menarik Mbak Mia ...
karena menurut saya yang bakalan mengenal orang berkualitas seperti
Imam Mahdi hanyalah orang2 yang dekat dengannya.
Kalau bisa digambarkan, misal ada figur X yang punya kriteria seperti
Imam Mahdi.
Kemudian ada dua tanggapan dari orang terdekatnya, yang pertama
menerima, yang kedua menolak. Yang menerima kemudian akan menyebarkan
ke orang2 lain, yang kedua sama juga akan menyebarkan ke orang2 lain.
Sampai titik tertentu kedua golongan itu kemudian akan saling bertemu
dan bertempur.

Kita lihat Nabi Muhammad saja tidak serta merta diterima oleh orang2
terdekatnya, meskipun akhlaknya bagus dan mereka sangat mengenal watak
Nabi Muhammad. Malah justru orang yang jauh (orang Yastrib) yang
kemudian mau menerima Nabi Muhammad untuk jadi pemimpin di wilayahnya.
Orang Mekkah kebanyakan menolak Muhammad sebagai Nabi. Baru setelah
Nabi Muhammad kuat dan punya pasukan, kemudian menyerbu Mekkah,
kemudian orang2 Mekkah pun masuk Islam dengan berbagai motivasinya.
Bisa karena mereka yakin dan percaya bahwa Muhammad adalah Nabi, bisa
juga karena pengin menyelamatkan diri (karena mereka kalah, yah
terpaksa menerima ajaran Muhammad ... ini bukan berarti Nabi Muhammad
memaksa mereka masuk Islam lho).

Dalam kisah sejarah kehidupan manusia, banyak kejadian di mana
bangsa/kelompok yang kalah kemudian terpaksa menerima dan menyerap
kebudayaan/pengaruh dari bangsa yang menang/mendudukinya. Contohnya
Jepang dan Jerman yang kalah perang dunia kedua, terpaksa menerima
nilai2 dan pengaruh Amerika yang mengalahkan mereka.

salam,
--
wikan
http://wikan.multiply.com

On 7/5/07, Mia <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
>
> Implikasinya, semua yang percaya, nggak percaya, atau percaya yang
>  mana dengan cara bagaimana, semua berada pada level playing field
>  yang sama. Artinya semua punya kesempatan untuk membuktikannya
>  sesuai kondisi level playing field. Fair chance for everyone.
>  Nggak masalah kan?
>
>  Saya kan bisa bilang misalnya, aku nggak percaya Imam Mahdi atau N
>  Isa akan datang, tapi kalo dia datang pun, aku maunya di baris
>  terdepan, yaitu kalau dia emang beneran punya kualitas itu, why
>  not....?
>
>  But there may be problem. Permasalahan dengan persepsi apokaliptik
>  seperti ini adalah kalau itu udah dimasukin unsur fundamentalis,
>  dimana mitos dipaksain jadi faktual harafiah yang harus hadir dalam
>  kehidupan sehari-hari secara fisik.  Dengan kata lain, persepsi
>  apokaliptik menjadi mengerikan kalau kita gagal memahami unsur halus
>  atau integritas yang menjadi intinya.
>
>  Unsur halus dan integritas utuh itu adalah, mitos seperti itu kan
>  intinya bilang, teteplah menjadi optimis, pro aktif, jangan putus
>  asa, selalu ada harapan, dsb. Yang semua ini adalah fitrah manusia
>  (pro aktif adalah fitrah manusia!), yang pada satu masa kudu
>  dimasukkan dalam bentuk mitos seperti ini, sebagai bagian dari agama
>  yang fitrah. Kan Pak Chodjim selalu bilang siapa bilang nabi itu
>  mati? Dia selalu hidup di dalam pikiran kita.
>
>  Nah, kalau nanti di antara kita kualitas kenabian muncul dalam sosok
>  yang kebetulan namanya Pak Mahdi, Isa, ya bagus dong....?? Sama SBY
>  aja nurut gimana sama Pak Mahdi dengan kualitas seperti ini? :-)

Kirim email ke