebiri. Akhirnya dilanjutkan dengan penyerbuan Yuan Shao ke istana dan masuknya Dong Zhou ke ibukota Kalau betul bagian yang ini, anak selirnya akhirnya jadi kaisar karena kaisar yang asli didepak oleh Dong Zhou. Kalau dari contoh anda, kayaknya yang ini yang paling dekat. Tapi tetap tak terlihat adegan yang anda sebutkan dimana anak kaisarnya dididik untuk membenci ayah tirinya itu atau dimana selir itu dihamili. Kisah selir yang lain salah satunya juga perebutan kekuasaan antara 2 anak Liu Biau dimana anak pertamanya, Liu Qi, ditentang oleh sang selir, dan sang selir akhirnya minta bantuan Cao Cao, tapi Cao Cao memutuskan membunuh keduanya. Kalau kisah perebutan kekuasaan di keluarga Yuan Shao, itu rasanya tak ada sama sekali keributan antar selir. Mohon diperjelas. YS
Re: Selamat untuk Gus Dur
At 10:04 AM 10/20/99 -0400, you wrote: Sorry baru bangun. Baru baca koran, walaupun sedikit kecewa. Selamat buat Gus Dur. Moga-moga nggak ada ribut-ribut di Jalanan. igg Maaf mengecewakan, tapi menurut Detik.com, Solo terbakar dan Jakarta sendiri sangat panas. YS
Re: Tanggapan atas komentar KKG (was: Re: [cakit peut])
Gimana kalau kita sewa saja Clinton yg kebetulan sebentar lagi akan pensiun dari White House:) Jangan ah, entar Lewinskinya dibawa-bawa lagi. Sudah enek tiap hari denger soal dia Mendingan bawa si Ventura, gantikan Prez kita sekalian; jadi kita bisa bentuk dinasti badut Indonesia. Mending ketawa melulu, daripada pusing tiap hari
Re: Orang Keturunan Ketiga
At 02:04 AM 10/20/99 -0400, you wrote: Wah, saya paling suka baca gratisan. Paling baca di Barnes Nobble. Yang jelas saya selalu ingat yang kayak ginian. Berhubung anda sudah baca secara lengkap, anda bisa sebutkan bahwa ada enggak cerita itu? Saya rasa jauh lebih gampang deh. Kan enak dan jauh lebih simple. Setelah ada klaim dari anda bahwa cerita saya tidak benar, maka akan saya perlukan lagi untuk mencari cerita-cerita itu. Nah, bagaimana? Anda di mana sih? Kalau di Indonesia ada buku-buku kisah tiga kerajaan berujud cergam. Layoutnya dibuat bagus, sampulnya putih, berukuran saku (rada gede...tanggung deh), dan berjilid. Mungkin terbitan Gramedia. Sudah lupa mas, sudah bertahun yg lalu. Biasanya dijajarkan bareng-bareng buku teorinya Sun Tzu. Pokoke berani taruhan deh pasti ada! Coba baca lagi dengan teliti:). Jeffrey Anjasmara. ' From: Hadi Wijaja [EMAIL PROTECTED] Reply-To: Indonesian Students in the US [EMAIL PROTECTED] To: [EMAIL PROTECTED] Subject: Re: Orang Keturunan Ketiga Date: Wed, 20 Oct 1999 01:06:17 +0700 Kalau anda baca Kisah Tiga Kerajaan, cara menguasai suatu negara adalah dengan menyusupkan keturunannya ke kerajaan musuh. Berhubung jaman dulu, caranya norak sekali, yaitu menghamili seorang putri jelita, lalu sang putri ini dihadiahkan kepada negara musuh. Setelah lahir, anak ini dididik oleh sang putri dengan doktrin-doktrin untuk menghancurkan ayah tirinya (yaitu si raja musuhnya itu). Berapa waktu yg dibutuhkan? Bisa lebih dari 30 tahun! -- kebetulan saya juga baca secara lengkap kisah tiga kerajaan, bisa anda sebutkan nama tokoh yang berbuat seperti hal yang anda sebut tersebut ? Hal ini penting, karena saya sering membaca tulisan anda dan karena anda memberikan referensi, maka perlu di-check. Jangan sampai referensi itu, diada-adakan untuk mendukung pendapat anda. Trims regards M. Hadi, Kayaknya M. Anjasmara ini membaca Sam Kok bersamaan dengan bandit-bandit Liang San Bo atau mungkin buku-buku yang lain, jadi tercampur-campur. Soalnya saya sendiri belum pernah membaca ada adegan seperti yang dia sebutkan. Adegan yang mungkin paling mirip juga adalah Dong Zhou yang rebutan wanita dengan Lu Bu, tapi di sana tak ada tulisan bahwa Dong Zhou menghamili Dian Chao. M. Anjasmara, Maaf kalau saya mendadak ikut campur begini, tapi saya tak pernah dengar adegan yang anda sebutkan itu. Yang paling mirip sekali mungkin adalah legenda Manchu, dimana ada satu suku yang dihancurkan Manchu, dan pemimpin terakhir suku itu mengutuk kaisar Manchu bahwa entar keturunannya akan menjatuhkan Manchu melalui perkawinan. Keturunannya adalah Empress Dowager Cixi. Tapi kalau soal anak, itu mungkin anda tercampur legenda Chin Shih Huang Ti, yang katanya sang Kaisar itu bukan anak dari raja Chin, tapi anak seorang pedagang dan gundiknya dan gundiknya itu dinikahi Kaisar Chin, padahal sudah hamil. Mungkin yang saya duga itu benar? YS
Tommy Soeharto dan Ricardo Gelael Divonis Bebas
...tidak cukup bukti untuk menyatakan putra mantan Presiden Soeharto tersebut melakukan tindak pidana korupsi. ... Dalam amar putusan majelis hakim itu dinyatakan, dengan adanya putusan bebas bagi kedua terdakwa, maka nama baik kedua terdakwa harus direhabilitasi.* -- Kenyataan yang sangat menyedihkan. Apakah hukum di Indonesia bisa terpuruk lebih rendah lagi? Siapapun pemerintah Indonesia yang baru, saya rasa prioritas pertama adalah mereformasi lembaga hukum. Tanpa hukum yang baik, tak akan ada keberesan. MPRlah yang harus menyetujui para hakim dan kita juga perlu meningkatkan mutu hakim-hakim di Indonesia. Wibawa hukum sudah sangat perlu diperbaiki. Kamis, 14 Oktober 1999, 18:51 WIB Tommy Soeharto dan Ricardo Gelael Divonis Bebas Jakarta, Antara Dua terdakwa dalam kasus dugaan korupsi ruislag gedung Bulog dengan pertokoan Goro di Kelapa Gading, Jakarta Timur, yakni Tommy Soeharto dan Ricardo Gelael, dibebaskan dari tuduhan karena tidak ditemukan bukti-bukti kuat keterlibatan mereka. Dalam sidang terpisah di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Kamis, yang berjalan secara maraton sejak pukul 10:00 WIB hingga pukul 17:45 WIB, majelis hakim yang diketuai R Soenarto SH, berpendapat, tidak cukup bukti untuk menyatakan putra mantan Presiden Soeharto tersebut melakukan tindak pidana korupsi. Dinyatakan, dalam kasus ruislag Bulog itu, yang terjadi adalah hubungan hukum keperdataan, dimana baik Tommy maupun Ricardo Gelael melakukan kegiatan bisnis untuk kepentingan perseroan. Demikian juga majelis hakim yang mengadili Ricardo Gelael, dalam amar putusannya menyatakan bahwa terdakwa tidak terbukti terlibat melakukan tindak pidana korupsi dalam kasus ruislag gedung Bulog dengan Goro tersebut. Terhadap putusan majelis hakim tersebut, baik jaksa penuntut umum dalam perkara Tommy Soeharto, yakni Fachmi SH, maupun jaksa penuntut umum dalam perkara Ricardo Gelael, yakni D Munthe SH, menyatakan mengajukan kasasi. Alasan keduanya yaitu dalam kasus itu telah terjadi penyelewengan penggunaan keuangan negara karena PT Goro Batara Sakti --dimana Tommy selaku Komisaris Utama punya saham 80 persen dan Ricardo Gelael selaku Direktur Utama punya saham 20 persen-- seharusnya mengeluarkan dana untuk pembebasan lahan. Kenyataannya, justru yang membayar seluruh dana pembebasan lahan di Marunda sebagai ganti komplek pertokoan Goro di Kelapa Gading adalah pihak Bulog, bukan pihak PT Goro Batara Sakti yang mendapat lahan dari Bulog. Majelis hakim menyatakan, dari 35 saksi yang diperiksa tidak satupun yang menyebut adanya kerugian negara bahkan dari Kepala Bulog sendiri, Rahardi Ramelan. Dalam amar putusan majelis hakim itu dinyatakan, dengan adanya putusan bebas bagi kedua terdakwa, maka nama baik kedua terdakwa harus direhabilitasi.*
Re: [Tommy Soeharto dan Ricardo Gelael Divonis Bebas]
Kayaknya sedang melenong, mungkin mau meneruskan lenong rumpi. Sayangnya yang nonton bukannya ketawa, malah nangis frustrasi. Jaksanya beneran atau sedang main sinetron ? At 12:44 PM 10/14/99 EDT, Jeffrey Anjasmara wrote: Jaksanya katanya nggak terima Tommy dibebaskan kok. jeals engga' bisa di tuduh korupsi, orang dia yang punya perusahaan sendiri kok. Kalau yang Kolusi dan Nepotisme-nya yang harusnya di bantai. dasar jaksa goblok, penakut, masih aja nurut. ichal Yohanes Sulaiman [EMAIL PROTECTED] wrote: ...tidak cukup bukti untuk menyatakan putra mantan Presiden Soeharto tersebut melakukan tindak pidana korupsi. ... Dalam amar putusan majelis hakim itu dinyatakan, dengan adanya putusan bebas bagi kedua terdakwa, maka nama baik kedua terdakwa harus direhabilitasi.* -- Kenyataan yang sangat menyedihkan. Apakah hukum di Indonesia bisa terpuruk lebih rendah lagi? Siapapun pemerintah Indonesia yang baru, saya rasa prioritas pertama adalah mereformasi lembaga hukum. Tanpa hukum yang baik, tak akan ada keberesan. MPRlah yang harus menyetujui para hakim dan kita juga perlu meningkatkan mutu hakim-hakim di Indonesia. Wibawa hukum sudah sangat perlu diperbaiki. Kamis, 14 Oktober 1999, 18:51 WIB Tommy Soeharto dan Ricardo Gelael Divonis Bebas Jakarta, Antara Dua terdakwa dalam kasus dugaan korupsi ruislag gedung Bulog dengan pertokoan Goro di Kelapa Gading, Jakarta Timur, yakni Tommy Soeharto dan Ricardo Gelael, dibebaskan dari tuduhan karena tidak ditemukan bukti-bukti kuat keterlibatan mereka. Dalam sidang terpisah di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Kamis, yang berjalan secara maraton sejak pukul 10:00 WIB hingga pukul 17:45 WIB, majelis hakim yang diketuai R Soenarto SH, berpendapat, tidak cukup bukti untuk menyatakan putra mantan Presiden Soeharto tersebut melakukan tindak pidana korupsi. Dinyatakan, dalam kasus ruislag Bulog itu, yang terjadi adalah hubungan hukum keperdataan, dimana baik Tommy maupun Ricardo Gelael melakukan kegiatan bisnis untuk kepentingan perseroan. Demikian juga majelis hakim yang mengadili Ricardo Gelael, dalam amar putusannya menyatakan bahwa terdakwa tidak terbukti terlibat melakukan tindak pidana korupsi dalam kasus ruislag gedung Bulog dengan Goro tersebut. Terhadap putusan majelis hakim tersebut, baik jaksa penuntut umum dalam perkara Tommy Soeharto, yakni Fachmi SH, maupun jaksa penuntut umum dalam perkara Ricardo Gelael, yakni D Munthe SH, menyatakan mengajukan kasasi. Alasan keduanya yaitu dalam kasus itu telah terjadi penyelewengan penggunaan keuangan negara karena PT Goro Batara Sakti --dimana Tommy selaku Komisaris Utama punya saham 80 persen dan Ricardo Gelael selaku Direktur Utama punya saham 20 persen-- seharusnya mengeluarkan dana untuk pembebasan lahan. Kenyataannya, justru yang membayar seluruh dana pembebasan lahan di Marunda sebagai ganti komplek pertokoan Goro di Kelapa Gading adalah pihak Bulog, bukan pihak PT Goro Batara Sakti yang mendapat lahan dari Bulog. Majelis hakim menyatakan, dari 35 saksi yang diperiksa tidak satupun yang menyebut adanya kerugian negara bahkan dari Kepala Bulog sendiri, Rahardi Ramelan. Dalam amar putusan majelis hakim itu dinyatakan, dengan adanya putusan bebas bagi kedua terdakwa, maka nama baik kedua terdakwa harus direhabilitasi.* Get your own FREE, personal Netscape WebMail account today at http://webmail.netscape.com. __ Get Your Private, Free Email at http://www.hotmail.com
Re: Tommy Soeharto dan Ricardo Gelael Divonis Bebas
Pernah ada yang menanyakan apakah di-Indonesia ada 'HUKUM', dijawab : ada ! Ternyata memang ada koq:) Hukum harusnya ada, cuma karena enggak ada yang menegakkannya, jadinya Oh, tapi enggak juga ya. Hukum khan dibuat untuk dilanggar YS
Re: Tolak laporan pertanggung jawaban Habibie.
