[ppiindia] Hati Seorang Ayah

2009-06-16 Terurut Topik muhamad agus syafii
Hati Seorang Ayah

By: agussyafii

Seorang ayah memiliki hati yang penuh kasih untuk anak-anaknya. Hati seorang 
ayah akan tahan menderita bila sakit untuk dirinya sendiri, namun tidak akan 
tahan disaat melihat buah hatinya yang menderita. Bahkan jika sakit itu bisa 
digantikannya, ayah bersedia menggantikan sakit anaknya. Itulah hati seorang 
ayah.

Saya mengenal seorang teman yang juga seorang ayah. Saya biasa memanggilnya Mas 
Jay. Kami biasa berdiskusi lewat milis dan malam itu Mas Jay berkunjung ke 
Rumah Amalia. Mas Jay bertutur mulanya dirinya orang yang ‘mbeling’ tidak 
memiliki keyakinan yang mantap dan tetap. Ketertarikan belajar sholat secara 
serius ketika ajakan  yang begitu menyentuh dari anaknya yang masih TK. Anak 
yang masih relatif kecil setiap hari selalu mengajaknya untuk mengerjakan 
sholat.  Awalnya dirinya menanggapi hal itu sebagai biasa saja.

Ajakannya itu terasa betul-betul menampar hatinya. Begitu sangat berharga dan 
membuatnya menangis meraung-raung justru ketika anaknya sedang sakit masih 
sempat mengajaknya sholat Isya’. Katanya, ditengah malam anak saya  suhu 
badannya panas tinggi dan perutnya mengeras. Anaknya menangis tak 
henti-hentinya merengek mengajak saya sholat. Tanpa berpikir panjang saya 
memenuhi permintaannya untuk mengambil air wudhu. Setelah mengerjakan sholat, 
kami bergegas menuju Rumah Sakit.

Setelah diperiksa ternyata putranya harus dioperasi. Karuan saja dirinya 
menjadi panik. Bagaimana mungkin anaknya yang masih kecil itu  dengan kekuatan 
fisiknya yang masih lemah untuk menghadapi operasi. ‘Saya hanya bisa berserah 
diri kepada Alloh SWT, saya berjanji jika anak saya sembuh. Saya akan rajin 
melaksanakan sholat seperti yang dimintanya.’ Tuturnya. 

Katanya Mas Jay sebelum anak saya masuk ruang operasi masih sempat bertanya 
pada dirinya, ‘ayah sudah sholat belum.’ Kata-kata itu begitu mengiris-iris 
hati saya. Dulu bila mendengar ajakan teman-temannya untuk sholat selalu 
menolaknya karena keengganan untuk melaksanakan sholat. Sekarang kata-kata itu 
justru muncul dari anak yang disayanginya, bagaimana mungkin dirinya bisa 
menolaknya, lanjutnya. Mas Jay tak bisa menyembunyikan airmatanya yang terus 
bercucuran.

‘Saya menunggu putranya didepan kamar operasi’ tuturnya. Ketika lampu operasi 
menyala. Dirinya bersama istri tercinta tidak bisa menyembunyikan 
kegelisahannya, hilir mudik didepan kamar operasi. Waktu seolah berjalan lama 
sekali. ‘Segala macam doa yang saya tahu saya panjatkan kehadirat Alloh SWT.’  
Setelah begitu  lama, kamar operasi itu terbuka. Seorang dokter muncul dari 
pintu. Mencopot sarung tangannya. ‘Operasinya berjalan dengan baik, anak bapak 
sekarang perlu istirahat setelah itu boleh pulang.’ Mas Jay menangis bahagia. 
‘Alangkah nikmatnya anugerah Alloh SWT yang diberikan kepada saya disaat 
harapan mulai memudar, Alloh SWT menyelamatkan putra saya,’ tuturnya. ‘Dan 
sejak itu saya lebih giat untuk melaksanakan sholat karena saya harus memenuhi 
janji saya,’ kata Mas Jay malam itu.  Saya bisa merasakan apa yang terjadi pada 
dirinya. Begitulah hati seorang ayah yang penuh kasih untuk sang buah hatinya.

Wassalam,
agussyafii

---
Tulisan ini dalam rangka kampanye program 'Peduli Kasih Amalia (PKA)'. Mari 
kirimkan dukungan anda pada program 'Peduli Kasih Amalia (PKA)' melalui 
http://agussyafii.blogspot.com, 
http://id-id.facebook.com/people/Agus-Syafii-Muhamad/861635703 atau sms 087 
8777 12431


  

[Non-text portions of this message have been removed]



[ppiindia] Berteduh

2009-06-16 Terurut Topik agussyafii
Berteduh

By: agussyafii

Setiap kali hujan turun, semua orang juga termasuk anak-anak disibukkan untuk 
berteduh. Bahkan seorang ibu sempat mengatakan, ‘heran deh sama anak-anak 
sekarang, sama ibunya berani giliran sama air hujan pada takut.’ Sebenarnya 
takut sama air hujan bukan hanya terjadi sama anak-anak sekarang namun juga 
sudah terjadi sejak dulu. 

Air hujan selalu saja ditakuti bukan hanya sama anak-anak namun juga orang 
dewasa sebab air hujan bisa menyebabkan orang menjadi sakit batuk dan pilek.  
Air hujan juga diidentikkan dengan duka cita. Seringkali kita juga teramat 
takut mencari tempat berteduh bila bertemu dengan duka cita. duka cita  
seringkali dianggap sebagai hukuman, azab, dosa dan juga kesalahan.  Begitu 
tubuh mulai terasa sakit, salah satu keluarga yang kita cintai
 meninggal dunia, perceraian terjadi, organisasi dibubarkan, perusahaan 
bangkrut, masa depan seolah menakutkan, duka cita terlihat menyeramkan. 

Kadangkala bila kita jernih melihat duka cita bukanlah sesuatu yang 
menyeramkan, juga bukan kesalahan ataupun azab yang datangnya dari Alloh SWT 
melainkan cahaya yang mengantarkan kita kepada keindahaan. Jika hidup kita 
hanya dipenuhi dengan suka cita dan kebahagiaan seringkali kita menjadi lupa 
diri. Namun berpisah dengan kesenangan memeluk penderitaan pertanda cahaya 
menuntun perjalanan hidup kita menuju tempat yang indah.

Kanjeng Nabi menganjurkan kepada kita agar kita tidak menghindari penderitaan, 
malah mengajarkan kepada kita agar menyelami semua yang berbentuk duka cita 
sebab ada keindahan dibalik duka cita. Keindahan yang muncul melekat pada diri 
kita dengan sifat cinta kasih pada sesama. Makian sudah bukan lagi sebagai 
sesuatu yang menyakitkan tetapi mempersubur cinta kasih kepada yang
 memakinya. 

Siapapun orang yang pernah menyelami samudra duka cita atau samudra penderitaan 
hal itu pertanda bahwa dirinya sudah dibebankan tugas suci pada dirinya. Tugas 
suci itu adalah menyebarkan salam dan cinta kasih untuk sesama. Sebagaimana 
sabda Nabi Muhamad SAW, ‘’Afsyus salaama bainakum tahaabbuu’ ‘Tebarkanlah salam 
diantara kalian niscaya kalian saling menyayangi. (HR. Hakim). 

Sungguh indah hidup ini jika didalam hati kita penuh cinta kasih. Menerima suka 
cita dengan gembira, menerima duka cita juga dengan gembira. Semoga semua 
makhluk dimuka bumi berbahagia selalu!

Wassalam,
agussyafii

---
Tulisan ini dalam rangka kampanye program 'Peduli Kasih Amalia (PKA)'. Mari 
kirimkan dukungan anda pada program 'Peduli Kasih Amalia (PKA)' melalui 
http://agussyafii.blogspot.com, 
http://id-id.facebook.com/people/Agus-Syafii-Muhamad/861635703 atau sms 087 
8777 12431




  

[Non-text portions of this message have been removed]



[ppiindia] Kenapa SBY belum mengucapkan selamat pada Presiden Iran Ahmadinejad?

2009-06-16 Terurut Topik Satrio Arismunandar
Kenapa Indonesia belum memberi ucapan selamat kepada Ahmadinejad, yang 
terpilih lagi dalam pemilihan Presiden Iran?
 
Kabarnya Jusuf Kalla sudah memberi ucapan selamat, tetapi dalam kapasitas 
pribadi. Karena, untuk mewakili Indonesia, harus SBY selaku Presiden RI. 
 
Kalah cepat lagi nih!
 
==
The Iranian People Speak

By Ken Ballen and Patrick Doherty
Monday, June 15, 2009 

The election results in Iran may reflect the will of the Iranian people. Many 
experts are claiming that the margin of victory of incumbent President Mahmoud 
Ahmadinejad was the result of fraud or manipulation, but our nationwide public 
opinion survey of Iranians three weeks before the vote showed Ahmadinejad 
leading by a more than 2 to 1 margin -- greater than his actual apparent margin 
of victory in Friday's election. 
While Western news reports from Tehran in the days leading up to the voting 
portrayed an Iranian public enthusiastic about Ahmadinejad' s principal 
opponent, Mir Hossein Mousavi, our scientific sampling from across all 30 of 
Iran's provinces showed Ahmadinejad well ahead. 
Independent and uncensored nationwide surveys of Iran are rare. Typically, 
preelection polls there are either conducted or monitored by the government and 
are notoriously untrustworthy. By contrast, the poll undertaken by our 
nonprofit organizations from May 11 to May 20 was the third in a series over 
the past two years. Conducted by telephone from a neighboring country, field 
work was carried out in Farsi by a polling company whose work in the region for 
ABC News and the BBC has received an Emmy award. Our polling was funded by the 
Rockefeller Brothers Fund. 
The breadth of Ahmadinejad' s support was apparent in our preelection survey. 
During the campaign, for instance, Mousavi emphasized his identity as an Azeri, 
the second-largest ethnic group in Iran after Persians, to woo Azeri voters. 
Our survey indicated, though, that Azeris favored Ahmadinejad by 2 to 1 over 
Mousavi. 
Much commentary has portrayed Iranian youth and the Internet as harbingers of 
change in this election. But our poll found that only a third of Iranians even 
have access to the Internet, while 18-to-24-year- olds comprised the strongest 
voting bloc for Ahmadinejad of all age groups. 
The only demographic groups in which our survey found Mousavi leading or 
competitive with Ahmadinejad were university students and graduates, and the 
highest-income Iranians. When our poll was taken, almost a third of Iranians 
were also still undecided. Yet the baseline distributions we found then mirror 
the results reported by the Iranian authorities, indicating the possibility 
that the vote is not the product of widespread fraud. 
Some might argue that the professed support for Ahmadinejad we found simply 
reflected fearful respondents' reluctance to provide honest answers to 
pollsters. Yet the integrity of our results is confirmed by the politically 
risky responses Iranians were willing to give to a host of questions. For 
instance, nearly four in five Iranians -- including most Ahmadinejad supporters 
-- said they wanted to change the political system to give them the right to 
elect Iran's supreme leader, who is not currently subject to popular vote. 
Similarly, Iranians chose free elections and a free press as their most 
important priorities for their government, virtually tied with improving the 
national economy. These were hardly politically correct responses to voice 
publicly in a largely authoritarian society. 
Indeed, and consistently among all three of our surveys over the past two 
years, more than 70 percent of Iranians also expressed support for providing 
full access to weapons inspectors and a guarantee that Iran will not develop or 
possess nuclear weapons, in return for outside aid and investment. And 77 
percent of Iranians favored normal relations and trade with the United States, 
another result consistent with our previous findings. 
Iranians view their support for a more democratic system, with normal relations 
with the United States, as consonant with their support for Ahmadinejad. They 
do not want him to continue his hard-line policies. Rather, Iranians apparently 
see Ahmadinejad as their toughest negotiator, the person best positioned to 
bring home a favorable deal -- rather like a Persian Nixon going to China. 
Allegations of fraud and electoral manipulation will serve to further isolate 
Iran and are likely to increase its belligerence and intransigence against the 
outside world. Before other countries, including the United States, jump to the 
conclusion that the Iranian presidential elections were fraudulent, with the 
grave consequences such charges could bring, they should consider all 
independent information. The fact may simply be that the reelection of 
President Ahmadinejad is what the Iranian people wanted. 


 
















  

[Non-text portions of this message 

[ppiindia] Depag dan DPR Tetapkan Kenaikkan BPIH 2009 Rp 4 Juta

2009-06-16 Terurut Topik sunny
http://jawapos.com/index.php?act=cetakid=28

[ Selasa, 16 Juni 2009 ] 

Depag dan DPR Tetapkan Kenaikkan BPIH 2009 Rp 4 Juta 


JAKARTA - Rapat kerja pembahasan biaya penyelenggaraan ibadah haji (BPIH) 2009 
tuntas sudah. Tadi malam, Departemen Agama (Depag) dan Dewan Perwakilan Rakyat 
(DPR) menetapkan angka riil BPIH 2009. BPIH sebelas embarkasi di Indonesia 
rata-rata mengalami kenaikan USD 38 dan penurunan Rp 401 ribu. Rata-rata BPIH 
tahun ini adalah USD 3.426 plus Rp 100 ribu, sedangkan tahun lalu USD 3.388 
plus Rp 501 ribu. 

''Namun, karena kurs rupiah yang digunakan berbeda dengan tahun lalu, maka 
rata-rata BPIH cenderung naik,'' ujar Menteri Agama Muhammad Maftuh Basyuni 
ketika memberikan keterangan di depan anggota Komisi VIII DPR tadi malam.

Jika tahun lalu pemerintah menetapkan kurs Rp 9.500, tahun ini BPIH menggunakan 
kurs Rp 10.500. Artinya, walaupun dalam dolar BPIH tidak naik secara 
signifikan, ketika di-kurs-kan dalam rupiah, tampak kenaikan yang jumlahnya 
bervariasi antara Rp 3 juta hingga Rp 4 juta tiap embarkasi. ''Rasionalitas 
kenaikan itu akibat ketetapan kurs. Itu berarti, jika nanti ada kemungkinan 
kurs dolar turun, bisa saja biaya haji tetap sama dengan tahun lalu,'' tambah 
Maftuh.

Awal Juni lalu, pemerintah dan DPR merencanakan kenaikan BPIH USD 84 dolar atau 
sekitar Rp 865 ribu per jamaah dan penurunan Rp 410 ribu untuk komponen biaya 
dalam negeri. Karena menuai kritik, maka pada rapat tertutup antara Depag dan 
DPR di Jakarta Rabu malam lalu (10/6), kenaikan BPIH itu dibatalkan. Jadi, BPIH 
tetap disesuaikan dengan komponen penerbangan di tiap embarkasi. Kenaikan 
paling tinggi ada di embarkasi Batam, yang mencapai USD 117. Sedangkan di Aceh 
justru turun USD 15 dolar. ''Kini semua tinggal menunggu diajukan kepada 
presiden untuk disahkan,'' ujar Ketua Komisi VIII DPR Hazrul Azwar.

