[ppiindia] Hati Seorang Ayah
Hati Seorang Ayah By: agussyafii Seorang ayah memiliki hati yang penuh kasih untuk anak-anaknya. Hati seorang ayah akan tahan menderita bila sakit untuk dirinya sendiri, namun tidak akan tahan disaat melihat buah hatinya yang menderita. Bahkan jika sakit itu bisa digantikannya, ayah bersedia menggantikan sakit anaknya. Itulah hati seorang ayah. Saya mengenal seorang teman yang juga seorang ayah. Saya biasa memanggilnya Mas Jay. Kami biasa berdiskusi lewat milis dan malam itu Mas Jay berkunjung ke Rumah Amalia. Mas Jay bertutur mulanya dirinya orang yang ‘mbeling’ tidak memiliki keyakinan yang mantap dan tetap. Ketertarikan belajar sholat secara serius ketika ajakan yang begitu menyentuh dari anaknya yang masih TK. Anak yang masih relatif kecil setiap hari selalu mengajaknya untuk mengerjakan sholat. Awalnya dirinya menanggapi hal itu sebagai biasa saja. Ajakannya itu terasa betul-betul menampar hatinya. Begitu sangat berharga dan membuatnya menangis meraung-raung justru ketika anaknya sedang sakit masih sempat mengajaknya sholat Isya’. Katanya, ditengah malam anak saya suhu badannya panas tinggi dan perutnya mengeras. Anaknya menangis tak henti-hentinya merengek mengajak saya sholat. Tanpa berpikir panjang saya memenuhi permintaannya untuk mengambil air wudhu. Setelah mengerjakan sholat, kami bergegas menuju Rumah Sakit. Setelah diperiksa ternyata putranya harus dioperasi. Karuan saja dirinya menjadi panik. Bagaimana mungkin anaknya yang masih kecil itu dengan kekuatan fisiknya yang masih lemah untuk menghadapi operasi. ‘Saya hanya bisa berserah diri kepada Alloh SWT, saya berjanji jika anak saya sembuh. Saya akan rajin melaksanakan sholat seperti yang dimintanya.’ Tuturnya. Katanya Mas Jay sebelum anak saya masuk ruang operasi masih sempat bertanya pada dirinya, ‘ayah sudah sholat belum.’ Kata-kata itu begitu mengiris-iris hati saya. Dulu bila mendengar ajakan teman-temannya untuk sholat selalu menolaknya karena keengganan untuk melaksanakan sholat. Sekarang kata-kata itu justru muncul dari anak yang disayanginya, bagaimana mungkin dirinya bisa menolaknya, lanjutnya. Mas Jay tak bisa menyembunyikan airmatanya yang terus bercucuran. ‘Saya menunggu putranya didepan kamar operasi’ tuturnya. Ketika lampu operasi menyala. Dirinya bersama istri tercinta tidak bisa menyembunyikan kegelisahannya, hilir mudik didepan kamar operasi. Waktu seolah berjalan lama sekali. ‘Segala macam doa yang saya tahu saya panjatkan kehadirat Alloh SWT.’ Setelah begitu lama, kamar operasi itu terbuka. Seorang dokter muncul dari pintu. Mencopot sarung tangannya. ‘Operasinya berjalan dengan baik, anak bapak sekarang perlu istirahat setelah itu boleh pulang.’ Mas Jay menangis bahagia. ‘Alangkah nikmatnya anugerah Alloh SWT yang diberikan kepada saya disaat harapan mulai memudar, Alloh SWT menyelamatkan putra saya,’ tuturnya. ‘Dan sejak itu saya lebih giat untuk melaksanakan sholat karena saya harus memenuhi janji saya,’ kata Mas Jay malam itu. Saya bisa merasakan apa yang terjadi pada dirinya. Begitulah hati seorang ayah yang penuh kasih untuk sang buah hatinya. Wassalam, agussyafii --- Tulisan ini dalam rangka kampanye program 'Peduli Kasih Amalia (PKA)'. Mari kirimkan dukungan anda pada program 'Peduli Kasih Amalia (PKA)' melalui http://agussyafii.blogspot.com, http://id-id.facebook.com/people/Agus-Syafii-Muhamad/861635703 atau sms 087 8777 12431 [Non-text portions of this message have been removed]
[ppiindia] Berteduh
Berteduh By: agussyafii Setiap kali hujan turun, semua orang juga termasuk anak-anak disibukkan untuk berteduh. Bahkan seorang ibu sempat mengatakan, ‘heran deh sama anak-anak sekarang, sama ibunya berani giliran sama air hujan pada takut.’ Sebenarnya takut sama air hujan bukan hanya terjadi sama anak-anak sekarang namun juga sudah terjadi sejak dulu. Air hujan selalu saja ditakuti bukan hanya sama anak-anak namun juga orang dewasa sebab air hujan bisa menyebabkan orang menjadi sakit batuk dan pilek. Air hujan juga diidentikkan dengan duka cita. Seringkali kita juga teramat takut mencari tempat berteduh bila bertemu dengan duka cita. duka cita seringkali dianggap sebagai hukuman, azab, dosa dan juga kesalahan. Begitu tubuh mulai terasa sakit, salah satu keluarga yang kita cintai meninggal dunia, perceraian terjadi, organisasi dibubarkan, perusahaan bangkrut, masa depan seolah menakutkan, duka cita terlihat menyeramkan. Kadangkala bila kita jernih melihat duka cita bukanlah sesuatu yang menyeramkan, juga bukan kesalahan ataupun azab yang datangnya dari Alloh SWT melainkan cahaya yang mengantarkan kita kepada keindahaan. Jika hidup kita hanya dipenuhi dengan suka cita dan kebahagiaan seringkali kita menjadi lupa diri. Namun berpisah dengan kesenangan memeluk penderitaan pertanda cahaya menuntun perjalanan hidup kita menuju tempat yang indah. Kanjeng Nabi menganjurkan kepada kita agar kita tidak menghindari penderitaan, malah mengajarkan kepada kita agar menyelami semua yang berbentuk duka cita sebab ada keindahan dibalik duka cita. Keindahan yang muncul melekat pada diri kita dengan sifat cinta kasih pada sesama. Makian sudah bukan lagi sebagai sesuatu yang menyakitkan tetapi mempersubur cinta kasih kepada yang memakinya. Siapapun orang yang pernah menyelami samudra duka cita atau samudra penderitaan hal itu pertanda bahwa dirinya sudah dibebankan tugas suci pada dirinya. Tugas suci itu adalah menyebarkan salam dan cinta kasih untuk sesama. Sebagaimana sabda Nabi Muhamad SAW, ‘’Afsyus salaama bainakum tahaabbuu’ ‘Tebarkanlah salam diantara kalian niscaya kalian saling menyayangi. (HR. Hakim). Sungguh indah hidup ini jika didalam hati kita penuh cinta kasih. Menerima suka cita dengan gembira, menerima duka cita juga dengan gembira. Semoga semua makhluk dimuka bumi berbahagia selalu! Wassalam, agussyafii --- Tulisan ini dalam rangka kampanye program 'Peduli Kasih Amalia (PKA)'. Mari kirimkan dukungan anda pada program 'Peduli Kasih Amalia (PKA)' melalui http://agussyafii.blogspot.com, http://id-id.facebook.com/people/Agus-Syafii-Muhamad/861635703 atau sms 087 8777 12431 [Non-text portions of this message have been removed]
[ppiindia] Kenapa SBY belum mengucapkan selamat pada Presiden Iran Ahmadinejad?
Kenapa Indonesia belum memberi ucapan selamat kepada Ahmadinejad, yang terpilih lagi dalam pemilihan Presiden Iran? Kabarnya Jusuf Kalla sudah memberi ucapan selamat, tetapi dalam kapasitas pribadi. Karena, untuk mewakili Indonesia, harus SBY selaku Presiden RI. Kalah cepat lagi nih! == The Iranian People Speak By Ken Ballen and Patrick Doherty Monday, June 15, 2009 The election results in Iran may reflect the will of the Iranian people. Many experts are claiming that the margin of victory of incumbent President Mahmoud Ahmadinejad was the result of fraud or manipulation, but our nationwide public opinion survey of Iranians three weeks before the vote showed Ahmadinejad leading by a more than 2 to 1 margin -- greater than his actual apparent margin of victory in Friday's election. While Western news reports from Tehran in the days leading up to the voting portrayed an Iranian public enthusiastic about Ahmadinejad' s principal opponent, Mir Hossein Mousavi, our scientific sampling from across all 30 of Iran's provinces showed Ahmadinejad well ahead. Independent and uncensored nationwide surveys of Iran are rare. Typically, preelection polls there are either conducted or monitored by the government and are notoriously untrustworthy. By contrast, the poll undertaken by our nonprofit organizations from May 11 to May 20 was the third in a series over the past two years. Conducted by telephone from a neighboring country, field work was carried out in Farsi by a polling company whose work in the region for ABC News and the BBC has received an Emmy award. Our polling was funded by the Rockefeller Brothers Fund. The breadth of Ahmadinejad' s support was apparent in our preelection survey. During the campaign, for instance, Mousavi emphasized his identity as an Azeri, the second-largest ethnic group in Iran after Persians, to woo Azeri voters. Our survey indicated, though, that Azeris favored Ahmadinejad by 2 to 1 over Mousavi. Much commentary has portrayed Iranian youth and the Internet as harbingers of change in this election. But our poll found that only a third of Iranians even have access to the Internet, while 18-to-24-year- olds comprised the strongest voting bloc for Ahmadinejad of all age groups. The only demographic groups in which our survey found Mousavi leading or competitive with Ahmadinejad were university students and graduates, and the highest-income Iranians. When our poll was taken, almost a third of Iranians were also still undecided. Yet the baseline distributions we found then mirror the results reported by the Iranian authorities, indicating the possibility that the vote is not the product of widespread fraud. Some might argue that the professed support for Ahmadinejad we found simply reflected fearful respondents' reluctance to provide honest answers to pollsters. Yet the integrity of our results is confirmed by the politically risky responses Iranians were willing to give to a host of questions. For instance, nearly four in five Iranians -- including most Ahmadinejad supporters -- said they wanted to change the political system to give them the right to elect Iran's supreme leader, who is not currently subject to popular vote. Similarly, Iranians chose free elections and a free press as their most important priorities for their government, virtually tied with improving the national economy. These were hardly politically correct responses to voice publicly in a largely authoritarian society. Indeed, and consistently among all three of our surveys over the past two years, more than 70 percent of Iranians also expressed support for providing full access to weapons inspectors and a guarantee that Iran will not develop or possess nuclear weapons, in return for outside aid and investment. And 77 percent of Iranians favored normal relations and trade with the United States, another result consistent with our previous findings. Iranians view their support for a more democratic system, with normal relations with the United States, as consonant with their support for Ahmadinejad. They do not want him to continue his hard-line policies. Rather, Iranians apparently see Ahmadinejad as their toughest negotiator, the person best positioned to bring home a favorable deal -- rather like a Persian Nixon going to China. Allegations of fraud and electoral manipulation will serve to further isolate Iran and are likely to increase its belligerence and intransigence against the outside world. Before other countries, including the United States, jump to the conclusion that the Iranian presidential elections were fraudulent, with the grave consequences such charges could bring, they should consider all independent information. The fact may simply be that the reelection of President Ahmadinejad is what the Iranian people wanted. [Non-text portions of this message
[ppiindia] Depag dan DPR Tetapkan Kenaikkan BPIH 2009 Rp 4 Juta
http://jawapos.com/index.php?act=cetakid=28 [ Selasa, 16 Juni 2009 ] Depag dan DPR Tetapkan Kenaikkan BPIH 2009 Rp 4 Juta JAKARTA - Rapat kerja pembahasan biaya penyelenggaraan ibadah haji (BPIH) 2009 tuntas sudah. Tadi malam, Departemen Agama (Depag) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menetapkan angka riil BPIH 2009. BPIH sebelas embarkasi di Indonesia rata-rata mengalami kenaikan USD 38 dan penurunan Rp 401 ribu. Rata-rata BPIH tahun ini adalah USD 3.426 plus Rp 100 ribu, sedangkan tahun lalu USD 3.388 plus Rp 501 ribu. ''Namun, karena kurs rupiah yang digunakan berbeda dengan tahun lalu, maka rata-rata BPIH cenderung naik,'' ujar Menteri Agama Muhammad Maftuh Basyuni ketika memberikan keterangan di depan anggota Komisi VIII DPR tadi malam. Jika tahun lalu pemerintah menetapkan kurs Rp 9.500, tahun ini BPIH menggunakan kurs Rp 10.500. Artinya, walaupun dalam dolar BPIH tidak naik secara signifikan, ketika di-kurs-kan dalam rupiah, tampak kenaikan yang jumlahnya bervariasi antara Rp 3 juta hingga Rp 4 juta tiap embarkasi. ''Rasionalitas kenaikan itu akibat ketetapan kurs. Itu berarti, jika nanti ada kemungkinan kurs dolar turun, bisa saja biaya haji tetap sama dengan tahun lalu,'' tambah Maftuh. Awal Juni lalu, pemerintah dan DPR merencanakan kenaikan BPIH USD 84 dolar atau sekitar Rp 865 ribu per jamaah dan penurunan Rp 410 ribu untuk komponen biaya dalam negeri. Karena menuai kritik, maka pada rapat tertutup antara Depag dan DPR di Jakarta Rabu malam lalu (10/6), kenaikan BPIH itu dibatalkan. Jadi, BPIH tetap disesuaikan dengan komponen penerbangan di tiap embarkasi. Kenaikan paling tinggi ada di embarkasi Batam, yang mencapai USD 117. Sedangkan di Aceh justru turun USD 15 dolar. ''Kini semua tinggal menunggu diajukan kepada presiden untuk disahkan,'' ujar Ketua Komisi VIII DPR Hazrul Azwar. Untuk mendapatkan komposisi BPIH saat ini, terang Maftuh, pihaknya telah melakukan rasionalisasi pada sejumlah hal. Termasuk mengurangi komponen biaya makan di Madinah, yang kemudian dibebankan kepada dana optimalisasi atau direct cost. Transportasi dari Jeddah ke bandara dan angkutan barang atau naik turunnya barang dari hotel sampai ke bandara juga bebas bea. ''Komponen lain yang dipangkas adalah biaya makanan untuk jamaah yang sakit,'' terangnya. Terkait dengan polemik seputar ketetapan pemerintah Arab Saudi yang mewajibkan paspor internasional alias paspor hijau untuk haji, Depag masih meminta waktu kepada DPR. Maftuh berjanji memberikan hasil pasti selambat-lambatnya akhir Juni atau dua pekan mendatang. (zul) [Non-text portions of this message have been removed]