Maksudnya 'Orang lama' yang gentayangan itu, yang masih di atas tanah atau yang sudah di bawah tanah? Kayaknya yang sudah di bawah tanah enggak terlalu merugikan, malah bisa jadi komoditas obrolan seru di malam Jumat. Kalau yang masih di atas tanah malah menyebarkan benih KKN melulu YS Lae Irwan, Sejak tahun lalu, kita (atau saya) selalu mempermasalahkan kesalahan dan tanggung jawab Golkar, yang indentik dengan Orde Baru. Itu sebabnya saya selalu dengan enteng membawa slogan : ASAL BUKAN ORANG LAMA . Ternyata Orang Lama masih banyak yang bergentayangan.:( Salam, bRidWaN At 09:44 AM 10/14/99 EDT, Irwan Ariston Napitupulu wrote: In a message dated 10/14/99 9:39:23 AM Eastern Daylight Time, [EMAIL PROTECTED] writes: Bung Irwan, malam ini TVRI dan semua stasiun TV swasta menyiarkan bentrokan ribuan mahasiswa yang demo di seputar Senayan dengan Pasukan Anti Huru-hara. Mereka sepakat dengan anda, menolak pertanggunganjawab Habibie, malam ini. Saya juga sepakat dengan anda kok Inilah yg saya takutkan terjadi, Habibie menggunakan Wiranto sebagai tamengnya. Saya tidak ingin melihat TNI jadi berpihak kepada penguasa dan bukan yg seharusnya yaitu ke rakyat. Mudah2an Wiranto tidak sedang mabuk kekuasaan. Akan sangat berbahaya bila dia cukup bernafsu dengan posisi wapres sehingga TNI yg ada dibawahnya bisa salah arah dan menjadi berdiri berseberangan dengan rakyat. Saya masih percaya, sebagian TNI yg masih punya hati nurani dan ingin kembali mendukung dan berdiri bersama rakyat. jabat erat, Irwan Ariston Napitupulu
Re: Nilai Strategis Perbatasan Indonesia
At 11:43 AM 10/10/99 -0400, you wrote: Garis perbatasan kita memang lumayan menguntungkan. Di atas berbatasan dengan Malaysia. Rasanya karena sama-sama serumpun, kita tak perlu terlalu deleted nanahpun berwarna putih. Rasanya semua berpulang kepada niat Aussie. Bila saat ini mereka berkali-kali melukai perasaan RI, bukan tak mungkin nanahlah yg akan mereka peroleh. Pendapat M. Anjasmara betul. Kita harus memikirkan juga bagaimana sistem perbatasan kita yang baru. Apakah kita mau membentuk 'Tembok Timor' atau apa lagi, tapi yang pasti kita tak bisa membiarkan pasukan asing merambah- rambah wilayah kita. Sekarang sudah kasus dibawah ini, bagaimana nanti? Siapa yang bisa menjamin bahwa tak akan terjadi gerakan mempersatukan seluruh pulau Timor yang didalangi Australia? October 10, 1999 U.N. Timor Troops Say They Fired On Indonesian Forces Filed at 10:30 a.m. EDT By Reuters DILI, East Timor (Reuters) - Members of a U.N.-backed intervention force in East Timor said they had exchanged fire with members of Indonesia's security forces during a border clash Sunday. But Major David Kilcullen said an Indonesian officer had acknowledged that a convoy from the U.N. force was on the eastern side of the poorly marked border with Indonesia's West Timor when the clash occurred. ``He admitted...that we were still on our side of the border when his troops opened fire,'' Kilcullen said. It is the first time the force has exchanged fire directly with Indonesian security forces since it arrived last month. Another officer said the force had gone into the area after reports of collusion between Indonesian forces (TNI) and pro-Jakarta militiamen in the area. The officer said militiamen had fired first, prompting the U.N. troops to return fire. ``When we started to notice that there were people in TNI uniforms amongst those in civilians that we were firing at, that's when we gave the word, Hold fire! Hold fire!'' said the officer, speaking on condition of anonymity.
Power politics di Indonesia atau kesalahan besar PDI-P
kecil, tapi nama itu juga akan menjadi 'liability' kalau Megawati menjadi presiden karena rakyat akan membandingkan apa yang Megawati lakukan dengan ayahnya, Sukarno. Suara 'Sukarno' juga akan membuat kuatir partai-partai lain, dan yang bisa terjadi adalah keributan antara MPR dan presiden jikalau PDI-P memaksakan suaranya karena dianggap memegang mandat akibat pendapatan suaranya yang sekitar 35% itu. Megawati harus berusaha membebaskan dirinya dari bayang-bayang nama Sukarno - juga perlu mencari dukungan yang cukup stabil dari partai-partai lain. Walaupun PDI-P meraih suara terbesar dalam pemilu lalu, tapi kemenangan ini bukan kemenangan mutlak karena PDI-P gagal bahkan untuk meraih mayoritas. Berhubung sekarang Indonesia mulai mengikuti sistem voting, PDI-P justru akan mengalami kerugian besar jika menganggap bahwa ukuran suaranya bisa mempengaruhi hasil pemilihan presiden, karena 60% suara bisa mengganjal PDI-P. JIka PDI-P meraih 50.1% dalam pemilu kemarin, mungkin PDI-P tak perlu kuatir tentang sikap partai lain. Namun sayangnya PDI-P tidak memiliki suara mayoritas. PDI-P harus sadar akan kelemahan posisinya serta 'balance of power' di Indonesia. Walaupun waktunya hanya singkat karena pemilihan presiden tinggallah sebentar lagi, tapi jikalau PDI-P tanggap menghadapi perkembangan situasi politik belakangan ini dan juga berusaha bekerja sama dengan partai lain dalam membentuk pemerintahan reformasi yang bersih dan dinamis, maka Megawati belum tentu gagal menjadi presiden. SU kemarin perlulah menjadi pelajaran pahit bagi PDI-P bahwa peraih suara terbesar di pemilu bukan berarti pemenang pemilu. Jika PDI-P tak bisa belajar dari kenyataan ini, maka PDI-P tidak memiliki qualifikasi sebagai pemerintah yang baik. Yohanes Sulaiman
Re: Mahasiswa Bodoh
Mana nich Forkot, Famred, Farbes dan apalah namanya yang lain itu dari para mahasiswa yang getol demo menyokong reformasi dan menolak status quo. Tuch lihat, PDI - P mendukung Golkar untuk ketua DPR, tapi nggak ada yang demo. Ha...ha...mahasiswa. Forkot, Famred, Farbes dll nya itu benar-benar mahasiswa yang payah dan bodoh. Mengatasnamakan diri mahasiswa, mengatasnamakan berjuang demi rakyat. Sama aja ternyata, mahasiswa "dagang sapi" Mmesle. Suhendri, Menarik membaca komentar-komentar anda akhir-akhir ini yang cukup pendek namun tajam dan kritikal terhadap satu partai tertentu. Karena anda sering menyatakan bahwa semua yang anda kritik itu bodoh dan payah dan anda sendiri menyatakan: "Kesadaran intelektualitas saya mengatakan bahwa tidak rela saya dipimpin oleh orang yang mempunyai kemampuan lebih rendah dari saya," bolehkah saya mendengar siapa calon yang sebetulnya anda anggap super cocok untuk Indonesia; dan kalau bisa tolong memberikan sedikit pandangan politik, apa ide anda untuk Indonesia, apa yang anda sampai sekarang lakukan, peran anda dalam reformasi, dan apa alternatif yang bisa diterima oleh semua golongan yang ada? Partai mana yang benar-benar anda setujui dan pandang sebagai partai yang benar- benar bersifat reformasi dan tanpa sedikitpun noda dari Orde Baru? Siapakah orang-orang yang memang bersih dan 100% reformir tanpa adanya politik 'Ken Arok' (mengutip dari Christianto Wibisono). Terus terang membaca tulisan-tulisan anda yang menyenangkan itu membuat saya sangat penasaran mengenai apa ide-ide bagus dan 'tokcer' anda yang bisa menyelesaikan masalah Indonesia dalam 'satu jurus.' Saya yakin, dengan sikap anda itu, anda pasti seorang yang memiliki kemampuan tinggi didukung oleh otak cemerlang serta dipenuhi ide-ide yang sangat hebat yang bisa menyelesaikan semua masalah Indonesia di era reformasi ini dan siapa tahu membawa Indonesia menjadi negara superpower di abad berikut. Saya ingin sekali mendengar ide-ide anda, tentunya kalau anda tak merasa bahwa saya terlalu bodoh untuk diajak diskusi atau para tokoh di forum ini anda anggap cukup intelektual untuk berdiskusi secara intelektual, sopan, serta terbuka. Sincerely, YS
Re: Mahasiswa Bodoh
At 02:22 PM 10/6/99 +0700, you wrote: Komentator sepak bola memang bisa main bola ? Kita di milist ini kan semuanya komentator. Jadi ya focus saja sebagai komentator. Memang nya anda pernah melakukan hal - hal yang anda minta ke saya seperti dibawah ? Belum pernah juga kan. So, shoud I ? Mmesle Suhendri, Jika anda menyaksikan pertandingan sepak bola di Indonesia, seorang komentator amatir memang hanya bisa menyatakan 'bola ditendang ke anu, ke siapa, dsb.' Tapi jika anda melihat komentator profesional seperti di US, komentator bukan hanya bisa mengomentari, melainkan juga memberikan saran atau kritik yang memang membangun. Contohnya di NBA (yang rasanya anda mungkin tahu), reputasi seorang komentator itu sangat diperlukan karena itu TV network di sini hanya meminta yang profesional yang bisa merasakan apakah beban pemain, bagaimana sang pemain bermain, dan apa kritik yang bisa membangun, bukan hanya komentar asal-asalan. Karena itu mereka merecruit mantan pemain seperti Isaah Thomas (NY Knicks) dengan gaji yang sangat tinggi, karena dia bisa memberikan komentar yang bagus dan mengerti hambatan para pemain di lapangan basket sehingga komentarnya juga sangatlah dihargai. Kalau sekarang contohnya si Phoenix Suns mendadak melawan Chicago Bulls yang masih lengkap 'dream teamnya' (Jordan-Pipen), apakah komentatornya terus berteriak wah, si Suns goblok, masak bisa dibabat terus oleh Bulls? Melainkan komentator melihat struktur tim Suns dan juga Bulls, memberikan perbandingan kekuatan dan karena memang 'Dream Team' jauh lebih kuat, masak dia terus berkata bahwa Suns harus terus serang atau defend? Apa bedanya dia dengan penonton? Malahan orang-orang akan jadi muak nontonnya. Sudah tahu tim Bulls super kuat, kok komentatornya kayak enggak tahu medan. Jadi komentatornya juga harus tahu perbandingan kekuatan, dan memberikan taktik-taktik yang dianggap bisa relevan; mungkin seperti 2 pemain kepung Jordan atau gimana. Jika TV di sini hanya mengupah komentator murahan, wah kredibilitas mereka akan dipertaruhkan. Jadi seorang komentator juga perlu setidaknya mengetahui permainan, apa yang menjadi penghambat, penghalang, dan karena itu bisa memberikan kritik yang membangun, jadi tidak hanya bisa asbun saja. Apakah saya pernah melakukan hal-hal yang saya minta ke anda? Hmm Sudah berapa lama anda menjadi anggota milis ini? Akhir-akhir ini terus terang saja saya memang sudah tidak pernah memberikan tulisan akibat kesibukan saya. Tapi saya bisa assure anda bahwa ada period di milis ini dulu dimana saya pernah memberikan beberapa masukan yang sederhana yang mungkin diwarnai banyak kelemahan. Tapi setidaknya saya pernah mencoba. YS
Re: Nggak ada logikanya
- Buat Mbak Ida : Terimakasih Geblek nya - Buat Yohanes Sulaiman : Saya nggak pernah nonton NBA :-( Oh, kalau enggak tahu NBA, ganti saja NBA dengan Manchester United atau Olympiade atau olah raga lain. Tak apa kok. Saya ngerti kalau anda memang terlalu pintar sehingga tak bisa menyempatkan waktu nonton begituan. Saya sendiri jarang nonton NBA. Yang penting anda ngerti penjelasan saya, itu saja. YS
Re: Nggak ada logikanya
Terlepas dari soal bahwa pengamat olahraga itu orang Indonesia atau orang luar, tetapi akan sangat menarik kalau komentator memang orang yang bukan bekas olahragawan, akan tetapi mempunyai pengetahuan dan wawasan yang luas tentang olahraga tersebut. Komentator yang berasal dari mantan olahragawan biasanya terbatas hanya mengomentari masalah teknis permainan, padahal yang diinginkan oleh penonton mungkin lebih kepada hal-hal non teknis sekitar permainan tersebut. Coba perhatikan mana yang lebih enak didengar komentar dari bung Kusnaeni atau bung Ronny Pattinasarany bila sedang mengomentari liga Italia serie A. Tentu banyak penonton yang lebih setuju bahwa komentar dari bung Kusnaeni lebih "berisi" dibanding komentar bung Ronny. Dan perhatikan juga bila menonton siaran tinju profesional, komentar-komentar dari bung M. Niagara akan menarik dibanding komentar teknisnya bung Syamsul Anwar. Apakah bila seorang Ananda Mikola memberikan komentarnya akan seenak komentarnya bung Hendra Noor Saleh (wartawan Otomatif) ? Tentu saja masih enak didengar komentar-komentar dari bung Hendra. Jadi saya kira komentar dari orang yang bukan mantan olahragawan untuk mengomentari masalah olahraga masih lebih enak didengar dibanding komentarnya dari mantan olahragawan. M. Yumartono, Walau pendapat anda valid dan terus terang pada dasarnya saya setuju (walau sejujurnya saya kurang tahu nama-nama komentator kawakan Indonesia), tapi konteks yang kita bicarakan adalah mengenai bagaimana seorang komentator bisa memberikan komentar yang baik dan membangun. Saya hanya mengambil contoh olah raga ini agar argumen saya bisa dimengerti oleh semua orang. Namun saya ingin kembali ke ide saya yang semula yang saya tambah dengan argumen anda: walau penonton menginginkan hal yang lebih bersifat non teknis, tapi juga penonton tak mau kalau hanya mendengar komentar yang sepatah-patah dan isinya hanya mengeritik tanpa memberikan saran atau melihat situasi. Kita ambil contoh favorit anda, tinju. Sekarang kalau tinju pro misalnya Tyson VS. Spinx. Apa anda suka kalau mendengar komentatornya cuma bilang 'Ah, Spinx payah. Ayo maju, serbu si Tyson.' Wong sekali gebuk aja sudah langsung terkapar begitu. Komentator yang baik kalau saya lihat justru memperhitungkan berapa besar kemungkinan Spinx bisa mengalahkan Tyson dan kalaupun kecil, kira-kira bagaimana Spinx bisa berusaha untuk membuat strategi yang akhirnya bisa membuat si Spinx paling dikit di-KO di ronde ke-3. Terus terang kalau saya dengar komentatornya cuma bilang 'ah, Spinx payah. Ah, Spinx goblok, ah ayo serbu, serbu sana.' Mendingan saya cuma lihat gambarnya saja, enggak dengar komentatornya. Kalau saya tak salah, komentator-komentator yang anda sebutkan diatas, selain memberikan komentar yang menarik, juga mereka bisa memberikan saran atau kritik yang membangun. Contohnya kalau di Liga A (terakhir kali saya nonton sekitar 5 tahun lalu, sorry kalau sudah enggak relevan), komentatornya waktu dulu itu bisa memberikan perbandingan kekuatan antara 2 pihak dan bisa memberikan strategi bahwa tim anu itu kekuatannya di penyerangan atau defensive, sehingga tim musuh harusnya gimana. Jadi walaupun tidak teknikal, tapi at least komentarnya itu relevan dan bisa diterima serta bisa membangun. Kalau komentarnya cuma 'Tim ini goblok, wah pemainnya tolol beneran, wah yang ini otaknya didengkul,' terus terang saya enggak akan sudi banget dengarnya juga (belum lagi bisa dijewer orang tua soalnya mendengarkan acara yang diwarnai bahasa yang kurang pantas) :-) Lagian kalau memang cuma segitu kualifikasinya, yakni jago bahasa kasar, tiap orang bisa saja jadi komentator olah raga. Jeger-jeger di Tanah Abang juga bisa semua, kok. Cuma apakah anda mau mendengarnya? Tapi anda benar bahwa komentator dari mantan olah ragawan belum tentu bisa seenak komentator yang bukan mantan. Hanya kalau menurut saya, biasanya mereka yang mantan lebih tahu detail dan tekniknya sehingga komentarnya bisa jauh lebih membangun. YS