Untuk mendapatkan komposisi BPIH saat ini, terang Maftuh, pihaknya telah 
melakukan rasionalisasi pada sejumlah hal. Termasuk mengurangi komponen biaya 
makan di Madinah, yang kemudian dibebankan kepada dana optimalisasi atau direct 
cost. Transportasi dari Jeddah ke bandara dan angkutan barang atau naik 
turunnya barang dari hotel sampai ke bandara juga bebas bea. ''Komponen lain 
yang dipangkas adalah biaya makanan untuk jamaah yang sakit,'' terangnya. 

Terkait dengan polemik seputar ketetapan pemerintah Arab Saudi yang mewajibkan 
paspor internasional alias paspor hijau untuk haji, Depag masih meminta waktu 
kepada DPR. Maftuh berjanji memberikan hasil pasti selambat-lambatnya akhir 
Juni atau dua pekan mendatang. (zul)

[Non-text portions of this message have been removed]



[ppiindia] Sepak terjang dan sebuah strategi

2009-06-16 Terurut Topik sunny
http://www.harianterbit.com/artikel/rubrik/artikel.php?aid=69694



Sepak terjang dan sebuah strategi
  Tanggal :  15 Jun 2009 
  Sumber :  Harian Terbit 


Oleh Harmoko


ADA apa Golkar dengan Harmoko? 

Pertanyaan inilah yang menggelitik dan tak terhindarkan ketika kita melihat 
sepintas buku ''Quo Vadis Golkar - Mencari Presiden Pilihan Rakyat'' yang 
ditulis Nirwanto Ki S Hendrowinoto, seorang wartawan senior, bersama 
kawan-kawannya.

Buku yang tidak terlalu tebal ini, sepertinya sengaja dilempar ke pasar oleh 
penerbitnya, Kintamani Publishing, ketika perhatian hampir seluruh rakyat 
Indonesia saat ini tertuju kepada sosok 3 calon presiden beserta pasangan 
masing-masing yang sedang sibuk berkampanye.

Ada apa dengan Harmoko dan Golkar, dan ada apa dengan Harmoko dan tiga calon 
presiden yang sedang bertarung saat ini? Itulah pertanyaannya. 

Di negeri ini, siapa pun tahu Harmoko. Seorang wartawan yang bahkan dapat 
disebut sebagai sosok jurnalis  yang sangat fenomenal. Dalam usia begitu muda 
sudah memimpin PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) Jaya, lalu menjadi Ketua 
Pelaksana PWI Pusat dan tak lama kemudian menjadi menteri. Fenomenal, karena ia 
berhasil merintis karir dari bawah sekali, dari seorang wartawan yang membangun 
grup penerbitan Pos Kota, memimpin organisasi wartawan, lalu menjadi menteri 
selama tiga periode berturut-turut. 

Tak hanya itu, ia pun berhasil naik ke tampuk pimpinan tertinggi sebuah partai 
politik terbesar di negeri ini, Golkar, yang bahkan berkat keuletannya juga 
menjadi kekuatan single mayority di panggung politik nasional saat itu. Lalu 
menjadiKetua DPR/MPR.

Di zaman Orba, peran dan peranan Harmoko harus diakui, ikut mewarnai kehidupan 
perjalanan bangsa. Ia juga berhasil membangun citra dirinya sebagai seorang 
tokoh Golkar yang sukses. Ketokohan Harmoko justru menjadi sangat teruji ketika 
ia dipercaya sebagai Ketua Umum Golkar untuk masa bhakti 1993-1998.

Sebagai Ketua Umum Golkar, narasi sepak terjangnya pun sungguh menarik 
perhatian publik, terutama ia dikenal sebagai tokoh yang sering bicara soal 
nasib wong cilik. Gambaran ketokohannya secara umum inilah yang bisa disimak 
dari pada buku ''Quo Vadis Golkar - Mencari Presiden Pilihan Rakyat''. 

Buku ini, seperti diungkapkan Nirwanto sendiri, untuk melihat sejatinya kisah 
perjalanan Orba dan kaitannya dengan sepak terjang Bung Harmoko, dari seorang 
wartawan, menjadi menteri dan kiprahnya di panggung politik nasional.

Keberhasilan Harmoko itu pulalah yang menarik dan menggelitik Ir. H. Budi Utoyo 
selaku penerbit Kintamani Publishing, yang tertarik menerbitkan buku ini di 
tengah-tengah gonjang-ganjing euforia politik pada Pilpres  tahun 2009.

''Sosok Harmoko punya nilai plus dalam kehidupan berbangsa. Golkar pada waktu 
itu menempatkan diri sebagai single majority dalam memenangkan Pemilu 1997. 
Suatu hasil yang sangat fenomenal. Itu semua karena hasil kerja keras Bung 
Harmoko dalam memimpin Golkar dan timnya,'' ungkap Budi Utoyo.

Keberasilan itu tidak terlepas dengan gaya kepemimpinannya yang selalu membela 
kepentingan wong cilik. Dari situlah akar pohon beringin sebagai simbolisasi 
kekuatan gotong royong Golkar semakin kuat dan sosok Harmoko menjadi ujung 
tombak yang dinamis.

Harmoko sendiri sudah aktif di Golkar sejak awal, sejak organisasi ini masih 
berupa embrio dengan nama Sekretariat Bersama (Sekber) Golkar pada tahun 1964.  
Pada waktu itu, ia aktif melalui organisasi massa bernsama Sentral Organisasi 
Kekaryaan Swadiri Indonesia (SOKSI), satu dari tiga unsur Trikarya Golkar.

Prolog pada buku ini menyiratkan siapa sejatinya Bung Harmoko, ''Sikap kritis 
dan korektif yang dikembangkan pada tubuh Golkar bukan sekadar basa-basi  
politik. Harmoko dengan gayanya yang ceplas-ceplos, tegas dan terang-terangan, 
berani mengatakan kebenaran di atas kebenaran,'' ungkap Nirwanto.

Sepak terjang dan strategi Harmoko sejak jadi wartawan yang membangun Pos Kota, 
memimpin PWI sampai menduduki kursi Menteri Penerangan selama tiga periode, 
sebagaimana dilukiskan pada buku ini, bukanlah sebuah pemberian atau kado yang 
diberikan Presiden Soeharto kepadanya. Tapi adalah sebuah prestasi besar di 
dalam hidup Harmoko yang diukirnya melalui sepak terjang dan strategi 
tersendiri.

Itu sebabnya, meski kini Harmoko tak lagi duduk di jajaran rumah tangga Golkar, 
 di panggung politik nasional namanya sulit untuk dinafikan. (rel/tbt/lia)




[Non-text portions of this message have been removed]



[ppiindia] Re: [PersIndonesia] Kenapa SBY belum mengucapkan selamat pada Presiden Iran Ahmadinejad?

2009-06-16 Terurut Topik sunny
Hugo Chavez sudah sampaikan pada hari diberitakan kemenagan Ahmedinejad.

  - Original Message - 
  From: Satrio Arismunandar 
  To: kahmi_pro_netw...@yahoogroups.com ; Forum Kompas ; 
aipi_poli...@yahoogroups.com ; is...@yahoogroups.com ; ppiindia ; nasional list 
; news Trans TV ; kampus tiga ; Pers Indonesia ; sastra pembebasan 
  Sent: Tuesday, June 16, 2009 11:11 AM
  Subject: [PersIndonesia] Kenapa SBY belum mengucapkan selamat pada Presiden 
Iran Ahmadinejad?





Kenapa Indonesia belum memberi ucapan selamat kepada Ahmadinejad, yang 
terpilih lagi dalam pemilihan Presiden Iran?

Kabarnya Jusuf Kalla sudah memberi ucapan selamat, tetapi dalam 
kapasitas pribadi. Karena, untuk mewakili Indonesia, harus SBY selaku Presiden 
RI. 

Kalah cepat lagi nih!

==
The Iranian People Speak

By Ken Ballen and Patrick Doherty
Monday, June 15, 2009 

The election results in Iran may reflect the will of the Iranian 
people. Many experts are claiming that the margin of victory of incumbent 
President Mahmoud Ahmadinejad was the result of fraud or manipulation, but our 
nationwide public opinion survey of Iranians three weeks before the vote showed 
Ahmadinejad leading by a more than 2 to 1 margin -- greater than his actual 
apparent margin of victory in Friday's election. 
While Western news reports from Tehran in the days leading up to the 
voting portrayed an Iranian public enthusiastic about Ahmadinejad' s principal 
opponent, Mir Hossein Mousavi, our scientific sampling from across all 30 of 
Iran's provinces showed Ahmadinejad well ahead. 
Independent and uncensored nationwide surveys of Iran are rare. 
Typically, preelection polls there are either conducted or monitored by the 
government and are notoriously untrustworthy. By contrast, the poll undertaken 
by our nonprofit organizations from May 11 to May 20 was the third in a series 
over the past two years. Conducted by telephone from a neighboring country, 
field work was carried out in Farsi by a polling company whose work in the 
region for ABC News and the BBC has received an Emmy award. Our polling was 
funded by the Rockefeller Brothers Fund. 
The breadth of Ahmadinejad' s support was apparent in our preelection 
survey. During the campaign, for instance, Mousavi emphasized his identity as 
an Azeri, the second-largest ethnic group in Iran after Persians, to woo Azeri 
voters. Our survey indicated, though, that Azeris favored Ahmadinejad by 2 to 1 
over Mousavi. 
Much commentary has portrayed Iranian youth and the Internet as 
harbingers of change in this election. But our poll found that only a third of 
Iranians even have access to the Internet, while 18-to-24-year- olds comprised 
the strongest voting bloc for Ahmadinejad of all age groups. 
The only demographic groups in which our survey found Mousavi leading 
or competitive with Ahmadinejad were university students and graduates, and the 
highest-income Iranians. When our poll was taken, almost a third of Iranians 
were also still undecided. Yet the baseline distributions we found then mirror 
the results reported by the Iranian authorities, indicating the possibility 
that the vote is not the product of widespread fraud. 
Some might argue that the professed support for Ahmadinejad we found 
simply reflected fearful respondents' reluctance to provide honest answers to 
pollsters. Yet the integrity of our results is confirmed by the politically 
risky responses Iranians were willing to give to a host of questions. For 
instance, nearly four in five Iranians -- including most Ahmadinejad supporters 
-- said they wanted to change the political system to give them the right to 
elect Iran's supreme leader, who is not currently subject to popular vote. 
Similarly, Iranians chose free elections and a free press as their most 
important priorities for their government, virtually tied with improving the 
national economy. These were hardly politically correct responses to voice 
publicly in a largely authoritarian society. 
Indeed, and consistently among all three of our surveys over the past 
two years, more than 70 percent of Iranians also expressed support for 
providing full access to weapons inspectors and a guarantee that Iran will not 
develop or possess nuclear weapons, in return for outside aid and investment. 
And 77 percent of Iranians favored normal relations and trade with the United 
States, another result consistent with our previous findings. 
Iranians view their support for a more democratic system, with normal 
relations with the United States, as consonant with their support for 
Ahmadinejad. They do not want him to continue his hard-line policies. Rather, 
Iranians apparently see Ahmadinejad as their toughest negotiator, the person 
best positioned to bring home a favorable deal -- rather like a 

[ppiindia] Cermin Ke’TIdak Rukun’an Dalam Dialog Ke’Rukun ’an

2009-06-16 Terurut Topik M.J Thamrin
Rukun hanya terjadi jika semua pihak saling menghargai dan saling
menghormati satu sama lain. Saling menjaga juga saling mengapresiasi satu
sama lain. Toleransi sering kali tidak berujung pada kerukunan, karena dalam
toleransi ada pihak yang menjadi inferior atau minoritas, sehingga harus
di-’tolerir’ keberadaannya.

Kerukunan dalam bermasyarakat, apalagi masyarakat Indonesia yang sangat
beragam mulai dari agama, suku, dan ras, mutlak diperlukan demi terciptanya
kedamaian. Sayangnya banyak pihak yang justru mempunyai peran vital dalam
masyarakat tidak menjunjung tinggi nilai kerukunan ini dengan menyebarkan
pesan-pesan yang sarat dengan bibit perpecahan.

Seperti dalam Dialog Kerukunan Umat Beragama, yang disiarkan oleh TVRI pada
hari Jumat, 12 Juni 2009 lalu. Salah satu panelis, seorang anggota DPR,
mengatakan bahwa dalam masyarakat yang mayoritas beragama Islam, tidak
seharusnya didirikan tempat ibadah agama selain agama Islam. Kerukunan
seperti apa yang kiranya diharapkan oleh Bapak Anggota DPR kita yang
terhormat tsb ? Dan beliau bicara di sebuah dialog bertemakan kerukunan umat
beragama. Sungguh ironis!

Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan Pancasila, bukan berdasar
pada mayoritas agama tertentu. Ketika hanya mayoritas saja yang diutamakan,
diperhitungkan, apresiasi tidak mungkin terjadi. Hanya akan ada toleransi,
si minoritas akan ditolerir keberadaannya dengan batasan-batasan yang
ditentukan oleh sang mayoritas, seperti tidak boleh mendirikan tempat
ibadahnya.

Sekali lagi, Indonesia adalah negara berdasar Pancasila, yang menjunjung
semangat Bhineka Tunggal Ika, berbeda namun satu jua. Dalam semangat ini,
perbedaan diterima sebagai sebuah berkah dan disikapi dengan apresiasi
terhadap sesama anak bangsa. Hendaknya setiap elemen bangsa dan negara ini,
apalagi elemen vital seperti DPR/ Wakil Rakyat dan TVRI yang merupakan
televisi bangsa, bertindak selaras dengan dasar negara kita, Pancasila.
Bukan malah menebarkan bibit perpecahan ke masyarakat luas.

Wakil rakyat dipilih bukan untuk menyuarakan kepentingan golongannya saja,
tapi menyuarakan kepentingan seluruh masyarakat. Begitu pula dengan pihak
media, yang sangat vital dalam penyebaran informasi. Cerminan
‘ketidakrukunan’ dalam acara dialog kerukunan ini harus menjadi instrospeksi
bagi semua elemen bangsa, mau dibawa kemana bangsa ini ? Perpecahan atau
Persatuan ?


[Non-text portions of this message have been removed]





***
Berdikusi dg Santun  Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality  Shared Destiny. 
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia
***
__
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Reading only, http://ppi-india.blogspot.com 
4. Satu email perhari: ppiindia-dig...@yahoogroups.com
5. No-email/web only: ppiindia-nom...@yahoogroups.com
6. kembali menerima email: ppiindia-nor...@yahoogroups.com
Yahoo! Groups Links

* To visit your group on the web, go to:
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

* Your email settings:
Individual Email | Traditional

* To change settings online go to:
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/join
(Yahoo! ID required)

* To change settings via email:
mailto:ppiindia-dig...@yahoogroups.com 
mailto:ppiindia-fullfeatu...@yahoogroups.com

* To unsubscribe from this group, send an email to:
ppiindia-unsubscr...@yahoogroups.com

* Your use of Yahoo! Groups is subject to:
http://docs.yahoo.com/info/terms/



[ppiindia] Fw: : A leader should know how to manage failure ( MUST READ INSPIRATIONAL STORY )

2009-06-16 Terurut Topik Kartono Mohamad
 
 

 



 



 
A leader should know how to manage failure 
 

 
 
(Former President of India APJ Abdul Kalam at Wharton India Economic forum ,
Philadelphia , March 22,2008 )

Question: Could you give an example, from your own experience, of how
leaders should manage failure?