[ppiindia] Sepak terjang dan sebuah strategi
http://www.harianterbit.com/artikel/rubrik/artikel.php?aid=69694 Sepak terjang dan sebuah strategi Tanggal : 15 Jun 2009 Sumber : Harian Terbit Oleh Harmoko ADA apa Golkar dengan Harmoko? Pertanyaan inilah yang menggelitik dan tak terhindarkan ketika kita melihat sepintas buku ''Quo Vadis Golkar - Mencari Presiden Pilihan Rakyat'' yang ditulis Nirwanto Ki S Hendrowinoto, seorang wartawan senior, bersama kawan-kawannya. Buku yang tidak terlalu tebal ini, sepertinya sengaja dilempar ke pasar oleh penerbitnya, Kintamani Publishing, ketika perhatian hampir seluruh rakyat Indonesia saat ini tertuju kepada sosok 3 calon presiden beserta pasangan masing-masing yang sedang sibuk berkampanye. Ada apa dengan Harmoko dan Golkar, dan ada apa dengan Harmoko dan tiga calon presiden yang sedang bertarung saat ini? Itulah pertanyaannya. Di negeri ini, siapa pun tahu Harmoko. Seorang wartawan yang bahkan dapat disebut sebagai sosok jurnalis yang sangat fenomenal. Dalam usia begitu muda sudah memimpin PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) Jaya, lalu menjadi Ketua Pelaksana PWI Pusat dan tak lama kemudian menjadi menteri. Fenomenal, karena ia berhasil merintis karir dari bawah sekali, dari seorang wartawan yang membangun grup penerbitan Pos Kota, memimpin organisasi wartawan, lalu menjadi menteri selama tiga periode berturut-turut. Tak hanya itu, ia pun berhasil naik ke tampuk pimpinan tertinggi sebuah partai politik terbesar di negeri ini, Golkar, yang bahkan berkat keuletannya juga menjadi kekuatan single mayority di panggung politik nasional saat itu. Lalu menjadiKetua DPR/MPR. Di zaman Orba, peran dan peranan Harmoko harus diakui, ikut mewarnai kehidupan perjalanan bangsa. Ia juga berhasil membangun citra dirinya sebagai seorang tokoh Golkar yang sukses. Ketokohan Harmoko justru menjadi sangat teruji ketika ia dipercaya sebagai Ketua Umum Golkar untuk masa bhakti 1993-1998. Sebagai Ketua Umum Golkar, narasi sepak terjangnya pun sungguh menarik perhatian publik, terutama ia dikenal sebagai tokoh yang sering bicara soal nasib wong cilik. Gambaran ketokohannya secara umum inilah yang bisa disimak dari pada buku ''Quo Vadis Golkar - Mencari Presiden Pilihan Rakyat''. Buku ini, seperti diungkapkan Nirwanto sendiri, untuk melihat sejatinya kisah perjalanan Orba dan kaitannya dengan sepak terjang Bung Harmoko, dari seorang wartawan, menjadi menteri dan kiprahnya di panggung politik nasional. Keberhasilan Harmoko itu pulalah yang menarik dan menggelitik Ir. H. Budi Utoyo selaku penerbit Kintamani Publishing, yang tertarik menerbitkan buku ini di tengah-tengah gonjang-ganjing euforia politik pada Pilpres tahun 2009. ''Sosok Harmoko punya nilai plus dalam kehidupan berbangsa. Golkar pada waktu itu menempatkan diri sebagai single majority dalam memenangkan Pemilu 1997. Suatu hasil yang sangat fenomenal. Itu semua karena hasil kerja keras Bung Harmoko dalam memimpin Golkar dan timnya,'' ungkap Budi Utoyo. Keberasilan itu tidak terlepas dengan gaya kepemimpinannya yang selalu membela kepentingan wong cilik. Dari situlah akar pohon beringin sebagai simbolisasi kekuatan gotong royong Golkar semakin kuat dan sosok Harmoko menjadi ujung tombak yang dinamis. Harmoko sendiri sudah aktif di Golkar sejak awal, sejak organisasi ini masih berupa embrio dengan nama Sekretariat Bersama (Sekber) Golkar pada tahun 1964. Pada waktu itu, ia aktif melalui organisasi massa bernsama Sentral Organisasi Kekaryaan Swadiri Indonesia (SOKSI), satu dari tiga unsur Trikarya Golkar. Prolog pada buku ini menyiratkan siapa sejatinya Bung Harmoko, ''Sikap kritis dan korektif yang dikembangkan pada tubuh Golkar bukan sekadar basa-basi politik. Harmoko dengan gayanya yang ceplas-ceplos, tegas dan terang-terangan, berani mengatakan kebenaran di atas kebenaran,'' ungkap Nirwanto. Sepak terjang dan strategi Harmoko sejak jadi wartawan yang membangun Pos Kota, memimpin PWI sampai menduduki kursi Menteri Penerangan selama tiga periode, sebagaimana dilukiskan pada buku ini, bukanlah sebuah pemberian atau kado yang diberikan Presiden Soeharto kepadanya. Tapi adalah sebuah prestasi besar di dalam hidup Harmoko yang diukirnya melalui sepak terjang dan strategi tersendiri. Itu sebabnya, meski kini Harmoko tak lagi duduk di jajaran rumah tangga Golkar, di panggung politik nasional namanya sulit untuk dinafikan. (rel/tbt/lia) [Non-text portions of this message have been removed]
[ppiindia] Re: [PersIndonesia] Kenapa SBY belum mengucapkan selamat pada Presiden Iran Ahmadinejad?
Hugo Chavez sudah sampaikan pada hari diberitakan kemenagan Ahmedinejad. - Original Message - From: Satrio Arismunandar To: kahmi_pro_netw...@yahoogroups.com ; Forum Kompas ; aipi_poli...@yahoogroups.com ; is...@yahoogroups.com ; ppiindia ; nasional list ; news Trans TV ; kampus tiga ; Pers Indonesia ; sastra pembebasan Sent: Tuesday, June 16, 2009 11:11 AM Subject: [PersIndonesia] Kenapa SBY belum mengucapkan selamat pada Presiden Iran Ahmadinejad? Kenapa Indonesia belum memberi ucapan selamat kepada Ahmadinejad, yang terpilih lagi dalam pemilihan Presiden Iran? Kabarnya Jusuf Kalla sudah memberi ucapan selamat, tetapi dalam kapasitas pribadi. Karena, untuk mewakili Indonesia, harus SBY selaku Presiden RI. Kalah cepat lagi nih! == The Iranian People Speak By Ken Ballen and Patrick Doherty Monday, June 15, 2009 The election results in Iran may reflect the will of the Iranian people. Many experts are claiming that the margin of victory of incumbent President Mahmoud Ahmadinejad was the result of fraud or manipulation, but our nationwide public opinion survey of Iranians three weeks before the vote showed Ahmadinejad leading by a more than 2 to 1 margin -- greater than his actual apparent margin of victory in Friday's election. While Western news reports from Tehran in the days leading up to the voting portrayed an Iranian public enthusiastic about Ahmadinejad' s principal opponent, Mir Hossein Mousavi, our scientific sampling from across all 30 of Iran's provinces showed Ahmadinejad well ahead. Independent and uncensored nationwide surveys of Iran are rare. Typically, preelection polls there are either conducted or monitored by the government and are notoriously untrustworthy. By contrast, the poll undertaken by our nonprofit organizations from May 11 to May 20 was the third in a series over the past two years. Conducted by telephone from a neighboring country, field work was carried out in Farsi by a polling company whose work in the region for ABC News and the BBC has received an Emmy award. Our polling was funded by the Rockefeller Brothers Fund. The breadth of Ahmadinejad' s support was apparent in our preelection survey. During the campaign, for instance, Mousavi emphasized his identity as an Azeri, the second-largest ethnic group in Iran after Persians, to woo Azeri voters. Our survey indicated, though, that Azeris favored Ahmadinejad by 2 to 1 over Mousavi. Much commentary has portrayed Iranian youth and the Internet as harbingers of change in this election. But our poll found that only a third of Iranians even have access to the Internet, while 18-to-24-year- olds comprised the strongest voting bloc for Ahmadinejad of all age groups. The only demographic groups in which our survey found Mousavi leading or competitive with Ahmadinejad were university students and graduates, and the highest-income Iranians. When our poll was taken, almost a third of Iranians were also still undecided. Yet the baseline distributions we found then mirror the results reported by the Iranian authorities, indicating the possibility that the vote is not the product of widespread fraud. Some might argue that the professed support for Ahmadinejad we found simply reflected fearful respondents' reluctance to provide honest answers to pollsters. Yet the integrity of our results is confirmed by the politically risky responses Iranians were willing to give to a host of questions. For instance, nearly four in five Iranians -- including most Ahmadinejad supporters -- said they wanted to change the political system to give them the right to elect Iran's supreme leader, who is not currently subject to popular vote. Similarly, Iranians chose free elections and a free press as their most important priorities for their government, virtually tied with improving the national economy. These were hardly politically correct responses to voice publicly in a largely authoritarian society. Indeed, and consistently among all three of our surveys over the past two years, more than 70 percent of Iranians also expressed support for providing full access to weapons inspectors and a guarantee that Iran will not develop or possess nuclear weapons, in return for outside aid and investment. And 77 percent of Iranians favored normal relations and trade with the United States, another result consistent with our previous findings. Iranians view their support for a more democratic system, with normal relations with the United States, as consonant with their support for Ahmadinejad. They do not want him to continue his hard-line policies. Rather, Iranians apparently see Ahmadinejad as their toughest negotiator, the person best positioned to bring home a favorable deal -- rather like a
[ppiindia] Cermin Ke’TIdak Rukun’an Dalam Dialog Ke’Rukun ’an
Rukun hanya terjadi jika semua pihak saling menghargai dan saling menghormati satu sama lain. Saling menjaga juga saling mengapresiasi satu sama lain. Toleransi sering kali tidak berujung pada kerukunan, karena dalam toleransi ada pihak yang menjadi inferior atau minoritas, sehingga harus di-tolerir keberadaannya. Kerukunan dalam bermasyarakat, apalagi masyarakat Indonesia yang sangat beragam mulai dari agama, suku, dan ras, mutlak diperlukan demi terciptanya kedamaian. Sayangnya banyak pihak yang justru mempunyai peran vital dalam masyarakat tidak menjunjung tinggi nilai kerukunan ini dengan menyebarkan pesan-pesan yang sarat dengan bibit perpecahan. Seperti dalam Dialog Kerukunan Umat Beragama, yang disiarkan oleh TVRI pada hari Jumat, 12 Juni 2009 lalu. Salah satu panelis, seorang anggota DPR, mengatakan bahwa dalam masyarakat yang mayoritas beragama Islam, tidak seharusnya didirikan tempat ibadah agama selain agama Islam. Kerukunan seperti apa yang kiranya diharapkan oleh Bapak Anggota DPR kita yang terhormat tsb ? Dan beliau bicara di sebuah dialog bertemakan kerukunan umat beragama. Sungguh ironis! Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan Pancasila, bukan berdasar pada mayoritas agama tertentu. Ketika hanya mayoritas saja yang diutamakan, diperhitungkan, apresiasi tidak mungkin terjadi. Hanya akan ada toleransi, si minoritas akan ditolerir keberadaannya dengan batasan-batasan yang ditentukan oleh sang mayoritas, seperti tidak boleh mendirikan tempat ibadahnya. Sekali lagi, Indonesia adalah negara berdasar Pancasila, yang menjunjung semangat Bhineka Tunggal Ika, berbeda namun satu jua. Dalam semangat ini, perbedaan diterima sebagai sebuah berkah dan disikapi dengan apresiasi terhadap sesama anak bangsa. Hendaknya setiap elemen bangsa dan negara ini, apalagi elemen vital seperti DPR/ Wakil Rakyat dan TVRI yang merupakan televisi bangsa, bertindak selaras dengan dasar negara kita, Pancasila. Bukan malah menebarkan bibit perpecahan ke masyarakat luas. Wakil rakyat dipilih bukan untuk menyuarakan kepentingan golongannya saja, tapi menyuarakan kepentingan seluruh masyarakat. Begitu pula dengan pihak media, yang sangat vital dalam penyebaran informasi. Cerminan ketidakrukunan dalam acara dialog kerukunan ini harus menjadi instrospeksi bagi semua elemen bangsa, mau dibawa kemana bangsa ini ? Perpecahan atau Persatuan ? [Non-text portions of this message have been removed] *** Berdikusi dg Santun Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality Shared Destiny. http://groups.yahoo.com/group/ppiindia *** __ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Reading only, http://ppi-india.blogspot.com 4. Satu email perhari: ppiindia-dig...@yahoogroups.com 5. No-email/web only: ppiindia-nom...@yahoogroups.com 6. kembali menerima email: ppiindia-nor...@yahoogroups.com Yahoo! Groups Links * To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ * Your email settings: Individual Email | Traditional * To change settings online go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/join (Yahoo! ID required) * To change settings via email: mailto:ppiindia-dig...@yahoogroups.com mailto:ppiindia-fullfeatu...@yahoogroups.com * To unsubscribe from this group, send an email to: ppiindia-unsubscr...@yahoogroups.com * Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/