Re: Nggak ada logikanya
Saya memang nggak hobi nonton NBA ataupun Liga ataupun tinju. Saya lebih suka nonton Discovery Channel, atau Elegant Solution, atau Wild Life, atau Beyond 2000, biar tambah pinter. :-) Bukan masalah penting atau tidak penting mengerti penjelasan Anda, tapi Anda bisa nggak menjelaskan kelakukan "Mahasiswa Dagang Sapi" dari Forkot dan turunannya. Wah, kalau saya lihat, kayaknya mahasiswa enggak mungkin jual beli jabatan. Wong power aja enggak punya. Yang bisa jual beli jabatan justru yang sudah diatas, yang sudah punya kekuasaan. Kalau mahasiswa, siapa coba yang mau beli jabatan jadi menwa atau ketua senat mahasiswa selain mahasiswa sendiri. Tapi kok jadi membalik begini Saya khan yang tanya duluan kepada anda, bahwa apa yang sebetulnya mahasiswa perlu lakukan, apa yang diperlukan negara kita untuk bisa menyelesaikan masalah serta apa ide-ide anda. Kok belum anda jawab sudah suruh saya jawabnya pertanyaan anda nih Saya terus terang jadi sungkan kok jadi dikasih giliran pertama begini. Soalnya terus terang saya tertarik sekali dengan ide-ide anda dan kalau membaca dari gaya tulisan anda, kayaknya kemampuan intelektual anda juga jauh sekali diatas saya, apalagi melihat channel-channel intelektual yang selalu anda tonton; sehingga saya rasa justru saya perlu banyak belajar dari anda dan karena itu dengan rendah hati saya meminta sedikit wangsit dari orang pintar seperti anda. YS
Re: Nggak ada logikanya
Bung Yohanes ini sudah berkontribusikah? Kontribusinya berapa tahun sekali? Pertanyaan selanjutnya, sudah cukup membangunkah? Pertanyaan ini perlu diajukan ke diri sendiri sebelum menuding ke orang lain. M. Anjasmara, Terus terang saya justru merasa kontribusi saya kepada era reformasi ini masih sedikit sekali. Kaena itu saya makanya enggak berani terlalu banyak berbicara atau berkoar-koar. Biarlah saya hanya jadi pengamat saja dari pinggiran, dan saya justru senang sekali kalau ada yang menulis panjang lebar jadi saya juga bisa terus belajar. Soalnya hidup adalah penuh belajar. Saya terus terang salut melihat banyak sekali kontribusi anda di milis ini, yang walaupun kontroversial tapi beremosi serta penuh rasa percaya diri. Atau begini saja deh, berhubung yang diinginkan Bung Yohanes adalah para mantan, bagaimana kalau mantan-mantan itu anda ajak ke milis ini? Rasanya jauh lebih pas deh. Atau Bung Yohanes termasuk golongan mantan juga? Kalau soal mantan itu, maksud saya adalah olahragawan yang karena pernah dilapangan jadi lebih tahu seluk beluk medan dan karena itu mereka kalau bicara juga tahu apa yang mereka bicarakan serta mengerti hambatan dan situasi sehingga tak pernah asbun. Saya sendiri tak pernah menyatakan bahwa seluruh anggota milis ini perlu menjadi mantan agar kita bisa mengeritik orang. Yang menjadi inti tulisan saya adalah kita hanya berteriak mengeritik orang dari pinggir, tapi apakah kita sendiri pernah menempatkan diri kita di posisi mereka? Kalau apakah saya termasuk golongan mantan hmm Mendingan jadi rahasia perusahaan saja :-) Tapi sejujurnya, saya hanyalah seorang bodoh yang terus berusaha belajar tentang hidup. YS
Indonesia's Recovery, and Democracy, Tested by Baligate Scandal
"The officials who have responsibility for implementing the program are themselves robbing the bank. It's a white-collar robbery by all the president's men." September 29, 1999 Indonesia's Recovery, and Democracy, Tested by Baligate Scandal By MARK LANDLER jAKARTA, Indonesia -- In the streets of Jakarta, students lob firebombs at police. In the ruins of East Timor, Indonesian soldiers seethe as foreign troops take over. In the desolate scrub of Ambon, Christians and Muslims kill each other with home-made guns. There is no shortage of issues to anger today's Indonesia -- a country suspended uneasily between dictatorship and democracy, economic ruin and recovery. Yet of all the outrages in Indonesia these days, the one that rankles people here most is a financial scandal known throughout the country as Baligate. The facts of the case are simple: Bank Bali, one of Indonesia's largest banks, paid nearly $70 million to the ruling Golkar Party to help recover loans it was owed by other banks. The money was to be funneled into the reelection campaign of President B.J. Habibie. Since the scandal came to light in July, the money has been returned and a raft of investigations begun. Yet the public outrage has become more thunderous by the day. With evidence emerging that other banks may have been asked to participate in similar schemes, the Parliament on Friday demanded that Habibie suspend seven top officials, including the finance minister and the governor of the central bank, who it says were involved. "This scandal is the straw that broke the camel's back," said Mark Baird, the World Bank's country director in Indonesia. "It's indicative of the much bigger political and economic stakes in Indonesia." Nobody has yet accused Habibie himself. But after three scandal-scarred decades under his predecessor, Suharto, people here are in no mood to let an unpopular president off the hook. The scandal -- and the government's obdurate response to it -- has become a touchstone for those who say Indonesia must shed its culture of corruption. "People are really fed up," said Rizal Ramli, an economist here. "After watching Habibie make so many speeches about the rule of law, they realize the laws are not being upheld. Despite his claims of being different, this government is merely an extension of the Suharto government." Political analysts here said that the scandal had grievously wounded Habibie, who faces a tough election in November. But the stakes are even greater: Some worry that Baligate could jeopardize Indonesia's recovery and transition to democracy. "If you were to elect a new president and not resolve Bank Bali, I think all of these political changes would be at risk because you fundamentally haven't changed the culture," Baird said. Anoop Singh, deputy director of the International Monetary Fund's Asia-Pacific operations, said the IMF could not "just put this aside and move on with the program without fully resolving the issue." The IMF, the World Bank, and the Asian Development Bank have backed up their words by withholding almost $1.4 billion in loans to Indonesia until the country releases results of an outside investigation. The longer Jakarta refuses, the higher the cost: by the end of next March, these agencies are scheduled to lend $4.7 billion to Indonesia -- more than 10 percent of their total $43 billion rescue package. Indonesian officials say they can make do for a while. But they agree that the country cannot fully recover from its economic trauma without a resumption of foreign aid. "In this budget year, we need $10 billion in external aid," said Umar Juoro, an adviser to Habibie. "If they stop the support permanently, it would be a disaster for the economy." That Indonesia would risk such a disaster shows how difficult it is for the country to change. Despite demands that the government get to the bottom of things, it has refused to release a lengthy report on the scandal assembled by the accounting firm PricewaterhouseCoopers. People who have seen the report said that it named at least seven senior officials as being directly involved in a scheme to divert nearly $70 million from Bank Bali to the Golkar Party. They also said that the report tracked the flow of money from Indonesia's Bank Restructuring Agency, which had nationalized Bank Bali, into a web of accounts held by people with ties to Golkar. The State Audit Board, which received the PricewaterhouseCoopers report, first urged the firm to release it. But threatened with lawsuits by the people named in the report, the board backed off. Now, it says, bank secrecy laws prevent disclosure. "In protecting all these people, it is true that I might be protecting guilty people," Satrio Budihardjo Joedono, the Audit Board chairman, said. "But let the police decide, let the lawyers decide. This is a question of
Indonesia Security Bill Sparks Bloody Unrest
Not everybody was upset about Thursday's clashes in Jakarta. A water seller did brisk trade. ``We are used to it. We had a good day today. These people need water and used the bottles to make Molotov cocktails.'' --- September 23, 1999 Indonesia Security Bill Sparks Bloody Unrest By Reuters JAKARTA (Reuters) - Thousands of students clashed with security forces in Indonesia Thursday as they protested against a new security law that they said gives the already powerful military even freer reign to crush dissent. Up to 50 people, nearly all of them protesters, were injured in the capital and second-biggest city Surabaya as police fired tear gas and plastic bullets into the crowds. In Jakarta, students threw rocks and Molotov cocktails, torched a car, a military minibus and road toll booths, and fought running battles with riot police well into the night. They tore up road barriers and used the debris to block two main roads. Students chanted ``Revolution till death!'' At least 30 people were injured in Jakarta, hospital sources said, and witnesses said another 20 were injured in Surabaya, 420 miles to the east of the capital. ``If this law is approved... then the democracy we have struggled for is dead... the military can take control of the country any time it wants,'' said one student pamphlet. The bill was passed by parliament earlier in the day. At least 5,000 people protested in different parts of Jakarta, and about 3,000 of them neared parliament house downtown when they met a hail of rubber bullets and tear gas canisters. Many of the protesters wore the red and white colors of the Indonesian flag. Several were armed with sticks. In Surabaya, witnesses said about 1,000 protesters were baton-charged by security forces, who also fired teargas. Around 300 students occupied the local government building in the city, demanding that the law not be applied in East Java. Armed forces commander General Wiranto denied the students' accusations that the army was trying to push through the legislation in the dying days of the current parliament to secure its power base. ``The bill is in line with democracy and human rights,'' he told reporters. Indonesia's first democratically elected parliament in over 40 years will convene next week. It is unclear if that legislature would ever have agreed to such a law. The new law gives authority to the president to declare a state of emergency in a province, if this is requested by the provincial legislature and governor. The decision also requires the consent of Indonesia's parliament. The Prevention of Danger law does not give a clear timeframe for how long the consultation process should take. It says a provincial state of emergency could last a maximum of six months. The issue has sparked protests across Indonesia for weeks. Opponents argue the law will give the military and the government even more power to crush dissent just as the country shifts toward an era of democracy after decades of autocratic rule. The government says it watered down the law to meet most objections and that it was vital for the old 1959 security law to be updated. Unlike the original draft, the final version does not allow restrictions on the media during a state of emergency. Not everybody was upset about Thursday's clashes in Jakarta. A water seller did brisk trade. ``We are used to it. We had a good day today. These people need water and used the bottles to make Molotov cocktails.''
Re: Jimmy Carter terluka di Jl Sudirman
Yakin Secret Servicenya dikemanakan? - FNUB: Menurut berita di tabloid Detik@, Jimmy Carter merupakan salah satu korban dari 14 orang yg terluka. Carter merupakan salah satu peserta dalam rombongan demonstran thd UU PKB. Silakan di-cek. -- Satu Mahasiswa Diisukan Tewas 14 Nama Korban Dirawat di RSAL Reporter: Djoko Tjiptono detikcom, Jakarta- Aksi demo menolak RUU Penanggulangan Keadaaan bahaya (PKB) yang hingga Kamis (23/9/1999) hingga pukul 20.00 WIB masih berlangsung, menimbulkan korban berjatuhan. Satu orang dikabarkan meninggal. Tapi ini baru isu dan belum bisa dikonfirmasikan. yang pasti 14 orang dirawat di RSAL. Sejauh ini, rata-rata korban mengalami luka atau terbakar. Belum tercatat ada yang tertembak. Korban-korban itu sebagian besar dirawat di RSAL Mintohardjo, Bendungan Hilir, Jakarta Pusat. Ada 14 orang yang dirawat di RSAL. 2 Orang di antaranya sudah diijinkan pulang karena luka ringan, 12 di antaranya masih menjalani perawatan. Berikut nama-nama 14 korban yang dirawat di RSAL: 1. Yosua (Universitas Nasional) luka ringan. 2. Irma (Trisakti) luka ringan. 3. Inartian (Atma Jaya) Memar di badan. 4. Benny (Un.Pancasila) robek telapak tangan. 5. Iqbal (STIE) robek di dahi. 6. Sulianto, luka bakar kena gas air mata. 7. Monie Satria (Gunadarma) Telinga robek. 8. Hendrik (ABA) luka bagian kepala. 9. Agus Muslim (warga umum) robek kepala. 10.Iwan Maulana (ISTN) robek dahi. 11.Rikky (Muhammadiyah) kena gas air mata. 12.Ferry oniaga (Universitas Sahid) robek kaki. 13.Frederikus (Wartawan Kapital) Robek kepala. 14.Lukas kena gas air mata.