Kalam: Let me tell you about my experience. In 1973 I became the project
director of India 's satellite launch vehicle program, commonly called the
SLV-3. Our goal was to put India 's 'Rohini' satellite into orbit by 1980. I
was given funds and human resources -- but was told clearly that by 1980 we
had to launch the satellite into space. Thousands of people worked together
in scientific and technical teams towards that goal. 


By 1979 -- I think the month was August -- we thought we were ready. As the
project director, I went to the control center for the launch. At four
minutes before the satellite launch, the computer began to go through the
checklist of items that needed to be checked. One minute later, the computer
program put the launch on hold; the display showed that some control
components were not in order. My experts -- I had four or five of them with
me -- told me not to worry; they had done their calculations and there was
enough reserve fuel. So I bypassed the computer, switched to manual mode,
and launched the rocket. In the first stage, everything worked fine. In the
second stage, a problem developed. Instead of the satellite going into orbit
 the whole rocket system plunged into the Bay of Bengal . It was a big
failure.


That day, the chairman of the Indian Space Research Organization, Prof.
Satish D hawan, had called a press conference. The launch was at 7:00 am ,
and the press conference -- where journalists from around the world were
present -- was at 7:45 am at ISRO's satellite launch range in Sriharikota
[in Andhra Pradesh in southern India ]. Prof. Dhawan, the leader of the
organization, conducted the press conference himself. He took responsibility
for the failure -- he said that the team had worked very hard, but that it
needed more technological support. He assured the media that in another year
 the team would definitely succeed.. Now, I was the project director, and it
was my failure, but instead, he took responsibility for the failure as
chairman of the organization.


The next year, in July 1980, we tried again to launch the satellite -- and
this time we succeeded. The whole nation was jubilant. Again, there was a
press conference. Prof. Dhawan called me aside and told me, 'You conduct the
press conference today.' 


I learned a very important lesson that day. When failure occurred, the
leader of the organization owned that failure. When success came, he gave it
to his team. The best management lesson I have learned did not come to me
from reading a book; it came from that experience.
 
 

 





 







 

[Non-text portions of this message have been removed]



[ppiindia] NII Cabang Garut Tolak Pemilu Presiden dan Siap Perang

2009-06-16 Terurut Topik sunny
Refleksi : Kalau sudah siap perang, silahkan segera maju sebagai barisan depan 
dan lakukan tugas berperang. Maju gemetar mundur tak gentar!


http://www.tempointeraktif.com/hg/Pemilu2009_serba_serbi/2009/06/16/brk,20090616-182112,id.html

NII Cabang Garut Tolak Pemilu Presiden dan Siap Perang
Selasa, 16 Juni 2009 | 07:11 WIB


TEMPO Interaktif, Garut: Kelompok Negara Islam Indonesia (NII) wilayah selatan 
Kabupaten Garut, Jawa Barat, menolak pelaksanaan pemilihan presiden pada 8 Juli 
ini. Surat penolakan dengan tulisan tangan diberikan kepada pemerintah setempat 
pada 26 Mei 2009 pukul 09.25 WIB.

Mereka tidak mengakui Negara Kesatuan Republik Indonesia,  kata Kepala Desa 
Purbayani, Kecamatan Caringin, Kabupaten Garut, Heryanto saat dihubungi Tempo 
melalui telpon selulernya.

Menurut Heryanto, kelompok ini mengganggap negaranya berdiri lebih awal dari 
negara Indonesia. Indonesia dikatakan berdiri pada 17 Agustus 1945, sedangkan 
NII berdiri pada 7 Agustus 1945. Sehingga Indonesia dinilai menumpang di 
negaranya. Sejauh ini belum ada tindakan tegas dari pemerintah.

Di desa Purbayani, terdapat 27 orang pengikut NII. Aksi ini bukanlah kali 
pertama mereka lakukan. Setiap kali pelaksanaan pemilihan, baik pemilihan 
kepala desa, bupati dan gubernur, NII Garut selalu mengeluarkan statemen 
menolak. Kegiatan mereka di wilayah Garut telah berumur sekitar 20 tahun. 

Meski menyimpang, kata Haryanto,  kegiatan mereka tidak meresahkan penduduk 
desa. Aktivitas kenegaraan seperti pengibaran bendera atau yel yel anti-RI 
hampir tidak muncul. Kehidupan sehari-hari mereka berbaur dengan masyarakat 
lainya. Mereka ikut  kerja bakti atau kegiatan gotong royong. Kami tetap 
melaporkan kepada yang berwajib untuk selalu diawasi dan dibina, ujarnya.

Juru bicara Komisi Pemilihan Umum Daerah Kabupaten Garut Dadang Sudrajat 
mengaku tidak mengetahui kejadin tersebut. Menurutnya, tidak ada satu pun 
kolempok masyarakat menolak pelaksanaan pemilu presiden. Pada 2004 lalu memang 
ada kelompok NII  yang menolak pilpres, kalau sekarang saya belum tahu, 
ujarnya singkat.

Keberadaan NII di Kabupaten Garut mencuat pada 2007,  dipimpin Imam Besar atau 
panglima tertinggi Sensen Komara. Aktivitas kelompok tersebut muncul kembali 
pada 17 Januari 2008, dengan  engibarkan bendera merah putih bergambar bulan 
bintang berukuran 2x240 sentimeter di halaman rumah sang serssn.

Maskas mereka di Kampung Babakan Cipari, Desa Sukarasa, Kabupaten Garut, Jawa 
Barat. Berdasarkan informasi yang dihimpun jumlah pengikut NII di Garut
sekitar 2.000 orang. Berikut petikan surat penolakan pemilu presiden yang 
ditandatangani ketua NII Garut Selatan Wowo Wahyudin, 33 tahun.

Surat ini adalah merupakan pemberitahuan, mau atau tidak, suka atrau tidak 
suka, mengerti atau tidak. Negara ini adalah Negara Islam Indonesia. Kami/Saya 
tidak mau dilibatkan, dicantumkan dalam urusan pilpres. Kami/Saya telah 
diberitahukan oleh Imam Negara Islam Indonesia untuk siap berperang.  Demikian 
surat ini saya nyatakan yang sebenarnya.


[Non-text portions of this message have been removed]



[ppiindia] Fw: Menkes Bicara Kasus Prita

2009-06-16 Terurut Topik Kartono Mohamad
 
 
---Original Message---
 
From: Evi Douren
Date: 6/16/2009 1:20:02 PM
To: kartono mohamad;  Farid Anfasa Moeloek;  Nila Moeloek;  Adi sasongko; 
Dwi RatnaSarashvati;  firman lubis;  charles surjadi;  Sarmedi Purba; 
Nafsiah Mboi
Subject: Menkes Bicara Kasus Prita
 


Kamis, 04/06/2009 10:28 WIB
Menkes Bicara Kasus Prita
Anwar Khumaini - detikNews



Jakarta - Menteri Kesehatan (Menkes) angkat bicara soal Prita Mulyasari (32)
yang saat ini menjadi terdakwa kasus pencemaran nama baik RS Omni
International. Menurut Menkes, kasus ini sebenarnya tidak akan terjadi jika
pihak rumah sakit memberikan hasil tes trombosit Prita.

Etiknya, seorang pasien punya hak untuk bertanya dan mempunyai hak untuk
dijawab oleh dokter. Pasien mempunyai hak untuk mengetahui hasil
pemeriksaannya dan tindakan apa yang dilakukan oleh dokter, ujar Siti
Fadillah Supari dalam perbincangan dengan detikcom via telepon, Kamis
(4/6/2009).

Berikut hasil wawancara lengkap detikcom dengan ahli jantung itu:

Bagaimana soal permintaan Prita pada hasil lab trombosit 27.000 di RS Omni
International?

Selama ini UU-nya belum ada. Tapi ada etiknya, artinya bahwa seseorang
pasien punya hak untuk bertanya dan mempunyai hak untuk dijawab oleh dokter.
Pasien mempunyai hak untuk mengetahui hasil pemeriksaannya, dan tindakan apa
yang dilakukan oleh dokter, itu etik. Tetapi belum ada UU yang mengatur.
Saya sedang bikin UU yang cukup lengkap untuk melindungi hak-hak pasien dan
dokter, maupun rumah sakit.

Sekarang perkembangan RUU tersebut bagaimana?

Sekarang sedang digodok di DPR. Mudah-mudahan akhir 2009, RUU Perumahsakitan
bisa segera disahkan oleh DPR. Ini untuk menjaga hak pasien. Pasien punya
hak. Tapi pada suatu saat jika pasien punya keluhan seharusnya ada jalurnya,
dengan MKKI (Majelis Kehormatan Kedokteran Indonesia), apa ke polisilah.
Pengaduan itu kan bukan ke detikcom. Tetapi ke jalur yang betul, kalau ada
yang tidak terima.

Tindakan RS Omni apa bisa dikatakan malpraktek?

Apa malpraktek atau tidak, saya belum bisa jawab. Jadi harus didorong, DPR
tolong dong itu lindungi hak pasien dan dokter dan RS yang tiba-tiba merasa
disudutkan.

RS adalah suatu lembaga atau usaha yang padat modal dan padat karya. Kalau
misalkan sampai ulah dari satu orang bisa menyebabkan RS bangkrut atau tutup
hanya karena satu tuduhan yang tidak terbukti, kan disayangkan. Rumah sakit
kan menanggung beberapa ratus karyawan. Kalau dokter masih bisa praktek di
tempat lain, suster juga bisa. Tapi ada berapa ratus karyawan lain dan
ratusan anak-anaknya. Semua punya hak.

Apa Depkes bisa memberikan sanksi kepada RS Omni terkait kasus Prita?

Nggak bisa. Sama sekali tidak bisa. Negur sih bisa, tapi beri sanksi nggak
bisa. Saya tak punya tangan langsung ke RS tersebut, kecuali hak-hak etika
saja. Memang unik kasus ini. Ini pelajaran bagi kita semua. Kedua-duanya
tidak pada jalurnya. Mestinya harusnya mengeluh langsung ke direkturnya. Ada
tempat pengaduan resmi, apalagi ini RS internasional. Pasti sangat menjaga
kliennya.

Jadi harus ditaruh dalam proporsi yang betul, kekurangan layanan RS harus
disampaikan pada jalur yang betul. Itu kan istilahnya preman dibales preman,
dalam tanda kutip. Yang satu seolah-olah curhat, padahal akibatnya RS bisa
bangkrut. Mudah-mudahan tidak terjadi lagi masalah seperti ini.
(anw/nrl) 







  
No virus found in this incoming message.
Checked by AVG - www.avg.com
Version: 8.5.339 / Virus Database: 270.12.71/2178 - Release Date: 06/15/09
17:54:00
 

[Non-text portions of this message have been removed]



[ppiindia] Mabes Polri Rencana Museumkan BB Bom Bali I

2009-06-16 Terurut Topik sunny
Refleksi : Menurut beberapa petinggi NKRI bahwa ledakan di Bali itu adalah 
ledakan micro-nuke, jadi pertanyaannya ialah bagaimana dengan radio aktif 
pada benda bukti, apakah tidak berbahaya bagi kesehatan bila dipertontonkan 
kepada umum? 

http://jawapos.com/index.php?act=cetakid=28

[ Selasa, 16 Juni 2009 ]

Mabes Polri Rencana Museumkan BB Bom Bali I 


DENPASAR - Tragedi Bom Bali I 12 Oktober 2002 benar-benar membekas pada rakyat 
Bali. Kenangan buruk dan memilukan, sepertinya, sulit dihapus begitu saja dari 
benak rakyat Pulau Dewata itu. Mabes Polri berencana memuseumkan barang bukti 
(BB) Bom Bali I yang kini masih tersimpan rapi di Kantor Kejaksaan Tinggi 
(Kejati) Bali.

Rencana Mabes Polri itu tercetus dari sebuah sumber di Kejaksaan Tinggi Bali. 
Sumber tersebut menyebutkan sejumlah barang bukti yang masih tersimpan rapi. 
Antara lain, buku jihad Al Qaidah, proposal, compact disk (CD), timbangan, 
serpihan mobil, dan peranti elektronik. 

''Barang bukti itu sudah dirapikan. Rencananya, (BB) langsung dibawa ke Jakarta 
untuk dimuseumkan,'' ujar sumber tersebut. Menurut dia, BB tersebut akan 
disimpan secara khusus di museum Mabes Polri sebagai penanda telah terjadi 
bencana kemanusiaan dalam sejarah Indonesia. 

Museum BB tindak pidana teroris itu rencananya diresmikan Presiden Susilo 
Bambang Yudhoyono (SBY) pada 1 Juli 2009 mendatang, tepat pada perayaan hari 
ulang tahun (HUT) Bhayangkara. ''Memang benar demikian. Mabes Polri akan 
mengambil BB Bom Bali I untuk dimuseumkan. Tapi, saya tidak bisa memberikan 
keterangan lebih lanjut mengenai rencana itu karena semua laporan memang tidak 
dilaporkan Aspidum (IB Wiswantanu) kepada saya. Melainkan, langsung ke Pak 
Kajati (Boediman Rahardjo),'' ujar Wakajati Bali AF Dharmawan.

Pantauan koran ini, sejumlah jaksa -baik dari Kejati Bali maupun Kejari 
Denpasar- terlihat sibuk menyiapkan BB Bom Bali I yang akan dimuseumkan. Mereka 
memilah beberapa BB ke dalam satu tempat. Kemudian, disimpan tersendiri sesuai 
dengan jenis barang buktinya.

Rencana pemindahan BB Bom Bali I juga diakui Kasipenkum Kejati Bali IGN 
Endrawan. Kepada wartawan, Endrawan mengatakan bahwa pada Jumat 15 Mei 2009, 
ada lima tamu dari Jakarta. Dengan berbekal peralatan syuting, mereka 
mendatangi Kejati Bali. Dua di antara lima tamu itu merupakan utusan Polri, 
sedangkan tiga orang lainnya dari PT National Price Club Indonesia (NPCI). 

Menurut Endrawan, para tamu dari Jakarta itu datang tidak untuk membuat film 
dokumentasi tentang peran Polri dalam mengusut kasus Bom Bali I. ''Mereka 
sedang mendokumentasikan kejadian Bom Bali I. Jadi, mereka datang ke sini 
(kejati) untuk mengambil BB yang masih tersimpan di sini,'' tandasnya. 