[ppiindia] Fw: : A leader should know how to manage failure ( MUST READ INSPIRATIONAL STORY )
A leader should know how to manage failure (Former President of India APJ Abdul Kalam at Wharton India Economic forum , Philadelphia , March 22,2008 ) Question: Could you give an example, from your own experience, of how leaders should manage failure? Kalam: Let me tell you about my experience. In 1973 I became the project director of India 's satellite launch vehicle program, commonly called the SLV-3. Our goal was to put India 's 'Rohini' satellite into orbit by 1980. I was given funds and human resources -- but was told clearly that by 1980 we had to launch the satellite into space. Thousands of people worked together in scientific and technical teams towards that goal. By 1979 -- I think the month was August -- we thought we were ready. As the project director, I went to the control center for the launch. At four minutes before the satellite launch, the computer began to go through the checklist of items that needed to be checked. One minute later, the computer program put the launch on hold; the display showed that some control components were not in order. My experts -- I had four or five of them with me -- told me not to worry; they had done their calculations and there was enough reserve fuel. So I bypassed the computer, switched to manual mode, and launched the rocket. In the first stage, everything worked fine. In the second stage, a problem developed. Instead of the satellite going into orbit the whole rocket system plunged into the Bay of Bengal . It was a big failure. That day, the chairman of the Indian Space Research Organization, Prof. Satish D hawan, had called a press conference. The launch was at 7:00 am , and the press conference -- where journalists from around the world were present -- was at 7:45 am at ISRO's satellite launch range in Sriharikota [in Andhra Pradesh in southern India ]. Prof. Dhawan, the leader of the organization, conducted the press conference himself. He took responsibility for the failure -- he said that the team had worked very hard, but that it needed more technological support. He assured the media that in another year the team would definitely succeed.. Now, I was the project director, and it was my failure, but instead, he took responsibility for the failure as chairman of the organization. The next year, in July 1980, we tried again to launch the satellite -- and this time we succeeded. The whole nation was jubilant. Again, there was a press conference. Prof. Dhawan called me aside and told me, 'You conduct the press conference today.' I learned a very important lesson that day. When failure occurred, the leader of the organization owned that failure. When success came, he gave it to his team. The best management lesson I have learned did not come to me from reading a book; it came from that experience. [Non-text portions of this message have been removed]
[ppiindia] NII Cabang Garut Tolak Pemilu Presiden dan Siap Perang
Refleksi : Kalau sudah siap perang, silahkan segera maju sebagai barisan depan dan lakukan tugas berperang. Maju gemetar mundur tak gentar! http://www.tempointeraktif.com/hg/Pemilu2009_serba_serbi/2009/06/16/brk,20090616-182112,id.html NII Cabang Garut Tolak Pemilu Presiden dan Siap Perang Selasa, 16 Juni 2009 | 07:11 WIB TEMPO Interaktif, Garut: Kelompok Negara Islam Indonesia (NII) wilayah selatan Kabupaten Garut, Jawa Barat, menolak pelaksanaan pemilihan presiden pada 8 Juli ini. Surat penolakan dengan tulisan tangan diberikan kepada pemerintah setempat pada 26 Mei 2009 pukul 09.25 WIB. Mereka tidak mengakui Negara Kesatuan Republik Indonesia, kata Kepala Desa Purbayani, Kecamatan Caringin, Kabupaten Garut, Heryanto saat dihubungi Tempo melalui telpon selulernya. Menurut Heryanto, kelompok ini mengganggap negaranya berdiri lebih awal dari negara Indonesia. Indonesia dikatakan berdiri pada 17 Agustus 1945, sedangkan NII berdiri pada 7 Agustus 1945. Sehingga Indonesia dinilai menumpang di negaranya. Sejauh ini belum ada tindakan tegas dari pemerintah. Di desa Purbayani, terdapat 27 orang pengikut NII. Aksi ini bukanlah kali pertama mereka lakukan. Setiap kali pelaksanaan pemilihan, baik pemilihan kepala desa, bupati dan gubernur, NII Garut selalu mengeluarkan statemen menolak. Kegiatan mereka di wilayah Garut telah berumur sekitar 20 tahun. Meski menyimpang, kata Haryanto, kegiatan mereka tidak meresahkan penduduk desa. Aktivitas kenegaraan seperti pengibaran bendera atau yel yel anti-RI hampir tidak muncul. Kehidupan sehari-hari mereka berbaur dengan masyarakat lainya. Mereka ikut kerja bakti atau kegiatan gotong royong. Kami tetap melaporkan kepada yang berwajib untuk selalu diawasi dan dibina, ujarnya. Juru bicara Komisi Pemilihan Umum Daerah Kabupaten Garut Dadang Sudrajat mengaku tidak mengetahui kejadin tersebut. Menurutnya, tidak ada satu pun kolempok masyarakat menolak pelaksanaan pemilu presiden. Pada 2004 lalu memang ada kelompok NII yang menolak pilpres, kalau sekarang saya belum tahu, ujarnya singkat. Keberadaan NII di Kabupaten Garut mencuat pada 2007, dipimpin Imam Besar atau panglima tertinggi Sensen Komara. Aktivitas kelompok tersebut muncul kembali pada 17 Januari 2008, dengan engibarkan bendera merah putih bergambar bulan bintang berukuran 2x240 sentimeter di halaman rumah sang serssn. Maskas mereka di Kampung Babakan Cipari, Desa Sukarasa, Kabupaten Garut, Jawa Barat. Berdasarkan informasi yang dihimpun jumlah pengikut NII di Garut sekitar 2.000 orang. Berikut petikan surat penolakan pemilu presiden yang ditandatangani ketua NII Garut Selatan Wowo Wahyudin, 33 tahun. Surat ini adalah merupakan pemberitahuan, mau atau tidak, suka atrau tidak suka, mengerti atau tidak. Negara ini adalah Negara Islam Indonesia. Kami/Saya tidak mau dilibatkan, dicantumkan dalam urusan pilpres. Kami/Saya telah diberitahukan oleh Imam Negara Islam Indonesia untuk siap berperang. Demikian surat ini saya nyatakan yang sebenarnya. [Non-text portions of this message have been removed]
[ppiindia] Fw: Menkes Bicara Kasus Prita
---Original Message--- From: Evi Douren Date: 6/16/2009 1:20:02 PM To: kartono mohamad; Farid Anfasa Moeloek; Nila Moeloek; Adi sasongko; Dwi RatnaSarashvati; firman lubis; charles surjadi; Sarmedi Purba; Nafsiah Mboi Subject: Menkes Bicara Kasus Prita Kamis, 04/06/2009 10:28 WIB Menkes Bicara Kasus Prita Anwar Khumaini - detikNews Jakarta - Menteri Kesehatan (Menkes) angkat bicara soal Prita Mulyasari (32) yang saat ini menjadi terdakwa kasus pencemaran nama baik RS Omni International. Menurut Menkes, kasus ini sebenarnya tidak akan terjadi jika pihak rumah sakit memberikan hasil tes trombosit Prita. Etiknya, seorang pasien punya hak untuk bertanya dan mempunyai hak untuk dijawab oleh dokter. Pasien mempunyai hak untuk mengetahui hasil pemeriksaannya dan tindakan apa yang dilakukan oleh dokter, ujar Siti Fadillah Supari dalam perbincangan dengan detikcom via telepon, Kamis (4/6/2009). Berikut hasil wawancara lengkap detikcom dengan ahli jantung itu: Bagaimana soal permintaan Prita pada hasil lab trombosit 27.000 di RS Omni International? Selama ini UU-nya belum ada. Tapi ada etiknya, artinya bahwa seseorang pasien punya hak untuk bertanya dan mempunyai hak untuk dijawab oleh dokter. Pasien mempunyai hak untuk mengetahui hasil pemeriksaannya, dan tindakan apa yang dilakukan oleh dokter, itu etik. Tetapi belum ada UU yang mengatur. Saya sedang bikin UU yang cukup lengkap untuk melindungi hak-hak pasien dan dokter, maupun rumah sakit. Sekarang perkembangan RUU tersebut bagaimana? Sekarang sedang digodok di DPR. Mudah-mudahan akhir 2009, RUU Perumahsakitan bisa segera disahkan oleh DPR. Ini untuk menjaga hak pasien. Pasien punya hak. Tapi pada suatu saat jika pasien punya keluhan seharusnya ada jalurnya, dengan MKKI (Majelis Kehormatan Kedokteran Indonesia), apa ke polisilah. Pengaduan itu kan bukan ke detikcom. Tetapi ke jalur yang betul, kalau ada yang tidak terima. Tindakan RS Omni apa bisa dikatakan malpraktek? Apa malpraktek atau tidak, saya belum bisa jawab. Jadi harus didorong, DPR tolong dong itu lindungi hak pasien dan dokter dan RS yang tiba-tiba merasa disudutkan. RS adalah suatu lembaga atau usaha yang padat modal dan padat karya. Kalau misalkan sampai ulah dari satu orang bisa menyebabkan RS bangkrut atau tutup hanya karena satu tuduhan yang tidak terbukti, kan disayangkan. Rumah sakit kan menanggung beberapa ratus karyawan. Kalau dokter masih bisa praktek di tempat lain, suster juga bisa. Tapi ada berapa ratus karyawan lain dan ratusan anak-anaknya. Semua punya hak. Apa Depkes bisa memberikan sanksi kepada RS Omni terkait kasus Prita? Nggak bisa. Sama sekali tidak bisa. Negur sih bisa, tapi beri sanksi nggak bisa. Saya tak punya tangan langsung ke RS tersebut, kecuali hak-hak etika saja. Memang unik kasus ini. Ini pelajaran bagi kita semua. Kedua-duanya tidak pada jalurnya. Mestinya harusnya mengeluh langsung ke direkturnya. Ada tempat pengaduan resmi, apalagi ini RS internasional. Pasti sangat menjaga kliennya. Jadi harus ditaruh dalam proporsi yang betul, kekurangan layanan RS harus disampaikan pada jalur yang betul. Itu kan istilahnya preman dibales preman, dalam tanda kutip. Yang satu seolah-olah curhat, padahal akibatnya RS bisa bangkrut. Mudah-mudahan tidak terjadi lagi masalah seperti ini. (anw/nrl) No virus found in this incoming message. Checked by AVG - www.avg.com Version: 8.5.339 / Virus Database: 270.12.71/2178 - Release Date: 06/15/09 17:54:00 [Non-text portions of this message have been removed]
[ppiindia] Mabes Polri Rencana Museumkan BB Bom Bali I
Refleksi : Menurut beberapa petinggi NKRI bahwa ledakan di Bali itu adalah ledakan micro-nuke, jadi pertanyaannya ialah bagaimana dengan radio aktif pada benda bukti, apakah tidak berbahaya bagi kesehatan bila dipertontonkan kepada umum? http://jawapos.com/index.php?act=cetakid=28 [ Selasa, 16 Juni 2009 ] Mabes Polri Rencana Museumkan BB Bom Bali I DENPASAR - Tragedi Bom Bali I 12 Oktober 2002 benar-benar membekas pada rakyat Bali. Kenangan buruk dan memilukan, sepertinya, sulit dihapus begitu saja dari benak rakyat Pulau Dewata itu. Mabes Polri berencana memuseumkan barang bukti (BB) Bom Bali I yang kini masih tersimpan rapi di Kantor Kejaksaan Tinggi (Kejati) Bali. Rencana Mabes Polri itu tercetus dari sebuah sumber di Kejaksaan Tinggi Bali. Sumber tersebut menyebutkan sejumlah barang bukti yang masih tersimpan rapi. Antara lain, buku jihad Al Qaidah, proposal, compact disk (CD), timbangan, serpihan mobil, dan peranti elektronik. ''Barang bukti itu sudah dirapikan. Rencananya, (BB) langsung dibawa ke Jakarta untuk dimuseumkan,'' ujar sumber tersebut. Menurut dia, BB tersebut akan disimpan secara khusus di museum Mabes Polri sebagai penanda telah terjadi bencana kemanusiaan dalam sejarah Indonesia. Museum BB tindak pidana teroris itu rencananya diresmikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 1 Juli 2009 mendatang, tepat pada perayaan hari ulang tahun (HUT) Bhayangkara. ''Memang benar demikian. Mabes Polri akan mengambil BB Bom Bali I untuk dimuseumkan. Tapi, saya tidak bisa memberikan keterangan lebih lanjut mengenai rencana itu karena semua laporan memang tidak dilaporkan Aspidum (IB Wiswantanu) kepada saya. Melainkan, langsung ke Pak Kajati (Boediman Rahardjo),'' ujar Wakajati Bali AF Dharmawan. Pantauan koran ini, sejumlah jaksa -baik dari Kejati Bali maupun Kejari Denpasar- terlihat sibuk menyiapkan BB Bom Bali I yang akan dimuseumkan. Mereka memilah beberapa BB ke dalam satu tempat. Kemudian, disimpan tersendiri sesuai dengan jenis barang buktinya. Rencana pemindahan BB Bom Bali I juga diakui Kasipenkum Kejati Bali IGN Endrawan. Kepada wartawan, Endrawan mengatakan bahwa pada Jumat 15 Mei 2009, ada lima tamu dari Jakarta. Dengan berbekal peralatan syuting, mereka mendatangi Kejati Bali. Dua di antara lima tamu itu merupakan utusan Polri, sedangkan tiga orang lainnya dari PT National Price Club Indonesia (NPCI). Menurut Endrawan, para tamu dari Jakarta itu datang tidak untuk membuat film dokumentasi tentang peran Polri dalam mengusut kasus Bom Bali I. ''Mereka sedang mendokumentasikan kejadian Bom Bali I. Jadi, mereka datang ke sini (kejati) untuk mengambil BB yang masih tersimpan di sini,'' tandasnya. Untuk apa dokumentasi itu? Menurut dia, berdasar penuturan kru, dokumentasi tersebut akan menjadi salah satu bahan koleksi museum Polri sebagai pengingat sejarah bagi generasi mendatang. Diakui, setelah mengambil beberapa scene di Kejati Bali, mereka langsung meninjau lokasi bekas ledakan, Ground Zero, Jalan Legian, Kuta. Mereka juga melakukan wawancara khusus dengan dua saksi korban dan relawan Bom Bali I, Haji Bambang Sutrisno. Sebagaimana diketahui, beberapa BB Bom Bali I sudah dimusnahkan. Karena itu, masih ada yang tersimpan. Sebagian BB yang tersimpan di kejati dan Rubasan Denpasar tersebut belum dimusnahkan karena masih berkaitan dengan perkara lain. Kebetulan, masih ada beberapa gembong Bom Bali I yang belum tertangkap. Di antaranya, Noerdin M. Top. (mus/jpnn/ruk) [Non-text portions of this message have been removed]
[ppiindia] Modus Baru Perampokan Uang Negara