Re: Jimmy Carter terluka di Jl Sudirman
Ini yang saya: 23/9/1999 20:10 WIB 14 Nama Korban Dirawat di RSAL INi yang kamu: 23/9/1999 22:07 WIB Massa Membara di Depan Atma Jaya Leher Pema Faizan Kena Peluru Rumah sakitnya beda. Rumah Sakit Jakarta dan RSAL Mintohardjo Yang pasti Jimmy Carternya bukan Prez US. Yang prez US sudah ketuaan Bukan mahasiswa.
Re: Jimmy Carter terluka di Jl Sudirman
Enggak ngerti nih. Sorry berat. --- KAMU endase atos?! --- Ini yang saya: 23/9/1999 20:10 WIB 14 Nama Korban Dirawat di RSAL INi yang kamu: 23/9/1999 22:07 WIB Massa Membara di Depan Atma Jaya Leher Pema Faizan Kena Peluru Rumah sakitnya beda. Rumah Sakit Jakarta dan RSAL Mintohardjo Yang pasti Jimmy Carternya bukan Prez US. Yang prez US sudah ketuaan Bukan mahasiswa.
East Timor Latest Threat to Habibie
Sudahkah anda melihat kurs rupiah hari ini? --- September 7, 1999 East Timor Latest Threat to Habibie Filed at 2:32 a.m. EDT By The Associated Press JAKARTA, Indonesia (AP) -- Hounded by chaos in East Timor, a lost election, a bank scandal and nervous investors, Indonesia's President B.J. Habibie has his back to the wall. His increasingly threatened command makes many wonder about the critical next two months before the expected transfer of power to populist Megawati Sukarnoputri's presidency. In a potentially ominous note, the military promised Thursday not to stage a coup -- making some people wonder whether a forceful takeover is exactly what the armed forces have in mind. It all spells trouble for the slight man with the impish grin who stepped from the shadows of his mighty patron, President Suharto, to assume control in May 1998. Megawati, whose party won first place in June's parliamentary elections, has consistently pointed the finger at Habibie for the troubles in East Timor. ``I was hoping that East Timor would still be a part of Indonesia,'' she said Saturday. ``From the first, I've said that this is Habibie's responsibility.'' She also has raised fears -- deeply felt in the Indonesian military -- that the Aug. 30 vote for independence in East Timor will encourage separatism in other provinces. If that were to happen, the Indonesian military could see the need to intervene and quell unrest. Megawati is the favorite to be named president by a special assembly in November, giving Habibie two critical months guiding this nation of 210 million people. ``I'm not saying that Habibie should resign from his post as a consequence of the pro-independence victory in East Timor,'' said Bambang W. Suharto, a member of the National Commission on Human Rights. But Habibie has to be ``held accountable'' for the loss of the troubled province, said Suharto -- no relation to the ousted president -- in Monday's editions of the Jakarta Post. Last week, parliament took the once-unthinkable step of summoning Habibie to a hearing over an $80 million bank scandal. Though the lawmakers later backed down, the World Bank and other lenders are still demanding clear answers.
Re: Saatnya mahasiswa maju kembali
M. Irwan, Puisi ngawur sebagai sedikit bahan pemikiran. Tak perlu dijawab, karena tiap orang memiliki jawaban yang berbeda-beda. Apa pemersatu mahasiswa? Tahun lalu, kehancuran ekonomi ditambah 'dia yang diatas' mejadi target bersama mahasiswa mahasiswi. Kalau yang sekarang, siapa targetnya? Apa pemicunya? Mahasiswa-mahasiswa, terpecah berantakan. Sebagian PKB, sebagian PAN, sebagian PDI-P, sebagian ICMI, sebagian sudah don't care, sisanya netral, sebagian rindu masa Orba. Ditambah lagi, bagaimana stamina mahasiswa sekarang? Apakah masih beremosi atau sudah kecapekan? Kecapekan dalam menunggu kuliah dimulai? Kecapekan dalam melihat harga barang yang melonjak? Kecapekan melihat siswa-siswi SMA terus tawuran? Kecapekan melihat moral sosial sudah begitu menyedihkan, dimana shabu-shabu bertebaran? Kecapekan melihat tiap partai bukan bergandengan, tapi saling menjelek-jelekan? Kecapekan melihat masa depan yang tidak pasti, dimana pengangguran sudah double-digit? Kecapekan melihat yang di atas yang harusnya reformer ternyata saling berkelahi? Kecapekan melihat dagelan politik yang tak kunjung selesai? Ataukah semua kecapekan itu malah membuat semua orang putus asa, dan mendukung 'asal status quo?' Untuk membentuk sebuah gerakan perlu ada pemersatu. Agar bisa bersatu, perlu satu musuh bersama. Pertanyaannya; selain kemiskinan, apa lagi musuh yang semua orang anggap sebagai musuh bersama? Pertanyaannya juga: siapa yang bisa mempersatukan gerakan mahasiswa agar mahasiswa bisa kembali menjadi ujung tombak reformasi? Tampaknya, setelah terjadi banyak perubahan di kalangan elit politik, kini saya merasakan waktu yg tepat bagi rekan2 mahasiswa khususnya yg di tanah air untuk bergerak menyelamatkan reformasi yg sedang berada dipersimpangan jalan yg sangat berbahaya. Mahasiswa memang dari sononya udah terlahir sebagai ujung tombak masyarakat. Selamatkan reformasi dari tangan2 jahat status quo. jabat erat, Irwan Ariston Napitupulu
Kenapa Ex-Prez Suharto tak berobat ke luar negeri?
Pinochet: Diktator Chile, ia ke Inggris atas undangan dan sekalian berobat; namun sekarang ia dikenakan tahanan rumah di Inggris. Hakim Spanyol masih berusaha mengextradisinya. August 22, 1999 Dictators Face The Pinochet Syndrome By BARBARA CROSSETTE UNITED NATIONS -- A new malady is stalking the presidential palaces and bunkers of the world. Call it the Pinochet Syndrome. Last week, it surfaced in Austria and Indonesia. The Austrian case involved Izzat Ibrahim al-Duri, regarded as the No. 2 man in Iraq after Saddam Hussein. A Vienna city councilman, Peter Pilz, discovered that Mr. Ibrahim, who is accused of directing the mass murder of Kurds in 1988 and torturing and killing other Iraqi citizens, was in a Vienna hospital for treatment. Following the precedent set by a Spanish judge who was able to have Gen. Augusto Pinochet of Chile arrested while in London last year for medical care, Mr. Pilz filed a criminal complaint with Austrian authorities on Monday. Less than 48 hours later, Mr. Ibrahim made a hasty exit and Austria, to the consternation of human rights groups, let him go. So did Jordan, since Mr. Ibrahim had to pass through Amman on his way back to Iraq. From now on, however, Mr. Ibrahim may have to settle for hospitals in Baghdad. In Jakarta, a leading newspaper said the Pinochet Syndrome also haunts President Suharto of Indonesia, who was forced from office last year after three decades of autocratic rule. Mr. Suharto, who is under investigation by the new Indonesian Government, has been living at his home in relative peace. But he is 78 years old and seriously ill, having suffered both a stroke and intestinal bleeding in the last month. Like other strongmen who tolerate inferior health care for everyone but themselves, Mr. Suharto had been expected to seek medical treatment in Germany, as he has done in the past. Not likely, people close to his family told The Jakarta Post. A host of people would be waiting with warrants. If the trend continues, says Reed Brody, advocacy director for Human Rights Watch, former dictators will have almost nowhere to go, in sickness or in health. Some might even feel less secure about where they are now, with human rights lawyers showing a new, post-Pinochet interest in pursuing them. Human Rights Watch has compiled a list of ex-tyrants who have fled their battered countries for what they thought were safer addresses. Idi Amin of Uganda is still in Saudi Arabia; Jean-Claude Duvalier of Haiti is in France and one of his successors, Raul Cedras, is in Panama; Paraguay's Alfredo Stroessner is in Brazil, and Hissan Habre of Chad is in Senegal. The spread of the Pinochet Syndrome, says Human Rights Watch, "shows how far we have come from the days when despots could terrorize their own populations, secure in the knowledge that at worst they would face a tranquil exile."
East Timor: Cyberwar Threatens Indonesia
Menurut saya, ini namanya blackmail. Apalagi kalau kita lihat yang menyatakannya adalah 'pemenang Nobel Price' Sungguh memalukan. August 18, 1999 Cyberwar Threatens Indonesia Filed at 12:31 p.m. EDT By The Associated Press BANGKOK, Thailand (AP) -- An international squad of computer hackers will wreak electronic mayhem on Indonesia if the country hampers voting in East Timor's independence referendum, a Nobel Peace Prize laureate warned Wednesday. ``More than 100 computer wizards, mostly teen-agers in Portugal, Spain, Ireland, Belgium, Brazil, the U.S. and Canada, ... are targeting the entire computer network of the Indonesian government, army, banking and finance institutions to create chaos,'' Jose Ramos Horta wrote in a newspaper commentary published Wednesday ``A dozen special viruses are being designed to infect the Indonesian electronic-communications system, including aviation,'' said Horta, an East Timorese leader who was co-winner of the 1996 Nobel Peace prize. His commentary was published in the Thai newspaper The Nation and Australia's Sydney Morning Herald. The U.N.-supervised referendum scheduled for Aug. 30 will give East Timor's people a choice between full independence from Indonesia or becoming an autonomous region within the country. Indonesia occupied the former Portuguese colony in 1975 and East Timor has been wracked by guerrilla warfare and human rights abuses since then. Horta said if the referendum was unfair, the independence movement would also try to hurt Indonesia's tourist industry by organizing a worldwide campaign to boycott the resort island of Bali. Horta wrote that he believed a free vote in the referendum would show ``an overwhelming majority of East Timorese'' favoring independence. ``But the conditions on the ground remain far from appropriate for a free and democratic ballot to take place,'' he said. He predicted the eruption of full-scale violence before or after the ballot and accused the army of ``clinging to the illusion that through terror and fraud'' it can ensure independence will be voted down. Indonesia itself has been accused of waging cyberwar against the East Timorese. In January, the Irish Internet service provider Connect-Ireland, which hosted a pro-independence East Timor website, was the target of a coordinated attack from as many as 18 different points. The company had said it suspected the Indonesian government was behind the attack. In early 1997, Portuguese hackers broke into the Web sites of the Indonesian military and foreign ministry and defaced their websites with pro-independence propaganda.
Re: Baramuli dapat Bintang.
hehehehee.Mas Budi:) Pertanyaan anda terlalu logis dan sangat masuk di-akal. Coba deh tanya sama Presiden anda (dari Golkar lho), apa layak Baramuli dapat bintang ? Kayaknya dia layak dapat "bintang," lho Cuma yang ini 'bintang'-nya buat diminum. Tiap kali iklannya khan selalu 'anda layak mendapat bintang.' Jadi logikanya, semua orang layak mendapatnya. (Atau sudah diubah?) :-)
US-Indonesia Election analysis
1. U.S. Shifts Focus from Taiwan to Indonesia 2. Central Axis Presents Moslem Third Force in Indonesian Presidential Elections -- Global Intelligence Update August 14, 1999 U.S. Shifts Focus from Taiwan to Indonesia Summary: Despite the continued tension over Taiwan's declaration of statehood and North Korea's threatened missile launch, the U.S. has apparently shifted its attention south to Indonesia. Reports out of Australia and Indonesia suggest Washington is monitoring and preparing contingency plans for trouble spots in Indonesia, while two U.S. aircraft carrier battle groups are currently in the South China Sea near Indonesia. The trouble is, while the U.S. has a long-term strategic interest in Indonesian stability, the issue has immediate salience for Washington's main partner in addressing the situation - Australia. This salience asymmetry, especially on the East Timor situation, is generating friction between Washington and Canberra, exacerbating relations already strained by trade and foreign policy disputes. Analysis: Indonesian Air Force Chief of Staff Air Marshall Hanafie Asnan claimed August 9 that intensive foreign reconnaissance flights over Indonesian trouble spots, including Aceh, Ambon, and East Timor, have recently been increasing. According to an article in the August 10 issue of the Indonesian newspaper Suara Karya, Asnan told a conference in Jakarta that Indonesian Hawk 100 and 200 training jets had been unable to positively identify the illegal intruders due to the foreign aircraft's superior speed and avionics. According to Suara Karya, Asnan "did not deny" suggestions that the aircraft may have been carrier-based jets. Failing to deny a suggestion is far from validating that suggestion, and Ambon, Aceh, and East Timor are a bit widely distributed for aircraft from one single carrier to visit. But there is evidence to suggest that carrier-based aircraft are in a position to monitor Indonesian events. The USS Kitty Hawk battle group just concluded scheduled naval exercises in the South China Sea with Malaysia, Singapore, Indonesia, and Thailand (which has recently acquired a jump jet carrier). Aircraft from the Kitty Hawk were available for reconnaissance should Washington have deemed it necessary. Additionally, the USS Constellation arrived in Singapore on August 10, reportedly to carry out training exercises with the Singapore Navy. As for the distribution of the reconnoitered areas, Asnan said nothing about the aircraft being of the same type, or of performing recon on the same day, nor did Suara Karya suggest all were carrier based. Speaking at the conclusion of the Kitty Hawk's exercises, battle group commander Rear Admiral Timothy Keating noted that there was no indication China planned to attack Taiwan, but vowed that China would "have the U.S. Navy to deal with" if it attempted aggression against Taiwan or any other target. "We are there in numbers, we're trained, we're ready, and we're very powerful," the Associated Press quoted Keating as saying. At the same time, Keating downplayed the Constellation's presence in the area, saying the carrier was bound for the Persian Gulf and had nothing to do with the Taiwan crisis. So what we have is this. First, the Indonesian military contends that foreign aircraft, which may or may not have been carrier based, have been increasing illicit reconnaissance overflights of Indonesia. Second, they made this claim at the same time two U.S. carrier battle groups are in the South China Sea. This may be a coincidence, but it is interesting that, despite tensions in North Korea and Taiwan not to mention Keating's rhetoric, the U.S. saw it fit to place two carrier battle groups off the coast of Indonesia however coincidentally or temporarily. Obviously, Washington does not seem to feel that Chinese military action is imminent. At the same time, it seems to indicate some degree of concern over another link in the archipelagic chain containing China - Indonesia. Indonesia is a key component of U.S. strategy. First, if the United States is now engaged in containing China, the chain of countries stretching from South Korea to Japan, Taiwan, the Philippines, through Indonesia, Malaysia, and Singapore, to Thailand is critical. Given Indonesia's position astride vital sea lanes and between Australia and peninsular Southeast Asia, Indonesia is more critical to that chain than most. Indeed, since the U.S. has a strategic commitment to controlling the world's maritime choke points, the Straits of Malacca and Lombok can be closed from Indonesia. Therefore, what happens in Indonesia is of critical interest to the United States both in relation to China and in the broadest contexts of American strategy. The U.S. has tried to maintain a low profile on domestic Indonesian events in an attempt not to exacerbate the situation. At the same time, the U.S. is eager to ensure that Indonesia does not disintegrate. Besides knowing that it doesn't
Landscape of Potential Unrest
http://www.thejakartapost.com/jakpost/landscape.htmhttp://www.thejakartap ost.com/jakpost/landscape.htm Landscape of Potential Unrest Study finds Surabaya 'most vulnerable to unrest' JAKARTA (JP): The East Java capital of Surabaya is the most likely area to explode into unrest, a study reveals. The study, jointly conducted by Trisakti University, Suara 234 and Research Institute for Democracy and Peace researchers, put Surabaya ahead of South Jakarta, Medan in North Sumatra, East Jakarta and North Jakarta. According to the study, a series of conflicts within the society, either violent or nonviolent, contributed to the potential for unrest in the areas. Next in the list of top 10 potential trouble spots were Bandung regency, Bogor regency, both in West Java, West Jakarta, Bekasi regency in West Java and Malang regency in East Java. Head of Trisakti research institute Dadan Umar Daihani said the findings were an early warning for residents of those areas, the government and security authorities of possible violence, even in areas which had never been hit by riots, ahead of the June 7 general election. "Our mapping (of the situation) concludes the atmosphere now is not conducive for the polls. It's up to the government now to fix it up within the remaining weeks," Dadan said. He said the study was aimed at enabling people to go further than conventional analysis, which considered, among other things, the economic gap, unemployment and religious disharmony as the trigger for conflict. Regencies in East Timor had the least potential for unrest, despite persistent challenges mounted by rebel groups since it was integrated into Indonesia in 1976. "The province is volatile in terms of antigovernment movements, but it is canceled out by the fact the territory lacks religious and economic discrepancies which could trigger conflicts," Dadan said. Sambas, one of the country's latest hot spots, was also categorized as a low risk conflict area, in part because of its economic parity and low resistance to the government. Dadan warned that areas with a more or less equal division of religious groups could explode into communal clashes lasting generations. He specifically referred to Ambon, Maluku and its surrounding areas, where religious riots have left more than 400 killed since they first erupted mid-January.(amd)
Re: Tulisan Megawati di Yomiuri Shimbun
M. Budi, Document anda ada virusnya, jadi langsung saya delete. Bisa anda kirim versi tanpa virus? Dear rekan-rekan yth., Ini ada fwd tulisan Megawati di Yomiuri Shimbun dari rekan Noogie, MBA di USC.