Untuk apa dokumentasi itu? Menurut dia, berdasar penuturan kru, dokumentasi 
tersebut akan menjadi salah satu bahan koleksi museum Polri sebagai pengingat 
sejarah bagi generasi mendatang. Diakui, setelah mengambil beberapa scene di 
Kejati Bali, mereka langsung meninjau lokasi bekas ledakan, Ground Zero, Jalan 
Legian, Kuta. Mereka juga melakukan wawancara khusus dengan dua saksi korban 
dan relawan Bom Bali I, Haji Bambang Sutrisno.

Sebagaimana diketahui, beberapa BB Bom Bali I sudah dimusnahkan. Karena itu, 
masih ada yang tersimpan. Sebagian BB yang tersimpan di kejati dan Rubasan 
Denpasar tersebut belum dimusnahkan karena masih berkaitan dengan perkara lain. 
Kebetulan, masih ada beberapa gembong Bom Bali I yang belum tertangkap. Di 
antaranya, Noerdin M. Top. (mus/jpnn/ruk)


[Non-text portions of this message have been removed]



[ppiindia] Modus Baru Perampokan Uang Negara

2009-06-16 Terurut Topik sunny
http://jawapos.com/index.php?act=cetakid=28

[ Selasa, 16 Juni 2009 ]


Modus Baru Perampokan Uang Negara 


USUL gila dan tidak masuk akal. Hanya itulah yang pantas dikatakan ketika 
mendengar ide untuk memberikan cenderamata cincin emas kepada anggota DPR. Jika 
usul itu dikabulkan, paling tidak negara harus menganggarkan uang sebesar Rp 5 
miliar. Apabila usul tersebut dilaksanakan, hal itu merupakan bentuk perampokan 
uang negara dalam modus baru. 

Saya setuju dengan pernyataan Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia 
(Formappi) bahwa pemberian cenderamata kepada anggota DPR dapat dikategorikan 
sebagai korupsi dan penyalahgunaan anggaran. Alasannya, dalam UU Susunan 
Kedudukan dan Tata tertib Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), tidak ada aturan 
tentang hal itu.

Dody Candra, Griya Asri II Depok, Jawa Barat 


[Non-text portions of this message have been removed]



[ppiindia] Ruhut Sitompul: ‘’SBY Minta Saya Jangan K endor’’

2009-06-16 Terurut Topik Satrio Arismunandar
’SBY Minta Saya Jangan Kendor’’ 
 
 
APA yang dilakukan Ruhut Sitompul terkait dengan pernyataannya yang selalu 
kontroversial sepertinya sudah mendapat restu dari SBY.
  
Ruhut dan Rizal Mallarangeng dikenal sebagai Tim Bayonet yang dibentuk kubu 
SBY-Boediono. Tim Bayonet ini bertugas menyerang kubu lawan lewat kata pedas 
dan keras. 
  
Kepada Indonesia Monitor, Ruhut menjelaskan panjang lebar soal keberadaan Tim 
Bayonet. Berikut petikannya? 
  
Apakah benar Tim Bayonet itu ada? 
Tim bayonet itu sebetulnya sebutan dari teman-teman di tim sukses SBY-Boediono. 
Saya bersama Rizal Mallarangeng ada didalamnya. 
  
Apa peran anda didalam Tim Bayonet? 
Saya dituntut memerankan peran antagonis untuk memancing emosi lawan. Tugas 
utama meng-counter isu-isu miring yang merusak citra SBY-Boediono. Namun yang 
menjadi catatan adalah, kita tidak pernah menyerang lebih dulu dan tetap 
mengedepankan etika dan sopan santun. Kalau tim yang santunnya kan ada Pak Anas 
Urbaningrum, Pak Marzuki Ali. 
  
Apakah ‘insiden Arab’ sudah direncanakan? 
Begini, dari lubuk hati yang paling dalam, saya memohon maaf pada semua pihak. 
Kenapa sampai terjadi insiden tersebut. Itu karena Fuad Bawazier yang 
memulainya lebih dulu. Saya sudah cukup santun dan sabar mendengarkan 
pernyataan Fuad yang selalu mengatakan SBY tidak memliki prestasi apa-apa, 
bahkan Boediono dikatakan sebagai Ayatullahnya Neolib. Maka wajar apabila kita 
counter. 
  
Betul kalau anda disuruh minta maaf oleh Ketua umum Hadi Utomo? 
Di Tim Sembilan, saya bisa dikatakan kader Demokrat yang bukan pengurus harian 
yang dekat dengan Ketua Umum Hadi Utomo. Saya sudah ceritakan semuanya, beliau 
sangat paham dan mengerti dengan posisi saya saat itu. 
  
Apakah ada Rapat Badan Kehormatan Partai Demokrat yang khusus membahas masalah 
Anda? 
Buktinya saya masih duduk di Tim 9. Dan rapat tersebut sebetulnya tidak ada. 
Karena kita sudah sepaham dengan apa yang sebenarnya terjadi. 
  
Bagaimana dengan SBY? Pada saat Kasus Mubarok 2,5 persen, SBY mewakili partai 
langsung meminta maaf, sedangkan pada saat ‘Insiden Arab’ SBY biasa-biasa saja. 
Kenapa? 
SBY tahu betul dan paham dengan tugas saya. Bahkan dalam kampanye terbuka 
pertama di PRJ pada kamis (4/6) kemarin. Di depan ketua umum dan tim sembilan 
lainya, SBY mengatakan, Ruhut kamu jangan sampai kendor. Maju terus dan lakukan 
tugas yang saya perintahkan. Nah, saya pikir itu adalah buah kerja keras yang 
didasari rasa ikhlas yang saya lakukan selama ini. Jadi Beda dengan kasusnya 
Mubarok. 
  
■  Dimas Ryandi 
http://www.indonesi a-monitor. com/main/ index.php? option=com



  

[Non-text portions of this message have been removed]



[ppiindia] Tragis SBY tak Akui BLT Utang Luar negeri

2009-06-16 Terurut Topik Satrio Arismunandar
From: pejuang rakyat sejati pejuang.rakyat.sej...@gmail.com
Date: Tuesday, June 16, 2009, 6:00 PM




JK Win: Tragis SBY Tak Akui BLT Utang
Djibril Muhammad



Susilo Bambang Yudhoyono
(inilah.com /Raya Abdullah)
INILAH.COM, Jakarta - Masih enggannya tim kampanye SBY-Boediono mengakui BLT 
berasal dari utang luar negeri, disesalkan Tim Kampanye Nasional JK-Wiranto.
sesuai laporan BPK, dana BLT benar berasal dari hutang Luar Negeri yaitu dari 
World Bank, senilai USD 1 Miliar, dimana tercantum dipihak World Bank bahwa 
pinjaman tersebut digunakan untuk safety net, jelas Juru Bicara Tim Kampanye 
Nasional JK-Wiranto, Poempida Hidayatullah kepada INILAH.COM di Jakarta, Selasa 
(16/6). 
Padahal, menurut menantu Menteri Perindustrian ini, BPK telah memberikan 
laporan resmi terkait audit keuangannya di lembaga pemerintahan tersebut. 
Karena itu, pihaknya mempertanyakan tekad untuk bersikap jujur dan bersih dari 
SBY. 
SBY malah melakukan hal sebaliknya. Kami dukung upaya Bawaslu untuk melarang 
pemerintah melakukan kegiatan yang bersifat sosial di saat pemilu, agar ada 
keadilan bagi semua kandidat, terang Wakil Bendahara Partai Golkar ini. 
Sehingga dengan demikian, ia mengharapkan, agar tidak lagi terjadi politik uang 
resmi yang mengakibatkan tidak adanya playing field yang setara. Bagaimana 
bisa berbicara hemat Rp 4 T dengan kampanye Pilpres 1 putaran, tapi malah 
hutang Rp 10 T (belum dengan bunga)? Kelihatan baik bagi rakyat kecil tapi 
dengan tambah beban utang rakyat untuk kepentingan menang pilpres, tandasnya. 
[jib]





  

[Non-text portions of this message have been removed]



[ppiindia] Siswa Miskin Tak Perlu Mimpi RSBI

2009-06-16 Terurut Topik sunny
http://jawapos.com/index.php?act=cetakid=28

[ Selasa, 16 Juni 2009 ] 


Siswa Miskin Tak Perlu Mimpi RSBI 

Oleh: Nadlifah Hafidz 

Di negara ini, siswa tak boleh atau ''diharamkan'' miskin. Kalau miskin, nyaris 
mustahil mereka bisa memenuhi keinginan atau cita-cita besarnya. Jika pun ada 
di antara siswa miskin mampu memenuhi ambisinya atau berhasil menuai prestasi 
gemilang, itu terbilang kelangkaan atau bagian dari cerita ''mencari jarum'' di 
tengah lautan.

Memang, ada saja cerita soal anak miskin berprestasi atau masuk sekolah atau 
perguruan tinggi ternama. Tapi, mereka bisa sampai ke sana tidaklah dengan 
gratis. Mereka bisa berprestasi cemerlang didukung oleh semangat atau kegigihan 
untuk membuktikan kepada masyarakat bahwa dirinya mampu mengisi ranah sejarah 
sebagai ''orang''.

Tantangan yang dihadapi siswa miskin, selain kompleks, juga berat. Hal itu 
lebih berelasi pada akar kemiskinan yang mengimpitnya. Kalau saja mereka tidak 
masuk golongan ''anak-anak akar rumput'', tentulah apa yang seharusnya menjadi 
problem tidak jadi hambatan yang membelenggu atau menistanya. 

Kalau orang kaya punya logika borjuistis dan kapitalistis dalam menyekolahkan 
anak-anaknya, orang miskin menyekolahkan anak-anaknya berdasar sisi 
pragmatisme. Komunitas elite ekonomi memperlakukan sekolah ibarat ''pasar'' 
yang wajib hukumnya direbut dengan pertaruhan segala kemampuan ekonomi serta 
harga diri.

Sementara itu, orang miskin bermaksud menyekolahkan anaknya supaya kelak 
anaknya itu bisa menjadi elemen strategis bangsa yang sukses menjadi pembebas, 
bukan sebagai generasi parasit yang membenani masyarakat, keluarga, serta 
negara. 

Sayangnya, kondisi disparitas di negeri ini, tampaknya, masih tetap berlangsung 
dan bahkan semakin tajam. Komunitas elite (kaya) bisa memilih sekolah sesuka 
hati. Bahkan mampu menjadikan sekolah itu sebagai objek ''olimpiade 
keserakahan'' atau ambisi-ambisinya. Komunitas kaya tersebut berlomba, 
bersaing, serta berambisi merebut label sekolah terbaik, unggulan, dan 
berstandar internasional, layaknya pelari yang memburu gelar dalam suatu 
olimpiade. 

Mereka bermaksud mengisi ranah sebagai ''upper class'' atau kelas pemenang 
lewat sekolah-sekolah yang ''terjual'' di masyarakat. Semakin banyak sekolah 
bertarif mahal yang dijual atau ''diolimpiadekan'' kalangan pebisnis dan 
produsen pendidikan. Layaknya kacang goreng, sekolah-sekolah model itu diburu 
komunitas yang haus pengabsahan status sosial tersebut. 

Produsen sekolah, yang bisa membaca peta mentalitas komunitas elite, terus 
bereksperimen dengan mengumpankan model-model sekolah yang bisa menarik minat 
konsumen elite tersebut. Produsen itu bahkan mengemas sekolahnya dengan 
menghadirkan output pendidikan bermerek luar negeri, kendati output itu 
sebenarnya tidak mengambil profesi di bidang edukatif (sebagai guru).

***

Ketika proyek rintisan sekolah berstandar internasional (RSBI) mengisi ranah 
publik, kelompok elite di masyarakat langsung memburu. Tidak ada RSBI yang 
kehabisan kuota pendaftaran. Mereka itu tidak memperhitungkan berapa pun biaya 
yang dikeluarkan untuk mengisi donasi RSBI, asalkan anaknya bisa masuk. Uang 
jutaan rupiah sudah pasti menjadi bagian dari syarat yang menentukan masuk 
RSBI. 

Kondisi tersebut tentu saja membuat disparitas di jagat pendidikan sangat 
mencolok. Di satu sisi, komunitas elite bisa menjadikan RSBI sebagai objek 
''olimpiade'' ambisinya. Di sisi lain, kelompok masyarakat miskin nyaris 
mustahil bisa merebut kursi di RSBI. 

Penyelenggara RSBI bisa saja berdalih bahwa RSBI bukan hanya untuk komunitas 
elite atau siswa kaya, tapi juga untuk siswa miskin yang mempunyai prestasi 
akademik bagus dengan beasiswa. Namun, belum ditemukan, setidaknya belum 
terpublikasikan, bahwa RSBI yang memberi jasa siswa miskin benar-benar 
menggratiskan semua lini pembiayaan. 

Menyikapi realitas itu, komunitas miskin tidaklah selayaknya memaksakan memburu 
RSBI. Pertama, daripada mengeluarkan biaya yang tergolong sangat besar (untuk 
ukurang orang miskin), lebih baik uang yang dimiliki digunakan untuk mendukung 
atau menopang kepentingan lainnya. Era multikrisis yang selalu dihadapi orang 
miskin membutuhkan persiapan uang untuk berjaga-jaga.

Realitas tersebut diperparah turunnya anggaran untuk bantuan siswa miskin. 
Meski porsi anggaran pendidikan sudah 20 persen dari APBN, itu tidak otomatis 
mendongkrak bantuan untuk siswa miskin jenjang SMA. Sebaliknya, tahun ini 
(2009), anggaran bagi siswa miskin justru anjlok. Subsidi pemerintah melalui 
bantuan khusus murid (BKM) turun menjadi Rp 194 miliar. Padahal, tahun-tahun 
sebelumnya, pemerintah mengalokasikan dana rata-rata Rp 242 miliar. 

Kedua, memaksakan anak masuk ke RSBI, bagi orang miskin, ibarat menciptakan 
''dunia baru'' yang tentu saja berbeda dari dunia anak-anak dari kalangan 
miskin. Mereka bisa bertemu berbagai bentuk gaya, penampilan, atau pola hidup 
yang berkemasan menonjolkan ''selebritas''. Itu bisa menjadi siksaan atau 

[ppiindia] Visi-Misi Antikorupsi Capres Minim

2009-06-16 Terurut Topik sunny
Refleksi: Tentu saja ada alasan yang menyebabkan  mengapa dalam visi-misi 
antikorupsi minim tidak bersuara keras dan tegas. Kalau mau diterka alasannya 
mungkin saja bisa dibilang banyak lagi beraneka warna dan ragam,  misalnya  
mereka berhutang budi kepada koruptor atau mereka senidiri terlibat dalam kasus 
korupsi yang hingga kini  sengaja pihak berwajib elakan untuk diungkap, sebab 
yang harus membongkar adalah sahabat kental dari capers itu sendiri. Mana 
orang-orang pintar nan lihai mengungkapan masalah yang menjatuhkan diri mereka 
dalam jerat hukum?