http://jawapos.com/index.php?act=cetakid=28 [ Selasa, 16 Juni 2009 ] Modus Baru Perampokan Uang Negara USUL gila dan tidak masuk akal. Hanya itulah yang pantas dikatakan ketika mendengar ide untuk memberikan cenderamata cincin emas kepada anggota DPR. Jika usul itu dikabulkan, paling tidak negara harus menganggarkan uang sebesar Rp 5 miliar. Apabila usul tersebut dilaksanakan, hal itu merupakan bentuk perampokan uang negara dalam modus baru. Saya setuju dengan pernyataan Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) bahwa pemberian cenderamata kepada anggota DPR dapat dikategorikan sebagai korupsi dan penyalahgunaan anggaran. Alasannya, dalam UU Susunan Kedudukan dan Tata tertib Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), tidak ada aturan tentang hal itu. Dody Candra, Griya Asri II Depok, Jawa Barat [Non-text portions of this message have been removed]
[ppiindia] Ruhut Sitompul: ‘’SBY Minta Saya Jangan K endor’’
’SBY Minta Saya Jangan Kendor’’ APA yang dilakukan Ruhut Sitompul terkait dengan pernyataannya yang selalu kontroversial sepertinya sudah mendapat restu dari SBY. Ruhut dan Rizal Mallarangeng dikenal sebagai Tim Bayonet yang dibentuk kubu SBY-Boediono. Tim Bayonet ini bertugas menyerang kubu lawan lewat kata pedas dan keras. Kepada Indonesia Monitor, Ruhut menjelaskan panjang lebar soal keberadaan Tim Bayonet. Berikut petikannya? Apakah benar Tim Bayonet itu ada? Tim bayonet itu sebetulnya sebutan dari teman-teman di tim sukses SBY-Boediono. Saya bersama Rizal Mallarangeng ada didalamnya. Apa peran anda didalam Tim Bayonet? Saya dituntut memerankan peran antagonis untuk memancing emosi lawan. Tugas utama meng-counter isu-isu miring yang merusak citra SBY-Boediono. Namun yang menjadi catatan adalah, kita tidak pernah menyerang lebih dulu dan tetap mengedepankan etika dan sopan santun. Kalau tim yang santunnya kan ada Pak Anas Urbaningrum, Pak Marzuki Ali. Apakah ‘insiden Arab’ sudah direncanakan? Begini, dari lubuk hati yang paling dalam, saya memohon maaf pada semua pihak. Kenapa sampai terjadi insiden tersebut. Itu karena Fuad Bawazier yang memulainya lebih dulu. Saya sudah cukup santun dan sabar mendengarkan pernyataan Fuad yang selalu mengatakan SBY tidak memliki prestasi apa-apa, bahkan Boediono dikatakan sebagai Ayatullahnya Neolib. Maka wajar apabila kita counter. Betul kalau anda disuruh minta maaf oleh Ketua umum Hadi Utomo? Di Tim Sembilan, saya bisa dikatakan kader Demokrat yang bukan pengurus harian yang dekat dengan Ketua Umum Hadi Utomo. Saya sudah ceritakan semuanya, beliau sangat paham dan mengerti dengan posisi saya saat itu. Apakah ada Rapat Badan Kehormatan Partai Demokrat yang khusus membahas masalah Anda? Buktinya saya masih duduk di Tim 9. Dan rapat tersebut sebetulnya tidak ada. Karena kita sudah sepaham dengan apa yang sebenarnya terjadi. Bagaimana dengan SBY? Pada saat Kasus Mubarok 2,5 persen, SBY mewakili partai langsung meminta maaf, sedangkan pada saat ‘Insiden Arab’ SBY biasa-biasa saja. Kenapa? SBY tahu betul dan paham dengan tugas saya. Bahkan dalam kampanye terbuka pertama di PRJ pada kamis (4/6) kemarin. Di depan ketua umum dan tim sembilan lainya, SBY mengatakan, Ruhut kamu jangan sampai kendor. Maju terus dan lakukan tugas yang saya perintahkan. Nah, saya pikir itu adalah buah kerja keras yang didasari rasa ikhlas yang saya lakukan selama ini. Jadi Beda dengan kasusnya Mubarok. ■ Dimas Ryandi http://www.indonesi a-monitor. com/main/ index.php? option=com [Non-text portions of this message have been removed]
[ppiindia] Tragis SBY tak Akui BLT Utang Luar negeri
From: pejuang rakyat sejati pejuang.rakyat.sej...@gmail.com Date: Tuesday, June 16, 2009, 6:00 PM JK Win: Tragis SBY Tak Akui BLT Utang Djibril Muhammad Susilo Bambang Yudhoyono (inilah.com /Raya Abdullah) INILAH.COM, Jakarta - Masih enggannya tim kampanye SBY-Boediono mengakui BLT berasal dari utang luar negeri, disesalkan Tim Kampanye Nasional JK-Wiranto. sesuai laporan BPK, dana BLT benar berasal dari hutang Luar Negeri yaitu dari World Bank, senilai USD 1 Miliar, dimana tercantum dipihak World Bank bahwa pinjaman tersebut digunakan untuk safety net, jelas Juru Bicara Tim Kampanye Nasional JK-Wiranto, Poempida Hidayatullah kepada INILAH.COM di Jakarta, Selasa (16/6). Padahal, menurut menantu Menteri Perindustrian ini, BPK telah memberikan laporan resmi terkait audit keuangannya di lembaga pemerintahan tersebut. Karena itu, pihaknya mempertanyakan tekad untuk bersikap jujur dan bersih dari SBY. SBY malah melakukan hal sebaliknya. Kami dukung upaya Bawaslu untuk melarang pemerintah melakukan kegiatan yang bersifat sosial di saat pemilu, agar ada keadilan bagi semua kandidat, terang Wakil Bendahara Partai Golkar ini. Sehingga dengan demikian, ia mengharapkan, agar tidak lagi terjadi politik uang resmi yang mengakibatkan tidak adanya playing field yang setara. Bagaimana bisa berbicara hemat Rp 4 T dengan kampanye Pilpres 1 putaran, tapi malah hutang Rp 10 T (belum dengan bunga)? Kelihatan baik bagi rakyat kecil tapi dengan tambah beban utang rakyat untuk kepentingan menang pilpres, tandasnya. [jib] [Non-text portions of this message have been removed]
[ppiindia] Siswa Miskin Tak Perlu Mimpi RSBI
http://jawapos.com/index.php?act=cetakid=28 [ Selasa, 16 Juni 2009 ] Siswa Miskin Tak Perlu Mimpi RSBI Oleh: Nadlifah Hafidz Di negara ini, siswa tak boleh atau ''diharamkan'' miskin. Kalau miskin, nyaris mustahil mereka bisa memenuhi keinginan atau cita-cita besarnya. Jika pun ada di antara siswa miskin mampu memenuhi ambisinya atau berhasil menuai prestasi gemilang, itu terbilang kelangkaan atau bagian dari cerita ''mencari jarum'' di tengah lautan. Memang, ada saja cerita soal anak miskin berprestasi atau masuk sekolah atau perguruan tinggi ternama. Tapi, mereka bisa sampai ke sana tidaklah dengan gratis. Mereka bisa berprestasi cemerlang didukung oleh semangat atau kegigihan untuk membuktikan kepada masyarakat bahwa dirinya mampu mengisi ranah sejarah sebagai ''orang''. Tantangan yang dihadapi siswa miskin, selain kompleks, juga berat. Hal itu lebih berelasi pada akar kemiskinan yang mengimpitnya. Kalau saja mereka tidak masuk golongan ''anak-anak akar rumput'', tentulah apa yang seharusnya menjadi problem tidak jadi hambatan yang membelenggu atau menistanya. Kalau orang kaya punya logika borjuistis dan kapitalistis dalam menyekolahkan anak-anaknya, orang miskin menyekolahkan anak-anaknya berdasar sisi pragmatisme. Komunitas elite ekonomi memperlakukan sekolah ibarat ''pasar'' yang wajib hukumnya direbut dengan pertaruhan segala kemampuan ekonomi serta harga diri. Sementara itu, orang miskin bermaksud menyekolahkan anaknya supaya kelak anaknya itu bisa menjadi elemen strategis bangsa yang sukses menjadi pembebas, bukan sebagai generasi parasit yang membenani masyarakat, keluarga, serta negara. Sayangnya, kondisi disparitas di negeri ini, tampaknya, masih tetap berlangsung dan bahkan semakin tajam. Komunitas elite (kaya) bisa memilih sekolah sesuka hati. Bahkan mampu menjadikan sekolah itu sebagai objek ''olimpiade keserakahan'' atau ambisi-ambisinya. Komunitas kaya tersebut berlomba, bersaing, serta berambisi merebut label sekolah terbaik, unggulan, dan berstandar internasional, layaknya pelari yang memburu gelar dalam suatu olimpiade. Mereka bermaksud mengisi ranah sebagai ''upper class'' atau kelas pemenang lewat sekolah-sekolah yang ''terjual'' di masyarakat. Semakin banyak sekolah bertarif mahal yang dijual atau ''diolimpiadekan'' kalangan pebisnis dan produsen pendidikan. Layaknya kacang goreng, sekolah-sekolah model itu diburu komunitas yang haus pengabsahan status sosial tersebut. Produsen sekolah, yang bisa membaca peta mentalitas komunitas elite, terus bereksperimen dengan mengumpankan model-model sekolah yang bisa menarik minat konsumen elite tersebut. Produsen itu bahkan mengemas sekolahnya dengan menghadirkan output pendidikan bermerek luar negeri, kendati output itu sebenarnya tidak mengambil profesi di bidang edukatif (sebagai guru). *** Ketika proyek rintisan sekolah berstandar internasional (RSBI) mengisi ranah publik, kelompok elite di masyarakat langsung memburu. Tidak ada RSBI yang kehabisan kuota pendaftaran. Mereka itu tidak memperhitungkan berapa pun biaya yang dikeluarkan untuk mengisi donasi RSBI, asalkan anaknya bisa masuk. Uang jutaan rupiah sudah pasti menjadi bagian dari syarat yang menentukan masuk RSBI. Kondisi tersebut tentu saja membuat disparitas di jagat pendidikan sangat mencolok. Di satu sisi, komunitas elite bisa menjadikan RSBI sebagai objek ''olimpiade'' ambisinya. Di sisi lain, kelompok masyarakat miskin nyaris mustahil bisa merebut kursi di RSBI. Penyelenggara RSBI bisa saja berdalih bahwa RSBI bukan hanya untuk komunitas elite atau siswa kaya, tapi juga untuk siswa miskin yang mempunyai prestasi akademik bagus dengan beasiswa. Namun, belum ditemukan, setidaknya belum terpublikasikan, bahwa RSBI yang memberi jasa siswa miskin benar-benar menggratiskan semua lini pembiayaan. Menyikapi realitas itu, komunitas miskin tidaklah selayaknya memaksakan memburu RSBI. Pertama, daripada mengeluarkan biaya yang tergolong sangat besar (untuk ukurang orang miskin), lebih baik uang yang dimiliki digunakan untuk mendukung atau menopang kepentingan lainnya. Era multikrisis yang selalu dihadapi orang miskin membutuhkan persiapan uang untuk berjaga-jaga. Realitas tersebut diperparah turunnya anggaran untuk bantuan siswa miskin. Meski porsi anggaran pendidikan sudah 20 persen dari APBN, itu tidak otomatis mendongkrak bantuan untuk siswa miskin jenjang SMA. Sebaliknya, tahun ini (2009), anggaran bagi siswa miskin justru anjlok. Subsidi pemerintah melalui bantuan khusus murid (BKM) turun menjadi Rp 194 miliar. Padahal, tahun-tahun sebelumnya, pemerintah mengalokasikan dana rata-rata Rp 242 miliar. Kedua, memaksakan anak masuk ke RSBI, bagi orang miskin, ibarat menciptakan ''dunia baru'' yang tentu saja berbeda dari dunia anak-anak dari kalangan miskin. Mereka bisa bertemu berbagai bentuk gaya, penampilan, atau pola hidup yang berkemasan menonjolkan ''selebritas''. Itu bisa menjadi siksaan atau
[ppiindia] Visi-Misi Antikorupsi Capres Minim
Refleksi: Tentu saja ada alasan yang menyebabkan mengapa dalam visi-misi antikorupsi minim tidak bersuara keras dan tegas. Kalau mau diterka alasannya mungkin saja bisa dibilang banyak lagi beraneka warna dan ragam, misalnya mereka berhutang budi kepada koruptor atau mereka senidiri terlibat dalam kasus korupsi yang hingga kini sengaja pihak berwajib elakan untuk diungkap, sebab yang harus membongkar adalah sahabat kental dari capers itu sendiri. Mana orang-orang pintar nan lihai mengungkapan masalah yang menjatuhkan diri mereka dalam jerat hukum? Jawa Pos [ Jum'at, 12 Juni 2009 ] Visi-Misi Antikorupsi Capres Minim Oleh : Jabir Alfaruqi Selama kampanye ini, para calon presiden (Susilo Bambang Yudhoyono, Jusuf Kalla dan Megawati) ramai-ramai menyampaikan visi-misi. Visi-misi ketiganya yang mendapat perhatian publik dan diekspose besar-besaran oleh media adalah bidang ekonomi. Tampaknya masalah ekonomi menjadi prioritas ketiga capres Pemilu 2009 ini. Prioritas ini bukanlah hal yang salah. Sebab, masalah ekonomi bukan sekadar mengatasi pengangguran dan kemiskinan yang dialami jutaan warga negara, tetapi juga peningkatan pendapatan dan pelestarian sumber daya alam. Tanpa pertumbuhan ekonomi yang meningkat dari tahun ke tahun, berarti siapa pun yang memimpin negeri ini akan dinilai gagal. Namun, ada benang merah yang dilupakan para capres bahwa untuk membangun sistem perekonomian dan pertumbuhan ekonomi yang lebih baik tidak berangkat dari akar permasalahan hakiki yang menyebabkan bangsa Indonesia jatuh miskin dan mengalami krisis yang berkepanjangan. Akar dari semua masalah ekonomi semestinya bersumber dari mengguritanya korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) di negeri ini. Pertumbuhan ekonomi dan pengentasan kemiskinan akan sekadar menjadi jargon politik kalau tidak dimulai dari pemberantasan korupsi secara baik. Visi Antikorupsi Mungkin oleh sebagian pihak capres bervisi antikorupsi dianggap hal yang biasa dan sepele. Namun, bila kita mau belajar dari negara-negara yang sukses pertumbuhan ekonominya, hal itu selalu dimulai dari keberhasilan di bidang pemberantasan korupsi. Ambil contoh China yang saat ini pertumbuhan ekonominya menakjubkan masyarakat dunia. China bisa memiliki pertumbuhan ekonomi seperti sekarang karena negeri ini cukup berhasil mengatasi masalah korupsi. Di China tokoh terdepan pemberantasan korupsi adalah perdana menteri, bukan komisi antikorupsi atau kalau di Indonesia Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Karena itu, seorang perdana menteri bersumpah untuk disediakan peti mati bila dirinya terlibat korupsi. Ini bukan sekadar komitmen, tetapi benar-benar bervisi antikorupsi. Apa yang disampaikan sang perdana menteri itu bukan sekadar kampanye politik, tetapi benar-benar menjadi garis perjuangannya. Karena itu, tidak heran kalau di China para koruptor bisa dihukum mati. Ini sangat berbeda dengan di negeri ini. Pemberantasan korupsi belum benar-benar menjadi visi yang akan menjadi garis perjuangan para capres bila terpilih. Di China, partai berkuasa yakni Partai Komunis China (PKC) telah bertahun-tahun dan terus-menerus mendoktrinkan semua kadernya di semua level bahwa negeri China akan bisa diselamatkan dari kebangkrutan bila korupsi bisa diberantas. Karena itu, kalau Partai Komunis China dan China tidak mau porak poranda seperti negara-negara penganut sistem komunis lainnya, tidak ada pilihan lain korupsi harus dibabat habis. Dari fakta ini kita bisa mengambil hikmahnya. Lemahnya visi pemberantasan korupsi di negeri ini di semua level pemerintahan menjadikan pertumbuhan ekonomi rendah dan tingkat kemiskinan absolut masih tinggi. Kita masih setengah-setengah dalam pemberantasan korupsi sehingga hasil yang ditunjukan belum bisa maksimal. Kita bisa membandingkan peningkatan anggaran untuk kabupaten dan kota di era reformasi dengan era Orde Baru. Dari jumlah anggaran yang tersedia, saat ini anggaran kabupaten dan kota sudah mengalami peningkatan minimal lima kali lipat dibandingkan era Orde Baru. Namun, benarkah besarnya anggaran daerah bisa menyelesaikan lima kali lipat permasalahan ekonomi di daerah? Jawabnya belum. Ini terjadi karena pemberantasan korupsi baru sebatas isu kampanye politik, belum menjadi garis perjuangan. Yang lebih tragis, kini pemberantasan korupsi sedang dalam ancaman. Rancangan Undang-Undang Tipikor yang semestinya diselesaikan oleh DPR pada 2009 hingga kini belum ada kabar beritanya. Secara matematis RUU Tipikor yang habis masanya pada Desember nanti tidak mungkin diselesaikan tahun ini. Memang tanpa ada Undang-Undang Tipikor pun pemberantasan korupsi tetap berlanjut. Sebab, kasus-kasus korupsi yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bisa dilimpahkan ke pengadilan umum. Hanya, perlu disadari bahwa pengadilan umum semakin hari cenderung sangat familier dengan para koruptor. Kita bisa mengukur kecenderungan tersebut dari beberapa kasus korupsi yang divonis oleh lembaga tersebut.