Cek kompas....
Ada yang aneh di homepage kompas, coba cek; enggak tahu ya kalau ini akibat hacker www.kompas.com Lihat dibawah 'Soal Aceh' Jumat, 23 Juli 1999 Soeharto Masih Terbaring * Kejagung Hentikan Penyelidikan Mantan Presiden Soeharto (78), hingga Kamis (22/7) malam, masih terbaring di ruang VVIP (very very important person) lantai VI Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP) setelah tiga hari lalu mengalami serangan stroke ringan. -- Soeharto Still Ailing * Prosecutor Office Ends Investigations Soal Aceh Kompas Desak agar Pimpinan perusahaan komputer yang sedang sakit kepala mencari wanita pendamping sebagai istri untuk langsung memilih calon seorang dokter yang di berada di depan mata. ok? hihihiihi Bentuk Komisi Kebenaran Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mendesak pemerintah segera membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi untuk Aceh serta mengadili siapa pun yang terbukti melanggar HAM rakyat Aceh sejak diberlakukannya Daerah Operasi Militer (DOM) sampai saat ini. -- National Human Rights Commission Urges Government to Set Up A Commission of Truth Bila Dua Pertiga Partai tak Tanda Tangani Presiden Tentukan Sah tidaknya Pemilu 1999 Presiden BJ Habibie akan menjadi penentu sah tidaknya Pemilihan Umum (Pemilu) 1999. -- Rudini: If Less than Two Third of Parties Are to Sign Election Results, President Will Decide Sumitro Djojohadikusumo: Pemerintah Terlampau Optimistis Ekonom senior Prof Sumitro Djojohadikusumo menilai pemerintah sangat optimistis melihat indikator ekonomi terakhir. -- Government's View Too Optimistic
News Flash: Indonesia menyerbu Australia
Believe it or not... :-) Kompas -- Sabtu, 17 Juli 1999 Pasukan Indonesia "Serbu" Australia "PROKLAMASI. Dengan ini saya umumkan, wilayah yang selama ini disebut Australia Barat, telah bergabung ke Republik Indonesia dengan memakai nama baru, Irian Selatan. Polisi akan memulihkan kamtibmas dan kepada semua warga sipil diingatkan, tentara Indonesia akan menumpas segala macam bentuk perlawanan. Kecuali itu juga diumumkan, sejak tengah malam tadi, Jenderal Sudorno ditetapkan sebagai Gubernur Militer dengan kekuasaan mutlak. Hal ini dilakukan untuk melestarikan proses integrasi damai yang sedang berlangsung." Pernyataan mengejutkan ini disampaikan Gubernur Australia Barat lewat pemancar ABC dari Perth, menyusul keberhasilan operasi militer yang baru saja dilakukan Indonesia. Rincian operasi untuk membebaskan Australia adalah sebagai berikut. Dengan gerak cepat pasukan komando Indonesia dipimpin Kapten Ali Behari mendarat di Bandara Perth. Pasukan kemudian bergerak ke kota, memakai beberapa truk yang sebelumnya sudah disiapkan oleh satuan intel. Seiring dengan keberhasilan pendaratan, secara serentak operasi militer serupa juga tertuju terhadap sejumlah pangkalan RAAF, Angkatan Udara Australia. Satu-satunya korban di pihak Indonesia terjadi di Darwin, saat seorang prajurit digigit anjing penjaga pangkalan. Tetapi, hanya dengan satu korban luka ringan, pasukan komando Indonesia dengan menggunakan pesawat Boeing 747 Garuda, segera menguasai pangkalan RAAF. Sesudah landasan dikuasai, Indonesia segera mendatangkan pesawat angkut Antonov eks Rusia. Kesulitan ekonomi yang baru saja melanda, ternyata tidak menyurutkan kemampuan militer Indonesia. Perth, ibu kota Australia Barat, adalah kota pertama yang diduduki pasukan Indonesia. Penyerbuan berlangsung mendadak, karena pesawat pengangkut mengikut di belakang pesawat Qantas yang sedang menjalani penerbangan rutin Bali-Perth. Pemandangan memilukan terlihat ketika sejumlah prajurit Australia bercelana kolor atau selimut tidur, menyerah dengan menaikkan tangan ke atas. Mirip pemandangan di Singapura pada waktu pasukan Inggris menyerah kepada Jepang, awal Perang Dunia II. Pada awalnya Pemerintah Federal Australia memang tidak bersedia menyerah. Sidang kabinet darurat berlangsung di Canberra. Dengan nada keras Perdana Menteri Australia berteriak, "Apa saja kerja kalian? Kita diserbu pasukan Indonesia, usir mereka sekarang juga. Hancurkan mereka..." Panglima militer menjawab, "Tidak mungkin musuh dihancurkan dengan bom, karena yang bakal jadi korban penduduk kita sendiri. Apalagi, musuh sudah mengumumkan, setiap perlawanan akan ditumpas habis. Musuh punya rudal, kita tidak punya. Pasukan musuh sangat besar, kita minim pasukan. Mereka sudah telanjur menguasai sebagian besar pangkalan RAAF, darimana kita bisa membalas serangan?" "Jadi, tak ada lagi yang bisa dilakukan? Apakah Australia harus menyerah kepada Indonesia dengan segampang itu?" nada suara Perdana Menteri mulai terdengar sangat memelas. *** TENTU saja, ceritera di atas sekadar khayalan. Mana mungkin ada gagasan membebaskan Australia dan menggabungkannya ke dalam wilayah Indonesia. Tetapi, meski fiksi, buku karya John Harper-Nelson yang terbit akhir tahun 1998 dengan judul The Day They Came serta memakai sub-judul The Indonesian Incident itu, digarap serius. Dalam buku terbitan Access Press di Perth, Australia, ini tidak saja suasananya dilukiskan secara cermat, tetapi kemungkinan bahwa Australia bisa takluk dengan mudah, diyakini punya dasar pemikiran brilyan. Disebutkan, dalih Indonesia menduduki Australia Barat adalah membantu memulihkan hak asasi warga Aborijin, yang dulunya migran dari Indonesia ribuan tahun silam. Pemerintah Australia akhirnya menyerah, mengacu kepada pengalaman Perang Dunia II ketika mereka hanya bertahan di Brisbane dan kota-kota di bagian selatan benua tersebut. Dan itu artinya, membiarkan wilayah luas di Australia Utara dan Barat, praktis tanpa pertahanan berarti. Kisah menghebohkan tersebut hanya dicetak dalam 500 eksemplar buku. Meski begitu, sambutan masyarakat ternyata sangat hangat. Bayangkan saja, bagaimana tidak kaget membaca buku yang meramalkan, Australia dengan sebuah serangan pasukan komando (dan bahkan tanpa meletuskan senjata) langsung rontok dan digabungkan ke Indonesia. Letak Indonesia dan Australia memang bertetangga. Kalau Australia memandang ke utara, mereka selalu dihadapkan wilayah Indonesia yang begitu luas, bagai mengepung negara tersebut dari lalu lintas dunia. Afrika di sebelah barat begitu jauh, sementara di arah timur Amerika ada di belahan dunia lain. Dan di selatan, tak ada lain kecuali laut luas terbentang sampai kutub selatan. Dengan demikian, segala macam tetek bengek tentang Indonesia, baik yang nyata maupun guyonan, selalu tampil menjadi perbincangan serius. Tidak hanya dalam buku non-fiksi, malahan buku fiksi juga memperoleh tanggapan serius. Geoffrey Archer, koresponden
Hasil Pemilu menurut Detik.com
Catatan pribadi: Ada keganjilan di tabel daftar penghasilan pemilu. Lihat nomor 21, 22, dan 34 dan bandingkan dengan angka partai- partai yang sedikitnya mendapat 1 kursi. Atau mungkin ada kesalahan di detik com? July 16, 1999 Opposition Party Leads Tally in Indonesia By REUTERS JAKARTA, Indonesia -- The party of the populist opposition leader Megawati Sukarnoputri won the largest share of votes in the parliamentary elections on June 7 -- 33.7 percent -- complete unofficial figures show. The ruling Golkar party of President B. J. Habibie was in second place, with 22.4 percent. The results now must be verified by each of the 48 political parties and the General Election Commission, which is expected on Wednesday. But the National Election Committee, which is responsible for tallying the votes, said the official results were not expected to differ from the preliminary figures. Counting was finally completed Thursday, more than five weeks after polling day. The distribution of seats in Parliament will not be announced until the results have been verified. Though Ms. Megawati's party, Indonesian Democratic Party-Struggle, gained the most votes, it is expected to be well short of an overall majority. The presidency is to be decided in November by Parliament. Unless Ms. Megawati can attract enough coalition partners by then, she could still find herself in the opposition. --- www.detik.com Perolehan Kursi DPR RI Pemilu 1999 No.Nama Partai | Perolehan SuaraKursi 1.PDI Perjuangan|35,689,073 154 2.Partai Golongan Karya |23,741,758 120 3.Partai Persatuan Pembangunan |11,329,905 59 4.Partai Kebangkitan Bangsa|13,336,982 51 5.Partai Amanat Nasional | 7,528,956 35 6.Partai Bulan Bintang | 1,940,633 13 7.Partai Keadilan | 1,422,330 6 8.Partai Keadilan dan Persatuan| 1,065,686 6 9.Partai Demokrasi Kasih Bangsa | 550,851 3 10.Partai Nahdlatul Umat658,069 3 11.Partai Bhinneka Tunggal Ika354,292 3 12.Partai Demokrasi Indonesia655,049 2 13Partai kebangkitan Umat 300,064 1 14.Partai Syarikat Islam Indonesia 375,920 1 15.PNI Front Marhaenis 363.397 1 16.Partai IPKI327,301 1 17.PNI Massa Marhaen 345,720 1 18.Partai Persatuan 550,808 1 19.Partai Daulat Rakyat 429,854 1 20Partai Indonesia baru 192,712 0 21.Partai Kristen Nasional 369,446 0 22.Partai Nasional Indonesia 377,137 0 23.Partai Aliansi Demokrat Indonesia85,838 0 24Partai KAMI 289,489 0 25.Partai Ummat Islam 269,309 0 26.Partai Masyumi Baru 151,589 0 27.Partai Abul Yatama213,979 0 28.Partai Kebangsaan Merdeka104,3850 29.Partai Rakyat Demokratik 78,7300 30.Partai Syarikat Islam Indonesia - 1905 152,787 0 31.Partai Katolik demokrat 216,675 0 32.Partai Pilihan Rakyat 40,517 0 33.Partai Rakyat Indonesia 45,290 0 34.Partai Masyumi456,718 0 35.Partai Solidaritas Pekerja 49,807 0 36.Partai Republik 208,157 0 37.Partai Islam Demokrat 62,901 0 38.Partai Murba 62,006 0 39.Partai Uni Demokrasi Indonesia 140,980 0 40.Partai Buruh Nasional111,629 0 41.Partai MKGR 204,204 0 42.Partai Cinta Damai 168,087 0 43.Partai SPSI 61,095 0 44.Partai Nasional Bangsa Indonesia 149,136 0 45.Partai SUNI 180,167 0 46.Partai Nasional Demokrat 96,984 0 47.Partai Umat Muslimin Indonesia 49,8390 48.Partai
IN RURAL INDONESIA, POLITICS IS ABOUT FOOD PRICES
July 14, 1999 Kedung Journal IN RURAL INDONESIA, POLITICS IS ABOUT FOOD PRICES By Seth Mydans KEDUNG, Indonesia -- The farther the road goes, the more beautiful the villages become, and the more desperately poor. Deep in the countryside, with a hint of ocean in the air, green rice fields stand silent except for the swish of a breeze. With the rice mostly planted and the next harvest months away, the hungry people here fly kites through the golden afternoons and sometimes under the stars at night. Remote as it seems, this tiny village is less than 30 miles from Jakarta, the capital. Yet most of the people who work here surrounded by coconut palms and mango trees say they have never been to the big city. Yes, they have watched, on communal television sets, the upheavals that are transforming their country. They voted with great enthusiasm on June 7 in the national election in hope of a better life. But they seemed relieved, one recent afternoon, that most of the excitement of the last year had passed them by. "It's secure here," said Siti, a farmer who guesses her age at about 40. "No rumors. No reform." Reform -- or "reformasi" -- is the battle cry of the demonstrators who helped bring down President Suharto a year ago and who want to transform their nation into a free and democratic society. To Mrs. Siti and others here in the fields it is a strange, foreign-sounding word that may have something to do with the harshness of their lives since the Asian economic crisis hit Indonesia two years ago. Farmers like these make up the huge majority of Indonesia's population of more than 200 million, and a huge majority of its electorate. Yet most of the country's hot political issues -- corruption, democracy, the role of the military -- are little more than words for many of them. In a country where nearly half of the population is estimated to live in poverty, national politics is not very complicated. It is all about the prices of rice and cooking oil. Asked what "reformasi" meant to them, many villagers here and elsewhere said it meant rising prices, even though the currency crashed and prices rose well before Suharto resigned in May 1998. Many others did not even offer a guess. "I just want prices to go down," said Amnah, a farmer. Mrs. Siti said she was relieved that there was no reform here in her village, northwest of Jakarta. But when asked what that meant, she deferred to a young man named Rusman, who has enough education to repair motorcycles at the edge of the fields here. "No, I don't know either," Rusman said. "I might know someone who does, but he's praying right now." That man is Suhaimi, an elderly carpenter who has made the pilgrimage to Mecca and who chooses his words with care. Seating himself slowly in the shade of his workshop, Suhaimi said he thought he had the answer. "It is the same as paceklik," he said. That is a word (pronounced pah-che-KLIK) that farmers use to describe a period of extremely bad harvests. A friend explained, "If you don't have rice you eat corn and if you don't have corn, you eat cassava, and if you don't have cassava to eat, it's paceklik." Suhaimi, 67, managed to make his pilgrimage in 1996, just before the economic crisis hit. Now, he said, it would be much too expensive. "Yes, reform has had a big impact," he said. "Before, business was a lot smoother. Now everything is expensive." His neighbor, Rusli, was an electrician in Jakarta before the economic crisis hit. Now, like millions of Indonesians, he has lost his work and returned to his home village, where he sometimes helps in the fields but mostly sits indoors. OPTIONAL TRIM "Oh, it's hard," he said, when asked how he gets by. "It's hard even to buy a pack of cigarettes." If he had to choose between a bowl of rice and a pack of cigarettes? Rusli scratched the back of his head for a long time. "I guess it would be the cigarettes," he said, "if I had the money." END OPTIONAL TRIM Though they may know little about "reformasi," the farmers are right in putting the economy at the center of their country's political upheavals. Without the anger aroused by the economic crisis, Suharto would surely have ridden out the
Agama? Ayam? Enggak bosan nih?