Jawa Pos
[ Jum'at, 12 Juni 2009 ] 


Visi-Misi Antikorupsi Capres Minim 
Oleh : Jabir Alfaruqi

Selama kampanye ini, para calon presiden (Susilo Bambang Yudhoyono, Jusuf Kalla 
dan Megawati) ramai-ramai menyampaikan visi-misi. Visi-misi ketiganya yang 
mendapat perhatian publik dan diekspose besar-besaran oleh media adalah bidang 
ekonomi.

Tampaknya masalah ekonomi menjadi prioritas ketiga capres Pemilu 2009 ini. 
Prioritas ini bukanlah hal yang salah. Sebab, masalah ekonomi bukan sekadar 
mengatasi pengangguran dan kemiskinan yang dialami jutaan warga negara, tetapi 
juga peningkatan pendapatan dan pelestarian sumber daya alam. Tanpa pertumbuhan 
ekonomi yang meningkat dari tahun ke tahun, berarti siapa pun yang memimpin 
negeri ini akan dinilai gagal.

Namun, ada benang merah yang dilupakan para capres bahwa untuk membangun sistem 
perekonomian dan pertumbuhan ekonomi yang lebih baik tidak berangkat dari akar 
permasalahan hakiki yang menyebabkan bangsa Indonesia jatuh miskin dan 
mengalami krisis yang berkepanjangan. Akar dari semua masalah ekonomi 
semestinya bersumber dari mengguritanya korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) di 
negeri ini. Pertumbuhan ekonomi dan pengentasan kemiskinan akan sekadar menjadi 
jargon politik kalau tidak dimulai dari pemberantasan korupsi secara baik.

Visi Antikorupsi 

Mungkin oleh sebagian pihak capres bervisi antikorupsi dianggap hal yang biasa 
dan sepele. Namun, bila kita mau belajar dari negara-negara yang sukses 
pertumbuhan ekonominya, hal itu selalu dimulai dari keberhasilan di bidang 
pemberantasan korupsi. Ambil contoh China yang saat ini pertumbuhan ekonominya 
menakjubkan masyarakat dunia. China bisa memiliki pertumbuhan ekonomi seperti 
sekarang karena negeri ini cukup berhasil mengatasi masalah korupsi.

Di China tokoh terdepan pemberantasan korupsi adalah perdana menteri, bukan 
komisi antikorupsi atau kalau di Indonesia Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). 
Karena itu, seorang perdana menteri bersumpah untuk disediakan peti mati bila 
dirinya terlibat korupsi. Ini bukan sekadar komitmen, tetapi benar-benar 
bervisi antikorupsi. 

Apa yang disampaikan sang perdana menteri itu bukan sekadar kampanye politik, 
tetapi benar-benar menjadi garis perjuangannya. Karena itu, tidak heran kalau 
di China para koruptor bisa dihukum mati. 

Ini sangat berbeda dengan di negeri ini. Pemberantasan korupsi belum 
benar-benar menjadi visi yang akan menjadi garis perjuangan para capres bila 
terpilih.

Di China, partai berkuasa yakni Partai Komunis China (PKC) telah bertahun-tahun 
dan terus-menerus mendoktrinkan semua kadernya di semua level bahwa negeri 
China akan bisa diselamatkan dari kebangkrutan bila korupsi bisa diberantas. 
Karena itu, kalau Partai Komunis China dan China tidak mau porak poranda 
seperti negara-negara penganut sistem komunis lainnya, tidak ada pilihan lain 
korupsi harus dibabat habis. 

Dari fakta ini kita bisa mengambil hikmahnya. Lemahnya visi pemberantasan 
korupsi di negeri ini di semua level pemerintahan menjadikan pertumbuhan 
ekonomi rendah dan tingkat kemiskinan absolut masih tinggi. Kita masih 
setengah-setengah dalam pemberantasan korupsi sehingga hasil yang ditunjukan 
belum bisa maksimal. 

Kita bisa membandingkan peningkatan anggaran untuk kabupaten dan kota di era 
reformasi dengan era Orde Baru. Dari jumlah anggaran yang tersedia, saat ini 
anggaran kabupaten dan kota sudah mengalami peningkatan minimal lima kali lipat 
dibandingkan era Orde Baru. Namun, benarkah besarnya anggaran daerah bisa 
menyelesaikan lima kali lipat permasalahan ekonomi di daerah? Jawabnya belum. 
Ini terjadi karena pemberantasan korupsi baru sebatas isu kampanye politik, 
belum menjadi garis perjuangan.

Yang lebih tragis, kini pemberantasan korupsi sedang dalam ancaman. Rancangan 
Undang-Undang Tipikor yang semestinya diselesaikan oleh DPR pada 2009 hingga 
kini belum ada kabar beritanya. Secara matematis RUU Tipikor yang habis masanya 
pada Desember nanti tidak mungkin diselesaikan tahun ini. 

Memang tanpa ada Undang-Undang Tipikor pun pemberantasan korupsi tetap 
berlanjut. Sebab, kasus-kasus korupsi yang ditangani Komisi Pemberantasan 
Korupsi (KPK) bisa dilimpahkan ke pengadilan umum. Hanya, perlu disadari bahwa 
pengadilan umum semakin hari cenderung sangat familier dengan para koruptor.

Kita bisa mengukur kecenderungan tersebut dari beberapa kasus korupsi yang 
divonis oleh lembaga tersebut. 

[ppiindia] The Return of Capitalism

2009-06-16 Terurut Topik sunny
http://www.washingtonpost.com/wp-dyn/content/article/2009/06/15/AR2009061502733.html?wpisrc=newsletterwpisrc=newsletter

The Return of Capitalism
  
By Fareed Zakaria
Monday, June 15, 2009; 7:19 PM 


Over the past six months, politicians, business executives and pundits have 
been convinced that we are in a crisis of capitalism that will require a 
massive transformation and years of pain to fix. Another ideological god has 
failed, wrote the dean of financial commentators, Martin Wolf. Companies will 
fundamentally reset the way they work, said General Electric CEO Jeffrey 
Immelt. Capitalism will be different, said Treasury Secretary Timothy 
Geithner. 

Yet recently, even though we've nationalized no banks and undergone no grand 
reinvention of capitalism, the sense of panic seems to be easing. Perhaps this 
is a mirage -- or perhaps the measures taken by the U.S. government and other 
countries have restored normality. Over time we might see that faced with 
underreacting or overreacting, most governments wisely chose the latter -- and 
appear to have averted a systemic breakdown. 

Many experts are convinced that the situation cannot improve yet because their 
own far-reaching sweeping solutions have not been implemented. Most of us want 
to see more punishment inflicted, particularly on America's bankers. In fact, 
there has been much pain, especially in the financial industry, where tens of 
thousands of jobs have been lost , at all levels. Fundamentally, though, 
markets are not about morality. They are large, complex systems, and if things 
get stable enough, they move on. 

Consider our track record over the past 20 years, starting with the stock 
market crash of 1987, when on Oct. 19 the Dow Jones industrial average fell 23 
percent, the largest one-day loss in its history. The legendary economist John 
Kenneth Galbraith wrote that he just hoped the coming recession wouldn't prove 
as painful as the Great Depression. It turned out to be a blip on the way to an 
even bigger, longer boom. Then came the 1997 East Asian crisis, during the 
depths of which Paul Krugman wrote, Never in the course of economic events -- 
not even in the early years of the Depression -- has so large a part of the 
world economy experienced so devastating a fall from grace. He argued that if 
Asian countries did not adopt his radical strategy -- currency controls -- we 
could be looking at ... the kind of slump that 60 years ago devastated 
societies, destabilized governments, and eventually led to war. Only one Asian 
country instituted (partial) currency controls. All rebounded within two years. 

Each crisis convinced observers that it signaled the end of some new, dangerous 
feature of the economic landscape. But often that novelty accelerated in the 
years that followed. The 1987 crash was said to be the product of computerized 
trading, which has since, of course, expanded dramatically. The East Asian 
crisis was to end the happy talk about emerging markets, which are now at the 
center of world growth. The 1998 collapse of Long-Term Capital Management -- 
which then-Treasury Secretary Robert Rubin called the worst financial crisis 
in 50 years -- was to be the end of hedge funds. The technology bubble's 
bursting in 2000 was supposed to eliminate the dreams of oddball Internet 
start-ups. Now we hear that this crisis is the end of derivatives. Let's see. 
Robert Shiller, one of the few who predicted this crash almost exactly -- and 
the dot-com bust as well -- argues that we in fact need more derivatives to 
make markets more stable. 

In a few years we might actually find that we are hungry for more capitalism, 
not less. An economic crisis slows growth, and when countries need growth, they 
turn to markets. After the Mexican and East Asian currency crises -- which were 
far more painful in those countries than the current downturn has been here -- 
the pace of market-oriented reform speeded up. If, in the years ahead, the 
American consumer remains reluctant to spend, if federal and state governments 
groan under their debt loads, if government-owned companies remain expensive 
burdens, then private-sector activity will become the only path to creating 
jobs. With all its flaws, capitalism remains the most productive economic 
engine we have yet invented. Like Churchill's line about democracy, it is the 
worst of all economic systems, except for the others. Its chief vindication 
today has come halfway across the world, in countries such as China and India, 
which have been able to grow and pull hundreds of millions out of poverty by 
supporting markets and free trade. Last month India held elections during the 
worst of this crisis. Its powerful left-wing parties campaigned against 
liberalization and got their worst drubbing at the polls in 40 years. 

American capitalism is being rebalanced, reregulated and restored. There is 
still a long road ahead. There will be many more bankruptcies. Banks will have 

[ppiindia] Re: [des-kes] Fw: Menkes Bicara Kasus Prita

2009-06-16 Terurut Topik kmj...@indosat.net.id
Saya sepakat dengan pendapat Pak laksono. Sayangnya Menkes kita tidak 
secanggih itu, sehingga dapat mengesankan bahwa beliau tidak menguasai 
ketentuan perundang-undangan dan malah menunjukkan ketidak berdayaan 
pemerintah. Betapapun juga untuk berdiri, RS harus memperoleh ijin dari 
pemerintah. jadi pemerintah mempunyai kewenangan dan kewajiban 
mengawasi jalannya sebuah RS apakah ia berbuat yang dapat merugikan 
pasien, dan mempunyai wewenang pula untuk menjatuhkan sanksi. Tantu 
harus didasarkan peraturan yang ada. Pemerintah itu dapat pusat dapat 
pula daerah.
Salam
KM

Original Message
From: trisnant...@yahoo.com
Date: 16/06/2009 19:25 
To: efk...@yahoogroups.com, desentralisasi-keseha...@yahoogroups.
com, koran-digi...@googlegroups.com, ppiindia@yahoogroups.com, 
wanita-musli...@yahoogroups.com
Subj: Re: [des-kes] Fw: Menkes Bicara Kasus Prita

Dear all
Menanggapi kiriman Pak Kartono. Kalau bu Menteri Kesehatan menggunakan 
makna kebijakan desentralisasi di sektor kesehatan seharusnya tidak 
perlu menjawab seperti yang di detik.com sbb: 
 
Apa Depkes bisa memberikan sanksi kepada RS Omni terkait kasus Prita?

Nggak bisa. Sama sekali tidak bisa. Negur sih bisa, tapi beri sanksi 
nggak bisa. Saya tak punya tangan langsung ke RS tersebut, kecuali hak-
hak etika saja. Memang unik kasus ini. Ini pelajaran bagi kita semua. 
Kedua-duanya tidak pada jalurnya. Mestinya harusnya mengeluh langsung 
ke direkturnya. Ada tempat pengaduan resmi, apalagi ini RS 
internasional. Pasti sangat menjaga kliennya.

Seharusnya Bu Menteri menjawab dengan dasar kebijakan desentralisasi 
(PP no 38 tahun 2007) dimana RS seperti Omni berada di bawah pengawasan 
pemerintah daerah setempat (Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota untuk ukuran 
RS setara kelas C, Propinsi untuk kelas B). Jika ini sebuah jawaban 
imajiner, hasilnya adalah sebagai berikut:
 
Apa Depkes bisa memberikan sanksi kepada RS Omni terkait kasus Prita?

Wewenang peneguran ada di Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota Tangerang. 
Dengan adanya kebijakan desentralisasi, Departemen Kesehatan tidak bisa 
langsung. Peneguran dan sangsi sampai pencabutan ijin RS setara RS Omni 
sudah menjadi wewenang pemerintah daerah. Untuk mengadu sebaiknya ke 
Dinas Kesehatan sebagai pengawas sistem rumahsakit di sana.
 
Kesimpulannya memang dalam kasus RS Omni, Dinas Kesehatan setempat 
belum mempunyai peranan. Desentralisasi sektor kesehatan di bidang 
pengawasan dan perijinan RS masih di atas kertas. Apakah gejala ini 
terjadi di seluruh Indonesia?
Mungkin saja.
 
Salam
 
Laksono


  




[ppiindia] Mestinya JK Buka Fakta

2009-06-16 Terurut Topik sunny

http://www.ambonekspres.com/index.php?act=newsnewsid=26607

  Selasa, 16 Jun 2009, | 15 

  Mestinya JK Buka Fakta 
 
 
  Jakarta,AE.- Pernyataan calon presiden Jusuf Kalla (JK) mengenai perannya 
dalam proses terciptanya perdamaian di Nangroe Aceh Darussalam (NAD), mendapat 
dukungan banyak pihak.  Direktur Eksekutif Lingkar Madani untuk Indonesia 
(LIMA) Ray Rangkuty mengatakan, sudah semestinya JK membuka fakta-fakta yang 
terjadi di internal pemerintahan. 

  Fakta-fakta yang diungkapkan JK sangat penting bagi publik. Itulah 
fakta-fakta yang selama ini tidak kita ketahui. Jusuf Kalla telah membuka fakta 
tentang apa yang sesungguhnya terjadi dalam lima tahun ini. Tinggal publik yang 
menilai, siapa yang sesungguhnya bekerja, SBY atau JK, ungkap Ray Rangkuty di 
Jakarta, Senin (15/6).

  Seperti diketahui, saat berkampanye di Aceh,Sabtu(13/6), JK menyebutkan 
hanya dirinya yang berani menandatangani perundingan damai RI dengan Gerakan 
Aceh Merdeka (GAM) yang disebut dengan perjanjian Helsinki itu. JK dengan lugas 
juga menyatakan, demokrasi lokal Aceh tumbuh berkat dirinya. Pasalnya 
persetujuan pendirian partai lokal dirinya juga yang menandatangani, sedangkan 
Presiden SBY tidak mau sama sekali.

  Menurut Ray, pernyataan JK tidak boleh dilihat dari kacamata etis atau 
tidak etis. Bagi publik, yang terpenting bisa tahu fakta-fakta apa di 
pemerintahan yang memang harus diketahui publik. Kalau kubu pasangan Susilo 
Bambang Yudhoyono-Boediono menilai pernyataan JK itu tidak etis, kata Ray, itu 
menunjukkan sikap reaktif lawan politik JK. Karena pihak SBY sudah kehilangan 
ide sehingga hanya menarik pernyataan JK ke bingkai etis atau tidak etis, 
ungkap Ray.