[ppiindia] The Return of Capitalism
http://www.washingtonpost.com/wp-dyn/content/article/2009/06/15/AR2009061502733.html?wpisrc=newsletterwpisrc=newsletter The Return of Capitalism By Fareed Zakaria Monday, June 15, 2009; 7:19 PM Over the past six months, politicians, business executives and pundits have been convinced that we are in a crisis of capitalism that will require a massive transformation and years of pain to fix. Another ideological god has failed, wrote the dean of financial commentators, Martin Wolf. Companies will fundamentally reset the way they work, said General Electric CEO Jeffrey Immelt. Capitalism will be different, said Treasury Secretary Timothy Geithner. Yet recently, even though we've nationalized no banks and undergone no grand reinvention of capitalism, the sense of panic seems to be easing. Perhaps this is a mirage -- or perhaps the measures taken by the U.S. government and other countries have restored normality. Over time we might see that faced with underreacting or overreacting, most governments wisely chose the latter -- and appear to have averted a systemic breakdown. Many experts are convinced that the situation cannot improve yet because their own far-reaching sweeping solutions have not been implemented. Most of us want to see more punishment inflicted, particularly on America's bankers. In fact, there has been much pain, especially in the financial industry, where tens of thousands of jobs have been lost , at all levels. Fundamentally, though, markets are not about morality. They are large, complex systems, and if things get stable enough, they move on. Consider our track record over the past 20 years, starting with the stock market crash of 1987, when on Oct. 19 the Dow Jones industrial average fell 23 percent, the largest one-day loss in its history. The legendary economist John Kenneth Galbraith wrote that he just hoped the coming recession wouldn't prove as painful as the Great Depression. It turned out to be a blip on the way to an even bigger, longer boom. Then came the 1997 East Asian crisis, during the depths of which Paul Krugman wrote, Never in the course of economic events -- not even in the early years of the Depression -- has so large a part of the world economy experienced so devastating a fall from grace. He argued that if Asian countries did not adopt his radical strategy -- currency controls -- we could be looking at ... the kind of slump that 60 years ago devastated societies, destabilized governments, and eventually led to war. Only one Asian country instituted (partial) currency controls. All rebounded within two years. Each crisis convinced observers that it signaled the end of some new, dangerous feature of the economic landscape. But often that novelty accelerated in the years that followed. The 1987 crash was said to be the product of computerized trading, which has since, of course, expanded dramatically. The East Asian crisis was to end the happy talk about emerging markets, which are now at the center of world growth. The 1998 collapse of Long-Term Capital Management -- which then-Treasury Secretary Robert Rubin called the worst financial crisis in 50 years -- was to be the end of hedge funds. The technology bubble's bursting in 2000 was supposed to eliminate the dreams of oddball Internet start-ups. Now we hear that this crisis is the end of derivatives. Let's see. Robert Shiller, one of the few who predicted this crash almost exactly -- and the dot-com bust as well -- argues that we in fact need more derivatives to make markets more stable. In a few years we might actually find that we are hungry for more capitalism, not less. An economic crisis slows growth, and when countries need growth, they turn to markets. After the Mexican and East Asian currency crises -- which were far more painful in those countries than the current downturn has been here -- the pace of market-oriented reform speeded up. If, in the years ahead, the American consumer remains reluctant to spend, if federal and state governments groan under their debt loads, if government-owned companies remain expensive burdens, then private-sector activity will become the only path to creating jobs. With all its flaws, capitalism remains the most productive economic engine we have yet invented. Like Churchill's line about democracy, it is the worst of all economic systems, except for the others. Its chief vindication today has come halfway across the world, in countries such as China and India, which have been able to grow and pull hundreds of millions out of poverty by supporting markets and free trade. Last month India held elections during the worst of this crisis. Its powerful left-wing parties campaigned against liberalization and got their worst drubbing at the polls in 40 years. American capitalism is being rebalanced, reregulated and restored. There is still a long road ahead. There will be many more bankruptcies. Banks will have
[ppiindia] Re: [des-kes] Fw: Menkes Bicara Kasus Prita
Saya sepakat dengan pendapat Pak laksono. Sayangnya Menkes kita tidak secanggih itu, sehingga dapat mengesankan bahwa beliau tidak menguasai ketentuan perundang-undangan dan malah menunjukkan ketidak berdayaan pemerintah. Betapapun juga untuk berdiri, RS harus memperoleh ijin dari pemerintah. jadi pemerintah mempunyai kewenangan dan kewajiban mengawasi jalannya sebuah RS apakah ia berbuat yang dapat merugikan pasien, dan mempunyai wewenang pula untuk menjatuhkan sanksi. Tantu harus didasarkan peraturan yang ada. Pemerintah itu dapat pusat dapat pula daerah. Salam KM Original Message From: trisnant...@yahoo.com Date: 16/06/2009 19:25 To: efk...@yahoogroups.com, desentralisasi-keseha...@yahoogroups. com, koran-digi...@googlegroups.com, ppiindia@yahoogroups.com, wanita-musli...@yahoogroups.com Subj: Re: [des-kes] Fw: Menkes Bicara Kasus Prita Dear all Menanggapi kiriman Pak Kartono. Kalau bu Menteri Kesehatan menggunakan makna kebijakan desentralisasi di sektor kesehatan seharusnya tidak perlu menjawab seperti yang di detik.com sbb: Apa Depkes bisa memberikan sanksi kepada RS Omni terkait kasus Prita? Nggak bisa. Sama sekali tidak bisa. Negur sih bisa, tapi beri sanksi nggak bisa. Saya tak punya tangan langsung ke RS tersebut, kecuali hak- hak etika saja. Memang unik kasus ini. Ini pelajaran bagi kita semua. Kedua-duanya tidak pada jalurnya. Mestinya harusnya mengeluh langsung ke direkturnya. Ada tempat pengaduan resmi, apalagi ini RS internasional. Pasti sangat menjaga kliennya. Seharusnya Bu Menteri menjawab dengan dasar kebijakan desentralisasi (PP no 38 tahun 2007) dimana RS seperti Omni berada di bawah pengawasan pemerintah daerah setempat (Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota untuk ukuran RS setara kelas C, Propinsi untuk kelas B). Jika ini sebuah jawaban imajiner, hasilnya adalah sebagai berikut: Apa Depkes bisa memberikan sanksi kepada RS Omni terkait kasus Prita? Wewenang peneguran ada di Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota Tangerang. Dengan adanya kebijakan desentralisasi, Departemen Kesehatan tidak bisa langsung. Peneguran dan sangsi sampai pencabutan ijin RS setara RS Omni sudah menjadi wewenang pemerintah daerah. Untuk mengadu sebaiknya ke Dinas Kesehatan sebagai pengawas sistem rumahsakit di sana. Kesimpulannya memang dalam kasus RS Omni, Dinas Kesehatan setempat belum mempunyai peranan. Desentralisasi sektor kesehatan di bidang pengawasan dan perijinan RS masih di atas kertas. Apakah gejala ini terjadi di seluruh Indonesia? Mungkin saja. Salam Laksono
[ppiindia] Mestinya JK Buka Fakta
http://www.ambonekspres.com/index.php?act=newsnewsid=26607 Selasa, 16 Jun 2009, | 15 Mestinya JK Buka Fakta Jakarta,AE.- Pernyataan calon presiden Jusuf Kalla (JK) mengenai perannya dalam proses terciptanya perdamaian di Nangroe Aceh Darussalam (NAD), mendapat dukungan banyak pihak. Direktur Eksekutif Lingkar Madani untuk Indonesia (LIMA) Ray Rangkuty mengatakan, sudah semestinya JK membuka fakta-fakta yang terjadi di internal pemerintahan. Fakta-fakta yang diungkapkan JK sangat penting bagi publik. Itulah fakta-fakta yang selama ini tidak kita ketahui. Jusuf Kalla telah membuka fakta tentang apa yang sesungguhnya terjadi dalam lima tahun ini. Tinggal publik yang menilai, siapa yang sesungguhnya bekerja, SBY atau JK, ungkap Ray Rangkuty di Jakarta, Senin (15/6). Seperti diketahui, saat berkampanye di Aceh,Sabtu(13/6), JK menyebutkan hanya dirinya yang berani menandatangani perundingan damai RI dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang disebut dengan perjanjian Helsinki itu. JK dengan lugas juga menyatakan, demokrasi lokal Aceh tumbuh berkat dirinya. Pasalnya persetujuan pendirian partai lokal dirinya juga yang menandatangani, sedangkan Presiden SBY tidak mau sama sekali. Menurut Ray, pernyataan JK tidak boleh dilihat dari kacamata etis atau tidak etis. Bagi publik, yang terpenting bisa tahu fakta-fakta apa di pemerintahan yang memang harus diketahui publik. Kalau kubu pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono menilai pernyataan JK itu tidak etis, kata Ray, itu menunjukkan sikap reaktif lawan politik JK. Karena pihak SBY sudah kehilangan ide sehingga hanya menarik pernyataan JK ke bingkai etis atau tidak etis, ungkap Ray. Kalau bicara etis tidak etis, kata Ray, justru banyak hal tidak etis yang dilakukan kubu SBY-Boediono. Antara lain, banyak menteri dan pejabat BUMN yang menjadi anggota tim sukses. Bahkan, ada sebuah stasiun TV swasta yang dalam dua hari, yakni 13 dan 14 JUni 2009, terus-terusan menayangkan pidato SBY saat kampanye di Surabaya dan Kendari, dengan durasi satu jam. Itu yang tidak etis. Saya sedang mengumpulkan data untuk selanjutnya melaporkan ke Bawaslu, ujar mantan Koordinator Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) itu. Seperti diketahui, kubu SBY-Boediono telah bereaksi menanggapi pernyataan JK di Aceh itu. Dalam rilis yang disampaikan ke sejumlah media, Wakil Ketua Dewan Pakar Tim Kampanye Nasional SBY-Boediono, Bara Hasibuan, menyatakan hal tersebut sebagai pelanggaran etika bernegara. Ray menilai, dalam sepekan masa kampanye in, JK memang menguasai pengembangan isu. Masa kampanye seminggu ini memang menjadi panggungnya JK. Jadi wajar kalau tingkat elektabilitas JK terus naik. Mega-Prabowo masih stabil dan SBY-Boediono hanya sibuk mengcounter isu, sehingga publik tidak bisa membaca apa yang mau disampaikan SBY-Boediono ke publik, terang Ray. Lebih lanjut dikatakan Ray, kalau tren seperti ini berlanjut, bukan tidak mungkin tingkat elektabilitas JK melejit mengalahkan SBY. Secara umum, Ray menilai, masa kampanye pilpres 2009 ini jauh lebih baik dibanding pilpres 2004. Alasannya, perang program begitu dominan dilontarkan para capres-cawapres. Mega-Prabowo terus gencar menawarkan program ekonomi kerakyatan dan JK-Win dengan gerakan kemandirian bangsa. Sedang SBY mencoba mengusung ekonomi jalan tengah, yang sebenarnya hanya untuk mengcounter program dua rivalnya itu, ujar Ray. (sam/JPNN) [Non-text portions of this message have been removed]
[ppiindia] Wawancara Tempo munculkan kualitas Jusuf Kalla