Ini hanya perasaan saya atau gimana ya, tapi beberapa bulan terakhir ini terasa banget suasana di Permias ini penuh tulisan-tulisan yang prejudice dan saling menjelek- jelekan agama. Apalagi terasa dari tulisan kalau sudah menyangkut PDI-P. Sekarang soal ayam yang kagak tahu datang dari mana; langsung dimasukkan juga seksi-seksi keagamaannya. Hebat, bisa-bisanya kepikir, ya... dari segi ayam yang harusnya isu kemiskinan mendadak bisa ke isu agama. Enggak salah nih tinggal di Amerika? Saya yakin pasti saya dapat banyak flame dengan ajakan saya ini yakni coba tolong masalah agama sekali-kali dipisahkan dari rasionalitas perdebatan. Kalau sudah debat agama seperti Islam VS Kristen ginian, 1000 tahun juga enggak akan selesainya. Kalau PDI jelek, ya sudah, bilang aja jelek. Tapi alasannya juga yang beres donk; misalnya kandidatnya koruptor semua, antek Cendana, dsb. JIka kita masukkan soal agama beginian, akhirnya rasional kita tak bekerja, yang bekerja hanya emosi dan akan semakin memecah kaum mahasiswa. Saya tak ingat tahun lalu semua orang demonstrasi menjatuhkan sang babeh agar sekarang kita bisa ribut soal agama Anyway, saya harap tolong diskusi yang soal agama ini direm dulu agar semuanya bisa tenang dan bisa berpikir lebih kritis. Saat habis pemilu ini memang saat paling panas dan masih untung di Indonesia belum terjadi kerusuhan besar-besaran. Satu lagi; buat Dayang Sumbi (kalau enggak salah), tolong kalau nulis pakai nama aslinya, enggak usah takut sama anak-anak Permias. Rasanya ada guidelinesnya juga soal hal ini khan di Permias untuk tak memakai nama samaran. Entar disangka ninja kesasar. Habis sama-sama nyamar. YS
PBS: Indonesia: Inching Towards Democracy? July 8, 1999
ELIZABETH FARNSWORTH: Last month, millions of Indonesians flocked to the polls for that nation's first truly open election since 1955. Election observers, including former President Jimmy Carter, commended the orderly and apparently fair manner in the vote for members of a new parliament. FORMER PRESIDENT CARTER: I don't have any indication, no evidence yet, I don't even have any allegations coming to me from any of the major party officials, that such illegalities have been perpetrated or that the ultimate outcome of the will of the Indonesian people has been subverted. CARTER: A WARNING ABOUT CREDIBILITY ELIZABETH FARNSWORTH: But Carter was among those warning that the credibility of the election process could be damaged if it took too long to count the votes, not just in big cities like the capital, Jakarta, but in the 14,000 islands that make up the Indonesian archipelago. The elections were part of a package of reforms promised last year by Indonesia's new president B.J. Habibie. He came to power after weeks of massive demonstrations that brought an end to 33 years of authoritarian rule by President Suharto. Habibie also inherited an economy shattered by the financial crisis that hit East Asia in 1997. Hundreds of thousands of Indonesians who had risen from poverty to middle class status lost jobs and found themselves falling back into lives of hunger and unemployment. Many had taken out their anger at Suharto, who was accused to enriching his family and friends with so-called "crony capitalism." Habibie's reforms for this country of 212 million people included promising a free press, allowing the formation of opposition political parties and holding democratic elections. The press has become vocal and spirited and two major political groups, as well as smaller parties, rose up to challenge the ruling Golkar party in the elections. And the 500-member parliament was supposed to combine with 200 provincial leaders in a people's consultative assembly that would choose a new president later in the year. HABIBIE: INDONESIA SHOULD EMBRACE DEMOCRACY ELIZABETH FARNSWORTH: On election day Habibie urged all parties to embrace the democratic process and respect the results of the ballot. B. J. HABIBIE, Indonesian President: In every game there's a winner and loser, and the party that wins should act with nobility and think of the responsibility it has over the next five years. ELIZABETH FARNSWORTH: But one month after the elections, only sixty percent of the votes have been tallied. Final results were due today, were once again postponed, this time until July 21. Based on the official count so far, the principal opposition party known as the Indonesian Democratic Party of Struggle is ahead with 36% of the vote. Its leader is Megawati Sukarnoputri-- the daughter of Indonesia's former president Sukarno, who lead the struggle against Dutch colonialism and who was ousted by Suharto in a bloody coup in 1965 in which thousands were killed. Habibie's party -- the Golkar Party -- is running a distant second with 20 percent of the vote. Forty-six other parties, including several Muslim groups in this overwhelmingly Muslim nation, share the remaining vote. Officials said the counting was complicated by Indonesia's sprawling geography. But opposition groups raised accusations of corruption and vote tampering, and that has led to violence. Last Thursday, fifteen hundred protesters in Jakarta hurled rocks and demanded that the ruling Golkar Party be disqualified. Police moved in, firing shots and using tear gas to control the crowd. About two dozen people were wounded. The next day heavily armed police suppressed demonstrators who tried to march on the election commission headquarters. And Indonesia is also facing violence in East Timor. THE EAST TIMOR QUESTION ELIZABETH FARNSWORTH: Habibie had promised a referendum on autonomy or independence for residents of East Timor, a former Portuguese colony that Indonesia seized in 1975. A vote was scheduled but then postponed by U.N. election monitors because of violence. Last week, there were several attacks on U.N. election officials by militias, which have also attacked pro-independence leaders. Some say the militias are armed by the Indonesian military, which still has responsibility for overall security in East Timor. At least twelve U.N. workers have been injured, and U.N. officials said the violence could derail the referendum. Yesterday the head of the U.N. mission in East Timor demanded that Indonesia rein in the militias. U.N. Secretary General Kofi Annan is expected to announce a final decision on the East Timor ballot date within the next few days. ELIZABETH FARNSWORTH: For more on all this, we turn now to Paul Wolfowitz, U.S. Ambassador to Indonesia during the Reagan Administration-- he was in Indonesia last month observing the elections for the Carter Center and the National Democratic Institute; Donald Emmerson, Professor of
Analisa: Apakah Krisis Ekonomi Asia sudah selesai?
Analisa dalam memperingati ulang tahun kedua jatuhnya nilai Thai Baht tanggal 2 Juli 1997. Tanggal 2 Juli lalu kita memperingati ulang tahun kedua dari jatuhnya nilai Thai Baht yang dianggap awal dari Asian Financial Crisis. Satu ulang tahun yang mungkin hanya sedikit yang masih ingat menilai ekonomi yang sudah ke arah perbaikan ini. Francis Fukuyama, yang menulis 'The End of History,' pada masa-masa kritis dalam 'Asian Financial Crisis' menyatakan bahwa krisis ini hanyalah sebuah 'hiccup' dalam sejarah. Ini disebabkan oleh situasi dunia yang sudah lebih terbuka dimana free market sudah berkembang meliputi seluruh dunia dan akhirnya krisis ini hanya akan berlalu dan ekonomi akan kembali 'booming.' Waktu itu pada saat saya membaca wawancara dengan dia, saya terus terang sangat skeptik dan menganggap dia terlalu optimis. Sekarang kita melihat juga bahwa 'Bull Market' terus 'bullish' dan ekonomi Asia mulai membaik. Thailand sudah mendekati 'level'-nya sebelum krisis ini terjadi dan Korea Selatan sendiri sudah mendekati level semulanya. Di Philipina, Presiden Estrada optimis tentang masa depan ekonomi dan di Taiwan sibuk menghadapi demand untuk barang-barang elektronik untuk diexport ke Amerika. Jepang menyatakan bahwa mereka sudah mencapai titik terdalam dari resersi mereka dan ekonomi mereka mulai maju kembali. Singapore melakukan deregulasi besar-besaran kepada sistem perbankannya dan menyatakan goal mereka sebagai pusat financial di Asia. Nilai Rupiah sendiri sudah berangsur-angsur menguat dan BEJ naik sekitar 120% dalam 6 bulan terakhir. Suku bunga perbankan sudah turun dan reformasi politik sudah mulai. Semua bukti ini mendukung thesis bahwa Fukuyama ternyata benar dan the 'Global Contagion' sudah berakhir dengan baik. Namun saya sendiri masih meragukan bahwa 'Asian Crisis' dan 'Global Contagion' sudah berakhir. Walau kita memang sudah melewati masa-masa terburuk dari krisis ini, tapi saya rasa masih terlalu pagi untuk menyatakan bahwa krisis ini sudah selesai, terutama untuk Indonesia sendiri. Ada banyak faktor domestik dan internasional yang menyebabkan krisis ini justru bisa muncul kembali dan berkembang lebih parah dari sebelumnya. Pertama-tama dari segi internasional, sudah hilangnya rasa optimis kaum investor kepada 'Asian Miracle.' Walau ini hanya bentuk psikologis, tapi seperti pepatah 'keledai tak mungkin jatuh ke lubang yang sama,' investor tak akan se-confident masa lalu dalam melakukan investasi. Pada masa 'Asian Miracle,' investor tak merasa terlalu kuatir dan yakin bahwa Asia memang terus berkembang, karena itu mereka juga tak menghiraukan tanda-tanda bahaya dari bidang politik dan ekonomi. Tapi 'the Crash' menghancurkan psikologis ini, dan kaum investor pasti akan langsung menarik kembali uang mereka begitu muncul tanda-tanda buruk seperti kondisi politik. Permasalahan kedua dari segi internasional muncul dalam segi demand. Ketika 'Asia Miracle' terus berlangsung, demand kepada barang-barang terus tinggi. Kehancuran ekonomi setelah 'the Crash' menghilangkan banyak demand, sehingga sekarang di dunia demand tertinggi hanya ada di Amerika dan Eropa. Melemahnya demand dari 2 region tersebut akan mengganggu kembali usaha rekonstruksi Asia. Karena itu akhir dari krisis ini terus dipengaruhi oleh bagaimana situasi ekonomi di Amerika dan Eropa. Begitu terjadi slowdown di Amerika, Asia bisa kembali ke jaman resersi. Permasalahan ketiga dari segi internasional adalah dari China yang sangat unpredictable. Walau China sampai sekarang masih mengalami pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, tapi dalam kenyataannya, mereka sudah mengalami 'slow down in demand' karena saingan dari negara-negara Asia lain yang baru recover dan memiliki nilai mata uang yang terdepresiasi dan menyebabkan harga barang mereka menjadi murah. Sedangkan China sampai sekarang berusaha untuk tidak mendevaluasi mata uang mereka. Masalahnya, slow down dalam ekonomi China menyebabkan kenaikan angka pengangguran yang sekarang saja sudah mencapai 100 juta orang. Kenaikan lagi akan menyebabkan terjadi krisis politik di China, karena itu para pemimpin partai China akan terus berusaha meningkatkan angka pertumbuhan ekonomi mereka. Namun dengan mata uang Yuan yang cukup kuat, sulit sekali mempertahankan pertumbuhan ekonomi mereka; karena itu ada kemungkinan China akan mendevaluasi mata uang mereka. Masalahnya, devaluasi China akan menyebabkan 'Chain Reaction' kepada negara-negara lain yang bisa menyebabkan negara-negara lain juga melakukan devaluasi. Di sini yang terjadi adalah Contagion II yang jauh lebih parah. Permasalahan internasional ini jika digabungkan dengan permasalahan domestik akan menjadi cocktail yang parah karena permasalahan domestik ini sangat menentukan survival dari perekonomian Asia. Dari segi domestik, hampir semua negara-negara yang terkena krisis mengalami guncangan struktural. Kondisi politik sangat tidak stabil seperti di Russia dan Indonesia. (Saya akan lebih memfokuskan tulisan ini kepada
Re: Wanita yang Naas Tempo Dulu di Eropa