  Kalau bicara etis tidak etis, kata Ray, justru banyak hal tidak etis yang 
dilakukan kubu SBY-Boediono. Antara lain, banyak menteri dan pejabat BUMN yang 
menjadi anggota tim sukses. Bahkan, ada sebuah stasiun TV swasta yang dalam dua 
hari, yakni 13 dan 14 JUni 2009, terus-terusan menayangkan pidato SBY saat 
kampanye di Surabaya dan Kendari, dengan durasi satu jam. Itu yang tidak etis. 
Saya sedang mengumpulkan data untuk selanjutnya melaporkan ke Bawaslu, ujar 
mantan Koordinator Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) itu.

  Seperti diketahui, kubu SBY-Boediono telah bereaksi menanggapi pernyataan 
JK di Aceh itu. Dalam rilis yang disampaikan ke sejumlah media, Wakil Ketua 
Dewan Pakar Tim Kampanye Nasional SBY-Boediono, Bara Hasibuan, menyatakan hal 
tersebut sebagai pelanggaran etika bernegara.

  Ray menilai, dalam sepekan masa kampanye in, JK memang menguasai 
pengembangan isu. Masa kampanye seminggu ini memang menjadi panggungnya JK. 
Jadi wajar kalau tingkat elektabilitas JK terus naik. Mega-Prabowo masih stabil 
dan SBY-Boediono hanya sibuk mengcounter isu, sehingga publik tidak bisa 
membaca apa yang mau disampaikan SBY-Boediono ke publik, terang Ray.

  Lebih lanjut dikatakan Ray, kalau tren seperti ini berlanjut, bukan tidak 
mungkin tingkat elektabilitas JK melejit mengalahkan SBY. Secara umum, Ray 
menilai, masa kampanye pilpres 2009 ini jauh lebih baik dibanding pilpres 2004. 
Alasannya, perang program begitu dominan dilontarkan para capres-cawapres. 
Mega-Prabowo terus gencar menawarkan program ekonomi kerakyatan dan JK-Win 
dengan gerakan kemandirian bangsa. Sedang SBY mencoba mengusung ekonomi jalan 
tengah, yang sebenarnya hanya untuk mengcounter program dua rivalnya itu, ujar 
Ray. 
  (sam/JPNN)  


[Non-text portions of this message have been removed]



[ppiindia] Wawancara Tempo munculkan kualitas Jusuf Kalla

2009-06-16 Terurut Topik Satrio Arismunandar
Luar biasa! Wawancara oleh Tempo ini dengan gamblang, sederhana, lugas, 
menunjukkan kualitas seorang Jusuf Kalla (saya harus menyebutnya: the real 
president 2004-2009!)
 
Jawabannya tidak dibuat-buat, tidak menutup-nutupi (ketika Tempo menyentil soal 
bisnis keluarganya dan soal biaya kampanye), tidak sok jaim. Tidak menggunakan 
bahasa-bahasa asing atau jargon-jargon normatif yang hakikatnya tak menjawab 
apa-apa.
 
Jelas wawancara ini juga bukan dari jenis yang diatur (daftar pertanyaan 
diserahkan lebih dulu ke pihak yang diwawancarai, sehingga ybs bisa membuat 
persiapan atau menolak pertanyaan-pertanyaan tertentu yang sulit dijawab). 
 
Satrio
NB: Wawancara ini saya kutip dari posting di bawah:
 
-- Forwarded message --
From: Harman harman_irawan@ yahoo.com
Date: 2009/6/1
To: RantauNet rantau...@googlegro ups.com



Saya berpendapat, blanket guarantee itu artinya semua masalah 
perbankan—kesulitan cash flow, rugi, dan sebagainya—pada akhirnya ditanggung 
APBN. Ini artinya ditanggung seluruh rakyat. Saya tidak mau kesalahan 
bankir-bankir itu dibebankan ke rakyat. Itu menzalimi rakyat.

Yang ngotot itu Gubernur Bank Indonesia dan Menteri Keuangan.

wassalam,
harman St.Idris


http://majalah. tempointeraktif. com/id/arsip/ 2009/06/01/ WAW/mbm.20090601 
.WAW130468. id.html
Jusuf Kalla:
Jangan-jangan Mau Mempermalukan Saya
 
DIA punya kenangan tersendiri tentang kantor redaksi majalah Tempo. Lima tahun 
lalu, sebelum pemilihan presiden, Ketua Umum Partai Golkar itu berkunjung, dan 
ia terpilih menjadi wakil presiden—mendampingi Susilo Bambang Yudhoyono. 
Senin pekan lalu, dengan pengawalan jauh lebih ketat dibanding lima tahun 
silam—meski tetap longgar untuk ukuran wakil presiden—ia kembali bertandang ke 
kantor Tempo di Jalan Proklamasi, Jakarta Pusat. 
 
”Ruang ini penuh berkah,” kata Jusuf Kalla, 67 tahun—calon presiden yang 
berpasangan dengan Jenderal Purnawirawan Wiranto. Kali ini statusnya penantang 
Yudhoyono. Didahului makan siang dengan menu biasa—nasi sayur asam, ayam 
goreng, ikan bumbu pedas, dan tempe goreng—Jusuf Kalla satu jam lebih meladeni 
pertanyaan tuan rumah. Petugas protokoler Istana Wakil Presiden awalnya meminta 
pertemuan hanya diikuti belasan orang, tapi pada akhirnya ruang rapat redaksi, 
tempat pertemuan digelar, sesak oleh awak redaksi Tempo. 
 
Kalla didampingi Sekretaris Wakil Presiden Tursandi Alwi, juru bicara tim 
sukses JK-Wiranto, Yuddy Chrisnandi, dan beberapa pendukungnya. Seperti biasa, 
Jusuf Kalla menjawab pertanyaan dengan lugas, dan tanpa off the record. 
 
Mengapa Anda memutuskan berpisah dengan SBY? 
Saya sebenarnya siap berkoalisi lagi. Tiga kali saya bertemu SBY 
membicarakannya. Beliau setuju, tapi dengan sejumlah syarat. Kalau melanjutkan 
koalisi, masa perlu syarat-syarat lagi? Itu menandakan beliau mungkin mempunyai 
pandangan lain. Itu hak beliau. Kami hormati. Jadi, kalau begitu, kami jalan 
sendiri saja.
 
Apa saja syaratnya? 
Banyaklah. Misalnya, calon yang diajukan bukan ketua umum partai. Secara 
tersirat, sebenarnya beliau hanya ingin melanjutkan koalisi Demokrat-Golkar, 
bukan SBY-JK. Calon yang diajukan juga harus loyal. Sebenarnya loyal tidak 
masalah, tapi pada negara, bukan pribadi. Apa pernah saya tidak loyal?
Golkar juga diminta mengajukan lima nama. Aneh, kalau memang mau melanjutkan 
koalisi, mengapa minta lebih dari satu nama? Jangan-jangan ini mau 
mempermalukan saya. Bagi Golkar, ini tidak sesuai dengan rapat pimpinan 
nasional yang telah memutuskan satu nama.
 
Apa yang Anda katakan ketika menyatakan berpisah? 
Tidak ada perpisahan resmi sebenarnya, karena memang begitulah politik. Tapi, 
ketika saya serahkan surat resmi di Istana, kami berdua terharu. Sampai kita 
peluk-pelukan berdua: kenapa akhirnya begini?
 
Slogan kampanye Anda ”Lebih Cepat, Lebih Baik” membuat SBY tersinggung? 
Ya, katanya seperti itu. Padahal, yang saya maksud lebih cepat lebih baik bukan 
masalah pribadi. Ini menyangkut kepemimpinan, pengelolaan bangsa, dan program 
pemerintah. Bisa tercapai lebih cepat kan lebih baik? Jangankan negara, salat 
pun lebih cepat lebih baik. Namanya politik, masa kita mau bilang ”lebih 
lambat, lebih baik”? 
Saya tidak pernah memperhatikan partai lain, saya selalu memperhatikan diri 
saya. Jangan, dong, mengontrol apa yang mau kita bilang. Itu kan tidak bagus? 
Namanya kampanye, kita harus jual yang terbaik, kan? Kita harus menjual solusi.
 
Itu menohok SBY, yang dikenal lambat karena terlalu banyak pertimbangan. ... 
Masing-masing orang kan berbeda, kita maklum saja. 
 
Rapat kenaikan BBM sampai perlu dilakukan 12 kali? 
Ya, mungkin dibutuhkan pertimbangan yang matang. Saya pikir itu gaya hati-hati 
yang baik. Mungkin belum tentu efektif, tapi penuh kehati-hatian itu penting 
juga.
 
Dalam beberapa kasus Anda berseberangan dengan Boediono, waktu itu Gubernur 
Bank Indonesia. Misalnya soal blanket guarantee setelah muncul kasus Bank 
Century? 
Saya berpendapat, blanket guarantee itu artinya semua masalah 

[ppiindia] SBY siapkan Mayjen Pramono Edhie Wibowo untuk 2014?

2009-06-16 Terurut Topik Satrio Arismunandar
Wawancara dengan ekonom Faisal Basri sangat menarik. Faisal menduga, SBY 
memilih Boediono karena SBY memilih cawapres yang tidak punya ambisi untuk 
mencalonkan diri sebagai presiden. Karena keluarga Sarwo Edhie sedang 
menyiapkan untuk 2014, yaitu Danjen Kopasus sekarang (Mayjend Pramono Edhie 
Wibowo). 
 
Kata Faisal: Masih bintang dua, tentu tidak disiapkan menjadi wapres. Dia yang 
sedang dipersiapkan ke depan. Mau apa lagi, di republik ini memang ada 
oligarki.



Dipetik dari http://www.koran- jakarta.com/ ver02/detail- news.php? id=8775 
idkat=106

 

Faisal Hasan Basri

Minggu, 24 Mei 2009 01:54 WIB
Posting by : ega

Ekonom kritis ini bercerita tentang tuduhan dia merapat ke tim ekonomi 
Yudhoyono, dikotomi ekonomi neoliberal dan kerakyatan yang dia sebut norak, dan 
sering menolak tawaran jabatan.

Kaum intelektual dan politik kerap ditempatkan pada kutub yang selalu 
berhadapan. Intelektual yang merapat ke kubu politik selalu saja dikecam, 
seperti yang dialami Faisal Basri akhir-akhir ini. Tulisannya berjudul Pak 
Boed yang Saya Kenal yang tersebar lewat internet membuat Faisal menjadi 
bulan-bulanan. Dia dituding sangat membela Boediono, cawapres Susilo Bambang 
Yudhoyono, yang perspektif ekonominya selama di eksekutif sangat neoliberal.

Kepada Alfred Ginting, Adhiyanto, Teguh Nugroho dan Sari Handini, ekonom 
berambut tipis ini tenang-tenang saja menanggapi tudingan itu. Faisal menemui 
tim. Koran Jakarta di restoran Hotel Sultan, Senayan Jakarta, Kamis (21/5) 
lalu. Saya mengajak ke sini bukan karena apa-apa. Nanti jam 5 saya diminta 
orasi di acara Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia di Gelora Bung Karno, 
tempat ini paling dekat, kata dia. Dalam wawancara, tabiat Faisal tak pernah 
berubah dari 10 tahun lalu. Di tengah wawancara dia akan membuka komputer 
jinjingnya untuk menunjukkan data. Berikut petikan wawancaranya:

Saat ini semakin jelas ekonom siapa saja yang merapat ke calon presiden. Dan 
Anda disebutkan bergabung dalam tim ekonomi SBY-Boediono?

Saya bukan tim sukses, bukan tim apa-apa. Memang saya diminta tapi saya tidak 
mau.

Tapi Anda dekat dengan Boediono?

Saya memang kenal dengan Pak Boed (Boediono), masa´ bilang saya nggak kenal. 
Pak Boed bukan sahabat saya, dia jauh lebih tua. Tapi kalau dibilang seperti 
itu mau bagaimana lagi. Ini buktinya, SMS belum lama. (Faisal menunjukkan isi 
pesan pendek di ponselnya yang berasal dari anggota tim sukses SBY-Boediono) 
Bang saya berpikir menurut saya Bang Faisal harus masuk ke dalam tim inti Pak 
Boed. Karena saya lihat memang Pak Boed perlu dukungan orang-orang pihak bank 
Jadi saya memang belum masuk dan saya tidak mau.

Tawaran datang darimana saja?

Macam-macam. Termasuk Rizal Malaranggeng telepon ke rumah, tidak pernah saya 
tanggapi. Kalau dihubungi ke ponsel tidak pernah saya angkat. Kalau saya ingin 
bisa telepon balik, tapi saya tidak mau. Karena apa? Kalau sudah dibujuk, saya 
orangnya lemah, susah menolak. Jadi saya tidak tanggapi. Bu Mega juga pernah 
meminta. Saya datang dua kali ke Mega Institute dan datang juga ke Rakornas 
PDI-P di Solo, saya sudah dibilang orang Mega. Ya sudahlah.

Tulisan Anda Pak Boed yang saya Kenal dinilai mendongkrak pencitraan Boediono 
saat dia tengah dituding karena perspektif ekonomi neoliberal?

Ceritanya itu, saya sedang di Singapura, 14 Mei. Pagi-pagi di stasiun MRT, saya 
buka berita (tudingan terhadap Boediono) lewat ponsel. Mau menangis saya, kok 
orang zalim sekali, terutama Mas Amien (Rais) yang mengatakan Pak Boed simbol 
neoliberal dan segala macam. Padahal saya tahu Pak Boed tidak seperti itu. Tapi 
saya kan tidak bisa berbuat apa-apa. Saya pikir, nanti di feri menuju Batam 
saya ingin menulis. Akhirnya setelah di Batam, saya menulis, 1,5 jam, dan kirim 
ke Kompasiana. Berangkat dari kesedihan saya saja karena seorang kawan 
diperlakukan begitu. Tidak adilnya kan Pak Boed diserang semua orang, dan tidak 
ada yang menulis tentang dia. Saya cuma menulis seprintil, dan saya sebut sisi 
lain seorang Boediono. Hanya sisi lain, tidak semuanya.

Kabar itu sangat kuat, dan Anda belum pernah membantah?

Ada yang menyebut saya pantas saja menulis seperti ini karena (saya) tim 
opininya Bara Hasibuan. Memang Bara teman dekat saya dulu di PAN. Sekarang 
ketemu saja tidak pernah. Jadi bagaimana lagi, sepertinya semua orang sudah 
dibingkai. Padahal saya menulis itu plong dari hati saya.

Banyak tawaran, kenapa Anda selalu menolak?