Luar biasa! Wawancara oleh Tempo ini dengan gamblang, sederhana, lugas, menunjukkan kualitas seorang Jusuf Kalla (saya harus menyebutnya: the real president 2004-2009!) Jawabannya tidak dibuat-buat, tidak menutup-nutupi (ketika Tempo menyentil soal bisnis keluarganya dan soal biaya kampanye), tidak sok jaim. Tidak menggunakan bahasa-bahasa asing atau jargon-jargon normatif yang hakikatnya tak menjawab apa-apa. Jelas wawancara ini juga bukan dari jenis yang diatur (daftar pertanyaan diserahkan lebih dulu ke pihak yang diwawancarai, sehingga ybs bisa membuat persiapan atau menolak pertanyaan-pertanyaan tertentu yang sulit dijawab). Satrio NB: Wawancara ini saya kutip dari posting di bawah: -- Forwarded message -- From: Harman harman_irawan@ yahoo.com Date: 2009/6/1 To: RantauNet rantau...@googlegro ups.com Saya berpendapat, blanket guarantee itu artinya semua masalah perbankan—kesulitan cash flow, rugi, dan sebagainya—pada akhirnya ditanggung APBN. Ini artinya ditanggung seluruh rakyat. Saya tidak mau kesalahan bankir-bankir itu dibebankan ke rakyat. Itu menzalimi rakyat. Yang ngotot itu Gubernur Bank Indonesia dan Menteri Keuangan. wassalam, harman St.Idris http://majalah. tempointeraktif. com/id/arsip/ 2009/06/01/ WAW/mbm.20090601 .WAW130468. id.html Jusuf Kalla: Jangan-jangan Mau Mempermalukan Saya DIA punya kenangan tersendiri tentang kantor redaksi majalah Tempo. Lima tahun lalu, sebelum pemilihan presiden, Ketua Umum Partai Golkar itu berkunjung, dan ia terpilih menjadi wakil presiden—mendampingi Susilo Bambang Yudhoyono. Senin pekan lalu, dengan pengawalan jauh lebih ketat dibanding lima tahun silam—meski tetap longgar untuk ukuran wakil presiden—ia kembali bertandang ke kantor Tempo di Jalan Proklamasi, Jakarta Pusat. ”Ruang ini penuh berkah,” kata Jusuf Kalla, 67 tahun—calon presiden yang berpasangan dengan Jenderal Purnawirawan Wiranto. Kali ini statusnya penantang Yudhoyono. Didahului makan siang dengan menu biasa—nasi sayur asam, ayam goreng, ikan bumbu pedas, dan tempe goreng—Jusuf Kalla satu jam lebih meladeni pertanyaan tuan rumah. Petugas protokoler Istana Wakil Presiden awalnya meminta pertemuan hanya diikuti belasan orang, tapi pada akhirnya ruang rapat redaksi, tempat pertemuan digelar, sesak oleh awak redaksi Tempo. Kalla didampingi Sekretaris Wakil Presiden Tursandi Alwi, juru bicara tim sukses JK-Wiranto, Yuddy Chrisnandi, dan beberapa pendukungnya. Seperti biasa, Jusuf Kalla menjawab pertanyaan dengan lugas, dan tanpa off the record. Mengapa Anda memutuskan berpisah dengan SBY? Saya sebenarnya siap berkoalisi lagi. Tiga kali saya bertemu SBY membicarakannya. Beliau setuju, tapi dengan sejumlah syarat. Kalau melanjutkan koalisi, masa perlu syarat-syarat lagi? Itu menandakan beliau mungkin mempunyai pandangan lain. Itu hak beliau. Kami hormati. Jadi, kalau begitu, kami jalan sendiri saja. Apa saja syaratnya? Banyaklah. Misalnya, calon yang diajukan bukan ketua umum partai. Secara tersirat, sebenarnya beliau hanya ingin melanjutkan koalisi Demokrat-Golkar, bukan SBY-JK. Calon yang diajukan juga harus loyal. Sebenarnya loyal tidak masalah, tapi pada negara, bukan pribadi. Apa pernah saya tidak loyal? Golkar juga diminta mengajukan lima nama. Aneh, kalau memang mau melanjutkan koalisi, mengapa minta lebih dari satu nama? Jangan-jangan ini mau mempermalukan saya. Bagi Golkar, ini tidak sesuai dengan rapat pimpinan nasional yang telah memutuskan satu nama. Apa yang Anda katakan ketika menyatakan berpisah? Tidak ada perpisahan resmi sebenarnya, karena memang begitulah politik. Tapi, ketika saya serahkan surat resmi di Istana, kami berdua terharu. Sampai kita peluk-pelukan berdua: kenapa akhirnya begini? Slogan kampanye Anda ”Lebih Cepat, Lebih Baik” membuat SBY tersinggung? Ya, katanya seperti itu. Padahal, yang saya maksud lebih cepat lebih baik bukan masalah pribadi. Ini menyangkut kepemimpinan, pengelolaan bangsa, dan program pemerintah. Bisa tercapai lebih cepat kan lebih baik? Jangankan negara, salat pun lebih cepat lebih baik. Namanya politik, masa kita mau bilang ”lebih lambat, lebih baik”? Saya tidak pernah memperhatikan partai lain, saya selalu memperhatikan diri saya. Jangan, dong, mengontrol apa yang mau kita bilang. Itu kan tidak bagus? Namanya kampanye, kita harus jual yang terbaik, kan? Kita harus menjual solusi. Itu menohok SBY, yang dikenal lambat karena terlalu banyak pertimbangan. ... Masing-masing orang kan berbeda, kita maklum saja. Rapat kenaikan BBM sampai perlu dilakukan 12 kali? Ya, mungkin dibutuhkan pertimbangan yang matang. Saya pikir itu gaya hati-hati yang baik. Mungkin belum tentu efektif, tapi penuh kehati-hatian itu penting juga. Dalam beberapa kasus Anda berseberangan dengan Boediono, waktu itu Gubernur Bank Indonesia. Misalnya soal blanket guarantee setelah muncul kasus Bank Century? Saya berpendapat, blanket guarantee itu artinya semua masalah
[ppiindia] SBY siapkan Mayjen Pramono Edhie Wibowo untuk 2014?
Wawancara dengan ekonom Faisal Basri sangat menarik. Faisal menduga, SBY memilih Boediono karena SBY memilih cawapres yang tidak punya ambisi untuk mencalonkan diri sebagai presiden. Karena keluarga Sarwo Edhie sedang menyiapkan untuk 2014, yaitu Danjen Kopasus sekarang (Mayjend Pramono Edhie Wibowo). Kata Faisal: Masih bintang dua, tentu tidak disiapkan menjadi wapres. Dia yang sedang dipersiapkan ke depan. Mau apa lagi, di republik ini memang ada oligarki. Dipetik dari http://www.koran- jakarta.com/ ver02/detail- news.php? id=8775 idkat=106 Faisal Hasan Basri Minggu, 24 Mei 2009 01:54 WIB Posting by : ega Ekonom kritis ini bercerita tentang tuduhan dia merapat ke tim ekonomi Yudhoyono, dikotomi ekonomi neoliberal dan kerakyatan yang dia sebut norak, dan sering menolak tawaran jabatan. Kaum intelektual dan politik kerap ditempatkan pada kutub yang selalu berhadapan. Intelektual yang merapat ke kubu politik selalu saja dikecam, seperti yang dialami Faisal Basri akhir-akhir ini. Tulisannya berjudul Pak Boed yang Saya Kenal yang tersebar lewat internet membuat Faisal menjadi bulan-bulanan. Dia dituding sangat membela Boediono, cawapres Susilo Bambang Yudhoyono, yang perspektif ekonominya selama di eksekutif sangat neoliberal. Kepada Alfred Ginting, Adhiyanto, Teguh Nugroho dan Sari Handini, ekonom berambut tipis ini tenang-tenang saja menanggapi tudingan itu. Faisal menemui tim. Koran Jakarta di restoran Hotel Sultan, Senayan Jakarta, Kamis (21/5) lalu. Saya mengajak ke sini bukan karena apa-apa. Nanti jam 5 saya diminta orasi di acara Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia di Gelora Bung Karno, tempat ini paling dekat, kata dia. Dalam wawancara, tabiat Faisal tak pernah berubah dari 10 tahun lalu. Di tengah wawancara dia akan membuka komputer jinjingnya untuk menunjukkan data. Berikut petikan wawancaranya: Saat ini semakin jelas ekonom siapa saja yang merapat ke calon presiden. Dan Anda disebutkan bergabung dalam tim ekonomi SBY-Boediono? Saya bukan tim sukses, bukan tim apa-apa. Memang saya diminta tapi saya tidak mau. Tapi Anda dekat dengan Boediono? Saya memang kenal dengan Pak Boed (Boediono), masa´ bilang saya nggak kenal. Pak Boed bukan sahabat saya, dia jauh lebih tua. Tapi kalau dibilang seperti itu mau bagaimana lagi. Ini buktinya, SMS belum lama. (Faisal menunjukkan isi pesan pendek di ponselnya yang berasal dari anggota tim sukses SBY-Boediono) Bang saya berpikir menurut saya Bang Faisal harus masuk ke dalam tim inti Pak Boed. Karena saya lihat memang Pak Boed perlu dukungan orang-orang pihak bank Jadi saya memang belum masuk dan saya tidak mau. Tawaran datang darimana saja? Macam-macam. Termasuk Rizal Malaranggeng telepon ke rumah, tidak pernah saya tanggapi. Kalau dihubungi ke ponsel tidak pernah saya angkat. Kalau saya ingin bisa telepon balik, tapi saya tidak mau. Karena apa? Kalau sudah dibujuk, saya orangnya lemah, susah menolak. Jadi saya tidak tanggapi. Bu Mega juga pernah meminta. Saya datang dua kali ke Mega Institute dan datang juga ke Rakornas PDI-P di Solo, saya sudah dibilang orang Mega. Ya sudahlah. Tulisan Anda Pak Boed yang saya Kenal dinilai mendongkrak pencitraan Boediono saat dia tengah dituding karena perspektif ekonomi neoliberal? Ceritanya itu, saya sedang di Singapura, 14 Mei. Pagi-pagi di stasiun MRT, saya buka berita (tudingan terhadap Boediono) lewat ponsel. Mau menangis saya, kok orang zalim sekali, terutama Mas Amien (Rais) yang mengatakan Pak Boed simbol neoliberal dan segala macam. Padahal saya tahu Pak Boed tidak seperti itu. Tapi saya kan tidak bisa berbuat apa-apa. Saya pikir, nanti di feri menuju Batam saya ingin menulis. Akhirnya setelah di Batam, saya menulis, 1,5 jam, dan kirim ke Kompasiana. Berangkat dari kesedihan saya saja karena seorang kawan diperlakukan begitu. Tidak adilnya kan Pak Boed diserang semua orang, dan tidak ada yang menulis tentang dia. Saya cuma menulis seprintil, dan saya sebut sisi lain seorang Boediono. Hanya sisi lain, tidak semuanya. Kabar itu sangat kuat, dan Anda belum pernah membantah? Ada yang menyebut saya pantas saja menulis seperti ini karena (saya) tim opininya Bara Hasibuan. Memang Bara teman dekat saya dulu di PAN. Sekarang ketemu saja tidak pernah. Jadi bagaimana lagi, sepertinya semua orang sudah dibingkai. Padahal saya menulis itu plong dari hati saya. Banyak tawaran, kenapa Anda selalu menolak? Salah satu ekonom yang saya kagumi Paul Krugman, pemenang hadiah Nobel 2008. Latar belakanganya sama dengan Lawrence Summers (menteri keuangan Amerika di era Bill Clinton). Summers selalu di birokrasi. Krugman tidak pernah bercita-cita jadi apa-apa, kecuali jadi akademisi dan dia bangga karena merasa lebih berguna di situ. Dia menulis rata-rata dua kali seminggu di New York Times, kolomnya ringkas, tapi membentuk opini yang lebih dahsyat daripada opini Summers. Saya memang tidak bisa meniru Krugman, karena
[ppiindia] RAN ships blockaded Chinese arms to Timor
http://www.theaustralian.news.com.au/story/0,25197,25648339-31477,00.html RAN ships blockaded Chinese arms to Timor Mark Dodd | June 17, 2009 Article from: The Australian AUSTRALIAN warships joined a 1970s Indonesian naval blockade of East Timor that turned away a Beijing weapons shipment for pro-independence Falintil guerillas, according to the son of Jose Ramos Horta. The stunning claim is contained in an 18-page analysis of Chinese-Timorese relations written by Loro Horta, a graduate of Sydney University and the prestigious People's Liberation Army National Defence University in Beijing. Mr Horta also says in the analysis that Canberra's tardy response to repeated requests by Dili for a patrol boat after the 1999 independence ballot led to China's offer of military assistance and the start of substantial diplomatic gains by Beijing. Defence yesterday denied it opposed East Timor acquiring armed patrol boats and said it was giving language training to 30 East Timorese defence force personnel expected to serve on the new Chinese patrol craft. Mr Horta's analysis about China's involvement in East Timor was published last month in the respected French Foreign Ministry-backed Research Institute on Contemporary Southeast Asia. Navy records show three Australian warships were pre-positioned off Darwin in August 1975 but were deployed for humanitarian reasons and were not part of a blockade. Australian warship movements in the Timor Sea after 1975 were not available. No date is given for when the Chinese arms shipment was turned away, except a claim it occurred between 1975 and 1978. The years are significant because, at the time, Beijing was also providing extensive military support to Pol Pot's Cambodia, a pro-Maoist regime with close links to Fretilin (the Revolutionary Front for an Independent East Timor). Sino-Timorese relations were never closer than following the 1975 Indonesian invasion of the former Portuguese-administered half-island territory, Mr Horta writes. A request by Timor's short-lived pro-independence leadership for urgent military support to counter the Indonesian threat resulted in an arms shipment from China's revolutionary leader Mao Tse Tung, he says. Beijing assembled equipment sufficient to arm a light infantry division of 8000 men, including medium anti-aircraft machine guns, light artillery, mortars and infantry anti-tank weapons, Mr Horta writes. However, the Indonesian naval blockade with assistance from the Australian navy prevented the delivery of the equipment to the Timorese. Mr Horta cites three senior Timorese officials, two with the rank of minister to back up the claims. The arms eventually ended up in another former Portuguese colony, Mozambique, where they were used by the country's Marxist government in its counter-insurgency war against South African-backed Renamo rebels, he says. Mr Horta says China's support was primarily motivated by Mao's policy of wanting to foment revolution in the third world -- the very fear of which was cited by Jakarta to justify its bloody 1975 invasion. Following the historic 1999 UN-backed referendum, China once again renewed its support for the newly independent country. [Non-text portions of this message have been removed]
[ppiindia] Suci Digoyang Isu
Suci Digoyang Isu semusim cintamu wangi bunga hayalan kutukan para janda dikebiri napsu bau manipulasi jaga imago pesona diri digoyang isu pro rakyat kesadaran klas teori jadi puisi siapa paling suci? Heri Latief Amsterdam, 150609 http://herilatief.wordpress.com/ http://akarrumputliar.wordpress.com/ [Non-text portions of this message have been removed]