M. Idris, Saya tak mengerti inti dari tulisan anda ini. Tepatnya apa tujuan yang anda inginkan dari tulisan ini. Jika anda menulis ini untuk menyatakan bahwa orang-orang Eropa adalah penindas wanita, banyak juga contoh dari bangsa-bangsa lain, baik di Afrika, Asia, bahkan di Amerika kuno sendiri waktu jaman Inca, Aztec, Toltec, dsb. Jangan lupa bahwa di negara-negara Islam pun terjadi banyak kasus penindasan kepada kaum wanita walau agama Islam sendiri TIDAK mengajarkan hal itu. Di Indonesia sendiri, apa anda sudah lupa dengan kasus R.A. Kartini yang dilarang keras sekolah? Kalau argumen anda adalah : persepsi bangsa Romawi, umumnya bangsa Eropah, terhadap wanita. Ini memungkinkan timbul berbagai pergerakan wanita di berbagai tempat di Eropah, yang intinya dan prinsipnya menuntut/mengarah pada usaha persamaan derajat dengan pria. Sebetulnya di banyak negara Eropa tersebut tak terjadi gerakan persamaan derajat sampai saat di mana kaum wanita akhirnya mulai belajar, bersekolah, dan berkembang sehingga mereka sadar atas diskriminasi itu. Kaum wanita di mana pun mengalami hal demikian, cuma perbedaannya adalah mereka yang lebih berpendidikan akhirnya sadar atas diskriminasi tersebut dan akhirnya menuntut persamaan hak. Kita lihat juga R.A . Kartini, Dewi Sartika, dll. dengan pendidikan yang 'seadanya' tapi sudah cukup untuk dia untuk bisa menulis surat, bertukar pikiran, dan kita lihat peran mereka dalam perjuangan untuk persamaan hak. Karena itu saya terus terang tak mengerti inti dari tulisan anda, dan kalaupun argumen anda adalah seperti yang saya tulis di atas, saya rasa tulisan ini sudah cukup untuk menjatuhkannya. YS Man make mistakes as long as they strive. God in "Faust" by Goethe
Delays Mount in Indonesia Vote Count
1. Delays Mount in Indonesia Vote Count 2. Astra Deal Is Sign of Revival in Indonesia June 27, 1999 Delays Mount in Indonesia Vote Count By SETH MYDANS JAKARTA, Indonesia -- When former President Jimmy Carter came to observe Indonesia's general election nearly three weeks ago, he called it "the most complex electoral system" he had ever seen. And that was only the start of it. Since Election Day on June 7, the counting of the 112 million votes has slowed to a near halt, bogged down in a morass of apparently unforeseen difficulties. A new, much extended deadline of July 8 for the final result is described by some experts as desperately over optimistic. Remarkably, voters have not exploded in frustration. Thorough news coverage, generally restrained political parties and a daily avalanche of partial results seem to have helped keep the balance. "People still see the process, despite its flaws, as essentially honest," a Western diplomat said. And anyway, said Smita Notosusanto, who heads an electoral monitoring group called Unfrel, "People already know what the result is going to be. PDI is the winner and Golkar is the runner-up." She was referring to the projected results for the Indonesian Democratic Party for Struggle, headed by Megawati Sukarnoputri, and the incumbent party of President B.J. Habibie. Press coverage has also made it clear to the voters that these electoral results --in the complex system to which Carter referred -- are just the first of several steps in choosing a new president later this year. Voters cast ballots for just 462 seats in a partly appointed 700-member electoral assembly where power will ultimately be determined by a combination of coalition-building and bare-knuckle politics. Having cast their ballots, Indonesians are now simply spectators as the vote is counted and as the process then moves through its complex stages -- the convening of regional parliaments, then the national Parliament, then the electoral assembly and finally the all-important choice of president. But although Carter and others could see these complications coming, few people imagined the tangle that the vote tabulators have gotten themselves into. Some officials had confidently predicted that a semiofficial "quick count," which has so far tallied fewer than 80 percent of the votes, would be completed within 24 hours. An "official count" based on returns from the 27 provinces formed by Indonesia's 13,000 islands had been delayed until this week, and then delayed again by political infighting. The explanations for the delays would seem to test credibility, but both foreign and Indonesian electoral analysts generally accept them. Broadly, officials say, Indonesia has not had a free election since 1955, and the new process is hobbled by inexperience, incompetence and a flurry of mostly minor protests. There are a host of other problems: Vote tabulators who feel they have not been paid enough refuse to forward their results. New computers are used to send results by e-mail but the files cannot be read by the system used in Jakarta. A herd of elephants terrorizes a convoy of ox carts delivering ballot boxes in Lampung province, forcing it to spend a night in the jungle. Sticklers are also causing problems, election officials and outside analysts said. "One problem is the fastidiousness of election authorities, who do not want the parties to come back and complain," a foreign election expert said, "and so they dot every 'i' and cross every 't."' In one example, there seems to be an overly rigid observance of a requirement that all poll watchers from the 48 contesting parties sign off on local results. In many cases, the delays have meant that these people are no longer available. In others, members of small parties that were shut out in the vote are refusing to endorse it. "Quite a number of small parties feel very, very disillusioned as a result of the outcome," said the election expert, who like all foreigners monitoring this sensitive election spoke on condition of anonymity. In addition, a foreign expert said, election authorities appear confused and slow in responding to thousands of protests, generally involving allegations of local vote-buying and intimidation rather than any systematic campaign to steal the election. "Probably what is happening is that the count is being put on hold pending those decisions," this expert said. "And consequently you see things now in a state of suspended animation." But the real power blocs, the half-dozen leading parties, have been busy. Already, the next stage of the electoral process is in full swing, with secret meetings and enigmatic public statements. "Behind the scenes, the ritual mating dance is under way as the bigger parties work on putting together some kind of understanding," the Western diplomat said. Once the final count is in, hard-nosed coalition-building can take place. June 26, 1999 Astra Deal Is Sign of Revival in
Rise of Indonesian NGO
June 28, 1999 Activists Thrust Agendas Into Post-Suharto Void By SETH MYDANS JAKARTA, Indonesia -- It was not a threat, said Wardah Hafidz, one of Indonesia's toughest social activists; it was a simple statement of the country's new balance of power. "You can meet with 40 of us in your office," she told officials of a government agency she was publicly accusing of misuse of funds, "or you can have 4,000 of us in the street outside." The agency, known as Bappenas, the national planning agency, chose the private meeting. Also under pressure from Ms. Wardah, the World Bank delayed a disbursement of welfare funds through Bappenas, saying, "The level of leakage this year has been too much." Ms. Wardah, a slight and surprisingly shy-looking woman in her 40s, said, "This is the first time Bappenas has been challenged by the people to be publicly accountable. Before, they were way up in the clouds. Corruption, bad planning -- whatever they wanted to do, they just did it. Under Suharto, it was a completely top-down system." For better or worse, life was a lot simpler before President Suharto was forced to resign a year ago by a surge of public anger, after having just about everything his own way for 32 years. Now it is not quite clear in which direction power flows. Government ministers, fearing an angry reaction, quickly shuffle backward, smiling and gesturing defensively, when people like Ms. Wardah advance on them. Ms. Wardah leads an independent group called the Urban Poor Consortium, one of hundreds of nongovernmental organizations, called NGOs for short, that have suddenly begun flexing their muscles now that the dictator is gone. They are pushing agendas that include human rights, environmental protection, workers' protection, legal aid and political freedoms as well as rights for the poor. They are one building block of a new civil society that also includes a noisy, take-no-prisoners free press; an always unsatisfied, always demanding student movement, and a suddenly liberated array of political parties that may not have clear programs but are in no doubt that they want a share of the political spoils. All these groups are part of a transformation of Indonesia that is not quite a revolution. It is a banging, jostling realignment of the traffic patterns of power, like a fairground arena of bumper cars. For lack of a better word, this process is known as "reformasi," or reform. For the moment its chief characteristic is that the people above now have to listen to what the people below are saying. "It's a complete change in terms of political participation and political awareness," Ms. Wardah said. "That means that for us, for all the NGOs, it is a crucial moment to develop and become stronger." In one of the most remarkable displays of this shifting power, another group, Indonesian Corruption Watch, forced the suspension this month of Attorney General Andi Ghalib by publicizing information that indicated he was involved in large-scale corruption. Ghalib was forced to step aside when it was revealed that businessmen he was investigating on corruption charges had made huge donations to the Indonesian Wrestling Foundation, of which he is honorary chairman. "It's wonderful to see, isn't it, how these freedoms are actually working," a Western diplomat said. Even the men with guns -- the police officers and the army -- have become cautious in the face of this newly empowered public. "Now the police say, 'OK, you're having a rally. We'll be there but we won't harass people,"' Ms. Wardah said. "During Suharto's time, mass numbers of people were one thing they were always afraid of and they never allowed," she said. "Now the masses of people are in the open and those above are nervous about it. They have no choice. They have to listen." But the power struggle is not yet over. What Indonesians call the forces of status quo are still fighting back against the forces of reform. And it is possible that once a new government emerges from the election that was held this month, new pressures will be brought against independent groups like Ms. Wardah's. "They are on the defensive," she said of the powers that be. "Unfortunately, although they are on the defensive they are very strong." They tried their old tactics against her recently, hauling her into a police station when she helped organize a demonstration by workers who had lost their jobs at a biscuit factory. "They said, 'OK, let's start the interrogation,' and I said, 'No. Not without my lawyer,' and they said, 'OK,"' Ms. Wardah recalled. "In Suharto's time they would torture you and force you to agree with their version." Soon the police station was crowded with about 20 lawyers, she said, and after only one night in custody, she was released without charges. Suharto allowed the formation of nongovernmental interest groups like hers, but he kept them under tight control -- "quarantined in seminars, workshops and hotel meeting rooms," as Ms.