Salah satu ekonom yang saya kagumi Paul Krugman, pemenang hadiah Nobel 2008. 
Latar belakanganya sama dengan Lawrence Summers (menteri keuangan Amerika di 
era Bill Clinton). Summers selalu di birokrasi. Krugman tidak pernah 
bercita-cita jadi apa-apa, kecuali jadi akademisi dan dia bangga karena merasa 
lebih berguna di situ. Dia menulis rata-rata dua kali seminggu di New York 
Times, kolomnya ringkas, tapi membentuk opini yang lebih dahsyat daripada opini 
Summers. Saya memang tidak bisa meniru Krugman, karena 

[ppiindia] RAN ships blockaded Chinese arms to Timor

2009-06-16 Terurut Topik sunny
http://www.theaustralian.news.com.au/story/0,25197,25648339-31477,00.html

RAN ships blockaded Chinese arms to Timor

Mark Dodd | June 17, 2009 

Article from:  The Australian 
AUSTRALIAN warships joined a 1970s Indonesian naval blockade of East Timor that 
turned away a Beijing weapons shipment for pro-independence Falintil guerillas, 
according to the son of Jose Ramos Horta.

The stunning claim is contained in an 18-page analysis of Chinese-Timorese 
relations written by Loro Horta, a graduate of Sydney University and the 
prestigious People's Liberation Army National Defence University in Beijing. 

Mr Horta also says in the analysis that Canberra's tardy response to repeated 
requests by Dili for a patrol boat after the 1999 independence ballot led to 
China's offer of military assistance and the start of substantial diplomatic 
gains by Beijing. 

Defence yesterday denied it opposed East Timor acquiring armed patrol boats and 
said it was giving language training to 30 East Timorese defence force 
personnel expected to serve on the new Chinese patrol craft. 

Mr Horta's analysis about China's involvement in East Timor was published last 
month in the respected French Foreign Ministry-backed Research Institute on 
Contemporary Southeast Asia. 

Navy records show three Australian warships were pre-positioned off Darwin in 
August 1975 but were deployed for humanitarian reasons and were not part of a 
blockade. Australian warship movements in the Timor Sea after 1975 were not 
available. 

No date is given for when the Chinese arms shipment was turned away, except a 
claim it occurred between 1975 and 1978. 

The years are significant because, at the time, Beijing was also providing 
extensive military support to Pol Pot's Cambodia, a pro-Maoist regime with 
close links to Fretilin (the Revolutionary Front for an Independent East 
Timor). 

Sino-Timorese relations were never closer than following the 1975 Indonesian 
invasion of the former Portuguese-administered half-island territory, Mr Horta 
writes. 

A request by Timor's short-lived pro-independence leadership for urgent 
military support to counter the Indonesian threat resulted in an arms shipment 
from China's revolutionary leader Mao Tse Tung, he says. 

Beijing assembled equipment sufficient to arm a light infantry division of 
8000 men, including medium anti-aircraft machine guns, light artillery, mortars 
and infantry anti-tank weapons, Mr Horta writes. 

However, the Indonesian naval blockade with assistance from the Australian 
navy prevented the delivery of the equipment to the 

Timorese. 

Mr Horta cites three senior Timorese officials, two with the rank of minister 
to back up the claims. 

The arms eventually ended up in another former Portuguese colony, Mozambique, 
where they were used by the country's Marxist government in its 
counter-insurgency war against South African-backed Renamo rebels, he says. 

Mr Horta says China's support was primarily motivated by Mao's policy of 
wanting to foment revolution in the third world -- the very fear of which was 
cited by Jakarta to justify its bloody 1975 invasion. 

Following the historic 1999 UN-backed referendum, China once again renewed its 
support for the newly independent country.


[Non-text portions of this message have been removed]



[ppiindia] Suci Digoyang Isu

2009-06-16 Terurut Topik herilatief
Suci Digoyang Isu

semusim cintamu
wangi bunga hayalan
kutukan para janda
dikebiri napsu

bau manipulasi
jaga imago
pesona diri
digoyang isu

pro rakyat
kesadaran klas
teori jadi puisi
siapa paling suci?

Heri Latief
Amsterdam, 150609

http://herilatief.wordpress.com/
http://akarrumputliar.wordpress.com/





  

[Non-text portions of this message have been removed]



[ppiindia] China acknowledges incident between sub, U.S. ship

2009-06-16 Terurut Topik sunny
http://www.tehrantimes.com/index_View.asp?code=196904

View Rate : 106 #News Code : TTime- 196904Print Date : 
Wednesday, June 17, 2009 
China acknowledges incident between sub, U.S. ship



BEIJING (AP) - China's Foreign Ministry acknowledged for the first time Tuesday 
a collision last week between a Chinese submarine and a sonar being towed by a 
U.S. Navy destroyer. 


The incident occurred Thursday, spokesman Qin Gang said, while giving no 
details. 

The U.S. Navy has had little comment on the incident, other than to say that 
the USS John S. McCain's towed sonar had been damaged. There have been no 
reports of injuries or damage to either vessel. 

While analysts said the collision appeared to be an accident, they have warned 
of a growing pattern of incidents and confrontations arising from China's 
growing naval power and willingness to assert territorial claims in waters off 
its coast. 

What we're seeing are the initial stages of a growing military competition 
between the United States and China with naval forces rubbing up against each 
other in a dangerous and largely unregulated posturing for alliances and 
natural resources in the region, said Hans M. Kristensen, a researcher with 
the Federation of American Scientists in Washington, D.C. 

The incident reportedly occurred in international waters northwest of the 
former U.S. naval base at Subic Bay in the Philippines. Beijing considers the 
area its territorial waters as part of its claim to the entire South China Sea 
and opposes U.S. military operations and data gathering there. 




[Non-text portions of this message have been removed]



[ppiindia] Kemiripan posisi SBY dan George Bush (senior)

2009-06-16 Terurut Topik Satrio Arismunandar
Inti dari tulisan ini adalah: 
 
Ada kemiripan dalam posisi Presiden SBY dengan Presiden AS George Bush 
(senior). George Bush yang populer dan menang dalam perang melawan Saddam 
Hussein (Irak) tahun 1991, ternyata bisa dikalahkan oleh kandidat belum 
terkenal (belum berpengalaman, kalau meminjam istilah SBY). Kandidat  itu 
adalah Gubernur Arkansas Bill Clinton.
 
Nah, jadi bukan tidak mungkin, popularitas SBY hasil kemasan citra (kreasi Fox 
Indonesia dkk) itu juga bisa diredam oleh kandidat lain, jika bisa menghantam 
titik-titik lemah SBY dalam hal ekonomi (utang yang makin menggila, dsb). 
Banyak hal-hal kritis yang tidak dikerjakan SBY, yang seharusnya bisa digunakan 
untuk meruntuhkan istana pasir citra gemerlapnya.
 
Tentunya kandidat penantang harus bisa menghadirkan alternatif rancangan 
ekonomi yang lebih meyakinkan.
 
Memilih SBY adalah memilih status quo.
Bagi saya sendiri, memilih SBY adalah memilih fatamorgana. Kelihatannya indah, 
tetapi ternyata hanya uap di padang pasir. 
Atau minum obat penghilang rasa sakit untuk mengobati kanker. Rasa sakit akan 
hilang untuk beberapa saat, tetapi kanker terus merambat!
 
Satrio
 
=
(dikutip dari milis tetangga):
Dear Fellow Indonesians: 
  
  
President SBY vs. US President 41. 
  
In the 90’s there was a very popular President in the USA with a great resume. 
He was a navy pilot during the world war II, shot down by Japanese forces and 
was able to survive floating in the pacific ocean and rescued. When he came 
back home, he was greeted as a hero. Then he was appointed to be Ambassador for 
China. Before he finished his term he was called to lead the secret service 
becoming CIA director. He then ran for President of the USA but he lost in the 
Primary. He was picked by his adversary from the same party to be his running 
mate, and he became a Vice President. 
  
After 8 years became a Vice President, he ran for President for the 2nd times, 
and he won. In 1991, he faced the biggest challenge of his Presidency and he 
ended up leading a war against the late President of Iraq, Saddam Hussein for 
invading Kuwait. He did it successfully. He was not only popular at home in the 
USA but also around the world. This man was President George H.W. Bush (the 
Daddy Bush). In 1992, he faced re-election for his Presidency. 
  
I remember then that there was not even a single person from Republican Party 
who dared to challenge President Bush. He was that popular. Meanwhile from 
Democrat Party, there were so many Presidential candidates and one of them was 
the unknown, unpopular young governor from Arkansas named Bill Clinton. 
  
You can compare the popularity of President Bush in the 90’s with President SBY 
at the present time in Indonesia. The question to ask is what, how and why then 
that this unknown, unpopular Governor of Arkansas was able to BEAT a very 
popular President? 
  
Some of my political colleagues argued that the economy in the USA during 
President Bush 41 was stupid and Bill Clinton was able to articulate that issue 
before the American people. Well, the current Indonesia’s economy is stupid 
ever even worse compared to the situation then in the USA during President Bush 
41. 
  
SBY is now popular than ever and the chance for him to win the reelection is 
much greater than before the last general election. It puzzles me that none of 
these Presidential candidates dare to challenge SBY on this issue. There are 
many critical issues that have been left in the back burner by SBY. That is 
undeniable fact! Look at the details! 
  
Those issues can change perception and influence people who are to vote. This 
is where campaign strategy plays its major role in winning Presidential 
election contest. I personally and respectfully disagree with the notion that 
it is not the cult of personality or, the money that will capture the seat of 
Presidency, but it is the issue. The question now is who dares to challenge SBY 
on the issue and present an alternative and comprehensive plan to address and 
resolve those critical issues. 
  
  
SBY Presidency: 
  
I have stated that President SBY is a better President than perhaps the other 
Presidents Indonesia has ever had, except President Soekarno being the Founding 
Father of the country. However; looking at his record for the last 5 years in 
office, his accomplishments are too insignificant to make a meaningful change 
in Indonesia. For the last 5 years, Indonesia’s domestic debts are mounting up 
bigger than FOREIGN DEBTS. Prior to 1997, Indonesia’s domestic debts was 
virtually zero or very small. 
  
Yes, there was 3% economic growth and at some point was even 7%. But what was 
it as a result of President SBY’s sole economic policy, or it was simply a pure 
luck of timing that supply met the demand for Indonesia? Or, was it because the 
world economic situation that indirectly benefited Indonesia economic growth or 
at best, combination of all? 
  
Prof. Dr. Kuncoro 

[ppiindia] Humans Intrude on an Indonesian Park

2009-06-16 Terurut Topik sunny
Refleksi:  Atas nama NKRI boleh merusak di mana saja, begitulah hakekatnya. 
Siapa yang untung dan siapa yang buntung?

http://www.nytimes.com/2009/06/14/world/asia/14borneo.html?_r=1ref=asia


Humans Intrude on an Indonesian Park 

 
Kemal Jufri/Imaji, for The New York Times
The price of the land Mukayan bought on the edge of the Kutai National Park on 
Borneo four years ago has increased sevenfold, he said. He said he caught his 
pet birds in the park. 


By NORIMITSU ONISHI
Published: June 13, 2009 
KUTAI NATIONAL PARK, Indonesia - Countless houses and shops built by squatters 
flank the 40-mile, two-lane road slicing through this national park that, once 
rich with orangutans and lowland rain forest, now symbolizes Indonesia's 
struggle to protect its rare wildlife.

Related
Times Topics: Indonesia
 
The New York Times
Much of the park's 490,000 acres has been damaged. 

As construction has intensified along the road here on the island of Borneo, it 
has also brought a sometimes surprising diversity of businesses to the park, 
including a brothel, the Dika karaoke bar and the Mitra Hotel, which was 
marking its recent opening with discounts of 40 percent. A new bus terminal and 
gas station, nearly complete, will perhaps be greeting customers soon.

At one spot by the road, Mursidin, a farmer in his 50s, was one of many people 
building a home from the park's trees. Using a sander and a saw hooked to a red 
generator, he was polishing and laying sheets of wood on the house's frame as 
his wife, Nuramanah, looked on.

We're worried because the forest rangers warned us several times that we 
weren't permitted to build here, Ms. Nuramanah, who like many Indonesians goes 
by one name, said as her anxiety seemed punctuated by her husband's hammering. 

If the new houses lining the road were any indication, however, the couple had 
little to worry about. Forest rangers have been powerless in checking 
development inside the park as the local authorities have urged people to 
settle and open businesses here.

Control over the country's 50 national parks, including Kutai, has grown murky 
in the past decade as authority has shifted from the central government to the 
provinces as part of a decentralization of power. Local governments, 
emphasizing economic development over conservation, have seen parks bursting 
with natural resources as a way to fill their coffers.

At the same time, Kutai National Park, like others, has been losing trees to 
illegal loggers, at a rate of one to two truckloads a day, according to 
forestry officials. Mining companies have also been pushing to explore inside 
the coal-rich park here, which is already surrounded by coal, fertilizer, gas 
and timber companies. More than 27,000 people lived inside the park in 2007, 
according to a government survey conducted that year.

It's difficult to control the construction of new houses, which is increasing, 
because the local governments simply ignore national laws, Tandya Tjahjana, 
who took over the Forestry Ministry's office here a few months ago, said as 
trucks rumbled by his headquarters here.

As many as half of the park's 490,000 acres have been damaged because of 
development and illegal logging, Mr. Tandya said, adding that he had only 27 
rangers to patrol the entire park.

Half of all the mammal species in Borneo are said to inhabit Kutai National 
Park, including the Sambar deer, wild ox, proboscis monkey and orangutan. Aside 
from a population of orangutans at a research center inside the park, the 
number of great apes - estimated at 600 - has sharply decreased in recent years 
because of two fires and human encroachment, researchers and forestry officials 
said.

Widespread illegal logging and deforestation have reduced Indonesia's overall 
orangutan population to about 60,000, an estimated 80 percent reduction in the 
past decade, said Anne Russon, an orangutan expert from York University in 
Toronto who has done extensive research on the apes in Indonesia for the past 
14 years, including in this park.

Much of the timber is used to make furniture for domestic and overseas markets, 
while the cleared land is often turned into palm oil plantations. The shrinking 
of the forest habitats, which threatens some of the world's rarest wildlife, 
regularly pits animals against human beings.

In recent months, Sumatran tigers, which face extinction, have killed illegal 
loggers pushing into the animals' territory on the island of Sumatra and have 
been killed in turn by villagers. Also in Sumatra, wild elephants have been 
fatally poisoned near a palm oil plantation, reportedly by villagers running 
the site.

The Kutai National Park here was established in the 1980s but, located in what 
is Borneo's most developed area, it faced threats from the start. Pertamina, 
the state oil company, was permitted to operate here and still pumps oil inside 
a fenced-in enclave. And years before the road was built in the mid-1990s, 
people had 

[ppiindia] BRIC Leaders Seek a Greater Voice

2009-06-16 Terurut Topik sunny
http://www.themoscowtimes.com/article/600/42/378817.htm



   
Sergei Karpukhin / Reuters
From left, Luiz Inacio Lula da Silva of Brazil, Dmitry Medvedev, Hu 
Jintao of China and Manmohan Singh of India attending the first BRIC summit 
Tuesday.??  
  BRIC Leaders Seek a Greater Voice

  17 June 2009By Ira Iosebashvili / The Moscow TimesPresident Dmitry 
Medvedev led the leaders of Brazil, China and India in discussions Tuesday on 
reforming the global financial system and lessening reliance on the United 
States at the first summit of the world's four largest emerging economies.