[ppiindia] China acknowledges incident between sub, U.S. ship
http://www.tehrantimes.com/index_View.asp?code=196904 View Rate : 106 #News Code : TTime- 196904Print Date : Wednesday, June 17, 2009 China acknowledges incident between sub, U.S. ship BEIJING (AP) - China's Foreign Ministry acknowledged for the first time Tuesday a collision last week between a Chinese submarine and a sonar being towed by a U.S. Navy destroyer. The incident occurred Thursday, spokesman Qin Gang said, while giving no details. The U.S. Navy has had little comment on the incident, other than to say that the USS John S. McCain's towed sonar had been damaged. There have been no reports of injuries or damage to either vessel. While analysts said the collision appeared to be an accident, they have warned of a growing pattern of incidents and confrontations arising from China's growing naval power and willingness to assert territorial claims in waters off its coast. What we're seeing are the initial stages of a growing military competition between the United States and China with naval forces rubbing up against each other in a dangerous and largely unregulated posturing for alliances and natural resources in the region, said Hans M. Kristensen, a researcher with the Federation of American Scientists in Washington, D.C. The incident reportedly occurred in international waters northwest of the former U.S. naval base at Subic Bay in the Philippines. Beijing considers the area its territorial waters as part of its claim to the entire South China Sea and opposes U.S. military operations and data gathering there. [Non-text portions of this message have been removed]
[ppiindia] Kemiripan posisi SBY dan George Bush (senior)
Inti dari tulisan ini adalah: Ada kemiripan dalam posisi Presiden SBY dengan Presiden AS George Bush (senior). George Bush yang populer dan menang dalam perang melawan Saddam Hussein (Irak) tahun 1991, ternyata bisa dikalahkan oleh kandidat belum terkenal (belum berpengalaman, kalau meminjam istilah SBY). Kandidat itu adalah Gubernur Arkansas Bill Clinton. Nah, jadi bukan tidak mungkin, popularitas SBY hasil kemasan citra (kreasi Fox Indonesia dkk) itu juga bisa diredam oleh kandidat lain, jika bisa menghantam titik-titik lemah SBY dalam hal ekonomi (utang yang makin menggila, dsb). Banyak hal-hal kritis yang tidak dikerjakan SBY, yang seharusnya bisa digunakan untuk meruntuhkan istana pasir citra gemerlapnya. Tentunya kandidat penantang harus bisa menghadirkan alternatif rancangan ekonomi yang lebih meyakinkan. Memilih SBY adalah memilih status quo. Bagi saya sendiri, memilih SBY adalah memilih fatamorgana. Kelihatannya indah, tetapi ternyata hanya uap di padang pasir. Atau minum obat penghilang rasa sakit untuk mengobati kanker. Rasa sakit akan hilang untuk beberapa saat, tetapi kanker terus merambat! Satrio = (dikutip dari milis tetangga): Dear Fellow Indonesians: President SBY vs. US President 41. In the 90’s there was a very popular President in the USA with a great resume. He was a navy pilot during the world war II, shot down by Japanese forces and was able to survive floating in the pacific ocean and rescued. When he came back home, he was greeted as a hero. Then he was appointed to be Ambassador for China. Before he finished his term he was called to lead the secret service becoming CIA director. He then ran for President of the USA but he lost in the Primary. He was picked by his adversary from the same party to be his running mate, and he became a Vice President. After 8 years became a Vice President, he ran for President for the 2nd times, and he won. In 1991, he faced the biggest challenge of his Presidency and he ended up leading a war against the late President of Iraq, Saddam Hussein for invading Kuwait. He did it successfully. He was not only popular at home in the USA but also around the world. This man was President George H.W. Bush (the Daddy Bush). In 1992, he faced re-election for his Presidency. I remember then that there was not even a single person from Republican Party who dared to challenge President Bush. He was that popular. Meanwhile from Democrat Party, there were so many Presidential candidates and one of them was the unknown, unpopular young governor from Arkansas named Bill Clinton. You can compare the popularity of President Bush in the 90’s with President SBY at the present time in Indonesia. The question to ask is what, how and why then that this unknown, unpopular Governor of Arkansas was able to BEAT a very popular President? Some of my political colleagues argued that the economy in the USA during President Bush 41 was stupid and Bill Clinton was able to articulate that issue before the American people. Well, the current Indonesia’s economy is stupid ever even worse compared to the situation then in the USA during President Bush 41. SBY is now popular than ever and the chance for him to win the reelection is much greater than before the last general election. It puzzles me that none of these Presidential candidates dare to challenge SBY on this issue. There are many critical issues that have been left in the back burner by SBY. That is undeniable fact! Look at the details! Those issues can change perception and influence people who are to vote. This is where campaign strategy plays its major role in winning Presidential election contest. I personally and respectfully disagree with the notion that it is not the cult of personality or, the money that will capture the seat of Presidency, but it is the issue. The question now is who dares to challenge SBY on the issue and present an alternative and comprehensive plan to address and resolve those critical issues. SBY Presidency: I have stated that President SBY is a better President than perhaps the other Presidents Indonesia has ever had, except President Soekarno being the Founding Father of the country. However; looking at his record for the last 5 years in office, his accomplishments are too insignificant to make a meaningful change in Indonesia. For the last 5 years, Indonesia’s domestic debts are mounting up bigger than FOREIGN DEBTS. Prior to 1997, Indonesia’s domestic debts was virtually zero or very small. Yes, there was 3% economic growth and at some point was even 7%. But what was it as a result of President SBY’s sole economic policy, or it was simply a pure luck of timing that supply met the demand for Indonesia? Or, was it because the world economic situation that indirectly benefited Indonesia economic growth or at best, combination of all? Prof. Dr. Kuncoro
[ppiindia] Humans Intrude on an Indonesian Park
Refleksi: Atas nama NKRI boleh merusak di mana saja, begitulah hakekatnya. Siapa yang untung dan siapa yang buntung? http://www.nytimes.com/2009/06/14/world/asia/14borneo.html?_r=1ref=asia Humans Intrude on an Indonesian Park Kemal Jufri/Imaji, for The New York Times The price of the land Mukayan bought on the edge of the Kutai National Park on Borneo four years ago has increased sevenfold, he said. He said he caught his pet birds in the park. By NORIMITSU ONISHI Published: June 13, 2009 KUTAI NATIONAL PARK, Indonesia - Countless houses and shops built by squatters flank the 40-mile, two-lane road slicing through this national park that, once rich with orangutans and lowland rain forest, now symbolizes Indonesia's struggle to protect its rare wildlife. Related Times Topics: Indonesia The New York Times Much of the park's 490,000 acres has been damaged. As construction has intensified along the road here on the island of Borneo, it has also brought a sometimes surprising diversity of businesses to the park, including a brothel, the Dika karaoke bar and the Mitra Hotel, which was marking its recent opening with discounts of 40 percent. A new bus terminal and gas station, nearly complete, will perhaps be greeting customers soon. At one spot by the road, Mursidin, a farmer in his 50s, was one of many people building a home from the park's trees. Using a sander and a saw hooked to a red generator, he was polishing and laying sheets of wood on the house's frame as his wife, Nuramanah, looked on. We're worried because the forest rangers warned us several times that we weren't permitted to build here, Ms. Nuramanah, who like many Indonesians goes by one name, said as her anxiety seemed punctuated by her husband's hammering. If the new houses lining the road were any indication, however, the couple had little to worry about. Forest rangers have been powerless in checking development inside the park as the local authorities have urged people to settle and open businesses here. Control over the country's 50 national parks, including Kutai, has grown murky in the past decade as authority has shifted from the central government to the provinces as part of a decentralization of power. Local governments, emphasizing economic development over conservation, have seen parks bursting with natural resources as a way to fill their coffers. At the same time, Kutai National Park, like others, has been losing trees to illegal loggers, at a rate of one to two truckloads a day, according to forestry officials. Mining companies have also been pushing to explore inside the coal-rich park here, which is already surrounded by coal, fertilizer, gas and timber companies. More than 27,000 people lived inside the park in 2007, according to a government survey conducted that year. It's difficult to control the construction of new houses, which is increasing, because the local governments simply ignore national laws, Tandya Tjahjana, who took over the Forestry Ministry's office here a few months ago, said as trucks rumbled by his headquarters here. As many as half of the park's 490,000 acres have been damaged because of development and illegal logging, Mr. Tandya said, adding that he had only 27 rangers to patrol the entire park. Half of all the mammal species in Borneo are said to inhabit Kutai National Park, including the Sambar deer, wild ox, proboscis monkey and orangutan. Aside from a population of orangutans at a research center inside the park, the number of great apes - estimated at 600 - has sharply decreased in recent years because of two fires and human encroachment, researchers and forestry officials said. Widespread illegal logging and deforestation have reduced Indonesia's overall orangutan population to about 60,000, an estimated 80 percent reduction in the past decade, said Anne Russon, an orangutan expert from York University in Toronto who has done extensive research on the apes in Indonesia for the past 14 years, including in this park. Much of the timber is used to make furniture for domestic and overseas markets, while the cleared land is often turned into palm oil plantations. The shrinking of the forest habitats, which threatens some of the world's rarest wildlife, regularly pits animals against human beings. In recent months, Sumatran tigers, which face extinction, have killed illegal loggers pushing into the animals' territory on the island of Sumatra and have been killed in turn by villagers. Also in Sumatra, wild elephants have been fatally poisoned near a palm oil plantation, reportedly by villagers running the site. The Kutai National Park here was established in the 1980s but, located in what is Borneo's most developed area, it faced threats from the start. Pertamina, the state oil company, was permitted to operate here and still pumps oil inside a fenced-in enclave. And years before the road was built in the mid-1990s, people had
[ppiindia] BRIC Leaders Seek a Greater Voice