Menyongsong Indonesia baru
Selamat pagi. Saya mengucapkan selamat pagi karena tak peduli apakah sekarang malam di Jakarta atau di Berlin atau di Tokyo atau di Timbuktu; tapi ucapan selamat pagi itu adalah untuk menyongsong merekahnya fajar baru di bumi Indonesia yang harusnya dipenuhi aroma reformasi. Sampai sekarang kita selalu mendengar tentang keributan antar partai dan sayangnya juga antar ras, agama, golongan, dan suku. Walau suasana SARA ini terus terasa (akibat hangover dari malam), tapi setidaknya kita merasa bahwa angin reformasi memang bertiup. DI masa awal reformasi ini, orang-orang bisa mengeluarkan ide dan kritik kepada pemerintah melalui internet dan media massa. Kapan sebelum kejatuhan ex-prez Suharto seseorang bisa mengeritik dengan santai pejabat tinggi pemerintah seperti Ghalib tanpa ancaman bui? Kalau sekarang saya membaca surat kabar, terus terang yang saya lihat adalah justru presiden kita sendiri yang merupakan pendukung reformasi terbesar. Kapan presiden kita sebelum yang sekarang berkata di muka umum bahwa 'orang-orang bilang muka (Prez. Habibie) seperti monyet?' Tapi yang sangat disayangkan dari alam baru ini adalah kebebasan berbicara yang tidak terarah. Sampai sekarang yang selalu kita dengar dari surat kabar, milis, etc adalah tentang keributan antar partai, satu partai menjelek-jelekkan partai lain, atau orang lain. Yang terburuk adalah perdebatan yang didasarkan suku, ras dan golongan. Sama sekali tidak terdengar suara 'apa yang akan kita lakukan BERSAMA setelah pemilu?' Jika para partai mencoba melihat kesamping dari arah gumpalan debu percekcokan antar partai, kita melihat bahwa keadaan Indonesia sungguh menyedihkan. Kelaparan dan pengangguran di banyak tempat dan angin separatisme berhembus di 4 propinsi atau mungkin bisa lebih. Apakah semua partai mau melakukan hal yang sama, yakni 'fiddle' selagi seluruh negara terbakar? Sampai sekarang semua partai yang saya lihat lebih memfokuskan untuk mendapatkan suara sebanyak-banyaknya dengan cara menjelek-jelekkan partai lain atau menggunakan kartu SARA. Jarang sekali terdengar suara yang menginginkan terbentuk pemerintahan koalisi atau tunggal yang bertanggung jawab. Tak terdengar usaha untuk mengembalikan Indonesia ke posisi 'Asian Miracle.' Tak terdengar suara untuk rekonsiliasi antar SARA. Atau apakah usaha ini dibatalkan karena pembangunan dan SARA dianggap produk orde baru? Era reformasi memang baru merekah, tapi apakah kita sudah mau mengotorkan fajar dengan polusi keributan SARA dan partai? Lebih banyak pertanyaan penting yang perlu dijawab. Misalnya hasil study di 'BusinessWeek' menunjukkan bahwa Indonesia di posisi nomor 2 dalam hal negara terkorup di dunia. So what? Data menunjukkan bahwa Thailand dan Korea sudah hampir kembali ke posisi sebelum Asian Crisis. So what? Data menunjukkan bahwa China daratan mencoba mereformasi diri dan meninggikan economic growth rate-nya untuk menghindari krisis politik. Dari sedikit contoh yang saya berikan, terlihat bahwa negara-negara lain lebih memfokuskan ke stabilitas politik untuk memajukan kesejahteraan masyarakat. Karena itu kita lebih perlu memfokuskan diri untuk memikirkan apa yang perlu dilakukan dalam era baru ini. Ini tantangan yang jauh lebih besar bagi para partai daripada menghitung suara hasil pemilu: yakni apakah yang perlu dilakukan nanti? Bagaimana menyusun pemerintahan yang bersih dan berwibawa? Bagaimana menjadi oposisi yang baik dan bertanggung jawab? Bagaimana preserve reformasi ini dan usaha apa yang perlu dilakukan untuk mengembalikan Indonesia ke kedudukan yang seharusnya di dunia. Yohanes Sulaiman We alone with no excuses. That is the idea... that man is condemned to be free. Condemned, because he did not create himself yet in other respects is free ... because he is responsible for everythng he does. The existentialist does not believe in the power of passion. He will never agree that a sweeping passion is a ravaging torrent which fatally leads a man to certain acts and is therefore an excuse. He thinks that man is responsible for his passion. "Existentialism" by Jean Paul Sarte
Indonesia Leader Won't Claim Victory
Table of contents 1. Indonesia Leader Won't Claim Victory 2. Indonesia Changed, but Who Deserves the Credit? --- 1. June 13, 1999 Indonesia Leader Won't Claim Victory Filed at 1:51 p.m. EDT By The Associated Press JAKARTA, Indonesia (AP) -- Opposition leader Megawati Sukarnoputri, the popular favorite to be the next president, has dropped from sight as her party leads the vote count from Indonesia's historic parliamentary elections a week ago. Rival parties, including the long-ruling Golkar Party, have conceded defeat, but Megawati has declined to claim victory for her Indonesian Democratic Party for Struggle. Even with the most votes, the party isn't expected to win a majority of seats in Parliament, and it and Golkar are competing to put together a governing coalition with smaller parties. Aides for Megawati, the notoriously media-shy daughter of Indonesia's late founding President Sukarno, said Sunday she had left Jakarta and had no immediate plans to make a statement. ``We have confidence that we'll win. But we will not declare victory until 70 percent of the votes are counted,'' said Dimyati Hartono, the party's deputy chairman and a law professor at the University of Indonesia. Vote counting continued at a snail's pace Sunday due to complex procedures and poor organization. About 45.8 million votes had been counted, not quite 41 percent of an estimated 113 million votes cast June 7. Authorities said at least 1 million Indonesians would return to the polls over the next week because of election rule violations in some districts. Despite allegations of some irregularities, international observers say the election was the most open and democratic ballot held in Indonesia in 44 years. Megawati's party held 36 percent of the unofficial tally, followed by Golkar at 20 percent. Whether Megawati or Golkar succeeds in forming a governing coalition will be a crucial factor in a complicated process to select a head of state by year's end. Newly elected legislators will join 38 lawmakers appointed by the powerful military and 200 government appointees in a special assembly that is to choose a president in November. Opinion polls, a new and untested practice in Indonesia, make the 52-year-old Megawati the popular frontrunner in the competition to select a president for a five-year term. Golkar, which propped up the 32-year authoritarian rule of former President Suharto, is backing his handpicked successor, President B.J. Habibie. Habibie's popular support has been dogged by his close links to Suharto, who was forced to quit amid riots and protests in May 1998. Despite her party's lead in the vote count, Megawati's presidential candidacy is far from a sure thing. More than 90 percent of Indonesia's 210 million people are Muslim and some conservative Islamic clerics have publicly opposed Megawati's bid for the presidency on the grounds of gender. Alwi Shibab, deputy leader of the National Awakening Party, which is a crucial ally of Megawati's party, warned that some of its members might refuse to support a woman for the top job, the Indonesian Observer reported Saturday. - 2. June 13, 1999 Indonesia Changed, but Who Deserves the Credit? By SETH MYDANS JAKARTA, Indonesia -- "People say I look like a monkey," the president of Indonesia, B.J. Habibie, told an audience of schoolteachers not long ago. "But I don't care." It was a strange moment of lese-majeste, described with a bemused shake of the head by Habibie's minister of education, Juwono Sudarsono. But this man, at once utterly un-self-conscious, effervescent, impulsive, scatterbrained, hyperactive and charming, is one of the most puzzling ever to rise to the forefront of public life in Indonesia, and one of the least understood. This is the man who in the short space of one year overturned much of the repressive legacy of his predecessor and mentor, Suharto, and brought Indonesia galloping toward free elections and a new era of democracy. Or is he? Is Habibie responsible for freeing the press, bringing new respect for human rights and allowing dozens of political parties to compete on a newly open electoral playing field? Or was he simply running scared, a weak leader helpless before a tidal wave of reform that swept all the country's politicians along with it? Last Monday's parliamentary election was the capstone on a year of far-reaching transition that followed Suharto's forced resignation in May 1998. Already, people here seem to be taking their new freedoms for granted. The outcome of Monday's vote is still unclear, with vote counting painfully slow. Whatever the result, Habibie is very likely to remain one of the leading candidates for president in an electoral assembly that will meet later this year, although few people, even in his own party, are touting him as a great reformer. Most Indonesians seem rather to think that reform belongs to them, not to Habibie -- that it is a huge national movement
Re: RE : Anthony Robbins, siapa ?
http://www.tony-robbins.com/ http://www.guaranteedsuccess.com/ At 12:15 AM 6/10/99 +0700, you wrote: Udah tuch...tapi kagak ketemu, mungkin Yahoo gue made in Sumedang, jadi yang ketangkep si Kabayang mulu... Aniwei thanks atas ketidaktahuannya... Jangan minder, nggak apa-apa kok toh banyak yang nggak tau...
Re: Percakapan dengan Toer
FYI: waktu saya bertemu dia, saya tak melihat tanda orang yang hanya pakai dengkul untuk berbicara. Ditambah lagi, seingat saya dulu dia adalah dosen sejarah pada tahun 1950-an. Selain itu, saya rasa dia tak pernah masuk PKI. Taon kuda dimana chinese dipaksa bikin benteng Batavia karena ndak ada orang laen nyang bisa disuruh. Semua pada nglawan. Kalo gitu ngapain bikin benteng? Bukankah kalau semua pada ngelawan mending bikin benteng biar kuat pertahanannya? Tapi saya rasa ini bukan inti dari tulisan dia. Tapi hanya satu penjelasan: 'Pada tahun 1912, SI di Solo ribut melawan orang Chinese. Menurut Toer, keributan itu adalah SI dimanfaatkan Belanda untuk menekan Chinese karena Belanda takut SI terlalu radikal dan menjadi anti Belanda' Di sini yang dia tekankan itu adalah siasat adu domba yang digunakan Belanda untuk semakin memecah Indonesia; bukan bahwa Belanda mengontrol SI. Saya ragu kalau tokoh-tokoh SI bisa dikontrol Belanda dan saya rasa dia juga percaya bahwa SI bukan antek Belanda. Tapi sejarah banyak membuktikan bahwa di Indonesia sering sekali satu kelompok yang independen dimanfaatkan untuk menekan kelompok lain atau juga dipecah dan diadu dombakan tanpa kelompok-kelompok itu sadari. Buktinya? Coba saja lihat pemilu ini dan dari partai-partai di Indonesia. Anyway, senang sekali saya mendapat tanggapan dari anda. Cya. YS Hehedasar PAT itu bagusnya bikin novel doang. Kalo nyang lain dengkulnya nyang dipake untuk bicara. Taon kuda dimana chinese dipaksa bikin benteng Batavia karena ndak ada orang laen nyang bisa disuruh. Semua pada nglawan. Kalo gitu ngapain bikin benteng? Taon 1740 memang Walanda ndak bisa ngontrol lagi komunitas chinese nyang mereka bentuk jadi pedagang. Mangkane terjadi pemberontakan cina. Ndak ada hubungane dengan dikerjai. Nyang dikerjai paling parah jelas orang pribumi nyang menjadi warga kelas tiga sesudah orang bule dan orang arab dan chinese. Dasar PAT cuman punya dengkul doang. PAT bikin komentar dogol lagi dengan menyatakan Belanda memanfaatkan SI. Syarikat Islam (SI) adalah salah satu bentuk pertama usaha perlawanan thd Belanda, sekarang PAT bilang Belanda bisa ngontrol SI lagidasar dengkul komunis. Di buku pertama dari Trilogi-nya si dengkul ini memberi kesan jelek pada peranan Dokter Sutomo karena dia dokter dan dari keluarga bangsawan. Sekarang mau njelek-njelekin Syarikat Islam lagi. Hehe...ane lupa kalo dia komunis, jadi jelas nyang diarah sudah tentu nyang berlawanan dengan golongan proletar, dan ngarah kaum beragama. Kayaknya perlu dibentuk death squad. Ini sudah mulai ngarah kayak Salman Rusdi... Pendukungnye ya pendukung Salman Rusdi. -- Salam, Jaya History often repeats twice, the first time occurs as a tragedy, the second time a farce. Karl Marx The third time is a comedy Unknown
Re: Percakapan dengan Toer
Ya betul, justru itu. Memang intinya PAT adalah mau menunjukkan bahwa chinese sudah dibuat menderita sejak tahun 1600an. Hanya saja kita perlu lihat juga situasinya. Wah, anda tak melihat keseluruhan percakapan ini. Inti dari PAT itu bukan bahwa kaum Chinese menderita dsb. Namun, dia saya rasa menekankan bahwa kemalasan kita mempelajari dan mengetahui sejarah membuat lingkaran setan yang sudah ditanamkan sejak jaman Belanda dulu tidak lenyap. Malahan kita terus kembali dalam konflik-konflik antar sesama bangsa Indonesia sendiri. Sebetulnya semuanya sejak dulu senasib dan dikerjai oleh Belanda. Tapi pola 'divide et impera' Belanda sampai sekarang tak bisa dihilangkan bahkan terus disebar oleh pemerintahan Orde Baru. Seperti contoh yang saya sertakan, Aceh sendiri yang sekarang terkenal dengan 'separatisme'-nya itu sebetulnya tahun 1945 dengan senang hati bergabung dengan Indonesia-Sukarno. Tapi kenapa sekarang bisa seperti ini? Akibat politik orde Baru yang memecah belah Indonesia. Karena itu menurut dia, tugas kita sebagai generasi baru juga selain melakukan reformasi juga mempelajari sejarah agar pengalaman yang dulu tak terulang kembali. Bung YS jangan salah mengira bahwa saya berusaha mengecilkan arti penderitaan deleted sebagai petani dan kuli. Inilah proses pembodohan thd inlander agar mudah dikuasai. Oh tidak. Tapi ini juga artinya bahwa kita perlu mempelajari sejarah agar tak lagi bisa dibodohi. Kalau mengenai unsur politisme dalam dia, saya tak memperhatikannya waktu saya bertemu dia di San Francisco. Saya tak melihat dia mengkampanyekan partai PRD baik secara terselubung. Semuanya kebanyakan tentang promosi bukunya yang baru dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang intinya sudah saya tulis. Kalau tentang promosi partai PRD, justru kalau saya lihat, teman saya di Madison itu yang menanyakan kepada dia tentang apa yang perlu dia lakukan untuk contribute dalam reformasi ini. Jadi tak ada 'voluntary' suggestion saya rasa. Yang dia fokuskan itu tiap kali tentang kejelekan Orde Baru dan dia menantang kaum intel untuk mencatat semua yang dia katakan. (BTW: saya bukan intel :-) ) Jadi itu saja intinya agar mencegah kesalahpahaman lebih lanjut. Mengenai tulisan anda tentang orang Chinese yang tak mau berbaur, saya rasa ada banyak perdebatan tentang hal ini di Permias ini beberapa bulan lalu dan saya tak mau mengulanginya dan memperpanas suasana di sini. Apalagi sudah menjelang pemilu di mana kita justru perlu mendinginkan kepala. Lagian saya sampai sekarang terus berpendapat bahwa meributkan ini sama dengan meributkan duluan ayam atau telur. Bung YS, tanpa bermaksud ngeyel, tetap terasa ada kejanggalan. Bila memang deleted Jadi alih-alih mendukung SI, apakah tidak lebih aman bagi Belanda untuk mem- pergunakan chinese yang sudah berabad-abad diberi privilledge sebagai pedagang untuk menekan SDI (Syarikat Dagang Islam, cikal SI) secara ekonomi? Skenario lain adalah Belanda tidak campur tangan. SI dan chinese berantem rebutan hegemoni ekonomi di wilayah Solo. Jangan lupa bahwa Belanda sendiri memiliki beberapa industri yang ingin dikembangkan. Salah satunya mungkin industri batik dan kretek juga (terutama di Kudus). Saya tak ingat 100% tentang yang ini, karena itu saya tak berani memasukkannya dalam tulisan saya yang itu. Tapi berhubung anda tanya soal ini. Tapi secara logika juga, tak ada jaminan bahwa perang SI dan Chinese itu akan membuat SI kuat dan Chinese lemah. Bisa juga yang terjadi justru SI menjadi lemah dan Chinese menjadi lemah dan keduanya saling curiga. Kalau Chinese didukung dan jadi kuat, siapa tahu bisa berbalik dan menekan Belanda secara ekonomis. Sejak dulu juga kita sudah melihat taktik Belanda itu membuat semua daerah menjadi lemah agar bisa dikuasai. Kalau yang satu bertambah kuat, justru Belanda bingung. Ingat kasus Amangkurat III dari Mataram dimana akhirnya oleh Belanda dipecah jadi kraton Solo dan Jogja. (Tolong kalau salah dibetulkan). Kedua kraton ini independent, tapi tak ada yang super kuat dan mengganggu kedaulatan Belanda. Itu intinya kalau menurut saya. Tapi pendapat anda juga valid dan sulit dibantah. Anyway, senang berdiskusi dengan anda. YS -- Great leaders must have head, heart, and guts. That is, smarts, compassion, and courage. Without these, he cannot be truly great - maybe great, but not good as well. Richard Nixon