  The four BRIC countries - which make up 15 percent of the global economy 
and hold nearly 40 percent of the world's currency reserves - expressed 
interest in working more closely together economically, although the 
cooperation at the Yekaterinburg summit was mostly confined to symbolic 
gestures.

  Leaders discussed investing their reserves into one another's bonds, 
swapping reserve currencies and increasing the role of Special Drawing Rights, 
an international reserve asset. But discussions about the creation of a 
supranational currency and lessening global reliance on the U.S. dollar - two 
favorite Kremlin topics as of late - were confined to a meeting of the Shanghai 
Cooperation Organization that took place earlier in the day in the Urals city. 

  In his opening comments, Medvedev said it was obvious that the BRIC 
leaders needed to find nonstandard decisions to common economic problems.

  Life is difficult. Strategic partners must meet more often and seek 
broader trade and economic relations, Medvedev told Brazilian President Luiz 
Inacio Lula da Silva earlier in the day.

  A joint BRIC statement issued before the summit called for a greater role 
for developing nations in global financial institutions and the United Nations.

  We are committed to advance the reform of international financial 
institutions so as to reflect changes in the world economy, the statement 
said. The emerging and developing economies must have a greater voice and 
representation in international financial institutions.

  The statement also said the senior leadership of international financial 
institutions should be selected through an open, transparent and merit-based 
selection process.

  At the end of the summit, Medvedev said developing countries must create 
the conditions for a fairer world order. The other leaders sat next to him and 
did not offer any comments.

  Medvedev reserved his more fiery rhetoric for the Shanghai Cooperation 
Organization summit, showing that Russia remained eager to play the role of a 
power broker among emerging economies and a critic of the current world 
financial system - which it views as unfairly dominated by the United States.

  Despite recent comments by Finance Minister Alexei Kudrin in support of 
the dollar, Medvedev continued his verbal assault on the U.S. currency, urging 
leaders to find a way to diversify the world's reserve currencies. The 
existing set of reserve currencies, including the U.S. dollar, have failed to 
perform their functions, Medvedev said.

  There cannot be a successful global currency system if the financial 
instruments it uses are denominated in only one currency, he said. This is 
the case today, and that currency is the dollar.

  Earlier this month, Medvedev said the dollar was not in a spectacular 
position and cast doubt on its future as a global reserve currency.

  Kudrin, meanwhile, said Saturday that the dollar's financial indicators 
were fine and expressed confidence in its strength.

  Kremlin economic aide Arkady Dvorkovich sought to reconcile the two 
viewpoints Tuesday, telling reporters in Yekaterinburg that shocks on the 
currency markets were to be avoided and that nobody wants to bring the dollar 
down.

  We are not looking to exclude the dollar, Dvorkovich said. But the 
world economy will grow, and that growing pie should be divided in a fairer 
way.

  Dvorkovich also said the International Monetary Fund should include the 
ruble, the Chinese yuan and gold in the basket of currencies that make up 
Special Drawing Rights.

  But the idea of replacing the dollar found little traction with at least 
one BRIC member. China, which holds $2 trillion in foreign currency reserves, 
did not offer any comment in support of the proposal.

  Analysts said that while the BRIC summit was limited to mostly to kind 
words, the grouping was still at its infancy and could gain significant 
economic and political clout in the future.

  The statements might have been mostly symbolic, but that doesn't mean 
they will be by 2020, said Elina Rybakova, chief economist at Citibank.

  They have set some very good goals to work toward, she said.

  Medvedev sought to emphasize ties with fellow BRIC leaders.

  He reminded Indian Prime 

[ppiindia] Robert Fisk: Iran's day of destiny

2009-06-16 Terurut Topik sunny
http://www.independent.co.uk/opinion/commentators/fisk/robert-fisk-irans-day-of-destiny-1706010.html

Robert Fisk: Iran's day of destiny

Fisk witnesses the courage of one million protesters who ignored threats, guns 
and bloodshed to demand freedom in Iran


Tuesday, 16 June 2009


 

EPA

A demonstrator who was shot during a protest demonstration in the streets of 
the capital Tehran today

  a..  More pictures 


It was Iran's day of destiny and day of courage. A million of its people 
marched from Engelob Square to Azadi Square - from the Square of Revolution to 
the Square of Freedom - beneath the eyes of Tehran's brutal riot police. The 
crowds were singing and shouting and laughing and abusing their President as 
dust. 


Mirhossein Mousavi was among them, riding atop a car amid the exhaust smoke and 
heat, unsmiling, stunned, unaware that so epic a demonstration could blossom 
amid the hopelessness of Iran's post-election bloodshed. He may have officially 
lost last Friday's election, but yesterday was his electoral victory parade 
through the streets of his capital. It ended, inevitably, in gunfire and blood. 

Not since the 1979 Iranian Revolution have massed protesters gathered in such 
numbers, or with such overwhelming popularity, through the boulevards of this 
torrid, despairing city. They jostled and pushed and crowded through narrow 
lanes to reach the main highway and then found riot police in steel helmets and 
batons lined on each side. The people ignored them all. And the cops, horribly 
outnumbered by these tens of thousands, smiled sheepishly and - to our 
astonishment - nodded their heads towards the men and women demanding freedom. 
Who would have believed the government had banned this march? 

Related articles
  a.. Jerome Taylor: Iran's revolutionary guard raid university in Isfahan as 
protests spread 
  b.. 'Seven killed as protesters launched attack' 
  c.. The Iranian election in pictures 
  d.. Britain 'must not take sides' over Iran poll 
  e.. Michael Noble: The Arabic Press view of Iranian elections 
  f.. Claims of student massacre in Tehran spread 
  g.. Reza Molavi: The genie may not go back in the bottle 
  h.. Iran 'ready to recount disputed votes' 
The protesters' bravery was all the more staggering because many had already 
learned of the savage killing of five Iranians on the campus of Tehran 
University, done to death - according to students - by pistol-firing Basiji 
militiamen. When I reached the gates of the college yesterday morning, many 
students were weeping behind the iron fence of the campus, shouting massacre 
and throwing a black cloth across the mesh. That was when the riot police 
returned and charged into the university grounds once more. 

At times, Mousavi's victory march threatened to crush us amid walls of chanting 
men and women. They fell into the storm drains and stumbled over broken trees 
and tried to keep pace with his vehicle, vast streamers of green linen strung 
out in front of their political leader's car. They sang in unison, over and 
over, the same words: Tanks, guns, Basiji, you have no effect now. As the 
government's helicopters roared overhead, these thousands looked upwards and 
bayed above the clatter of rotor blades: Where is my vote? Clichés come 
easily during such titanic days, but this was truly a historic moment. 

Would it change the arrogance of power which Mahmoud Ahmadinejad demonstrated 
so rashly just a day earlier, when he loftily invited the opposition - there 
were reported to be huge crowds protesting on the streets of other Iranian 
cities yesterday - to be his friends, while talking ominously of the red 
light through which Mousavi had driven. Ahmadinejad claimed a 66 per cent 
victory at the polls, giving Mousavi scarcely 33 per cent. No wonder the crowds 
yesterday were also singing - and I mean actually singing in chorus - They 
have stolen our vote and now they are using it against us. 

A heavy and benevolent dust fell over us all as we trekked the great highway 
towards the fearful pyramid of concrete which the Shah once built to honour his 
father and which the 1979 revolutionaries re-named Freedom Square. Behind us, 
among the stragglers, stones began to burst on to the road as Basijis besieged 
the Sharif University (they seem to have something against colleges of further 
education these days) and one man collapsed on the road, his face covered in 
blood. But on the great mass of people moved, waving their green flags and 
shouting in joy at the thousands of Iranians who stood along the rooftops. 

On the right, they all saw an old people's home and out on to the balcony came 
the aged and the crippled who must have remembered the reign of the loathed 
Shah, perhaps even his creepy father, Reza Khan. A woman who must have been 90 
waved a green handkerchief and an even older man emerged on the narrow balcony 
and waved his crutch in the air. The thousands below them shrieked back their 
joy at 

[ppiindia] Pesawat terbang masuk got:

2009-06-16 Terurut Topik sunny
Pesawat terbang  masuk got:

http://media.smh.com.au/world/world-news/plane-slides-off-runway-576251.html

[Non-text portions of this message have been removed]



[ppiindia] Pertunjukan Aruk Gugat oleh Teater Satu (Grup Teater Terbaik 2008)

2009-06-16 Terurut Topik MGR
http://salihara.org/main.php?type=detailmodule=newsmenu=childparent_id=3id=24item_id=735

Sebuah pertujukan dari Grup Teater Terbaik Indonesia tahun 2008 versi majalah 
Tempo.

Teater Satu Lampung mempersembahkan Aruk Gugat.



Catatan Proses Kreatif Aruk Gugat

Lakon “Aruk Gugat” adalah sebuah eksperimen panjang yang telah dimulai
Teater Satu Lampung sejak tahun 1998. Bermula dari sebuah diskusi kecil
yang menggagas tentang hubungan teater (pertunjukan) dengan penonton.
Lalu berkembanglah pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut: Mungkinkah
membuat sebuah karya pertunjukan yang bisa diterima dan dinikmati oleh
semua lapisan dan kelas sosial masyarakat? Apakah mungkin dicapai suatu
bentuk artistik dan estetik pertunjukan yang bisa diterima dan
dimengerti secara umum?  Apakah esensi  dari sifat-sifat universalitas
di dalam karya seni (pertunjukan) itu?  Mungkinkah membuat sebuah
pertunjukan yang tidak terlalu sukar dilakukan namun memiliki kualitas
artistik dan estetik yang bisa diterima dan dinikmati oleh semua
penonton?



Pertanyaan itu berlanjut pada upaya memeriksa kembali seluruh
pertunjukan yang pernah dipentaskan Teater Satu dan bagaimana reaksi
penonton terhadapnya. Dari studi kecil-kecilan itu, diperoleh data
bahwa sebuah repertoar kecil Teater Satu yang bertajuk “Warahan Aruk
Gugat” yang pernah dimainkan pada tahun 1996, adalah salah satu
pertunjukan yang paling mungkin bisa meladeni—bukan
menjawab—pertanyaan-pertanyaan di atas. 



Penciptaan repertoar “Warahan  Aruk Gugat” ini bersumber dari sastra
lisan Lampung yang disebut “Warahan”, yakni salah satu bentuk sastra
tutur yang berfungsi sama seperti dongeng. Warahan inilah yang oleh
sebagian besar pelaku seni dan peneliti di Lampung disebut sebagai
bentuk teater rakyat Lampung. Namun, di dalamnya belum ada kelengkapan
unsur-unsur pertunjukan seperti halnya yang terdapat di dalam Ludruk,
Ketoprak, Mahyong, Mamanda, dan lain-lain. Warahan masih terbatas pada 
ada seorang pencerita dan ada cerita yang disampaikan yang biasanya
berisi nasihat, sindiran, pesan. Dalam menyampaikan ceritanya, Pewarah
atau Pencerita menembangkan seluruh cerita dengan iringan musik gambus.
Seorang Pewarah biasanya mampu menghafal 20 sampai 100 bait cerita.



Dari sumber-sumber penciptaan seperti itulah, “Warahan  Aruk Gugat”
dikembangkan—bukan diposisikan dalam bentuknya sebagai
dongeng—melainkan kemungkinan-kemungkinannya dikembangkan sebagai
pertunjukan yang bisa dinikmati oleh semua kalangan. Dalam proses
eksplorasi oleh Tim Artistik Teater Satu, bentuk Warahan  ini
dipertemukan dengan bentuk-bentuk pertunjukan teater modern yang telah
berkembang dan dikenal oleh Teater Satu sebelumnya. Maka, dilakukanlah
upaya-upaya identifikasi peran/tokoh,  karakterisasi, artistik,
aktualitas cerita, untuk memperkaya bentuk pertunjukan Warahan yang
telah pernah ada sebelumnya.



Hingga saat ini, setelah lebih dari 10 tahun Teater Satu berupaya terus
menerus memeriksa dan mengembangkan bentuk pertunjukan Warahan, telah
dilakukan lebih dari 70 kali pertunjukan dengan cerita dan bentuk
pertunjukan yang berbeda-beda. Namun, sampai saat ini,  unsur-unsur
artistik pertunjukan yang tetap dipertahankan adalah; kesederhanaan
bentuk, plot, dan karakterisasi tokoh utama yakni Aruk, yang tetap
setia pada ekspresinya sebgai “SANDIWARA KAMPUNG”. 



Kami menamakannya Sandiwara Kampung karena repertoar “Warahan  Aruk
Gugat” memang diniatkan menjadi pertunjukan yang bisa meladeni segala
bentuk ruang dan bisa dimainkan di mana saja dan kapan saja; khususnya
di Indonesia. Di mana hal-hal yang naif, kampungan, dan segala kategori
yang selama ini dianggap sebagai “sisi gelap” dalam perkembangan
“ke-ber-adaban” masyarakat  (setidaknya dalam persepsi kita yang biasa
hidup di wilayah perkotaan)   justru dihidangkan.  Samasekali bukan
untuk meraih semacam simpati atau pemakluman, melainkan untuk diperiksa
kembali. Dan pertunjukan di Komunitas Salihara ini adalah bentuk
garapan terbaru dari semua pertunjukan yang sudah dipentaskan
sebelumnya. 



Aruk Gugat adalah upaya Teater Satu untuk memeriksa kembali
“ke-kampungan”,  yang ada dalam lingkungan sosial kami, sistem politik,
budaya, dan terutama dalam diri kami sendiri, sambil terus
mengupayakannya menjadi pertunjukan yang—bila mungkin—bisa dinikmati
oleh semua lapisan masyarakat dengan berbagai latar belakang budaya. 



Iswadi Pratama

Sutradara 



Sinopsis

Aruk adalah seorang anak yatim yang jujur, namun malas dan bodoh. Aruk 
diharapkan mampu mengangkat kembali harkat dan martabat keluarga yang telah 
hancur sejak kematian sang ayah. Maka, Emak pun menitipkan Aruk di rumah 
pamannya, Sirajudin bergelar Pangeran Si Angan-Angan yang kelak akan mendidik 
Aruk dengan berbagai keterampilan dan pengetahuan sebagai bekal hidup.

Aruk mengawali kariernya di bidang militer. Namun ia dikeluarkan, karena 
menolak mengikuti ujian menembak. Alasan Aruk: jika ia pandai menembak maka 
nanti akan menembak siapa saja. Gagal jadi prajurit, Aruk berkerja sebagai