http://www.themoscowtimes.com/article/600/42/378817.htm Sergei Karpukhin / Reuters From left, Luiz Inacio Lula da Silva of Brazil, Dmitry Medvedev, Hu Jintao of China and Manmohan Singh of India attending the first BRIC summit Tuesday.?? BRIC Leaders Seek a Greater Voice 17 June 2009By Ira Iosebashvili / The Moscow TimesPresident Dmitry Medvedev led the leaders of Brazil, China and India in discussions Tuesday on reforming the global financial system and lessening reliance on the United States at the first summit of the world's four largest emerging economies. The four BRIC countries - which make up 15 percent of the global economy and hold nearly 40 percent of the world's currency reserves - expressed interest in working more closely together economically, although the cooperation at the Yekaterinburg summit was mostly confined to symbolic gestures. Leaders discussed investing their reserves into one another's bonds, swapping reserve currencies and increasing the role of Special Drawing Rights, an international reserve asset. But discussions about the creation of a supranational currency and lessening global reliance on the U.S. dollar - two favorite Kremlin topics as of late - were confined to a meeting of the Shanghai Cooperation Organization that took place earlier in the day in the Urals city. In his opening comments, Medvedev said it was obvious that the BRIC leaders needed to find nonstandard decisions to common economic problems. Life is difficult. Strategic partners must meet more often and seek broader trade and economic relations, Medvedev told Brazilian President Luiz Inacio Lula da Silva earlier in the day. A joint BRIC statement issued before the summit called for a greater role for developing nations in global financial institutions and the United Nations. We are committed to advance the reform of international financial institutions so as to reflect changes in the world economy, the statement said. The emerging and developing economies must have a greater voice and representation in international financial institutions. The statement also said the senior leadership of international financial institutions should be selected through an open, transparent and merit-based selection process. At the end of the summit, Medvedev said developing countries must create the conditions for a fairer world order. The other leaders sat next to him and did not offer any comments. Medvedev reserved his more fiery rhetoric for the Shanghai Cooperation Organization summit, showing that Russia remained eager to play the role of a power broker among emerging economies and a critic of the current world financial system - which it views as unfairly dominated by the United States. Despite recent comments by Finance Minister Alexei Kudrin in support of the dollar, Medvedev continued his verbal assault on the U.S. currency, urging leaders to find a way to diversify the world's reserve currencies. The existing set of reserve currencies, including the U.S. dollar, have failed to perform their functions, Medvedev said. There cannot be a successful global currency system if the financial instruments it uses are denominated in only one currency, he said. This is the case today, and that currency is the dollar. Earlier this month, Medvedev said the dollar was not in a spectacular position and cast doubt on its future as a global reserve currency. Kudrin, meanwhile, said Saturday that the dollar's financial indicators were fine and expressed confidence in its strength. Kremlin economic aide Arkady Dvorkovich sought to reconcile the two viewpoints Tuesday, telling reporters in Yekaterinburg that shocks on the currency markets were to be avoided and that nobody wants to bring the dollar down. We are not looking to exclude the dollar, Dvorkovich said. But the world economy will grow, and that growing pie should be divided in a fairer way. Dvorkovich also said the International Monetary Fund should include the ruble, the Chinese yuan and gold in the basket of currencies that make up Special Drawing Rights. But the idea of replacing the dollar found little traction with at least one BRIC member. China, which holds $2 trillion in foreign currency reserves, did not offer any comment in support of the proposal. Analysts said that while the BRIC summit was limited to mostly to kind words, the grouping was still at its infancy and could gain significant economic and political clout in the future. The statements might have been mostly symbolic, but that doesn't mean they will be by 2020, said Elina Rybakova, chief economist at Citibank. They have set some very good goals to work toward, she said. Medvedev sought to emphasize ties with fellow BRIC leaders. He reminded Indian Prime
[ppiindia] Robert Fisk: Iran's day of destiny
http://www.independent.co.uk/opinion/commentators/fisk/robert-fisk-irans-day-of-destiny-1706010.html Robert Fisk: Iran's day of destiny Fisk witnesses the courage of one million protesters who ignored threats, guns and bloodshed to demand freedom in Iran Tuesday, 16 June 2009 EPA A demonstrator who was shot during a protest demonstration in the streets of the capital Tehran today a.. More pictures It was Iran's day of destiny and day of courage. A million of its people marched from Engelob Square to Azadi Square - from the Square of Revolution to the Square of Freedom - beneath the eyes of Tehran's brutal riot police. The crowds were singing and shouting and laughing and abusing their President as dust. Mirhossein Mousavi was among them, riding atop a car amid the exhaust smoke and heat, unsmiling, stunned, unaware that so epic a demonstration could blossom amid the hopelessness of Iran's post-election bloodshed. He may have officially lost last Friday's election, but yesterday was his electoral victory parade through the streets of his capital. It ended, inevitably, in gunfire and blood. Not since the 1979 Iranian Revolution have massed protesters gathered in such numbers, or with such overwhelming popularity, through the boulevards of this torrid, despairing city. They jostled and pushed and crowded through narrow lanes to reach the main highway and then found riot police in steel helmets and batons lined on each side. The people ignored them all. And the cops, horribly outnumbered by these tens of thousands, smiled sheepishly and - to our astonishment - nodded their heads towards the men and women demanding freedom. Who would have believed the government had banned this march? Related articles a.. Jerome Taylor: Iran's revolutionary guard raid university in Isfahan as protests spread b.. 'Seven killed as protesters launched attack' c.. The Iranian election in pictures d.. Britain 'must not take sides' over Iran poll e.. Michael Noble: The Arabic Press view of Iranian elections f.. Claims of student massacre in Tehran spread g.. Reza Molavi: The genie may not go back in the bottle h.. Iran 'ready to recount disputed votes' The protesters' bravery was all the more staggering because many had already learned of the savage killing of five Iranians on the campus of Tehran University, done to death - according to students - by pistol-firing Basiji militiamen. When I reached the gates of the college yesterday morning, many students were weeping behind the iron fence of the campus, shouting massacre and throwing a black cloth across the mesh. That was when the riot police returned and charged into the university grounds once more. At times, Mousavi's victory march threatened to crush us amid walls of chanting men and women. They fell into the storm drains and stumbled over broken trees and tried to keep pace with his vehicle, vast streamers of green linen strung out in front of their political leader's car. They sang in unison, over and over, the same words: Tanks, guns, Basiji, you have no effect now. As the government's helicopters roared overhead, these thousands looked upwards and bayed above the clatter of rotor blades: Where is my vote? Clichés come easily during such titanic days, but this was truly a historic moment. Would it change the arrogance of power which Mahmoud Ahmadinejad demonstrated so rashly just a day earlier, when he loftily invited the opposition - there were reported to be huge crowds protesting on the streets of other Iranian cities yesterday - to be his friends, while talking ominously of the red light through which Mousavi had driven. Ahmadinejad claimed a 66 per cent victory at the polls, giving Mousavi scarcely 33 per cent. No wonder the crowds yesterday were also singing - and I mean actually singing in chorus - They have stolen our vote and now they are using it against us. A heavy and benevolent dust fell over us all as we trekked the great highway towards the fearful pyramid of concrete which the Shah once built to honour his father and which the 1979 revolutionaries re-named Freedom Square. Behind us, among the stragglers, stones began to burst on to the road as Basijis besieged the Sharif University (they seem to have something against colleges of further education these days) and one man collapsed on the road, his face covered in blood. But on the great mass of people moved, waving their green flags and shouting in joy at the thousands of Iranians who stood along the rooftops. On the right, they all saw an old people's home and out on to the balcony came the aged and the crippled who must have remembered the reign of the loathed Shah, perhaps even his creepy father, Reza Khan. A woman who must have been 90 waved a green handkerchief and an even older man emerged on the narrow balcony and waved his crutch in the air. The thousands below them shrieked back their joy at
[ppiindia] Pesawat terbang masuk got:
Pesawat terbang masuk got: http://media.smh.com.au/world/world-news/plane-slides-off-runway-576251.html [Non-text portions of this message have been removed]
[ppiindia] Pertunjukan Aruk Gugat oleh Teater Satu (Grup Teater Terbaik 2008)
http://salihara.org/main.php?type=detailmodule=newsmenu=childparent_id=3id=24item_id=735 Sebuah pertujukan dari Grup Teater Terbaik Indonesia tahun 2008 versi majalah Tempo. Teater Satu Lampung mempersembahkan Aruk Gugat. Catatan Proses Kreatif Aruk Gugat Lakon “Aruk Gugat” adalah sebuah eksperimen panjang yang telah dimulai Teater Satu Lampung sejak tahun 1998. Bermula dari sebuah diskusi kecil yang menggagas tentang hubungan teater (pertunjukan) dengan penonton. Lalu berkembanglah pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut: Mungkinkah membuat sebuah karya pertunjukan yang bisa diterima dan dinikmati oleh semua lapisan dan kelas sosial masyarakat? Apakah mungkin dicapai suatu bentuk artistik dan estetik pertunjukan yang bisa diterima dan dimengerti secara umum? Apakah esensi dari sifat-sifat universalitas di dalam karya seni (pertunjukan) itu? Mungkinkah membuat sebuah pertunjukan yang tidak terlalu sukar dilakukan namun memiliki kualitas artistik dan estetik yang bisa diterima dan dinikmati oleh semua penonton? Pertanyaan itu berlanjut pada upaya memeriksa kembali seluruh pertunjukan yang pernah dipentaskan Teater Satu dan bagaimana reaksi penonton terhadapnya. Dari studi kecil-kecilan itu, diperoleh data bahwa sebuah repertoar kecil Teater Satu yang bertajuk “Warahan Aruk Gugat” yang pernah dimainkan pada tahun 1996, adalah salah satu pertunjukan yang paling mungkin bisa meladeni—bukan menjawab—pertanyaan-pertanyaan di atas. Penciptaan repertoar “Warahan Aruk Gugat” ini bersumber dari sastra lisan Lampung yang disebut “Warahan”, yakni salah satu bentuk sastra tutur yang berfungsi sama seperti dongeng. Warahan inilah yang oleh sebagian besar pelaku seni dan peneliti di Lampung disebut sebagai bentuk teater rakyat Lampung. Namun, di dalamnya belum ada kelengkapan unsur-unsur pertunjukan seperti halnya yang terdapat di dalam Ludruk, Ketoprak, Mahyong, Mamanda, dan lain-lain. Warahan masih terbatas pada ada seorang pencerita dan ada cerita yang disampaikan yang biasanya berisi nasihat, sindiran, pesan. Dalam menyampaikan ceritanya, Pewarah atau Pencerita menembangkan seluruh cerita dengan iringan musik gambus. Seorang Pewarah biasanya mampu menghafal 20 sampai 100 bait cerita. Dari sumber-sumber penciptaan seperti itulah, “Warahan Aruk Gugat” dikembangkan—bukan diposisikan dalam bentuknya sebagai dongeng—melainkan kemungkinan-kemungkinannya dikembangkan sebagai pertunjukan yang bisa dinikmati oleh semua kalangan. Dalam proses eksplorasi oleh Tim Artistik Teater Satu, bentuk Warahan ini dipertemukan dengan bentuk-bentuk pertunjukan teater modern yang telah berkembang dan dikenal oleh Teater Satu sebelumnya. Maka, dilakukanlah upaya-upaya identifikasi peran/tokoh, karakterisasi, artistik, aktualitas cerita, untuk memperkaya bentuk pertunjukan Warahan yang telah pernah ada sebelumnya. Hingga saat ini, setelah lebih dari 10 tahun Teater Satu berupaya terus menerus memeriksa dan mengembangkan bentuk pertunjukan Warahan, telah dilakukan lebih dari 70 kali pertunjukan dengan cerita dan bentuk pertunjukan yang berbeda-beda. Namun, sampai saat ini, unsur-unsur artistik pertunjukan yang tetap dipertahankan adalah; kesederhanaan bentuk, plot, dan karakterisasi tokoh utama yakni Aruk, yang tetap setia pada ekspresinya sebgai “SANDIWARA KAMPUNG”. Kami menamakannya Sandiwara Kampung karena repertoar “Warahan Aruk Gugat” memang diniatkan menjadi pertunjukan yang bisa meladeni segala bentuk ruang dan bisa dimainkan di mana saja dan kapan saja; khususnya di Indonesia. Di mana hal-hal yang naif, kampungan, dan segala kategori yang selama ini dianggap sebagai “sisi gelap” dalam perkembangan “ke-ber-adaban” masyarakat (setidaknya dalam persepsi kita yang biasa hidup di wilayah perkotaan) justru dihidangkan. Samasekali bukan untuk meraih semacam simpati atau pemakluman, melainkan untuk diperiksa kembali. Dan pertunjukan di Komunitas Salihara ini adalah bentuk garapan terbaru dari semua pertunjukan yang sudah dipentaskan sebelumnya. Aruk Gugat adalah upaya Teater Satu untuk memeriksa kembali “ke-kampungan”, yang ada dalam lingkungan sosial kami, sistem politik, budaya, dan terutama dalam diri kami sendiri, sambil terus mengupayakannya menjadi pertunjukan yang—bila mungkin—bisa dinikmati oleh semua lapisan masyarakat dengan berbagai latar belakang budaya. Iswadi Pratama Sutradara Sinopsis Aruk adalah seorang anak yatim yang jujur, namun malas dan bodoh. Aruk diharapkan mampu mengangkat kembali harkat dan martabat keluarga yang telah hancur sejak kematian sang ayah. Maka, Emak pun menitipkan Aruk di rumah pamannya, Sirajudin bergelar Pangeran Si Angan-Angan yang kelak akan mendidik Aruk dengan berbagai keterampilan dan pengetahuan sebagai bekal hidup. Aruk mengawali kariernya di bidang militer. Namun ia dikeluarkan, karena menolak mengikuti ujian menembak. Alasan Aruk: jika ia pandai menembak maka nanti akan menembak siapa saja. Gagal jadi prajurit, Aruk berkerja sebagai