Saya ingin komentar tentang istilah mbak Mia "berdamai dengan diri sendiri" 
yang saya pahami sebagai proses jujur dan ikhlas dalam mengenal, memahami dan 
conformity dengan keadaan diri sendiri yang membawa pada keyakinan peran dalam 
hidup. Salah satu yang menarik dari WM malah bagian ini. Mbak Mia sendiri juga 
pernah cerita pengalaman ttg pergulatan dalam pekerjaan, etika, dll.

Perjalanan mencari Tuhan dari sekian banyak tuhan yang muncul dalam kehidupan 
kita memang akan jadi perjalanan pribadi, individual yang unik (unique). 
Sharing antar kita sebetulnya dibatasi oleh banyak keterbatasan komunikasi 
sehingga kadang-kadang yang terlihat penting hanyalah tampak luar/lahiriyahnya 
saja padahal yang esensial sebetulnya pergulatan batin yang mendasarinya. 

Seperti contoh, kisah mbakYanti, bagi sebagian orang seakan-akan sekedar 
berujung pada fiqh jilbab tidak wajib. Padahal IMHO bukan itu esensinya. 
Esensinya adalah bagaimana mbak Yanti menjadi manusia yang lebih baik yang 
berpegang pada ketauhidan sejati, dengan segala kelebihan dan kekurangan 
dirinya. Salah satu esensi yang penting IMHO malah bagaimana mengalahkan 
berhala yang muncul, bahkan ketika berhala itu bentuknya kewajiban berjilbab. 
Berjilbab menjadi berhala ketika mengenakan jilbab menjadi prasyarat hubungan 
dengan Allah swt. dan seakan-akan memberikan label "lebih mulia" dibanding yang 
lain. Kebetulan saja, nash memungkinkan untuk membuat garis yang tegas dengan 
berhala tersebut bagi mbak Yanti dengan membuka jilbabnya. Solusi bagi yang 
lain, dengan esensi yang sama bisa saja berbeda tampak lahirnya, misalkan malah 
mengenakan jilbab.

Ketika perjalanan individual agung itu direduksi hanya pada kesimpulannnya 
fiqh-nya,
kemudian kesimpulan tadi itu pun ternyata dievaluasi hanya dengan standar "fiqh 
baku" dengan tujuan MENILAI baik dan buruknya seseorang, hilanglah nilai-nilai 
utamanya, dan bertentangan dengan nilai-nilai Islam yang lurus. Biar pun 
katakanlah cara berfikir di atas dianggap tetap Islam, Islam model begini malah 
jadi kehilangan relevansi dan universalitasnya.

Pertanyaan yang penting bagi diri kita semua secara pribadi, lebih penting dari 
menilai perjalanan orang lain: "Apakah kita telah melakukan perjalanan yang 
penting itu?"


  ----- Original Message ----- 
  From: Mia 
  To: wanita-muslimah@yahoogroups.com 
  Sent: Sunday, July 12, 2009 1:56 PM
  Subject: [wanita-muslimah] Re: Jilbab dan pengalaman pribadi





  Terimakasih mba Yanti sharingnya sangat berkesan. Mba Yanti memakai jilbab 
pada waktu itu, dari penjelasan di bawah, karena mencari ketenteraman, artinya 
dengan suka rela dari hati sendiri. Walaupun rasa ketenteraman yang dicari 
nggak didapatkan waktu memakai jilbab, tapi nyatalah perjalanan batin mba Yanti 
nggak berhenti di situ. Akhirnya berdamai dengan diri sendiri justru dengan 
mencopot jilbab, dengan suka rela juga. Umpama sekolah mba Yanti lulus cum 
laude, kira2 gitu.

  Membuat saya jadi iri. Karena dulu waktu sekolah dari madrasah ke Aliyah, 
saya pake jilbab, dan itu terpaksa. Nggak ada enak2nya pake jilbab dan rok 
panjang buat saya, puuanas gitu loh, ditambah lagi diledek2 orang di jalanan. 
Betapa masa kecil/remaja yang menggelisahkan, dari masalah berpakaian.

  Kemudian saya pake jilbab sekali2, dan itu bukan mencari ketenteraman hati, 
tapi pingin nunjukin solidaritas untuk para perempuan yang pake jilbab tapi 
diresehin. Personal is political, kira2 gitu. Pernah demen sesekali pake jilbab 
waktu musim dingin Des-Feb di New York, karena hangat gitu loh, dan 
dikomentarin orang kamu cakep deh (kurasa karena jilbabnya fashionable berkesan 
dress-up, sedangkan orang NY tampil apa adanya, maksudnya nggak fashionable).

  Tahun2 belakangan terakhir ini, nggak berjilbab diresehin orang juga. Jadi 
saya nggak pernah berjilbab lagi, karena lagi-lagi personal is political, bukan 
lantaran mencari ketenteraman hati. Makin diresehin untuk berjilbab makin nggak 
mau saya pake lagi. 

  Jadi rupanya selama hidup, saya ini termasuk jenis yang nggak mencari 
ketenteraman hati melalui jilbab/nggak berjilbab, makanya saya jadi iri dengan 
pengalaman mba Yanti. Jilbab dari pengalaman hidup saya ini lekat dengan 
pernyataan politik. 

  Tapi yang namanya perempuan, pastilah mencari 'ketenteraman hati' dengan 
pakaian/penampilan, antara apa yang diiinginkannya pribadi dan kondisi 
sekelilingnya, termasuk kebiasaan, perubahan2, fashion dsb.

  Jadi 'ketenteraman hati' saya akhirnya tercapai dengan mengadopsi pakaian dan 
asesoris bernuansa etnis dan (buatan) lokal kalau mau tampil di depan umum, 
misalnya di kantor, acara resmi, kondangan, bergaul gitu deh. 
Kerudung/selendang biasanya di selendangin saja dan dipake di kepala kalo 
merasa perlu. Saya suka penampilan ini, dan saya anggap sebagai bentuk 
'conformity' maksudnya penyesuaian, dengan kondisi kekinian. Pakaian2 lain 
sesuai kegiatan - karena saya hobi olah raga jadi seringnya tampil pake outfit 
ini. Keluarga besar saya perempuannya rata2 pake jilbab - kadang ada kerabat 
cowok yang komentar, dengan outfit saya yang sehari2 ini, keliatan seksi, 
maksudnya memuji tapi kuatir dengan pikirannya sendiri...:-) Saya senyum2 saja, 
saya anggap mereka juga mesti terbiasa dengan yang dianggap beda.

  salam
  Mia

  (deleted)

  Recent Activity
    a..  17New Members
  Visit Your Group 
  Give Back
  Yahoo! for Good

  Get inspired

  by a good cause.

  Y! Toolbar
  Get it Free!

  easy 1-click access

  to your groups.

  Yahoo! Groups
  Start a group

  in 3 easy steps.

  Connect with others.
  . 

  

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke